Anda di halaman 1dari 16

Penelitian

80 Zaenal Abidin Eko Putro

Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi


Masjid Laweyan, Surakarta

Zaenal Abidin Eko Putro


Politeknik Negeri Jakarta
Email : zaenalaep@yahoo.com
Naskah diterima redaksi tanggal 27 Februari 2015, diseleksi 7 April 2015 dan direvisi 20 April 2015

Abstract Abstrak

Many scholars carry out studies on the Studi tentang keberadaan kaum Santri dan
existence of Santri and Abangan in Java. Abangan di Jawa telah banyak dilakukan
Various books and journals discuss those para sarjana. Buku dan jurnal yang
studies but they just emphasize on debate mengupas hal ini juga berserakan di banyak
between Islam and its local context. This tempat. Akan tetapi, kebanyakan buku dan
jurnal itu mengupas peristiwa masa lalu
paper aims to describe the relationship
ketika Islam dan konteks lokalnya menjadi
between Santri and Abangan that can build
perdebatan tajam. Paper ini bertujuan untuk
a tolerance in certain area in Java. This menyuguhkan relasi kaum Santri dan kaum
study employs qualitative approach and Abangan belakangan ini yang ternyata
the data is collected through observation, dapat berjalan berdampingan. Penelitian
document, and interview to some Muslims kualitatif ini dengan mengutamakan
in Laweyan Mosque, Surakarta. The study pengumpulan datanya melalui teknik,
shows that Abangan and Santri do not have observasi, studi dokumen dan wawancara
restriction. This condition can hamper the terhadap jamaah Masjid Laweyan Surakarta
development of Islamic radicalism in this ini memperlihatkan bahwa relasi antara
ancient mosque. Abangan dan Santri masih relatif cair.
Kondisi inilah yang turut menghalangi
Keywords: Santri-Abangan, Laweyan berkembangnya paham Islam radikal di
Mosque, Negara Mosque, Religious masjid kuno ini.
Activities, and Tolerance
Kata kunci: Santri-Abangan, Majid Laweyan,
Masjid Negara, Aktivitas Keagamaan, dan
Toleransi

Pendahuluan Azra, dan 1994 & 2002). Di samping itu,


juga telah banyak analisis mengenai relasi
Tulisan mengenai awal mula ketegangan antara Santri dan Abangan
masuknya Islam di Jawa dan tipologi di Jawa di masa lalu serta sedikit di
keberislaman masyarakat Jawa telah Indonesia era Reformasi (Kahin, 1952; Jay,
demikian berserakan yang menyisir 1963; Ricklefs, 1979; Benda, 1983; Pranwo,
berbagai varian, mulai dari proses 2009). Istilah Abangan dan Santri ini lalu
masuknya Islam ke Jawa, hingga dikaitkan dengan peristiwa Madiun 1948,
beragamnya tipikal keberislaman orang juga peristiwa kekerasan 1965, hingga
Jawa (Geertz, 1960; De Graaf, 1963; elite politik Orde Baru awal yang diisi
Hefner, 1983 & 1985; Steenbrink, 1990; kelompok Abangan.

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 81

Setelah era Reformasi, seiring itu, daerah ini merupakan kantong milisi
berubahnya situasi sosial dan politik, Hizbullah di era perjuangan. (http://
menarik untuk melihat kembali keterkaitan www.edisicetak.joglosemar.co/berita/
antar kedua kelompok ini dengan ironi-museum-samanhudi-57480.
menitikberatkan pada aspek lokal, yang html, diakses 20 Februari 2015).
mengkhususkan pada sebuah komunitas
kecil yang berpusat pada sebuah masjid. Alasan lainnya, Laweyan yang
Disertai upaya mengungkap konteks dikenal sebagai basis kaum Santri terletak
sosial dari masyarakat yang diteliti. bersebelahan dengan daerah Belukan
Menurut Marvasti, salah satu dimensi yang termasuk Kelurahan Pajang, lokasi
dari penelitian etnografi menurut bekas Kerajaan Pajang tempo dulu,
Marvasti adalah memperhatikan konteks yang mana pernah dikenal sebagai basis
sosial pada saat pengumpulan data (Amir simpatisan kelompok terlarang di tahun
B. Marvasti, 2004: 36), khususnya tentang 1960-an. Tidak ketinggalan pula, alasan
pemahaman keislaman jamaah masjid, penampilan sarana fisik juga tidak
paper ini mencoba menyorot relasi kedua dapat dilewatkan, bahwa konstruksi
kelompok ini. Titik berangkatnya adalah rumah para juragan batik yang berpagar
situs keagamaan, yaitu sebuah masjid tinggi terutama di Kampung Laweyan,
kuno Masjid Laweyan, yang terletak di menyiratkan rasa ketidaknyamanan
wilayah Kota Surakarta. secara sosial, meskipun barangkali
sekarang kadarnya menurun.
Untuk membahas relasi antara
kelompok santri dan abangan
seperti yang dijumpai dalam hasil Metode Penelitian
penelitian, artikel ini meminjam teori
mutikulturalisme yang berkembang Untuk dapat menyelami
antara lain di Kanada. Reitz (2009: 1) dinamika Santri-Abangan ini, penulis
menyebutkan, multikulturalisme sebagai menggunakan pendekatan wawancara
filsafat sosial dan dapat juga berbentuk dan observasi, sebagaimana kaidah
kebijakan mengarah pada sebuah upaya dalam penelitian kualitatif. Penulis juga
untuk membangun kohesivitas sosial berusaha menggambarkan dinamika
berdasarkan kelompok etnis dan budaya tersebut melalui sketsa gambar sehingga
yang berbeda, lebih baik adalah dengan dinamika yang dimaksud semakin jelas.
mengakui serta menghargai perbedaan
Penelitian dijalankan dengan
yang ada. Langkah ini menjauhkan dari
menggunakan metode kualitatif, dengan
upaya penyempitan perbedaan atau
menggunakan teknik pengumpulan
bahkan merangkum semua kelompok
data melalui wawancara, observasi dan
dalam satu kesatuan.
studi literatur. Dalam penelitian yang
Terdapat beberapa alasan mengapa dilakukan, jamaah, pengurus, ustad
memilih Masjid Laweyan. Masyarakat yang aktif di masjid tersebut dan juga
Laweyan dikenal lama sebagai basis masyarakat yang menetap di sekitar
industri rumahan (home industry) batik, masjid dijadikan subjek penelitiannya.
terutama jenis tulis, dan sejak 2006 Observasi dilakukan selama penelitian
kampung ini dicanangkan sebagai terutama terhadap kegiatan keagamaan
Kampung Batik. Selain itu secara historis- dan simbol-simbol keagamaan dan tidak
politis, Laweyan pernah dikenal sebagai lupa berbagai sudut bangunan masjid
basis tokoh pergerakan kemerdekaan yang memiliki pemaknaan yang merujuk
dengan munculnya Samanhudi, yang pada nilai-nilai keagamaan. Observasi
bersama-sama HOS. Tjokroaminoto juga dilakukan terhadap kehidupan
mendirikan Syarikat Islam (SI). Selain masyaraat sekitar masjid.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1


82 Zaenal Abidin Eko Putro

Hasil dan Pembahasan menyingkir ke daerah Tembayat, Klaten.


