Abstract Abstrak
Many scholars carry out studies on the Studi tentang keberadaan kaum Santri dan
existence of Santri and Abangan in Java. Abangan di Jawa telah banyak dilakukan
Various books and journals discuss those para sarjana. Buku dan jurnal yang
studies but they just emphasize on debate mengupas hal ini juga berserakan di banyak
between Islam and its local context. This tempat. Akan tetapi, kebanyakan buku dan
jurnal itu mengupas peristiwa masa lalu
paper aims to describe the relationship
ketika Islam dan konteks lokalnya menjadi
between Santri and Abangan that can build
perdebatan tajam. Paper ini bertujuan untuk
a tolerance in certain area in Java. This menyuguhkan relasi kaum Santri dan kaum
study employs qualitative approach and Abangan belakangan ini yang ternyata
the data is collected through observation, dapat berjalan berdampingan. Penelitian
document, and interview to some Muslims kualitatif ini dengan mengutamakan
in Laweyan Mosque, Surakarta. The study pengumpulan datanya melalui teknik,
shows that Abangan and Santri do not have observasi, studi dokumen dan wawancara
restriction. This condition can hamper the terhadap jamaah Masjid Laweyan Surakarta
development of Islamic radicalism in this ini memperlihatkan bahwa relasi antara
ancient mosque. Abangan dan Santri masih relatif cair.
Kondisi inilah yang turut menghalangi
Keywords: Santri-Abangan, Laweyan berkembangnya paham Islam radikal di
Mosque, Negara Mosque, Religious masjid kuno ini.
Activities, and Tolerance
Kata kunci: Santri-Abangan, Majid Laweyan,
Masjid Negara, Aktivitas Keagamaan, dan
Toleransi
Setelah era Reformasi, seiring itu, daerah ini merupakan kantong milisi
berubahnya situasi sosial dan politik, Hizbullah di era perjuangan. (http://
menarik untuk melihat kembali keterkaitan www.edisicetak.joglosemar.co/berita/
antar kedua kelompok ini dengan ironi-museum-samanhudi-57480.
menitikberatkan pada aspek lokal, yang html, diakses 20 Februari 2015).
mengkhususkan pada sebuah komunitas
kecil yang berpusat pada sebuah masjid. Alasan lainnya, Laweyan yang
Disertai upaya mengungkap konteks dikenal sebagai basis kaum Santri terletak
sosial dari masyarakat yang diteliti. bersebelahan dengan daerah Belukan
Menurut Marvasti, salah satu dimensi yang termasuk Kelurahan Pajang, lokasi
dari penelitian etnografi menurut bekas Kerajaan Pajang tempo dulu,
Marvasti adalah memperhatikan konteks yang mana pernah dikenal sebagai basis
sosial pada saat pengumpulan data (Amir simpatisan kelompok terlarang di tahun
B. Marvasti, 2004: 36), khususnya tentang 1960-an. Tidak ketinggalan pula, alasan
pemahaman keislaman jamaah masjid, penampilan sarana fisik juga tidak
paper ini mencoba menyorot relasi kedua dapat dilewatkan, bahwa konstruksi
kelompok ini. Titik berangkatnya adalah rumah para juragan batik yang berpagar
situs keagamaan, yaitu sebuah masjid tinggi terutama di Kampung Laweyan,
kuno Masjid Laweyan, yang terletak di menyiratkan rasa ketidaknyamanan
wilayah Kota Surakarta. secara sosial, meskipun barangkali
sekarang kadarnya menurun.
