Anda di halaman 1dari 135

BAB 1

PENDAHULUAN

Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci


dan terpenting (Tan Malaka)

A. Latar Belakang

Tan Malaka, seorang anak bangsa yang menghabiskan 100 persen


hidupnya hanya untuk mencapai sebuah cita-cita yaitu, menuju
Republik Indonesia. Republik yang dimaksud Tan Malaka adalah
sebuah negara yang 100 persen mengatur dirinya sendiri,
mengatur perekonomiannya sendiri, politik yang bebas
menegakkan demokrasi, serta martabat bangsa yang sejajar
dimata negara-nagara lain.
Tan Malaka sebagai ahli propaganda, politikus, dan sebagai
seorang pendidik rakyat, sangat ditakuti oleh pemerintah Hindia
Belanda. Dikarenakan proses penyadaran yang agresif
revolusioner, yang dilakukan terus menerus oleh Tan Malaka
akan memperkuat kesadaran rakyat.
Ketakutan pemerintah Hindia Belanda tak hanya pada saat
kondisi fisik Tan Malaka dalam keadaan sehat, tetetapi juga
dalam keadaan sakit TBC nya yang kompleks dengan berbagai
penyakit memperburuk kondisi kesehatan dan fisiknya. Sosok
Tan Malaka merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi
posisi pemerintahan kolonial, karena Tan Malaka dianggap akan
menganggu ketertiban umum dengan berbagai kegiatan politik
dan kegiatan pendidikan untuk rakyat. Oleh karena itu
pemerintah Hindia Belanda sangat mempertimbangkan
permohonan Tan Malaka untuk diintrinir ke Jawa setelah
beberapa tahun dalam pembuangannya di Eropa.
Rakyat Indonesia harus belajar memberi nilai yang tepat pada
akhlak (moral) mereka yang menamakan dirinya para atasan dan
berkata bahwa mereka akan memberi peradaban kepada
pribumi, Rakyat Indonesia harus sadar bahwa rasa belas kasih
dan kasihan dan peri kemanusiaan tak dapat diharapkan dari
pihak penjajah untuk perbaikan peri kehidupan rakyat, apalagi
untuk kemerdekaan rakyat.1
Sosok Tan Malaka dikenal sebagai tokoh komunis tulen,
namun apabila dilihat kembali visi pendidikan yang ingin
ditanamkannya sangat mendekati tujuan pendidikan Islam
dimana tujuan pendidikan Islam yaitu untuk menciptakan
1
Surat Kapar API dalam Harry A. Poeze. Pergulatan Menuju Republik 1897-
1925. Jakarta: Grafiti. 2000. h. 337

1
manusia yang mempunyai akhlakul karimah dan menjadi Insan
Kamil. Pendidikan harus sebagai proses untuk mewujudkan
peserta didik menjadi orang yang baik dan bajik. Pendidikan
menciptakan manusia yang baik dan bajik akan memberi
kekuatan kepada peserta didik. Karena itulah menurut Tan
Malaka pendidikan akhlak harus menjadi tujuan utama.2
Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan
di nusantara, Tan Malaka sudah sangat menekankan bahwa
pendidikan anak-anak harus tak hanya sebatas kognitif, seperti
mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung sebagaimana
yang sangat difokuskan di banyak sekolah-sekolah Eropa pada
masa itu. Tan Malaka memandang bahwa sebuah kewajiban
untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan-keterampilan
praktis yang akan memunculkan kepada pribumi untuk
mencintai kerja. Seharusnyalah pendidikan memberikan nilai
tambah bagi peserta didik.
Tujuan pendidikan untuk anak-anak para kuli terutama
adalah membuat otak mereka lebih tajam dan kemauan mereka
lebih kuat, di samping menghaluskan perasaan mereka, seperti
apa yang menjadi cita-cita pendidikan setiap bangsa atau
golongan di negeri manapun. Di samping memajukan otak, daya
kemampuan, dan perasaan, maka perlu dikembangkan kehendak
dan kebiasaan anak-anak untuk melakukan pekerjaan tangan
serta perasaan bahwa pekerjaan itu penting artinya, dan bahwa
pekerjaan seperti itu di mata masyarakat tak lebih rendah
nilainya daripada pekerjaan otak.3
Pendidikan rakyat yang berlangsung pada masa Tan Malaka
sangat tak memuaskan hatinya. Masih banyak masyarakat yang
buta huruf dan masih banyak kalangan intelektual yang terasing
dari masyarakat, karena menganggap mereka lebih tinggi dari
kaum tani dan buruh. Olehkarena itu menurut Tan Malaka, lebih
baik pendidikan itu tak diberikan sama sekali bila setelah
mengenyam pendidikan mereka menjadi kaum elit eksklusif.
Pendidikan harus menanamkan kepada pribumi untuk
mencintai pekerjaan fisik dan itu harus ditanamkan ketika anak
masih kecil: dibiasakan waktu muda, dikenal waktu tua,
demikianlah sebuah periBahasa Belanda yang dipakai Tan
Malaka dalam filosofi pendidikannya. Di sekolah, kaum muda
harus biasa melakukan pekerjaan secara teratur dan produktif,
dan tentunya nanti mereka akan merasakan manfaatnya.
Tan Malaka menekankan bahwa pembiasaan kerja fisik, bukan
berarti pendidikan merancang dan akan mencetak kaum kuli dan
kaum tani seperti yang dilakukan oleh kaum kolonial yang
2
Ibid. h. 121
3
Ibid. h. 121

