PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
manusia yang mempunyai akhlakul karimah dan menjadi Insan
Kamil. Pendidikan harus sebagai proses untuk mewujudkan
peserta didik menjadi orang yang baik dan bajik. Pendidikan
menciptakan manusia yang baik dan bajik akan memberi
kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah menurut Tan
Malaka pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama.2
Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan
di nusantara, Tan Malaka sudah sangat menekankan bahwa
pendidikan anak-anak harus tak hanya sebatas kognitif, seperti
mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung sebagaimana
yang sangat difokuskan di banyak sekolah-sekolah Eropa pada
masa itu. Tan Malaka memandang bahwa sebuah kewajiban
untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan-keterampilan
praktis yang akan memunculkan kepada pribumi untuk
mencintai kerja. Seharusnyalah pendidikan memberikan nilai
tambah bagi peserta didik.
Tujuan pendidikan untuk anak-anak para kuli terutama
adalah membuat otak mereka lebih tajam dan kemauan mereka
lebih kuat, di samping menghaluskan perasaan mereka, seperti
apa yang menjadi cita-cita pendidikan setiap bangsa atau
golongan di negeri manapun. Di samping memajukan otak, daya
kemampuan, dan perasaan, maka perlu dikembangkan kehendak
dan kebiasaan anak-anak untuk melakukan pekerjaan tangan
serta perasaan bahwa pekerjaan itu penting artinya, dan bahwa
pekerjaan seperti itu di mata masyarakat tak lebih rendah
nilainya daripada pekerjaan otak.3
Pendidikan rakyat yang berlangsung pada masa Tan Malaka
sangat tak memuaskan hatinya. Masih banyak masyarakat yang
buta huruf dan masih banyak kalangan intelektual yang terasing
dari masyarakat, karena menganggap mereka lebih tinggi dari
kaum tani dan buruh. Olehkarena itu menurut Tan Malaka, lebih
baik pendidikan itu tak diberikan sama sekali bila setelah
mengenyam pendidikan mereka menjadi kaum elit eksklusif.
Pendidikan harus menanamkan kepada pribumi untuk
mencintai pekerjaan fisik dan itu harus ditanamkan ketika anak
masih kecil: dibiasakan waktu muda, dikenal waktu tua,
demikianlah sebuah periBahasa Belanda yang dipakai Tan
Malaka dalam filosofi pendidikannya. Di sekolah, kaum muda
harus biasa melakukan pekerjaan secara teratur dan produktif,
dan tentunya nanti mereka akan merasakan manfaatnya.
Tan Malaka menekankan bahwa pembiasaan kerja fisik, bukan
berarti pendidikan merancang dan akan mencetak kaum kuli dan
kaum tani seperti yang dilakukan oleh kaum kolonial yang
2
Ibid. h. 121
3
Ibid. h. 121
2
mengikat masyarakat untuk terus menjadi budak: Sungguh
sudah keterlaluan kalau kita berpikir bahwa setiap murid harus
menjadi kuli, Tan Malaka menentang pendidikan yang dirancang
untuk mengkulikan manusia. Anak-anak yang cerdas harus
dididik untuk menempati kedudukan-kedudukan yang lebih baik
di perkebunan-perkebunan, kerani, tukang, mandor, guru, sopir,
atau juru tulis. Pribumi harus menyadari bahwa anaknya yang
cerdas bisa mencapai suatu kedudukan lebih baik, daripada
hanya sekedar kuli. Dengan demikian pendidikan di sekolah akan
lebih menarik, dan mereka yang tak begitu cerdas akan terdorong
untuk tetap bekerja di perkebunan. Tan Malaka secara tegas
mengarahkan, bahwa peserta didik yang memiliki potensi
intelektual harus diberdayakan, sedangkan yang lebih tertarik
dikerja fisik, mereka dapat mengasah keahlian mereka agar lebih
profesional di bidangnya.
Buku ini mengulas secara khusus pemikiran pendidikan dan
aksi pendidikan Tan Malaka. Penting membaca kembali
keteladanan Tan Malaka sebagai guru maupun sebagai pejuang
kemerdekaan. Tan Malaka adalah seorang Bapak Pendiri Bangsa
yang lebih menonjol aktifitas politiknya, namun tak banyak yang
mengetahui bahwa Tan Malaka memiliki latar belakang
pendidikan seorang guru di kweekschool Bukit Tinggi dan
melanjutkan pendidikan gurunya di Haarlem Belanda. Banyak
penelitian maupun buku yang membahas pemikiran Tan Malaka
khususnya bidang politik, namun bidang pendidikan belum
banyak yang membahas secara khusus dan mendalam, untuk
itulah penulis merasa perlu mengkaji pemikiran dan aksi
pendidikan Tan Malaka. Buku ini menjadi refleksi dan introspeksi
bagi stakeholder pendidikan dalam merumuskan dan
menjalankan pendidikan nasional.
B. Pendekatan Kajian
3
menyeleksi dari sekian banyak pemikirannya dari berbagai bidang
(ekonomi, militer, politik, filsafat, pendidikan).Penulis tetapkan
bahwa yang akan dibahas mendalam di buku ini adalah
pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan. Setelah penulis
menemukan pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan,
kemudian menganalisa secara logis dan sistematis.
3. Kesinambungan Historis
4
unsur yang sama maupun berbeda dari pemikiran pendidikan
Tan Malaka dengan pemikiran tokoh maupun aliran lain.
5. Kontribusi Tokoh
C. Kajian Teoritik
1. Konsep Pedagogik
6
Warul Walidin. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif
Pendidikan Modern. Nanggroe Aceh Darussalam: Nadiya Foundation. h. 6
7
As Hornby. Oxford Advanced Dictionary of Current English. Oxford University
Press. 1987. h. 7.
8
Soegarda Poerbakwadja. dalam Warul Walidin. Op. Cit. Konstelasi. h. 7
5
maupun yang diciptakan orang dewasa yang ditujukan kepada
orang yang belum dewasa.9 Menurut John Dewey, pendidikan
merupakan sebuah proses pembaharuan makna pengalaman, hal
ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan
orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara
sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan
sosial. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
2. Kerangka Teoritik
9
Langeveld. Paedagogiek Teoritis. FIP-FKIP. Jakarta. 1971
10
Peni Chalid. Epistemologi Tan Malaka. dalam Apa, Siapa & Bagaimana Tan
Malaka.Editor. DP. Asral. Jakarta: LPPM Tan Malaka. h. 130
11
Daftar publikasi Tan Malaka ini penulis kutip dari buku Harry Poeze. Op. Cit.
Pergulatan
6
9. Raden kamil, de nestor. 10-8-1921
10. Sovyet-Rusland. Sumatera Post. 24-7-1920
11. Sovyet atau Parlement . Soeara Rajat. (terdapat
empat tulisan dengan judul yang sama. 16-5-1921. 1-7-
1921.1-8-1921. 16-8-1921)
12. Kaoem Moeslimin dan Bolsjewisme. Soeara Rajat. 1-
10-1921
13. SI Semarang dan Onderwijs. Soeara Rajat. 20-11-
1921
14. Een Woord tot Jong-Java. Sinar Hindia 22-6-1921
(ditulis dengan Seamun)
15. Wie zal de sterkeste zijn?.Sinar Hindia. 1-10-1921
16. Mijn Verbanning. De Tribune (terdapat empat tulisan
dengan judul yang sama, 15-5-1922. 16-5-1922. 18-5-1922.
20-5-1922)
17. De Sarekat-Islamschool als een pistool op de borst der
Koloniale Regeering (Sekolah Sarekat Islam sebagai Pestol
terbidik pada dada Pemerintah Kolonial). De Tribune.
(terdapat tiga tulisan dengan judul yang sama. 29-5-1922.
30-5-1922. 31-5-1922)
18. Het wettig Gezag in Indonesia. De Tribune
(Pemerintah yang sah di Indonesia). De Tribune
19. De beweging in Indonesie. (Gerakan di Indonesia).
De Tribune 5-9-122
20. De Sarekat Islam-schoolen (Sekolah-sekolah Sarekat
Islam). De Tribune 21-9-1922
21. De Islam en het Bolsjewisme (Islam dan Boljewisme).
De Tribune . -9-1922.
22. Een Open Brief Tan Malaka aan de Indonesische
studenten en intelektuelen I (Surat Terbuka Tan Malaka
kepada Para mahasiswa dan Kaum Cendikiawan Indonesia
I). De Tribune. 29-8-1923
23. Die Rote Gewerschafts-Internationale (Buruh Merah
Internasional) De Tribune
24. Der Gewerkschafts bewegung in Indo-Cina
(Holladisch-Ost-Inden) (Gerakan Buruh di Indocina, Hindia
Belanda). De Tribune. Oktober 1922
25. Die Vertragskulis(Kuli Kontrak). De Tribune.
Februari 1923
26. Der Anschuluss des NAS an die RGI. De Tribune.
April (tak tertulis tahun)
27. Die Gewerskchaftsbewegung De Tribune. Mei-Juni
1923
7
28. Die Arbeiter in der Zuckkerindustrie auf insel Java
(Buruh di Industri Gula Pulau Jawa) De Tribune. Mei-Juni
(tanpa tahun)
29. Der Kommunismus auf Java (Komunis di Jawa).
Internationale Presse-Korespondentz. 20-7-1923
30. Die Kommunistische Bewegung in Indonesien
(Gerakan Komunis di Indonesia). Die Komunistische
Internationale. Agustus 1923
8
Dalam Arsip Indonesia Marxis, terdapat dua judul yang tak
dimasukkan oleh Poeze, yaitu: Dari Ir. Soekarno sampai ke
Presiden Soekarno (1948), dan Keterangan Ringkas tentang
Program Maksimum (1948).
Selain artikel dan buku yang dipublikasikan di atas. Tan
Malaka juga menulis di sebuah koran Cina bernama De
Voorkhoede (prapidato), pada tahun 1924 dengan nama Ma La
Chia menulis artikel dengan judul Gerakan Sosial di Hindia
Belanda. Tan Malaka juga menulis secara teratur di Surat Kabar
The Dawn pada akhir tahun 1924 sampai awal tahun 1925. pada
tahun 1925 sampai tahun 1931 surak kabar El Debate, Tan
Malaka menulis artikel secara teratur. Dengan nama Tan Malacca
pada tanggal 29-10-1927, menulis artikel berjudul Cuando is
naturlsleza habla el arte calla di surat kabar La Opinion. Dalam
sebuah koran milik Pari, Obor secara teratur dari tahun 1927
sampai 1931 terdapat banyak tulisan Tan Malaka, namun
menurut Poeze, tak satu eksemplar koranpun ini ditemukan. 12
Tulisan-tulisan karya Tan Malaka yang berbentuk buku
maupun artikel tersebut tak banyak yang membahas tentang
pendidikan. Beberapa karya tulis Tan Malaka yang khusus
membahas pendidikan adalah: SI Semarang dan Onderwijs, De
Sarekat-Islamschool als een pistool op de borst der Koloniale
Regeering, De Sarekat Islam-schoolen, Een Open Brief Tan
Malaka aan de Indonesische studenten en intelektuelen . Penulis
lebih banyak menemukan pemikiran pendidikan Tan Malaka
dalam bukunya yang tak secara khusus membahas pendidikan.
Pemikiran pendidikan Tan Malaka tentang pendidikan banyak
disampaikannya di brosur SI Semarang dan Onderwijs. Di brosur
ini Tan Malaka menjelaskan landasan sistem pendidikan di
sekolah yang dipimpinnya. Tan Malaka menguraikan landasan
pendidikan bagi cita-cita rakyat miskin. Tan Malaka juga banyak
membahas sekolah SI dalam buku Pembuanganku.
3. Ideologi Pendidikan
9
Henry Giroux menjelaskan ideologi pendidikan: konservatisme,
liberalisme, dan kritisisme.14 Menurut Achmadi, antara Giroux
dan ONeil sebenarnya memiliki kesamaan dalam memetakan
ideologi pendidikan, yaitu konservatisme, dan liberalisme. Hanya
saja rumusan antitesa dua aliran tersebut menyebutnya dengan
berbeda, Giroux menyebutnya dengan kritisisme, sedangkan
ONeil menyebutnya anarkisme.15 Achmadi menjelaskan ciri-ciri
ideologi tersebut, sebagai berikut:
a. Konservatisme
b. Liberalisme
Liberalisme menekankan kepada hak dan kebebasan individu,
dan pola pikir rasional, dan individualisme Barat sebagai acuan.
Mereka berpandangan bahwa pola pikir rasionalisme dan
individulaisme akan meningkatkan kreatifitas, inovasi, dan
optimalisasi individu. Dalam praktik pendidikan, aliran ini lebih
mengejar kualitas akademis dan profesionalisme.
c.Kritisisme
14
H.A. Giroux. Culture and the Process of the Schooling. Philadelphia: Temple
University and Falmer Press. 1981
15
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
10
individu yang harus sadar akan hakikatnya sebagai manusia
merdeka.
Bila dipahami dari tiga ideologi pendidikan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan Tan Malaka lebih
cendrung kepada kritisisme, namun corak liberalisme Barat juga
dapat ditemukan dalam pemikiran dan aksi pendidikan Tan
Malaka. Bagi Tan Malaka untuk memerdekakan manusia
tertindas dan bodoh, maka rasionalisme Baratlah yang dapat
dijadikan alat untuk melawan paham mistisisme rakyat yang
masih mengakar, dan belum memiliki budaya unggul yang patut
dijadikan landasan. Prinsip kemerdekaan manusia juga harus
dilandasi kemampuan intelektualisme, dan profesionalisme
individu yang dapat menjadi bekal hidup mereka.
d. Metode Penelitian
11
dan Dasar-Dasar Pendidikan. Buku Dasar-dasar Pendidikan tak
dapat penulis temukan, namun menurut Tan Malaka buku itu
pernah ditulisnya. Kedua, hampir di setiap buku yang ditulis Tan
Malaka menyentuh permasalahan pendidikan, sehingga penulis
harus mempelajari setiap karya tulisnya yang universal untuk
mencari pemikiran maupun aksi Tan Malaka dalam pendidikan.
Selain sumber primer yang di tulis oleh Tan Malaka, penulis
juga mempelajari buku dari para pakar yang mempelajari Tan
Malaka terutama buku-buku karya Harry A. Poeze:
1. Harry A. Poeze. Pergulatan Menuju Republik 1897-1925.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
2. Harry A. Poeze. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia: Jilid 1: Agustus 1945 Maret 1946. Jakarta:
KITLV. Edisi Pertama. 2008
3. Harry A. Poeze. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia: Jilid 2: Agustus 1946 Maret 1947. Jakarta:
KITLV. Edisi Pertama. 2009
Tidak hanya mempelajari hasil penelitian Harry A. Poeze,
penulis juga menjadikan penulis lain yang mempelajari Tan
Malaka, dipakai sebagai sumber sekunder, yaitu:
1. Zulhasril. Tan Malaka dan Gerakan Kiri
Minangkabau.Yogyakarta: Ombak. 2007
2. Tengku Ibrahim Alfian. Tan Malaka Pejuang Revolusioner
yang Kesepian. Dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Editor Taufik Abdullah. Jakarta: LP3ES. 1978
3. Editor: DP. Asral. Apa, Siapa, dan Bagaimana Tan Malaka.
Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2007
12
pendidikan Tan Malaka agar dapat memberi kontribusi bagi dunia
pendidikan saat ini.
Penulis menyadari bahwa Tan Malaka merupakan seorang
tokoh sejarah. Maka pendekatan sejarah juga harus dipakai
dalam membahas pemikiran pendidikan Tan Malaka. Anton
Bakker dalam Syahrin Harahap memasukan studi tokoh sebagai
bagian dari penelitian sejarah.17 Menurut Muhammad Nazir (1998)
dalam pendekatan sejarah dapat dikategorikan sebagai biografi
yang membahas kehidupan seorang tokoh dalam hubungannya
dengan masyarakat; sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan
idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama
hayatnya.18 Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah mempunyai
lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber,
(3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi:
analisis dan sintesis, dan (5) penulisan. 19
e. Kajian Terdahulu
17
Ibid. h. 8
18
Ibid. h.8
19
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2005. h.
91
13
Dalam Cahyo (2011), penelitian yang berjudul Murbaisme Tan
Malaka (Suatu Kajian Sejarah Pemikiran Modern) dan
keterkaitannya dalam Pembelajaran Sejarah. Peneliti
menekankan pada bagaimana pengaruh alam pergerakan
nasional terhadap latar pemikiran Tan Malaka serta menjawab
bagaimana konsep pemikiran Tan Malaka mengenai idologi yang
disebut dengan Murbaisme. Pada penelitian ini, Cahyo juga ingin
menjawab bagaimana peran pemikiran Murbaisme Tan malaka
dalam kaitannya dengan pembelajaran sejarah.
Hasil penelitian Cahyo, menemukan bahwa secara garis besar
kehidupan Tan Malaka dipengaruhi kehidupan dalam dan luar
negeri. Sehingga Tan Malaka sangat dipengaruhi dengan dua
pemikiran dunia yaitu modernisme islam dan komunisme.
Murbaisme merupakan sebuah paham yang ingin mewujudkan
masyarakat Indonesia baru berbasiskan sosialis kerakyatan tanpa
menafikkan adanya Tuhan.
Materi Murbaisme menurut Cahyo, mengandung nilai-nilai
kepemimpinan, perjuangan, nasionalisme, toleransi, politik dan
pendidikan kerakyatan. Olehkarena itu, menurut Cahyo, dalam
konteks pendidikan, Murbaisme masih dapat dijadikan teladan
bagi generasi saat ini. Cahyo menganjurkan Murbaisme diajarkan
pada sekolah tingkat menengah dan tingkat perguruan tinggi
sebagai sejarah pemikiran modern dan sebagai sejarah politik.
Furqon ( 2009), meneliti Tan Malaka dengan judul, Konsep
Pendidikan Kerakyatan Tan Malaka dan Relevansinya dengan
Pendidikan Islam. Rumusan permasalahan, mencari konsep
pendidikan Tan Malaka, bagaimana relevansi konsep pendidikan
Tan Malaka dengan konsep pendidikan Islam. Hasil penelitian
tersebut mengemukakan bahwa konsep pendidikan Tan Malaka
berbasis kerakyatan, demokratis, dan sebagai sebuah usaha
pergerakan kemerdekaan rakyat Indonesia dari Belanda.
Pendidikan Tan Malaka mengajarkan kepada siswa untuk
berorganisasi, mencintai rakyat dan mencintai pekerjaan tangan.
Menurut Furqon, konsep pendidikan Tan Malaka memiliki
relevansi dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam
menekankan pengoptimalan fungsi akal sebagai potensi manusia.
Dalam Islampun diajarkan untuk membela kaum lemah dan
tertindas sebagaimana yang menjadi prinsip di sekolah Tan
Malaka. Islam menganjurkan manusia untuk selalu membaca,
sebagai alat membaca diri, dan sosial. Prinsipnya, konsep
pendidikan Tan Malaka memiliki relevansi dengan pendidikan
Islam.
Sedangkan penelitian yang berjudul Pemikiran Tan Malaka
selama di Sumatera Utara (1920-1921). Permasalah penelitian
14
yang diajukan: (a) Apa yang melatarbelakangi Tan Malaka ke
Sumatera Utara; (b) Bagaimana pemikiran dan gagasan Tan
Malaka di Sumatera Utara (1920-1921); (c) Bagaimana aktifitas
Tan Malaka selama di Sumatera Utara (1920-1921); (4) Apakah
yang menyebabkan Tan Malaka meninggalkan Sumatera Utara.
Bagian penelitian yang penulis peroleh di http://ramadhan
15071983. wordpress.com ini tidak diperoleh dengan utuh
(termasuk nama penulis). Penelitian ini diperoleh hanya sampai
pada Bab Metode penelitian, tidak diperoleh kesimpulan dari
penelitian.
Dari tiga penelitian tentang Tan Malaka tersebut, penelitian
Cahyo (2011), Furqon (2009) adalah penelitian yang fokus
mengkaji Tan Malaka dari aspek pendidikan. Dalam beberapa
aspek buku ini memiliki kesamaan, memandang bahwa konsep
pendidikan lebih bersifat kerakyatan dan sebagai media
memandirikan pribumi dan kemudian sebagai media merebut
kemerdekaan. Kekhasan buku ini, Pertama, penulis memulai
pembahasan dari proses pembentukan pemikiran Tan Malaka
hingga mempengaruhi konsep dan aksi pendidikan Tan Malaka.
Kedua, penulis menganalisa konsep Filsafat Pendidikan, Psikologi
Pendidikan, Kurikulum, Manajemen Pendidikan, dan peran
pendidikan dalam kehidupan masyarakat yang digagas Tan
Malaka. Ketiga, penulis mengungkapkan secara detail tahap-
tahap dan kronologis pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka.
Keempat, penulis berusaha melihat relevansi pemikiran dan aksi
pendidikan Tan Malaka dalam konteks kekinian, sehingga konsep
tersebut menjadi praxis.
BAB 2
15
EPISTEMOLOGI
TAN MALAKA
Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian dapat belajar dari orang
Barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru dari orang Barat.
Kalian harus menjadi murid-murid dari Timur yang cerdas
(Tan Malaka)
A. Alam Minangkabau
1
Alfian. Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian. dalam buku Manusia
dalam Kemelut Sejarah. Editor. Taufik Abdullah. Jakarta: LP3ES. h. 137
3
Alam Minangkabau bermakna sebagai dunia alami orang Minangkabau yaitu
wilayah yang mereka rumuskan sebagai tanah asal mereka,. Mavie Ross dalam
D. Darwis Datuk rajo Malano. Filsafat Adat Minangkabau: Sebagai Pembina
Budi Luhur. Padang: yayasan Lembaga Studi Minangkabau. 1991. h. xxiv
16
Strategi menang pertandingan itu dikarenakan kecerdikan
orang Minang yang memasangkan pisau baja di tanduk kerbau
ketika bertanding dengan banteng besar yang dipakai oleh orang
Jawa.4 Olehkarena itu masyarakat Minang sangat mengagungkan
simbol-simbol berbentuk kerbau, misalnya atap rumah yang
berbentuk tanduk kerbau.
Tafsiran lain yang disampaikan Mavi Rose, kata
Minangkabau diambil dari istilah pinang kabhu yang berarti
rumah asal, yang berarti tanah pegunungan dengan dataran
tinggi yang subur, membentang dari pantai Barat Sumatera
Tengah melintasi pegunungan Bukit Barisan. Tiga daerah inti
pemukiman atau luhak yang membentuk rumah asal- Agam,
Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota. Satu sama lain terpisah oleh
pegunungan yang tinggi dan ngarai yang dalam yang terbagi
dalam dua adat berbeda yaitu koto-Piliang dan Bodi Caniago.
Menurut Taufik Abdulah dalam Poeze bahwa orang
Minangkabau menganggap tiga daerah yang disebut luhak sebagai
inti dari negerinya, yaitu: Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh
Koto. Orang Minangkabau yang menuruti tradisi pertama
menempati daerah-daerah pedalaman Sumatera Barat. Semakin
berkembangnya suku Minang membuat daerahnya semakin
meluas yang di luar ketiga luhak dan disebut rantau. Daerah
rantau ini menyusuri pantai Sumatera Barat dan Padang sebagai
pusat. Luhak maupun rantau-rantau tersebut termasuk
Masyarakat Minangkabau (Alam Minangkabau). 5
Menurut Dobbin sebagaimana dikutip oleh Rose bahwa suku
yang mengidentifikasi diri dengan tradisi Koto Piliang bermukim
di Luhak Tanah Datar dan Lima Puluh Kota. Secara politis
pemerintahan yang berlangsung adalah pemerintahan desa. Pintu
gerbang ke daerah Minangkabau adalah Padang. Dari sana jalan
pos raya dan sebuah rel kereta api masuk ke pedalaman. Alam
Minangkabau berupa pegunungan, dan jalan serta rel kereta api
setelah melalui Padang Panjang menuju Fort de Kock (Bukit
Tinggi)di ketinggian.
Tan Malaka dilahirkan di sebuah Lembah bernama Suliki di
desa Pandan Gadang. Negeri Pandan Gadang berada di lintasan
Koto Tinggi dan Manggani, masuk ke pedalaman Bukit Barisan
sejauh 35 km di bagian Barat Payakumbuh, 75 km dari
Bukittinggi dan 165 km dari Padang.6
4
Ibid. h. 63
5
Taufik Abdullah. Schools and Politics: the Kaum Muda Movement in West
Sumatera. USA: Itacha. 1974. sebagaimana dikutip Poeze. Op. Cit. Pergulatan.
h. 3
6
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau, Yogyakarta:
Ombak. h.6
17
Menurut Poeze, Tan Malaka pernah bercerita kepada rekan
seperjuangannya Djamaluddin Tamin tentang sejarah desa
Pandan Gadang. Pada awalnya leluhur Tan Malaka tinggal di
sebuah daerah bernama Kamal, karena tanah disana tak subur
sementara jumlah penduduk terus bertambah maka pada awal
abad kesembilan belas, keluarlah Datuk Tan Malaka bersama
kemenakannya mencari daerah lain untuk ditempati. Dalam
sebuah perjalanan Datuk Tan Malaka melihat sebuah lembah
dengan sebuah sumber mata air di bawah sebuah pohon pandan
yang besar (gadang). Maka Datuk Tan Malaka memutuskan
tinggal di lembah tersebut, dan memberi nama desa dengan
Pandan Gadang. Di bawah pimpinan Datuk Tan Malaka desa
tersebut semakin berkembang, dan kemudian beralih
7
kepemimpinan di bawah Datuk Mahurun Basa.
