Anda di halaman 1dari 13

Sumbu Bonjol - Malaka

MENUJU PROLETARIAT ASLIA REPUBLIK INTERNASIONAL (PARI)

Tan Malaka menganggap buku yang direncanakannya ini, Gabungan Aslia (Federasi
Aslia), bersama otobiografinya dan Madilog sebagai wasiat politiknya.
Bagaimanapun ia tak bisa menyelesaikan buku ini sampai akhir Perang Dunia II.
Menurut Ensiklopedia Indonesia Van Hoe 1954-1956, Pari adalah nama partai yang pernah
didirikannya di Bangkok tahun 1927. Nama partai ini berubah pada tahun 1946, dari Partai
Republik Indonesia menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.
Bagaimana Tan Malaka melahirkan konsep Aslia?
Pertama, Tan Malaka adalah satu dari sedikit pemimpin Indonesia generasi yang sama
yang telah mengadakan perjalanan di kawasan Asia Tenggara. Ia tinggal di dan singgah di
Rangoon, Bangkok, Singapura dan Manila.
Kedua hubungannya yang dekat dengan nasionalis terkemuka Filipina, boleh jadi
membuat Tan Malaka berpikir dalam kerangka Aslia sebagaimana gagasannya tentang Pan-
Malaya.
Ketiga Tan Malaka kembali mengenang saat ia “mendapatkan” otoritas sebagai
supervisor gerakan komunis di Seluruh Asia Tenggara dan Australia” tahun 1923, sehingga
semua negara ini harus disatukan dalam sebuah federasi.
Kesatuan geografi, iklim, ras, ekonomi dan psikologi semakin diperkuat dengan
adanya musuh imperialis yang satu di bawah pemerintahan imperialisme Inggris.
Elemen-elemen Aslia yang dimaksud adalah: Burma, Siam, Annam, Malaka,
Indonesia, Filipina dan Australia.
Dalam Madilog, Aslia sesungguhnya hanya merupakan satu dari delapan komponen
dunia sosialis yang akan datang. (Amerika Utara, Amerika Selatan, Cina, Hindustan, Afrika,
Eropa Barat dan Uni Soviet).
Bahkan komponen paling akhir dari 8 komponen dunia sosialis (bandingkan dengan
BIRACS) ini, Hindustan, diharapkannya akan mencapai tahap pembangunan sosialis. Yakni
berhasil mengatasi beban budaya Hindu yang menindihnya.
Tan Malaka memuji Cina karena kualitas-kualitas Madilog yang berlaku di sana. Ia
menulis: “Ilmuwan Cina membangun pengetahuan berdasarkan bukti dan kenyataan. Mereka
berpijak di bumi”. Nilai-nilai animisme dan dinamisme dalam pandangan Tan Malaka
merupakan “landasan dasar kesamaan rakyat Indonesia dan Cina”
Pengharapan Tan Malaka yang tinggi terhadap bangsa Cina ini ditulis dalam
otobiografinya. Bisa dipastikan bahwa sumber utama penghargaan yang besar ini didapat
sewaktu tinggal di Cina.

Konsep Sejarah Aslia Menurut Tan Malaka


Dalam pandangan tradisional Minangkabau, “Sejarah berjalan menuju tujuannya,
tetapi dasar Alam dan irama perkembangannya harus tak berubah. (??)
Konsepsi semacam ini bukan sekedar landasan guna melihat masa lalu, namun yang
lebih penting, merupakan sebuah pesan untuk masa yang akan datang.
Bagi Tan Malaka motor penggerak sejarah adalah pikiran rasional. Untuk
menggerakkan sejarah lebih banyak dibutuhkan akal daripada perjuangan klas.
Sejarah harus berjalan naik dengan tujuan penyempurnaan masyarakat.
Keyakinan Tan Malaka terhadap tujuan mulia dan perjalanan naik sejarah Indonesia
dengan jelas dikemukakan di bagian akhir Madilog.
Ini akan merupakan era Indonesia merdeka dan sosialis, suatu era ketika cara berpikir
Madilog dipraktekkan secara luas dan memberikan surga bagi manusia. Era Proletar Aslia
Republik Internasional.
Namun karena era ini masih jauh dari kenyataan saat ia menulis Madilog, era ini
hanya bisa dilukiskan dalam imajinasi. Meski demikian gambaran masa depan seperti inilah
yang menjadi inti Madilog.
Di atas semuanya gambaran ini memberikan konotasi yang kuat mengenai “pesan
untuk masa yang akan datang” dalam pandangan Tan Malaka mengenai sejarah.
Nilai-nilai budaya cara berpikir Madilog tak akan mendapatkan kemenangan sampai
dimulainya era Indonesia merdeka dan sosialis.
Namun sejak awal sejarah Indonesia, nilai-nilai ini sebenarnya sudah ada.
Nilai-nilai ini sudah sejak dahulu kala memberikan memberikan landasan penting
perkembangan sejarah.
Pada periode tertentu kemunculannya memberi sifat baru setiap peristiwa.
Keberadaan permanen nilai-nilai ini ditekankan berulang-ulang dalam Madilog,
khususnya pada bagian yang membahas konsep Tan Malaka tentang periode pertama sejarah
Indonesia, apa yang disebutnya sebagai Indonesia Asli.
Melalui gambaran periode ini, yang menyebut keberadaan nilai-nilai kultural yang
sama dalam perjalanan sejarah Indonesia, tercipta landasan permanen bagi Alam dan
perkembangannya.
Konsep Tan Malaka tentang sejarah selalu didasarkan pada pemahaman bahwa
konflik (dialektika: tesis-antitesis) merupakan bagian terpenting bagi segala bentuk integrasi
atau kemajuan.
Kalau diurut secara kronologis adalah sebagai:
Indonesia Asli, Budha-Sriwijaya, Hindu-Majapahit, Islam, Belanda, RI, PARI.