Di situlah akhir cerita Kerajaan Pajang,
Sekilas Masjid Laweyan, Surakarta tidak tercatat keberlanjutan generasi yang
Masjid ini menurut sejarah lisan menguasai Kerajaan Pajang tersebut,
berdiri tahun 1546 dan dipandang selain beberapa raja kecil yang tunduk
masjid tertua di Surakarta. Sebelum pada Mataram. Episode selanjutnya
menjadi masjid, adalah sebuah bangunan adalah episode Mataram di bawah
panggung, tempat persembahyangan Panembahan Senopati (Depdikbut RI,
agama Hindu Jawa di bawah pengaruh 1999: 114-116). Ia kemudian menjadi
Ki Ageng Beluk. Konon, pada waktu itu raja pertama Mataram dengan gelar
terjadilah pertemuan Ki Beluk dengan Panembahan Senopati. Istananya saat
tokoh lain, yaitu Ki Ageng Henis. Nama itu masih di Kotagede, belum pindah ke
yang disebut terakhir dikenal sebagai Kartosura.
tokoh Islam. Tempat pemujaan itu Masjid Laweyan dengan bentuknya
kemudian diserahkan Ki Beluk kepada sekarang ini atas prakarsa Susuhunan
Ki Ageng Henis yang lantas dirubah Pakoe Boewono (PB) X sekitar tahun
fungsinya menjadi masjid. Versi lain 1850-1875 (Wawancara dengan Bela
mengatakan, dulu Ki Ageng Beluk Alaf (bukan nama sebenarnya), Ketua
telah masuk Islam sebelum kemudian Perkumpulan Kampung Batik Laweyan,
menyerahkan tempat itu kepada Henis. Dosen Arsitektur UMS serta Ketua
Masih menurut sejarah lisan, Ki Pengurus Ranting Muhammadiyah
Ageng Henis adalah leluhur dari para Laweyan. 24 Oktober 2009). Bangunan
raja Mataram Islam. Diceritakan bahwa, lama masih berupa rumah panggung.
Ki Ageng Henis adalah putra dari Ki Untuk renovasi itu, saka (tiang) serambi
Ageng Sela, tokoh tempo dulu yang akrab dahulu merupakan bekas tiang pendapa
dengan legenda penangkap petir yang Kraton Kartosuro. Sebelumnya, Kraton
menyambarnya. Disebut leluhur kerajaan Kartosuro terlebih dahulu pindah ke Desa
Mataram, Ki Ageng Henis merupakan Solo, kemudian tiang-tiangnya dipakai
ayahanda dari Ki Pemanahan. Ki untuk masjid Agung Surakarta. Ketika
Pemanahan, atas jasa baiknya membantu Masjid Agung Surakarta direnovasi di
Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya, jaman Raja PB X, saka-saka-nya kemudian
Raja Pajang) dalam menumpas Aria digunakan untuk membangun serambi
Penangsang dari Kerjan Jipang, ia Masjid Laweyan (Wawancara dengan
diberi hadiah alas Mentaok di wilayah Bela Alaf [bukan nama sebenarnya],
pesisir selatan. Kepadanya disyaratkan Ketua Perkumpulan Kampung Batik
tidak boleh mendirikan kerajaan. Akan Laweyan, Dosen Arsitektur UMS serta
tetapi, lain orangtua lain anak. Oleh Ketua Pengurus Ranting Muhammadiyah
anaknya, Sutawijaya, kesetiaan ayahnya Laweyan. 24 Oktober 2009).
itu dipudarkan, dan ia membangkang Sampai dengan tahun 1925, masjid
terhadap Kerajaan Pajang. Ia dianggap yang dipakai jumatan di Surakarta,
membangkang, Sultan Hadiwijaya dan hanya 4 masjid; yaitu Masjid Laweyan
pasukannya saat itu sebenarnya hendak bersama dengan Masjid Agung, Masjid
mendatangi Sutawijaya. Akan tetapi, Mangkunegaran, serta Masjid Kepatihan.
ketika hendak menyeberangi Kali Opak Kemudian di tahun 1925 berdirilah
di daerah Prambanan, kali itu dipenuhi Masjid Tegalsari, masjid “swasta” yang
lahar serta bebatuan dari letusan Gunung didirikan oleh individu di luar kraton
Merapi, sehingga Hadiwijaya dan untuk pertama kalinya. Masjid tersebut
pasukannya tidak dapat menyeberang. didirikan oleh H. Safawi, ayahanda Abdul
Hadiwijaya dan pasukannya kemudian

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 83

Rozak Shafawi, pimpinan Pesantren Al perpustakaan, sementara di sebelah


Muayyad, Surakarta yang kala itu hanya kanan dari mihrab diperuntukkan tempat
dipakai untuk sholat jumat saja. H. Safawi wudlu serta toilet. Di belakang masjid
adalah seorang Santri dari Pesantren terdapat makam kraton, sementara
Termas, Pacitan dan belakangan menjadi di depan dan di sebelah kiri masjid
juragan batik. Lokasi masjid ini tidak jauh merupakan jalan umum. Terdapat dua
dari Kampung Laweyan. pintu utama di Masjid Laweyan, yaitu
pintu serambi dan pintu tengah. Pintu
Untuk keperluan itu, pihak masjid tengah selalu dikunci apabila di masjid
baru ini harus minta izin terlebih dahulu tidak ada aktivitas. Sebaliknya, pintu
kepada pihak kraton. Hal ini tidak lain serambi lebih sering terbuka.
sebab empat masjid di atas dikelola
kraton dan mengharuskan adanya Sewajarnya masjid dengan ketuaan
40 jamaah, yang setiap setelah sholat bangunannya, mimbar khutbah yang
jumat para jamaah diberikan uang oleh terletak di ruangan masjid, terbuat
kraton. Atas persetujuan dipakainya dari ukiran kayu antik yang terukir
Tegalsari, oleh kraton diberi syarat untuk sedemikian rupa dan masih tertuliskan PB
dapat menghadirkan 40 orang dan juga X. Empat tiang dari kayu jati menyangga
menjamin 40 orang tersebut (Wawancara dengan kokoh bangunan masjid yang
dengan Kadir Sulaiman, tanggal 28 berlantaikan ubin berwarna putih itu.
Oktober 2009). Bagian depan masjid, di belakang mihrab

Gambar Masjid Laweyan, terletak di Kampung Belukan, Kelurahan Pajang, Laweyan,


Surakarta (Tampak dari depan. Renovasi dan pengecatan terakhir Agustus 2009)

Arsitektur Jawa dan Gujarat telah ditutupi karpet panjang. Adapun


di pojok belakang sebelah kanan dari
Luas seluruh bangunan masjid mihrab diberi sekat untuk perempuan
ini sekitar 700-an meter persegi dengan mengikuti sholat jamaah.
panjang 25 meter dan lebar 35 meter.
Masjid ini terdiri dari bagian dalam dan Adapun di ruangan serambi lebih
serambi. Di samping sebelah kiri dari terbuka. Ruangan serambi itu berubin
“mihrab” digunakan kantor TPA serta warna putih dan enam tiang penyangga