Peni Chalid menjelaskan Tiga Epistemologi Tan malaka (petani,
pedagang, pejuang) yang merupakan manifestasi dari tanah
lahirnya Minangkabau. Epistemologi Petani merupakan mayoritas
kehidupan yang dijalani masyarakat Indonesia. Dengan pola
hidup agraris, kecendrungan mistis akan ditemukan di
masyarakat, dengan ritual - ritual upacara menanam dan menuai.
Di masyarakat agraris kehidupan manusia sangat tergantung
pada dialektika alam.
Epistemologi Pedagang merupakan aktifitas yang cendrung
dilakukan oleh etnis tertentu, dalam hal ini, Suku Minang yang
merupakan suku Tan Malaka, lebih cendrung pada aktifitas
berdagang. Tipe pedagang, pola pikirnya lebih bersifat rasional
dan memakai pola transaksional dengan berbagai kepentingan.
Berbeda dengan tipe masyarakat agraris di masyarakat pedagang
unsur mistis tak menjadi hal yang terlalu diperhatikan dalam pola
kehidupan sehari-hari, tetetapi lebih realistis dan penuh
perhitungan. Sedangkan Epistemologi Pejuang, tipe ini
merupakan pola pikir ideologis dan visioner seseorang untuk
kepentingan bangsanya, berjuang demi keyakinan yang
dianggapnya kebenaran.
Menurut Peni Chalid Tan Malaka mengalami proses
pengembangan pemikiran terhadap masyarakat dengan transisi
epistemologi pedagang ke epistemologi pejuang (dari real-
materialistik ke kritis-revolusioner). Keyakinan Tan Malaka
tersebut termanifestasi dalam dua bukunya yang tergolong
sebagai filsafat, yaitu Pandangan Hidup, dan Madilog.
2. Pencak Silat
7
Joustra. Minangkabau, h. 83; encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid III,
h. 252 dalam Harry Poeze. Pergulatan... h. 10
18
Silat atau silek merupakan sebuah aktifitas yang hampir rata
dilakukan oleh anak-anak muda Minang. Silat bukan hanya
sekedar olahraga tetetapi juga melatih disiplin, solidaritas,
ketabahan yang merupakan karakter pendekar. Anak muda yang
akan merantau belum lengkap kalau belum belajar silat. Di
Minangkabau, hal yang biasa kalau di surau-surau tak hanya
belajar agama, tetetapi juga belajar silat. Kegiatan belajar silat
bersifat sukarela, tak ada patokan biaya.
Sudah menjadi tradisi, bahwa yang menjadi guru silat adalah
mereka yang sudah dianggap tinggi kepandaiannya. Menurut
Zulhasril untuk mengawasi kualitas latihan, maka sekalikali
pandeka tuo8 akan datang dari dalam nagari atau dari luar nagari
tetangga.9 Gerakan silat Minangkabau yang seperti menari
mengandung filosofi mikrokosmos dan makrokosmos. Bagi orang
Minang bahwa alam, binatang, tumbuhan dan fenomena alam
tunduk kepada hukum alam yang diatur oleh Tuhan. Bagi orang
yang mempelajari silat maka akan dapat memahami makna
kehidupan dengan kearifan dan strategi.10 Seorang peneliti
bernama Barendregt menjelaskan gerak silat tak hanya melatih
orang terhadap gerak fisik tetetapi juga gelagat pemikiran,
perkataan dapat dibaca, Tahu digarak jo garik, tahu diangin nan
bakisa. Artinya mengerti tentang gerak-gerik dan gelagat.
Selain kemampuan gerak fisik dan akal (strategi), pada tahap
tertentu yang biasanya disebut sakti, silat menggunakan tenaga
supranatural yang sufistik. Agama (Islam) tak terlepas dari silat.
Kesempurnaan ilmu silat seorang pendekar, nampak pada
perilaku sosial kemasyarakatannya yang tak mencari musuh,
terkenal dengan sloko musuah indak dicari, basuo pantang
dielakkan. Berlatih silat, bukan untuk gagah-gagahan mencari
musuh, namun ketika ada musuh adalah pantang untuk
dielakkan.
Silat menjadi bekal bagi kaum muda untuk merantau. Tan
Malaka sebelum merantau pada saat berumur 16 tahun dia
sudah berbekal ilmu agama dan silat. Jurus-jurus silat Tan
Malaka yang lama terpendam selama di Belanda, secara spontan
keluar ketika dia merasa diremehkan dan terancam. Peristiwa
keluarnya pusaka silat Tan Malaka ini terjadi ketika dia di
Belanda, lehernya dibelit sehingga dia tertekan dan sulit bernafas,
karena gerak yang terlatih pada masa kecilnya, dengan beberapa
jurus maka lawannya terpelanting, sehingga dia digelari si
harimau. Silek Harimau atau Silat Harimau, merupakan sebuah
8
Pendekar yang sudah terlatih dan tinggi ilmu silatnya
9
Zulhasril Nasir. Op. Cit. Gerakan .... h. 8
10
Strategi merupakan kemampuan bertindak berdasarkan akal (aka) atau
logika, dalam belajar silat akal lebih utama daripada kekuatan fisik
19
aliran silat padang yang terkenal, melihat budaya budaya
masyarakat Minang, ada kemungkinan Tan Malaka pernah
mempelajarinya. Tan Malaka mengisahkannya di buku dari
Penjara ke Penjara Entah bagaimana jalannya saya meloncat dan
dia terpelanting jatuh didinding. Semenjak itu di belakang saya dia
menggelari saya De tijger.11 De tijger yang dimaksud orang
Belanda yang terkena silek Minang itu adalah Tan Malaka Sang
Harimau. Sebuah gelar yang sangat berwibawa, dan membuat
kawan-kawannya menyegani dan menghormati Tan Malaka.
11
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara I. Jakarta: LPPM Tan Malaka. h.38
12
Navis dalam Zulhasril. Op. Cit. Gerakan h. 12
20
Tan Malaka sebagai perantau bisa jadi telah mempelajari
filosofi Minangkabau berikut: berkata di bawah-bawah,
manyauak di hilir-hilir, ranting orang dipatah, sumur orang digali,
adatnya diisi, Ibu cari sanak cari, induk semang cari
dahulu(berkata merendah-rendah, mengambil air di hilir,
mengambil ranting yang patah, membuat sumur untuk keperluan
bersama, adat diperkaya, Ibu cari sanak cari, induk semang cari
dahulu). Makna filosofi tersebut sangat dalam, sosok Tan Malaka
adalah manifestasi filosofi tersebut. Tan Malaka dalam pergaulan,
dan guru-gurunya sangat terkenal sopan santun dan tak
sombong, ketika berbicara tak merasa paling hebat. Soal
penghormatan kepada orang dirantau Tan Malaka sudah teruji
dari setiap negara yang pernah dikunjunginya dia selalu
mempelajari budaya dan karakter sebuah tempat yang
dikunjunginya sebelum menentukan dan melakukan sikap yang
pantas bagi mereka.
Mengambil ranting patah, bisa dipahami sebagai seorang
perantau jangan bersikap serakah, egois, dan tak menenggang
pada masyarakat yang telah lebih dulu hidup pada tempat yang
baru dipijaknya. Ketika mencari sumber penghidupan baginya
janganlah sampai mengusik sumber pendapatan orang lain,
lihatlah peluang apa yang bisa dilakukan untuk bisa
menghidupkan dirinya. Tan Malaka dalam perantauannya tak
pernah menganggu sumber kehidupan orang lain, bahkan watak
enterpreneurnya selalu muncul untuk bertahan hidup, dia selalu
melihat peluang apa yang bisa dijadikannya sumber
penghidupannya tetetapi juga bisa membantu orang lain.
Sumur orang digali, bisa dimaknai ketika seorang perantau
mendiami sebuah tempat barunya, sudah selayaknya dia
berpartisipasi mengembangkan daerah tersebut agar lebih baik
demi kepentingan bersama. Sedangkan makna adatnya diisi,
seorang perantau tetap memperhatikan dan menghormati adat
budaya dimana dia berpijak, orang Minang menurut Mochtar
Naim bukan tipe, eksklusif dimanapun mereka berada dapat
bergaul dan terbuka. Hal paling menonjol dari Tan Malaka adalah
Ibu cari sanak cari, induk semang cari dahulu, yang berarti di
perantauan carilah tempat berlindung dan yang bisa mengasihi
kita. Tan Malaka dimanapun dia berada hampir selalu ada orang
yang menganggapnya anak angkat, saudara angkat, bapak
angkat. Guru Horensma, Dr. Jansen, Snevliet dan istri adalah
beberapa orang Eropa yang menyayangi Tan Malaka, sehingga
mereka selalu siap sedia membantu Tan Malaka.
4. Egaliter
21
Sosok Tan Malaka yang egaliter, terbentuk dari budaya egaliter
masyarakat Minangkabau. Tak hanya prinsip egaliter, tetetapi
penerapan sosialisme, demokrasi dan hak manusia. Menurut
Zulhasril pada masa kekuasaan kerajaan Pagaruyung tak
mengenal apa yang dikatakan otoritarinisme dan sentralisasi
kekuasaan. Menurut Kartikawening, kerajaan dapat berkuasa
tetetapi tak mengatur setiap nagari.13 Nagari adalah sebuah unit
otonom dalam struktur politik masyarakat Minangkabau yang
mengatur dirinya sendiri yang dapat mengatur segalanya. 14 Nagari
ini menurut Zulhasril terdiri empat kelompok komunitas yang
disebut: kaum, suku, jorong dan payuang. Komunitas ini
terbangun berdasarkan nilai demokrasi dan nilai-nilai tanggung
jawab. Bentuk demokrasi yang dilakukan masyarakat
Minangkabau adalah pemerintahan yang diserahkan kepada
penghulu atau datuk-datuk pemangku adat, mereka memerintah
berlandaskan berdasarkan undang-undang yang berdasar
mufakat, prinsip ini berbunyi, anak kemenakan beraja kepada
penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, dan mufakat beraja
kepada alur yang patut. (anak kemenakan beraja kepada
penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, dan mufakat beraja
kepada alur yang patut. 15
Penyelenggaraan pemerintahan nagari ini disebut tali tiga
sepilin sering juga disebut tungku tiga sajarangan. Tiga unsur
tersebut merupakan tiga unsur yang mempersatukan, mereka
adalah unsur adat, agama, cerdik cendikia. 16 Ketiga unsur yang
disebut beringin di tengah kampung tersebut mengadakan rapat
di balairung atau mesjid ketika memecahkan permasalahan
masyarakat. Pemimpin nagari dipilih berdasarkan mufakat
mereka.17 Tentang konsep mufakat ini Tan Malaka telah
menjadikannya dasar dalam konsep demokrasi, bagi Tan Malaka
bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat bahwa mufakat
harus jauh dari kekerasan dan paksaan yang menjadi dasar
perundingan adalah penjelasan logis menurut adat dan undang-
undang.18 mufakat beraja kepada alur dan patut
13
Dyah Kartikawening. Public in Space Dynamic in Minangkabau Rural Area
Indonesia. (Thesis) University of Cincinnati. 2006. dalam Zulhasril. Op. Cit.
Gerakan..h. 5
14
Ibid. h. 15
15
Indra Mulya bakti. Pemikiran Politik Tan Malaka. dalam DP. Asral. Op. Cit.
Apa, Siapa, dan.... h.156
16
Zulhasril. Op. Cit. h. Gerakanh.16
17
Seorang pemimpin dalam masyarakat Minangkabau filosofinya, orang yang
didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, artinya pemimpin tak
dikultus individu tetetapi harus merakyat, bukan menjadi kelas sendiri.
18
Tan Malaka. Pandangan Hidup.
http://www.marxists.org/indonesia/index.htm
22
Apabila dilihat penjelasan Zulhasril, dan Kartikawening
tersebut, dapat dipahami bahwa permasalahan egaliter,
demokrasi, sudah lebih dahulu diterapkan dan menjadi nilai-nilai
masyarakat Minangkabau. Nilai - nilai tersebut menyerap dalam
pribadi Tan Malaka, yang memang membentuk dia menjadi orang
yang menghargai kemanusiaan, demokrasi, dan memandang
bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama.
Adat sebagai pengatur kehidupan masyarakat, adat bersendi
syara, syarak bersendi kitbullah. Adat terbagi dua, adat yang tak
dapat diubah atau adat sebenar adat, dan adat yang dapat diubah
atau adat yang diadatkan atau adat teradat.19 Yang menjadi
kebiasaan masyarakat disebut adat istiadat, tingkah laku, mana
yang baik dan buruk dibiarkan. 20 Menurut Navis setelah Islam
masuk Alquran menjadi rujukan dalam adat inilah yang
dimaksud adat bersendi syara, syarak bersendi kitbullah.
Peraturan masalah adat tersebut terdapat dalam Undang-
undang nan Empat (undang-undang nagari, undang-undang isi
nagari, undang-undang luhak dan rantau, dan undang-undang
dua puluh).21 Perundangan adat ini mengatur hubungan individu
dan masyarakat, etika, filsafat, kesenian, pesta, keramaian,
pertanian, harta waris, keamanan, dan suku. Melihat tatanan
masyarakat yang rapi, budaya egaliter dan demokratis ini
menurut Zulhasril, pernah membuat Jenderal Van den Bosch
ingin menghancurkan kearifan lokal masyarakat Minangkabau
tersebut dengan cara menciptakan aristokrasi seperti kerajaan
Jawa, dengan mengeluarkan Plakat Panjang. 22 Tak hanya
dengan Plakat Panjang, Belanda juga menempuh jalur
pendidikan untuk Jawanisasi tanah Melayu, pada tahun 1919
pelajaran Bahasa Melayu dihapuskan, dan diganti dengan
pelajaran Bahasa dan adat Jawa yang disampaikan guru-guru
dari Jawa. Prinsip gotong royong merupakan nilai yang berlaku di
masyarakat Minangkabau, Tegak dikampung pagar kampung,
tinggal di alam pagarnya alam, melompatlah sama pata, menuruk
sama hilang.22
5. Merantau
19
Zulhasril. Op.Cit. Gerakan... h. 17
20
Ibid. h. 18
21
Ibid. h. 18
22
Plakat Panjang dikeluarkan tahun 1833, Jenderal Van den Bosch
memanfaatkan keturunan raja-raja Pagaruyung dan penghulu-penghulu luhak
agar memecah belah masyarakat. Zulhasril menulis, bukan tak mungkin
Perang Paderi adalah akibat politik aristokrasi yang diterapkan Belanda ke
masyarakat Minangkabau.
22
Tan Malaka. Pandangan Hidup. http://www.marxis.org/indonesia/index.htm
23
Merantau bisa dikatakan sebagai puncak dari pendidikan seorang
pemuda Minang. Seorang pemuda memang dilatih mandiri dalam
mengatasi permasalahan hidupnya, selama masih dikampung,
pemuda biasanya selalu tidur di surau sambil belajar berbagai
hal, mulai dari agama sampai silat. Setelah dirasakan cukup
bekal seorang pemuda, maka merantau adalah sebuah keharusan
bagi pemuda, apakah merantau menuntut ilmu maupun bekerja.
Merantau merupakan sebuah sikap, pemikiran, tindakan
meninggalkan kampung asal menuju ke sebuah tempat untuk
menyerap ilmu, maupun mencari kekayaan yang suatu saat akan
bermanfaat bagi daerah asalnya, maupun bangsanya. Perantauan
Tan Malaka dalam menyerap berbagai hal dan pengalam di negeri
orang telah memperkaya dan sebagai modalnya dalam
memperjuangkan bangsanya merdeka.
Merantau bukan semata-mata mencari uang dan harta namun
menuntut ilmu juga bisa dikatakan merantau. Merantau tak
hanya secara fisik, tetetapi merantau secara mental, misalnya
kaum cendikiawan juga bisa merantau. Alfian mengatakan bahwa
Tan Malaka merupakan perantau secara fisik dan mental.23
Merantau merupakan sebuah filsafat dialektika yang secara
tak sadar telah dialami oleh Tan Malaka. Dengan merantau
seorang perantau memiliki keyakinan ada sebuah kehidupan yang
lebih baik di sebuah tempat yang lain dengan membatalkan
kenyamanan dan tak manja terhadap kesuburan alam, dan
kedamaian kampung halaman.
Menurut Alfian, dengan merantau, mengundang perantau
untuk berpikir kritis dengan berusaha melihat dan merasakan
daerah lain sebagai pembanding kampung asal. Visi perantau ini
merupakan cara berpikir dialektis sehingga kontradiksi, dan
konflik dianggap hal biasa.24 Menurut Mrazek konsep rantau
membuat Tan Malaka terbuka menerima unsur-unsur luar atau
baru. Melalui merantau warga Minang dapat melihat dunia luar
yang begitu luas sehingga ketika dia pulang kampung dia akan
merasakan posisinya yang jelas dalam konteks kepulangannya.25
23
Alfian.Op. Cit. Kemelut Sejarah. h.140
24
Ibid. h. 140
25
Sejauh jauh bangau terbang akan turun juga ke rawa, pepatah ini sering
dipakai mengibaratkan perantau yang pergi kemanapun suatu saat akan
kembali ke asalnya kampung halaman. Namun apa yang terjadi pada
perantauan Tan Malaka, dia benar-benar merantau cina pergi merantau
dengan tak pernah sama sekali kembali ke kampung halaman
24
untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan
nasibnya........Madilog dimaksudkannya sebagai suatu cara
berpikir baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir
lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhyul yang
menyebabkan orang menyerah kepada alam. 26
25
Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka 28 memiliki pertalian
keluarga dengan dua pemimpin desa Pandan Gadang: Datuk Tan
Malaka dan Datuk Mahurun Basa. Tanggal kelahiran Tan Malaka
tak tercatatat pasti karena pada masa itu belum ada pencatatan
bagi penduduk Indonesia. Namun Harry Poeze menyampaikan
beberapa kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka, sebagai
berikut: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896, 2 Juni 1897, dan 1899.
Poeze lebih cendrung memilih kelahiran Tan Malaka pada tahun
1894 dengan fakta bahwa pada tahun 1903 Tan Malaka
mengikuti pendidikan di sekolah rendah, maka menurut
kesimpulan Poeze dapat ditarik kesimpulan pada masa itu Tan
Malaka berumur lebih kurang enam tahun.
Sesuai adat masa itu, setiap anak yang dilahirkan akan diberi
nama kecil dengan nama Islam baru kemudian akan mendapat
nama atau gelar menurut adapt, maka Ibrahim adalah nama
Islam yang melekat pada Tan Malaka. Tan Malaka dalam bukunya
dari Penjara ke Penjara menjelaskan bahwa ia mempunyai adik
bernama Kamaruddin enam tahun lebih muda, dan tak memiliki
adik atau kakak perempuan.
Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam
yang taat, ayah dan ibu Tan Malaka sangat alim dan menjalankan
perintah agama Islam. Dalam Madilog Tan Malaka menulis
bagaimana ibunya ketika menjelang ajal, membaca Surat Yasin
berkali-kali karena ibunya hampir sebagian hafal Al-quran.
Sewaktu ibunya masih hidup, Tan Malaka sering diceritakan
tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam dan Hawa, Nabi Yusuf, dan
Nabi Muhammad yang menurut penuturan Tan Malaka setiap
mendengar kisah nabi-nabi dari ibunya itu dia selalu menangis.
Ayah dan Ibu Tan Malaka yang sangat peduli terhadap akhlak
anaknya tak hanya menyekolahkan anaknya di Sekolah rakyat,
tetetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau. Ayah Tan
Malaka adalah penganut tarekat. Menurut Tan Malaka ketika
masih kecil dia sudah bisa menafsirkan Al-quran dan sudah
dijadikan sebagai guru muda. Tan Malaka juga menguasai
Bahasa Arab,dia sangat mengagumi Bahasa Arab yang indah dan
mulia. Sampai di Belanda Tan Malaka tahan menghemat
pengeluaran untuk makan demi membeli buku Sejarah Dunia
karena di dalamnya terdapat sejarah Islam dan Arab.
Tan Malaka adalah seorang anak pemberani, nakal dan keras
kepala di masa kecilnya. Alam Minangkabau yang asri penuh
pemandangan alam; gunung bebukitan dan sungai, menjadi
guru bagi Tan Malaka untuk menempa mental dan fisiknya. Tan
28
Nama lengkap yang merupakan sekaligus gelar adat diperolehnya untuk
melanjutkan kepemimpinan adat
26
Malaka pernah hanyut dibawa arus Sungai Ombilin yang deras
karena berusaha menyebranginya dengan kawan-kawan. Pada
peristiwa hampir hanyut tersebut Tan Malaka beruntung
diselamatkan oleh kawannya.29 Tan Malaka kecil yang nakal
menerima didikan Ayah dan Ibunya yang keras. Pada peristiwa
hanyut menyeberangi Sungai Ombilin tersebut, hukuman
fisikpun diberikan kepada Ibrahim. Ketika sadar setelah terendam
di air, Tan Malaka bercerita, tiba-tiba ibunya dengan rotan
ditangan memberikan pukulan yang pedih untuk memberi
pelajaran. Ternyata ayahnya menganggap hukuman tersebut
belum cukup, sehingga menambahnya dengan memberikan
kekang kuda di mulut, dan menempatkan Tan Malaka di dipinggir
jalan disaksikan orang yang lewat, terutama anak-anak Engku
yang tak diperbolehkan bermain dengan anak desa seperti Tan
Malaka.30
Kenakalan Tan Malaka masih nampak ketika dia sekolah di
kweekschool di Fort de Kock. Guru yang sekaligus menjadi orang
tua angkatnya sangat menyadari kecerdasan Tan Malaka
tersebut, sehingga Horensma dan istrinya sering menasehati si
Ipie31 agar tak terlampau banyak bermain bola kaki dan bermain
musik, tetetapi harus fokus terhadap pelajarannya. Tentu saja
nasehat tersebut diabaikan Tan Malaka muda yang nakal.
Ketika Tan Malaka kecil melakukan kesalahan tak hanya Ayah
dan ibunya saja yang memberikan pelajaran kepadanya, tetetapi
Guru Gadang (Guru Kepala) juga mempunyai hak untuk ikut
campur dalam pendidikan anak-anak kampung. Hukuman dari
Guru Gadang pernah diterima Tan Malaka ketika menerima
hukuman kekang kuda di mulut yang diperolehnya dari sang
ayah. Ibu Tan Malaka mengatakan kepada ayahnya bahwa masih
ada otoritas yang lebih tinggi untuk menghukumnya, yaitu Guru
Gadang. Hukuman dari Guru Gadang yang sangat terkenal adalah
pilin pusat yang sangat ditakuti anak-anak.32
Atas pelajaran-pelajaran yang sering diberikan kepada Tan
Malaka, membuat Tan Malaka merasa diperlakukan tak adil, dan
bertanya-tanya mengapa selalu dia yang mendapat hukuman.
Sampai ketika Tan Malaka menulis buku Dari Penjara ke Penjara,
dia masih bertanya-tanya kenapa menjadi sasaran hukuman pilin
pusat tersebut.
29
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara, Jilid I, Cetakan II, Jakarta: LPPM Tan
Malaka. 2007. h. 21
30
Ibid. h. 21
31
Horensma dan istrinya memanggil Tan malaka dengan Ipe, sebuah
panggilan akrab dan menurut mereka mendekati namanya Ibrahim.
32
Ibid. h. 21
27
.....Sampai sekarang saya merasa heran, kenapa saya saja yang
menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu kali lagi dilakukan di
belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan
bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang
menyeberang sungai Ombilin itu pula, dan membawa-bawa lagi
anak-anak para Engku. Lain kali karena main simbur air, artinya
bertanding menyimburi muka sampai salah satunya kalah.
Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan
juga menyimbur lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya fikir
perjuangan sudah selesai, kemenangan akhir di pihak saya, dan
saya berhak penuh merasakan lezatnya kemenangan itu. Cuma
heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Ketika saya naik ke
tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru
Gadang buat menjalankan hukuman pilinan pusat. Rupanya
anak-anak lain sudah melihat Guru Gadang itu di tepi sungai. Dan
saya asyik berjuang membelakangi Guru Gadang. Kalau di
belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan mengajak
anak-anak Engku melihat macan ditangkap digunung, maka saya
saja yang dikenai hukuman pilin pusat. Permainan perang
jeruk (barisan yang satu melempar yang lain dengan jeruk),
berakhir dengan perang batu antar anak sekolah dikampung
Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung Tanjung, maka yang
harus menjalani hukuman sebagai penjahat perang saya
juga......33
B. Biografi Intelektual
33
Ibid. h. 22
34
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 3
28
sejak tahun 1895 terbuka kemungkinan pendidikan selama
empat tahun.
Masyarakat Minangkabau sangat peduli terhadap pendidikan
anak mereka. Poeze mengatakan sekolah-sekolah yang ada
sempat kewalahan menghadapi besarnya keinginan untuk
sekolah, bahkan Minangkabau mencapai angka tertinggi
dibandingkan daerah lain di Indonesia. Tahun 1915 terdapat 65
sekolah di Sumatera Barat dengan jumlah murid 10.000, para
murid sekolah kelas dua harus membayar uang sekolah sebanyak
10 sampai 50 sen setiap bulan, namun tetap tergantung pada
pendapatan.35
Tahun 1903 sampai tahun 1908 Tan Malaka belajar di sekolah
kelas dua. Karena dia seorang yang pintar, maka gurunya
menganjurkan agar melanjutkan pelajarannya. Keluarga Tan
Malaka mendukung saran guru tersebut, sehingga Tan Malaka
melanjutkan sekolahnya di kweekschool (Sekolah Guru) di Fort de
kock (Bukittinggi). Pada masa itu kweekschool adalah satu-
satunya lembaga pendidikan lanjutan bagi pribumi di Sumatera.
