Anda di halaman 1dari 32

SINKRETISME DALAM SLAMETAN DAN HUBUNGAN SANTRI-ABANGAN

(Studi Ritual Slametan Adat Kejawen Masyarakat Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh : ISNAENI WISNU S. NIM : 04/180990/SP/20802

JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang Clifford Geertz, dalam proses penelitiannya di suatu kota yang disebut Mojokuto (1952-1954), menghasilkan salah satu karya yang dipublikasikan dengan judul Religion of Java. Dalam karyanya itu, Clifford Geertz mengemukakan tiga varian dalam agama Islam di Jawa, yaitu, santri, priyayi, dan abangan. Model trikotomi Geertz kemudian menjadi referensi penting bagi kajian mengenai kehidupan masyarakat Jawa. Model trikotomi Geertz kemudian menjadi titik tolak untuk mengkaji mengenai kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu kelompok dalam trikotomi Geertz yang banyak menjadi subjek penelitian adalah kaum abangan, yaitu kelompok penganut agama Islam yang masih mempertahankan nilai-nilai kepercayaan Jawa dan belum sepenuhnya mengamalkan ajaran Islam. Kelompok abangan yang kemudian disebut dalam banyak referensi sebagai kaum kejawen, memiliki ciri khas ritual yang disebut slametan. Disinilah Clifford Geertz melihat elemen-elemen yang sinkretik dan animistik dalam ritual Slametan. Hasil karya Clifford Geertz banyak mendapat kritik dari kalangan peneliti. Trikotomi santri, priyayi, dan abangan, yang dianggap tidak relevan dengan realitas masyarakat Jawa sekarang ini, juga pendapatnya mengenai Islam Jawa sebagai sinkretisme. Salah satu peneliti yang tidak sependapat dengan Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta, 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik Islam Jawa:

Kesalehan versus Kebatinan Jawa, terbitan tahun 2001. Dalam tulisannya, Woodward tidak sependapat terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Mark R. Woodward tidak menemukan unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha dalam Islam Jawa. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Yogyakarta. Woodward berkesimpulan bahwa ritual-ritual kraton dan sistem kejawen yang ada, diderivasi dari ajaran Islam1. Perbedaan pendapat antara Clifford Geertz dan Mark R. Woodward mengenai Islam di Jawa sedikit banyak bersumber dari perbedaan masyarakat Jawa tempat mereka melakukan penelitian. Pendapat ini muncul dalam tulisan Heddy-Shri Ahimsa-Putra, dalam Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra, terbitan Kepel, Yogyakarta: 2006. ..Kalau Geertz menekankan unsur-unsur non-Islam yang masih bertahan (karena unsur-unsur itulah yang mungkin memang ditemukannya di lapangan ketika itu), Woodward lebih menekankan terserapnya unsur-unsur tersebut dalam Islam, sehingga sudah sulit lagi dikenali wujud aslinya (karena memang demikianlah yang dilihatnya di lapangan). (Heddy-Shri Ahimsa-Putra, 2006;340)
1

Mark Woodward, Islam Jawa:Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LkiS. 1999), hlm. 3-5.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa Woodward melakukan penelitian di kota Yogyakarta, yang merupakan pusat Tradisi Ageng (Great Tradition), tradisi kraton. Berbeda dengan Geertz yang melakukan penelitian di Mojokuto (pare), sebuah kota kecil di Jawa Timur, yang kehidupan masyarakatnya lebih diwarnai oleh tradisi alit (Litle Tradition), Tradisi Wong Cilik. Maka kemudian dari pendapat ini, masyarakat kejawen dengan tradisi alit, lokal, dan jauh dari pusat tradisi kraton, akan lebih terlihat memiliki unsur sinkretisme. Sinkretisme, ternyata tidak hanya menghasilkan perdebatan diantara para ahli. Selain menjadi perdebatan ilmiah dari berbagai sudut pandang, sinkretisme menjadi sebab pergesekan konflik diantara kelompok varian santri dan abangan. Slametan sebagai inti ritual kaum abangan/kejawen, menjadi ruang konflik dengan kelompok santri. Sebagian kelompok santri menyebut slametan sebagai bidah, yaitu mengada-adakan dalam agama atau tidak ditemukan dasarnya dalam agama. Ada pula yang menilai slametan mengandung takhayul, karena terkait dengan roh-roh halus dan churafat, atau hal yang sia-sia. Meskipun konflik antara santri dan abangan mengenai slametan tidak lagi populer pada masa sekarang ini, sudut pandang kelompok santri terhadap slametan dan kelompok abangan atau kejawen terhadap ritualnya sendiri dapat menjadi subjek penelitian pendamping yang melengkapi kajian sinkretisme dalam slametan dan pengaruhnya dalam hubungan santri-abangan. Terlebih pada perkembangan sekarang ini di Indonesia banyak bermunculan aliran garis