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1


84 Zaenal Abidin Eko Putro

berdiri kokoh. Di bagian depan terdapat Adanya serambi serta bedug dan
bedug dan kentongan, serta kotak amal kentongan ini digolongkan sebagai masjid
(lihat denah). dengan ciri khas Indonesia, hal mana

Keterangan : menurut de Graaf berbeda dengan dunia


Mihrab Muslim lainnya yang umumnya memiliki
Mimbar menara. Di dunia muslim lainnya,
TPA/TPQ kumandang azan diperdengarkan dari
Sholat Putri ketinggian menara, sementara masjid
Tempat Wudlu & Toilet khas Tanah Air menggunakan bedug
Halaman sebagai panggilan sholat.
Makam Kiai Henis
Makam Ki Beluk It is striking that though minarets
Rumah Penjaga Makam Kraton are so prevalent elsewhere in the
Aula/Joglo Muslim world, the Indonesian
Bedug & Kentongan mosque originally had no minaret.
So one wonders, where the daily call
to prayer could take place. Perhaps
from the top of the building. It is also

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 85

remarkable, that Indonesians often dari wilayah muslim di negeri lain, yakni
open the call to prayer by the beating Gujarat, termasuk pula batu nisannya.
of a large drum, the bedug (De Graaf,
Ibid. Hal. 2). It is remarkable, that the oldest
Muslim graves such as those at
Makam kraton merupakan tempat Pasei in North Sumatra and at
peristirahatan terakhir keluarga kraton. Gresik (Grissee) in Java display a
Menurut sejarah lisan, salah satu Raja strong resemblance to similar graves
Surakarta PB II dimakamkan di tempat at Gudjarat. In many cases the stones
itu. Selain itu juga dimakamkan kerabat themselves were made overseas and
kraton yang lain. Ki Ageng Henis dan Ki sent ready for use to Indonesia. One
Beluk juga dimakamkan di sarean (makam, tomb-stone even showed a damaged
jawa) itu. Sebagaimana diketahui, PB II Hindu representation on the back and
lahir 1711, putra Amangkurat IV. Naik therefore was probably robbed from a
tahta tahun 1726, dan memerintah hingga heathen temple. This is an indication
tahun 1749. Pada saat pemerintahannya, that we might go and seek for the
Kraton Mataram di Kartosuro mengalami pattern of the Indonesian mosque in
kerusakan akibat pemberontakan orang- the same country these tombstones
orang Cina. Orang-orang Cina memusuhi came from (De Graaf. Op.Cit. hal. 4).
kraton karena dianggap berpihak
kepada Kompeni Belanda yang telah Masjid Laweyan dengan makam
menghabisi orang-orang Cina di Batavia kratonnya adalah menjadi bukti sejarah
pada tahun 1740. Di saat yang sama, proses perembesan kebudayaan Islam
kraton tidak pernah luruh dari konflik dari luar masuk ke Indonesia. Dengan
internal mengenai perebutan tahta demikian semakin menegaskan bahwa
kerajaan. Salah satu keluarga bangsawan proses masuknya Islam sangat kuat
kraton, Garendi (Sunan Kuning) turut dipengaruhi oleh kebudayaan Islam
serta dalam pemberontakan terhadap dari Asia Selatan. Pandangan ini
kraton Mataram di Kartosura bersama barangkali kurang disukai karena
orang-orang Cina. Terjadilah apa yang landasan struktural yang dipakai de
disebut ”Geger Pecinan”. PB II berhasil Graaf dalam menganalisis kesamaan
meloloskan diri ke Ponorogo. Untuk kebudayaan Islam di Nusantara dengan
kembali ke singgasananya, ia meminta masyarakat muslim di Gujarat kala itu.
bantuan pasukan kompeni Belanda Orang Gujarat ini adalah para pedagang
untuk menumpas para pemberontak. yang melakukan perjalanan niaga ke
Tentu saja kompeni menuntut konsesi pelabuhan di Nusantara. Pandangan lain
yaitu wilayah kekuasaan Surakarta berkaitan dengan masuknya Islam ke
Hadiningrat di pesisir utama. Namun Nusantara ini masih banyak lagi model,
setelah pemberontak berhasil dihalau, salah satunya seperti kalangan sufi yang
istana terlanjur hancur. Karena itulah melakukan pendakwahan dan juga lewat
diputuskan untuk pindah ke Desa Solo. jalur politik (De Graaf seperti dikutip Nur
Perpindahan itu tercatat tanggal 17 Syam. Op.Cit. Hal. 63).
Februari 1746 (Depdikbut RI. 1999: 73-81).

De Graaf dengan mengutip Karakter Ke-Islaman Jamaah Masjid


J.P.Moquette (1912), .R. van Hoevell Laweyan
(1847), serta J. Burgess (1896) menandai
masjid yang bergandengan dengan Hampir dapat dikatakan, bahwa
makam ini bukanlah produk lokal, jamaah dewasa di masjid ini sekarang
melainkan rembesan dari luar, tepatnya adalah didikan TPA di tahun-tahun
1970-an/1980-an. Dilihat dari segi akidah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1
86 Zaenal Abidin Eko Putro