Menurut Poeze, Tan Malaka menjadi murid kweekschool pada
tahun 1908.
Tahun 1908-1909 kweekschool memiliki 76 murid yang
mencakup seluruh Sumatera, untuk sekolah disini harus
melewati ujian. Tan Malaka merupakan salah seorang murid asal
Minangkabau yang diterima.36 Disekolah ini siswa memperoleh
bayaran f 19,- setiap bulan selain buku-buku, alat sekolah dan
asrama.
Waktu belajar yang padat harus ditempuh Tan Malaka selama
enam tahun. Selama enam hari masuk belajar jam 7.30 sampai
pukul 13, pada sore hari pukul 16 sampai pukul 17 murid kelas 6
harus memberi pelajaran di sekolah pribumi, dan pada malam
hari pukul 18.30 sampai pukul 20.30 murid menyelesaikan
pekerjaan rumah. Waktu berlibur diberikan setiap tahun selama
enam minggu.37
Bahasa pengantar yang dipakai adalah Bahasa Belanda, dan
tentunya Bahasa Belanda merupakan pelajaran terpenting.
Menurut Poeze, dari 35 jam belajar, 15 sampai 18 jam digunakan
untuk belajar Bahasa Belanda, namun Bahasa Melayu juga
dipelajari. Mata pelajaran yang lain adalah berhitung, ilmu ukur,
mengukur tanah, ilmu bumi, sejarah bumi, ilmu alam, ilmu
hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuhan, ilmu pendidikan,
menggambar, menulis dan menyanyi.38Melihat kurikulum yang
35
Ibid. h. 14
36
Ibid. h. 17
37
Ibid. h. 17
38
Ibid. h. 17
29
begitu padat ini, bukanlah hal gampang bagi Tan Malaka untuk
menyelesaikan studinya, pada masa itu sistem penilaian dan
kelulusan sangatlah ketat, menuntut Tan Malaka harus belajar
keras. Selain pelajaran yang padat dan berat, murid juga diatur
dengan berbagai peraturan ketat yang tak memberikan ruang
gerak bagi mereka untuk berbuat banyak hal.
Ketika Tan Malaka masuk sekolah guru, sekolah tersebut
terdapat empat staf dan guru bangsa Eropa, yaitu: B.J. Visscher
(Direktur), T. Kramer (Guru kedua), G.H. Horensma, dan C.F.
Ijspeert (Guru pembantu). Pada masa berikutnya ketika Tan
Malaka sekolah ke Haarlem, Guru Horensma adalah orang
Belanda yang berjasa dan banyak membantu Tan Malaka dalam
berbagai hal, memberikan pinjaman biaya sekolah adalah salah
satunya.
Selain peraturan dan disiplin yang begitu ketat di sekolah
tersebut, menurut Sakti Arga dalam Poeze, Tan Malaka
merupakan sosok yang sangat tertib, hormat dan ramah,
sehingga orang banyak yang mengenalnya. Tan Malaka
merupakan anak yang cerdas sehingga dia mendapat perhatian
khusus dari Guru Horensma dan istrinya yang menganggapnya
sebagai anak angkat.39 Walaupun Tan Malaka menguasai
pelajarannya, bukan berarti hari-harinya diisi hanya dengan
belajar, dia berbeda dengan kawan-kawan sekelasnya, Tan
Malaka tak membutuhkan begitu banyak waktu untuk menguasai
pelajaran, sehingga dia mempunyai kesempatan untuk bermain
bola, dan musik. Masa belajar di kweekschool ini sempat terhenti
karena Tan Malaka harus menerima gelar adat menjadi Ibrahim
Datuk Tan Malaka.
Tahun 1913 Tan Malaka terakhir mengikuti ujian teori, dan
mulai praktek di sekolah ekstern. Dengan bakat dan minatnya
yang luar biasa Tan Malaka telah menjadi inspirasi bagi anak-
anak didiknya. Melihat kesungguhan Tan Malaka dalam
pengajaran tersebut membuat Horensma ingin agar Tan Malaka
melanjutkan studinya di Belanda. Untuk mencari cara
pembiayaan pendidikan Tan Malaka tersebut, Horensma
mengajak Tan Malaka ke Suliki untuk menemui kawan baik
Horensma, W. Dominicus yang bekerja sebagai kontrolir. Menurut
Poeze atas prakarsa mereka maka didirikanlah sebuah yayasan
sebagai jaminan beberapa orang berjanji untuk menyetor
sebanyak f 30 setiap bulan untuk membiayai studinya. Anggota
39
Menurut Harry Poeze, Gerard Hendrik Horensma lahir tanggal 2 Mei 1873 di
Groningen, tahun 1904 ia pergi ke Hindia dan menikah dengan Mathilde Elzas
(1873-1946). Tahun 1915-1920 GH. Horensma menjabat Direktur di sekolah
guru Fort de Kock, selanjutnya menjadi adjunct-inspecteur di Jawa. GH.
Horensma meninggal di Brussel pada tahun 1945 tanpa memiliki anak.
30
yayasan tersebut terdiri dari para guru di sekolah guru, pegawai
negeri, dan sejumlah orang di Suliki. Setelah adanya jaminan
pada bulan Oktober bersama keluarga Horensma berangkat ke
Belanda dengan kapal Wills.40
Menurut Tan Malaka sebenarnya ia tak perlu melanjutkan
studi selama 2 tahun di Rijkskweekschool sampai Belanda hanya
untuk memperoleh hulp-acte. Akte pendidikannya di Kweekschool
Fort de Kock pada masa itu sudah merupakan pendidikan
tertinggi di Sumatera. Kweekschool sudah pendidikan tertinggi
untuk ukuran rakyat Sumatera yang berjumlah 10 juta, apalagi
kalau hanya diukur dengan daerah Minangkabau.
Tan Malaka tiba di Belanda pada tanggal 15-12-1913 sekaligus
diterima sebagai murid di Sekolah Guru Kepala di Kota Haarlem
dengan Keputusan Menteri tanggal 10 Januari 1914. 41 Setiba di
Belanda, tepatnya di Haarlem dijalan Jacobijnenstraat, Tan
Malaka tinggal di sebuah rumah keluarga buruh. Tan Malaka
menempati sebuah kamar loteng yang sempit dan gelap, tentunya
tetap dengan membayar sewa sebagai biaya hidup. Tetapi
menurutnya, sewa yang dibayarnya tak setimpal, karena dia terus
dibantu makanan dengan wanita tua tersebut, belum lagi
anaknya yang sebagai sorang juru tulis sering mendapat bantuan.
Di Belanda, pada bulan-bulan pertama menjalani masa berat,
namun keluarga Horensma tetap memberi bantuan. Sedangkan
lingkungan di sekolah guru Tan Malaka tak mengalami
diskriminasi, sebagaimana surat C. Wilkeshuis dikutip oleh Harry
Poeze. Tan Malaka merupakan warga Hindia yang menerima
perlakuan khusus karena rekomendasi dari orang-orang Eropa
berpengaruh.
Tan Malaka ditempatkan di kelas tahun belajar kedua, di
Haarlem Tan Malaka menampakkan minat luar biasa terhadap
pelajaran ilmu pasti yang membuat gurunya berpikir bahwa tak
mungkin orang Hindia menguasai ilmu pasti. Namun anggapan
bahwa Tan Malaka tak mampu dalam ilmu pasti dipatahkan
setelah melihat bagaimana Tan Malaka menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ilmu pasti, bahkan dengan caranya
sendiri. Namun Tan Malaka terlihat lemah dalam pelajaran
Biologi, karena bersifat hafalan.
Mata pelajaran di Haarlem terasa jauh berbeda ketika sekolah
di Kweekschool di Fort De Kock. Tidak ada satupun pelajaran
yang sama, Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Bumi, Pedagogi,
Menggambar, Ilmu Ukur (meetkunde), Sejarah Tanah Air, Aljabar,
Stereometri (Ilmu Ukur Ruang), Trigonometri, dan Mekanika.
Walupun Bahasa Belanda terasa sulit bagi Tan Malaka, namun
40
Poeze. Op.Cit. Pergulatan h. 24
41
Ibid. h. 15
31
pengakuan C. Wilkeshuis Bahasa Belanda Tan Malaka cukup
bagus hanya permasalahan logat khas Tan Malaka saja, namun
itu bukanlah masalah.
Tidak hanya dalam kondisi kesulitan keuangan tetetapi juga
dalam kondisi sakit terus menerus Tan Malaka berjuang keras
untuk menyelesaikan studinya, sehingga kondisi buruk
kesehatan Tan Malaka berdampak pada nilai-nilainya. Van der
Ley menulis bahwa sejak 1 septmeber 1915 sampai ujian
diselenggarakan Tan Malaka sama sekali tak bisa belajar.
Teman Tan Malaka (P. De Koning) menulis bahwa ketika ujian,
guru yang merupakan ujian negara yang diselenggarakan pada
tanggal 23 Mei 1916 kondisi Tan Malaka sangat buruk. Sehingga
menimbulkan kekhawatiran beberapa penguji dengan
menanyakan apakan Tan Malaka telah belajar dengan baik, dan
dia menjawab Tan Malaka sangat belajar dengan baik hanya saja
dia sudah sakit beberapa lama sehingga tak bisa berjalan kaki ke
gedung ujian.42
Ketika berpamitan dari sekolahnya, Tan Malaka memperoleh
sebuah surat keterangan yang berisi sebagai berikut.
Kelakuan : Baik Sekali
Pengetahuan : Baik
Kemajuan pada Umumnya : Baik43
42
Ibid. h. 48
43
Ibid. h. 48
42
Surat Tan Malaka kepada Horensma, Bussum, 19 September 191, dalam
Poeze. Pergulatan Menuju Republik. h. 88
43
Surat Tan Malaka kepada D.J.L. Van Wijngaarden, Bussum, 25/6-1919,
dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan.....h.103
32
Tan Malaka kurang mendapat angka baik pada tiga mata
pelajaran: Menggambar, Membaca, dan Pengetahuan Alam. Pada
mata pelajaran Membaca, Tan Malaka merasa kesulitan
menjawab soal sastra Yahudi berjudul Lucifer karya Vondel, yang
terasa sulit baginya adalah ketika harus memecahkan kalimat
menurut beberapa dasar karena berkaitan dengan adat istiadat
dan agama Yahudi. Pada mata pelajaran Pengetahuan Alam, Tan
Malaka gagal lebih karena subjektifitas penguji yang tak mau
memberikan angka yang terlampau jauh dari angka yang
diperoleh Tan Malaka sebelumnya, yaitu 3, maka diberilah angka
4. padahal Tan Malaka sangat menguasai Ilmu Kimia yang
diujikan.
Tan Malaka sangat kecewa akan kegagalannya memperoleh
Akta Kepala. Hal ini hal wajar, karena waktu tiga tahun bukanlah
waktu sebentar dan menghabiskan banyak biaya. Tan Malaka
menyesalinya seandai saja dia mempelajari hal lain yang akan
lebih bermanfaat, daripada hanya kegagalan demi selembar ijazah
Akta Kepala.
Ketika menjadi guru di Deli, perlahan Tan Malaka bersentuhan
dan bergelut dalam dunia politik. Selain bertugas sebagai guru,
Tan Malaka sangat aktif menulis permasalahan sosial politik.
Ditengah-tengah kesibukan ini Tan Malaka ternyata masih
memiliki keinginan untuk mengambil Akta Kepala di Batavia,
sehingga dalam suratnya dia ingin belajar lagi, dibantu oleh J.de
Waard Tan Malaka belajar Sejarah dan Ekonomi dengan harapan
ia akan menjadi guru di Jawa. Keputusan Tan Malaka untuk ke
Jawa ini menjadi diskusi antara Horensma dan Dr. Jansen, untuk
mencari guru pengganti Tan Malaka. Guru-guru pengganti
tersebut mendapat arahan terlebih dahulu dari Tan Malaka.
33
dia lupa membawa berpeti-peti buku.44 Dalam Madilog Tan
Malaka menceritakan kebiasaan dua tokoh: Leon Trotzky dan
Mohammad Hatta yang membawa berpeti-peti buku ke
pembuanganya. Buku adalah hal terpenting bagi seseorang yang
merasa pemikirannya harus disebarkan.
Bagi Tan Malaka seseorang yang hidup dengan pemikiran yang
harus disebarkan baik melalui pena maupun penyampaian lisan,
kepustakaan merupakan sebuah hal yang wajib. Tan Malaka
mengibaratkannya dengan tukang yang tak akan bisa
membangun apabila tak memiliki semen, batu dan bahan-bahan
lainnya. Menjalankan peran sebagai propagandis dia harus
membuat catatan-catatan yang dianggapnya bisa menaklukkan
musuh dan merebut permufakatan.45
Pada tanggal 22 Maret 1922 adalah pembuangan pertama yang
dialami Tan Malaka, dia tak mau menyia nyiakan waktu hanya
dalam kesunyian pembuangan. Dia membawa buku dengan
beragam tema, mulai dari buku Agama, Alquran, Bibel,
Budhisme, Confusialisme, Darwinisme, Ekonomi Liberal,
Komunisme, Sejarah Dunia, Ilmu Perang, Ilmu Berhitung, sampai
Ilmu Mendidik. Melihat bacaan Tan Malaka tersebut maka tak
salah kiranya apabila Peni Chalid mengatakan Tan Malaka sulit
untuk didefinisikan sebagai seorang Sosiolog, Ekonom, atau ahli
Politik, karena secara spesifik Tan Malaka tak memperdalam ilmu
tertentu.46 Sosok Tan Malaka adalah seorang Universalis.
Namun buku-buku dan catatan Tan Malaka harus ditinggal di
Nederland ketika hendak pergi ke Moskow, karena harus melalui
Polandia yang anti Komunisme, untuk itulah dia harus bebas dari
segala hal yang membuat orang yang memeriksanya akan
membaca kecendrungan pemikirannya. Namun di Moskow selama
8 bulan kebiasaan membaca Tan Malaka agak berkurang, tetetapi
lebih banyak mencermati pelaksanaan Komunisme.
Di Moskow Tan Malaka lebih melihat aplikasi komunisme dan
mengamati sendi kehidupan Uni Soviet dari Pendidikan, Politik,
Ekonomi maupun Kebudayaan. Observasi itu juga ditambah Tan
Malaka dengan melakukan dialog-dialog dengan berbagai
golongan. Data dari pengamatan dan menyelami keadaan tersebut
Tan Malaka catat sebagai bahan untuk menulis buku. Selain
44
Namun kebiasaannya membawa berpeti-peti buku tersebut harus
dihilangkannya demi keselamatan dan kemudahan perjalanannya.
Pemeriksaan demi pemeriksaan membuat akan mengancam jiwanya apabila
ditemukan buku-buku yang dianggap menentang kolonial. Untuk mengatasi
itu, maka Tan Malaka menerapkan sebuah teori mengingat bacaan dengan apa
yang dinamakannya dengan jembatan keledai.
45
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 8
46
Peni Chalid. Op. Cit. Apa, Siapa, dan .h. 130
34
dengan kegiatan pengamatan tersebut dikarenakan ketatnya
aturan tentang sumber-sumber buku yang tak bisa dibawa. 47
Kegiatan membaca Tan Malaka selama di Tiongkok muncul
lagi (namun waktu membacanya sedikit dikarenakan sakit), dia
mulai mengumpulkan buku-buku Ekonomi, Politik, Sejarah,
Ilmu Pengetahuan, Sains, Sosialisme dan Komunisme. Berbelanja
buku bagi Tan Malaka adalah sebuah hiburan. Walaupun untuk
membeli buku dia harus mengencangkan ikat pinggang
menghemat biaya makan ditengah kondisi kesehatan yang
menurun. Namun buku-buku yang dibeli Tan Malaka tersebut tak
banyak terbaca karena tak lebih dari satu jam waktunya untuk
membaca, karena lemah kondisi fisik. Untuk bisa membaca
tumpukan buku-buku tersebut Tan Malaka harus menunggu
pulih fisiknya.48
Peristiwa yang menyedihkan Tan Malaka mengenai buku-
bukunya adalah ketika dia dan buku-bukunya terkepung pada
Perang Jepang-Tiongkok di sebuah jalan bernama North Su Chuan
Road . Setelah selama dua hari terkepung, akhirnya Jepang
memberi kesempatan kepada warga kampung dimana Tan Malaka
terkepung untuk pergi hanya dalam waktu lima menit. Tentunya
waktu yang sangat singkat tersebut, Tan Malaka tak sempat
membawa buku-buku yang menemaninya. Namun ketika perang
selesai Tan Malaka kembali lagi ke rumah dimana buku-bukunya
ditinggalkan, naasnya tak selembar kertaspun lagi yang tersisa
karena telah diambil oleh lalilong (pencuri). Begitu menarik cerita
Tan Malaka tentang kecintaannya kepada buku. Ternyata
peristiwa tersebut tak membuat Tan Malaka menyerah dalam
mengumpulkan buku-buku. Baginya selama masih ada toko
buku, maka perpustakaannya masih bisa dibuat kembali,
walaupun harus dengan mengurangi makanan dan pakaian.
Peristiwa lain yang membuat Tan Malaka harus berpisah
dengan pustakanya adalah ketika dia ditangkap di Hongkong
pada 10 November 1932. disini dia sebenarnya sudah memiliki
satu peti buku, tetetapi dia harus meninggalkannya agar dapat
melarikan diri dan dengan menyamar dia masuk ke Amoy selama
empat tahun, disana dia beristirahat sambil berobat. Di Amoy
tahun 1936 sampat 1937 Tan Malaka mulai kembali
mengumpulkan buku. Namun hal yang paling menyakitkannya
adalah catatan observasinya yang harus dibuang ke laut, demi
keamanan. ......malah dua tiga buku peringatan yang penting
sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah:
catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis,
saya lemparkan ke laut Merqui, sebelum sampai di Rangoon.
47
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 8
48
Ibid. h. 9
35
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan
duka cita sekali.......
Namun keputusan membuang catatan observasi tersebut tak
salah diambil oleh Tan Malaka, karena di Rangoon pemeriksaan
ketat sekali. Tan Malaka hanya menyisakan sebuah kamus
English Dictionary, itupun tetap mendapat pemeriksaan yang
ketat, sampai kulit-kulit bukupun diperiksa. Demikian
berbahayanya sebuah buku bagi sebuah rezim.
Di Singapura kondisi kesehatan Tan Malaka mulai membaik
dan siap untuk fokus kembali belajar, tetapi sayangnya kondisi
keuanganya tak memungkinkan dia untuk membeli sejumlah
buku. Sulit baginya untuk mencari uang tambahan, termasuk
menjadi pengajar Bahasa Inggris, karena sulit memperoleh izin
dari inspektur. Dalam kondisi uang untuk makan dan pakaian
yang sulit Tan Malaka pun tak bisa mendaftar sebagai anggota di
perpustakaan karena mahalnya biaya anggota. Untuk mengobati
kehausannya akan membaca, Tan Malaka hanya membaca surat
kabar, dan pengamatan langsung. Namun usaha menutupi
ketakbisaan membaca ini membuahkan hasil beberapa buku.
Dalam perkembangannya Tan Malaka menjadi pengajar
Bahasa Inggris dan Matematika di Nanyang Chinese Normal
School. Maka aktifitas mengumpulkan referensi mulai
dilakukannya. Pihak Raffles Library pun memperbolehkanya
membaca referensi untuk menulis buku. Buku yang paling sering
dibaca Tan Malaka adalah Das Capital karya Karl Marx. Tetetapi
ada saja halangan bagi Tan Malaka untuk belajar, disaat itu
Jepang terus memborbardir Singapura, yang membuat Tan
Malaka harus membaca Das Capital di dalam lubang
perlindungan. Namun akhirnya Singapura menyerah, seluruh
penduduk menyerah dalam halauan pedang terhunus, untungnya
pembantaian yang direncanakan tak jadi dilaksanakan.
Kondisi kritis seperti itu, Tan Malaka masih sempat
memikirkan buku Das Capital yang harus diselamatkannya, maka
disembunyikannya ke dalam air terjemahan Bahasa Inggris Das
Capital yang dipinjam dari Raffles Library di Singapura. Peristiwa
ini terjadi di Upper Serangoon Road di depan rumah Tuan Kin
Can.
Masih mengenai perjalanan Tan Malaka dan buku, setelah dua
minggu Singapura menyerah, Tan Malaka mencoba menyebrang
ke Sumatera, namun gagal karena angin sakal. Maka Tan Malaka
menempuh jalan Penang-Medan, selama dua bulan di jalan
antara Singapura dan Jakarta, melalui Semenanjung Malaka,
Penang, Selat Malaka, Medan, Padang, Lampung, Selat Sunda
dan Jakarta. Dalam perjalanan tersebut Tan Malaka masih
menyempatkan diri berburu buku. Buku-buku yang diburu Tan
36
Malaka mengenai Sejarah Indonesia yang ditulis oleh penulis
Indonesia. uniknya Tan Malaka harus menyembunyikan baik-
baik buku sejarah tersebut, karena terdapat fotonya sendiri.
Kesadaran politik dan pembebasan Tan Malaka, tak bisa
dilepaskan dari buku-buku yang dipelajarinya. Sebelum dia sadar
akan politik, ketika dia berangkat ke Belanda, Guru Horensma
memberi dia sebuah buku berjudul de Fransche Revolutie yang
dikarang oleh Th. Carlyle. Awalnya buku tersebut hanya masuk
peti, namun setelah banyak bersentuhan dengan pemikiran kiri,
pelan-pelan Tan Malaka mulai tertarik tentang Liberte, Egalite,
Fraternite, sehingga baginya buku pemberian Horensma ini
menjadi teman dalam pencariannya.
Tan Malaka juga seorang penikmat sastra, selama di Belanda
dia membaca literatur-literatur Belanda. Menurut Nyonya
Koopmans dimana dia pernah tinggal di rumahnya mengatakan
bahwa Tan Malaka sering membaca karya sastra Belanda sampai
mukanya menjadi hijau mengenai Constantijn Huygens (1596-
1687), Frederick van Eeden (1860-1932), Louis Couperus (1863-
1923), P. Van Limbung Brouwer (1795-1847), P.A.S. van Limburg
Brouwer (1829-1873), Nyonya A. Bosboom Toussaint (1812-1866),
Jacob van Lennep (1802-1868), Hendrick J. Schimmel (1923-
1906), dan Multatuli (Douwes Dekker) (1820-1887).49 Tan Malaka
belajar atau membaca buku dari pagi sampai malam, satu-
satunya pelepas lelah Tan Malaka adalah dengan memainkan
biola, tak ada waktu untuk bergaul dengan perempuan, baginya
waktu adalah belajar dan berjuang.
Kecintaan Tan Malaka terhadap buku juga nampak pada surat
menyuratnya dengan sahabat dan gurunya. Salah satunya, surat
Tan Malaka kepada Dick yang meminta dikirimkan buku
berjudul: Repetitie Atlas I Ned. En Indie dan II Europa en de
Werelddeelen karya J.B. Rodenburg. Tan Malaka tak dapat
menemukan dan memesan buku tersebut di toko buku. Buku
tersebut dipesan Tan Malaka dalam rangka persiapannya
menempuh ujian.
Karena kemampuan akademis Tan Malaka, dia mendapat
tugas dari Komintern untuk menulis buku tentang Indonesia.
mengenai bentuk dan isi buku tersebut Tan Malaka diberi
kebebasan oleh Komintern, sedangkan buku-buku dan data yang
diperlukan untuk proyek tersebut dipesan dari Belanda. Tan
Malaka memfokuskan waktu dan pemikirannya untuk menulis
buku tersebut, dia mengolah data statistik industri, pertanian,
penduduk, dan pemerintahan Indonesia. teori-teori dan
kesimpulan Tan Malaka tersebut menjadi sebuah buku yang
49
Surat Nyonya Koopmans kepada D. Van Wijngaarden, 30-8-1917 dalam Poeze. Iop.
Cit. Pergulatan. h. 65
37
berjudul Indonezija; ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemja Vostoke
(Indonesia dan tempatnya di Timur yang sedang Bangkit). Buku
ini pertama kali terbit tahun 1924 dan cetakan kedua tahun 1925
dicetak sebanyak 5000 eksemplar.50
Dalam buku Indonezija; ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemja
Vostoke Tan Malaka mencoba memberi gambaran tentang kondisi
strategis Indonesia, juga membahas tentang iklim, penduduk
yang dibahas sebelum dan sesudah imperialisme masuk ke
Indonesia. tentang pendidikan, Tan Malaka membahas sistem
pendidikan sekolah SI. Pergerakan politik juga menjadi topik
dibuku ini, Tan Malaka membahas Budi Utomo, Partai Nasional
Indonesia.
Membaca buku, dan menulis buku ditengah perjuangan dan
permasalahan yang dihadapi Tan Malaka sungguh luar biasa.
Artikel-artikel yang dimuat di surat kabar juga ditulis Tan Malaka
untuk menyikapi permasalah yang dianggapnya aktual.
Setelah selesai tugas mebuat buku di Uni Soviet, Tan Malaka
ditugaskan ke Cina oleh Komintern untuk mengeluarkan surat
kabar, yang diberi nama oleh Tan Malaka dengan the Dawn.