Selama masa ini, setelah kehancuran cara hidup Indonesia Asli, perjalanan sejarah
Indonesia bergeser jauh dari sumbunya. Sejarah Indonesia bergerak ke luar, pada saat cara
berpikir ketimuran muncul dan berbenturan dengan cara berpikir Indonesia Asli.
Oleh karenanya dengan caranya sendiri sejarah Indonesia mendorong perkembangan
Alam dan meratakan jalan bagi integrasi penuh masa depan yang merdeka dan Indonesia
yang sosialis.
Dalam bahasa yang digunakan Tan Malaka, periode Hindu-Belanda adalah antitesis,
konflik dengan tesis (Indonesia Asli), konflik ini mengubahnya menjadi sintesis “Indonesia
merdeka dan sosialis”.

Periode Indonesia Asli

Dalam pandangan Tan Malaka, rakyat Indonesia Asli percaya pada kekuatan yang
melekat pada barang-barang material dan spiritual. Mereka belajar menilai secara realistis
baik kekuatan Alam maupun kekuatan mereka sendiri.
Mereka juga belajar bagaimana mempergunakan kekuatan mereka secara efektif; dan
mereka “lebih praktis, lebih nyata, lebih memperhatikan bukti nyata daripada rakyat di
tempat lain pada zaman yang sama dan daripada bangsa Indonesia sendiri sejak bercampur
dengan orang asing (Barat)”.

Bagaimana cara berpikir orang Indonesia Asli?

Sangat dekat dengan materialisme-Madilog.


Dinamisme Indonesia Asli, seperti digambarkan Tan Malaka, sangat dekat dengan apa
yang ia sebut dialektika-Madilog, karena rakyat Indonesia Asli “lebih energik, lebih berani
dalam memulai upaya-upaya baru yang penuh bahaya daripada keturunan-keturunan mereka.
Yang penting cara berpikir rakyat Indonesia Asli tergantung secara langsung pada
pengaruh rantau (migrasi yang memisahkan Indonesia dengan Semenanjung Malaka dan
Australia) yang menguntungkan.
Tan Malaka menulis bahwa perantaulah yang membawa kualitas-kualitas tersebut ke
Alam Indonesia Asli.
Pada masa menjelang zaman sejarah mereka mencapai kepulauan Indonesia dari Asia
Tengah (bagaimana mereka sampai di sana? Dan bagaimana kembali pulang?) melalui
perjalanan panjang yang menentukan. Perjuangan panjang menaklukkan hutan-hutan dan
gunung-gunung yang sulit dilalui telah mengajar mereka satu cikal bakal cara berpikir
Madilog, mereka lalu membawanya ke Indonesia bersama dengan pengetahuan mereka yang
telah maju tentang perkakas hidup, perkapalan, pertanian dan perbintangan.
Tan Malaka menganggap “yang baik dari rantau” ini sebagai kondisi yang mutlak ada
bagi perkembangan Alam (Indonesia Asli).
Seandainya orang Indonesia Asli yang datang dari Asia Tengah ke kepulauan ini tak
membawa serta seni membuat peralatan dari tembaga dan besi, mereka mungkin hanya akan
mengenal alat-alat yang tak lebih dari yang digunakan oleh saudara kita di Irian atau di Ulu
Pahang, Malaya atau di pegunungan Pulau Luzon hingga sekarang. (mengapa bisa terjadi
perbedaan alat antara yang ada di rantau dengan di alam?)
Rangsangan dari rantau yang sama telah menghidupkan model organisasi politik
yang sangat dipuji oleh Tan Malaka dalam Madilog. Kualitas pokok organisasi politik ini
yang disebutnya kerakyatan, sebuah istilah yang sering diterjemahkan demokrasi adalah
fenomena pengambilan keputusan di dalam masyarakat Indonesia Asli, contohnya di
Minangkabau.
Menurut Madilog, karena bantuan rantau, orang Indonesia Asli berhasil
mengembangkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang khusus di bawah pimpinan datuk,
yang merupakan pimpinan yang dicintai rakyat karena dipilih dari antara rakyat.
Hukum dan adat yang tumbuh dalam masyrakat hanya berfungsi untuk “menjamin
kesejahteraan masyarakat”. Gambaran ini sesuai sekali dengan konsepsi Minangkabau
(Indonesia Asli) tentang tatanan politik ideal.
Dalam keseluruhan konsepsi Madilog, yang paling penting adalah bahwa Indonesia
Asli terbukti kuat sekali menjaga identitas keasliannya untuk periode yang panjang, yang
juga berarti menjaga keseimbangan masyarakat.
Kemampuan inilah yang telah memberi nama Indonesia Asli: di bagian manapun
dalam Madilog disebut dengan Indonesia sebelum “bercampur dengan orang asing” atau
sebagai zaman “ketika rakyat Indonesia masih memiliki perasaan harga diri yang tinggi”.
Tan Malaka memberikan ilustrasi yang luar biasa dan menyolok mengenai kualitas
ini. Yakni dengan fenomena amuk.
Seperti dikemukakannya, amuk bukan gejala sakit jiwa sebagaimana anggapan umum
ilmuwan Barat, juga bukan jenis kemarahan khas orang Asia. (Bagaimana kemarahan orang
Asia lain?)
Menurut Tan Malaka amuk merupakan bentuk pertahanan manusia yang paling efektif
dalam menghadapi tekanan besar atau penghinaan dari luar, serta untuk menghadapi
kelemahan akal.
Seorang yang dihina secara semena-mena atau dengan sengaja diekploitasi, dijajah
dan disiksa harus marah jika kemanusiaannya belum hancur sama sekali.
Ada kemarahan yang tidak pada tempatnya dan ada yang wajar pada tempatnya. Yang
terakhir saya sebut murni (egois), karena jika dorongan (nafsu) untuk marah telah mati, mati
pula bersamanya dorongan untuk balas dendam, dorongan untuk melenyapkan segala
keburukan dan kebusukan dalam masyarakat.
Jika kemarahan murni di satu sisi menyebabkan kutukan dan di sisi lain kesombongan
menyebabkan kegagalan, kesusahan atau penyesalan, maka kutukan seorang pawang bisa
dianggap sebagai keberhasilan.