Untuk membahas relasi antara
kelompok santri dan abangan
seperti yang dijumpai dalam hasil Metode Penelitian
penelitian, artikel ini meminjam teori
mutikulturalisme yang berkembang Untuk dapat menyelami
antara lain di Kanada. Reitz (2009: 1) dinamika Santri-Abangan ini, penulis
menyebutkan, multikulturalisme sebagai menggunakan pendekatan wawancara
filsafat sosial dan dapat juga berbentuk dan observasi, sebagaimana kaidah
kebijakan mengarah pada sebuah upaya dalam penelitian kualitatif. Penulis juga
untuk membangun kohesivitas sosial berusaha menggambarkan dinamika
berdasarkan kelompok etnis dan budaya tersebut melalui sketsa gambar sehingga
yang berbeda, lebih baik adalah dengan dinamika yang dimaksud semakin jelas.
mengakui serta menghargai perbedaan
Penelitian dijalankan dengan
yang ada. Langkah ini menjauhkan dari
menggunakan metode kualitatif, dengan
upaya penyempitan perbedaan atau
menggunakan teknik pengumpulan
bahkan merangkum semua kelompok
data melalui wawancara, observasi dan
dalam satu kesatuan.
studi literatur. Dalam penelitian yang
Terdapat beberapa alasan mengapa dilakukan, jamaah, pengurus, ustad
memilih Masjid Laweyan. Masyarakat yang aktif di masjid tersebut dan juga
Laweyan dikenal lama sebagai basis masyarakat yang menetap di sekitar
industri rumahan (home industry) batik, masjid dijadikan subjek penelitiannya.
terutama jenis tulis, dan sejak 2006 Observasi dilakukan selama penelitian
kampung ini dicanangkan sebagai terutama terhadap kegiatan keagamaan
Kampung Batik. Selain itu secara historis- dan simbol-simbol keagamaan dan tidak
politis, Laweyan pernah dikenal sebagai lupa berbagai sudut bangunan masjid
basis tokoh pergerakan kemerdekaan yang memiliki pemaknaan yang merujuk
dengan munculnya Samanhudi, yang pada nilai-nilai keagamaan. Observasi
bersama-sama HOS. Tjokroaminoto juga dilakukan terhadap kehidupan
mendirikan Syarikat Islam (SI). Selain masyaraat sekitar masjid.
berdiri kokoh. Di bagian depan terdapat Adanya serambi serta bedug dan
bedug dan kentongan, serta kotak amal kentongan ini digolongkan sebagai masjid
(lihat denah). dengan ciri khas Indonesia, hal mana
remarkable, that Indonesians often dari wilayah muslim di negeri lain, yakni
open the call to prayer by the beating Gujarat, termasuk pula batu nisannya.
of a large drum, the bedug (De Graaf,
Ibid. Hal. 2). It is remarkable, that the oldest
Muslim graves such as those at
Makam kraton merupakan tempat Pasei in North Sumatra and at
peristirahatan terakhir keluarga kraton. Gresik (Grissee) in Java display a
Menurut sejarah lisan, salah satu Raja strong resemblance to similar graves
Surakarta PB II dimakamkan di tempat at Gudjarat. In many cases the stones
itu. Selain itu juga dimakamkan kerabat themselves were made overseas and
kraton yang lain. Ki Ageng Henis dan Ki sent ready for use to Indonesia. One
Beluk juga dimakamkan di sarean (makam, tomb-stone even showed a damaged
jawa) itu. Sebagaimana diketahui, PB II Hindu representation on the back and
lahir 1711, putra Amangkurat IV. Naik therefore was probably robbed from a
tahta tahun 1726, dan memerintah hingga heathen temple. This is an indication
tahun 1749. Pada saat pemerintahannya, that we might go and seek for the
Kraton Mataram di Kartosuro mengalami pattern of the Indonesian mosque in
kerusakan akibat pemberontakan orang- the same country these tombstones
orang Cina. Orang-orang Cina memusuhi came from (De Graaf. Op.Cit. hal. 4).
