Anda di halaman 1dari 6

Mujahidah Azzam 2017-036

BAB I
JAWA DAN ISLAM

Hubungan antara Islam dan Jawa. Jawa, sebagaimana juga budaya lain
mempunyai apa yang disebut sebagai budaya dalam (deep culture). Budaya dalam ini
sifatnya tidak terlihat secara kasat mata. Sedangkan budaya permukaan (surface
culture) sebaliknya, bisa dilihat secara kasat mata, yang tercermin melalui bahasa, seni,
pakaian, hari besar, makanan dsb. Budaya permukaan Jawa terlihat dari bahasa jawa,
yang terdiri dari bahasa ngoko biasa dipakai untuk percapakan non-formal dan ditujukan
untuk mereka yang umurnya sebaya, madya (semi-formal) dan kromo yang digunakan
untuk percapakan formal, digunakan untuk percakapan dengan orang tua. Dari segi
perayaan hari besar, Jawa memiliki beberapa hari besar, seperti grebeg Suro,
Mauludan (Maulid Nabi), riyaya  (Hari raya ‘idhul fitri dan idhul adha). Pakaian orang
Jawa seperti blangkon, tapih  untuk perempuan, beskap  juga merupakan aspek dari
budaya permukaan Jawa. Begitu juga dalam masalah makanan seperti sego tumpeng,
bubur abang-putih biasanya untuk acara mithoni (acara peringatan tujuh bulanan
kehamilan) dst, dibuat sesuai dengan maksud tertentu. Terakhir, seni Jawa klasik, yang
dikenal banyak kalangan dengan jathilan, wayang wong,  dan  ludruk  (h. 18-23). Buku
Muhammadiyah Jawa yang dikarang oleh Najib Burhani ini menekankan pada aspek
budaya permukaan (surface culture) dalam memahami dan membaca sikap
Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.
Sarjana barat yang mengkaji hubungan Islan dengan Jawa bisa dibedakan ke
dalam dua pandangan ekstrem: Pandangan Orientalis-Lama dan Pandangan yang
berpusat pada Islam. 
Pertama, disebut oleh penulis sebagai Paradigma Orientalis Lama, bahasa keren-
nya Old-Orientalist Paradigm yang berpandangan bahwa dalam mengkaji Jawa,
sebaiknya para sarjana tidak mengfokuskan diri pada Islam sebagai faktor utama, karena
Islam hanya bagian dari berbagai elemen budaya yang tersebar di Jawa, seperti pra-
Hindu, Hindu, Budha, dan Kristen. Sehingga, dalam paradigma ini, menempatkan Islam
sebagai bagian kecil dari budaya Jawa. Para tokoh berparadigma orientalis-lama
diwakili oleh Thomas Raffles, Clifford Geertz, dan James L. Peacock.
Pembagian masyarakat Jawa menjadi putihan dan abangan, pada mulanya ditemukan
dalam tulisan Carel Poensen, sebagaimana dikutip dalam buku (cat. nomor 21, h. 25).
Putihan ialah sebutan untuk orang Jawa yang Islam lahir-batin; tidak hanya sebatas
pada status formal saja tetapi juga secara batiniyyah meyakini ajaran Islam.
Sedangkan abangan sebutan untuk orang Jawa yang beragama Islam hanya sebatas
status-formal saja, tetapi jauh di dalam batinnya masih mengimani agama Jawa
(Jawanisme). Pemerintah Belanda juga akhirnya memakai istilah ini untuk membagi
masyarakat Jawa sebagau usaha untuk menceraikan antara Islam dan adat (Jawa).