2
mengikat masyarakat untuk terus menjadi budak: Sungguh
sudah keterlaluan kalau kita berpikir bahwa setiap murid harus
menjadi kuli, Tan Malaka menentang pendidikan yang dirancang
untuk mengkulikan manusia. Anak-anak yang cerdas harus
dididik untuk menempati kedudukan-kedudukan yang lebih baik
di perkebunan-perkebunan, kerani, tukang, mandor, guru, sopir,
atau juru tulis. Pribumi harus menyadari bahwa anaknya yang
cerdas bisa mencapai suatu kedudukan lebih baik, daripada
hanya sekedar kuli. Dengan demikian pendidikan di sekolah akan
lebih menarik, dan mereka yang tak begitu cerdas akan terdorong
untuk tetap bekerja di perkebunan. Tan Malaka secara tegas
mengarahkan, bahwa peserta didik yang memiliki potensi
intelektual harus diberdayakan, sedangkan yang lebih tertarik
dikerja fisik, mereka dapat mengasah keahlian mereka agar lebih
profesional di bidangnya.
Buku ini mengulas secara khusus pemikiran pendidikan dan
aksi pendidikan Tan Malaka. Penting membaca kembali
keteladanan Tan Malaka sebagai guru maupun sebagai pejuang
kemerdekaan. Tan Malaka adalah seorang Bapak Pendiri Bangsa
yang lebih menonjol aktifitas politiknya, namun tak banyak yang
mengetahui bahwa Tan Malaka memiliki latar belakang
pendidikan seorang guru di kweekschool Bukit Tinggi dan
melanjutkan pendidikan gurunya di Haarlem Belanda. Banyak
penelitian maupun buku yang membahas pemikiran Tan Malaka
khususnya bidang politik, namun bidang pendidikan belum
banyak yang membahas secara khusus dan mendalam, untuk
itulah penulis merasa perlu mengkaji pemikiran dan aksi
pendidikan Tan Malaka. Buku ini menjadi refleksi dan introspeksi
bagi stakeholder pendidikan dalam merumuskan dan
menjalankan pendidikan nasional.

B. Pendekatan Kajian

Menurut Syahrin Harahap, dalam menanalisis data penelitian


studi tokoh ada lima konsep yang perlu diperhatikan, yaitu:
koherensi interen, idealisasi dan critical approach, kesinambungan
historis, Bahasa inklusif dan analogal, dan kontribusi tokoh. 4
Guna menganalisis pemikiran pendidikan Tan Malaka tersebut,
penulis mengunakan pendekatan sebagai berikut.
1. Koherensi interen

Agar penulis dapat menganalisis secara tepat dan medalam


konsep pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan, maka penulis
4
Syahrin Harahap. Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam. Jakarta: Istiqamah
Mulya Press. 2006. h. 42

3
menyeleksi dari sekian banyak pemikirannya dari berbagai bidang
(ekonomi, militer, politik, filsafat, pendidikan).Penulis tetapkan
bahwa yang akan dibahas mendalam di buku ini adalah
pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan. Setelah penulis
menemukan pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan,
kemudian menganalisa secara logis dan sistematis.

2. Idealisasi dan Critical Approach

Tan Malaka berpikiran sangat universal, berbagai hal menjadi


bahan pemikirannya. Di buku ini penulis berusaha menganalisa
pemikiran pendidikan Tan Malaka secara mendalam dan kritis,
sehingga tak hanya reportive dan descriptive. Menurut Syahrin
Harahap,selain menggunakan kritik, penulis sendiri dapat juga
menggunakan pandangan pemikir lain namun penulis harus bisa
membedakan antara narasi (penuturan dan cara pandang) tokoh
yang dikaji (emik), narasi pemikir lain mengenai tokoh yang dikaji
(etiki), dan narasi penulis sendiri. Penulis juga dapat
menggunakan verstehen yang artinya dapat menggali pikiran,
perasaan, dan motif yang ada dibalik tindakan tokoh. 5 Dengan
jelasnya sudut pandang tersebut di maksudkan agar dapat
menganalisis secara objektif.

3. Kesinambungan Historis

Penulis berusaha melihat kesinambungan historis Tan Malaka


dengan dua sisi. Pertama, pengaruh sosok Tan Malaka dan
pemikirannya dengan zaman dan lingkungannya. Kedua, Penulis
ber empati dalam memandang dan menganalisis pemikiran
pendidikan Tan Malaka. Tan Malaka dianalisis sesuai zaman dan
lingkungannya perlu dilakukan agar dapat dilihat bagaimana
rangkaian dan peristiwa yang dialami oleh Tan Malaka menjadi
mata rantai hingga terbentuk pemikiran pendidikannya.

4. Bahasa Inklusif dan Analogal

Bahasa yang digunakan Tan Malaka sering menggunakan Bahasa


dan konsep inklusif sehingga tak populer, untuk itu penulis
menggunakan istilah-istilah yang digunakan dan berusaha
memahami istilah itu dengan logika yang Tan Malaka maksud.
Pada sisi lain Bahasa dan konsep tersebut penulis pelajari dalam
Bahasa analogal, artinya pemahaman lain atau yang sama juga
digunakan pemikir atau aliran lain mengenai Bahasa maupun
konsep yang dipakai Tan Malaka. Hal ini dilakukan untuk melihat
5
Ibid. h. 44

4
unsur yang sama maupun berbeda dari pemikiran pendidikan
Tan Malaka dengan pemikiran tokoh maupun aliran lain.

5. Kontribusi Tokoh

Pemikiran, gagasan, ide-ide dan aksi Tan Malaka dimaksudkan


untuk menganalisis, pemaknaan, metode, dan solusi sebuah
permasalahan yang dihadapi pada masa sebelum ataupun
sesudahnya, bahkan proyeksi persoalan masa depan. Penulis
berusaha memperlihatkan kontribusi pemikiran pendidikan Tan
Malaka pada zamannya maupun sesudahnya dengan melihat
secara konseptual maupun hal praksis. Untuk itulah penulis juga
mengkaji aksi pendidikan Tan Malaka sebagai manifestasi
pemikiran pendidikannya. Penjelasan mengenai kontribusi
pemikiran pendidikan Tan Malaka akan memperlihatkan
kesejajaran antara gagasan dengan kontribusinya bagi
perkembangan masyarakat dan memperlihatkan kontribusi
pemikiran pendidikan Tan Malaka secara keseluruhan.