keras/fundamentalis yang lebih keras dari tipologi santri modernis model Muhammadiyah. Meskipun tidak dimaksudkan sebagai penelitian komparatif diakronik, untuk sedikit meniru apa yang dilakukan Clifford Geertz yang memilih Mojokuto sebagai lokalitas tradisi alit (wong cilik), dan menemukan keberadaan sinkretisme dalam slametan sebagai inti ritual kaum abangan/kejawen, maka diperlukan karakter masyarakat yang juga merupakan lokalitas tradisi alit (wong cilik). Penelitian ini juga tidak dimaksudkan sebagai penelitian komparatif sinkronik dengan penelitian Mark R. Woodward di Yogyakarta. Penelitian ini hanya mendekatkan perbandingan hasil yang disimpulkan Mark R. Woodward dengan hasil penelitian yang dilkakukan di Kabupaten Cilacap, yang mengkaji dua entitas kebudayaan yang sama pada kondisi berbeda, tradisi kraton (Tradisi Ageng) Yogyakarta dengan tradisi alit (Wong Cilik) Kabupaten Cilacap. Daerah Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang bertetangga dengan Kabupaten Banyumas, yang pada masa lalu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Mataram, dan kemudian terlepas paska perang Diponegoro atau perang Jawa (1825-1830), dengan perjanjian Giyanti. Desa Pesanggrahan adalah desa dengan sebagian besar warga masyarakatnya merupakan masyarakat adat kejawen. Desa Pesanggrahan terletak di Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Desa Pesanggrahan merupakan lokalitas yang dapat menjadi lokasi penelitian yang hasilnya akan menambah secara tidak langsung terhadap bahan kajian mengenai Islam Jawa dengan Tradisi Alit (Wong Cilik) dengan bertolak dari hasil penelitian Clifford Geertz. Hasil penelitian diharapkan akan

memberikan sumbangan penguatan atau pelemahan pada pendapat mengenai kedekatan Tradisi Alit (Wong Cilik) dengan karakter dan tipologi sinkretisme.

B.

Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, dapat dijelaskan adanya masalah perdebatan adalah , pertama, adanya sinkretisme dalam Islam Jawa yang dianut kelompok abangan/kejawen, dimana slametan merupakan inti dari ritual kaum abangan/kejawen. Kedua, ritual slametan, membuka ruang pergesekan antara kelompok santri dan abangan atau kejawen. Meskipun konflik tersebut sudah lama tidak populer, masih perlu untuk mengetahuinya dalam perkembangan sekarang ini dengan semakin beragamnya aliran dalam Islam, terutama kelompok Islam garis keras/fundamentalis. Lokalitas yang dipilih dengan kategori masyarakat Tradisi Alit (Wong Cilik) adalah masyarakat kejawen desa Pesanggrahan, kecamatan Kroya, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Dengan demikian rumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimakah gambaran keberadaan sinkretisme dalam ritual slametan di masyarakat kejawen Desa Pesanggrahan Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap? 2. 3. Bagaimanakah pandangan kelompok santri terhadap ritual slametan? Bagaimanakah slametan? pandangan kelompok abangan terhadap ritual

C. Batasan Masalah Batasan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Mengenal ritual slametan dengan keberadaan adanya sinkretisme dalam bentuk, pola, simbol, dan makna didalamnya. 2. Sudut pandang antara kelompok santri dan abangan terhadap ritual slametan. 3. Hubungan sosial antara kelompok santri dan abangan dalam konteks sudut pandang masing-masing terhadap kehidupan keberagamaan pada umumnya.

D. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk : 1. Memperoleh gambaran tentang masyarakat kejawen desa

pesanggrahan kecamatan Kroya kabupaten Cilacap? 2. Memperoleh gambaran ada atau tidaknya sinkretisme masyarakat kejawen dalam ritual Slametan. 3. Memperoleh gambaran mengenai pandangan antar kelompok santri dan abangan mengenai ritual slametan.

II . TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai kelopok masyarakat kejawen diluar Yogyakarta dengan objek formal terkait sinkretisme adalah penelitian Dr.Ridwan, dosen STAIN Purwokerto, yang meneliti masyarakat adat Bonokeling di Banyumas sebagai objek materialnya. Kesimpulan dari penelitian ini secara tegas menyebut bahwa masyarakat adat kejawen Bonokeling merupakan masyarakat yang menganut sinkretisme. Masyarakat adat Bonokeling memeluk agama Islam dengan memegang teguh adat dan tradisi bonokeling. Hasil penelitian DR.Ridwan yang diterbitkan STAIN Press dengan judul Islam Kejawen, berbicara mengenai kompleksitas budaya yang akan

menghadapkan kita kepada sejarah. Ridwan sebagai peneliti menggunakan trikotomi Clifford Geertz untuk mengidentifikasi masyarakat adat Bonokeling, sebagai golongan yang termasuk abangan atau kejawen yang masih meyakini sinkretisme. Pada prakteknya, masyarakat Islam kejawen masih memandang adanya simbol-simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fenomena yang menakjubkan. Analisis tersebut menjelaskan pandangan masyarakat adat Bonokeling mengenai keyakinan terhadap tempat suci mereka seperti dituliskan dalam bukunya yaitu, Psemuan, Balai Malang, Makam Kyai Bonokeling, Makam Kyai Gunung, Kendran, Pasucen, Pohon Angsana Jawa, dan makam tokoh lainnya. Selain tempat suci, masyarakat Bonokeling juga menjalankan ritual seperti resik kubur, ziarah ke Adiraja, Muludan di bulan Mulud, Riyaya, dan Turunan di