Selama di Cina Tan Malaka mengalami shock culture mulai dari
makanan sampai masyarakat yang tertutup dan penuh curiga. Di
tengah kesengsaraan dan kesunyiannya itu Tan Malaka
mempelajari Bahasa Inggris dan menghabiskan waktu di kamar
untuk membaca buku-buku. Buku, kemanapaun dan kapanpun
tak pernah terlepas dari kehidupan Tan Malaka, baginya apabila
kehilangan waktu kesempatan membaca dan belajar itu adalah
sebuah kematian spiritual.
38
der Mij.51 Tan Malaka membaca De Telegraaf sebuah surat kabar
Partai Sosial Demokrat Nederland. Buku-buku dan bahan bacaan
yang diperolehnya tersebut, menjadi obar semangat yang
menjadikan Tan Malaka seorang revolusioner. Tan Malaka mulai
kagum akan pemikiran Friedrich Nietsche, Tan Malaka mulai
membaca buku Nietsche yang berjudul Zoo sprak Zarathustra, De
Wil tot Matcht. Filsafat Nietsche tentang pembatalan nilai segala
nilai, dan Ubermensch, saking kagumnya terhadap pemikiran
Nietsche, Tan malaka pernah mencoba bergabung masuk tentara
Jerman. Namun hal itu batal, karena Jerman tak menerima
bangsa asing, dan tak membentuk Laskar Sukarela Asing.
Pemahaman Tan Malaka tentang konsep, Liberte, Egalite,
Fraternite, pada saat itu katanya belum sampai kepada konsep
dialektika materialsme. Pada saat itu Tan Malaka belum
menyadari pandangan kelas Borjuis dan kelas proletar disamping
penjajah dan bangsa terjajah. Pandangan dialektis Tan Malaka
muncul ketika revolusi komunis, pada masa inilah Tan Malaka
mulai mendalami buku yang berhubungan dengan Marx-Engels.
Tan Malaka sangat menikmati kontradiksi pemikiran para
filsuf yang dipelajarinya. Terutama perdebatan antara Marx,
Feurbach dan Hegel. Perdebatan yang amat dinikmati oleh Tan
Malaka dipetakan oleh Peni Chalid, sebagai berikut.
39
besar isi Madilog berhubungan dengan pemikiran Marx, Engels,
Mehring, Plecanof, Russel, Jevons, Stuart, dan Lenin. 52 Tan
Malaka yang sudah menguasai pemikiran para filsuf tersebut
menulisnya tanpa ada bantuan buku melainkan dengan
pemahamannya saja.53
Tan Malaka mulai larut dalam siklus thesis-anti thesis-
sinthesis, pembatalan dan kebatalan pembatalan. Kelarutannya
ini ditulisnya dengan Bahasa puitis berikut: Demikianlah ombak
asyik dalam ribut taufan usia, dimana keadaan lahir mendorong
fikiran bergerak terus menerus, akhirnya laksana sungai di
gunung, terjun, tergenang, mengalir dan menerobos sampai
kekualanya di samudera. 54
40
Dialog singkat ini menjadi pergolakan pemikiran bagi Tan
Malaka, hingga ia menjadi sangsi akan arah pendidikannya, ia
merasa malu untuk mendapatkan hak sebagai guru anak-anak
Belanda yang tak seBahasa, dan tak sebangsa. Tan Malaka
hampir menukar haluan berpikirnya mengenai tujuan
pendidikannya di Belanda, namun nasehat Horensma tetap
menjadi pertimbangan baginya sebelum mereka berpisah di
Bukittinggi. Menurut Tan Malaka, Horensma sangat
menginginkan orang Indonesia mendapat pendidikan guru di
Belanda.
Niat Tan Malaka untuk menjadi guru kepala tersebut sangat
disadari oleh Tan Malaka, sangat sulit bagi dia mengEropakan
anak-anak Indonesia. Bukan berarti Tan Malaka tak peduli
terhadap tugas mendidik anak-anak Indonesia. tetap terbersit
bahwa pendidikannya cuma satu arah, yaitu bertentangan
dengan pemerintah kolonial, Bahasa Belanda bukanlah Bahasa
pengantar, dan kebudayaan Belanda bukanlah arah pendidikan
yang diterapkan di Indonesia.
Dalam keadaan kurang sehat secara fisik dan kondisi
keuangan yang sulit, Tan Malaka terus dalam pergolakan
pemikiran. Sehingga ia mendamaikan kondisi ini dengan filosofi
yang dianutnya, dialektika. Dimana jalan menuju perubahan dan
perbaikan sama sekali buntu, maka disana hati akan ditarik oleh
kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh kodrat pertentangan-
pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Di sebuah
kediaman rakyat melarat yang ditinggalinya masa itu, Tan Malaka
terus dilanda pemikiran yang dikatakannya sebagai Thesis dan
Anti Thesis.
Tokoh pendidikan Suwardi Surjaningat yang lebih dikenal
sebagai Ki hajar Dewantara juga memberikan sumbangsih
terhadap pergerakan politik dan pendidikannya. Pada sebuah
pertemuan Tan Malaka dengan Ki hajar Dewantara, dia meminta
Tan Malaka mewakili partainya yang pernah amat revolusioner
Indische Vereeneging di Nederland. Menurut Tan Malaka
sebenarnya partai ini tak banyak memberikan pemandangan
ataupun pengalaman baginya, sehingga dia tak menjawab
permintaan Ki hajar Dewantara tersebut, kecuali hanya
memandang wajah Ki hajar Dewantara yang diiringi ucapan Dr.
Gunawan Mangunkusumo, sudah pada tempatnya, terima saja!
56
41
praedvis tentang pergerakan nasional Indonesia. Momen ini
diibaratkan Tan Malaka melempar batu ke dalam kandang ayam,
yang membuat gaduh pemerintah kolonial: Inilah pekik pertama,
yang seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. Dat
most niet mogge. Niet waar?57
Akibat penampilannya di kongres ini, membuat dia harus
melayani perdebatan dengan beberapa orang Belanda, salah
satunya adalah Fabius.58 Tan Malaka beberapa kali dipanggil ke
rumah Fabius untuk berdebat permasalahan-permasalahan
masyarakat, yang menjadi topik utama adalah pendidikan. Pada
tahun terakhir Tan Malaka di Belanda, pemikiran politik dan
komunismenya mulai matang, pada tahun 1919 Tan Malaka
banyak melakukan diskusi dengan Sneevliet 59 yang juga dihadiri
Hoogscarpel60, Dick Struik61, Tuynman62, Fenny Struyvenberg63,
Dr. Kwa, dan orang-orang Indonesia seperti Liem dan Dahlan
Abdoelah 64
4. Madilog
57
Ibid. h. 39
58
Fabius merupakan orang Belanda yang sangat sinis dengan kehadiran Tan
Malaka di Belanda terutama kali dia berkesempatan sekolah di rijkweekschool.
Berikutnya Fabius sering melakukan perdebatan berbagai hal termasuk
permasalahan pendidikan. Tangguhnya kemampuan Tan Malaka dalam
berdebat, membuat Fabius hilang akal, dan mencari-cari cara untuk
memulangkan Tan Malaka ke Indonesia dengan alasan hutang-hutang Tan
Malaka yang sudah terlampau banyak. Sehingga dia mengirim surat kepada
Guru Horensma, namun Horensma sangat marah atas surat yang dikirim
Fabius tersebut, menurut Horensma, dia sangat mengetahui karakter anak
didiknya, Tan Malaka
59
Wartawan kiri Wiessing, seorang tokoh komunis terkemuka di Belanda dan di
Indonesia
60
Guru sekolah menengah dan anggota komunis Tweede Kamer.
61
Dosen di Amerika Serikat.
62
Seorang arsitek.
63
Seorang dokter China
64
Pengurus Himpunan Hindia
65
Zulhasril Nasir. Op. Cit. Gerakan.... h.51
66
Franz Magnis Suseno Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme
dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta: Gramedia. 2005. h. 205
42
Madilog dikarenakan semangat kuat anti penjajahan, anti
penghisapan imperialisme yang membara dari sosok Tan
Malaka.67 Karena itu Chalid menyebut epistemologi Madilog Tan
Malaka sebagai epistemologi perjuangan yang beralu pikir
progressif. Tentunya pengalaman empirik Tan Malaka selama di
Eropa telah mempengaruhi pemikirannya tentang sains yang
mendorong orang untuk berpikir kongkrit dan faktual. Madilog
ditulis Tan Malaka tanpa harus melihat referensi, melainkan
hanya berdasar ingatannya saja. Tan Malaka sangat memiliki
moral akademis yang tinggi, dalam menulis Madilog tersebut dia
meminta maaf karena tak dapat menulis referensi buku yang
melandasi pemikirannya, dikarenakan kondisi yang tak
memungkinkan baginya membawa buku-buku referensi
68
tersebut.
Buku Madilog ditulis Tan malaka di daerah Rawajati dekat
pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Dari 15 Juli 1942
sampai pertengahan 1943, dia menulis sambil mencermati
kondisi kota, kampung, dan Indonesia secara umum yang telah
20 tahun dia tinggalkan. Madilog ditulis Tan Malaka selama lebih
kurang 8 bulan.69 Tan Malaka adalah sosok yang tekun dalam
menulis, Madilog adalah salah satu karya besarnya.
Madilog ditulis Tan Malaka dalam kondisi pelarian politik, dan
kesulitan keuangan. Polisi kompetei Jepang terus mencurigai
keberadaannya dan mengadakan penggeledahan, tetapi
penyamaran Tan malaka tersebut tak diketahui. 60 Sedangkan
kondisi kesulitan keuangan yang dialaminya, Tan Malaka memilih
bekerja di daerah Banten di Tambang Arang Bayah dengan nama
samaran Ilyas Hussein. Perjalanan naskah Madilog ini cukup
panjang dan rumit, dan hampir saja hilang.
Madilog pernah ikut bersembunyi ke Bayah, Banten dan
mengantarkan romusha ke Jawa Tengah, dan juga mengalami
dinamika Proklamasi kemerdekan Indonesia. Madilog pernah ikut
tertangkap di Surabaya, karena bermunculan Tan Malaka palsu
yang sengaja dimunculkan sebagai propaganda untuk merusak
citra Tan Malaka. Madilog baru muncul tiga tahun setelah
lahirnya yang dikarang untuk membuat masyarakat agar
mengutamakan konsep berpikir ilmiah.
67
Peni Chalid. Op. Cit. Apa Siapa dan ....h. 129
68
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 12
69
Dalam buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan Malaka mengatakan bahwa dia
menghitung penyelesaian Madilog dikerjakan selama 720 jam
60
Pada saat penggeledahan Tan Malaka tidak sedang menulis, semua tulisan
yang bukan kutipan disimpan Tan malaka di tempat khusus sehingga yang
didapat oleh Asisten wedana adalah barang, buku, dan catatan yang boleh
dibaca semua orang.
43
Dalam pengantar Madilog tersebut ditulis Lembah Bengawan
Solo, 15 Maret 1946, dengan berbagai kondisi yang sulit,
ketangguhan intelektual Tan Malaka tetap teruji. Madilog
menurut Frans Magnis suseno adalah sebuah karya filsafat
pertama anak Indonesia, dan selayaknya Tan Malaka mendapat
predikat seorang filsuf. Walaupun pemikiran Tan Malaka banyak
dipengaruhi pemikir seperti Hegel, Engels, dan Marx, namun
orisinalitasnya tetap terjaga, karena Tan Malaka mengembangkan
pemikiran tersebut menjadi pemikirannya sendiri yang khas.
Namun Tan Malaka dengan jujur mengakui bahwa
pemikirannya di Madilog dipengaruhi banyak tokoh: Dengan ini
saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini
semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang
pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga
adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri
atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan
sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri. 61
Madilog adalah sebuah buku yang terpendam dalam pikiran
Tan Malaka dalam jangka waktu bertahun-tahun dan dalam
kondisi jiwa raga yang bergelora. Di Madilog Tan Malaka
menjelaskan seluk belak dan keterkaitan materialisme, dialektika,
dan logika. Menurut Tan Malaka, materialisme, dialektika, dan
logika memiliki lapangan dan tafsiran masing-masing.
Materialisme bisa ditafsirkan mekanis, dialektika Hegelianisme
sering dipakai sebagai alat untuk meluhurkan rohani dan
merohanikan keluhuran.
Sedangkan logika merupakan hasil dari kemajuan ilmu bukti
yang hasilnya mengunggulkan logika sebagai cara berpikir:
Madilog saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah
satu Weltanscahuung, pemandangan dunia, walaupun cara
berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti
tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir
itu kita dapat duga filsafatnya, kita dapat tahu dengan cara
dengan metode persoalan apa dia sampai ke filsafat itu. 62
Menurut Anhar Gonggong, Madilog menunjukkan bahwa Tan
Malaka adalah seorang pakar ilmu pengetahuan, dia mengajarkan
cara berpikir yang berlaku bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya. Madilog merupakan cara berpikir berdasarkan
materialisme yang menganggap mater sebagai premis bagi ilmu
pengetahuan, sehingga Tan Malaka membatasi Bahasanya
dengan tak masuk ke daerah kepercayaan.
Bagi Tan Malaka kebajikan spritual memang baik namun tak
memiliki dasar. Pemikiran pemisahan materialisme dan
61
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 12
62
Ibid. h. 18
44
spiritualisme ini sama dengan teori dikotomi yang dikemukakan
Emanuel Kant das Ding ansich, das Ding fuer mich. Menurut
Kant eksistensi dunia dapat dibagi dua, yaitu das Ding ansich,
yaitu dunia sana yang tak dapat dikaji dan disentuh manusia.
Sedangkan das Ding fuer mich adalah dunia sini alam materi
dimana manusia bebas memaknai dan memanfaatkannya.
Tan Malaka dalam suratnya kepada Dick menyatakan dengan
tegas bahwa dia adalah seorang Marxis yang memiliki latar
belakang idealistis. Menurut Peni Chalid pemikiran Tan Malaka
dapat dilihat beberapa kata kunci berikut:
63
Alfian. Op. Cit. Tan Malaka. h. 149
64
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayangh. 217
45
bersatu kembali.65 Tan Malaka mencoba menafsirkan
materialisme dialektik dengan sudut pandang kondisi indonesia.
1.Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa
barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi
sudah membentuk sistem masyarakat produksi-distribusi, sosial-
politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat
kapitalisme-jajahan Belanda (tesis).
2.Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-
lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada
hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang
memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu
produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi berdasarkan
pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama
dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang
sama minum air, terlungkup sama makan tanah, berdasarkan
kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia
serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis).
3.Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai
bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan
masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.
C. Kondisi Indonesia
1. Menentang Takhayul
65
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup. http://www.marxist.org/
46
Madilog merupakan himbauan seorang guru bangsa agar
rakyatnya keluar dari kegelapan irasionalitas dan masuk ke
dalam ruang rasionalitas modern. 66 Dalam Madilog Tan Malaka
menjelaskan bahwa sumber utama keterbelakangan bangsa
Indonesia adalah karena rakyat masih terkungkung dalam
penjara takhayul, dan logika mistika. 67 Kegundahan Tan Malaka
terhadap pola pikir masyarakat Timur, tak hanya ditulisnya
dalam Madilog, tetetapi juga ditulisnya dalam sebuah brosur
berjudul Parlemen atau Soviet. Di brosur ini Tan Malaka
menjelaskan bagaimana Barat menjadi masyarakat yang penting
dengan perkembangan teknologi dan otaknya, di Barat sudah
dibuat kapal terbang, kapal samudera, mesin-mesin, kereta api, ,
telepon,dan telegraf. Namun apa yang terjadi pada masyarakat
Timur? Yang ditemukan hanyalah masyarakat yang hanya sibuk
dengan urusan akhirat, adat isti adat, berbagai macam tahayul. 68
Ketika di belahan dunia lain sudah maju dalam teknologi dan
berpikir, pada masa Tan malaka di Indonesia masih diselimuti
kegelapan, dan dipenuhi dengan ilmu-ilmu gaib. Tan Malaka
sangat menentang pola pikir yang mengagungkan takhyul:
Tetetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara
berpikir yang berdasarkan benda, bukan roh, yang bertentangan,
bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan
fantastis, bertakhayul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda
buat kesehatan kecerdasan kebudayaan, kemerdekaan dan
kesenangan. 69
Tan Malaka memang keras sekali terhadap pemikiran mistis,
baginya tak perlu menceritakan ilmu kebatinan Timur. Ilmu
kebatinan berada di luar batas pikiran. Menurut Tan Malaka
bangsa Barat pada masa kegelapan sebenarnya sudah mengenal
kebatinan. Bagi Tan Malaka kebatinan tak bersandarkan kepada
kebenaran sedikitpun. Termasuk agama-agama yang masuk ke
Nusantara, menjadi kajian tersendiri bagi Tan Malaka. Bahkan
Tan Malaka mencapai pada sebuah kesimpulan yang keras
menyatakan bahwa paham mistis dalam ajaran-ajaran agama
adalah sebuah omong kosong dan penipuan. Tetapi kritik
kerasnya terhadap agama-agama tersebut, bukanlah berarti Tan
Malaka seorang Atheis. Kritik Tan Malaka terhadap agama-agama
tersebut, lebih cendrung mengkritik pribumi yang tak menggali
66
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayangh. 212
67
Guna menjelaskan apa yang dimaksud dengan logika mistis, Tan Malaka
mengambil contoh Mesir Kuno, dimana masyarakat tak menjelaskan apa yang
ada di dunia nyata sebagai sebab akibat dalam dunia nyata, mereka
menyerahkan semuanya kepada ruh-ruh yang berada di balik hal nyata
tersebut, yaitu dewa-dewa.
68
Tan Malaka. Parlemen atau Soviet. http://www.marxis/indonesia/index/htm
69
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 23
47
kebudayaan Indonesia sendiri, yang asli. Masyarakat kita selalu
memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai cita-cita
sendiri. Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang
impor, bukan keluaran negeri sendiri 70 Pertanyaan Tan Malaka
adalah, yang mana budaya Indonesia itu?
Penduduk Jawa adalah kristalisasi dari bermacam-macam
agama ketuhanan dan agama dewa-dewa. Ia bukan animis,
bukan seorang Hindu, bukan seorang Buddha, bukan seorang
Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati. Indonesia menurut
alam tetetapi Hindu-Arab pikirannya.71 Menurut Tan Malaka
Indonesia belum mempunyai jati diri yang murni, yakni Indonesia
100%.Riwayat Indonesia adalah riwayat Hindu, perasaan sebagai
kemegahan nasional jauh dari tempatnya, dan cita-cita akan
renaissance sama saja dengan membangunkan aristokratisme.72
Pada masa itu, menurut Tan malaka, bangsa Indonesia yang
sejati masih menjadi budak belian penurut, dan merupakan
sasaran kaum imperialis. Jati diri, kebudayaan bangsa Indonesia
yang sejati tak ada kecuali rakyat mempunyai niat membebaskan
bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka. Bangsa Indonesia
belum sejati, selain menjadi bangsa yang diperbudak.
2. Primitif di Nusantara
Kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak dalam budaya
primitif tak bisa dilepaskan dalam perkembangan pemikiran Tan
Malaka yang menginginkan sebuah tatanan masyarakat modern
yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Tan Malaka dalam bukunya Pandangan Hidup di
Indonesia masih dapat ditemukan masyarakat Indonesia primitif
yang hanya menggantungkan kehidupannya terhadap alam,
misalnya orang kubu di Jambi, Dayak di Kalimantan, dan di
Papua. Mereka belum mengerahkan otaknya memikirkan cocok
tanam, bertukang dan berdagang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya maupun memenuhi perlengkapan perlindungan
keselamatan mereka.
Kekayaan alam telah memanjakan masyarakat primitif
nusantara ini, buah-buahan yang beragam dan bermusim terus
bermunculan di hutan, binatang liar dengan mudah ditemukan,
ikan-ikan terdapat di sungai untuk menjamin hidup mereka, kulit
dan kayu cukup untuk menutupi tubuh mereka, dahan ranting,
pohon dapat mereka jadikan pondok sebagai tempat
perlindungan. Alam Indonesia yang kaya ternyata tak membuat
manusianya memutar otak membanting tulang bekerja keras
70
Tan Malaka. Aksi Massa.Yogyakarta: Narasi. 2008. h. 22
71
Ibid. h. 24
72
Ibid. h. 31
48
untuk lebih memperbaiki perlindungan diri, tetetapi keadaan
alam yang belum memaksa mereka masih dalam keadaan ilmu
pengetahuan seperti awal, tak ada perkembangan.
Tan Malaka mengemukakan kondisi masyarakat primitif yang
diamatinya saat itu bukanlah untuk bermaksud menghina tetapi
bukan dengan maksud memuji, Tan Malaka yakin bahwa
masyarakat primitif tersebut dalam kondisi seperti itu
dikarenakan perbedaan lingkungan dan disebabkan kodrat
pendorong. Mereka akan bisa seperti saudara mereka yang di
desa sebagai petani, buruh, dokter, pengacara apabila kondisi
alam jiwanya seperti mereka, perbedaan yang terjadi tersebut
bukan karena kesanggupan maupun sifat mereka sebagai
manusia.
Perbedaan alam tersebut ternyata membuat perbedaan
pandangan hidup (weltanschauung). Bagi mereka yang berada
dalam hutan belantara tersebut berpikir mencerminkan alam
luarnya kepada alam dalamnya bahwa tekanan kepada jiwanya
yang berada di alam luar, yakni yang berada di dalam hutan
rimba raya. Sehingga menurut Tan Malaka wajarlah kalau mereka
berpikiran sederhana bahwa pepohonan, binatang buas, batu dan
kayu dianggap bernyawa, dan inilah yang menyebabkan
munculnya animisme yang meyakini bahwa semua yang ada di
alam ini bernyawa. Mereka tak hanya memuja yang baik saja,
tetetapi juga yang jahat. Sehingga apa yang mereka anggap
berbahaya justru itulah yang akan mereka sembah. 73 Pada
masyarakat animisme ini mereka terus mengalami dialektika,
mencari apa yang paling mereka takuti untuk dipuja, misalnya
karena hidup mereka dari berburu, maka hantu pemburulah yang
dipuja, atau yang memberi kebaikan, misalnya pohon yang
dianggap menghidupi mereka juga dipuja sebagai maha dewa.
Tentang pembagian zaman, Tan Malaka membaginya dalam
tiga tahap berikut:
1. Zaman kuno. Dimana manusia masih mengandalkan
tangan dan tergantung kepada alam sebagai sumber
penghidupan.
2. Zaman Kemodalan. Eropa dan Amerika tahun 1789
melakukan sebuah revolusi industri, dimana manusia
sudah dibantu dengan mesin-mesin.
3. Zaman antara kapitalisme dan sosialisme. Rakyat sebagai
kekuatan dan sebagai buahnya adalah kekuasaan rakyat. 74
73
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup.http://www.marxis.org/indonesia/
74
Tan Malaka. Parlemen atau Soviet. http://www.marxis.org/indonesia/index/
49
Dari tiga pembagian zaman ini, sebagian Nusantara masih
banyak berada dalam tahap zaman kuno, dimana pola kehidupan
primitif masih berlangsung.
3. Raksasa Kolonialisme
50
kepentingan negara asing. Kalau di Eropa kapitalisme bersifat
organisch alamiah, di Indonesia yang terjadi adalah verkracht atau
diperkosa. Di Indonesia kolonial Belanda membunuh perusahaan
kecil denan membawa masuk produk mereka, hingga yang terjadi
adalah monopoli.
Dalam Semangat Muda, Tan Malaka mengatakan bahwa
Indonesia yang sangat kaya namun kaum pribumi tetap terbelit
kemiskinan. Sementara kaum modal mendapat untung berlipat
ganda, menari di atas penderitaan rakyat yang semakin melarat.
Keuntungan dari bumi Indonesia itu mengalir ke Eropa dalam
jumlah berjuta-juta ung setiap tahunnya untuk membuat bunga
modal.
Buruh di Indonesia sangat berbeda dengan buruh di Eropa, di
Indonesia kaum buruh tidak mempunyai skill industri mereka
hanya buruh tani berbeda dengan buruh di Eropa mereka adalah
buruh pertambangan, kereta, dan kapal. Perbedaan yang
mencolok sangat terasa, kaum proletar Eropa mereka memiliki
pertautan dengan nenek moyangnya di pabrik, di nusantara
kaum proletar memiliki pertautan saudara di desa. Kalau kaum
proletar memiliki sekil teknis dalam menggerakkan mesin
industri berdisiplin tinggi dan produktif, yang terjadi di nusantara
kaum proletar masih terperangkap dalam mistik dan hal-hal gaib.
Perbedaan ini semakin nyata menambah penderitaan kaum
pribumi proletar. Perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan
kualitas.
BAB 3
PEMIKIRAN DAN AKSI PENDIDIKAN
A. Berkarakter Kerakyatan
51
mengajar mereka, Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk
melatih mereka baris berbaris yang sangat mereka sukai.