C. Kajian Teoritik

1. Konsep Pedagogik

Buku ini berangkat dari konsep pedagogik. Pedagogik berasal dari


Bahasa Yunani paidagogia yang berarti pergaulan dengan anak-
anak.6 Pedagogik merupakan aktifitas mendidik anak-anak.
Sedangkan yang dimaksud dengan pedagogi adalah aktifitas
mengajar, dan paedagoog adalah seorang yang bertugas
membimbing anak ke arah pertumbuhan yang lebih baik. Dalam
Oxford Dictionary berikut derivasinya. Peda-gogue, school
master, pedantic teacher. Pedagogy, science of teaching.
Pedagogic. Adj of pedagogy.7 Soegarda menjelaskan bahwa
pedagogy merupakan praktek, cara mengajar, serta ilmu
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip, metode-metode
membimbing dan mengawasi pelajaran; yang disebut pendidikan. 8
Langeveld menjelaskan bahwa pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak tertuju kepada pendewasaan anak agar dapat menjalankan
tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datang dari orang dewasa

6
Warul Walidin. Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun: Perspektif
Pendidikan Modern. Nanggroe Aceh Darussalam: Nadiya Foundation. h. 6
7
As Hornby. Oxford Advanced Dictionary of Current English. Oxford University
Press. 1987. h. 7.
8
Soegarda Poerbakwadja. dalam Warul Walidin. Op. Cit. Konstelasi. h. 7

5
maupun yang diciptakan orang dewasa yang ditujukan kepada
orang yang belum dewasa.9 Menurut John Dewey, pendidikan
merupakan sebuah proses pembaharuan makna pengalaman, hal
ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan
orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara
sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan kesinambungan
sosial. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.

2. Kerangka Teoritik

Tan Malaka sulit diidentifikasi sosoknya sebagai sosiolog,


ekonom, maupun politisi.10 Bisa dikatakan Tan Malaka adalah
sosok universalis: sebagai ekonom bahkan pakar militer dia
menulis buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi), sebagai
Sejarahwan dia menulis Naar de Republiek Indonesia, sebagai
seorang filsuf dan ilmuwan (eksak) dia menulis buku Madilog,
sebagai seorang politisi dia menulis Massa Aksi, dan sebagai
seorang pendidik dia menulis buku Dasar-dasar Pendidikan, dan
Sekolah Sarekat Islam dan Onderwijs. Untuk lebih lengkap
memetakan seorang Tan Malaka, berikut penulis tampilkan
karya-karya Tan Malaka.11
1. De Menangkabausche Maleirs, Hou en Trouw, tanggal 1-6-
1919
2. Is er een koloniaal problem (adakah suatu masalah
kolonial), Hindia Poetra, 1918-9.
3. Armoedeland . Het Vrije Woord. 27-3-1920.
4. Engelsche arbeidstoestanden in 1919. Het Vrije Woord. 5-
4-1920.
5. Verbruikscooperaties voor Javaansche proletariaat. Het
Vrije Woord
6. Het Roode Deli. 15-9-1920
7. De Delische Staking. 20-10-1920
8. Deli en de arbeidersbeweging. 18-3-1921

9
Langeveld. Paedagogiek Teoritis. FIP-FKIP. Jakarta. 1971
10
Peni Chalid. Epistemologi Tan Malaka. dalam Apa, Siapa & Bagaimana Tan
Malaka.Editor. DP. Asral. Jakarta: LPPM Tan Malaka. h. 130
11
Daftar publikasi Tan Malaka ini penulis kutip dari buku Harry Poeze. Op. Cit.
Pergulatan

6
9. Raden kamil, de nestor. 10-8-1921
10. Sovyet-Rusland. Sumatera Post. 24-7-1920
11. Sovyet atau Parlement . Soeara Rajat. (terdapat
empat tulisan dengan judul yang sama. 16-5-1921. 1-7-
1921.1-8-1921. 16-8-1921)
12. Kaoem Moeslimin dan Bolsjewisme. Soeara Rajat. 1-
10-1921
13. SI Semarang dan Onderwijs. Soeara Rajat. 20-11-
1921
14. Een Woord tot Jong-Java. Sinar Hindia 22-6-1921
(ditulis dengan Seamun)
15. Wie zal de sterkeste zijn?.Sinar Hindia. 1-10-1921
16. Mijn Verbanning. De Tribune (terdapat empat tulisan
dengan judul yang sama, 15-5-1922. 16-5-1922. 18-5-1922.
20-5-1922)
17. De Sarekat-Islamschool als een pistool op de borst der
Koloniale Regeering (Sekolah Sarekat Islam sebagai Pestol
terbidik pada dada Pemerintah Kolonial). De Tribune.
(terdapat tiga tulisan dengan judul yang sama. 29-5-1922.
30-5-1922. 31-5-1922)
18. Het wettig Gezag in Indonesia. De Tribune
(Pemerintah yang sah di Indonesia). De Tribune
19. De beweging in Indonesie. (Gerakan di Indonesia).
De Tribune 5-9-122
20. De Sarekat Islam-schoolen (Sekolah-sekolah Sarekat
Islam). De Tribune 21-9-1922
21. De Islam en het Bolsjewisme (Islam dan Boljewisme).
De Tribune . -9-1922.
22. Een Open Brief Tan Malaka aan de Indonesische
studenten en intelektuelen I (Surat Terbuka Tan Malaka
kepada Para mahasiswa dan Kaum Cendikiawan Indonesia
I). De Tribune. 29-8-1923
23. Die Rote Gewerschafts-Internationale (Buruh Merah
Internasional) De Tribune
24. Der Gewerkschafts bewegung in Indo-Cina
(Holladisch-Ost-Inden) (Gerakan Buruh di Indocina, Hindia
Belanda). De Tribune. Oktober 1922
25. Die Vertragskulis(Kuli Kontrak). De Tribune.
Februari 1923
26. Der Anschuluss des NAS an die RGI. De Tribune.
April (tak tertulis tahun)
27. Die Gewerskchaftsbewegung De Tribune. Mei-Juni
1923