bulan Sapar. Ritual-ritual tersebut menurut analisis DR.Ridwan, merupakan simbolisasi untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tempat suci dan ritual merupakan simbolisasi yang dipakai ketika vokalisasi terputus karena informasi tidak dapat dimasukkan kedalam sistem konseptual yang ada. Hasil penelitian DR.Ridwan banyak menyebutkan rasionalisasi

sinkretisme dengan menunjukkan pemaknaan masyarakat Bonokeling terhadap tempat suci dan beberapa ritual. Tetapi tidak membahas secara khusus dan mendalam salah satu ritual seperti slametan sebagai perwujudan sinkretisme. Penelitian DR.Ridwan, dosen STAIN Purwokerto mengenai masyarakat adat Bonokeling dapat menjadi gambaran awal mengenai masyarakat kejawen sekitar Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap, mengenai banyaknya ritual-ritual, tetapi tidak secara khusus mendalam membahas ritual slametan dan sinkretisme didalamnya. Penelitian mengenai slametan yang merupakan inti ritual kejawen sebagai bentuk sinkretisme di lokalitas kecil seperti Desa Pesanggrahan, akan melengkapi kajian dan perdebatan antara Clifford Geertz dan Mark R. Woodward mengenai ada tidaknya, dapat dilihat dan tidak dapat dilihatnya sinkretisme. Penelitian mengenai sinkretisme dalam ritual slametan di daerah yang bercirikan lokalitas tradisi Alit, akan menjadi tambahan bahan kajian mengenai gambaran pola sinkretisme antara tradisi Ageng (Kraton) dengan Tradisi Alit (Wong Cilik).

B. Teori Dan Konsep B.1. Model Trikotomi Clifford Geertz Clifford Geertz, antara tahun 1952-1954, dalam penelitiannya di suatu kota yang disebut Mojokuto, menghasilkan salah satu karya yang dipublikasikan dengan judul Religion of Java. Dalam karyanya itu, Clifford Geertz mengemukakan tiga varian dalam agama Islam di Jawa, yaitu, santri, priyayi, dan abangan. Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan strukturstruktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota). Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas. Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan, abangan, santri, dan priyayi, merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Penggolongan kelompok varian dalam keberagamaan masyarakat Jawa menurut Clifford Geertz, dapat dibuat tabel sebagai berikut :

Tabel I Trikotomi Clifford Geertz


Abangan Dikotomi Wilayah intinya berpusat di pedesaan Kebanyakan berprofesi sebagai petani, sebagian buruh kasar, pekerja lepas. Tidak taat sepenuhnya menjalankan ajaran Islam (skripturalis) Wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan HinduBudha-nya cukup kuat Santri intinya berpusat di perdagangan, pasar Priyayi intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota Kebanyakan berprofesi sebagai pegawai kantor pemerintah Berkarakter netral, tidak menunjukkan keberpihakan dalam ketaatan maupun ketidakaatan

Mata Pencaharian

Berprofesi kebanyakan sebagai pedagang

Ketaatan dalam Agama Islam

Sepenuhnya taat menerima ajaran Islam (sinkretik) Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh HinduBudha-nya tipis terutama daerahdaerah pesisir utara Jawa

Akar (skisma) masa awal Islam masuk di Jawa

Menurut Geertz, akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan bermula dari proses Islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut santri. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian

transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan. Clifford Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dan santri dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok priyayi. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.

B.2. Pengertian Sinkretisme Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kreotizein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan2. Dalam sejarah, pada abad ke-2 dan ke-4 M, aliran Neo Platonisme berusaha menyatukan agama-agama penyembah berhala. Pada masa Renaissan muncul usaha untuk menyatukan antara Gereja Katolik Timur dan Gereja Katolik Barat.

Amin, Darori. Dalam Islam dan Kebudayaan Jawa. (Yogyakarta: Gama Media, 2002). Hal 87

Sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Benar atau salah, tetapi bagi penganut paham ini, semua agama dipandang baik dan benar. Sinkretisme berbeda dengan sinkretisasi. Sinkretisme adalah hasil dari sinkretisasi, sedangkan sinkretisasi adalah proses. Oleh ahli anthropologi, sinkretisme dianggap sebagai salah satu dari tiga proses akulturasi, yaitu: (1) penerimaan (acceptance); (2) penyesuaian (adaptation) dan (3) reaksi (reaction)3. Sinkretisasi adalah penyesuaian atau adaptasi, yang diartikan sebagai sebuah proses menggabungkan, mengkombinasikan, unsur-unsur asli dengan unsur-unsur asing. Hasilnya, muncullah sebuah pola budaya baru yang dikatakan sinkretis. Pengertian lain mengenai adalah oleh Niels Mulder, yang mendefinisikan sinkretisme sebagai usaha untuk menyatukan sekte-sekte yang berbeda (Mulder, 1992)

B.3. Sinkretisme atau Tidak Sinkretis (Clifford Geertz dan Mark R. Woodward) Kajian mengenai sistem kepercayaan masyarakat Jawa yang Islam biasanya tidak pernah luput dari memperhatikan ciri sinkretis dari Islam di Jawa. Tidak sedikit peneliti yang berpendapat bahwa salah satu ciri budaya masyarakat Jawa adalah kemampuannya melakukan sinkretisasi4.