sudah mapan, hanya saja dari tingkat masjid ini adalah pertama kali di Solo.
ekonomi tergolong menengah ke bawah. Masjid Gede Solo masih lebih muda
Mereka tetap terikat dengan masjid ini, ketimbang masjid ini. Masjid ini berdiri
di tengah banyaknya masjid di Kelurahan semasa Kraton Kartosura sebelum
Laweyan. kemudian pecah menjadi Kraton Solo dan
Yogya (Wawancara. 2 Nopember 2009).
Ada pula segelintir jamaah diminta
gurunya untuk sholat empat puluh waktu Secara umum, jamaah masjid ini
(sholat arbain) di Masjid Laweyan, karena kebanyakan berprofesi wirausaha dalam
menganggap masjid ini lain dari pada yang skala kecil, sekalipun ada juga yang
lain. Jamaah tersebut mengikuti sholat menjadi pegawai PNS, buruh pabrik, dan
di masjid ini karena tuahnya. Karena itu sebagainya. Profesi wiraswasta dijalani
dapat dikatakan, jamaah Masjid Laweyan misalnya mereka pada pagi hari kerja
ini dari berbagai macam latar belakang, di pabrik, sorenya turut membatik, atau
yang dapat dikatakan campuran dari ada juga penjahit batik. Mereka juga
berbagai kelompok dan strata sosial. kebanyakan bukan kalangan akademisi.
Mereka sebagian berasal dari lingkungan Ada pula jamaah berprofesi sebagai
Kampung Laweyan, Kampung Belukan, tukang terapi (urut). Jamaah yang
ada juga dari Kampung Bratan yang berprofesi sebagai juru pijat ini adalah
terletak bersebelahan dengan Kampung Tumon, yang tinggalnya di Ngenden,
Belukan. Selain itu juga dari daerah Sukohardjo. Ia jalani profesinya itu dengan
Cemani maupun Ngenden (keduanya cara keliling dari rumah ke rumah sesuai
adalah wilayah Sukoharjo). panggilan. Ia sering sholat di Masjid
Laweyan, tetapi malah mengaku hampir
Salah satu faktor jamaah dari daerah tidak pernah mengikuti jumatan di masjid
agak jauh dari masjid adalah mengharap itu. Sekarang ini menjadi terapis menjadi
tuah-nya masjid ini. Karena usia masjid mata pencahariannya. Untuk ini ia tidak
yang juga sudah sangat lama, banyak memasang tarif, sebab menurutnya malah
jemaah datang dari kampung yang agak rugi. Orang memberi upah tergantung
berjauhan. Jamaah seperti Tumon yang penghargaan terhadap dirinya. Terapi
juga bukan tinggal di Belukan ataupun yang ditekuninya menggunakan tenaga
Laweyan memanfaatkan masjid ini untuk prana (Wawancara. 3 Nopember 2009).
berzikir. Dengan semakin mendekatkan
diri kepada Yang Maha Kuasa, hatinya Dilihat dari segi akidah, menurut
menjadi lebih tentram. Ia melakukan keterangan dari salah satu takmir, dapat
dzikir sendiri saja. Ia mengaku datang dilihat adanya perkembangan paradigma
ke masjid tidak tentu waktunya, tetapi Islam yang sudah benar, yaitu Islam yang
ketika keinginan itu muncul, ia berangkat dari Timur Tengah. Mereka sudah peduli
ke masjid ini (wawancara dengan Tumon misalnya dengan pengaturan shof. Ia
(bukan nama sebenarnya), jamaah Masjid membandingkan dengan Masjid Makmur
Laweyah, 3 Nopember 2009). Hal seperti yang masih bertahan dengan konsep
ini juga diungkapkan Paridi (bukan lama, konsep tradisional, meskipun
nama sebenarnya) yang tinggalnya di mereka lebih dulu Islamnya (Upik
Cemani, tidak jauh dari Pondok Ngruki, Husain. Wawancara. 30 Oktober 2009).
lebih kurang 1 km jaraknya dari Masjid
Laweyan. Ia rasakan, masjid Laweyan Kebenaran akan Islam yang
memang lain. Ia membandingkan didefinisikan Islam dari “Timur Tengah”
kalau ada orang membuat masjid baru, ini disuarakan oleh takmir masjid
kekuatannya masih dimiliki masjid tua yang memang mengaku tidak pernah
seperti Masjid Laweyan ini. Baginya, mengunjungi makam leluhur raja-raja
Mataram yang terletak di belakang

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 87

masjid. Ia bahkan tidak senang dengan juga bertahlil. Musanni adalah ketua
digunakannya masjid oleh orang luar yang mahkamah pengadilan tinggi. Untuk hal
hendak masuk ke makam. Ia inginnya ini Kadir Sulaiman bertutur, ”Di sini itu
memisahkan masjid dengan makam. Ia seperti sifatnya orang Masyumi, akidahnya
juga mengaku dekat dengan kalangan kuat, tetapi tetap tunduk kepada negara. Ada
lasykar, gerombolan pemuda Islam yang juga jamaah dari Ngruki di situ. Mereka
sering melakukan sweeping di Surakarta saling berinteraksi dan ramai berdiskusi.
dan sekitarnya, dan pernah ditawari jasa Namun setelah itu baik lagi.” (Wawancara.
lasykar untuk melakukan aksi sweeping di 28 Oktober 2009).
Belukan, namun ia masih berkeberatan
akan dampak pasca sweeping itu. Ia malah Sulaiman menambahkan, di
tengah menjalin pertemanan dengan Laweyan juga terdapat salah seorang
beberapa kaum Santri baru di Belukan. ustadz yang sekarang aktif di Masjid
Baiturrahim, adalah keras dalam
Akan tetapi kebenaran Islam pemahaman secara akidah. Diketahui
dengan mengacu pada “Islam Timur juga ia adalah mantan pengikut Warsidi di
Tengah” itu tidak serta merta menjadi Lampung. Akan tetapi menurut Sulaiman,
pemahaman dominan di masjid ini. untuk urusan furuiah, perbedaan cabang
Terdapat warna lain dari jamaah masjid ini keIslaman, sosok ini toleransinya cukup
yang berbeda dengan pemahaman salah tinggi.
satu informan di atas. Jamaah masjid ini
adalah masyarakat yang heterogen baik Dengan meminjam analisis simbol
dalam sisi status sosial, ekonomi, maupun dalam ragam fenomenologi dapat
paham keagamaan. Karena itu, toleransi dipinjam di sini untuk melihat fenomena
lebih diutamakan ketimbang fanatisme yang tampak di Masjid Laweyan ini.
terhadap masing-masing kelompok atau Dalam disiplin fenomenologi, essensi
golongan. (wessen) selalu ditentukan oleh apa yang
tampak (erschinungen) (Erricker, Clive,
Betapa toleransi telah menjadi 1999: 110).
bagian dari keseharian hidup masyarakat
yang menjadi jamaah di masjid ini Beberapa simbol material yang
terbetik kasus salah satu sosok penting tampak menonjol di masjid ini adalah
di Laweyan, bernama Maulana serambi, yang menunjukkan tipe masjid
Muhammad (nama sebenarnya ada perpaduan antara kultur lokal dan
pada peneliti), pernah menjadi anggota Islam. Juga ada kentongan dan bedug,
DPRD Surakarta, yang juga menantunya yang masih berdiri tegak, sekalipun
Amir, SH. pengasuh Pesantren Ngruki. dibunyikan setahun sekali. Menunjuk
Maulana Muhammad ini pernah menjadi pada dua simbol material ini sebenarnya
wakil Kadir Sulaiman di dalam Takmir mengacu pada unsur kelokalan masjid
Masjid Laweyan. Pemahaman umum ini. Sampai hari ini, simbol material ini
akan mengarah pada figur satu ini yang masih berdiri kokoh, sekalipun ada reaksi
mengusung Islam radikal, terkait dengan dari sebagian jamaah yang dibuktikan
latar belakang Ngruki-nya, namun dengan tidak lagi dipukulnya kentongan
menggelikannya ia ternyata juga mau maupun bedug tersebut, kecuali pada
ikut tahlilan yang identik dengan pihak waktu lebaran.
yang berbeda dengan Ngruki. Selain itu, Pada simbol perilaku, dapat dilihat
ketika membaca sholawat juga menyebut adanya azan sholat Jumat yang dua kali,
sayyidina. Menurut Kadir Sulaiman, Kakek sholat Rowatib yang tidak menggunakan
Maulana Muhammad, Mbah Musanni, wirid secara jahr (keras), dan tidak berdoa
adalah pengurus Muhammadiyah, tetapi qunut waktu subuh. Azan sholat Jumat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1