7
28. Die Arbeiter in der Zuckkerindustrie auf insel Java
(Buruh di Industri Gula Pulau Jawa) De Tribune. Mei-Juni
(tanpa tahun)
29. Der Kommunismus auf Java (Komunis di Jawa).
Internationale Presse-Korespondentz. 20-7-1923
30. Die Kommunistische Bewegung in Indonesien
(Gerakan Komunis di Indonesia). Die Komunistische
Internationale. Agustus 1923

Berikut adalah buku-buku karya Tan Malaka yang penulis


kutip dari penelitian Harry A.Poeze.
1. Sovyet atau Parlement (1921)
2. SI Semarang dan Onderwijs (1921)
3. Toendoek kepada Kekoeasaan, tetetapi tak Toendoek
kepada Kebenaran (1922)
4. Indonesia i ejo mesto na proboesjdajoesjtsjemsja vostoke
(1924)
5. Goetji Wasiat Kaoem Militer (1924)
6. Naar de Republiek Indonesia (1925)
7. Semangat Moeda (1926)
8. Massa actie (1926)
9. Lokal dan Nasional Aksi di Indonesia (1926)
10. Parimanifest (1927)
11. Pari dan Kaum Intelektuil Indonesia (1927)
12. Pari en het Internationalisme (1927)
13. Pari dan PKI (Pari dengan PKI) (1927)
14. Brief aan Sukarno, Singgih en Sutomo (1929)
15. Pari dan Komintern (Pari dengan Komintern)
16. Stalinisme dan Trotskyisme
17. PKI dan Digul (brosur dari nomor 15-17 hanya
judulnya yang dikenal namun bukunya tak ditemukan oleh
Harry A Poeze)
18. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika (1943)
19. Gabungan Aslia (1943 selesai separuh)
20. Manifesto Jakarta (1945)
21. Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
22. Politik (1945)
23. Muslihat (1945)
24. Situasi Politik Luar dan Dalam Negeri (1946)
25. Thesis (1946)
26. Pandangan Hidup (1948)
27. Kuhandel di kaliurang (1948)
28. Proklamasi 17-8-1945 isi dan Pelaksanaannya (1948)
29. Coomunisme and Pan Islamisme (1922)

8
Dalam Arsip Indonesia Marxis, terdapat dua judul yang tak
dimasukkan oleh Poeze, yaitu: Dari Ir. Soekarno sampai ke
Presiden Soekarno (1948), dan Keterangan Ringkas tentang
Program Maksimum (1948).
Selain artikel dan buku yang dipublikasikan di atas. Tan
Malaka juga menulis di sebuah koran Cina bernama De
Voorkhoede (prapidato), pada tahun 1924 dengan nama Ma La
Chia menulis artikel dengan judul Gerakan Sosial di Hindia
Belanda. Tan Malaka juga menulis secara teratur di Surat Kabar
The Dawn pada akhir tahun 1924 sampai awal tahun 1925. pada
tahun 1925 sampai tahun 1931 surak kabar El Debate, Tan
Malaka menulis artikel secara teratur. Dengan nama Tan Malacca
pada tanggal 29-10-1927, menulis artikel berjudul Cuando is
naturlsleza habla el arte calla di surat kabar La Opinion. Dalam
sebuah koran milik Pari, Obor secara teratur dari tahun 1927
sampai 1931 terdapat banyak tulisan Tan Malaka, namun
menurut Poeze, tak satu eksemplar koranpun ini ditemukan. 12
Tulisan-tulisan karya Tan Malaka yang berbentuk buku
maupun artikel tersebut tak banyak yang membahas tentang
pendidikan. Beberapa karya tulis Tan Malaka yang khusus
membahas pendidikan adalah: SI Semarang dan Onderwijs, De
Sarekat-Islamschool als een pistool op de borst der Koloniale
Regeering, De Sarekat Islam-schoolen, Een Open Brief Tan
Malaka aan de Indonesische studenten en intelektuelen . Penulis
lebih banyak menemukan pemikiran pendidikan Tan Malaka
dalam bukunya yang tak secara khusus membahas pendidikan.
Pemikiran pendidikan Tan Malaka tentang pendidikan banyak
disampaikannya di brosur SI Semarang dan Onderwijs. Di brosur
ini Tan Malaka menjelaskan landasan sistem pendidikan di
sekolah yang dipimpinnya. Tan Malaka menguraikan landasan
pendidikan bagi cita-cita rakyat miskin. Tan Malaka juga banyak
membahas sekolah SI dalam buku Pembuanganku.