(Beals, 1953), dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel, 2006), hal. 338 4 (pigeaud, 1962;de Josselin de Jong, 1977, dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel, 2006) hal. 339

Islam yang sinkretis di Jawa memiliki variasi antara kalangan yang satu dengan kalangan yang lain dalam masyarakat Jawa. Sinkretisme di Jawa adalah sebuah sinkretisme yang the order of whose elements, the weight and meaning given to its various ingredients, differed markedly, and what is more important, increasingly, from one sector of society to another5. Mark R. Woodward memiliki pendapat yang berbeda dengan Geertz. Hasil penelitiannya di Yogyakarta menyimpulkan bahwa penerimaan Islam di Jawa telah begitu lengkap, menyeluruh, sehingga unsur-unsur lama

(Hindu/Budha, dan kepercayaan lama) tidak dikenali lagi. Pendapatnya muncul setelah upayanya untuk menemukan unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dalam budaya Jawa seperti yang banyak disebut para ahli termasuk Geertz, tidak banyak membawa hasil. Mengenai kekhasan Islam yang ada di Jawa, Woodward berpendapat bahwa hal tersebut bukan disebabkan karena dipertahankannya pre-Islamic ideas, tetapi karena the indigenous and arthful ways in which such a large body of Hindu and Budhist tradition has been so throughly Islamicized. Islam di Jawa (Yogyakarta), merupakan the predominant force in the religious belief of central Javanese. Islamlah yang membentuk karakter atau memberikan ciri

Geertz, 1968:13, dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel, 2006)hal. 339

pada interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari semua segmen dalam masyarakat Jawa6. Kedua perbedaan konsepsi dan pandangan terhadap Islam Jawa antara Clifford Geertz dan Mark R. Woodward, bersumber dari beberapa hal. Sebabsebab tersebut dapat dibuat tabel dengan mengambil akar sumbernya sebagai berikut :

Tabel. II Perbedaan Pandangan Clifford Geertz dan Mark R. Woodward


Tokoh Clifford Geertz Sumber Tempat Penelitian Penekanan/ Penjelasan Tradisi Subjek Mojokuto Unsur-Unsur Non Islam yang masih bertahan Tradisi Alit (wong cilik) Yogyakarta Terserapnya unsur-unsur Non-Islam dalam Islam sehingga tidak dikenali lagi wujud aslinya Tradisi Ageng (kraton) Mark R. Woodward

Dari perbedaan konsepsi kedua peneliti, sebenarnya tetaplah memiliki persamaan pandangan tentang budaya Jawa yang Islam. Budaya Jawa tidak sepenuhnya Jawa, juga tidak sepenuhnya Islam. Perbedaan yang terjadi antar lokalitas terletak pada derajat atau tingkat penerimaan atau penyerapan Islam yang terjadi dalam masyarakat.

Woodward,1989, dalam Heddy Shri Ahimsa-Putra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel, 2006), hal. 340

B.4. Munculnya Islam Sinkretik dalam Masyarakat Jawa Pada mulanya, Islam masuk ke Jawa sekitar antara 1400an (saat kejatuhan Kerajaan Majapahit), terjadi peristiwa sejarah penting dunia. Peristiwa itu adalah, pertama, pada masa itu keseluruhan dunia Islam mengalami kemunduran. Jatuhnya dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M, tersingkirnya dinasti Al Ahmar di Andalusia (Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada tahun 1492 M. Pada masa itu pemikiran mengenai hukum, teologi, filsafat, tasawuf, dan sains dunia Islam mengalami stagnasi dan berkembang pendapat bahwa telah tertutup pintu ijtihad, yaitu mencari sebuah jawaban yang tidak ada hukumnya dalam Al Quran dan Hadist, berpikir kritis melalui metode tertentu yang diakui dan sesuai dengan kesepakatan para ulama dalam Islam. Akibatnya, kelompok tarekat sesat semakin berkembang di kalangan umat Islam. Kedua, sebelum kedatangan Islam di Jawa, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan asli yang berdasarkan animisme dan dinamisme telah mengakar kuat dikalangan masyarakat Jawa. Sehingga dengan datangnya Islam, terjadi pergumulan antara Islam di satu pihak, dengan kepercayaan-kepercayaan yang ada sebelumnya di pihak lain. Akibatnya muncul dua kelompok dalam menerima Islam. Yaitu kelompok yang menerima Islam secara total tanpa mengingat kepercayaan lama dan mereka yang menerima Islam, tetapi belum dapat melupakan kepercayaan lama. Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah Islam Sufi (mistik), yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, tetapi diwarnai dan diisi dengan