88 Zaenal Abidin Eko Putro

sebanyak dua kali menunjuk pada kultur Karena itu Islam di Jawa adalah Islam
keberagamaan yang banyak dilakukan yang kotekstual dan akulturatif. Bahwa
warga nahdliyin, sementara tidak berdoa adanya doa dan pemberian makanan
qunut dan tidak berwirid secara jahr adalah anjuran dalam Islam (Syam, 2005:
adalah umum dimaklumi sebagai bagian 21-22).
dari kultur warga Muhammadiyah.
Uniknya simbol perilaku yang aneka Sekalipun banyak koreksi terhadap
warna ini masih berjalan hingga sekarang. Geertz, yang agak mutakhir dilakukan
oleh Bambang Pranowo (2009), dalam
Atas perbedaan dan keragaman kenyataannya pandangan Geertz terutama
di atas, sejauh ini hampir tidak pernah terhadap tipologi Santri dan Abangan
terjadi persolan yang menjurus konflik sulit dimentahkan. Hal ini apalagi jika
horisontal yang disulut dari perbedaan melihat hubungan antara Santri dan
mengenai paham KeIslaman. Hampir Abangan yang sama-sama eksis dan
pasti, sekalipun tetap menjunjung tinggi pernah begitu keras persinggungannya
pada penerapan syariah Islam, tetapi di tahun 1940-an hingga 1970-an. Hefner
mereka paling menghindar dari cara- (1987: 533), sebagai salah satu ”pembela”
cara kekerasan. Begitu pula jamaah Geertz mengkategorikan Abangan ke
yang cenderung dengan kelokalannya dalam Javanist Muslim, yang secara tradisi
juga masih bertahan. Demikianlah digambarkan sebagai perpaduan sinkretis
keunikan masjid ini yang sejauh ini berbagai unsur antara lain animis, Hindu-
dianggap menjaga netralitas, atau Buddhis, serta elemen-elemen Islam
tepatnya mengakomodir berbagai unsur yang berkembang dan meluas di tengah
perbedaan pemahaman keagamaan para masyarakat pedesaan Jawa. Adapun
jamaahnya. Santri secara tradisi digambarkan sebagai
varian dalam Islam yang lebih ortodoks.
Kelompok terakhir ini berkembang
Santri-Abangan: Dari Ketegangan secara khusus di kalangan pedagang
Hingga Bertoleran dan petani kaya. Hanya saja penggunaan
istilah Abangan sendiri, Hefner kurang
Kajian tentang tipologi sependapat, dengan alasan di antaranya
keberislaman orang Jawa telah ditempuh di sebagian wilayah Jawa, istilah tersebut
oleh Clifford Geertz dalam disertasinya bermakna pejoratif dan sangat jarang
yang terbitkan dengan judul The Religion disebutkan oleh penganutnya sendiri
of Java (1961). Geertz yang membagi (Javanist muslim). Karena itu Hefner
secara tegas keberagamaan orang Jawa lebih memilih istilah Islam Jawa (Javanese
yang cenderung sinkretik dalam cirinya Muslim), atau Kejawen (Javanist) atau
yaitu Santri, Abangan dan Priayi itu mengutip Koentjaraningrat (1985: 316),
diuji kembali oleh Woodward. Dalam disebut Agama Jawa (Javanese Religion).
tulisannya mengenai Islam di pusat
kekuasaan Jawa, yaitu Kraton Yogyakarta, Selebihnya, menurut Hefner (1987:
ternyata bukan gambaran Hindu dan 534), pemilahan antara Santri (Ortodox
Islam yang sinkretik, melainkan hubungan Muslim) dan Abangan (Javanese Muslim),
Islam dengan budaya lokal yang bersifat sejak lama banyak digunakan untuk
kompatibel. Berdasarkan penelusuran menguatkan kategori dalam menganalisis
terhadap teks Islam didapatkan data aspek politik dan agama masyarakat
bahwa berbagai ritual di pusat kerajaan Jawa. Menurut Benda (1983), pemilahan
Islam Jawa secara signifikan terkait ini digunakan untuk menjelaskan pola-
dengan tradisi Islam universal, yang pola kompetisi elit di era sebelum
bersumber dari teks Islam itu sendiri. perang (pre-war), jaman Jepang, dan

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 89

awal Kemerdekaan. Pemilahan ini daerah home industry batik di Surakarta.


juga bermanfaat digunakan untuk Kelurahan Laweyan terbagi dalam 10 RT
menganalisis mobilisasi pemilih partai dan 3 RW. Menurut pemetaan karakter
dan pemilu di tahun 1950an (Feith, 1957), keagamaan masyarakatnya, sekitar
kegagalan PKI dalam membangun aliansi lima puluh tahu lalu dikenal perbedaan
kelas kaum miskin desa (Mortimer, 1982; antara wilayah basis “hijau” yang
Wertheim, 1969), hingga kuatnya unsur hanya menyempil di satu RT, yaitu RT 2
Abangan di pentas politik dan militer di (Kampung Setono), yang kini termasuk
awal Orde Baru (Emerson, 1978). dalam RW 1. Adapun masyarakat RW
1 lainnya, mulai dari batas Batik Merak
Selain penjelasan dan kritik dari Manis sampai tugu tengah Kampung
para Indonesianis tersebut di atas, muncul Laweyan, ditambah masyarakat di RW
pula respon hingga sanggahan dari para 2, dan RW 3 dikenal wilayah “merah”.
sarjana dalam negeri. Bambang Pranowo Kaum Santri di wilayah Setono yang
dalam disertasinya yang dialihbahasakan jumlahnya sedikit ini bukan sekadar
ke Bahasa Indonesia dan diberi judul Santri, melainkan aktif dalam kegiatan
Memahami Islam Jawa (2009) berupaya keislaman. Dalam wawancara dengan
menyanggah dikotomi santri abangan Kadir Sulaiman (bukan nama sebenarnya),
Geertz. Baginya, status abangan bukanlah Ketua Takmir Masjid Laweyan, 28
barang jadi, atau kenyataan mengada Oktober 2009, ia mengaku, pada saat
(state of being), melainkan bahwa status kecilnya, antara tahun 1964-1965 di saat
abangan harus dipahami sebagai situasi terjadi pergesekan antara umat Islam
dalam proses menuju atau menjadi (state dan PKI, muncul rasa ketakutan setiap
of becoming). Oleh karena itu, dikotomi itu menyeberang sungai Laweyan.
tidak lagi benar-benar tepat untuk melihat
karakter keberislaman masyarakat
Indonesia dewasa ini. Kondisi Hingga Akhir Era Orde Baru
Namun demikian, dikotomi Santri- Jemaah masjid Laweyan adalah
Abangan terlihat masih tepat ketika masyarakat atau umat yang tinggal
mengikuti penelusuran Permana (2010) di sekitar Masjid Laweyan, baik yang
yang mencoba mendekati dikotomi dua tinggal di Kelurahan Laweyan maupun
kategori keberislaman itu dengan teori Kelurahan Pajang. Kedua kelurahan
contentious politics dalam penelitiannya tersebut secara administratif menjadi
terhadap dinamika masyarakat bagian dari Kecamatan Laweyan dan
Ngandong (Klaten). Konflik internal yang hanya dipisahkan oleh sungai yang
lama tiarap pasca peristiwa 1965, ternyata sangat bersejarah. Konon, sungai ini
masih mengendap dan kemudian menjadi sarana transportasi serta bandar
bangkit kembali di era Reformasi dengan pelabuhan Kerajaan Pajang di abad
melibatkan kelompok eksternal. 16, yang disebut Bandar Kabanaran.
Masjid tersebut berdiri kokoh di pinggir
sungai, disusupi sepenggalan jalan yang
Keberagamaan Masyarakat Sekitar Masjid menghubungkan Kelurahan Laweyan
Laweyan dengan wilayah Sukoharjo.