3. Ideologi Pendidikan

Dalam buku ini penulis lebih banyak melihat konsep pendidikan


Tan Malakalebih bersifat ideologis dan politis. Olehkarena itu
konsep ideologi dan pendidikan penulis bahas sebagai pemetaan
arah ideologi pendidikan Tan Malaka.
William ONeil memetakan dua aliran ideologi besar, Pertama,
Konservatif dengan varian: fundamentalisme, intelektualisme, dan
konservatisme. Kedua, Liberalisme, dengan varian: anarkisme. 13
12
Ibid. h. 399
13
William F.ONeil. Ideologi-ideologi Pendidikan. Alih Bahasa Omi Intan Naomi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2001

9
Henry Giroux menjelaskan ideologi pendidikan: konservatisme,
liberalisme, dan kritisisme.14 Menurut Achmadi, antara Giroux
dan ONeil sebenarnya memiliki kesamaan dalam memetakan
ideologi pendidikan, yaitu konservatisme, dan liberalisme. Hanya
saja rumusan antitesa dua aliran tersebut menyebutnya dengan
berbeda, Giroux menyebutnya dengan kritisisme, sedangkan
ONeil menyebutnya anarkisme.15 Achmadi menjelaskan ciri-ciri
ideologi tersebut, sebagai berikut:

a. Konservatisme

Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan yang berlangsung tak


perlu ada perubahan karena masih cocok dengan keadaan zaman.
Konsep determinisme aliran ini meyakini bahwa keadaan
masyarakat yang bodoh, miskin, dan tertindas dikarenakan
kesalahan mereka sendiri. Aliran ini berpandangan kondisi sosial
masyarakat yang bobrok bukan dikarenakan kesalahan
struktural, sehingga dalam pelaksanaan masyarakat yang
berpandangan konservatif enggan berkonflik.

b. Liberalisme
Liberalisme menekankan kepada hak dan kebebasan individu,
dan pola pikir rasional, dan individualisme Barat sebagai acuan.
Mereka berpandangan bahwa pola pikir rasionalisme dan
individulaisme akan meningkatkan kreatifitas, inovasi, dan
optimalisasi individu. Dalam praktik pendidikan, aliran ini lebih
mengejar kualitas akademis dan profesionalisme.

c.Kritisisme

Kritisisme lebih cendrung kepada sebuah paham anti kemapanan.


Pandangan aliran ini bahwa pendidikan harus bisa menjadi alat
rekonstruksi sosial, yaitu memperbaiki sendi kehidupan politik
dan ekonomi masyarakat. Pola revolusioner, yaitu dekonstruksi
dan rekonstruksi menjadi ciri khas aliran ini. Paulo Freire, dan
Ivan Illich adalah dua orang tokoh aliran kritisisme, mereka
berpandangan bahwa pendidikan merupakan wadah strategis
untuk penyadaran manusia sebagai manusia. Manusia harus
menyadari haknya akan kemerdekaan, dan membebaskan
manusia yang belum terbebaskan. Penindasan, kemiskinan, dan
kebodohan adalah musuh utama yang harus dilawan oleh

14
H.A. Giroux. Culture and the Process of the Schooling. Philadelphia: Temple
University and Falmer Press. 1981
15
Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005

10
individu yang harus sadar akan hakikatnya sebagai manusia
merdeka.
Bila dipahami dari tiga ideologi pendidikan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemikiran pendidikan Tan Malaka lebih
cendrung kepada kritisisme, namun corak liberalisme Barat juga
dapat ditemukan dalam pemikiran dan aksi pendidikan Tan
Malaka. Bagi Tan Malaka untuk memerdekakan manusia
tertindas dan bodoh, maka rasionalisme Baratlah yang dapat
dijadikan alat untuk melawan paham mistisisme rakyat yang
masih mengakar, dan belum memiliki budaya unggul yang patut
dijadikan landasan. Prinsip kemerdekaan manusia juga harus
dilandasi kemampuan intelektualisme, dan profesionalisme
individu yang dapat menjadi bekal hidup mereka.

d. Metode Penelitian

Buku ini termasuk dalam kategori studi tokoh. Studi tokoh


merupakan pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran,
gagasan seorang tokoh secara keseluruhan maupun
16
sebahagiannya. Penulis hanya fokus membahas pemikiran
pendidikan Tan Malaka, namun juga menjelaskan pemikirannya
seperti Ekonomi, Militer, Politik, Filsafat, hal ini dilakukan tetap
dalam upaya menganalisa pemikiran pendidikan Tan Malaka.
Penulis mengkaji latar belakang internal, eksternal,
perkembangan pemikiran, hal yang diperhatikan maupun yang
kurang diperhatikan, kekuatan maupun kelemahan pemikiran
Tan Malaka, serta kontribusi pemikiran pendidikan pada masa
zamannya ataupun sesudahnya.
Penulisan buku ini menggunakan penelitian kepustakaan
(library research). Penulis mengumpulkan bahan dengan melacak,
membaca dan menelaah karya-karya tulis Tan Malaka sebagai
sumber primer. Diantara buku-buku Tan Malaka yang penulis
pelajari adalah: Parlemen atau Soviet, SI semarang dan Onderwijs,
Naar de Republiek Indonesia, Semangat Muda, Manifesto Jakarta,
Rencana Ekonomi Berjuang, Politik, Muslihat, Situasi Politik Luar
dan Dalam Negeri, Thesis, Pandangan Hidup, Kuhandel di
kaliurang, Proklamasi 17-8-1945 dan Pelaksanaannya,
Communisme and Pan Islamisme, Madilog (Materialisme Dialektika,
Logika, Dari Penjara ke Penjara, Uraian Mendadak, Dari Ir
Soekarno sampai Presiden Sukarno,Keterangan Ringkas Tentang
Program Maksimum, Gerpolek.. Banyaknya buku Tan Malaka yang
dijadikan sumber primer oleh penulis dikarenakan: Pertama,
hanya ada dua bua buku yang ditulis Tan Malaka yang khusus
membahas tentang pendidikan yaitu SI Semarang dan Onderwijs,
16
Syahrin Harahap. Op. Cit. Metodologi.. h. 7