Periode Kegelapan

Periode pertengahan dalam sejarah Indonesia menurut konsep Tan Malaka dimulai
sejak abad pertama sebelum Masehi dan masih ada hingga tahun-tahun ditulisnya Madilog.
Tan Malaka menganggap misi hidupnya adalah menyalakan revolusi.
Apa rintangan terbesar terhadap misi ini? Adalah cara berpikir periode pertengahan.
Oleh karena itu periode kegelapan menjadi fokus konflik tidak hanya dalam
mengembangkan Indonesia Asli (Dari Menuju Indonesia Merdeka ke Menuju Aslia), namun
juga dalam kehidupan pribadi Tan Malaka dan siapa saja yang meneruskan cita-cita tersebut.
Di sinilah terletak panggilan buat generasi yang akan datang).
Orang Indonesia periode jaman kegelapan berpandangan non-materialis; hanya
berlandaskan pikiran, bukan pada kenyataan dan pengalaman.
“Hilang fakta. Hilang bukti. Hilang ketenangan. Hilang kebebasan menilai,” tulis Tan
Malaka. Sebagai konsekuensi pandangan idealis ini, perjalanan sejarah menuju
kesempurnaan masyarakat terganggu.
Sejarah periode ini tak membawa misi untuk masa mendatang dan tak mendorong
gerak maju sejarah. Karena dominasi cara berpikir yang anti-Madilog, tak ada semangat dan
inisiatif.
Sebagai akibatnya cara hidup dalam periode ini berubah.
Masyarakat Indonesia mengalami transformasi dari era perantau Indonesia Asli
menuju “masyarakat yang terpaku dalam lumpur”.
Kerajaan hadir menggantikan kerakyatan. Jiwa Indonesia Asli relatif tak mengenal
konsep penguasa seperti periode kegelapan. Para penguasa periode kegelapan adalah
pembawa kebudayaan Hindu atau Belanda.
Di samping itu meskipun mereka berhasil menaklukkan Indonesia, mereka tak
berhasil menyebarkan kebudayaan mereka di antara suku bangsa Batak, Kubu, Dayak, Toraja
dan rakyat Indonesia lain di luar Jawa.
Terhadap orang Jawa sendiri mereka “menanamkan dan memperkokoh perasaan
rendah diri (inferiority complex) rakyat Jawa”.
Sebagai landasan bersama semua semua keburukan ini, Tan Malaka merujuk pada
fakta bahwa periode kegelapan warga Indonesia kehilangan identitas (Di sini peran Madilog
untuk melakukakan revolusi mental), keaslian mereka, keyakinan mereka pada pembentukan
permanen Alam. Keseimbangan antara Alam dan rantau terganggu (tidak pernah melakukan
penjelajahan Samudra lagi karena penjajahan bangsa asing) dan konflik yang dibawa dari
penjajah menyebar di Kepulauan Indonesia.
Sebagai satu manifestasi dari kondisi yang menyedihkan ini Tan Malaka menulis,
“Sampai sekarang rakyat Indonesia masih sangat bergantung pada bantuan dari luar dirinya;
orang Indonesia tak mau lagi menyingsingkan lengan baju mereka.

Pengaruh India dan Belanda adalah penyebab utama kebobrokan zaman kegelapan.

Pengaruh kebudayaan “para tuan” India telah mengakhiri era Indonesia Asli dan
melahirkan era kegelapan. Ekspresi tertinggi pengaruh yang merusakkan ini adalah seni Yoga
dalam kebudayaan Indonesia.
Sementara amuk oleh Tan Malaka dinilai sebagai manifestasi identitas, kepercayaan
diri dan dinamisme Indonesia Asli, sebaliknya yoga dinilainya “membunuh segala aktivitas
pikiran”.
Manifestasi pengaruh kebudayaan India terhadap kebudayaan Indonesia lainnya yang
sangat dilawan Tan Malaka adalah konsep ahimsa dan “kodrat jiwa” dari Mahatma Gandhi.
Kedua konsep Gandhi ini, menurut Tan Malaka, bertentangan dengan akal, sangat
gelap maknanya bagi orang berakal”.
Jika kedua konsep ini diterapkan sungguh-sungguh, tak akan ada dokter, pabrik, ilmu
pengetahuan. Singkatnya tak akan ada kemajuan sama sekali. Sistem kasta di India yang
bertentangan dengan kerakyatan tak akan memberikan harapan dan kemungkinan
perkembangan kemanusiaan.