Proyek ini dijalankan oleh Snouck Hurgronje dan Cornelis Van Vollenhoven untuk
menerapkan adat sebagai system hukum di Indonesia pada waktu itu. Hal ini tidak lain
hanya untuk semakin menjauhkan nuansa Islam; singkatnya mengadu domba Islam dan
budaya. Namun hal tersebut tidak berjalan sesuai rencana, ternyata Islamisasi di Jawa
melalui kerajaan/istana bahkan tumbuh dengan massif. Karenanya, pemerintah kolonial
mengubah strategi. Strategi yang diambil selanjutnya dengan usaha untuk membaratkan
Jawa. Proyek pembaratan Jawa ini target utamanya adalah para prirayi, sebab mereka
(priyayi) mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mempengaruhi rakyat biasa dan
mereka mempunyai akses pengetahuan yang lebih terbuka pada Barat daripada
masyarakat biasa. Akhirnya, banyak kalangan priyayi yang sebelumnya dekat dengan
Islam, harus terpisah bahkan semakin jauh dari Islam. Terjadilah trikotomi santri-
abangan-priyayi yang dipopuleran Clifford Geertz dalam bukunya Religion of
Java  (1976). Sehingga, bisa dikatakan pertentangan yang terjadi antara Islam dan
budaya (adat) tidak bisa dilepaskan dari peranan pemerintah colonial yang tidak
menginginkan hubungan harmonis antara keduanya.Geertz, yang berpandangan dengan
gaya orientalis lama, membuat garis demarkasi yang ketat antara Islam dan adat (Jawa).
Baginya, Islam hanyalah bagian dari budaya Jawa, yang bahkan pengaruhnya amat kecil
dibandingkan dengan elemen lain yang datang sebelum Islam seperti animism, dan
Hindu-Budha. Filosofi Jawa seperti andap-asor; alus-kasar; semuanya didasari pada
pemikiran filosofi Hindu dan Budha. Sopan-santun serta andap-asor  merupakan
turunan dari konsep kasta dalam Hindu, yang digunakan dalam berhubungan sosial
dengan orang yang lebih tinggi status sosialnya. Konsep alus-kasar, dalam bidang seni,
menggambarkan pemikiran Hindu juga, istilah seni alus untuk kasta Brahma-Ksatria,
dan kasar untuk masyarakat biasa (Weisya). Semua sarjana yang disebut dalam
kelompok ini berpadangan bahwa Islam bukanlah faktor utama, karenanya Islam
menjadi inferior. Pandangan tersebut tentu saja sejalan dengan pandangan orientalis
Barat dalam melihat Islam (h. 24-34).
Pandangan kedua, pandangan yang berpusat pada Islam, atau Islam-centered. Sarjana
barat yang sependapat dengan pandangan ini diwakili oleh Mark R. Woodward,
Marshall G.S Hodgson dan Willliam R. Roff. Pandangan ini bertolak belakang dari
pandangan Orientalis-lama. Pandangan ini menyatakan bahwa Islamlah faktor yang
dominan dalam membentuk masyarakat Jawa, bukan Hindu-Budha seperti disebut oleh
orientalis lama. Penulis mendasarkan argument pandangan ini dari Mark Woodward.
Dalam berbagai penelitian dan berbagai temuan Woodward dalam Islam in Java (1989),
agama di Jawa tidaklah punya akar Hindu-Budha. Tidak cukup bukti untuk menyatakan
bahwa Hindu-Budha punya pengaruh pada agama masyarakat Jawa. Misalnya saja,
dalam budaya grebeg mulud (peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW), Woodward
tidak menemukan lagi unsur-unsur Hindu-Budha dalam acara tersebut, tidak ada lagi
epic Mahabharata dalam setiap detail acaranya. Islam telah menjadi agama resmi, di
mana etika dan tata krama perbuatan juga bersandar kepadanya. Karena pola Islamisasi
di Jawa berlangsung dari atas ke bawah (top-down) sehingga ketika Islam telah menjadi
agama resmi istana, maka hal itu pula secara perlahan akan meresap dan dipraktikkan
oleh masyarakat biasa yang berada di luar istana. Woodward menambahkan bahwa
Hindu-Budha tidak lagi menjadi pondasi dasar budaya Jawa. Sebab Islam sudah
beradaptasi dengan budaya pra-Islam, kemudian memunculkan tradisi baru yang justru
sarat akan nilai-nilai Islam. Singkatnya, Islam telah merasuk begitu dalam pada budaya
Jawa (h. 39-44).
Dua paradigma ini masih saja diperdebatkan hingga kini. Beberapa sarjana
mencoba membentuk pandangan tengahan baru di antara kedua paradigma ekstrem ini.