11
dan Dasar-Dasar Pendidikan. Buku Dasar-dasar Pendidikan tak
dapat penulis temukan, namun menurut Tan Malaka buku itu
pernah ditulisnya. Kedua, hampir di setiap buku yang ditulis Tan
Malaka menyentuh permasalahan pendidikan, sehingga penulis
harus mempelajari setiap karya tulisnya yang universal untuk
mencari pemikiran maupun aksi Tan Malaka dalam pendidikan.
Selain sumber primer yang di tulis oleh Tan Malaka, penulis
juga mempelajari buku dari para pakar yang mempelajari Tan
Malaka terutama buku-buku karya Harry A. Poeze:
1. Harry A. Poeze. Pergulatan Menuju Republik 1897-1925.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
2. Harry A. Poeze. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia: Jilid 1: Agustus 1945 Maret 1946. Jakarta:
KITLV. Edisi Pertama. 2008
3. Harry A. Poeze. Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi
Indonesia: Jilid 2: Agustus 1946 Maret 1947. Jakarta:
KITLV. Edisi Pertama. 2009
Tidak hanya mempelajari hasil penelitian Harry A. Poeze,
penulis juga menjadikan penulis lain yang mempelajari Tan
Malaka, dipakai sebagai sumber sekunder, yaitu:
1. Zulhasril. Tan Malaka dan Gerakan Kiri
Minangkabau.Yogyakarta: Ombak. 2007
2. Tengku Ibrahim Alfian. Tan Malaka Pejuang Revolusioner
yang Kesepian. Dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Editor Taufik Abdullah. Jakarta: LP3ES. 1978
3. Editor: DP. Asral. Apa, Siapa, dan Bagaimana Tan Malaka.
Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2007

Penulisan buku ini dibahas dengan beberapa tahap


pemBahasan. Pertama, dimulai dari Epistemologi Tan Malaka
yang berusaha mengkaji struktur pengalaman Tan Malaka hingga
terlahir pemikiran dan aksi pendidikannya. Adapun Epistemologi
Tan Malaka tersebut dapat dirunut mulai dari masa kecilnya di
Minangkabau, adat budaya yang mempengaruhi, masa studinya
di Bukit Tinggi, hingga ketika Tan Malaka melanjutkan studinya
di Haarlem Belanda, dan ketika Tan Malaka pulang ke Indonesia.
Keadaan nusantara yang dalam jajahan Belanda ini sangat
mempengaruhi pemikirannya secara umum dan pendidikan
secara khusus.
Kedua, penulis membahas pemikiran-pemikiran pendidikan
Tan Malaka mengenai konsep pendidikan, kurikulum, metode,
lembaga pendidikan, pendanaan pendidikan, kompetensi guru.
Tahap Ketiga, penulis membahas dan menelusuri dimana dan
kapan Tan Malaka mulai bergerak aktif di lapangan pendidikan.
Keempat, penulis mencoba mengelaborasi bagaimana pemikiran

12
pendidikan Tan Malaka agar dapat memberi kontribusi bagi dunia
pendidikan saat ini.
Penulis menyadari bahwa Tan Malaka merupakan seorang
tokoh sejarah. Maka pendekatan sejarah juga harus dipakai
dalam membahas pemikiran pendidikan Tan Malaka. Anton
Bakker dalam Syahrin Harahap memasukan studi tokoh sebagai
bagian dari penelitian sejarah.17 Menurut Muhammad Nazir (1998)
dalam pendekatan sejarah dapat dikategorikan sebagai biografi
yang membahas kehidupan seorang tokoh dalam hubungannya
dengan masyarakat; sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan
idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama
hayatnya.18 Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah mempunyai
lima tahap, yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber,
(3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi:
analisis dan sintesis, dan (5) penulisan. 19

e. Kajian Terdahulu

Banyak penelitian dan karya ilmiah yang telah membahas


sejarah, pemikiran, dan aktifitas Tan Malaka dalam berbagai
bidang: Politik, Ekonomi, Militer, dan Pendidikan. Dalam bagian
kajian terdahulu ini, penulis hanya menampilkan penelitian yang
mengkaji aspek pemikiran dan tindakan pendidikan Tan Malaka.
Berdasarkan survey penulis, tak banyak karya ilmiah dan
penelitian yang serius membahas pemikiran dan aksi pendidikan
Tan Malaka. Namun tak tertutup kemungkinan daftar penelitian
berikut akan bertambah, seiring informasi yang penulis peroleh.
Berikut adalah penelitian yang mengkaji Tan Malaka dalam aspek
pendidikan:

1. Cahyo Hakiki Baskoro Putro. Murbaisme Tan Malaka (Suatu


Kajian Sejarah Pemikiran Modern) dan keterkaitannya dalam
Pembelajaran Sejarah. Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah.
Universitas Negeri Malang.2011. Pembimbing: Prof. Dr.
Hariyono.
2. Furqon Ulya Himawan. Konsep Pendidikan Kerakyatan Tan
Malaka dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam. Skripsi
Fakultas Tarbiyah - Universitas Islam Negeri Sunan Kali
Jaga. 2009.
3. Pemikiran Tan Malaka Selama di Sumatera Utara (1920-
1921). http://ramadhan 15071983. wordpress.com