kraton karena dianggap berpihak
kepada Kompeni Belanda yang telah Masjid Laweyan dengan makam
menghabisi orang-orang Cina di Batavia kratonnya adalah menjadi bukti sejarah
pada tahun 1740. Di saat yang sama, proses perembesan kebudayaan Islam
kraton tidak pernah luruh dari konflik dari luar masuk ke Indonesia. Dengan
internal mengenai perebutan tahta demikian semakin menegaskan bahwa
kerajaan. Salah satu keluarga bangsawan proses masuknya Islam sangat kuat
kraton, Garendi (Sunan Kuning) turut dipengaruhi oleh kebudayaan Islam
serta dalam pemberontakan terhadap dari Asia Selatan. Pandangan ini
kraton Mataram di Kartosura bersama barangkali kurang disukai karena
orang-orang Cina. Terjadilah apa yang landasan struktural yang dipakai de
disebut ”Geger Pecinan”. PB II berhasil Graaf dalam menganalisis kesamaan
meloloskan diri ke Ponorogo. Untuk kebudayaan Islam di Nusantara dengan
kembali ke singgasananya, ia meminta masyarakat muslim di Gujarat kala itu.
bantuan pasukan kompeni Belanda Orang Gujarat ini adalah para pedagang
untuk menumpas para pemberontak. yang melakukan perjalanan niaga ke
Tentu saja kompeni menuntut konsesi pelabuhan di Nusantara. Pandangan lain
yaitu wilayah kekuasaan Surakarta berkaitan dengan masuknya Islam ke
Hadiningrat di pesisir utama. Namun Nusantara ini masih banyak lagi model,
setelah pemberontak berhasil dihalau, salah satunya seperti kalangan sufi yang
istana terlanjur hancur. Karena itulah melakukan pendakwahan dan juga lewat
diputuskan untuk pindah ke Desa Solo. jalur politik (De Graaf seperti dikutip Nur
Perpindahan itu tercatat tanggal 17 Syam. Op.Cit. Hal. 63).
Februari 1746 (Depdikbut RI. 1999: 73-81).
sudah mapan, hanya saja dari tingkat masjid ini adalah pertama kali di Solo.
ekonomi tergolong menengah ke bawah. Masjid Gede Solo masih lebih muda
Mereka tetap terikat dengan masjid ini, ketimbang masjid ini. Masjid ini berdiri
di tengah banyaknya masjid di Kelurahan semasa Kraton Kartosura sebelum
Laweyan. kemudian pecah menjadi Kraton Solo dan
Yogya (Wawancara. 2 Nopember 2009).
Ada pula segelintir jamaah diminta
gurunya untuk sholat empat puluh waktu Secara umum, jamaah masjid ini
(sholat arbain) di Masjid Laweyan, karena kebanyakan berprofesi wirausaha dalam
menganggap masjid ini lain dari pada yang skala kecil, sekalipun ada juga yang
lain. Jamaah tersebut mengikuti sholat menjadi pegawai PNS, buruh pabrik, dan
di masjid ini karena tuahnya. Karena itu sebagainya. Profesi wiraswasta dijalani
dapat dikatakan, jamaah Masjid Laweyan misalnya mereka pada pagi hari kerja
ini dari berbagai macam latar belakang, di pabrik, sorenya turut membatik, atau
yang dapat dikatakan campuran dari ada juga penjahit batik. Mereka juga
berbagai kelompok dan strata sosial. kebanyakan bukan kalangan akademisi.
Mereka sebagian berasal dari lingkungan Ada pula jamaah berprofesi sebagai
Kampung Laweyan, Kampung Belukan, tukang terapi (urut). Jamaah yang
ada juga dari Kampung Bratan yang berprofesi sebagai juru pijat ini adalah
terletak bersebelahan dengan Kampung Tumon, yang tinggalnya di Ngenden,
Belukan. Selain itu juga dari daerah Sukohardjo. Ia jalani profesinya itu dengan
Cemani maupun Ngenden (keduanya cara keliling dari rumah ke rumah sesuai
adalah wilayah Sukoharjo). panggilan. Ia sering sholat di Masjid
Laweyan, tetapi malah mengaku hampir
Salah satu faktor jamaah dari daerah tidak pernah mengikuti jumatan di masjid
agak jauh dari masjid adalah mengharap itu. Sekarang ini menjadi terapis menjadi
tuah-nya masjid ini. Karena usia masjid mata pencahariannya. Untuk ini ia tidak
yang juga sudah sangat lama, banyak memasang tarif, sebab menurutnya malah
jemaah datang dari kampung yang agak rugi. Orang memberi upah tergantung
berjauhan. Jamaah seperti Tumon yang penghargaan terhadap dirinya. Terapi
juga bukan tinggal di Belukan ataupun yang ditekuninya menggunakan tenaga
Laweyan memanfaatkan masjid ini untuk prana (Wawancara. 3 Nopember 2009).