ajaran-ajaran Islam7. Proses Islamisasi di Indonesia bersifat terus-menerus. Praktek agama lokal seperti upacara-upacara tetap ada dengan warna dan unsur Islam. Sikap toleran dan akomodatif ini membawa dampak negatif dan positif bagi perkembangan Islam. Dampak negatifnya adalah munculnya sinkretisasi dan pencampuradukkan antara Islam di satu sisi dengan kepercayaan lokal. Tetapi dampak positifnya adalah ajaran-ajaran yang sudah disinkretisasi itu menjadi jembatan yang memudahkan masyarakat Jawa menerima Islam sebagai agama mereka yang baru. Jadi, dalam sejarah kejatuhan dunia Islam, Islamisasi di Jawa justru sedang terjadi dengan terus menerus menerima Islam. Islam secara kontinu datang ke Jawa khususnya dalam berbagai segi aliran, pandangan, pemikiran, dan karakternya hingga sekarang. Maka kemudian wajarlah apabila wajah Islam Jawa sangat bervariasi dan memiliki lokalitas.

B.5. Praktek-Praktek Sinkretisme dalam Masyarakat Jawa Beberapa praktek sinkretisme antara unsur-unsur dari ajaran Islam dengan agama Hindu/Budha, dan kepercayaan lokal Jawa, dapat dicontohkan sebagai berikut : 1. Penggabungan antara dua agama /aliran atau lebih Gabungan antara dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk aliran baru. Aliran-aliran yang berkembang di Jawa disebut merupakan hasil
7

M. Darori, Amin, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002). hal.94

sinkretisasi antara kepercayaan lokal dengan agama-agama yang telah ada. Sebagai contoh adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan Raden Sujono alias Prawirosudarso, dan meresmikannya pada tahun 1926.8 Menurut pengakuannya, Ilmu Sejati merupakan dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha.

2. Praktek dalam Masalah Kepercayaan Dalam masyarakat Jawa beredar mitos mengenai penciptaan alam dan manusia. Mitos-mitos ini banyak dipergunakan sebagai dasar cerita dalam pewayangan yang mengkisahkan hubungan antara dewa, manusia, dan nabi-nabi Islam. Beragam varian mitos dalam masyarakat memiliki persamaan yang menyebut Adam sebagai manusia dan nabi pertama. Salah satu contoh mitos ini Brahma adalah pencipta bumi, sedangkan Wisnu adalah pencipta manusia. Setelah berhasil menciptakan bumi, Brahma menyuruh Wisnu turun ke bumi untuk menciptakan manusia. Maka dengan menggunakan tanah liat, Wisnu membuat patung yang mirip dirinya sendiri, yang kemudian diisi dengan jiwa dan sukma (semangat). Sayang, ia lupa memasukkan prana (nafas) sehingga ciptaannya hancur menjadi berkeping-keping dan menghilang dalam kegelapan. Kepingan tersebut kemudian berubah menjadi hantuhantu jahat yang mengganggu alam dewata. Setelah itu Wisnu berusaha sekali lagi melaksanakan perintah Brahma. Karena sudah berpengalaman, ia berhasil menciptakan makhluk yang lebih tampan dan diisinya dengan unsur-unsur yang diperlukan sehingga terciptalah manusia pertama sebagaimana yang diharapkan Brahma. Setelah sempurna penciptaannya, makhluk ini diberi nama Adina (Adam).9
8

Dikutip Kamil Kartapraja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, Yayasan Masagung, Jakarta, 1985, dan Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, Aneka Ilmu, Semarang, dalam M. Darori, Amin, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002). hal.98-100
9

Kebudayaan Jawa halaman 329-331, dalam tulisan M.Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).hlm 100-101

Mitos yang lain mengenai pencampuran nama-nama dewa Hindu, tokoh pewayangan, dengan nama nabi-nabi Islam, banyak ditemukan dalam sastra klasik Jawa, Babad Tanah Jawi dan kisah pewayangan hingga sekarang ini;

Buku ini menuturkan sejarah raja-raja Jawa, berawal dari Nabi Adam sebagai sumbernya. Nabi Adam menurut asal-usul menurunkan nabi Sis. Nabi Sis sendiri berputra Nurcahya. Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahir putranya yang bernama Sang Hyang Wening. Sang Hyang Wening kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal. Kemudian Sang Hyang Tunggal berputrakan sang Batara Guru. Batara Guru berputra lima, diberi nama ; Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dhewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri. Batara Wisnu, putra keempat dari Batara Guru, bertakhta di suatu kerajaan di pulau Jawa, bergelar prabu Set. Istana Batara Guru itu disebut Suralaya10.