Bagi Tan Malaka untuk masa depan bangsa Indonesia yang
maju, harus dicapai melalui pendidikan. Karena pendidikan
merupakan perkakas membebaskan keterbelakangan dan
kebodohan kaum Murba, dan untuk itulah sekolah-sekolah harus
didirikan untuk rakyat. Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus
berakar kepada budaya Indonesia yang terus digali dan
disampaikan dengan Bahasa Indonesia: Sudah barang tentu
pekerjaan mendidik anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah
satu pekerjaan terpenting dimasa sekarang dan masa depan. Soal
kemana pendidikan itu mesti diarahkan, dasar apa yang mesti
dipakai serta cara apa yang mesti diikuti buat saya sendiri sudah
terang, tetapi bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda
karena bagi saya Bahasa Belanda bukan merupakan Bahasa
pengantar dan kebudayaan Belanda bukan merupakan ciri dari
pendidikan kita.1
1
Tan Malaka dalam Indra Mulya Bhakti, Pemikiran Politik Tan Malaka, Suatu
Penelusuran Awal. Artikel ini termasuk dalam buku Apa, siapa dan Bagaimana
Tan Malaka, Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2007. h. 159
2
Tan Malaka. Naar De Republiek Indonesia. http://www.marxis.org/indonesia
52
didasarkan kemodalan:Kekuasaan kaum modal berdiri atas
didikan yang berdasar kemodalan. Kekuasaan rakyat hanyalah
bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.
3
Tan Malaka. SI Semarang dan Onderwijs. http://www.marxis.org/indonesia
3
Tan Malaka. Naar de Republiek Indonesia. http://www.marxis.org/indonesia
53
Menghapuskan pembelajaran berbau feodalis merupakan
langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus
keterbelakangan dan mental kuli bagi pribumi. Jika masa
penjajahan mendidik pribumi hanya didasarkan kepentingan
imprealis sendiri, dalam artian setelah menyelesaikan pendidikan
mereka dipekerjakan sebagai pegawai rendahan saja. Tan Malaka
ingin pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar
msyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Olehkarena
itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik,
dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.
54
berdiri jauh dari kehidupan rakyat serta keaktifan politik.
Permasalahan intelektualisme yang ibaratkan menara gading tak
akan banyak berdampak bagi rakyat, tetetapi butuh perbuatan
dan bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan dalam
pergerakan dan politik: Selama kaum terpelajar kita melihat
bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja,
selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong
belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar
menceburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif. 5
55
perjuangan kemerdekaan. Seperti yang ditulisnya dalam Naar de
Republiek Indonesia, 1925.
56
Bagi Tan Malaka kaum terpelajar Indonesia sangat berbeda
dengan di Inggris, dimana kaum intelektual secara sadar
bergabung dengan kaum proletar. Kaum cendikiawan belum
mengakui bahwa kekayaan dan kekuasaan ekonomi di dasarkan
atas kelas buruh. Seruan Tan Malaka kepada kaum intelektual
tak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali hanya satu,
kemerdekaan bagi Indonesia. Tan Malaka yakin, perjuangan
bangsa-bangsa yang tertindas di Timur hanya akan berhasil
menggempur imperialisme dan borjuis apabila kaum buruh,
kaum tani dan cendikiawan kompak dalam sebuah partai
revolusioner.
Posisi kaum intelektual dalam pandangan Tan Malaka sangat
jelas, bahwa kaum intelektual yang baru tumbuh belum
mempunyai kasta tempat mereka berlindung, sehingga mereka
menjadi pasif. Kaum intelektual yang mendapatkan pendidikan
imperialis tersebut tak menyadari bahwa mereka harus bergelut,
dan menceburkan diri dalam kasta buruh tani, karena mayoritas
inilah yang akan merebut kemerdekaan
Sikap Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut,
jangan pernah mengharapkan belas kasihan dan peri
kemanusiaan dari pihak penguasa kolonial. Rakyat harus belajar
bahwa mereka akan memberi peradaban kepada pribumi, rakyat
harus memperjuangkan kehidupan dan kesejahteraan mereka
sendiri. Kaum terpelajar harus bergabung memperkuat badai
revolusi, dan merasakan dahsyat perjuangan bersama rakyat.
57
dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang membuat dia
harus mendapat tekanan dan pembuangan. Seruan ini ditulis
untuk menyambut kedatangan Tan Malaka di Belanda sebagai
buangan politik.
58
tetap ingin memformat pedidikan yang ada harus meniru
pendidikan di Belanda secara utuh, karena (bagi Belanda)
lembaga pendidikan khususnya universitas yang ada di Belanda
adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal ini tanpa
memperhatikan karakter dan budaya Indonesia.
Akibat politik pendidikan Belanda tersebut, Perguruan
Rendah, Menengah, dan Tinggi semenjak dulu tak cukup untuk
rakyat yang berjumlah 55 juta (masa itu). Hal itu harus diakui
tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya
pemerintah.12 Berikut adalah data statistik yang disajikan Tan
Malaka mengenai kondisi pendidikan pada saat itu.
12
Ibid. h. 61
13
Ibid. h. 62
59
Politik pendidikan pemerintah dalam soal pengajaran dapat
diungkapkan dengan: Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh
supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara.
Pergerakan pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai
rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit,
mereka dimasukkan ke penjara, disekap dikamar tikus, dihalau
ke luar negeri atau diketok kepalanya sampai mati.
Petani kebanyakan buta huruf dan dungu, mereka ditekan
dalam satu kontrak yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak
itu disebutkan mereka tak boleh berorganisasi dan mogok.
Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang
jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya lebih kecil
mempergunakan pendidikan beracun untuk melemahkan hati
buruh.
Kalaupun pendidikan diberikan kepada rakyat, Belanda tetap
menanam kepentingan kapitalismenya. Rakyat diajarkan untuk
melupakan pertentangan kebangsaan, melupakan adat budaya,
dan jati diri sebagai kaum kromo. Sehingga menyerahkan hidup
dan menggantungkan hidupnya kepada kemodalan kolonialis.
Bangsa Hindia yang terpelajar telah berdamai dengan Belanda
dan melupakan bangsanya sendiri. Inilah politik etis Belanda,
memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetetapi tetap
berimbas kepada penindas dengan menjadi alat industri.
60
yang diyakini para penganut Marxis. Revolusi bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa. Revolusi tak
tergantung atas sosok tokoh individu, revolusi tak dapat
dipikirkan dan dilakukan oleh tokoh kaliber besar sekalipun.
Konsep revolusi Tan Malaka lebih menonjolkan apa yang
disebutnya dengan Massa Aksi.
Revolusi membutuhkan sebuah Massa Aksi yang disebabkan
oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-
tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis,
revolusi adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul
dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman
pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan
oleh berbagai macam faktor: Ekonomi, Sosial, Politik, dan
Psikologis. Semakin besar jurang antara kelas yang memerintah
dengan kelas yang diperintah, semakin besarlah hantu revolusi.
Tujuan sebuah revolusi adalah menentukan kelas mana yang
akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan
revolusi itu dijalankan dengan kekerasan. 16
Menurut Tan Malaka ketika ilmu (wetenschap) masih muda,
semua perjuangan masih dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi
(dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam. Pertentangan
yang muncul masih dalam keagamaan misalnya pertentangan
Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus
(terang dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, dan
Katholisme dengan protestanisme.
Kondisi kehidupan yang masih sangat sederhana tergantung
kepada pekerjaan tangan dan pertanian. Pada masa feodal ini,
pemimpin rakyat tak dibutuhkan kecerdasan otaknya, tetetapi
cukup berdasarkan keturunan raja dengan dukungan pendeta
maupun bangsawan walaupun pemimpin tersebut bodoh. Setelah
ilmu berkembang pesat, manusia semakin cerdas, maka mulai
muncul dogma dalam permasalahan hidup. Mulailah muncul
pertentangan kelas dengan di dasari pengetahuan.
Revolusi bagi Tan Malaka bukan saja menghukum, menentang
kecurangan dan kelaliman, tetetapi juga mencapai segenap
perbaikan dari kecelaan. Pada masa revolusi akan tercapai
puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan tercapai
segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Dengan kecerdasan revolusi tersebut merupakan keharusan bagi
suatu kelas dari suatu bangsa untuk menghapus peraturan-
peraturan kolot serta perbudakan. Revolusi adalah mencipta!
demikian ringkas Tan Malaka.
Tan Malaka yang menyelami seluruh peradaban dunia
membandingkan kondisi masyarakat nusantara dengan Yunani.
16
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 16
61
Dalam ilmu pengetahuan, misalnya rakyat Majapahit belum
mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad abad
pemerintahan itu bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan; Bagi
Tuankulah, ya, junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan
nyawapatik, diucapakan rakyat Majapahit terhadap raja-rajanya.
Tak ada Orachus, Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang
diselidiki dengan serius seperti yang dipergunakan Aristoteles,
Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-
gedung dan ilmu obat-obatan kita masih pada tingkat percobaan,
sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua
menuntun manusia menuju berbagai macam pengetahuan.
Kesimpulan radikal Tan Malaka bahwa di Nusantara masa itu tak
ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan
pikiran manusia Indonesia.
Tan Malaka juga membandingkan kondisi pendidikan di
Nusantara dengan di India, imperialisme Inggris mendirikan
sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi
(lebih dari lima universitas). India mempunyai seorang Tilak,
Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr.C. Bose dan Dr.Naye yang
termashur di seluruh dunia. Walaupun kaum terpelajar India
tersebut dilahirkan oleh imperialisme Inggris. Memang Inggris
memberikan pendidikan Barat kepada segolongan India dengan
keterpaksaan, karena kepentingan eksploitasi. Pada permulaan
sekolah-sekolah yang diadakan Inggris tersebut hanya dinikmati
kaum aristokrat dan orang kaya, namun pada akhirnya orang
biasa bisa memasukinya.
Ternyata Inggris telah menggali lubang kuburnya sendiri
dengan memberikan pendidikan Barat kepada rakyat India.
Banyaknya kaum intelelektual dari kalangan rakyat India, telah
memupuk kesadaran, sehingga muncul pergerakan kemerdekaan.
Inilah buah dari pendidikan, Revolusi.
Sedangkan kondisi di Filipina, Amerika dengan serius
memperhatikan sekolah rendah, terutama bidang pertanian.
Dengan adanya empat buah universitas dan beberapa sekolah
tinggi, setiap tahun meluluskan putra dan putri Filipina dalam
jumlah besar untuk mempertahankan Filipina dari imperialis
Amerika.
Dalam kasus Filipina, hanya sedikit penduduk yang buta
huruf, karena bisa dikatakan semua anak-anak masuk sekolah
hingga sampai ke pelosok desa, selain belajar Bahasa sendiri,
pemuda-pemudinya mengerti Bahasa Inggris. Dr. Nieuwenshui
adalah sosok intelektual Amerika yang menentang adanya
pendidikan bagi rakyat Filiphina, namun karena kecerdasan dan
perlawanan rakyat Filiphina dia tak bisa berbuat sewenang-
wenang.
62
Di Indonesia, pemerintah Belanda takut kepada Universitas
dan sekolah tinggi seperti takut kepada hantu. Belengan akan
melimpahnya buruh inteletual dengan adanya universitas. Kalau
Filipina yang pada saat itu jumlah penduduknya 12 Juta, namun
mempunyai empat Universitas dan beberapa sekolah tinggi, tetapi
di Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak,
belum mempunyai satupun juga !. pendidikan pribumi bagi
pemerintah kolonial adalah racun, kesadaran berbangsa merdeka
akan memunculkan daya upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
Pendidikan sebagai perangkat revolusi, dimana ketika
Indonesia sudah bisa mandiri dalam mempersiapkan sumber
daya manusia: insinyur, dokter, guru yang memang berasal dari
pribumi sendiri. Tan Malaka membuat perbandingan negeri
Belanda yang kecilnya 7 x lebih kecil dari Hindia saja bisa
menciptakan kaum terpelajar yang cukup, lalu mengapa
nusantara yang kaya tak mampu mempersiapkan tenaga
terpelajar.
Konsep Marx: Proletariat tak akan kehilangan sesuatu
miliknya, kecuali belenggu budaknya. Menjadi dasar revolusi
Indonesia, bahwa ketika rakyat Indonesia menghadapi sebuah
bentrokan dengan Belanda, maka tak akan ada sesuatupun yang
hilang dari rakyat Indonesia kecuali belenggu budak imperialis.
63
maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat.
Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak
gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah
yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau
kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap...
Kawan-Kawan !!!
A. Metode Belajar
1. Jembatan Keledai
64
Al-Ghazali: Al-Ghazali pemikir sang pembentuk Islam, kalau saya
tak keliru pada suatu ketika kena samun. Penyamun juga
merampas semua bukunya. Sesudah itu Al-Ghazali memasukkan
semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan megapalkan.
Bahagia (gunanya) mengapalkan itu buat Al-Ghazali, sekarang
sudah terang bagi kita.18
Konsep belajar Jembatan Keledai sebenarnya direncanakan
oleh Tan Malaka ditulis ke dalam buku yang lebih lengkap, agar
bermanfaat bagi pelajar di sekolah dalam mempelajari satu hal,
terutama bagi pelarian politik, Jembatan Keledai akan sangat
bermafaat. Menurut Tan Malaka seorang pelarian politik harus
bebas beban, seringan-ringannya, dan tak boleh dibebani bawaan
fisik atau psikis, karena setiap detik harus siap berlari dan
berlari. Maka dia harus bebas dari ikatan lahir dan batin. Namun
sayangnya sampai akhir hayatnya, buku Jembatan Keledai tak
sempat ditulisnya.
Pada masa kecil, Tan Malaka dalam belajar suka sekali dengan
cara menghafal dalam Bahasa Arab maupun Belanda. Pada
perkembangannya Tan Malaka mengatakan bahwa konsep
menghafal tak menambah kecerdasan, malah membodohkan dan
memiskinkan yang membuat orang menjadi mekanis. Menghafal
bukan memberikan pemahaman terhadap sebuah materi, tetetapi
hanya mengingat bunyi dan halaman dimana kalimat tersebut
tertulis.
Namun Tan Malaka tetap menyadari pentingnya mengingat
sesuatu, sehingga ia menciptakan Jembatan Keledai sebagai jalan
tengah: Apalkan, ya, apalkan, tetetapi perkara barang yang
sudah saya mengertikan betul, saya apalkan kependekan
intinya saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukittinggi, saya
sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan
yang tak berarti buat orang lain, tetetapi penuh dengan
pengetahuan buat saya.19
Bagaimanapun Tan Malaka sangat benci dengan menghafal,
kelemahannya dengan tak suka hafalan ini juga
diperlihatkannya ketika sekolah guru di Haarlem, ketika mata
pelajaran berhitung, Tan Malaka tak menghadapi permasalahan
namun kendala dia hadapi pada mata pelajaran Ilmu tumbuh-
tumbuhan, karena keharusan mengingat dedaunan, biji-biji buah
yang semuanya itu harus dihafal. Dengan Bahasa satiris dalam
bukunya Dari Penjara kepenjara Tan Malaka menulis:
Kebencian ini lebih besar daripada kebencian saya harus
makan roti dan keju setiap hari di pondokan saya. 20
18
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 13
19
Ibid. h. 13
20
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I.
65
Minat Tan Malaka terhadap logika lebih kental, daripada
pelajaran yang cendrung pada hafalan, hal ini tergambar dalam
suratnya kepada Horensma yang menceritakan dia mendapat nilai
baik kecuali pedagogi karena menurutnya tak ada hubungan
dengan logika, yang membuat dia tak mampu menghafalakan
sesuatu.
21
Ibid.
22
Kegagalan Tan Malaka dalam memperoleh Akta Kepala selalu menjadi
diksusinya dalam surat menyurat dengan Horensma, menurut Tan Malaka
bukanlah sulit bagi penguji meluluskan seseorang karena berdasarkan
kedekatan, sedangkan Tan Malaka tetap dianggap sebagai orang luar.
66
masalah kedua, yaitu FINANCE, terpotong oleh huruf F, keuangan
dan sebagainya.
Contoh lain Jembatan Keledai adalah ONIFMAABYCI
AIUDGALOG. sekilas kelihatan dan terdengar seperti Bahasa
sanksekerta, namun sesungguhnya bukan. Melainkan sebuah
konsep ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi
Mahatma Gandhi.
Tentunya Jembatan Keledai merupakan konsep yang sangat
subjektif, artinya penghafal lah yang sangat mengerti uraian
tersebut. Menurut Tan Malaka satu kata Jembatan Keledai
AFIAGUMMI apabila dijelaskan dalam bentuk tulisan akan
menghabiskan setengah brosur yang membahas Ekonomi, Politik,
Muslihat Perang, Sains dan sebagainya.
Dengan Jembatan Keledai, Tan Malaka tak merasa kesulitan
untuk memaparkan teori-teori yang dipelajarinya ke dalam buku
yang ditulisnya. Madilog, adalah sebuah karya yang ditulis hanya
berdasarkan ingatan Tan Malaka saja, tentunya dengan
menerapkan konsep Jembatan Keledai. Ringkasnya walaupun
saya tak punya pustaka, walaupun buku-buku saya terlantar
cerai berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan
Hindia atau dalam tebat dimuka rumah tuan Tan King Tjang di
Upper Serangoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya
kehilangan isinya buku-buku yang berarti. 23 Banyak buku
karya Tan Malaka yang menggunakan Jembatan keledai di
judulnya, misalnya MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika),
ASLIA (Asia, Australia), GERPOLEK (Gerilya, Politik, Ekonomi).
2. Psikologi Anak
67
mendapatkan semua ini taklah bisa main tuan besar terhadap
anak kuli..... 24
Tan Malaka sangat menyadari perlunya pendekatan psikologis
terhadap anak-anak. Pada saat itu Tan Malaka tak hanya
melakukan pendekatan terhadap peserta didik tetetapi juga
melakukan pendekatan kepada orang tua murid. Untuk
menjalankan idenya tersebut, Tan Malaka mengajak beberapa
kuli dan pegawai untuk membicarakan pendidikan anak-anak
kuli.
Anak-anak diberikan kesempatan menyampaikan pemikiran
mereka dengan menyelenggarakan kongres antara berbagai
sekolah dan dengan sistem bertukar sehingga dapat memberi
contoh yang baik dan menjalin kerjasama dan perkenalan antar
anak di sekolah. Guna menjalankan gagasan tersebut haruslah
anak-anak sendiri yang menyelenggarakanya dan dipimpin oleh
mereka sendiri. Kepemimpinan dan mandiri sangat diinginkan
oleh Tan Malaka kepada anak muridnya.25
Dalam brosur Sarekat Islam dan Oderwijs, Tan Malaka dengan
gamblang menjelaskan bahwa pendidikan harus memperhatikan
kondisi kejiwaan mereka. Pendidikan tak baik diberi terus
menerus kepada murid tanpa ada waktu luang bagi mereka untuk
bermain. Dengan bergaul, anak-anak bisa saling mengenal,
bergaul, dan bermain bersama, sehingga pendidikan bukanlah
menciptakan manusia individualis.
3. Pendidikan Barat
Menurut Tan Malaka apabila kita pelajari dunia Barat, Eropa dan
Amerika, maka akan dapat Tiga Garis Pokok Kebudayaan, yaitu:
Garis Agama, Garis Filsafat, dan Garis Ilmu Pengetahuan
Empirik. Sementara cabang kebudayaan yang lain akan
bersandar pada tiga garis kebudayaan tersebut. 26 Dari tahun 500
SM sampai 1500 M agama memperoleh kedudukan tertinggi,
filsafat masih mengabdi kepada agama. Dari 1500 sampai 1850
M, filsafat mendapat kedudukan tertinggi dalam masyarakat
Barat. Dan tahun dari tahun 1850 sampai sekarang ilmu empiris
memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi di Eropa dan Amerika
modern.
Pandangan Tan Malaka Indonesia yang maju harus terlepas
dari logika mistis, lepas dari kekuatan-kekuatan gaib dan mulai
mempergunakan ilmu pengetahuan.27 Sebagai patokan sains dan
24
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 69
25
Tan Malaka. Pembuanganku. Dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan... h.188
26
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup. http://marxis.org/indonesia/index
27
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayang. h. 212
68
teknik maka Baratlah kiblatnya, bahkan Tan Malaka menurut
Franz Magnis Suseno tak malu mengakui bahwa ia adalah murid
Barat, karena di zaman modern, Baratlah yang merintis
pemikiran materialistis, dialektik, dan logika.
Indonesia harus merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah
saatnya berdiri atau berubah dengan mengerahkan daya upaya
dengan kecakapan, perasaan dan kemauanya. Manusia sebagai
individu atau bangsa harus mempergunakan pemikiran dan
tenaga buat memajukan kebudayaan manusia umum. Tan
Malaka secara keras menyatakan bahwa manusia ataupun
bangsa yang tak menggunakan pemikiran dan tenaganya bagi
kemanusiaan maka tak layak menjadi seorang manusia atau
bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikitpun dengan
seekor binatang.
Tan Malaka menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan
Barat. Rakyat pribumi jangan terjebak dengan berpikir dan
meyakini bahwa kebudayaan dan pengetahuan Timur lebih tua
dan lebih mulia daripada Barat. Pribumi bisa berpikir dan berkata
bahwa mereka lebih baik, apabila melampaui pemikiran dan
karya yang telah diciptakan para pemikir Barat, seperti Newton,
Marx dan Lenin. Dalam kondisi yang masih percaya kepada mitos
dan mistis sungguh tak layak untuk menganggap lebih agung dan
pintar daripada Barat. Budaya takhayul harus dihapus dan
diganti dengan pemikiran ilmiah, setaknya ini adalah langkah
awal bagi pribumi untuk menjadi murid bagi Barat.
Kita tidak perlu malu dan bimbang dalam upaya merampas
kemerdekaan dengan menjadi murid Barat. Kekuatan keinginan
untuk merdeka dan belajar sendiri adalah modal utama dalam
rangka menjadi murid Barat tersebut. Pribumi tak boleh kalah
oleh orang Barat dalam hal pemikiran, pemyelidikan, kejujuran,
kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Mengakui
dengan tulus, bahwa kita sanggup dan harus belajar dari orang
Barat, tentunya tanpa harus menjadi peniru total dari Barat
melainkan harus cerdas, suka mengikuti dialektika alam, dan
harus melampaui kepintaran guru tersebut (Barat).
69
rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat
menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.28
28
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 141
29
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 39
70
pihak kolonial. Sementara untuk menentang tentang
intelektualitas yang akan berkurang, menurut Tan Malaka
kecerdasan tak akan menurun, karena murid yang melanjutkan
studi tak lagi didasarkan finansial keluarganya, melainkan
kecerdasan otaknya yang ditetapkan oleh Badan Pendidikan
Negara. Kondisi saat itu, banyak anak cerdas yang tak dapat
melanjutkan studi karena ketakmampuan finansial, sementara
anak yang mempunyai uang namun tak memiliki kemampuan
bisa memperoleh gelar.
2. Kompetensi Guru
30
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 186
71
3. Sekolah Kejuruan
31
Tan Malaka. De Indische School. dalam Poeze. Op. Cit.Pergulatan... h. 187
32
dalam perkembangannya, sesuai kondisi politik, terpecahnya SI FOSIO
berubah menjadi FOR (Fonds Onderwijs Rajat) Dana untuk Pendidikan
Rakyat
33
Pidato Tan Malaka dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan.... h. 188
72
Pemandangan Tan Malaka dalam rangka memperoleh bantuan
dari dermawan tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa untuk
bebas dari imperialis kapitalis dan masyarakat borjuis, maka
kaum proletar harus dibebaskan dari segala pendidikan yang
berbau borjuis. Kemandirian dengan jalan mendirikan pendidikan
kejuruan adalah salah satu cara membebaskan belenggu
ketergantungan kaum kromo. Pendidikan yang akan didirikan
harus link and match berhubungan dengan industri yang ada
maupun yang akan didirikan, sehingga mereka segera bisa
bekerja. Selain itu sekolah pertanian, pertukangan, perniagaan,
teknik, dan administrasi harus diperbanyak.
Tan Malaka merancang program keahlian pertukangan dan
ukir mengukir di sekolah SI, sehingga mereka bisa membuat
meja, kursi, dan peralatan lain yang akan dapat mereka kelola
dan jual sendiri dengan sistem koperasi. Program keahlian
pertukangan inipun mendapat respon positif dan semangat dari
murid sekolah SI. Dengan keahlian yang dimiliki ini kelak anak
didik akan menjadi manusia merdeka, mereka bisa berdikari,
berwira usaha, tanpa tergantung kaum modal.
73
kesuksesan karirnya di Tiongkok, seorang guru yang pakar
sekalipun tak akan laku apabila menganut paham yang kolot atau
berbeda dengan yang dianut oleh murid-murid mudanya. Kondisi
politis dan ideologis ini membuat murid menjadi tak disiplin
mngikuti peraturan perguruan.
Kondisi yang sangat ideologis yang mengabaikan tujuan
perguruan tersebut, sebenarnya menurut Tan malaka kurang
tepat. Murid harus tetap tunduk kepada peraturan perguruan,
dan gurupun tak hanya ada dalam alam intelektualnya saja
tetetapi juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan
dunia modern dan pemikiran politik murid-muridnya, karena
pertentangan ideologis itulah yang menghambat proses belajar
mengajar. Guru dan murid jangan terjebak dalam pandangan
politik yang berbeda, tentu saja guru harus terlibat aktif tak
hanya dalam bidang pengetahuan, tetetapi juga bisa memuaskan
keinginan politik muridnya untuk mengabdi pada bangsa dan
negara yang dicintanya.34
Pada perkembangannya foreign language school Tan Malaka
tak hanya semata-mata belajar Bahasa asing tetapi
berkembang pada diskusi tentang Politik, Ekonomi, dan
Filsafat. Pada satu dua hari pengumuman sekolahnya, Tan
Malaka dikunjungi seorang mahasiswa radikal sosialis yang
ingin belajar Bahasa Jerman, dia membawa karangannya
tentang ekonomi sosialis yang ingin diperiksa gramatikanya
oleh Tan Malaka, dan tentu saja Tan Malaka dengan terbuka
untuk membantunya. Pada pertemuan berikutnya mahasiswa
dari Amoy University yang bernama Huang tersebut membawa
sebuah karangan yang membahas filsafat yang berbau Sosialis
Marxis. Karena Tan Malaka mampu meladeni kehendak
ideologis tersebut, Tan Malaka dimatanya lolos dan layak
untuk menjadi guru. Sebenarnya Tan malaka menyadari
bahwa ia sedang mengalami sebuah tes informal dari calon
muridnya.