berzikir. Dengan semakin mendekatkan
diri kepada Yang Maha Kuasa, hatinya Dilihat dari segi akidah, menurut
menjadi lebih tentram. Ia melakukan keterangan dari salah satu takmir, dapat
dzikir sendiri saja. Ia mengaku datang dilihat adanya perkembangan paradigma
ke masjid tidak tentu waktunya, tetapi Islam yang sudah benar, yaitu Islam yang
ketika keinginan itu muncul, ia berangkat dari Timur Tengah. Mereka sudah peduli
ke masjid ini (wawancara dengan Tumon misalnya dengan pengaturan shof. Ia
(bukan nama sebenarnya), jamaah Masjid membandingkan dengan Masjid Makmur
Laweyah, 3 Nopember 2009). Hal seperti yang masih bertahan dengan konsep
ini juga diungkapkan Paridi (bukan lama, konsep tradisional, meskipun
nama sebenarnya) yang tinggalnya di mereka lebih dulu Islamnya (Upik
Cemani, tidak jauh dari Pondok Ngruki, Husain. Wawancara. 30 Oktober 2009).
lebih kurang 1 km jaraknya dari Masjid
Laweyan. Ia rasakan, masjid Laweyan Kebenaran akan Islam yang
memang lain. Ia membandingkan didefinisikan Islam dari “Timur Tengah”
kalau ada orang membuat masjid baru, ini disuarakan oleh takmir masjid
kekuatannya masih dimiliki masjid tua yang memang mengaku tidak pernah
seperti Masjid Laweyan ini. Baginya, mengunjungi makam leluhur raja-raja
Mataram yang terletak di belakang
masjid. Ia bahkan tidak senang dengan juga bertahlil. Musanni adalah ketua
digunakannya masjid oleh orang luar yang mahkamah pengadilan tinggi. Untuk hal
hendak masuk ke makam. Ia inginnya ini Kadir Sulaiman bertutur, ”Di sini itu
memisahkan masjid dengan makam. Ia seperti sifatnya orang Masyumi, akidahnya
juga mengaku dekat dengan kalangan kuat, tetapi tetap tunduk kepada negara. Ada
lasykar, gerombolan pemuda Islam yang juga jamaah dari Ngruki di situ. Mereka
sering melakukan sweeping di Surakarta saling berinteraksi dan ramai berdiskusi.
dan sekitarnya, dan pernah ditawari jasa Namun setelah itu baik lagi.” (Wawancara.
lasykar untuk melakukan aksi sweeping di 28 Oktober 2009).
Belukan, namun ia masih berkeberatan
akan dampak pasca sweeping itu. Ia malah Sulaiman menambahkan, di
tengah menjalin pertemanan dengan Laweyan juga terdapat salah seorang
beberapa kaum Santri baru di Belukan. ustadz yang sekarang aktif di Masjid
Baiturrahim, adalah keras dalam
Akan tetapi kebenaran Islam pemahaman secara akidah. Diketahui
dengan mengacu pada “Islam Timur juga ia adalah mantan pengikut Warsidi di
Tengah” itu tidak serta merta menjadi Lampung. Akan tetapi menurut Sulaiman,
pemahaman dominan di masjid ini. untuk urusan furuiah, perbedaan cabang
Terdapat warna lain dari jamaah masjid ini keIslaman, sosok ini toleransinya cukup
yang berbeda dengan pemahaman salah tinggi.
satu informan di atas. Jamaah masjid ini
adalah masyarakat yang heterogen baik Dengan meminjam analisis simbol
dalam sisi status sosial, ekonomi, maupun dalam ragam fenomenologi dapat
paham keagamaan. Karena itu, toleransi dipinjam di sini untuk melihat fenomena
lebih diutamakan ketimbang fanatisme yang tampak di Masjid Laweyan ini.