17
Ibid. h. 8
18
Ibid. h.8
19
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2005. h.
91

13
Dalam Cahyo (2011), penelitian yang berjudul Murbaisme Tan
Malaka (Suatu Kajian Sejarah Pemikiran Modern) dan
keterkaitannya dalam Pembelajaran Sejarah. Peneliti
menekankan pada bagaimana pengaruh alam pergerakan
nasional terhadap latar pemikiran Tan Malaka serta menjawab
bagaimana konsep pemikiran Tan Malaka mengenai idologi yang
disebut dengan Murbaisme. Pada penelitian ini, Cahyo juga ingin
menjawab bagaimana peran pemikiran Murbaisme Tan malaka
dalam kaitannya dengan pembelajaran sejarah.
Hasil penelitian Cahyo, menemukan bahwa secara garis besar
kehidupan Tan Malaka dipengaruhi kehidupan dalam dan luar
negeri. Sehingga Tan Malaka sangat dipengaruhi dengan dua
pemikiran dunia yaitu modernisme islam dan komunisme.
Murbaisme merupakan sebuah paham yang ingin mewujudkan
masyarakat Indonesia baru berbasiskan sosialis kerakyatan tanpa
menafikkan adanya Tuhan.
Materi Murbaisme menurut Cahyo, mengandung nilai-nilai
kepemimpinan, perjuangan, nasionalisme, toleransi, politik dan
pendidikan kerakyatan. Olehkarena itu, menurut Cahyo, dalam
konteks pendidikan, Murbaisme masih dapat dijadikan teladan
bagi generasi saat ini. Cahyo menganjurkan Murbaisme diajarkan
pada sekolah tingkat menengah dan tingkat perguruan tinggi
sebagai sejarah pemikiran modern dan sebagai sejarah politik.
Furqon ( 2009), meneliti Tan Malaka dengan judul, Konsep
Pendidikan Kerakyatan Tan Malaka dan Relevansinya dengan
Pendidikan Islam. Rumusan permasalahan, mencari konsep
pendidikan Tan Malaka, bagaimana relevansi konsep pendidikan
Tan Malaka dengan konsep pendidikan Islam. Hasil penelitian
tersebut mengemukakan bahwa konsep pendidikan Tan Malaka
berbasis kerakyatan, demokratis, dan sebagai sebuah usaha
pergerakan kemerdekaan rakyat Indonesia dari Belanda.
Pendidikan Tan Malaka mengajarkan kepada siswa untuk
berorganisasi, mencintai rakyat dan mencintai pekerjaan tangan.
Menurut Furqon, konsep pendidikan Tan Malaka memiliki
relevansi dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam
menekankan pengoptimalan fungsi akal sebagai potensi manusia.
Dalam Islampun diajarkan untuk membela kaum lemah dan
tertindas sebagaimana yang menjadi prinsip di sekolah Tan
Malaka. Islam menganjurkan manusia untuk selalu membaca,
sebagai alat membaca diri, dan sosial. Prinsipnya, konsep
pendidikan Tan Malaka memiliki relevansi dengan pendidikan
Islam.
Sedangkan penelitian yang berjudul Pemikiran Tan Malaka
selama di Sumatera Utara (1920-1921). Permasalah penelitian

14
yang diajukan: (a) Apa yang melatarbelakangi Tan Malaka ke
Sumatera Utara; (b) Bagaimana pemikiran dan gagasan Tan
Malaka di Sumatera Utara (1920-1921); (c) Bagaimana aktifitas
Tan Malaka selama di Sumatera Utara (1920-1921); (4) Apakah
yang menyebabkan Tan Malaka meninggalkan Sumatera Utara.
Bagian penelitian yang penulis peroleh di http://ramadhan
15071983. wordpress.com ini tidak diperoleh dengan utuh
(termasuk nama penulis). Penelitian ini diperoleh hanya sampai
pada Bab Metode penelitian, tidak diperoleh kesimpulan dari
penelitian.
Dari tiga penelitian tentang Tan Malaka tersebut, penelitian
Cahyo (2011), Furqon (2009) adalah penelitian yang fokus
mengkaji Tan Malaka dari aspek pendidikan. Dalam beberapa
aspek buku ini memiliki kesamaan, memandang bahwa konsep
pendidikan lebih bersifat kerakyatan dan sebagai media
memandirikan pribumi dan kemudian sebagai media merebut
kemerdekaan. Kekhasan buku ini, Pertama, penulis memulai
pembahasan dari proses pembentukan pemikiran Tan Malaka
hingga mempengaruhi konsep dan aksi pendidikan Tan Malaka.
Kedua, penulis menganalisa konsep Filsafat Pendidikan, Psikologi
Pendidikan, Kurikulum, Manajemen Pendidikan, dan peran
pendidikan dalam kehidupan masyarakat yang digagas Tan
Malaka. Ketiga, penulis mengungkapkan secara detail tahap-
tahap dan kronologis pemikiran dan aksi pendidikan Tan Malaka.
Keempat, penulis berusaha melihat relevansi pemikiran dan aksi
pendidikan Tan Malaka dalam konteks kekinian, sehingga konsep
tersebut menjadi praxis.

BAB 2

15
EPISTEMOLOGI
TAN MALAKA

Akuilah dengan hati bersih bahwa kalian dapat belajar dari orang
Barat. Tapi jangan sekali-kali kalian meniru dari orang Barat.
Kalian harus menjadi murid-murid dari Timur yang cerdas
(Tan Malaka)