Periode Islam

Tradisi Asli ini diteruskan oleh Islam, yang menjadi pusat dan daya dinamis inti Alam
yang permanen.
Periode kegelapan benar-benar gelap, karena perjalanan naik sejarah Indonesia
menuju kesempurnaan masyarakat menyimpang ke luar, menjauh dari sumbu dan cahaya
intinya memudar. Dengan perspektif seperti ini wajar sekali bila Islam sangat berarti.
Tan Malaka mengakui Alam Minangkabau sebagai sesuatu yang sangat
mempengaruhinya untuk menempatkan Islam pada tempat yang penting dalam sistem
konseptualnya:
Sumberku belajar Islam adalah sumber yang hidup. Sebagaimana telah aku sebutkan
sekilas, aku dilahirkan di lingkungan keluarga yang memeluk Islam. Pada waktu sejarah
Islam Indonesia sedang merosot, seorang alim ulama lahir di lingkungan keluarga kami, yang
hingga sekarang masih dianggap sebagai orang suci. Sewaktu aku masih kanak-kanak aku
sudah mampu mampu menafsirkan Al-Qur’an dan dipercaya sebagai guru bantu.
Menurut CC. Berg, “Hinduisme di Sumatera berpengaruh kecil sekali atas Islam
dibandingkan di Jawa. Oleh karenanya Islam di Sumatera lebih murni”.
Aliran pembaruan Islam, yang mencapai kepulauan Indonesia dari pantai Barat Arab
pada peralihan abad duapuluh “disaring masuk Indonesia, pertama secara prinsip melalui
anggota masyarakat Minangkabau yang berorientasi komunalis”
Islamlah yang menjadi ekspresi ideologis kelenturan ekonomi dan keberanian
berusaha pedagang Minangkabau yang luar biasa. Gagasan dasar pembaruan Islam adalah
menguasai pengetahuan dan metode-metode Barat dan memurnikan Islam agar menjadi
“senjata bagi pembaruan sosial dan politik.”
Oleh karena itu tak diragukan lagi bahwa para intelektual Minangkabau pada waktu
itu sangat dipengaruhi pembaruan Islam.
Mereka menggunakan pembaruan itu secara efektif sebagai senjata dalam perjuangan
menuntut persamaan dan mereka juga melihat kedekatan dasar antara Islam dan nilai-nilai
dasar masyarakat Minangkabau.
Tak diragukan bahwa semakin Islam dikenal sebagai kekuatan pendorong pergerakan
nasionalis Indonesia (Menurut Bouman, Islam melalui penekanan solidaritas seluruh Muslim
(sesama Muslim Bersaudara) berfungsi sebagai “faktor yang aktif untuk menghilangkan
nasionalisme regional”) , intelektual Minangkabau cenderung melihat Islam sebagai simbol
superioritas budaya mereka dalam pergerakan seluruh Indonesia dan simbol peran
menentukan yang telah digariskan bagi Minangkabau pada masa depan Indonesia.
(Posisi Islam berada diantara Kerajaan Hindu dengan Imperialisme Barat. Memberi
pencerahan pada jaman kegelapan Hindu dan penentang Hegemoni Barat, ketika Barat
menaklukkan Hindu/India. Begitu juga dengan persaingan global antara Islam dengan Barat)
Kebijakan-kebijakan Belanda yang menindas tak berhasil menghapus Islam sebagai
unsur penting budaya dan kehidupan politik Minangkabau. Sebaliknya bagi banyak orang
Minangkabau, tindakan Belanda terhadap Islam dipandang sebagai tindakan yang merusak
atau mengakibatkan ketidakseimbangan di Alam dan Madilog adalah contoh nyata dari
pandangan ini.
Perlawanan Islam menentang kaum kafir Belanda dipahami oleh orang Minangkabau
sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan mengembalikan keseimbangan Alam
Minangkabau yang terganggu.
Bahkan gerakan komunis di Sumatera Barat, dalam tingkat tertentu, dipengaruhi oleh
simbol Islam yang menyatukan. Cabang-cabang partai yang masih muda dan belum
berpengalaman sepanjang tahun 1920-an memegang teguh orientasi keagamaan.
Kecendrungan ini dilukiskan dengan bagus sekali oleh pengikut Tan Malaka paling
dekat, Djamalludin Tamin. Tamin memulai karir sebagai guru sekolah thwalib, mengajarkan
modernisasi Islam. Menurut sumber terbaru di Belanda, Tamin “berhasil menggabungkan
pengetahuan tentang pengaturan masyarakat bagi kepentingan rakyat yang sengsara dan
miskin dengan kehendak dan tuntutan Islam yang sesungguhnya”. (Benda & McVey, The
Communist Uprisings)
Dalam konsepsi Tan Malaka tentang Islam kita bisa menemukan nilai-nilai budaya
yang kita dapati dari penggambarannya mengenai Indonesia Asli dan cara berpikir Madilog
(Islam sebagai jembatan bagi Indonesia Asli seperti yang dilakukannya di Eropa sebagai
penghubung bagi Yunani dengan Abad Kegelapan Eropa yang melahirkan Renaisance) .
Menurut Tan Malaka, berpikir realistis adalah prinsip Islam:
Dan bangsa Arab bukanlah Hindu. Pikiran mereka yang menjulang tinggi selalu
kembali membumi. Sesungguhnya, berloncatan di antara awan dan bumi akan besar sekali
gunanya. Tidakkah ilmuwan seperti Newton dan penemu seperti Edison harus mampu
“terbang” dalam berpikir? Namun mereka “terbang” membawa hal-hal yang material dan
menurut hukum-hukum tertentu.
Rasionalitas menjadi kualitas penting dalam cara berpikir Islam:
Dalam peperangan yang dilakukan oleh Mohammad kita tidak akan mendapati satu
pun tipuan gaib seperti dilakukan oleh Arjuna dan Rama...Dalam keseluruhan perang
Mohammad tak ada sesuatu yang mengingkari akal.
Islam juga memberikan sumbangan terhadap apa yang dipahami sebagai kebaikan
yang diperoleh dari rantau sampai ke budaya Barat modern:
Di kalangan sejarawan (Kristen Barat) yang ilmiah terdapat pengakuan bahwa
kebudayaan Islam di zaman kegelapan Eropa telah menjembatani kebudayaan Yunani dan
Romawi di satu pihak dengan kebudayaan Eropa modern di pihak lain.
Islam membawa filsafat Yunani sampai Kristen yang tetap berdasarkan dogma dan
keyakinan. Seorang ahli fisika dan filsuf bernama Ibnu Rushdi, yang di dunia Barat dikenal
sebagai Averoes, seorang murid Aristoteles yang besar...oleh masyarakat Kristen Barat di
zaman kegelapan dipandang dengan kekaguman dan kecemasan, sebagaimana Barat kini
memandang Marxisme.
Murid-murid Kristen yang kembali ke Eropa Barat dan Eropa Utara dari pendidikan
filsafat mereka di Spanyol dengan diploma yang mereka peroleh dari guru-guru Arab mereka,
oleh para pendeta Kristen dianggap sebagai kelompok revolusioner.
Tiga Universitas Averoes di Italia mengembangkan “rasionalisme” sebagai sayap kiri
Islam di Eropa.
Tan Malaka juga mencatat bahwa Mohammad membawa ajaran-ajaran kepada rakyat
bangsanya dari rantau. Ia berusia 25 tahun ketika memulai perjalanan besar.
Pada saat inilah ia menemukan tempat dan saat yang tepat untuk membersihkan
pikiran, merenung, mencari kebenaran, mengoreksi segala sesuatu dan memperdalam
pikirannya tentang segala macam pertanyaan.
Di berbagai tempat yang sunyi dan sendirian di bukit di luar Mekkah, banyak
pertanyaan muncul. Langit di atas wilayah Arab bersih dari awan di malam hari. Diterangi
bulan dan bintang suasana menarik bagi orang yang sungguh-sungguh. Tak diragukan lagi,
pemuda Mohammad dirisaukan oleh pertanyaan-pertanyaan seperti siapa yang menyusun
bulan dan jutaan bintang itu dalam keteraturan pasti? Siapa menurunkan hujan yang
membawa kehidupan bagi tumbuhan, binatang dan manusia? Tak ada tulisan atau sekolah
yang mengajarnya tentang bahan-bahan yang hidup semacam itu. Sebaliknya bahan-bahan
hidup yang dimilikinya menjadikan Mohammad bin Abdullah menciptakan tulisan dan
keilmuan baru.
Dalam pandangan Tan Malaka, ajaran Islam sadar sekali tentang perjalanan sejarah
menuju ksempurnaan masyarakat, sehingga sejarah Islam jauh lebih maju dibandingkan
histografi Hindu yang idealis. Dari kesadaran ini muncul dinamisme Islam dalam perjuangan
mencapai kesempurnaan masyarakat.
Dalam “Taman Manusia” di bagian akhir Madilog, untuk memperingati peristiwa
besar dalam sejarah Indonesia dan dunia, Tan Malaka memberikan tempat paling penting
kepada para pahlawan Islam.
Para pahlawan Islam ini telah berperang demi “surga Islam”, “sebuah surga yang
sama sekali tak dingin dan beku seperti nirvana Budha atau sepi seperti sorga Yesus”. Peran
Islam dalam sejarah Indonesia sangat besar karena kekuatan pemersatu yang dikandungnya.
Prestasi terbesar Muhammad, dalam pandangan Tan Malaka, adalah keberhasilannya
membangun “persatuan di bawah satu kepemimpinan berdasar atas inspirasi Tuhan yang
satu”.
Penghargaan Tan Malaka yang tinggi terhadap Islam membuatnya pada tahun 1920-an
mendukung gagasan kerjasama antara PKI dan Komintern di satu pihak dengan gerakan Pan
Islamisme dan Sarekat Islam di pihak lain.
Tan Malaka mengagumi Islam sebagai ekspresi nilai-nilai Madilog.
Kapan saja ia menyaksikan pemimpin-pemimpin politik Islam Indonesia keluar dari
nilai-nilai ini, akan terlontar komentarnya yang kasar bagi mereka: anti-China,
mengeksploitasi keyakinan mistisme dan kegaiban, tak jujur, demagogik dan “sama sekali tak
memahami konflik klas, taktik dan kepemimpinan”.