Mahasiswa bernama uang memilki pengaruh besar
dilingkungan pemuda, setelah dia merasa puas dengan
pandangan ideologis Tan Malaka, dia menjadi sales tak resmi bagi
sekolah yang didirikan Tan Malaka, dari mulut ke mulut dia
menyebarkan informasi kepada pemuda bahwa mereka
sebagusnya berguru di sekolah tan Malaka tersebut. Tetetapi
murid-murid yang belajar kesana bukan termotivasi untuk belajar
Bahasa, tetetapi lebih kepada politik, banyak pertanyaan muncul
34
Salah satu pertentangan pemandangan politik, pernah terjadi ketika seorang
Dr tamatan Amerika memberikan penjelasan prinsip ekonomoi yang lebih
cedrung kepada kapitalisme, sementara kecendrungan berpikir murid lebih
kepada sosialisme, sehingga pertentangan terlihat jelas di kelas.
74
ditanyakan kepada Tan Malaka, mau tak mau Tan Malaka harus
melayani keingintahuan pemuda-pemuda Tiongkok tersebut.
Pelajaran tambahan politik tersebut menjadi daya tarik
tersendiri bagi pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Maka
ramailah sekolah tersebut sehingga ruangan tak lagi memadai
untuk menampung pemuda dari berbagai universitas dan sekolah
menengah tersebut. Maka didirikanlah tak jauh dari jalan Sun
Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy foreign language school.
Sebenarnya pada saat itu juga ada sekolah Bahasa asing yang
berlokasi di Kulangsu, namun pemuda-pemuda tersebut lebih
memilih sekolah Tan Malaka. Tan Malaka juga menambahkan
materi pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia
membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan
guru.
Pesatnya perkembangan foreign language school membuat
permasalahan modal dan perluasan sekolah tak lagi menjadi
masalah. Kunci kesuksesanyya adalah menarik hati murid yang
pada umumnya adalah anak-anak orang kaya, sehingga apabila
sudah berkesan bagi mereka, biaya bukan lagi suatu masalah.
Bila seorang guru sudah menarik hati pemuda tiongkok, guru
adalah orang yang disayangi setelah orangtua mereka, rumah
guru menjadi rumah mereka, dan mereka berusaha membuat
sang guru tersebut, dengan mengajak guru ketempat yang
menarik sehingga Tan malaka menjadi jarang di rumahnya.
Walaupun Tan malaka dilayani sangat sempurna oleh murid-
muridnya yang mempunyai uang, dia tetap menjaga perasaan
murid-murid proletar, dia tetap memenuhi undangan murid
proletar. Bagi Tan Malaka, jangan sampai perbedaan strata murid
membuat pelayanan pendidikan dibeda-bedakan.
Karena Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign
language school pun harus ditinggalkannya. Menurut Tan Malaka
ketika foreign language school ditinggalkannya untuk melawat ke
Singapura, sekolah tersebut tetap diminati para murid.
Selanjutnya di Singapura merintis kembali lembaga pendidikan.
75
memiliki nama banyak yang sama menjadi tak mudah bagi
mereka menemukannya, sampai membuat Buna jatuh sakit
kelelahan mencari sekolah tersebut, namun akhirnya tetap
bertemu.
76
lima kelas si Sekolah rendah Tionghoa selama dua tahun dia
mengajar disana. Semakin meluasnya pergaulan Tan Malaka
membuat dia semakin sibuk mengajarkan Bahasa Inggris,
sehingga malampun tak ada lagi waktu luang untuk mengajar
Bahasa Inggris, bahkan juga mengajari Kimia dan Matematika.
Pesatnya pergaulan hidup Tan Malaka di Singapura, membuat dia
tak merasa sulit lagi dalam permasalahan keuangan.
Pada masa baru sampai di Singapura, permasalahan ijazah
memang menjadi masalah, seperti yang penulis sampaikan dalam
catatan kaki. Namun, karena semakin banyaknya kawan
Tionghoa, ijazah bukan lagi menjadi masalah baginya untuk
mengajar. Tentu saja hak istimewa bebas dari persyaratan ijazah
itu tak diberikan saja, dia harus dites kompetensinya. Namun
aktifitas mengajarnya yang semestinya meningkat lebih tinggi dan
merambah ke bidang Ilmu Ukur, dan Aljabar mesti terhenti
karena Inggris kalah perang dengan Jepang pada bulan Februari
tahun 1942.
Di Singapura proses belajar mengajar agak terganggu karena
serangan pesawat tempur Jepang. Membuat para guru
mempunyai tugas ekstra, yaitu melindungi murid dari serangan
bom. Guru berbagi jadwal piket memimpin murid ke lobang
perlindungan yang sudah dipersiapkan. Rumah sekolah dengan
bentuknya yang besar dan tinggi menjadi sasaran serangan
pesawat Jepang. Dengan keadaan terdesak dan kekalahan
diambang mata, Inggris membentuk volunteer corps , tentara
sukarelawan yang dikumpul dari barisan buruh dan pemuda-
pemudi Tionghoa. Tentara sukarela ini dibentuk di sekolah
Tionghoa tempat dimana Tan Malaka mengajar, dan banyak
murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik.
Sebenarnya menurut Tan Malaka ini adalah kelicikan Inggris
untuk memanfaatkan warga Tionghoa, cara ini bahkan dijadikan
alat untuk membinasakan warga Tionghoa, karena hal yang tak
mungkin siap ke medan perang hanya latihan beberapa hari
menghadapi tentara Jepang yang terlatih. Sekolah ditutup dan
beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan
sebagai asrama. Sampai disini Tan Malaka tak memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang sekolah ketika dia mengajar di
Singapura tersebut.
77
Beginilah tulisan Tan Malaka, mengungkapkan kondisi Deli dan
rakyat ketika pertama kali dia menginjakkan kakinya di Sumatera
setelah sekian tahun merantau.
78
Tan Malaka terdapat 60% keluarga proletar tulen. 40 Kelompok
masyarakat lainnya yaitu kelas atas yang terdiri dari borjuasi
asing, pertama Eropa-Amerika, dan kedua Tionghoa. Sedangkan
kelompok borjuis Indonesia, jumlahnya tak banyak, yang terdiri
dari Sultan Deli, dan Sultan serdang. Dua kelompok borjuis
Indonesia ini, memiliki konsesi minyak tanah, sehingga mereka
bisa dikelompokkan ningrat-kapitalis.41Selanjutnya di Eropa
(Belanda) duduk seorang borjuis, yang disebut Maskapai,
sedangkan di Deli terdapat Hoofd-administrateur (tuan kebun).
Mereka ini berikutnya calon kapitalis lokal, Tan Malaka
menyebutnya borjuis jembel.
Budaya hidup hedonis kaum pribumi (yang dipelihara kolonial)
menjadi lahan empuk bagi kaum kapitalis untuk mengikat
mereka. Kelas kuli yang bekerja dari jam 4 pagi (berangkat kerja),
jam 7-8 malam baru sampai di rumah, mereka hanya digaji f 0,40
sehari. Yang sangat menyedihkan, kaum kuli suatu saat harus
rela ketika tuan mereka menginginkan istri atau anak
perempuannya. Mereka harus bekerja dengan kondisi perut yang
tak cukup makanan, harus mencangkul selama 12 jam sehari di
bawah terik matahari. Pakaian mereka compang camping karena
harus menerobos hutan.42
Kondisi hidup melarat, serba kekurangan membuat kaum kuli
tergadai untuk memiliki uang banyak dengan cara berjudi yang
memang dibangun oleh maskapai setiap hari gajian: 43 .....Mereka
terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh
kontrak, yang mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti,
tetetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan hantu. Mereka
terikat oleh kekolotan,kebodohan, kegelapan, dan hawa nafsu
jahat diri sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian.... 44
Tan Malaka menjelaskan dari 90 diantara 100 kuli kecil
harapan mereka naik pangkat, hanya satu diantara 1000 orang
dapat naik pangkat sebagai hopmandor, pekerja atau pengawal
bengkel mobil, namun tetap dengan gaji yang rendah, f 20,- f 30,-
setiap bulan bagi mandor, f 60,- bagi hop mandor sesudah bekerja
15-20 tahun!45 Kondisi tanah Deli yang tertindas, miskin, dan
40
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 1. h. 54
41
Ibid. h. 55
42
Ibid. h. 57
43
Strategi mendirikan perjudian ini sengaja dibuat oleh maskapai pada hari
gajian, agar kaum kuli mengadu nasibnya di meja judi, dan apabila mereka
kalah judi maka akan diberi peluang besar untuk berhutang. Hutang yang
menjerat inilah menjadi alat maskapai untuk membuat kaum kuli melanjutkan
kontraknya. Budaya judi ini menjadi lingkaran setan yang tidak kunjung
selesai, hutang diadu dengan judi, kalah hutang lagi, akhirnya mereka bekerja
tak menghasilkan apa-apa selain hutang menumpuk.
44
Tan Malaka. Op. Cit.Penjara I. h. 69
45
Ibid. h. 57
79
bodoh membuat jiwa radikal Tan Malaka bergolak: Adakah
tempat buat saya di masyarakat Deli seperti yang saya coba
gambarkan di atas? Buat saya seorang Indonesia yang berpaham
radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung
pertentangan yang maha tajam.46
80
dibutuhkan anak-anak kuli. Tugas yang akan diembannya adalah
sebagai pembantu pengawas semua sekolah bagi kaum kuli di
Senembah Mij. Tan Malaka bekerjasama dengan seorang mantan
murid Bahasa Indonesianya di Amsterdam yang menjadi guru.
Tan Malaka memperoleh uitstingsgeld (uang persediaan) sebanyak
f 500,- dan dijanjikan menerima gaji f 350,- perbulan,
mendapatkan fasilitas, rumah, air, listrik, dan kendaraan. 51
Namun pada perkembangan berikutnya, bukan lagi permasalahan
keuangan bagi Tan Malaka, tetetapi penindasan, penderitaan, dan
pembodohan sistematis membuat dia banyak bertentangan
dengan pemerintah kolonial Belanda yang mempekerjakannya.
Surat Tan Malaka kepada Horensma yang menceritakan bahwa
dia telah merasa bosan dengan keadaan perkebunan yang
dirasanya menjemukan dan mengalami kematian spiritual. Waktu
Tan Malaka terfokus pada pengajaran, sehingga dia tak banyak
lagi waktu untuk belajar. Kejenuhan Tan Malaka terhadap
rutinitas tersebut diceritakannya kepada Horensma.
51
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 1. h. 43
52
Surat A-9 kepada Horensma, 2 Mei 1920, dalam Poeze. Pergulatan. h. 139
81
mengeluh bahwa sebenarnya dia tak mempunyai cita-cita sebagai
guru. Tentang keluhan Tan Malaka ini merupakan hal wajar dan
manusiawi, apalagi ketika di Deli, ideologi Tan Malaka belum
benar-benar matang, Tan Malaka masih berpandangan untuk
mencari kehidupan pribadinya, apalagi dia memliki hutang yang
menumpuk di kampung halaman dan kepada guru Horensma.
Rencana yang menggebu untuk membangun pendidikan kaum
kuli mulai memudar, sehingga dia ingin segera meninggalkan
perkebunan yang berpandangan sempit tersebut. Sehingga dia
harus mencari medan perjuangan baru, yaitu Jawa. Permohonan
berhenti Tan Malaka yang disampaikan pada akhir bulan
November, baru mendapat izin beberapa bulan kemudian,
dikarenakan Tan Malaka harus menunggu dan melatih guru
penggantinya.
Tanggal 23 Februari 1921 Tan Malaka berangkat ke Jawa
dengan kapal Rumphius.53 Perginya Tan Malaka disisi lain
membuat pihak sekolah Senembah Matschappij merasa senang,
karena Tan Malaka saat itu sudah mulai terlibat dalam
pergerakan dan pemogokan buruh. Kekhawatiran tersebut dapat
dilihat dengan tak ditemukannya nama Tan Malaka dalam buku
kenangan sekolah tahun 1939 Senembah Matschappij karena
dikhawatirkan akan memperburuk citra dan bisa menjadi
halangan bagi sekolah untuk memperoleh penghargaan. 54
82
aktifitas sekolah, pada pagi hari waktu satu jam dihabiskan
untuk bekerja di kebun sekolah, anak-anak diajar merawat kebun
dengan rapi, dan di sore hari anak-anak bekerja di perkebunan
dengan mendapat bayaran sekaligus meningkatkan keahlian
mereka dalam berkebun. Strategi ini dibuat agar kelak anak-anak
mempunyai cita - cita bekerja di perkebunan. Fokus pembelajaran
yang dirancang Dr. Jansen adalah adat, tertib, disiplin, dan
kerapian. Guru juga dituntut untuk mengurangi kebiasaan buruk
kaum kuli, seperti berjudi, sehingga pembelajaran moral juga
menjadi perhatian.
Rumusan pendidikan kaum kuli Dr. Jansen dan Tan Malaka
tak jauh berbeda dengan rumusan awal, yaitu membiasakan
pekerjaan tangan kepada murid: Bahwa maksud pendidikan
anak kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan , dan
memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid,
seperti dimaksudkan dengan anaknya bangsa apapun dan
golongan apapun juga. Bahwa disamping pendidikan kecerdasan,
kemauan, dan perasaan itu mesti ditanam kemauan dan
kebiasaan bekerja tangan adalah pekerjaan penting dan bagi
masyarakat tak kurang mulianya daripada pekerjaan otak
semata-mata.
Kekhawatiran Tan Malaka tentang kaum kuli yang akan
meninggalkan kegiatan fisiknya, setelah merasakan nikmatnya
kegiatan otak ini terus disampaikannya dalam setiap kesempatan.
Bahwa antara kognitif dan motorik harus diseimbangkan. Pribumi
yang mencicip manisnya pendidikan jangan sampai memandang
rendah kegiatan fisik orang tua mereka, kaum tani, kaum buruh.
Kecendrungan kaum intelektual yang meremehkan pekerjaan
tangan membuat Tan Malaka geram. Pada suatu kesempatan
rapat umum kaum buruh pada 22 Januari di Semarang yang
dihadiri lima puluh ribu buruh Tan Malaka menyerukan kaum
buruh agar mogok untuk membuktikan betapa berartinya kerja
tangan mereka, dan untuk membungkam mulut orang yang
menganggap remeh pekerjaan buruh. Tan Malaka juga
menjelaskan bahwa disekolahnya pekerjaan tangan sangat diberi
penghargaan, karena pekerjaan tangan sama mulianya dengan
kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena. 55 Tan Malaka
mengkritik keras orang Barat ataupun orang yang kebarat-
baratan yang merasa lebih dihormati dan disegani serta menghina
orang yang bekerja tangan.56
55
Ibid. h. 216
56
Pidato Tan Malaka dalam rapat buruh di Semarang tanggal 22 Januari
dimuat Sinar hindia, 23-31-1-1922, di IPO 1922, no.5. sebagaimana dikutip
oleh Poeze. Ibid. h. 216
83
Pada tahun 1921 mulai didirikan sekolah untuk guru
pembantu, 10 murid terbaik dari 15 dilatih di sebuah asrama di
Tanjung Morawa. Tahun 1922 sudah berdiri dua belas sekolah
perkebunan dengan jumlah murid 581 orang.
Perjuangan Tan Malaka untuk pendidikan kaum kuli
sangatlah berat, dia harus menghadap orang-orang Belanda yang
sangat anti pendidikan diberikan kepada kaum kuli. Bagi mereka
pendidikan yang diberikan kepada anak-anak kuli selain
membuang uang dan waktu, juga akan membuat mereka menjadi
liar, dan brutal. Tentu keliaran dan kebrutalan yang
dimaksudkan orang Belanda disini bukanlah anarkisme fisik,
tetapi kecerdasan dan kesadaran mereka akan arti kemerdekaan
dan kemanusiaanlah yang paling ditakuti. Untuk itulah orang
Belanda selaluyang anti pendidikan selalu menganjurkan bahwa
tidak perlu diselenggarakan pendidikan rendah selama 5 tahun.
Sebagaimana diungkapkan Tan Malaka berikut: Suruh saja anak
kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang,
guru, itu semuanya bikin gaduh saja di kebun-kebun. Menambah
onterveden orang tak senang saja, dan menambah anggota
Sarekat Islam saja.57
Logika orang Belanda yang anti pendidikan tersebut dengan
terang-terang menginginkan kaum pribumi untuk terus berada
dalam alam kebodohan. Namun visi pendidikan kaum kuli Tan
Malaka mendapat dukungan dari seorang Belanda bernama Dr.
Jansen yang menganut politik etis, idealis. Dr. Jansen lah yang
mengusulkan berdirinya sekolah untuk kaum kuli, walaupun
idenya ini mendapat tentangan dan ejekan dari orang Belanda
anti pendidikan kaum kuli.
Bersama Tan Malaka Dr. Jansen merumuskan, bahwa
pendidikan bagi kaum kuli harus dapat menunjang kehidupan
mereka. Dr. Jansen adalah mitra sejati Tan Malaka 58 dalam
menjalankan pendidikan untuk anak-anak kuli tersebut, sehingga
ketika Dr. Jansen akan kembali ke Nederland, Tan Malaka sangat
terguncang, karena dia harus berjuang sendiri menghadapi orang
Belanda yang sangat anti dengan dia dikarenakan haluan politik,
dan pekerjaannya sebagai guru. Kebimbangan Tan Malaka
tersebut memunculkan sebuah keputusan pengunduran diri dari
sekolah tersebut: Tuan sudah saksikan sendiri bagaimana
suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya sendiri
seorang Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli
maka sekolah anak kuli itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih
57
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 73
58
Pengakuan Tan Malaka, bahwa dia adalah anak angkat Dr. Jansen
84
baik saya minta berpisah dengan tuan sendiri. Demikianlah
usulan saya59
Namun pengunduran diri Tan Malaka di sekolah kuli bukan
semata-mata perginya Dr. Jansen, tetetapi juga diikuti alasan-
alasan politis orang Belada masa itu, karena di Deli, Tan Malaka
tak hanya aktif kegiatan pendidikan tetetapi juga aktif dalam
pergerakan kaum proletar, bahkan Tan Malaka berada di balik
pemogokan-pemogokan kaum buruh. Aktifitas politik Tan Malaka
tersebut membuat gerah orang Belanda, sehingga ancaman terus
ditujukan kepada Tan Malaka. Kondisi politik yang tak kondusif
tersebut membuat Tan Malaka harus merubah strategi juangnya,
salah satunya dia memilih hijrah ke Jawa, tujuannya adalah
Semarang: Sepantasnyalah kalau saya masuk ke Semarang dari
pintu perguruan. Demikian, kata Tan Malaka.
Pengamatan, pengalaman langsung merasakan penderitaan
rakyat selama di Deli setelah lama meninggalkan Indonesia benar-
benar telah membentuk Tan Malaka bukan lagi hanya seorang
guru biasa, tetetapi sudah menjadi seorang Guru Revolusioner,
yang tak hanya sibuk dalam kelas menyadarkan kamanusiaan
manusia pribumi, tetetapi juga mulai menyadarkan bangsanya
yang sedang tertidur lelap dalam dekapan raksasa imperialis. Tan
Malaka tak lagi memikirkan berapa banyak uang yang akan dia
peroleh dengan terlibat di sekolah Sarekat Islam, karena apabila
hanya uang motivasinya, cukuplah kesejahteraannya dijamin di
sekolah kuli Deli. Penyadaran kaum murba adalah misi utamanya
dengan memasuki kancah pergerakan nasional dengan
pendidikan.
85
menggelora, didadanya, kemerdekaan sehingga Tan Malaka
menolak tawaran pekerjaan yang semata-mata hanya uang,
Horensma sangat menyadari haluan berpikir Tan Malaka
tersebut, tanpa bantahan sang guru tersebut berkata Ga je gang
maar (teruskanlah)
86
masih di sekolah kuli Deli. Gagasan Tan Malaka tentang sekolah
Sarekat Islam, disampaikannya dalam sebuah brosur.
61
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 120
87
Sekolah Sarekat Islam didirikan bukan untuk mencetak juru
tulis bagi kepentingan pemerintah kolonial, tetetapi sebagai bekal
hidup mereka dan keterlibatan aktif bagi pergereakan
kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah
dasar kerakyatan dalam masa penjajahan: Hidup bersama rakyat
untuk mengangkat rakyat jelata. Bukanlah buat menjadi satu
klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah
penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan
sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kesejahteraan,
perasaan dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan
rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idam-idaman rakyat
dan pergerakan serta organisasi rakyat.62
Sekolah Sarekat Islam yang didirikan Tan Malaka bukanlah
bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-sekolah
partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan
bahkan gratis. Prinsip yang dianut dan diterapkan di Sekolah
Sarekat Islam yaitu:
88
yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak. Berikut adalah
penjelasan tentang Tiga Prinsip Pendidikan Sekolah Sarekat
Islam.
53
Tan Malaka. SI Semarang dan Onderwijss. http://marxis.org/indonesia
54
Tan Malaka dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan. h. 186
89
Kepintaran anak-anak didik sekolah SI tak kalah dengan anak
tamatan HIS atau keluaran kweekschool. Penghambatan
pendidikan rakyat yang dirasakan oleh Tan Malaka adalah guru-
guru banyak terjebak dalam metode mengajar, sehingga peserta
didik tak bisa mencari jalan sendiri, dan kendala Bahasa Belanda
sehingga menghambat kemampuan mereka berhitung. Sedangkan
di sekolah Sarekat Islam peserta didik diberi kesempatan
kemauan akan berhitung sekuat mereka, sehingga bagi anak yang
kelas IV bisa mempelajari buku hitungan kelas V HIS.
Bahasa Belanda juga dipelajari dengan tekun oleh anak-anak
sekolah SI, Bahasa Belanda menjadi pelajaran Bahasa utama
yang dipelajari, dan masuk dalam roster. Bahasa Belanda dirasa
perlu karena kelak mereka akan berhadapan dengan kaum modal
yang berBahasa Belanda, tentu ini akan berbahaya bagi mereka
yang pintar tetapi tak bisa berkomunikasi dengan Bahasa
Belanda. Kurikulum yang dirancang dan diterapkan Tan Malaka
di sekolah SI ini tak luput juga di perbaiki sesuai kebutuhan dan
perkembangan: Selain daripada vak (mata pelajaran) berhitung,
menggambar, Bahasa itu, tentulah vak-vak ilmu bumi, babad
(sejarah) dunia, menyanyi dan sebagainya kita ajarkan dengan
cara dari dasar, yang cocok dengan haluan kaum SI, ialah kaum
yang melarat. Semua ini belumlah program yang sempurna. Kalau
ada perlu tentu disana sini boleh dirubah.55
Tan Malaka berpandangan bahwa peserta didik harus dapat
menghidupkan diri mereka kelak. Bagi murid yang tamat sekolah
pertanian, mereka kelak akan memimpin koperasi rakyat di desa-
desa. Bagi yang tamat sekolah tukang, mereka diharapkan
menyelenggarakan koperasi pertukangan. Sedangkan yang tamat
sekolah dagang akan dapat menyusun dan memimpin berbagai
macam koperasi.
Soal pergaulan hidup, bukan hanya teori pada sosok Tan Malaka,
dari masa kecilnya Tan Malaka dikenal pandai bergaul, sampai
ketika studi di Belanda dia dikenal sebagi sosok yang
penggembira, mudah tertawa, dan senang bergaul, dan rasa
humor yang tinggi dan sering sekali menjadi hiburan tersendiri
bagi kawan-kawannya, sebagaimana yang digambarkan oleh
kawan sekelas Tan Malaka, C. Wiskeshuis, sebagaimana dikutip
Poeze.
55
Tan Malaka. Op. Cit. SI dan Onderwijs
90
Rupanya, ia kenal baik tulisan Max Havelaar, karena dalam
leluconnya ia sering mengutip Batavus Droogstooppel. Salah satu
leluconnya yang paling menarik dan selalu membuat kami tertawa
terbahak-bahak ialah pertunjukannya di depan kelas bila guru
kami sebentar saja tak ada sebagai seorang penangkap burung
pipit.
91
Bentuk kegiatan pergaulan tersebut termanifestasi dalam
commite untuk bibliitheek (perkumpulan buku-buku), komite
kebersihan, klub sepak bola, coorziter dan bestuur yang mereka
bentuk sendiri peraturan dan rapat-rapatnya. Di forum yang
mereka buat sendiri, mereka berlatih bicara dan mengaktualisasi
diri.
92
anak sekolah SI menyingsingkan lengan baju, memegang kain,
ember untuk bersih-bersih. Tentu saja ini sebuah kemajuan pada
saat itu, karena 2 atau 3 bulan sebelumnya, ketika anak-anak
diminta untuk bersih - bersih, mereka akan menolak dengan
menjawab: itu pekerjaan jongos.