terhadap masing-masing kelompok atau Dalam disiplin fenomenologi, essensi
golongan. (wessen) selalu ditentukan oleh apa yang
tampak (erschinungen) (Erricker, Clive,
Betapa toleransi telah menjadi 1999: 110).
bagian dari keseharian hidup masyarakat
yang menjadi jamaah di masjid ini Beberapa simbol material yang
terbetik kasus salah satu sosok penting tampak menonjol di masjid ini adalah
di Laweyan, bernama Maulana serambi, yang menunjukkan tipe masjid
Muhammad (nama sebenarnya ada perpaduan antara kultur lokal dan
pada peneliti), pernah menjadi anggota Islam. Juga ada kentongan dan bedug,
DPRD Surakarta, yang juga menantunya yang masih berdiri tegak, sekalipun
Amir, SH. pengasuh Pesantren Ngruki. dibunyikan setahun sekali. Menunjuk
Maulana Muhammad ini pernah menjadi pada dua simbol material ini sebenarnya
wakil Kadir Sulaiman di dalam Takmir mengacu pada unsur kelokalan masjid
Masjid Laweyan. Pemahaman umum ini. Sampai hari ini, simbol material ini
akan mengarah pada figur satu ini yang masih berdiri kokoh, sekalipun ada reaksi
mengusung Islam radikal, terkait dengan dari sebagian jamaah yang dibuktikan
latar belakang Ngruki-nya, namun dengan tidak lagi dipukulnya kentongan
menggelikannya ia ternyata juga mau maupun bedug tersebut, kecuali pada
ikut tahlilan yang identik dengan pihak waktu lebaran.
yang berbeda dengan Ngruki. Selain itu, Pada simbol perilaku, dapat dilihat
ketika membaca sholawat juga menyebut adanya azan sholat Jumat yang dua kali,
sayyidina. Menurut Kadir Sulaiman, Kakek sholat Rowatib yang tidak menggunakan
Maulana Muhammad, Mbah Musanni, wirid secara jahr (keras), dan tidak berdoa
adalah pengurus Muhammadiyah, tetapi qunut waktu subuh. Azan sholat Jumat
sebanyak dua kali menunjuk pada kultur Karena itu Islam di Jawa adalah Islam
keberagamaan yang banyak dilakukan yang kotekstual dan akulturatif. Bahwa
warga nahdliyin, sementara tidak berdoa adanya doa dan pemberian makanan
qunut dan tidak berwirid secara jahr adalah anjuran dalam Islam (Syam, 2005:
adalah umum dimaklumi sebagai bagian 21-22).
dari kultur warga Muhammadiyah.
Uniknya simbol perilaku yang aneka Sekalipun banyak koreksi terhadap
warna ini masih berjalan hingga sekarang. Geertz, yang agak mutakhir dilakukan
oleh Bambang Pranowo (2009), dalam
Atas perbedaan dan keragaman kenyataannya pandangan Geertz terutama
di atas, sejauh ini hampir tidak pernah terhadap tipologi Santri dan Abangan
terjadi persolan yang menjurus konflik sulit dimentahkan. Hal ini apalagi jika
horisontal yang disulut dari perbedaan melihat hubungan antara Santri dan
mengenai paham KeIslaman. Hampir Abangan yang sama-sama eksis dan
pasti, sekalipun tetap menjunjung tinggi pernah begitu keras persinggungannya
pada penerapan syariah Islam, tetapi di tahun 1940-an hingga 1970-an. Hefner
mereka paling menghindar dari cara- (1987: 533), sebagai salah satu ”pembela”
cara kekerasan. Begitu pula jamaah Geertz mengkategorikan Abangan ke
yang cenderung dengan kelokalannya dalam Javanist Muslim, yang secara tradisi
juga masih bertahan. Demikianlah digambarkan sebagai perpaduan sinkretis
keunikan masjid ini yang sejauh ini berbagai unsur antara lain animis, Hindu-
dianggap menjaga netralitas, atau Buddhis, serta elemen-elemen Islam
tepatnya mengakomodir berbagai unsur yang berkembang dan meluas di tengah
perbedaan pemahaman keagamaan para masyarakat pedesaan Jawa. Adapun
jamaahnya. Santri secara tradisi digambarkan sebagai
varian dalam Islam yang lebih ortodoks.