Sinkretisme kemudian menjadi alat menambah wibawa dan legitimasi raja-raja Mataram. Silsilah politik dibuatlah bahwa garis ibu mereka adalah keturunan para wali yang berujung pada Nabi Muhammad (silsilah panengen), dan dari garis bapak berasal dari keturunan para dewa dan sekaligus Nabi Adam (silsilah Pangiwa). Dengan silsilah tersebut masyarakat mengetahui bahwa raja-raja mereka adalah keturunan dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal. Dengan demikian hal

10

Mengutip pembukaan kitab Babad Tanah Jawi terjemahan Sudibyo, dalam Heddy Shri AhimsaPutra, Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra, (Yogyakarta: Kepel, 2006) hal. 345

tersebut menambah wibawa dan legitimasi kekuasaan kepada raja-raja Mataram11. 3. Praktek dalam Bidang Ritual Perubahan waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat penting yang harus dipahami sebagai hal gawat sehingga perlu diamati. Maka kemudian diadakanlah upacara seperti slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda keramat, dan sebagainya. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa sudah mengenal ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh-roh leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang, ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran-ajaran Islam. Beberapa contoh ritual dalam masyarakat Jawa adalah seperti upacara Midodareni, yaitu ritual pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan oleh keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus untuk melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang mengganggu. Dikalangan muslim yang taat, ritual ini diiisi dengan pembacaan al-Barzanji, kalimat Thoyyibah, dan Tahlil.

11

W.L. Olthof (ed), Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi Tahun 1647, : M. Nijhoff, Gravenhage, 1941, hlm 7-46, dalam M. Darori, Amin, dalam Islam dan Kebudayaan Jawa, hal.103. . Lihat pula G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan, Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram, Kanisius, Yogyakarta, 1987, hlm. 86

4. Dalam Doa dan Mantera Sunan Bonang, atau Sunan Makhdum Ibrahim, dalam teknik

menyebarkankan Islam adalah salah satunya dengan mengganti nama-nama dewa yang terdapat dalam mantera dan doa dengan nama-nama nabi, malaikat dan tokoh-tokoh terkenal yang berasal dari dunia Islam. Doa atau mantera banyak dikelanal dalam masyarakat Jawa. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut, yaitu doa untuk dapat menghilang12 :

Bismillahirrahmanirrahim Cur mancur cahyaning Allah, sungsum balung rasaning Pangeran, getih daging rasaning Pangeran, otot lamat-lamat rasaning Pangeran, kulit wulu rasaning Pangeran, iya ingsun mancuring Allah jatining manungsa, ules putih Muhammad lungguhku, Allah, nek putih rasaning nyawa, badan Allah kalebut putih iya ingsun nagara sampurna

Doa atau mantera kebanyakan memang terkait dengan tujuan-tujuan yang mistik, mencari kesaktian, atau ilmu supranatural. Hal ini dipahami mengingat masyarakat Jawa mengagumi kekuatan supranatural. Animisme dan dinamisme dengan percaya kepada kekuatan benda-benda keramat dan roh-roh halus masih kuat. Metode merubah atau memodifikasi mantra menjadi teknik yang dilakukan Sunan Bonang.

12

Wirjapranita (ed), Wejangan Walisongo, Sadu Budhi, Solo, t thn, hlm 10, dikutip dari dalam buku Islam dan Kebudayaan Jawa, tulisan M.Darori Amin, MA, hlm 106.

B.6. Slametan Sebagai Inti Ritual Keagamaan Kebudayaan abangan intinya berpusat di pedesaan dengan tradisi keagamaan yang terdiri dari upacara yang disebut slametan, yaitu kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap mahkluk halus, dan seluruh rangkaian teori dan praktek pengobatan, sihir dan magi (Geertz 1989:6). Inti agama masyarakat kejawen adalah slametan.13 Ritual slametan ini mengikuti siklus kehidupan orang Jawa sejak seorang anak Jawa belum lahir sampai seribu hari setelah meninggal dunia. Slametan merupakan suatu

perjamuan makan sederhana, semua tetangga diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali (Magnis-Suseno 1999:15; Geertz 1989:13). Masyarakat Jawa mempercayai ritual slametan sebagai alat untuk menjaga diri dari roh-roh halus, sehingga mereka tidak akan mengganggu (Geerts 1989:17) tetapi juga terkandung nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan dan kerukunan. Sekaligus slametan menimbulkan suatu perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain (Magnis-Suseno 1999:15). ditemukan Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto: Dalam suatu slametan setiap orang diperlakukan sama. Hasilnya adalah tak seorangpun merasa berbeda dari yang lain, tak seorangpun merasa lebih rendah dari yang lain, dan tak seorangpun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain (1989:17). Seperti yang

13

Sering juga disebut dengan kenduren.

Ritual slametan tidak hanya secara ritus menolak pengaruh negatif rohroh halus, tetapi juga mengandung nilai harmonisasi sosial antar tetangga dalam masyarakat. Menurut Niels Mulder, ritual slametan merupakan mekanisme integrasi sosial yang penting, dan sangat memuliakan kewajiban ziarah kubur dan leluhur14.