93
dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi
watak dan kebiasaannya masing-masing. 58
58
Ibid. h. 11
59
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 86
60
Ibid. h. 87
61
Poeze. Op. Cit. Pergulatan... h. 187
62
Pada perkembangannya, Bandung adalah daerah kedua berdirinya sekolah
Sarekat Islam dimana seorang dermawan anggota Sarekat Islam menyediakan
gedung sekolah, dan taman bermain yang baik. Pada masa ini terdapat 300
orang murid, yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke
Bandung
94
terkendala oleh tenaga guru. Kendala tersebut dikarenakan
sulitnya guru keluaran kweekschool yang mau atau berani
memihak pada perjuangan melalui pendidikan tersebut
dikarenakan permasalahan gaji dan keinginan kuat, ataupun
haluan politiknya.
Murid sekolah Sarekat Islam terus bertambah sampai 200
orang. Mulai banyak orang yang berminat menjadi guru datang
dari berbagai penjuru, bahkan ada yang rela meninggalkan
kemapanan di tempat kerja lamanya hanya untuk menjadi
sukarelawan di sekolah SI. Memperhatikan minat yang tinggi
tersebut Tan Malaka mengadakan pelatihan-pelatihan calon guru
dengan memberikan pemahaman kerakyatan.
Untuk mengatasi kekurangan guru, Tan Malaka melatih anak
didik sekolah SI untuk dipersiapkan menjadi guru. Setiap sore
sebanyak 3 x seminggu di kantor sekolah SI mereka mendapat
pelatihan menjadi guru, mereka mendapat materi Bahasa
Belanda, membaca, berhitung dan pedagogie.
63
Tan Malaka. Op. Cit. Sarekat Islam. http://marxis.org/indonesia/index
95
karena kita bikin paralelklassen (Ia, Ib, Ic; kelas-kelas ini sama
pengajarannya, Cuma gurunya lain-lain, sehingga di klas I saja bisa
masuk lebih dari 2 atau 3 guru, dan murid lebih dari 100 atau
200).64
96
Internationale. Dengan melarang kegiatan derma tersebut,
sebenarnya secara tak langsung pemerintah kolonial telah
memberangus sekolah SI, karena sekolah SI menghidupkan
dirinya dari derma sehingga dapat memberi subsidi. Walau
berbagai cara menghalangi perkembangan sekolah SI tersebut
tidaklah melemahkan pergerakan pendidikan rakyat.
97
Sistem pendidikan yang dianggap Belanda menganut komunis
internasional, akan membahayakan pemerintah kolonial.
Memang visi pendidikan sekolah Sarekat Islam lebih bernuansa
Marxis.68 Seperti yang ditulis oleh Tan Malaka dalam
pembuangannya di buku berjudul Pembuanganku.
68
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 189
69
Tan Malaka. Perjuanganku. Seperti dikutip Poeze. Op. Cit. Menuju. h. 189
70
Pidato Semaun di Kongres Partai Komunis di Moskow, disampaikannya
dalam Bahasa Jerman, sebagaimana Poeze mengutip terjemahannya. Ibid. h.
189
98
menjadi dukungan yang dahsyat bagi PKI yang pada saat itu
masih krisis kader.
71
Kecakapan Tan Malaka sebagai organisator ini juga diakui oleh Gubernur
Jenderal. Dia mengirimkan kawat tanggal 21 Februari kepada Menteri Daerah
Jajahan yang mengatakan bahwa soerang komunis pribumi Tan Malaka adalah
seorang organisator yang kuat dan baik sekali yang terbukti dari kesuksesan
sekolah-sekolah komunis yang didirikannya. Kawat ini disampaikan sebagai
kekhawatirannya atas permintaan Tan Malaka untuk diinternir (dibuang) ke
Belanda. Permintaan Tan Malaka ini membuat bingung pemerintah kolonial
dan mencari cara agar jangan sampai dia diinternir ke Belanda, walaupun pada
akhirnya disetujui.
99
menyekolahkan anaknya dikarenakan biaya yang ringan,
bahkan bisa digratiskan.
5. Sekolah SI Bandung
72
Karena terjadi perubahan nama Sarekat Islam menjadi Sarekat Rakyat, maka
nama sekolah Sarekat Islam juga mengalami perubahan
73
Ibid. h. 180
100
6. Pemboikotan Sekolah SI
73
Menyanyikan lagu internasionale yang arti baitnya : Negara menindas,
hukum membohong di depan umum dapat dijerat pasal 145 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Sedangkan anak-anak berselendang merah berpawai
tanpa izin bisa dijerat pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
101
Seorang pemimpin komunis Abdulrachman mengatakan
bahwa dengan rapat protes itu, pemerintah kolonial akan
membuang orang-orang yang terlibat sebagai pembicara,
terutama Tan Malaka karena dianggap paling berbahaya. Tentang
kondisi rapat yang dijaga oleh militer itu, Tan Malaka menulis
sebagai berikut:
a. Panggilan Revolusi
74
Tan Malaka. Pembuanganku. Dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan
75
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I.
76
Semaun. Bung Tan. dalam Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka. h. 24.
sebagaimana dikutip Poeze. Op. Cit. Pergulatan. h. 192
102
terlampau aktif di gerakan politik akan menghadapi resiko
penangkapan dan pembuangan.
77
Pada saat Tan Malaka mulai bergabung dengan Sarekat Islam, dan mulai
aktif dalam kegiatan politik, masa itu Sarekat Islam sedang menghadapi konflik
internal antara pemandangan Islamisme melawan komunisme
78
Tan Malaka. Penjara I. h. 89
79
Ibid. h. 90
103
Akibat aktifitas politiknya, Tan Malaka ditangkap ketika
kunjungannya ke Sekolah Rakyat Bandung 80 tanpa alasan yang
jelas saat penangkapannya.81Namun Tan Malaka menjelaskan
bahwa dia ditangkap karena telah terlibat dalam kegiatan
komunis internasional, salah satunya adalah melalui sekolah-
sekolah yang didirikan. Berikut potongan terjemahan
Encyclopaedie tentang penangkapan tersebut.
104
Tan Malaka diberi kesempatan untuk membela diri sesuai pasal
47 Reglemen Pemerintah mengenai hak eksorbitan.85 Tan Malaka
diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang aktifitas politiknya,
namun tak dijawabnya.
105
ditulis Poeze, mengatakan bahwa sekolah SI berikutnya hanya
menjadi alat menarik para pengikut antara SI Semarang dan SI
Yogyakarta, salah satunya sekolah SI Bandung menjadi alat
propaganda. Sekolah SI menjadi lahan penting yang digarap PKI,
sehingga sekolah-sekolah baru didirikan, seringkali nama Tan
Malaka disebut dengan hormat sebagai pendiri sekolah. Bahkan
potret Tan Malaka dijadikan alat propaganda dengan dipajang
pada perayaan besar pendirian sekolah SI di Cicalengka. Potret
Tan Malaka dipajang bersama potret Lenin, Semaun, dan Baars.
Dalam kesempatan tersebut pidato pembukaan diulas kembali,
bahwa Tan Malaka adalah pelopor sekolah tersebut.
106
Juni 1924 menganggap penting akan disiplin pendidikan.
Gerakan pendidikan Tan Malaka sepeninggalannya tetap
berjalan, tetetapi berjalan dengan konsep dan pelaksanaan yang
sangat berbeda sebagaimana sebelum dia pergi.
107
Kepada Piet Bergsma dan Tan Malaka,
Kawan-kawan!
Supaya sekali lagi mengetahui bahwa kalian masih tetap berada di
tengah-tengah kami, kutulis surat ini. Dan juga supaya lebih banyak
orang akan mengetahui: bahwa kalian memang jantan dengan
akhlak mulus, terlalu baik untuk dihargai oleh mereka yang
mendahului kita yang bertingkat sedang atau di bawahnya, terlalu
besar untuk dilihat seluruhnya oleh mereka.
Pada hari-hari percobaan ini pikiran dan perasaan kami ada pada
mereka yang mendahului kalian di jalan yang tak mementingkan diri
sendiri. Kalian telah melihat mereka dalam cahaya yang akan dilihat
oleh kaum muda kalau kita sudah menjadi tua, dan begitu besar
dan begitu baik mereka akan dipandang oleh pria dan wanita dari
Zaman Baru, begitu besar dan begitu baik kalian akan terlihat oleh
orang banyak.
Dan kau, Tan Malaka,
Dalam waktu begitu pendek kau berada di tengah-tengah kami dan
betapa banyak pekerjaan yang telah kau lakukan.
Dilahirkan di Timur, dididik di Barat, kau sudah maju terlalu jauh.
Dengan otak cerdasmu dan hati baikmu, kau datang kepada kami
dan kau berkata: apakah disini diperlukan orang dengan tenaga
segar untuk bekerja sebagai pengabdi rakyatku?
Nah, inilah aku, sudah ada disini!- Apakah disini diperlukan orang
yang sekalipun masih muda, sudah banyak mengetahui pengalaman
hidup, sehingga ia bisa turut memikirkan rencana membangun di
atas puing-puing zaman sekarang? Nah, inilah aku, sudah ada
disini!
Apakah disini diperlukan orang yang lebih baik dari kalian yang
mengetahui jiwa rakyat, yang setiap waktu bisa menerangkan apa
yang harus diketahui setiap orang? Nah, inilah aku sudah ada disini!
Kau singkirkan ijazah keterampilan yang diperoleh di Barat;
keuntungan bagimu merupakan harga yang terlalu rendah bagi
hilangnya kepercayaan pada dirimu.
Tan Malaka, guru, propagandis, kau harus kami puja, kau boleh
kami puja, karena kami tahu bahwa pujian, yang membuat orang
besar kepala, akan memberi kekuatan kepadamu untuk lebih dalam
membungkuk pada rakyat dalam upayamu mengajar rakyat: supaya
mereka berdiri dengan tegak.
Kesehatanmu agak lemah; terlalu lemah mungkin untuk arus
kekuatan yang oleh jiwamu didorong ke dalam saraf-sarafmu.
Tetetapi kau akan bersabar, bukan?
Tak dapat dijinakkan, memang, tetetapi kau percaya; bahkan kau
tahu; jadi,
Jiwamu dalam keseimbangan.
Tak ada ombak waswas di hatimu!
108
Nah, kalau begitu, segala-galanya baik.
Maka, dengan otak yang lebih tajam, badan yang tetap kuat, pejuang
yang telah bertumbuh menjadi pemimpin akan berada tepat pada
waktunya di tempatnya kembali dalam barisan yang melangkah
maju untuk mengubah keadaan kacau ini menjadi masyarakat
buruh.
Dan kau, Tan Malaka,
Pendiri sekolah di depan wajah Marx, Trotzky, dan Lenin.
Juga pekerjaanmu,
Akan dilanjutkan, mungkin oleh orang-orang yang tak begitu kuat
tetetapi lebih banyak jumlahnya.
Karena mereka semua yang memelopori rakyat menuju Zaman Baru
akan mendapatkan kekuatan dan pelajaran dari perbuatan-
perbuatan kalian, dan dari apa yang kalian ucapkan dan tuliskan
dalam zaman yang penuh keajaiban ini, ketika perbuatan sudah
sesuai dengan kata-kata.
Dan banyak orang dengan cepat akan mengikuti jejak kalian.
Kami menyatakan salut kepada kalian, dan tak akan mengucapkan
kata-kata sedih. Sebab, pada kenyataannya kalian berdua sudah
bebas; sekalipun dikerangkeng.
Kawan-kawan, sampai jumpa lagi!.94
109
tanda kehormatan untuk Tan Malaka, sekolahnya ditutup pada
tanggal 14 Februari.95 Hari pembuangan Tan Malaka ini menjadi
pemberitaan, sehingga sekolah Tan Malaka memberikan
penghormatan khusus bagi hari pembuangan Tan Malaka
tersebut. Atas permintaan Tan Malaka yang diajukan ke
Gubernur Jendral, dan diajukan lagi ke Menteri Daerah Jajahan,
dan Menteri Daerah Jajahan mengadakan konsultasi kepada
Menteri Kehakiman, dan diajukan ke Dewan Hindia, maka
keputusannya Dewa Hindia tak keberatan apabila Tan Malaka
dibuang ke Belanda, dengan alasan di Belanda Tan Malaka tak
akan bisa menganggu ketertiban umum.96 Pada tanggal 10 Maret
berdasarkan nasehat Menteri Jajahan dan Dewan Hindia, maka
Gubernur Jendral mengeluarkan keputusan Tan Malaka agar
dibuang ke Belanda secepat-cepatnya dengan biaya sendiri.
110
Tan Malaka mengunjungi sekolah SI dengan harus dikawal
polisi. Melihat kunjungan Sang Guru yang akan dibuang tersebut
membuat murid-murid yang melihatnya dalam waktu singkat
berkerumun, ditarik, di dorong. Mereka mengucapkan selamta
jalan, dan menyanyikan berulang-ulang lagu Internasionale yang
menurut Tan Malaka seolah-olah membangunkan warga
Semarang agar bangkit. Murid-murid yang mengerumuni Sang
Guru tak beranjak walau bel sudah berbunyi, sehingga Tan
Malaka menceritakan pengamannya selama di penjara barulah
murid kembali kekelasnya.98Demikian saying dan patuhnya para
murid dengan San Guru. Setelah dari sekolah Tan Malaka ke
rumah Nyonya Snevliet untuk mengadakan rapat anggota SI, PKI,
yang juga dihadiri komisi-komisi sekolah dan dewan guru. Pada
kesempatan ini dibicarakan permasalahan pembiayaan sekolah,
sekolah-sekolah baru.99
Barulah pada malam berikutnya kawan separtai dan murid-
murid mengadakan perpisahan di kantor SI.100 Menurut Poeze,
ruangan penuh sesak dengan kaum laki-laki, anak-anak
bercelana merah dan membawa bendera merah, serta kaum
wanita yang juga menggendong anak mereka. Poeze
menggambarkan bagaimana dua anggota partai membuka jalan
baginya, ketika Tan Malaka duduk, menggemalah lagu
Internasionale. Angota partai bergantian berpidato mengucapakan
selamat jalan dengan hati yang murni dan tulus karena akan
ditinggal seorang pemimpin pergerakan, setiap akhir pidato
anggota digemakan kembali Internasionale. Sebenarnya pada
pertemuan perpisahan itu Tan Malaka tidak ingin bicara, berjabat
tangan cukuplah kiranya bagi Tan Malaka. Tetapi kawan-
kawannya menggendongnya ke panggung. Tan Malaka
mengungkapkan kondisi tersebut sebagai berikut.
Saya tak bisa berbicara lama, karena ketika saya berkata bahwa
saya telah memperoleh kepercayaan rakyat, ruang itu menjadi
bagaikan samudra semangat, dan kantor SI untuk waktu yang lama
menggeletar dengan suara gemuruh. Ketika itu saya lihat bahwa
hampir semua murid menangis dan orangtua merekapun menangis.
Dan saya tak bisa lagi melanjutkan pidato saya. Saya merasa betapa
tak cukupnya kata-kata saya untuk menggambarkan topan dan
badai yang menguasai diri saya. Saya berhenti dan tak lama
kemudian dua kawan separtai menemani saya di samping kiri dan
kanan dan mengantarkan saya keluar. Sudah tentu tak bisa saya
98
Ibid. h. 231
99
Pada rapat terakhir ini menurut Tan Malaka. Toendoek dalam Poeze.
Pergulatan. h. 231, suasana terasa haru, tidak ada tertawa bahkan kawan
seperjuangan tidak berani menatap wajahnya
100
De Locomotief. 20-3-1922 dalam Poeze. Pergulatan. h. 231
111
berjabatan tangan dengan ribuan kawan itu. Tetetapi saya belum
keluar ketika kelompok di dekat pintu luar mulai bergerak karena
puluhan anggota SI memegang tangan kiri dan tangan kanan saya
sambil berkata: Malaka, kami berjanji akan melanjutkan
pekerjaanmu sampai kau kembali ke Jawa. Saudara! Selamat Jalan!.
Tangis, teriakan, ucapan, dan janji dari ribuan pria, wanita, dan
anak-anak membuat diri saya terharu dan tanpa disadari tiba-tiba
saya sudah duduk di motor polisi. Tetetapi motor itu belum bisa
berangkat, karena puluhan wanita ingin berjabat tangan dengan
saya, sehingga petugas polisi pun harus menunggu sampai bisa
berangkat. 101
112
pertemuan dimana Tan Malaka memperoleh kesempatan menjadi
pembicara di depan Communistische Onderwijzers (Himpunan
Guru-Guru Komunis). Uniknya untuk mendengar pembicaraan
Tan Malaka, guru-guru komunis tersebut harus membayar tiket
masuk sebesar lima belas sen. Pertemuan tersebut diliput harian
himpunan De Communistische Ondewijzers yang isinya dukungan
terhadap sekolah SI.101
Tan Malaka memberikan serangan-serangannya terhadap
pemerintah kolonial yang memberikan pendidikan kepada
pribumi dengan mencerabut mereka dari akar budaya dan
mengasingkannya dari masyarakat Indonesia. Pemerintah
kolonial memberikan akses pendidikan yang tak memadai, karena
anggaran lebih ditekankan kepada militer. Karena itulah sekolah-
sekolah SI berdiri. Tan Malaka terus mengiktui perkembangan
sekolah-sekolah komunis, dan mengirimkan tulisan kepada surat
kabar Hindia tentang penentangannya terhadap pemerintah
Hindia yang terus menekan sekolah-sekolah rakyat dengan
undang-undang.
113
alasan ketertiban umum dapat melarang sekolah selama-lama
dua tahun.103
Walaupun di pengasingan Tan Malaka sibuk dengan gerakan-
gerakan politiknya di Belanda, sekolah SI tetap menjadi
pemikirannya. Tulisan berikut adalah tulisan Tan Malaka yang
menceritakan masa depan sekolah SI yang terancam karena
dipersulit pemerintah Belanda.
103
Staatsblad van Nederlandsc Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) 1923,
nomor 136, dalam Poeze. Pergulatan..
114
memberikan empat sekolah kepada Semarang, semuanya dengan
Cuma-Cuma! Memang menggiurkan! Darimanakah tiba-tiba sikap
manis itu? Nah, bagi angkatan laut dikeluarkan lebih kurang f
250.000.000. jika sekian banyak dapat dikeluarkan untuk menindas
Pak Kromo dengan kekerasan, mengapa tak bisa mengeluarkan
beberapa ratus ribu untuk beberapa sekolah, supaya dengan
demikian dapat dihancurkan sekolah SI di Semarang, benteng
semacam revolusioner! Kekerasan tak digunakan, sikap kaum etisi
tampak apabila sekolah SI mati karena sebab-sebab yang wajar,
maka kemudian keempat sekolah itu setiap waktu dapat
dibubarkan, bukan? Misalnya, karena penghematan. Seolah-olah
pikiran dan semangat seperti suatu perusahaan dagang dapat
digencet sampai mati karena saingan!
Itupun dirasakan masih belum cukup. Mereka masih merasa
ragu. Dalam lubuk hati mereka disadari, sekalipun tak diucapkan
secara terbuka, bahwa sekolah SI tak dilahirkan karena suatu
cetusan keinginan pada suatu saat, melainkan sekolah-sekolah itu
dilahirkan karena keadaan-keadaan ekonomi dan politik umum yang
meliputi massa rakyat Indonesia. Itulah sebabnya semangat itu tak
bisa ditumpas hanya dengan pembuangan, inspeksi, dan kelunakan.
Harus lebih banyak yang dilakukan. Karena itu, sedang dibuat
undang-undang terhadap sekolah SI itu. Berita tentang hal itu akan
kita dengar dalam waktu dekat.104
104
Ibid. h. 305-306
115
BAB 4
PENUTUP
MENUJU INDONESIA MERDEKA 100%
1
Mavie Rose. Alih Bahasa: Hermawan Sulistiyo. Indonesia Merdeka: Biografi
Politik Mohammad Hatta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991. h.108
2
Wawancara dengan Sajuti Melik, 24 September 1962, dalam Anderson, Java
in a Time of Revolution.h.191 (Mavie Rose. Alih Bahasa: Hermawan Sulistiyo.
Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1991. h. 212
116
mata yang dibuat rahasia, untuk membicarakan arah perjuangan
bangsa.
Sedangkan Mohammad Hatta mengenal Tan Malaka, ketika
diperkenalkan oleh Subardjo di flat milik Subardjo ketika di
Leiden.3 Pada saat Bung Karno ingin memberi amanat testatemen
kepada Tan Malaka seorang Bung Hatta mengusulkan empat
orang untuk memegang mandat tersebut. Hatta mengusulkan,
Tan Malaka sebagai wakil kelompok radikal, Sjahrir wakil
kelompok semi radikal, Sukiman dari kalangan Muslim, dan
Wongsonegoro dari konservatif. Karena Sukiman berada di
Yogyakarta, disepakati bahwa Iwa Kusuma Sumantri mewakili
badan Islam.4
Hatta mengklaim bahwa ia menyarankan Soekarno supaya
mandat kepresidenan dialihkan menjadi quadrumvirate (empat
serangkai) yaitu Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma
Sumantri, dan Wonngsonegoro.5 Saran Hatta mencerminkan
konsep Empat Serangkai, yaitu kepemimpinan bersama yang
mewakili alur-alur utama di dalam masyarakat Indonesia semasa
pendudukan Jepang. Namun menurut Adam Malik yang
merupakan anak didik Tan Malaka yang militan, Tan Malaka
memandang pengaturan baru ini sebagai penghianatan janji. 6
Perkembangan berikutnya, menurut Hatta, dalam salah satu
wawancara terakhir semasa hidup, Soekarno menyesali
kesepakatannya dengan Tan Malaka dan berusaha mencari
kompromi.
Sementara itu Hatta bekerja sama erat dengan Semaun dan
Darsono, dan memperoleh dukungan mereka, ia dan teman
sesama Minangkabau, Tan Malaka, pada dasarnya tetap bertahan
isu-isu yang cendrung memisahkan kaum sosialis demokrat dan
kaum komunis. Hatta lebih menyukai demokrasi parlementer,
sementara Tan Malaka mendukung sistem satu partai. Bidang
kesepakatan Hatta dan Tan Malaka menurut memoar Hatta, ialah
pada ketidaksukaan mereka terhadap Stalin dan menolak tunduk
kepadanya.7 Bung Hatta pernah menanyakan kenapa Tan Malaka
tidak di Komintern lagi, setelah masa Lenin, pertanyaan ini
dijawab Tan Malaka: tulang punggung saya terlalu keras untuk
tunduk kepada Lenin. Ini merupakan sikap Tan Malaka yang
tegas, bahwa perjuangannya sangat berbeda dengan komunis
internasional, sebagaimana yang diperjuangkan di PKI.
3
Mavie. Op. Cit. Biografih. 39
4
Muhammad Hatta. Bung Hatta Answers. h. 15
5
Mavie. Op. Cit. Biografih. 212
6
Adam Malik. In the Service of the Republic, Singapore: Gunung Agung. 1980.
h.204
7
Memoir Hatta. h. 137
117
Juga bagi Tan Malaka, yang pada tahun 1920 telah menulis
mengenai kecocokan koperasi sebagai sarana untuk melawan
keuntungan berlebihan yang dipetik para pedagang perantara. 8
Hatta pernah berusaha mengatur sebuah wawancara dengan
Djamaluddin Tamin, wakil Tan Malaka di Singapura dan
sekretaris partainya, PNI, tetapi Tamin, yang sadar bahwa Hatta
akan diawasi secara ketat oleh Penguasa Inggris, tidak berani
mengambil resiko pertemuan seperti itu.9 Tan Malaka dan
kelompoknya sangat dipertimbangkan oleh pemerintah, apalagi
ketika Tan Malaka membuat barisan oposisi yang bernama
Persatuan Perjuangan.
Hatta menaruh perhatian terhadap situasi di Sumatera. Dua
revolusi sosial telah berlangsung, satu di Aceh dan satunya lagi di
Sumatera Timur. Kedua revolusi ini ditujukan pada penguasa
setempat. Revolusi Aceh, yang lebih bersifat Islam ketimbang
Marxis, tidak begitu mencemaskan bagi Hatta dibanding
pemberontakan yang terjadi di Sumatera Timur, yang memiliki
hubungan langsung dengan Persatuan Perjuangan bentukan Tan
Malaka. Kedudukan Tan Malaka tinggi di Sumatera, termasuk di
wilayah Minangkabau, dan strateginya tentang perjuangan
bersenjata lebih sesuai dengan semangat militansi di kalangan
kaum nasionalis, dibandingkan dengan Sjahrir dan Amir
sjarifuddin untuk melakukan perundingan.10
Walaupun terdapat perbedaan pandangan antara Tan Malaka
dan Bung Hatta, mereka berdua tetap saling mengagumi. Tan
Malaka kagum akan konsep koperasi Tan Malaka, sedangkan
Bung Hatta mengagumi Tan Malaka yang tidak pernah berhenti
memperjuangkan republik, walaupun berperan di balik layar dan
jarang tampil ke publik. Bahkan, menurut Tan Malaka dalam
bukunya dari penjara ke Penjara, ketika Bung Hatta berkunjung
ke Bayah, Bung Hatta pernah mengajak Tan Malaka untuk
membantu pemerintah dengan bergabung dalam parlemen. Tetapi
permintaan Bung Hatta tersebut ditolak halus dengan Tan Malaka
dengan mengatakan, saya akan bantu Bung berdua dari
belakang.