Pandangan ini mengatakan bahwa proses islamisasi Jawa bukanlah proses yang mulus,
tetapi mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Hubungan antara Islam dan Jawa
tidak selalu harmonis. Singkatnya, bagi orang Jawa, Islam selalu menjadi sebuah
contested identity, identitas yang diperdebatkan
BAB II
MUHAMMADIYAH

Tak seorang pun bisa melepaskan diri dari lingkungan di mana dia hidup, dari
fakta keterkaitannya dengan seperangkat keyakinan, gagasan, posisi sosial, atau dari
kegiatan menjadi anggota masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan serta
konteks sosial dimana Muhammadiyah berdiri, berkaitan erat dengan budaya Jawa.
Namun stigma yang selama ini tersemat pada Muhammadiyah yang taken for
granted; apa adanya, tanpa kritik adalah Muhammadiyah dicirikan dengan gerakan
puritan Islam. Gerakan yang seolah-olah anti budaya Jawa yang akan merubah semua
budaya Jawa yang dianggap sinkretis. Selama ini, banyak kalangan—termasuk anggota
Muhammadiyah—yang menganggap bahwa Nahdhatul ‘Ulama’-lah satu-satunya
representasi Islam Jawa, terlihat secara kasar bahwa NU lebih dekat dengan tradisi
Jawa, melalui tahlilan, slametan, dan mauludan, dibanding Muhammadiyah yang
rasanya kurang memberikan apresiasi terhadap tradisi/budaya Jawa. Padahal fakta
berupa dokumen serta berita resmi Muhammadiyah menunjukkan bahwa
Muhammadiyah pada masa awal berdirinya sangat erat sekali dengan budaya Jawa
Hal inilah yang ingin disampaikan penulis pada bab II buku “ Muhammadiyah
Jawa” . Pada bab II ini, penulis memaparkan argumentasi dan bukti-bukti bahwa
Muhammadiyah di awal berdirinya dalam hal ini pendiri dan anggotanya tidak
menentang budaya Jawa bahkan mendukung dan menerapkan budaya Jawa dalam
keseharian mereka. Penulis juga membahas tentang peran yang dimainkan
Muhammadiyah dalam masa-masa awal.
Argumentasi yang dikemukakan penulis tentang hubungan Muhammadiyah dan
budaya Jawa cukup kuat. Diantara buktinya adalah Muhammadiyah berdiri di Kauman,
sebuah tempat yang sangat dekat dengan Keraton; pusat budaya Jawa Jogja. Keraton
kesultanan Ngayogyakarta merupakan warisan dari Mataram Islam. Selain Keraton
Jogja, pecahan Mataram Islam dibagi menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Pembangunan arsitektur keraton Jogja, menurut Woodward, merupakan data kongkret-
komprehensif bahwa Islam telah mengakar di lingkungan Keraton. Bahkan dalam
desain arsitekturnya, keraton dibangun berdasar pada konsep tasawwuf Islam yang
menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah .
Selain itu, aspek yang tak kalah penting untuk menjelaskan hubungan organisasi
Islam tertua ini dengan budaya Jawa adalah, bahwa Ahmad Dahlan merupakan
seorang abdi dalem  Keraton. Dalam wawancaranya bersama Gusti Joyo, Najib Burhani
menemukan informasi bahwa julukan Ahmad Dahlan adalah Raden Ngabehi (R. Ng.),
bukan Mas sebagaimana dijelaskan para sejarawan. Jika dilihat dari garis keturunannya,
Ahmad Dahlan termasuk dalam keturunan Kyai-priyayi. Ayahnya, KH Abu Bakar bin
Kyai Mas Sulaiman merupakan seoarang ketib dan abdi dalem yang menangani urusan
keagamaan. Setelah kematian ayahnya, Ahmad Dahlan ditunjuk untuk menjadi ketib
amin sehingga ia juga menjabat posisi resmi di Keraton. Salah satu tugasnya ialah
memimpin grebeg, salah satu tradisi Kauman yang terdiri grebeg Mulud (peringatan
hari kelahiran Nabi Muhammad) dan  grebeg Besar (peringatan riyaya) serta acara
keagamaan lain. Tradisi ini didukung oleh sebagian besar anggota Muhammadiyah
awal yang merupakan abdi dalem, termasuk sang pendiri Ahmad Dahlan.Tercatat tujuh
dari Sembilan pendiri Muhammadiyah pada perijinan resmi kepada pemerintah
adalah abdi dalem, dua yang lain juga masih keturunan priyayi serta keturunan abdi
dalem pamethakan (pejabat urusan agama keraton). Alih-alih mengutuk budaya Jawa,
Ahmad Dahlan beserta para anggota Muhammadiyah awal sangat mengapresiasi tradisi
Jawa. Dalam posisi seperti ini, semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya Ahmad
Dahlan sangat menghormati tradisi Jawa . Hal ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah
melakukan proses adaptasi terhadap budaya Jawa dengan cara yang baik, santun dan
damai.