Kelompok terakhir ini berkembang
Santri-Abangan: Dari Ketegangan secara khusus di kalangan pedagang
Hingga Bertoleran dan petani kaya. Hanya saja penggunaan
istilah Abangan sendiri, Hefner kurang
Kajian tentang tipologi sependapat, dengan alasan di antaranya
keberislaman orang Jawa telah ditempuh di sebagian wilayah Jawa, istilah tersebut
oleh Clifford Geertz dalam disertasinya bermakna pejoratif dan sangat jarang
yang terbitkan dengan judul The Religion disebutkan oleh penganutnya sendiri
of Java (1961). Geertz yang membagi (Javanist muslim). Karena itu Hefner
secara tegas keberagamaan orang Jawa lebih memilih istilah Islam Jawa (Javanese
yang cenderung sinkretik dalam cirinya Muslim), atau Kejawen (Javanist) atau
yaitu Santri, Abangan dan Priayi itu mengutip Koentjaraningrat (1985: 316),
diuji kembali oleh Woodward. Dalam disebut Agama Jawa (Javanese Religion).
tulisannya mengenai Islam di pusat
kekuasaan Jawa, yaitu Kraton Yogyakarta, Selebihnya, menurut Hefner (1987:
ternyata bukan gambaran Hindu dan 534), pemilahan antara Santri (Ortodox
Islam yang sinkretik, melainkan hubungan Muslim) dan Abangan (Javanese Muslim),
Islam dengan budaya lokal yang bersifat sejak lama banyak digunakan untuk
kompatibel. Berdasarkan penelusuran menguatkan kategori dalam menganalisis
terhadap teks Islam didapatkan data aspek politik dan agama masyarakat
bahwa berbagai ritual di pusat kerajaan Jawa. Menurut Benda (1983), pemilahan
Islam Jawa secara signifikan terkait ini digunakan untuk menjelaskan pola-
dengan tradisi Islam universal, yang pola kompetisi elit di era sebelum
bersumber dari teks Islam itu sendiri. perang (pre-war), jaman Jepang, dan
dan posisi lainnya, oleh para aktivis pernah menerima bantuan apapun dari
organisasi Syiar Islam dimunculkanlah pemerintah. Pembangunan jalan adalah
NU, Muhammadiyah dan Syarikat Islam swadaya masyarakat Laweyan sendiri.
di wilayah ini. Pemilihan orang-orang
yang masuk ke dalam organisasi Islam Dinamika lain yang menarik
tersebut berdasarkan kepantasan semata. dalam masyarakat Laweyan di waktu
Karena lebih menyukai praktik tahlil-an lalu, terutama hal ini bertambat di
misalnya, maka ditempatkanlah mereka pihak nasionalis, bersemayamlah
ke dalam ormas NU. Begitu pula yang keyakinan kolektif bawah sadar yang
ditempatkan ke Muhammadiyah dan menjadi kesepakan terwariskan (habitus,
seterusnya. Pilihan berkecimpung ke meminjam Bourdieu), bahwa jika sudah
dalam ormas keislaman ini merupakan mencapai usia 40, masa ”jahiliyah”
langkah strategis semata. Karena itu keduniawian secara total ditinggalkan.