Kelurahan Laweyan berada di Berdasarkan informasi dari


bagian barat daya Kota Surakarta. Daerah tokoh masyarakat Laweyan, sampai
ini berada di perbatasan antara Kota dengan tahun 1965, lingkungan persis
Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. sekitar lokasi masjid, yaitu Kampung
Sejak dulu, daerah ini dikenal sebagai Belukan, Kel. Pajang, sebenarnya

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1


90 Zaenal Abidin Eko Putro

kurang mendukung bagi keberadaan Kampung Laweyan dari Perempatan


masjid. Wilayah itu dahulu malah basis Jongke, Jalan Radiman. Langgar ini
pendukung Partai Komunis Indonesia berdiri tahun 1941 dan disusul kemudian
(PKI) (Kadir Sulaiman. Wawancara. 28 dengan Langgar Makmur yang bediri
Oktober 2009). di tahun 1942. Kini, Langgar Makmur
telah beralih menjadi Masjid Makmur.
Bahkan, DN. Aidit, yang ditangkap Belakangan kemudian berdiri pula dua
di depan Gedung Mawar, Jalan Radjiman, masjid lain di wilayah Laweyan, yaitu
Surakarta, sebelum tertangkap pernah Masjid Kirmani dan Masjid Baiturrahim.
bersembunyi di rumah salah satu warga Hal ini coba penulis korek dari Kadir
yang terletak di sebelah barat masjid. Sulaiman (Wawancara. 28 Oktober
Karena itu pula, jarang diselenggarakan 2009). Di tahun 1988, Sulaiman pernah
kegiatan keagamaan di Masjid Laweyan, dipanggil Korem Surakarta sewaktu PII
kecuali untuk pengajian hari besar di bawah tanah karena tidak mengakui
Islam seperti peringatan maulud Nabi, asas tunggal Pancasila. Semua bermula
peringatan Isra Miraj dan Ramadhan saja. sewaktu pengujian mental training PII
Pengguna masjid pun paling banyak dari lokal yang bertempat di Makam Kraton di
Kampung Laweyan sebab masyarakat belakang Masjid Laweyan, para peserta
Belukan waktu itu belum tertarik datang dikejar-kejar Hansip. Lantas mereka lari
ke masjid. Karena itu, sangat beralasan dan bersembunyi di rumah Sulaiman.
jika jamaah masjid dan takmirnya Atas kejadian itu, Sulaiman dilaporkan
diisi oleh orang-orang dari Kelurahan dan dipanggil Korem. Tiga kali ia sempat
Laweyan. menjalani pemeriksaan waktu itu.
Berbeda dengan masyarakat Melihat tipologi orientasi
Belukan, Kelurahan Pajang, masyarakat politiknya, saat itu wilayah di sisi kiri
Kelurahan Laweyan sangatlah dinamis. Masjid Laweyan (sisi utara) adalah basis
Secara politik-ideologis, Partai Masjumi massa PNI dan GMNI yang dikenal
sangat mengakar di Laweyan, hingga dengan kelompok Abangan. Sama
sampai akhirnya partai ini dibubarkan halnya dengan kalangan Santri, kalangan
Soekarno dengan keluarnya Keppres Abangan ini juga sebagian para juragan
Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus batik. Warga Laweyan yang Abangan-
1960. Pembubaran Masjumi otomatis Nasionalis ini sampai tahun 1980-an
berpengaruh bagi simpatisannya di kebanyakan tidak ikut Sholat Jumat di
kelurahan tersebut, namun organisasi Masjid Laweyan, melainkan di Masjid
Islam lain masih bertahan sampai tahun Mangkunegaran. Diketahui pula, mereka
1965, yaitu Gerakan Pemuda Islam bersholat tidak secara rutin, sementara
Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam masih gemar berjudi, makan daging babi,
Indonesia (PII). Lantas, mantan aktivis serta minuman keras, meskipun mereka
Masjumi bersama dengan aktivis GPII pada setiap Jumat tetap pergi ke masjid
ini mendirikan Syiar Islam, sebuah untuk sholat Jumat. Secara kultural,
organisasi masyarakat Islam bersifat kelompok nasionalis ini lebih berorientasi
lokal, di lingkup Laweyan dan sekitarnya ke kraton (Kadir Sulaiman. Wawancara.
saja. 28 Oktober 2009).
Secara bersamaan, simbol dan Mengetahui hal itu, kalangan Santri
sarana keagamaan kelompok santri di kemudian bersepakat dan mengatur
wilayah Laweyan pada waktu itu sedang strategi. Saat kemudian berhadapan
tumbuh. Hal ini setidaknya ditandai dengan persoalan pemerintahan, guna
dengan kemunculan Langgar Merdeka penyusunan perangkat RT, RW, hansip,
yang terletak di ujung jalan utama masuk