Dalam berperilaku, Ahmad Dahlan (dan Muhammadiyah) tidak pernah
melanggar aturan, unggah-ungguh budaya Jawa (Keraton). Bahkan, ia sebagai  ketib
amin berhubungan baik dengan Sultan (Raja). Selain itu, anggota Muhammadiyah lain,
yang juga merupakan abdi dalem keraton juga turut serta dalam mengapresiasi tata cara
perilaku Jawa. Tidak hanya dalam aturan perilaku Muhammadiyah mengapresiasi
budaya Jawa. Dari sisi bahasa, Muhammadiyah di masa awal juga menggunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa penerjemahan al-Qurān. Inilah pandangan Muhammadiyah, yang
membolehkan penerjemahan al-Qurān dengan bahasa selain bahasa Arab (a’jami).
Selain itu, dalam hal  penerbitan Muhammadiyah juga menggunakan bahasa Jawa dan
Melayu. Dari sisi ibadah, Ahmad Dahlan bahkan membolehkan orang yang belum
mampu sholat dengan bahasa Arab, supaya belajar dahulu menggunakan bahasa Jawa.
Hingga dalam penyampaian khutbah Jum’at, yang pada saat itu sebagian besar
disampaikan menggunakan bahasa Arab, Muhammadiyah memulai penggunaan bahasa
Jawa, dengan alasan supaya mudah dipahami dan dimengerti jama’ah. Dalam hal
berpakaian, Beskap, belangkon, kuluk, atela merupakan pakaian yang sering digunakan
oleh anggota Muhammadiyah. Inilah bentuk kecintaan pada budaya Jawa. hampir
semua foto-foto dokumen lama menunjukkan jelas bahwa sebagian besar memakai baju
khas Jawa. Apalagi perihal nama, banyak nama Jawa dalam anggota (juga pendiri)
Muhammadiyah, dengan berbagai sebutan seperti Mas, Raden, dan Haji.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah tidak saja menjadi abdi
dalem  tetapi ia juga menjadi anggota dari salah satu organisasi kebudayaan Jawa
modern, Boedi Oetomo (BO), yang anggotanya terbatas pada kalangan priyayi saja.
Pada tahun 1909, ia masuk menjadi anggota Boedi Oetomo setelah diperkenalkan oleh
Mas Djojosumarto. Organisasi ini membuat Ahmad Dahlan menjadi anggota aktif
sampai wafatnya pada 1923. Hubungan yang terjalin antara BO dan Ahmad Dahlan
semakin erat dengan pembentukan Muhammadiyah pada tahun 1912. Ada empat peran
utama yang dimainkan Muhammadiyah dalam masa-masa awal, yakni: sebagai gerakan
pembaruan keagamaan (yang mengedepankan nalar dan logika dalam teori serta
pembaruan sistem pendidikan dalam praksis); sebagai kekuatan politik; sebagai
perlawanan terhadap komunisme dan Kristen; dan sebagai pendukung budaya Jawa
(yang mengembangkan sejarah dan seni Jawa, dan menjadi kawan dan sekutu kaum
priyayi).