Periode Belanda

Sejak akhir abad 18 pengaruh Belanda telah berulang-ulang dikecam oleh intelektual
Minangkabau sebagai penyebab ketidakseimbangan di Alam. Sebagai contoh, keruntuhan
sistem tradisional penghulu akibat adanya organisasi nagari dan diberlakukakannya kriminal
Barat, oleh kalangan intelektual Minangkabau dipandang sebagai “refleksi melemahnya
ikatan-ikatan sosial dan penyimpangan paradigma Minangkabau dari Alam.
Ketika Belanda menerapkan pemusnahan dan monopoli di Minangkabau, kaum
intelektual setempat memandang bahwa tindakan tersebut sebagai kondisi yang tak bisa
dibiarkan. “Minangkabau mengalami kejayaan kerja paksa, bukan lagi adat.”
Keseluruhan gerakan emansipasi Minangkabau di penghujung abad ini dalam banyak
hal dilihat sebagai upaya memulihkan keseimbangan adat yang hancur karena pengaruh
Belanda. Bahkan anggota pergerakan yang radikal cenderung melihat bahwa kapitalisme
Belanda terutama sebagai sebuah kekuatan yang menghancurkan Alam Minangkabau
tradisional prakolonial.
Tan Malaka adalah seorang pengagum berat dinamisme dan rasionalisme serta
memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap kemajuan yang ia lihat dan saksikan di
Barat pada abad 20 ini.
Di balik kemajuan yang ia disaksikannya, ia juga melihat kemunduran pengaruh
Belanda di Indonesia. (dari kacamatanya dari kediaman di luar negeri)
Hanya setelah membandingkan ekonomi Amerika dan Belanda selama Perang Dunia
Pertama, Tan Malaka menyadari keterbelakangan Belanda dan koloninya.
Selain itu ia juga mendapati jiwa ketimuran yang dibencinya dalam pemikiran
Belanda. Yakni mendewakan kenangan masa lalu, tak logis, membesarkan hal yang kecil an
mengabaikan masalah-masalah yang mendasar. Imperialisme Belanda hanya menambah rasa
rendah diri bangsa Indonesia. Imperialisme Belanda juga telah memperkokoh cara berpikir
kuno, menjungkirbalikkan perkembangan kesadaran bangsa Indonesia dan menghancurkan
kebahagiaan rakyat Indonesia:
Persahabatan dan kepercayaan antara manusia hilang dalam era kapitalisme. Di masa
lalu, misalnya di masa pemerintahan kekerabatan, kepala keluarga memiliki kekuasaan
kecuali itikad baik dan ketulusan.
Kekuatan hukum, polisi dan penjara dalam era kapitalisme adalah lembaga yang tak
dikenal dalam sistem kekerabatan Minangkabau seratus tahun lalu.
Di Minangkabau seratus tahun lalu negara kekerabatan sudah demokratis, tiap orang
memahami hukum dan mentaatinya. Hukum adat sudah terpatri di benak seluruh rakyat
Minangkabau.
Setelah aturan hukum rakyat diganti aturan hukum pemerintah yang berkuasa,
pengetahuan tentang hukum dan kemampuan rakyat berargumentasi lenyap. Sisa-sisa tradisi
lama kini hanya bisa ditemukan di kalangan sejumlah orang tua Minangkabau, baik pria
maupun wanita. Mereka masih menyimpan hukum adat di hati masing-masing.
(Parlemen atau Sovyet? “Pengelolaan keadilan di Rusia hampir serupa dengan
penerapan keadilan di Minangkabau.”)
Sesuai konsep dinamisme kebudayaan Minangkabau tradisional, Tan Malaka melihat
hambatan-hambatan bagi kemajuan yang terdapat di Alam Minangkabau sebagai penyebab
utama frustasi di kalangan rakyat.
Ia menyalahkan penindasan atas identitas Minangkabau (kenalilah
dirimu/identitasmu).
Revolusi – pemecahan bagi frustasi ini – karenanya sangat dibutuhkan guna
memerangi “sisa feodalisme dalam skala kecil dan dalam skala besar imperialisme Barat
yang menindas.”
Sejalan sikap anti Belanda, anti Kejawen dan anti Indianismenya, Tan Malaka harus
dimengerti sebagai bagian dari konsepsinya tentang Madilog.
Tan Malaka cenderung menyamakan cara berpikir ketimuran kuno dengan Pulau Jawa
dan budaya Jawa, dengan demikian, ia merasakan kuatnya pengaruh Belanda dan terutama
pengaruh kebudayaan India.
Tan Malaka melancarkan serangan sistematis terhadap pengaruh dan nilai budaya
Hindu – Jawa, yang disebutnya sebagai elemen masa kegelapan.
Tan Malaka menyatakan bahwa wayang memiliki unsur-unsur yang merusak,
khususnya terhadap pemuda. Ia melihat wayang sebagai “cerita kekanak-kanakan, tak masuk
akal, ajaran yang tak bisa dipercaya”. Cerita wayang “tak merangsang pemikiran kritis”.
Sebaliknya, “tak satupun dari jawaban yang diberikan masuk akal”. Namun – mungkin
karena kecintaannya pada musik – terhadap gamelan (musik tradisional Jawa merupakan satu
unsur penting kebudayaan Hindu-Jawa) kritik Tan Malaka terasa ambivalen:
Gamelan dan suasana yang ditimbulkannya tak ada persamaannya di dunia ini.
Gerakan tubuh dalam tarian serimpi membuat kita melambung tinggi di atas dunia yang hina