Untuk melihat sosok Tan Malaka, ada baiknya sekilas melihat
perspektif rival politik terkuat Tan Malaka, Sutan Sjahrir. Sama
8
dalam H.A. Poeze. Tan Malaka: Strijder Voor Indonesies Vrijheid, Levensloop
van 1897 tot 1945, The Hague: Nijhoff, 1976, hlm. 85, n.47. Artikel Tan
Malaka,Verbruiks-cooperaties voor het javaansche proletariat, dimuat dalam
Het Vrije Woord. 15 Mei, 1920
9
Poeze. Tan Malaka, h. 413. Sewaktu saarbrucken berlabuh di Belawan,
Sumatera timur, Hatta menyelinap masuk ke Medan, sebelum akhirnya turun
di Singapura. Sinar Deli, 22 Agustus 1932
10
Mavie. Op. Cit. Biografi..h. 228
118
sama berasal dari Minangkabau, tetapi mereka berdua selalu
dalam konstelasi pemikiran dan tindakan yang bersebrangan,
bahkan bermusuhan. Namun sosok Tan Malaka, tetaplah
disegani oleh Sjahrir. Menurut Sastra, seorang anggota aktif PNI
Baru sewaktu pembuangan Hatta dan Sjahrir, Sjahrir bersiap-
siap untuk memperhitungkan Tan Malaka sebagai alternatif orang
yang akan mengumumkan Proklamasi.11 Ketika dihubungi, Tan
Malaka dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak siap untuk
memproklamirkan kemerdekaan, Sastra menyimpulkan, sehingga
bagi kami tak ada alternatif lain selain Bung Karno dan Bung
Hatta.12 Tidak hanya itu, Sjahrir sangat menyadari pengaruh Tan
Malaka, sehingga Sjahrir pernah meminta Tan Malaka untuk
menjadi ketua Partai Sosialis yang dia bentuk. Tan Malaka
menolak pinangan ini, karena menurut Tan Malaka, kondisi
Indonesia yang masih dalam kancah perjuangan sangatlah tidak
baik dan tidak strategis apabila dipecah-pecah dengan banyaknya
partai.
Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, dan Tan Malaka
adalah para pendiri bangsa yang pola relasi mereka seperti murid
dan guru,saling memberi masukan dan ajaran. Terkadang berpola
kawan dan lawan, sewaktu waktu saling mendukung di waktu
yang lain saling berperang. Pola yang rumit, karena perbedaan
pandangan mereka tentang strategi perjuangan dan implementasi
kemerdekaan republik.
Disisi lain, Belanda, Inggris, dan Jepang, dan para penindas
dimana Tan Malaka pernah beraktifitas politik dan melakukan
propaganda penyadaran mengatakan bahwa Tan Malaka adalah
seorang pengacau besar. Tentu sikap ini sangat membanggakan.
Karena hal itu merupakan sebuah pengakuan dan bukti bahwa
Tan Malaka memang berhak memperoleh gelar Pahlawan
Nasional, karena dia sudah mewakafkan jiwa dan raganya untuk
memperjuangkan bangsa yang hidup dalam kebodohan dan
penindasan imperialisme.
Namun penulis tidak habis pikir ketika mengkaji literatur
sejarah, bahwa Tan Malaka harus keluar masuk penjara,
mengalami pemboikotan, sampai akhirnya hidupnya berakhir di
moncong senapan anak bangsa sendiri, Republik Indonesia,
11
Sastra. Makna Sjahrir untuk Sastra dan Sastra untuk Sjahrir. dalam
mengenang Sjahrir. h. 10-11.
12
Ibid., h. 90. Garis bawah dari Sastra. Hatta sadar akan kembalinya Tan
Malaka ke Indonesia dan ia nyatakan bahwa sesungguhnya ia melihat Tan
Malaka di Bayah, Banten, saat Tan Malaka berusaha keras menghindari
perjumpaan dengannya. Lihat Hatta, Bung Hatta Menjawab. h.16. Tan Malaka
dikabarkan menganggap Soekarno dan Hatta sebagai simbol golongan tua
yang berkolaborasi dengan penguasa Jepang. Lihat Alfian. Tan Malaka:
Pejuang Revolusioner yang Kesepian, dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES
119
dimana dia mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk
mewujudkan kemerdekaan. Sejarah hidup, pemikiran dan segala
hal yang berkenaan dengan Tan Malaka sama nasibnya seperti
jasadnya yang sampai saat ini masih menjadi misteri, dimana
menghilang dan dibuang tanpa penguburan layaknya seorang
pahlawan kemerdekaan di Taman Makam Pahlawan.
Bagi bangsanya sendiri, Tan Malaka secara sistematis
dilenyapkan dengan dibunuh raganya maupun dilenyapkan
pemikiranya karena dianggap subversif, komunis, ateis, dan
berbagai stigma negatif yang ditanamkan kepada sosok Tan
Malaka tanpa memberikan ruang dialog untuk mempelajari
sejarah hidup maupun pemikirannya, apakah memang benar hal
itu melekat kepada sosok Tan Malaka?. Anak bangsa ini harus
banyak lagi membaca dan mempelajari Sejarah Bangsanya, agar
dapat berpikir objektif dalam menyimpulkan fakta Sejarah,
sehingga tidak menghakimi secara instan, Tan Malaka komunis,
Tan Malaka atheis. Begitu juga selayaknya terhadap tokoh sejarah
lainnya. Mereka adalah anak zamannya, yang tidak bisa dihakimi
dengan zaman kini.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah demikian perkataan
Bung Karno yang mungkin melekat dibenak anak bangsa
Indonesia. Tetapi tidak cukup apabila hanya dengan
mengatakannya dan hanya menjadi retorika kosong. Tugas
generasi yang ada untuk merestorasi kondisi negara yang sedang
carut marut ini dengan kembali menggali spirit, pemikiran, dan
tindakan yang jernih semata-mata untuk mewujudkan bangsa
Indonesia yang berdaulat. Tan Malaka sebagai Bapak Bangsa
yang terlupakan memang tidak akan pernah dilupakan oleh
seluruh masyarakat di Bangsa yang mengidap amnesia ini,
walupun dalam komunitas kecil, mungkin masih dalam kajian
akademis sosok Tan Malaka terus dikaji pemikirannya. Mungkin
inilah wujud seperti apa yang pernah dikatakan Tan Malaka
Suaraku akan semakin menggema dari dalam kubur. Peristiwa
tragis yang dialaminya, justru menjadi kekuatan dan menarik
bagi generasi muda untuk mempelajari sejarahnya.
Sudah selayaknya masyarakat memandang Tan Malaka pada
suatu kondisi dimana Republik Indonesia masih dalam proses
perjuangan pencarian dan belum menemukan bentuk ideal.
Sehingga pemikiran-pemikirannya tentang kondisi pendidikan,
sosial politik dan ekonomi cendrung mengarah kepada
komunisme, karena Tan Malaka adalah anak zaman ketika itu
dimana komunisme menjadi sebuah teologi pembebasan hampir
di seluruh dunia, dan secara teoritispun founding fathers seperti
Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan bapak pendiri bangsa
lainnya, mereka sangat gandrung dengan Sosialis Marxisme.
120
Negara Indonesia yang belum ada bentuk ideologi harus dijadikan
landasan dalam menilai Tan Malaka secara objektif, karena
pertarungan ideologi yang dipelopori para tokoh sangat sengit.
Mulai dari ideologi yang ingin Negara berdasarkan Agama,
Nasionalisme, dan Komunisme.
Marxisme dan Komunisme memang pernah menorehkan
sejarah kelam Bangsa Indonesia, sehingga pemikir maupun orang
yang aktif dalam partai terlarang tersebut cendrung digelapkan
dalam sejarah, walaupun tak sedikit sumbangsih pemikiran dan
gerakannya bagi Indonesia. Tan Malaka adalah sosok pendiri
bangsa yang dilupakan tersebut, walaupun banyak sejarawan
menyatakan bahwa Tan Malaka Bapak Republik (salah satunya
adalah Muhammad Yamin), karena telah lebih dulu memikirkan
konsep Republik bagi Indonesia di dalam buku Naar de Republiek
Indonesia, jauh sebelum Bung Karno, Bung Hatta, dan Sjahrir.
Tan Malaka sebagai tokoh komunis bahkan dapat dikatakan
sebagai bapak Komunisme Indonesia dengan konsep komunis
nasionalis, yang membuat dia harus terbuang dari partainya
karena memandang bahwa penerapan komunisme di Indonesia
haruslah berkarakter budaya dan berbasis kearifan lokal
masyarakat Indonesia. Bagi Tan Malaka Moskow sebagai kiblat
komunisme tak dapat 100% diterapkan karena perbedaan banyak
hal, salah satunya di Indonesia, Muslim sebagai mayoritas, maka
perlu disatukan perjuangan Komunisme dengan Islam. Pemikiran
Pan Islamisme ini disampaikanya dalam Kongres Komintern di
Moskow, yang membuat Stalin kebakaran jenggot, dan membuat
karirnya di Komunis Internasional berakhir. Ditambah lagi rasa
permusuhan yang dinampakkan kawan-kawan seperjuangannya
di PKI, seperti, Semaun, Aidit, dan Muso. Tentunya karir politik
Tan Malaka tak berakhir walaupun dipecat dari Komintern dan
PKI, Tan Malaka menyalurkan pemikiran komunis nasionalnya
dipartai yang didirikannya seperti, PARI, dan MURBA.
Komunisme yang diperjuangkan Partai Komunis Indonesia,
dimana Tan Malaka adalah salah seorang pemimpinnya, memang
telah menorehkan tinta hitam dalam sejarah Republik Indonesia,
itu harus dicatat jelas dan sebagai fakta sejarah Republik
Indonesia. Namun apabila ditelusuri pemikiran dan aksi Tan
Malaka semata-mata menuju Indonesia Merdeka 100%. Tan
Malaka selalu berikhtiar agar dia dapat bermanfaat bagi zaman
dan bangsanya, sehingga setiap waktu dan perenungannnya
adalah untuk keagungan bangsa Indonesia dan kemanusiaan.
Tan Malaka adalah orang yang berbahagia dapat hidup dalam
sebuah zaman pergulakan dan perjuangan. Dalam hari-harinya
yang sepi dalam pelarian maupun dalam penjara, Tan Malaka
121
terus menggali permasalahan agung tentang dialektika
kehidupan, khususnya pada zamannya hidup.
Kontemplasi Tan Malaka tentang zaman dan Indonesia yang
dalam jajahan kolonialisme ini menjadi pergulatan pemikirannya
dalam hari-harinya menjalankan tugas mendidik kaum kuli di
Deli.
Sekolah sebagai tempat mendidik anak-anak bangsa yang
berjiwa merdeka, bukan dianggap sebagai robot dalam proses
pendidikan dan menjadi mesin kapitalistis yang hanya
menguntungkan kolonial. Guru-guru harus meninternalisasikan
benih-benih manusia merdeka kepada muridnya dan menjadi
manusia mandiri yang akan berdampak kepada kemandirian
bangsa yang tak bergantung kepada negara lain.
Di abad kapitalisme, pendidikan cendrung hanya dijadikan
alat dimana out put dari pendidikan hanya menjadi mekanistis
sebagai perangkat produktifitas kapitalisme. Keadaan
ketergantungan kepada pemodal dan bermental sebagai tenaga
kerja ini menjadikan mental budak di dalam masyarakat yang
tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada pemodal.
122
Pendidikan harus bisa membuat kehidupan peserta didik
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat, untuk itulah diajarkan
keterampilan membaca, berhitung, dan keterampilan tangan.
Konsep pendidikan sebagai bekal hidup, saat ini menjadi misi
utama lembaga pendidikan. Semakin bertumbuhnya lembaga
pendidikan yang menawarkan kecakapan hidup sudah
semestinya mendapat apresiasi dan harus didukung secara nyata.
Dengan keterampilan hidup, ketika menyelesaikan studinya maka
mereka akan dapat mengaktualisasikan diri dengan keterampilan
yang dimilki sehingga menjadi manusia mandiri yang tak
bergantung kepada orang lain.
Tentang perlunya kecakapan hidup ini, Tan Malaka pernah
menggagas mandiri sekolah kejuruan dalam bidang
perkoperasian, pertukangan, perkebunan, dan perdagangan.
Apabila ditinjau dengan kekinian pemikiran tersebut tentu
sangatlah sederhana, tetetapi menjadi luar biasa apabila dilihat
latar belakang mengapa penting pendidikan keterampilan. Ketika
usul pendidikan disampaikan, pendidikan yang diselenggarakan
masyarakat masih belum ada penjurusan terhadap suatu
keterampilan, masih bersifat kognitif. Sehingga ketika mereka
selesai sekolah tetap merasa gamang dengan kebutuhan pasar
yang memerlukan suatu keahlian. Ditambah lagi dengan tingkat
ketergantungan masyarakat masyarakat kepada pemodal,
dikarenakan masyarakat tidak memiliki life skills memadai.
Manusia sebagai mahluk sosial harus diperkuat lagi dalam
lembaga pendidikan yang telah diatur dalam kurikulum. Peserta
didik harus memilki waktu luang dalam berinteraksi sesama
mereka maupun masyarakat. Pendidikan kerakyatan Tan Malaka
menginginkan interaksi sosial yang kokoh ditanamkan dari proses
pendidikan terendah. Olehkarena itu format pergaulan sosial
tersebut begitu dirancang Tan Malaka dalam aktifitas
pendidikannya. Karena Tan Malaka sangat menyadari, bahwa
jangan sampai pribumi yang telah mengecap pendidikan, menjadi
sosok individualis dan asosial.
Bagaimana nilai-nilai pergaulan sosial ditanamkan kepada
anak-anak di sekolah Indonesia sekarang? Perlu penelitian
mendalam untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut.
Namun sistem pendidikan telah memerangkap peserta didik
dalam tekanan hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan-
kebijakan pendidikan nasional yang tak memperhatikan peserta
didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas standar
internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya
membuat siswa sibuk dari pagi sampai sore dengan pelajaran-
pelajaran. Tak hanya sampai disitu, beban belajar berbentuk
tugas-tugas masih mereka bawa ke rumah, hingga malamnya
123
mereka disibukan lagi dengan pelajaran-pelajaran. Tak hanya itu,
program-program sekolah unggulan dengan memakai konsep
sekolah terintegrasi, dengan waktu yang padat sampai sore telah
merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain,
dan memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka tak hanya
unggul dalam kecerdasan intelektual tetetapi juga memilki
kecerdasan sosial sehingga tak menjadi sosok individualis.
Kondisi pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia saat ini, sangat
memprihatinkan. Murid-murid SD yang seharusnya dapat
menikmati permainan bersama kawan kawannya di rumah,
telah dirampas waktu tersebut oleh sekolah. Alasan - alasan
seperti, sekolah terintegrasi menjadi apologi untuk memadatkan
jam pelajaran, dan beban pelajaran yang berat. Anak anak yang
telah lelah pulang ke rumah, tidak ada waktu lagi untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya. Sedari kecil mereka telah
didik individualis dengan sistem pendidikan yang tidak
memperhatikan psikologi anak.
Aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting
dalam pemikiran pendidikan Tan Malaka. Kekhawatiran
eksklusivisme kaum intelektual, yang seakan menjadi kasta
tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Pada masanya
superioritas kaum terpelajar memang terasa mencolok, terutama
yang memperoleh pendidikan Eropa. Tan Malaka tidak henti-henti
mengkritisi kaum intelektual yang hidup dalam menara gading
tersebut dalam ceramah-ceramah maupun melalui tulisan.
Tentang alienasi kaum intelektual tersebut masih terasa saat ini.
Konteks perguruan tinggi, kaum intelektual masih banyak
terpenjara dalam kampus dalam idealisme sempit maupun dalam
sains. Kehidupan kaum intelektual yang seakan bertembok
dengan rakyat jelata tersebut masih tetap terasa walaupun
sebenarnya perguruan tinggi memliki prinsip Tri Dharma:
Pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada masyarakat. Perguruan
tinggi sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan
sebagai agen perubahan ketika secara individu mereka masih
berpikir bahwa kasta mereka lebih tinggi daripada rakyat jelata
yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar
mempertahankan hidup.
Kaum intelektual dan kaum teknokrat selayaknya tak terasing
dalam pergulatan kehidupan kaum jelata, karena pekerjaan kaum
jelata taklah lebih rendah dari kerja intelektual, kerja tangan dan
fisik merekalah yang membangun bangsa ini. Tan Malaka pernah
ingin menguji mana yang lebih penting pekerjaan kaum proletar
atau kaum intelektual, dengan mengajak mogok kerja kaum
buruh dimana segala produksi akan terhenti, disinilah disadari
bahwa antara intelektual dan jelata adalah suatu kesatuan yang
124
bergerak menuju satu tujuan bangsa berdaulat, dan masyarakat
sejahtera.
125
penindasan layaknya kerja rodi yang penulis gambarkan tersebut,
wajarlah kalau muncul pertanyaan, apakah sudah merdeka 100%
Indonesia? dengan wajah barunya neo kolonial mengeksplorasi
kekayaan alam maupun memanfaatkan tenaga rakyat demi
kepentingan industri dan berbagai bidang bisnis mereka. Rakyat
tak mendapat apa-apa selain menjadi penonton.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan bukan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia handal untuk
dipergunakan bagi Imperialisme global. Para stakeholder harus
menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan untuk rakyat
adalah sebagai pondasi untuk menjadi bangsa merdeka dalam
berbagai bidang: Politik, Budaya, Ekonomi, Militer, Teknologi.
Globalisasi sebagai realitas seharusnya menjadi tantangan agar
Indonesia tak menjadi bangsa yang membebek, dan terjebak
dalam pendidikan untuk menciptakan tenaga ahli dan intelektual
yang hanya menghamba kepada kepentingan kapitalisme, dengan
apologi globalisasi dan kepentingan ekonomi.
Apabila pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia hanya
berdasarkan pemenuhan kebutuhan industrialisme Barat, lalu
apa bedanya dengan masa penjajahan Belanda? Dimana
pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan kepada
pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap
kerja-kerja klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan.
Masa kolonial akses pendidikan yang dibatasi dan selalu
dipersulit, semata-mata untuk terus memerangkap Indonesia
dalam jurang kebodohan dengan kebodohan abadi tersebutlah
Imperialisme semakin mencengkramkan kuku kekuasaan dan
taring kerakusanya mengeksploitasi negeri ini. Bagi Belanda
bahwa bangsa Indonesia harus tetap dalam jurang kebodohan
adalah suatu kebijakan mutlak.
Kebodohan yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat
dilihat dari data pada harian Kompas, 13 Oktober 2010 yang
mengatakan bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh
penduduk pribumi. Fakta kemiskinan dalam aspek penguasan
kekayaan Indonesia ini mencerminkan bahwa bangsa Indonesia
belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing.
Pertanyaan yang muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah
pendidikan yang dibangun selama ini tak cukup membangun
bangsa yang mandiri dan berdaulat dinegeri sendiri? Apakah
sedemikian bodohnyakah bangsa Indonesia sehingga tak dapat
mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?
Konteks kekinian, pendidikan yang digagas para pendiri
bangsa, Ki Hajar dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan
Malaka didasarkan pada pembangunan karakter bangsa yang
mandiri, seperti kehilangan arah. Perguruan tinggi mengekor
126
kebutuhan pasar, sehingga tak aneh ketika Perguruan tinggi
hanya mencetak buruh-buruh intelektual yang bekerja mekanistis
menggerakan industri yang ironisnya kekayaan negeri sendiri
untuk kepentingan asing. Kaum intelektual maupun kaum
teknokrat mekanis ini tidak memilki apa yang disebut oleh Ulrich
sebagai social chemistry dimana kaum terpelajar harus dapat
menyatu dalam kehidupan sosial dan menyelami dialektika
berbangsa untuk menuju kepada masyarakat yang satu. Paham
individualistis ini sebenarnya sudah dikhawatirkan oleh Tan
Malaka, dimana dia pernah mengatakan apabila dengan
pendidikan membuat kaum intelektual merasa lebih tinggi dari
rakyat yang bekerja dengan cangkul, dan pekerjaan kaum
proletar lainnya, maka lebih baik pendidikan tersebut tak
diberikan kepada mereka.
Pendidikan sebagai social capital yang akan menggerakan roda
pembangunan harus dipandang sebagai kebutuhan pokok.
Namun pendidikan yang diberikan jangan mengabaikan prinsip-
prinsip nasionalisme dan humanisme. Fenomena melunturnya
nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis bahwa penanaman
pemikiran kebangsaan, kerakyatan, dan keindonesiaan belum
terselenggara dengan baik. Betapa mengerikan kondisi Indonesia
di masa beberapa tahun mendatang, ditengah arus informasi
teknologi dan budaya pop hedonisme generasi muda terjebak
dalam perangkap ketakpastian. Sehingga kalaupun muncul
ilmuwan handal, teknokrat ahli, birokrat, maupun pekerja yang
tak menyadari posisinya sebagai warga dunia yang merupakan
warga bangsa Indonesia. Ketika arus dunia tanpa batas ini
menghilangkan jati diri dan karakter nasionalisme, kerakyatan
dan keindonesiaan, taklah aneh apabila dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat Indonesia akan menjadi chaos. Korupsi
akan semakin merajalela karena nilai-nilai dasar sebagai warga
negera yang baik tak terinternalisasi. Ketika konsep nilai-nilai
yang adi luhung pada masa pergerakan kemerdekaan terus digali,
diinternalisasi dalam level pendidikan tertinggi minimal perilaku
bobrok dalam pengelolaan negara akan dapat dikurangi.
4.Guru Revolusioner
127
Dosen No 15 tahun 2005 yang menjadi acuan perbaikan kualitas
pendidikan saat ini, sebenarnya telah diterapkan Tan Malaka.
Bahkan empat kompetensi tersebut pada masa Tan Malaka
sebenarnya bisa ditambahkan dengan kompetensi ketabahan dan
keikhlasan demi bangsa dan negara. Nilai patrioti inilah yang
luntur dalam proses pendidikan saat ini.
Jika direfleksikan pengabdian guru pada masa Tan Malaka,
disatu sisi mereka dituntut memiliki kompetensi yang harus
melalui proses pendidikan guru yang berat dengan standar
pemerintah kolonial. Ketika mereka mengaplikasikan ilmunya,
ternyata bukan hanya dilandasi kesejahteraan individu dan uang
belaka. Jika dilihat dari penghasilan yang diperoleh sangatlah tak
berimbang, seperti yang diperoleh Tan Malaka ketika mengajar di
sekolah kuli di Deli, maupun ketika di sekolah Sarekat Islam,
yang bisa dikatakan tak dibayar. Pengabdian kepada negara
dengan memanusiakan anak bangsa agar dapat melihat dunia,
merenungkan posisi mereka yang tertindas, dengan mengajarkan
mereka aksara, berhitung, dan keterampilan tangan.
Guru sebagai penjaga karakter bangsa merupakan suatu
profesi yang memiliki peran sosial tinggi sebagai model manusia
ideal. Pendidikan karakter yang digaungkan akhir-akhir ini tak
akan mencapai hasil maksimal jika guru sebagai pionir
perubahan tak menginternalisasikan karakter ideal kepada
peserta didik. Pendidikan berkarakter seperti apa yang hendak
diterapkan dicapai dalam pendidikan nasional? Penulis mencoba
mengkristalkan pemikiran-pemikiran Tan Malaka tentang
pendidikan sebagai alat kemerdekaan dan character building.
Dalam tulisan dan tindakan Tan Malaka, penulis
menyimpulkan beberapa poin peran pendidikan sebagai
pembangunan karakter, yaitu.
Pertama. Pendidikan merupakan alat penyadaran rakyat untuk
melawan ketak adilan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan
hukum. Kedua. Pendidikan adalah proses penyadaran
kemanusiaan dari rakyat yang tak menyadari posisi tertindas
hingga menyadari sebuah pembebasan. Olehkarena itu rakyat
harus diberikan penyadaran melalui pendidikan untuk
melakukan perubahan nasib individunya dan masyarakat.
Ketiga. Pendidikan harus dapat menggali khasanah ilmu, dan
budaya bangsa sendiri yang belum tergali karena masih
memandang ilmu dan budaya yang diimpor dari luar selalu
dianggap baik dan terbaik. Karakter bangsa harus dibangun tiada
henti menggali kekayaan ilmu dan budaya di Indonesia. bangsa
yang berkarakter unggul adalah ketika mampu berdiri sama tinggi
dengan peradaban luar Barat khususnya dengan memperlihatkan
128
keunggulan pengetahuan, teknologi dan budaya yang digali dan
diciptakan sendiri.
Keempat. Masyarakat dididik bukan untuk menjadi kasta
ekslusif. Kaum intelektual dengan senjata pikiran dan
teknologinya bukan berarti mereka membangun tembok dari
kehidupan rakyat jelata, dan permasalahan bangsa. Sebaliknya
kaum terdidik harus melebur dalam sebuah interaksi yang saling
mendukung. Intelektualisme tak dapat dijadikan bahwa golongan
terdidik lebih baik, lebih mulia, lebih unggul dari kaum proletar
yang bekerja mengandalkan tenaga mereka.
129
Selampiran Puisi untuk Tan Malaka
130
PROSA PROLETAR
131
Memercik api menyelimuti pabrik berproduksi keringat buruh
Suluh bara dari cerobong membakar, massa aksi berlari lari di
dada anak negeri
MENGHITUNG DARAH
Suliki: 1
Harleem: 2
Deli : 3
Tanah Jawa: 4
132
Anjing putih menghisap darah tak terasa
Senja Revolusi: 5
Perburuan: 6
Pesta Kera: 7
Pesta Anjing: 8
133
Anjing anjing hitam putih itu mencabik tubuh tuberculosis
Hingga tak satupun posternya di kelas-kelas sekolah
Membisu bersama-sama Bung Karno, Bung Hatta
Rimba Kediri: 9
134
135