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 91

dan posisi lainnya, oleh para aktivis pernah menerima bantuan apapun dari
organisasi Syiar Islam dimunculkanlah pemerintah. Pembangunan jalan adalah
NU, Muhammadiyah dan Syarikat Islam swadaya masyarakat Laweyan sendiri.
di wilayah ini. Pemilihan orang-orang
yang masuk ke dalam organisasi Islam Dinamika lain yang menarik
tersebut berdasarkan kepantasan semata. dalam masyarakat Laweyan di waktu
Karena lebih menyukai praktik tahlil-an lalu, terutama hal ini bertambat di
misalnya, maka ditempatkanlah mereka pihak nasionalis, bersemayamlah
ke dalam ormas NU. Begitu pula yang keyakinan kolektif bawah sadar yang
ditempatkan ke Muhammadiyah dan menjadi kesepakan terwariskan (habitus,
seterusnya. Pilihan berkecimpung ke meminjam Bourdieu), bahwa jika sudah
dalam ormas keislaman ini merupakan mencapai usia 40, masa ”jahiliyah”
langkah strategis semata. Karena itu keduniawian secara total ditinggalkan.
ketika di daerah lain misalnya persoalan Selanjutnya mereka melaksanakan ibadah
amaliyah ibadah yang bersifat furuiyah, haji dan sepulangnya, perilaku ”jahiliyah”
seperti doa qunut dan jumlah rakaat sebelumnya dilenyapkan. Mereka mulai
tarawih diributkan, masyarakat Laweyan memakai kopyah putih dan mengaji
telah melewati perdebatan itu. Untuk hal secara benar. Mereka ini umumnya
ini, Kadir Sulaiman menuturkan, adalah kelas menengah, pengusaha batik
dan biasanya tidak mengenyam dunia
”Di sini, ada doa qunut atau tidak pesantren. Namun, kecenderungan ini
tergantung imam. Kalau imamnya memudar sampai genarasi tahun 1990-
memakai doa qunut, berarti sholat an, sejak pendidikan agama dilaksanakan
menggunakan doa qunut. Sebaliknya secara massif di sekolah-sekolah.
jika imamnya tidak mengunakan
qunut, berarti sholat tidak berqunut. Dua kekuatan Santri dan Abangan-
Hal ini lumrah di sini. Ini terjadi di nasionalis kelas menengah ini masing-
masjid yang ada di Kampung Laweyan masing hidup karena didukung kuatnya
serta Masjid Laweyan sendiri. Bahkan pendanaan sendiri (self own funding).
di sini, pengurus Muhammadiyah Oleh sebab itulah, dalam hal pendanaan
sendiri juga bertahlil.” (Wawancara. ini, kalangan Santri biasanya memberi
28 Oktober 2009) dukungan kepada gerakan Islam yang
lebih revolusioner, seperti contohnya
Strategi membentuk dan memberi bantuan pada tentara Islam
memperbanyak ormas Islam oleh Syiar yang tergabung dalam Brigade Hizbullah
Islam kala itu juga untuk menaikkan di jaman revolusi. Kelompok ini di
pengaruh kalangan Santri seperti bawah komando Mayor Munawar,
disebutkan di atas, agar kalangan Santri yang kemudian dihabisi karir dan
tampil di jabatan strategis, misalnya kelompoknya oleh Mayor Soeharto (Kadir
sebagai ketua RT-RW di kelurahan ini. Sulaiman. Wawancara. 28 Oktober 2009).
Syiar Islam ini dalam rapatnya juga
menyinggung persoalan sosial politik Peta sebelum Orba hingga akhir
untuk sekup wilayah Kelurahan Laweyan. Orba memang memasukkan Laweyan
ke dalam wilayah hijau, sementara di
Dukungan kekuatan industri wilayah Pajang tergolong wilayah merah.
rumahan batik ditambah tingginya tingkat Sampai akhir Orde Baru, dinamika
melek politik warga Laweyan membuat masyarakat di kelurahan Pajang, maupun
kelompok Santri ini cukup perkasa kampung Belukan di dalamnya, hampir
melawan negara. Di era Orba, Golkar tidak tidak berubah. Kekuatan Abangan itu
pernah menang di daerah ini. Karena itu menghimpun secara politik ke dalam
pula pada waktu Orba, daerah ini tidak PDI. Seiring perubahan situasi, terutama
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1
92 Zaenal Abidin Eko Putro

pasca peristiwa 1965 yang melenyapkan peminum, dan orang-orang yang minum-
sebagian keluarga mereka, warga di minuman keras di acara perkawinan di
Kelurahan Pajang bagian timur terutama rumahnya itu tidak lain adalah teman-
generasi mudanya mulai berubah. Mereka teman minumnya yang datang dari
mulai peduli dan ingin memperdalam berbagai kawasan. Komunalisme dalam
Islam. miras ini menjadi pemandangan biasa
di wilayah ini. Banyak peserta didik
TPA Masjid Laweyan belakangan ini
Pasca Reformasi: Relatif Stagnan yang berasal dari luar wilayah Belukan.
Kebanyakan justru berasal dari Desa
Melihat realitas belakangan ini, Ngenden, Kecamatan Grogol, Kabupaten
tidak dapat ditampik bahwa nuansa Sukoharjo. Daerah yang disebut
religius mulai terlihat di Kampung belakangan ini jaraknya cukup jauh,
Belukan. Satu musholla kecil telah berdiri sekitar 1 km dari masjid Laweyan.
tahun 2004 lalu di wilayah ini, tepatnya
didirikan di SD Laweyan yang letaknya Selain itu, masalah dihadapi
di Kampung Belukan. Di musholla itu, takmir Masjid Laweyan terkait dengan
dalam tiga tahun terakhir ini malah kegiatan baca al Quran. Ada orang yang
sudah melakukan penyembelihan hewan bacaannya bagus, tetapi ketika disodori
kurban, dan pengumpulan zakat fitrah. al Quran, dijawab “engko dhisik” (nanti
Namun, sayangnya keberadaan musholla dulu). Bahkan, program tadarrus al
itu dianggap masih belum maksimal Quran setiap Kamis malam, baru diikuti
dalam menarik masyarakat Belukan 4 orang. Di sini berarti partisipasi jamaah
untuk lebih giat lagi dalam kegiatan untuk aktif dalam menggiatkan belajar
keagamaan. agama di masjid dianggap masih rendah
(Wakhid Susilo. Wawancara. 25 Oktober
Belum maksimalnya musholla 2009 dan Adi Hernawa (bukan nama
baru itu dipengaruhi masyarakat sebenarnya), Imam Masjid Laweyan.
Laweyan yang tinggi tingkat pemahaman Wawancara. 29 Oktober 2009).
agamanya, tetapi terlalu asyik dengan
dunia mereka sendiri. Medan perjuangan Untuk menggambarkan kebera-
berat justru di sekitar Masjid Laweyan daan masyarakat Belukan yang terletak
ini, yang mencakup masyarakat Belukan di sebelah barat masjid, informan lain
dengan Abangan-nya. Istilah ”abangan” yang juga menjabat takmir masjid ini
ini dimunculkan oleh informan Wakhid menyitir sebuah ayat al Quran, yang
Susilo (bukan nama sebenarnya), ustadz menyiratkan hati manusia berubah-ubah.
TPA Masjid Laweyan (Wawancara. Menurutnya, dulu daerah di sebelah
25 Oktober 2009). Abangan dalam barat masjid ini dikenal sebagai kawasan
pengertian pada masyarakat Belukan, “Harlem”-nya Amerika. Anehnya ketika
betapa “jauhnya” mereka dari masjid. mereka kesulitan hidup, terpanggil
Saat penulis melakukan Wawancara untuk lari ke masjid. Lebih aneh lagi,
dengan Widodo, seorang jamaah, tanggal tidak sedikit dari yang sudah ke masjid
27 Oktober 2009, ia menyampaikan keluar untuk bergabung dengan para
bahwa pada bulan Syawal atau Bulan pemabuk lagi. Begitu pula, ada jamaah
September 2009, tidak jauh dari masjid yang tekun, tetapi orangtuanya
masjid diselenggarakan sebuah pesta beragama Nasrani. Sebaliknya, ada pula
perkawinan. Dalam pesta perkawinan itu, yang dahulu rajin di masjid, lalu menjadi
selain menghadirkan hiburan dangdut, pelaku kriminal.
ternyata juga menjadi ajang permirasan.
Kegiatan para ibu pada pengajian
Rupanya tuan rumah dikenal seorang
setiap Senin sore dan Jumat sore juga terasa