ini. Lima nada dari gamelan Jawa bisa membangkitkan perasaan sedih, tenang, teduh dan
misterius.
“Penolakan terhadap gamelan barangkali terjadi karena gamelan terlalu halus untuk
perjuangan”.
Ramalan Jayabaya yang menyebutkan kebebasan rakyat Jawa setelah periode tertentu
kekuasaan asing adalah sebuah pendorong kuat pergerakan nasionalis Jawa pada abad 20.
Pengaruh tersebut mencapai klimaks tepat pada waktu Tan Malaka menulis Madilog – selama
pendudukan Jepang (1942-1945).
Bagi Tan Malaka, ramalan raja Jawa ini merupakan pengungkapan yang ekstrim jiwa
budak, karena seperti dituliskannya, “Jayabaya sedang menantikan seorang raja dari India
(diartikan mengharap bantuan luar) untuk memerdekakan Jawa”.
Penguasa Majapahit terbesar, Hayam Wuruk, dalam penilaian Tan Malaka juga
dipandang sebagai “seorang pemimpin yang berasal dari kasta di luar kasta Jawa” dan simbol
kerajaan anti-kerakyatan.
Organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo, yang hari kelahirannya dirayakan secara luas
sebagai awal kebangkitan nasionalis Indonesia modern, tak luput dari kecaman Tan Malaka.
Menurut Tan Malaka, organisasi ini tak lebih “satu dari kelompok borjuis Indonesia paling
malas. Karena kelambanannya, mirip seekor binatang malas, organisasi ini membanggakan
kejayaan masa lampau, kemegahan Borobudur, keagungan wayang dan gamelan, semua
produk budaya perbudakan diambil dan dipropagandakan siang malam.
Kita juga bisa menemukan beberapa penjelasan mengenai sikap anti-Kejawen Tan
Malaka dalam pengalamannya sebagai seorang pemimpin politik. Satu-satunya pengalaman
Tan Malaka dalam kerja politik massa adalah di Jawa dan dengan para kuli kontrak asal Jawa
di Sanembah Corporation.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapinya kemungkinan besar mendorongnya
menghubungkan “keterbelakangan” dengan kejawaan”.
Bagaimanapun sangat mungkin bahwa sikap Tan Malaka terhadap kebudayaan Hindu-
Jawa semata sebagai cerminan anti-Kejawen, yang dinilainya mencemari pergerakan
emansipasi Minangkabau setelah peralihan abad 20.
Di masa remaja Tan Malaka, yakni selama separuh awal abad 20, kaum intelektual
Minangkabau cenderung berpikir dalam konteks penentangan dan konflik yang masih
berlangsung antara budaya Minangkabau yang mereka anggap dinamis dan rasional melawan
peradaban Jawa lembut dan idealis.
Wajar bila dari sudut pandang semacam ini, pertentangan ini menjadi salah satu
penghambat pembangunan nasionalisme yang mencakup seluruh Indonesia. Para pemimpin
Minangkabau berulang-ulang menyerang bagian-bagian dari gerakan emansipasi rakyat Jawa
menuju apa yang mereka duga sebagai “pergerakan kembali ke Hinduisme”.
Mereka memandang wakil-wakil mereka dalam pergerakan sebagai “orang-orang
bersahaja yang berorientasi ekonomi dan politik”, menghadapi idealis Jawa yang berorientasi
“pada seni, filsafat dan agama”.
Mereka menolak “budaya Hindu-Jawa” – dalam ungkapan yang nyaris senada dengan
yang digunakan Tan Malaka – sebagai kebudayaan yang dibawa oleh orang asing, para tuan
India dan menumbuhkan mentalitas budak di kalangan penduduk Indonesia.
Barangkali penting pula dicatat bahwa Tan Malaka menulis Madilog tepat saat
kemunculan politisi “Hindu-Jawa” Sukarno sebagai simbol nasionalisme seluruh Indonesia
dan berkemungkinan menjadi pimpinan negara Indonesia kelak di kemudian hari.
Sebagaimana hendak kita ketahui pada bagian akhir tulisan ini, Tan Malaka
mendudukkan diri sebagai pesaing utama Sukarno. Dengan cara ini barangkali “pertarungan
antara kebudayaan Hindu-Jawa lawan Minangkabau dalam memperebutkan tempat utama
dalam pergerakan Indonesia” lebur ke dalam “persaingan pribadi Tan Malaka – Sukarno
memperebutkan kepemimpinan revolusi yang segera tiba”. (Orde Lama, Orde Baru,
Reformasi, dst)
Dalam pandangan Tan Malaka, keseluruhan wilayah Indonesia (bahkan wilayah
sekitarnya) pada mulanya terintegrasi secara kultural dalam cara berpikir Asli.
Cara berpikir Asli kontras sekali dengan cara berpikir ketimuran, yang mendominasi
masa kegelapan, yang menumbuhkan konflik di dalam Alam dan selanjutnya memecah belah
kebudayaan, masyarakat dan wilayah Indonesia.
Walaupun pernah dominan di zaman kegelapan, cara berpikir ketimuran akan menjadi
tak lebih dari satu bagian kebudayaan Indonesia.
Selama periode kegelapan ini muncul arus pemikiran lain, yang bagaimanapun keras
upaya untuk menindasnya, arus pemikiran baru ini berjasa menjembatani kualitas Indonesia
Asli dan masyarakat Sosialis yang akan tiba. Arus pemikiran baru ini, yang tetap hidup
sepanjang sejarah Indonesia, mengkristal dalam prinsip Alam yang permanen.