B.7. Abangan Versus Santri dalam Slametan Slametan, meskipun merupakan mekanisme integrasi sosial, tidak semua kelompok Santri berpendapat sama. Slametan, kemudian disebut sebagai perbuatan bidah atau penambahan, mengada-adakan sesuatu yang baru dalam dalam agama Islam. Pandangan seperti itu banyak dikemukakan oleh mereka golongan Santri yang memegang keyakinan kuat dan Islam murni (scriptualis), seperti golongan Islam modernis (Muhamadiyah) dan kemunculan aliran fundamentalis Islam belakangan ini. Tetapi banyak dari golongan yang dekat dengan ciri santri, tetaplah menghormati slametan. Kelompok santri yang masih menghormati ritual slametan kemudian diidentifikasi sebagai golongan santri yang tradisionalis dengan label Nahdatul Ulama (NU). Slametan, kemudian menjadi subjek dari gesekan-gesekan atau konflik. Masyarakat abangan atau kejawen, melestarikan slametan sebagai bagian tak terpisahkan dalam pandangannya mengenai dunia (kosmos). Sementara disisi

14

Mulder, Niels. Dalam Mistisme Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm 10

lain, Kelompok santri sebagian ada yang menghormati dan ada yang menghindari. Pandangan kelompok santri terhadap ritual slametan memberikan dua pemahaman, yaitu (1) budaya tersebut dapat dimaknai sebagai arena kebudayaan yang memfasilitasi adanya beberapa unsur budaya yang berfungsi sebagai pembentuk integrasi; dan (2) karena berfungsi sebagai arena kebudayaan, bisa saja melahirkan implikasi berupa adanya ruang kontestasi atau perebutan budaya. Slametan menurut Geertz sebagai suatu kebudayaan yang kompleks. Ia menunjuk pada banyaknya variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan, serta konflik-konflik nilai yang muncul sebagai akibat perbedaan golongan sosial atau menurutnya sebagai tipe kebudayaan: abangan, santri, priyayi (Geertz, 1989: 9). Konflik kelompok santri terhadap ritual slametan pernah menjadi perhatian dan tulisan Muslim Abdurrahman, dalam bukunya berjudul Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. Digambarkan bahwa Muhammadiyah membawa budaya Islam murni yang menganggap bahwa tradisi masyarakat seperti slametan, bukanlah cara dan peradaban yang Islami. Tradisi hanya akan menyuburkan takhayul, bidah dan ckhurofat. Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap ada, padahal sebenarnya tidak ada. Bidah adalah perbuatan ibadah (ritual) yang dikerjakan tidak menurut contoh-contoh yang telah ditetapkan, termasuk menambah dan mengurangi ketetapan, tanpa berpedoman pada Al Quran dan Sunah Rasul. Churofat adalah ajaran yang tidak masuk akal. Hal tersebut disebabkan upacara slametan banyak menghadirkan

sesaji dan kepercayaan akan hari-hari yang dikeramatkan. Itulah sebabnya Muhammadiyah beranggapan bahwa tradisi masyarakat itu justru bertentangan dengan ajaran Islam atau merupakan sesuatu yang mubazir15.

B.8. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah usaha mencari unsur-unsur sinkretisme dalam ritual slametan dan hubungan santri-abangan, seperti: 1. Dasar-dasar numerologi slametan dalam alur kehidupan manusia. 2. Keberadaan simbol-simbol material yang tergolong non-Islam. 3. Unsur kepercayaan yang mendasari adanya slametan, mitos, doa-doa atau mantra 4. Sudut pandang mengenai konsepsi slametan antara kelompok abangan dan kelompok santri.

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretatif. Dengan pendekatan interpretif ini, kebudayaan sebagai sistem pemaknaan yang harus dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-

15

Berita Resmi Muhammadiyah No. 13, 2000: 37, dalam Abdurrahman, Moeslim.. Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. Jakarta: Ideo Press, 2003, hlm 22

simbol sehingga analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk menelusuri makna.

B. Tempat Penelitian Tempat penelitian adalah Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Desa Pesanggrahan merupakan lokalitas yang dapat menjadi lokasi penelitian yang hasilnya akan menambah secara tidak langsung terhadap bahan kajian mengenai Islam Jawa dengan Tradisi Alit (Wong Cilik) dengan bertolak dari hasil penelitian Clifford Geertz.

C. Sumber Data Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan dari lapangan langsung. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi yang relevan serta hasil dari analisis data primer. Sumber data utama adalah kata-kata dan tindakan yang diamati secara langsung, selebihnya adalah data tambahan seperti literatur tertulis, dokumen, dan arsip.

D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu : 1. Observasi partisipatoris Observasi atau pengamatan memungkinkan peneliti untuk merasakan apa yang terjadi dalam ritual Slametan. Peneliti dapat mengamati langsung

hubungan antara kelompok yang dikategorikan sebagai Santri dan Kelompok Abangan atau Kejawen dalam Ritual Slametan.Pengamatan menjadi alat yang berguna ketika peneliti mengalami keraguan dikarenakan data yang dijaring terdapat bias. Disebabkan karena jarak antara peneliti dengan yang diwawancarai yaitu informan atau responden. Teknik yang digunakan peneliti adalah observer as participant, yaitu pengamat sebagai pemeran serta peneliti ikut dalam kegiatan-kegiatan subjek dan secara terang-terangan diketahui oleh subjek. Teknik ini mengharapkan subjek secara sukarela memberikan informasi dan kesempatan luas kepada peneliti untuk melakukan pengamatan terhadap proses.