ketika di daerah lain misalnya persoalan Selanjutnya mereka melaksanakan ibadah
amaliyah ibadah yang bersifat furuiyah, haji dan sepulangnya, perilaku ”jahiliyah”
seperti doa qunut dan jumlah rakaat sebelumnya dilenyapkan. Mereka mulai
tarawih diributkan, masyarakat Laweyan memakai kopyah putih dan mengaji
telah melewati perdebatan itu. Untuk hal secara benar. Mereka ini umumnya
ini, Kadir Sulaiman menuturkan, adalah kelas menengah, pengusaha batik
dan biasanya tidak mengenyam dunia
”Di sini, ada doa qunut atau tidak pesantren. Namun, kecenderungan ini
tergantung imam. Kalau imamnya memudar sampai genarasi tahun 1990-
memakai doa qunut, berarti sholat an, sejak pendidikan agama dilaksanakan
menggunakan doa qunut. Sebaliknya secara massif di sekolah-sekolah.
jika imamnya tidak mengunakan
qunut, berarti sholat tidak berqunut. Dua kekuatan Santri dan Abangan-
Hal ini lumrah di sini. Ini terjadi di nasionalis kelas menengah ini masing-
masjid yang ada di Kampung Laweyan masing hidup karena didukung kuatnya
serta Masjid Laweyan sendiri. Bahkan pendanaan sendiri (self own funding).
di sini, pengurus Muhammadiyah Oleh sebab itulah, dalam hal pendanaan
sendiri juga bertahlil.” (Wawancara. ini, kalangan Santri biasanya memberi
28 Oktober 2009) dukungan kepada gerakan Islam yang
lebih revolusioner, seperti contohnya
Strategi membentuk dan memberi bantuan pada tentara Islam
memperbanyak ormas Islam oleh Syiar yang tergabung dalam Brigade Hizbullah
Islam kala itu juga untuk menaikkan di jaman revolusi. Kelompok ini di
pengaruh kalangan Santri seperti bawah komando Mayor Munawar,
disebutkan di atas, agar kalangan Santri yang kemudian dihabisi karir dan
tampil di jabatan strategis, misalnya kelompoknya oleh Mayor Soeharto (Kadir
sebagai ketua RT-RW di kelurahan ini. Sulaiman. Wawancara. 28 Oktober 2009).
Syiar Islam ini dalam rapatnya juga
menyinggung persoalan sosial politik Peta sebelum Orba hingga akhir
untuk sekup wilayah Kelurahan Laweyan. Orba memang memasukkan Laweyan
ke dalam wilayah hijau, sementara di
Dukungan kekuatan industri wilayah Pajang tergolong wilayah merah.
rumahan batik ditambah tingginya tingkat Sampai akhir Orde Baru, dinamika
melek politik warga Laweyan membuat masyarakat di kelurahan Pajang, maupun
kelompok Santri ini cukup perkasa kampung Belukan di dalamnya, hampir
melawan negara. Di era Orba, Golkar tidak tidak berubah. Kekuatan Abangan itu
pernah menang di daerah ini. Karena itu menghimpun secara politik ke dalam
pula pada waktu Orba, daerah ini tidak PDI. Seiring perubahan situasi, terutama
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1
92 Zaenal Abidin Eko Putro
pasca peristiwa 1965 yang melenyapkan peminum, dan orang-orang yang minum-
sebagian keluarga mereka, warga di minuman keras di acara perkawinan di
Kelurahan Pajang bagian timur terutama rumahnya itu tidak lain adalah teman-
generasi mudanya mulai berubah. Mereka teman minumnya yang datang dari
mulai peduli dan ingin memperdalam berbagai kawasan. Komunalisme dalam
Islam. miras ini menjadi pemandangan biasa
di wilayah ini. Banyak peserta didik
TPA Masjid Laweyan belakangan ini
Pasca Reformasi: Relatif Stagnan yang berasal dari luar wilayah Belukan.