Periode Federasi Aslia pasca RI

Menurut Tan Malaka perjalanan sejarah Indonesia (Hindia Belanda) akan berakhir
dengan munculnya Indonesia Merdeka (RI) dan sosialis (PARI).
Negara yang diimpikan Tan Malaka ini dinamai (meliputi) Aslia. Nama ini adalah
singkatan dari “Federasi Asia dan Australia”.
Namun dari bunyi kata ini para pembaca mungkin akan berpikir bahwa Aslia adalah
akronim Asia Asli.
Kemajuan teknologi adalah salah satu elemen cara berpikir dan cara hidup menurut
Madilog, sesuai dengan pandangan Tan Malaka.
Simbol dunia modern paling mengesankan bagi intelektual Minangkabau di peralihan
abad 20 adalah lokomotif. Simbol ini juga diambil oleh Tan Malaka untuk simbol Aslia yang
diimpikannya.
Suasana di negeri Aslia yang dimaksud Tan Malaka bakal kita ketahui dengan
mendengarkan suara kereta api yang sedang berjalan di atasnya:
Aslia pasca kapitalis dalam Madilog digambarkan memiliki tingkat kemajuan
teknologi jauh lebih tinggi daripada Indonesia Asli di zaman besi.
Apakah ini berarti bahwa tahap Aslia, sejarah Indonesia akhirnya bakal melintasi
pemisah antara “tradisional dan modern?”
Apakah hal ini menunjukkan bahwa utopia ini akan meniadakan arti dan fungsi
paradigma Minangkabau?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus lebih memahami impian Tan Malaka
tentang Aslia.
Aslia dalam pandangan Tan Malaka juga memiliki jantung wilayah wilayah.
Posisi dan sifat geografis jantung wilayah ini menjadi kunci keberadaan konsep Aslia,
karena jantung wilayah ini memiliki sifat federasi yang terpenting. Oleh Tan Malaka, jantung
wilayah ini dilukiskan memiliki sumbu-sumbu yang “dekat Ekuator dan secara kasar dibatasi
oleh garis lurus yang ditarik dari Bonjol ke Malaka”. Daerah yang dimaksud mudah ditebak.
Jantung Aslia masa depan dalam impian Tan Malaka tak lain dari jantung tanah
kelahirannya tercinta, Alam Minangkabau. Di wilayah ini Tan Malaka meramalkan
kebangkitan “pusat industri penting Aslia dan bahkan untuk seluruh dunia”.
Nasib federasi ini selanjutnya akan ditentukan oleh pusatnya. Karenanya dalam
perjalanan sejarah Indonesia, kapan saja penguasa menghendaki penyatuan wilayah
Indonesia, ia harus memperhatikan sumbu Bonjol Malaka karena nilai strategis yang
dikandungnya.
Mengenai konsep sumbu Bonjol-Malaka, Tan Malaka dengan sangat jelas
mengemukakan keyakinannya terhadap misi budaya Minangkabau dalam sejarah Indonesia
dan Asia Tenggara.
Keyakinan ini kadang-kadang dinyatakan dalam terminologi yang lebih kuat oleh Tan
Malaka daripada oleh mereka yang berpredikat sebagai kaum nasionalis Minangkabau
tradisional.
Tan Malaka bermaksud merumuskan kembali slogan kebanggaan kaum nasionalis
konvensional “Malaka adalah masa lampau, Jawa adalah masa kini dan Sumatra adalah masa
depan” menjadi Sumatra adalah pelopor, Jawa adalah masa kini dan masa depan Indonesia
sekali lagi akan kembali ke Sumatra.
Ia merasa bahwa penduduk Indonesia pada akhirnya akan terkonsentrasi di garis
wilayah Sumatra-Malaka. Wilayah ini kelak muncul sebagai pusat perekonomian Indonesia
dan karena kegiatan ekonomi merupakan sarana pembentukan dan keberadaan kebudayaan,
sumbu Bonjol-Malaka pada akhirnya juga menjadi pusat kebudayaan.
Salah satu alasan mengapa Tan Malaka memberi predikat yang demikian luar biasa
kepada sumbu Bonjol-Malaka adalah karena wilayah ini sepanjang sejarahnya telah
menunjukkan kualitas-kualitas kebudayaan yang mewarnai peranan Indonesia Asli dan Islam
dalam sejarah Indonesia.
Sumatra telah menjadi pelopor ketika membawa Islam ke Jawa. Duduk sama rendah
berdiri sama tinggi adalah sebuah prinsip yang tak ditemukan dalam masyarakat Hindu-Jawa.
Jika dasar semacam ini – dasar kerakyatan – dijadikan ukuran, kita seharusnya menengok
masyarakat Minangkabau di masa kejayaannya.
Bahkan seandainya Minangkabau ketinggalan di belakang Jawa di bidang sastra dan
seni seperti tarian dan musik, teknologi dan perekonomian Minangkabau tidak ketinggalan
dari Jawa sama sekali. Sesungguhnya sepanjang menyangkut teknik irigasi, Minangkabau ada
di depan Jawa dan wilayah lain di Asia.
Memang dalam pandangan Tan Malaka, sepanjang menyangkut perdagangan dan
industri, “ramalan Sumatra adalah masa depan’ benar telah menjadi kenyataan.”
Wilayah Bonjol-Malaka tak hanya menjadi pusat Aslia, juga Tan Malaka tak
menyebutkan kota-kota penting lainnya dalam deskripsinya tentang federasi ini.
Lagipula menurut Tan Malaka Aslia terbentuk karena pengaruh radiasi kebudayaan
Minangkabau. Di sekitar inti kebudayaan Minangkabau terdapat lingkaran yang semakin ke
luar semakin melebar mencakup wilayah luas yang semakin ke luar derajat pengaruhnya
terhadap perkembangan Aslia semakin berkurang.
Yakni mencakup urutan sumbu Bonjol-Malaka, Sumatera, Indonesia (RI) dan
akhirnya Indonesia Raya (PARI).
Tan Malaka juga memperkenalkan gagasan tentang kesatuan ide dan keyakinan, serta
kesatuan nasib dengan masyarakat di luar Minangkabau.
Namun semua ini tak mengurangi penekanan terhadap keseimbangan Alam-rantau
dalam pandangan Tan Malaka.
Sebaliknya lebih dari semuanya, pengalaman rantaulah (dan barangkali keterasingan
dari Alam Minangkabau yang berubah cepat di permulaan abad 20 ini) yang menumbuhkan
aspek “tradisional” semacam ini dalam jiwa Tan Malaka.
Seperti yang telah kita lihat konsep Tan Malaka tentang Aslia tetap Minangkabau
sentris dan pandangannya tentang dunia (Alam bersama rantau) yang sentripetal tak juga
berubah.