2. Wawancara mendalam Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan percakapan secara lisan untuk maksud tertentu antara dua pihak yaitu peneliti sebagai pewawancara (interviewer) dan yang diwawancara (interviewee). Penelitian ini menggunakan jenis wawancara dengan pendekatan petunjuk umum wawancara, dimana peneliti membuat kerangka dan garis besar yang akan ditanyakan (interview guide). Dalam proses wawancara, urutan pertanyaan tidak harus urut, tidak harus sama dalam kata-kata, dan hanya berisi petunjuk secara garis besar, dan bahkan bisa bisa berkembang lebih dalam. Dalam wawancara, poin-poin atau garis besar pertanyaan antara lain;

Makna dan maksud dari penyelenggaraan slametan, Motif mengikuti slametan, Sudut pandang kelompok abangan terhadap kelompok santri atau sebaliknya, kelompok santri terhadap kelompok abangan dan maksud atau makna slametan bagi masing-masing.

Wawancara dilakukan dengan memilih responden yang diasumsikan merepresentasikan kelompok-kelompok terkait dalam ritual slametan dan sudut pandang antara kelompok santri dan kelompok abangan atau kejawen. Dibawah ini penulis memaparkan kriteria-kriteria informan dan responden yang peneliti perlukan dalam pengumpulan informasi. Diantaranya sebagai berikut : 1. Tokoh Kejawen yang dianggap tinggi ilmu atau dituakan dan dihormati. 2. Tokoh Santri atau Pemuka Temapat Ibadah Masjid/Sejenisnya yang dianggap memiliki pengaruh dan ilmu agama kuat, misalnya alumnus pondok pesantren. 3. Tokoh atau Aparat Desa/Pemerintahan yang dianggap netral, mewakili kelompok Priyayi.

3.

Menggunakan Informan Teknik menggunakan informan adalah diperlukan untuk membantu

peneliti mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung. Informasi biasanya terkait hal-hal yang tersembunyi atau sensitif.

Dibawah ini penulis memaparkan kriteria-kriteria informan yang peneliti perlukan dalam pengumpulan informasi, sebagai berikut : Berinteraksi langsung dengan warga masyarakat desa dalam ritual adat Slametan. Memiliki hubungan dekat dengan responden. Tokoh yang dianggap netral diantara responden yang

merepresentasikan kelompok abangan dan kelompok santri

4. Menggunakan dokumen Dokumen dapat digunakan sebagai sumber data dan dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan (Moleong, 2000; 161). Teknik ini menggunakan berbagai bentuk informasi, yaitu data audio visual, data statistik, monografi, hasil laporan penelitian, atau peristiwa tertulis lainnya

E. Teknik Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data sudah dimulai sejak peneliti terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data. Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan rumusan hipotesis kerja. (Moelong, 2000; 103). Analisis data melalui alur sebagai berikut :

1. Reduksi Data Reduksi data adalah teknik analisis data dengan memilih hal-hal yang pokok dan membuang data yang tidak mendukung fokus penelitian. Teknik ini juga diartikan sebagai bentuk analisis yang meruncing atau menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga mendapatkan kesimpulan dan kemudian diverifikasi. Data yang telah direduksi kemudian menggambarkan hasil yang tajam dan mempermudah peneliti untuk mencari sewaktu diperlukan. Proses ini berlangsung secara terus-menerus hingga laporan penelitian dapat tersusun.

2. Menginterpretasi Data Setelah data direduksi, maka kemudian dilakukan analisis yang bersifat interpretasi, yakni untuk menelusuri makna dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang, dikatakan orang, signifikansi ritual, struktur, dan kepercayaannya. Hal ini dilakukan karena kebudayaan sebagai sistem pemaknaan, harus dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol, sejalan dengan pendekatan interpretatif. Terobosan pendekatan interpretif Geertz dapat disarikan dalam dua hal. Pertama, interpretasi haruslah berdasarkan deskripsi tebal (thick description) gejala atau peristiwa sosial. Kedua, tujuan akhir interpretasi adalah menemukan dan memahami pandangan, keyakinan, dan penjelasan aktor sosial

dari perspektif aktor itu sendiri. Tujuan ini hanya bisa dicapai apabila peneliti dapat menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat yang ditelitinya

3. Menarik Kesimpulan Data yang diperoleh dapat dicari pola, model, hubungan dan hal yang muncul seperti hipotesis. Dari data yang telah diolah kemudian dapat ditarik kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Darori. Dkk. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media G. Moedjanto. 1987. Konsep Kekuasaan, Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya 1986. Mojokuto; Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa (terjemahan). Jakarta: Pustaka Grafitipers 1992. Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press Heddy Shri Ahimsa-Putra. 2006. Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press Kaplan, David. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Magnis-Suseno, Franz. 1999. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Moelong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Selo Soemardjan. 1982. Setangaki Bunga Sosiologi. Jakarta: UI Press Syam, Nur, DR. 2007. Madzhab-Madzhan Antropologi. Yogyakarta: LkiS

Anda mungkin juga menyukai