Dalam pembaruan keyakinan dan amalan agama, Muhammadiyah menggunakan dua
metode: rasionalisasi dan modernisasi. Dalam politik, dominasi priyayi menyebabkan
Muhammadiyah mengadopsi sikap ambigu terhadap politik. Pada satu sisi,
Muhammadiyah menyatakan bahwa politik tidaklah termasuk urusannya. Pada sisi lain,
Muhammadiyah memberi kebebasan para anggotanya untuk ikut serta dalam kegiatan
politik dan menggunakan gerakan-gerakan lain seperti Sarekat Islam sebagai kendaraan
politik mereka. Terhadap Kristenisasi, Muhammadiyah mencoba membela Islam di
Indonesia dari penetrasi misi Kristen dengan mendirikan sekolah, rumah sakit, dan
dengan terlibat dalam debat-debat dengan para misionaris.
BAB III
SIKAP MUHAMMADIYAH TERHADAP BUDAYA JAWA

Bab III ini membahas pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap budaya Jawa.
Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak pernah
menentang budaya Jawa bahkan dalam banyak hal mengapresiasi. Namun seiring
berjalan waktu, banyak perubahan serta pergeseran sikap Muhammadiyah terhadap
budaya. Penulis memberikan pemetaan sebab pergeseran itu menjadi faktor internal dan
ekternal.
Faktor internal banyak dipengaruhi oleh keadaan dalam intern
Muhammadiyah. Penyebab pertama pergeseran sikap dari dalam (internal) adalah
pengaruh anggota Muhammadiyah dari Minangkabau. Satu tokoh Muhammadiyah yang
banyak mempengaruhi pemahaman agama yang keras serta menentang tradisi adalah
Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), dikenal dengan Haji Rasul; Ayah dari Buya
Hamka. Haji Rasul, yang merupakan pendiri Muhammadiyah di Minangkabau, dalam
setiap dakwahnya sering mengktirik berbagai tradisi adat, sehingga terjadi pertentangan
antara ulama tradisional, Kaum Tua dengan Kaum Adat. Karakter pemahaman agama
Haji Rasul bercorak revivalis-putiran. Tokoh yang disebut terakhir cenderung inklusif
dan menghargai pluralitas di dalam memandang suatu realitas keagaamaan. Namun
karena pengaruh Haji Rasul yang kuat, akhirnya wacana pemurnian ajaran semakin
mengalami pengerasan. Selain dari pengaruh anggota Minangkabau, pendirian Majelis
Tarjih juga merupakan faktor lain yang turut berkontribusi menggeser sikap
Muhammadiyah pada budaya. Majelis ini didirikan resmi pada tahun 1928 di Kongres
Muhammadiyah ketujuh di Yogyakarta. Pendirian majelis ini awalnya bertujuan untuk
menangani permasalahan khilāfiyyah, terutama dalam masalah yang berkaitan dengan
hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Tetapi setelah berjalan, Majelis ini
mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang malah menghambat adanya inovasi, karena
khawatir akan bid’ah. Pendirian majelis ini juga terkesan kontradiktif, karena
pemahaman Muhammadiyah akan Islam tidak mengikuti (terikat) madzhab tertentu,
sehingga pendirian Majelis ini dianggap sebagai madzhabnya Muhammadiyah. Hal ini
pula yang menyebabkan Muhammadiyah terlalu sibuk dengan persoalan ibadah dalam
makna yang sempit, dari pada mengurus persoalan sosial yang dahulu menjadi ciri
utama gerakan Al-Maun. Ini yang disebut dalam buku sebagai Paradigma ber-
orientasi Syari’at (Syariah-oriented). Dalam keterkaitannya dengan budaya Jawa,
nama-nama Jawa juga berkurang dan banyak bermunculan nama Arab, itu bukan
permasalahan tetapi menjadi persoalan ketika nama Arab dianggap lebih mulia dari
nama Jawa. Muhammadiyah saat itu tampil sebagai gerakan purifikasi daripada gerakan
sosial serta modernisasi .