SUMBU BONJOL-MALAKA
(“Tan Malaka Madilog”)

Negara Indonesia berdasarkan sosialisme yang tiada berdasarkan imperialisme dan


kapitalisme lagi sudah berdiri tegap. Asia Tenggara bersatu dengan Australia menjadi
Federasi Aslia.

Terdapat industri berat berdasarkan letak geografis strategis, sumber daya alam dan
sumber tenaga kerja. Pusat industri terpenting letaknya adalah segaris dengan garis
Katulistiwa, yang ditentukan oleh Garis Bonjol-Malaka. Pusat ini jadinya memenuhi syarat
pertama strategi dan diplomasi.

Sumbu ini meguasai dua Benua dan dua Samudera terbesar dihari depan. Dengan artinya
teknik dan ekonomi. Besi, alumunium, bauksit, timah, batu bara, minyak bumi, PLTA buat
keperluan industri militer, Bahan buat Industri-berat berada dalam keadaan yang luar biasa
banyak, baik dan berdekatan

Karena pentingnya sumbu-Dunia ini, maka sudah lama Federasi Aslia menggali terowongan,
yang menyambung Sumatera dengan Semenanjung Malaka (seperti terowongan di Inggris-
Perancis). Kota Malaka sendiri sekarang dengan satu kota dihadapannya di Sumatera sudah
menjadi pangkalan kapal perang yang terutama, buat menguasai Selat Malaka. Dengan begitu
menguasai dua Benua dan Dua Samudera!

Beberapa terusan yang menghubungkan sungai besar Siak dan Kampar, sudah digali. Juga
kedua sungai ini sudah diperdalam dan dibentuk tebingnya.

Lalu lintas sepanjang sumbu Bonjol-Malaka baik kendaraan di atas dan di bawah air, serta di
udara berjalan tiada berhentinya! Dengan kereta lori dan kapal. Begitu juga tak berhentinya
bermacam-macam kendaraan, tak putus-putusnya lalu-lintas siap mengangkut bahan atau
barang, serta kaum pekerja yang terutama datang dari pulau Jawa.

Salah satu pemuda, mahasiswa, ketika kami semua masih hening takjub melihat kereta api,
panjang, naik bukit.

Di tanah datar di bawah sudah kelihatan rumah berjejer-jejer mengelilingi tanah lapang.
Inilah rumah, kaum pekerja, berbentuk baru dan sehat dengan sirkulasi udara dan cahaya
matahari.

Terdapat klinik untuk menjaga dan memajukan kesehatan pekerja. Di tengah-tengah tiap-tiap
kompleks rumah terdapat lapangan buat bermacam-macam olahraga buat segala usia. Ada
Gedung sekolah yang tinggi, mempunyai alat buat bermain yang cukup, bertani, bertukang
dan berteori.

Gedung yang paling , paling tinggi dan paling bagus itu ialah tempat bermusyawarah kaum
pekerja, tempat membaca buku dan surat kabar dan dipakai buat pengajaran.

Sampai pada salah satu pabrik besar. Disini kelihatan mesin yang paling baru dan paling
kokoh cakap. Hasilnya berlipat ganda dari yang sudah-sudah. Tampak gunting raksasa. Baja
keras dan tebal itu diguntingnya seperti menggunting kertas.

Terdengar bunyi martil menggelegar seberat 125 ton (125.000 kg) yang dijatuhkan dari
tempat yang 6 meter tingginya itu. Baja sebesar benteng itu ditempa jadi tipis seperti emping.
Tampak gergaji listrik melayani papan waja itu, seperti pandai besi pada zaman Majapahit
memotong-motong bambu .......... untuk mesin buat pabrik gula, kopi, karet dsb, mesin buat
pabrik kain, sepatu, sikat gigi dsb; mesin buat kapal, kertas, mobil, dsb. Pabrik nya adalah
pabrik otomatis. “mesin buat bikin mesin”, machine making machine.

Yang terpenting adalah mesin untuk membikin pertahanan Negara seperti senapan mesin,
meriam, tank, kapal selam dan pesawat terbang yang selalu dirombak, dibentuk kembali
menurut pemeriksaan dan penemuan baru!

Tidak jauh dari pabrik terdapat satu laboratorium Raya yang selalu meneliti susunan mesin
yang baru dan mesin yang lebih efficient dari sebelumnya.
Semboyannya pabrik-raya ini, more and more efficiency.

Private ownership and individualism! sudah tak dikenal lagi dalam pabrik ini. Semua mesin ini
dipunyai masyarakat Aslia.

Klas Kapitalis dan proletar, golongan buruh halus dan kasar sudah lama hilang lenyap. Kaum
pekerja otak dan tangan, pekerja menurut bidang masing-masing, dan masing-masing
mendapat upah melebihi keperluan masing-masing.

Aslia itu kaya raya! Dengan ilmu dan teknik sebaru-barunya, penghasilan dan pembagian
hasil berdasarkan tolong menolong, upah dan kehidupan diatur menurut social-planning, hasil
perusahaan senantiasa berlipat ganda, melimpah-limpah laksana danau dimusim hujan

Anda mungkin juga menyukai