Kebanyakan justru berasal dari Desa
Melihat realitas belakangan ini, Ngenden, Kecamatan Grogol, Kabupaten
tidak dapat ditampik bahwa nuansa Sukoharjo. Daerah yang disebut
religius mulai terlihat di Kampung belakangan ini jaraknya cukup jauh,
Belukan. Satu musholla kecil telah berdiri sekitar 1 km dari masjid Laweyan.
tahun 2004 lalu di wilayah ini, tepatnya
didirikan di SD Laweyan yang letaknya Selain itu, masalah dihadapi
di Kampung Belukan. Di musholla itu, takmir Masjid Laweyan terkait dengan
dalam tiga tahun terakhir ini malah kegiatan baca al Quran. Ada orang yang
sudah melakukan penyembelihan hewan bacaannya bagus, tetapi ketika disodori
kurban, dan pengumpulan zakat fitrah. al Quran, dijawab “engko dhisik” (nanti
Namun, sayangnya keberadaan musholla dulu). Bahkan, program tadarrus al
itu dianggap masih belum maksimal Quran setiap Kamis malam, baru diikuti
dalam menarik masyarakat Belukan 4 orang. Di sini berarti partisipasi jamaah
untuk lebih giat lagi dalam kegiatan untuk aktif dalam menggiatkan belajar
keagamaan. agama di masjid dianggap masih rendah
(Wakhid Susilo. Wawancara. 25 Oktober
Belum maksimalnya musholla 2009 dan Adi Hernawa (bukan nama
baru itu dipengaruhi masyarakat sebenarnya), Imam Masjid Laweyan.
Laweyan yang tinggi tingkat pemahaman Wawancara. 29 Oktober 2009).
agamanya, tetapi terlalu asyik dengan
dunia mereka sendiri. Medan perjuangan Untuk menggambarkan kebera-
berat justru di sekitar Masjid Laweyan daan masyarakat Belukan yang terletak
ini, yang mencakup masyarakat Belukan di sebelah barat masjid, informan lain
dengan Abangan-nya. Istilah ”abangan” yang juga menjabat takmir masjid ini
ini dimunculkan oleh informan Wakhid menyitir sebuah ayat al Quran, yang
Susilo (bukan nama sebenarnya), ustadz menyiratkan hati manusia berubah-ubah.
TPA Masjid Laweyan (Wawancara. Menurutnya, dulu daerah di sebelah
25 Oktober 2009). Abangan dalam barat masjid ini dikenal sebagai kawasan
pengertian pada masyarakat Belukan, “Harlem”-nya Amerika. Anehnya ketika
betapa “jauhnya” mereka dari masjid. mereka kesulitan hidup, terpanggil
Saat penulis melakukan Wawancara untuk lari ke masjid. Lebih aneh lagi,
dengan Widodo, seorang jamaah, tanggal tidak sedikit dari yang sudah ke masjid
27 Oktober 2009, ia menyampaikan keluar untuk bergabung dengan para
bahwa pada bulan Syawal atau Bulan pemabuk lagi. Begitu pula, ada jamaah
September 2009, tidak jauh dari masjid yang tekun, tetapi orangtuanya
masjid diselenggarakan sebuah pesta beragama Nasrani. Sebaliknya, ada pula
perkawinan. Dalam pesta perkawinan itu, yang dahulu rajin di masjid, lalu menjadi
selain menghadirkan hiburan dangdut, pelaku kriminal.
ternyata juga menjadi ajang permirasan.
Kegiatan para ibu pada pengajian
Rupanya tuan rumah dikenal seorang
setiap Senin sore dan Jumat sore juga terasa
kelompok Abangan (Javanese Muslim). saling menghargai satu sama lain cukup
Hanya saja, proses penarikan (kembali) tinggi. Hal ini seperti mengesahkan
untuk menjadi Santri di daerah sekitar kembali pembagian tipologi keagamaan
Masjid Laweyan ini berjalan dengan masyarakat Jawa seperti dalam gambaran
sangat merambat. Geerzt. Di samping itu, faktor usia dan
status masjid menjadi penting untuk
Toleransi yang terbangun antardua dapat tetap memainan peranannya dalam
komunitas tersebut yang di banyak tempat meredupkan ketegangan yang mungkin
menyuguhkan tendensi ketegangan muncul terhadap kedua komunitas
hingga konflik, di wilayah sekitar Masjid tersebut.
Laweyan berbeda. Meski hubungan
langsung belum terjadi, namun rasa
Daftar Pustaka
Sumber Internet :
http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/ironi-museum-samanhudi-57480.html