Sedangkan dari faktor eksternal, kemenangan Wahabi di Mekkah, menguatnya


Nasionalisme dan pendirian Nahdhatul ‘Ulama merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pergeseran sikap di Muhammadiyah. Pada tahun 1924 Wahabi yang
berhasil menaklukkan Mekkah, bertekad memurnikan ajaran-ajaran agama. Gerakan ini
secara eksternal turut mempengaruhi pergeseran Muhammadiyah menjadi sangat
puritan. Aspek nasionalisme, juga turut memberikan andil dalam perubahan sikap
terutama kali jika dilihat dari aspek bahasa. Bahasa Jawa yang sebelumya menjadi
bahasa resmi dalam penerbitan maupun dakwahnya perlahan diganti menjadi bahasa
Indonesia, terutama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Lahirnya NU pada
1926, dengan cirinya yang erat dengan budaya/tradisi Jawa, semakin meneguhkan posisi
Muhammadiyah sebagai ‘lawan’-nya, karena Muhammadiyah pada saat itu cenderung
kepada gerakan purifikasi. Sehingga tergambar citra bahwa Muhammadiyah lebih dekat
dengan Wahabi dan NU dekat dengan budaya Jawa .
Pada saat itulah kiranya pertama kali lahir pandangan yang selalu
mempertentangkan Muhammadiyah dan Nahdhatul ‘Ulama. Pandangan itu yang
senantiasa diulang-ulang, direpoduksi sehingga secara tidak sadar mengakar kuat dalam
benak dan alam bawah sadar kita. Dari titik inilah sebetulnya, perpecahan pandangan
yang banyak menghubungkan Muhammadiyah dengan ideology Wahabi bisa dijelaskan
dengan bijak. Karena bagaiamanapun juga, kelahiran Muhammadiyah tidak akan pernah
bisa dilepaskan dari tradisi Jawa, baik personal pendirinya (mayoritas abdi
dalem Keraton, berperilaku Jawa, berbahasa, bernama dan berbusana Jawa), maupun
secara organisatoris; yang dalam pendirian serta perkembangannya banyak dibantu
Boedi Oetomo yang mnerupakan organisasi Jawa modern. Begitupun sebaliknya,
Keraton sebagai simbol budaya Jawa bagi masyarakat Kauman (Jogja pada umumnya),
tidak akan bisa melepaskan bagian sejarah perjalanannya dari Muhammadiyah.
Begitulah kiranya gambaran hubungan Muhammadiyah-Jawa. Jika kita mau melihat
sejarah dengan jernih, tampak sekali bahwa Muhammadiyah sangatlah mengapresiasi
budaya Jawa, dan tidak cenderung kepada gerakan Wahabi—sebagaimana tergambar di
benak sebagian orang saat ini. Muhammadiyah dan Jawa bukanlah entitas yang saling
bertentangan tetapi saling mengisi dan berdialog dengan cara: yang Islam dan Jawa
punyai yaitu halus, damai dan bijak. Sehingga bisa dikatakan Muhammadiyah adalah
Islam-Jawa. Sikap Muhammadiyah untuk turut mempertahankan beberapa praktik
keagamaan dalam keraton seperti perayaan grebeg adalah contoh apresiasinya terhadap
budaya Jawa. Islamisasi dalam Muhammadiyah (mungkin hal serupa juga terjadi di
tubuh NU), secara tidak langsung oleh Najib dikategorikan sebagai grammar of symbols
(bentuk di mana Muhammadiyah memanifestasikan dirinya) (hal. 81). Meski begitu,
apa yang disebut sebagai grammar of symbols lebih berartikulasi di level surface culture
(budaya permukaan). Budaya permukaan yang terislamisasi ini nampak pada unsur-
unsur bahasa, politik busana, nama [proper name] sebagai simbol dan cara-cara
Muhammadiyah bertoleransi terhadap tradisi-tradisi lokal.
Akhirnya, kita bisa menyimpulkan bahwa budaya permukaan Jawa sangat
diapresiasi oleh Muhammadiyah pada masa Dahlan, sedangkan budaya-dalam Jawa
sebagian besarnya dimodernkan dan dirasionalkan. Kita juga bisa mengatakan bahwa
bagi Muhammadiyah, Islam secara kultural dijawakan, dan Jawa secara substansi
diislamkan (dirasionalkan dan dimodernkan); Jawa sebagai sistem ideologi atau isme
ditolak, tapi Jawa sebagai budaya diterima.

Anda mungkin juga menyukai