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 93

begitu berat perjuangannya, minimal Hal ini sebenarnya


untuk mengajak ibu-ibu lainnya mengaji mengkhawatirkan generasi muda
al Quran (Upik Husain (bukan nama Laweyan. Namun sejak adanya ahli tarung
sebenarnya), takmir masjid. Wawancara. drajat dan instruktur tarung drajat Solo,
30 Oktober 2009). Karena itulah jika Mulyanto, yang berasal dari Belukan dan
meminjam kategori Santri-Abangan yang kini aktif di Masjid Laweyan, gejala miras
dan judi di Belukan mulai berkurang.
dipahami sebagian besar masyaraat Jawa,
Mengenai perubahan pada diri Mulyanto
di sekitar Masjid Laweyan ini keduanya
ini, Upik Husain memberikan penjelasan,
bukan berdiri secara diametral berhadap- ”Dulu dia nakal. Namun sejak anaknya
hadapan. Pada kedua posisi itu sekarang meninggal, ia tidak pernah putus sholat.
berayun dengan Masjid Laweyan sebagai Malah sekarang mengaji bersama-sama saya
titik sentralnya. di berbagai tempat. Jika ada apa-apa, ia bisa
mengatasi.” (Upik Husain. Wawancara. 30
Menggelikannya pada saat
Oktober 2009).
Ramadhan di saat masjid ramai dengan
kegiatan Ramadhan seperti tarawih, Karena itu menarik di sini bahwa
tidak jauh di sebelah utara masjid yaitu episentrum “duniawi” tidak jauh dari
di sekitar pos ronda diketahui menjadi masjid, namun tidak terlalu berdampak
tempat minum miras, yang berdekatan pada kegiatan keagamaan di masjid.
dengan arena bilyar. Sejauh ini memang Secara umum, gangguan terhadap masjid
hampir sama di mana pun, yaitu di
mereka tidak mengganggu kegiatan di
masjid ini juga sering terjadi kehilangan
masjid (lokasi bilyar tepatnya di halaman
sandal, ataupun sepeda. Oleh sebab itu
rumah Ketua RT 04 Belukan, Mar). Dalam
dapat dikatakan, jamaah masjid masih
amatan dan wawancara yang peneliti cukup toleran dengan kegiatan di sekitar
lakukan, bagian teras rumah ketua RT masjid itu.
ini digunakan sebagai tempat permainan
karambol. Peneliti bertandang ketika Pasca Reformasi, setidaknya dalam
suasana teras ramai dengan orang main waktu satu dekade terakhir ini dirasakan
karambol. Adapun lebih ke depan lagi, bahwa tidak seperti di daerah lain, proses
transformasi dari Abangan ke Santri
yaitu di halaman, beberapa orang bermain
belum berjalan total. Kelompok Abangan
biliar. Meja biliar itu ditempatkan di
(Javanese Muslim) juga belum benar-benar
halaman, dekat dengan jalan. Bagian sisi
hilang dari wilayah ini. Hampir sebagian
kanan dan kirinya ditutup dengan krei besar orangtua di Belukan belum secara
dari bambu serta spanduk dengan maksud rutin mendatangi masjid. Dirasakan
untuk menghalangi pemandangan orang sekali, nuansa ke-Islaman masih sangat
luar terhadap permainan tersebut. Jarak berkurang di sisi barat, selatan dan
antara rumah Mar dengan masjid sekitar sedikit ke utara masjid. Semua penunjuk
100 meter dengan dibelah oleh jalan arah ini menunjuk ke Kampung Belukan
ke Kampung Belukan. (Wawancara. 2 (Kelurahan Laweyan berada di sebelah
Nopember 2009). timur masjid, lihat denah lokasi).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1


94 Zaenal Abidin Eko Putro

Keterangan : masih meninggalkan artefaknya dalam


Museum Samanhudi kecenderungan pemahaman keagamaan
Masjid Al Makmur warga di sekitar masjid. Masyarakat Santri
Masjid Kirmani juga tidak ingin melakukan kegiatan
Langgar Merdeka keagamaan dengan frontal, sementara
Masjid Baiturrahim pihak Abangan juga tidak menelanjangi
perilaku Abangan mereka secara umum.

Karena itu sekalipun secara samar


Penutup
masih terasa eksis, Abangan (Javanese
Pemahaman Keagamaan Islam Muslim) masih ditoleransi kalangan
jamaah Masjid Laweyan amat beragam. Santri (terutama ortodox Muslim).
Banyak faktor yang mempengaruhi, Bahkan hingga terjadinya transformasi,
misalnya faktor fisik masjid dan sejarahnya, atau perpindahan itu, dirasakan adanya
adanya makam kraton di sekitar masjid, semangat toleransi dan tidak saling
sama-sama pernah menguatnya kaum memusuhi di antara kedua kelompok
Santri dan Abangan di sekitar masjid dan tersebut. Pada kalangan Santri yang lebih
pilihan yang diambil pengurus masjid. siap dengan “korpus” keagamaan, sejak
Sampai saat dilakukannya penelitian, dahulu hingga sekarang memang terus
Santri dan Abangan (Javanese Muslim) berusaha keras merongrong eksistensi

HARMONI Januari - April 2015


Dinamika Santri-Abangan di Balik Eksistensi Masjid Laweyan, Surakarta 95

kelompok Abangan (Javanese Muslim). saling menghargai satu sama lain cukup
Hanya saja, proses penarikan (kembali) tinggi. Hal ini seperti mengesahkan
untuk menjadi Santri di daerah sekitar kembali pembagian tipologi keagamaan
Masjid Laweyan ini berjalan dengan masyarakat Jawa seperti dalam gambaran
sangat merambat. Geerzt. Di samping itu, faktor usia dan
status masjid menjadi penting untuk
Toleransi yang terbangun antardua dapat tetap memainan peranannya dalam
komunitas tersebut yang di banyak tempat meredupkan ketegangan yang mungkin
menyuguhkan tendensi ketegangan muncul terhadap kedua komunitas
hingga konflik, di wilayah sekitar Masjid tersebut.
Laweyan berbeda. Meski hubungan
langsung belum terjadi, namun rasa

Daftar Pustaka

Connolly, Peter. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKIS, 1999.


Depdikbud RI. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Depdikbud RI, 1999.
Graaf. De. “The Origins of Javanese Mosque.” Journal of Southeast Asian History, Vol. 4,
No.1. (1963).
Hefner, Robert W. “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.” The Journal
of Asian Studies (1986-1998); Aug 1987; 46, 3;
Marvasti. Amir B. Qualitative Research in Sociology. London: Sage Publication Ltd, 2004.
Permana, Yogi Setya. “Kontestasi Abangan-Santri Pasca Orde Baru di Pedesaan Jawa.”
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 14, Nomor 1, (Juli 2010).
Pranowo, Bambang. Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet & Indonesian
Institute for Society Empowerment (INSEP), 2009.
Reitz, Jeffrey G., et. al. Multiculturalism and Social Cohesion Potentials and Challenges of
Diversity. New York: Springer, 2009
Syam, Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKIS, 2005.

Sumber Internet :
http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/ironi-museum-samanhudi-57480.html

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 14 No. 1

Anda mungkin juga menyukai