A. Alam Minangkabau

1. Alam Terkembang menjadi Guru

Alam takambang jadi guru merupakan ungkapan filosofis


Minangkabau yang bermakna dialektis, bahwa seseorang harus
dapat membaca alam sekitar, orang sekitar, belajar dari apa yang
mereka tampakkan, dimanapun berada kita dapat menjadikannya
pelajaran dalam memaknai dan menjalankan kehidupan.
Menurut Rudolf Mrazek bahwa falsafah Minangkabau pada
dasarnya telah membentuk cara berpikir Barat yang rasional,
logis, dan dialektis. Tan Malaka yang dibesarkan dalam budaya
Minangkabau telah membentuk struktur pengalaman dan
visinya.1 Struktur pengalaman menurut Marzek yaitu totalitas
pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang,
melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi
disekitarnya. Struktur pengalaman tersebut akan mempengaruhi
visi tertentu bagi seseorang dalam mengartikan apa-apa yang
berlaku. Struktur pengalaman Tan Malaka menurut Mrazek tak
terlepas dari budaya masyakat Minang yang memiliki dinamisme
tinggi.
Saat kelahiran Tan Malaka, di alam Minangkabau 3, Republik
Indonesia belum dalam kesatuan politik. Alam Minangkabau
merupakan ranah yang banyak melahirkan kaum intelek dan
pejuang kemerdekaan. Nama Minangkabau dalam Mavie Ros
(1991) dipercayai masyarakat Minangkabau sebagai ungkapan
menang kerbau. Legenda masyarakat Minangkabau, bahwa orang
Minang yang memakai aduan kerbau memenangi sebuah
pertandingan dengan orang Jawa yang menggunakan Sapi (Jawi,
dalam Bahasa Minang).

1
Alfian. Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian. dalam buku Manusia
dalam Kemelut Sejarah. Editor. Taufik Abdullah. Jakarta: LP3ES. h. 137
3
Alam Minangkabau bermakna sebagai dunia alami orang Minangkabau yaitu
wilayah yang mereka rumuskan sebagai tanah asal mereka,. Mavie Ross dalam
D. Darwis Datuk rajo Malano. Filsafat Adat Minangkabau: Sebagai Pembina
Budi Luhur. Padang: yayasan Lembaga Studi Minangkabau. 1991. h. xxiv

16
Strategi menang pertandingan itu dikarenakan kecerdikan
orang Minang yang memasangkan pisau baja di tanduk kerbau
ketika bertanding dengan banteng besar yang dipakai oleh orang
Jawa.4 Olehkarena itu masyarakat Minang sangat mengagungkan
simbol-simbol berbentuk kerbau, misalnya atap rumah yang
berbentuk tanduk kerbau.
Tafsiran lain yang disampaikan Mavi Rose, kata
Minangkabau diambil dari istilah pinang kabhu yang berarti
rumah asal, yang berarti tanah pegunungan dengan dataran
tinggi yang subur, membentang dari pantai Barat Sumatera
Tengah melintasi pegunungan Bukit Barisan. Tiga daerah inti
pemukiman atau luhak yang membentuk rumah asal- Agam,
Tanah Datar, dan Lima Puluh Kota. Satu sama lain terpisah oleh
pegunungan yang tinggi dan ngarai yang dalam yang terbagi
dalam dua adat berbeda yaitu koto-Piliang dan Bodi Caniago.
Menurut Taufik Abdulah dalam Poeze bahwa orang
Minangkabau menganggap tiga daerah yang disebut luhak sebagai
inti dari negerinya, yaitu: Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh
Koto. Orang Minangkabau yang menuruti tradisi pertama
menempati daerah-daerah pedalaman Sumatera Barat. Semakin
berkembangnya suku Minang membuat daerahnya semakin
meluas yang di luar ketiga luhak dan disebut rantau. Daerah
rantau ini menyusuri pantai Sumatera Barat dan Padang sebagai
pusat. Luhak maupun rantau-rantau tersebut termasuk
Masyarakat Minangkabau (Alam Minangkabau). 5
Menurut Dobbin sebagaimana dikutip oleh Rose bahwa suku
yang mengidentifikasi diri dengan tradisi Koto Piliang bermukim
di Luhak Tanah Datar dan Lima Puluh Kota. Secara politis
pemerintahan yang berlangsung adalah pemerintahan desa. Pintu
gerbang ke daerah Minangkabau adalah Padang. Dari sana jalan
pos raya dan sebuah rel kereta api masuk ke pedalaman. Alam
Minangkabau berupa pegunungan, dan jalan serta rel kereta api
setelah melalui Padang Panjang menuju Fort de Kock (Bukit
Tinggi)di ketinggian.
Tan Malaka dilahirkan di sebuah Lembah bernama Suliki di
desa Pandan Gadang. Negeri Pandan Gadang berada di lintasan
Koto Tinggi dan Manggani, masuk ke pedalaman Bukit Barisan
sejauh 35 km di bagian Barat Payakumbuh, 75 km dari
Bukittinggi dan 165 km dari Padang.6

4
Ibid. h. 63
5
Taufik Abdullah. Schools and Politics: the Kaum Muda Movement in West
Sumatera. USA: Itacha. 1974. sebagaimana dikutip Poeze. Op. Cit. Pergulatan.
h. 3
6
Zulhasril Nasir, Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau, Yogyakarta:
Ombak. h.6

17
Menurut Poeze, Tan Malaka pernah bercerita kepada rekan
seperjuangannya Djamaluddin Tamin tentang sejarah desa
Pandan Gadang. Pada awalnya leluhur Tan Malaka tinggal di
sebuah daerah bernama Kamal, karena tanah disana tak subur
sementara jumlah penduduk terus bertambah maka pada awal
abad kesembilan belas, keluarlah Datuk Tan Malaka bersama
kemenakannya mencari daerah lain untuk ditempati. Dalam
sebuah perjalanan Datuk Tan Malaka melihat sebuah lembah
dengan sebuah sumber mata air di bawah sebuah pohon pandan
yang besar (gadang). Maka Datuk Tan Malaka memutuskan
tinggal di lembah tersebut, dan memberi nama desa dengan
Pandan Gadang. Di bawah pimpinan Datuk Tan Malaka desa
tersebut semakin berkembang, dan kemudian beralih
7
kepemimpinan di bawah Datuk Mahurun Basa.
Peni Chalid menjelaskan Tiga Epistemologi Tan malaka (petani,
pedagang, pejuang) yang merupakan manifestasi dari tanah
lahirnya Minangkabau. Epistemologi Petani merupakan mayoritas
kehidupan yang dijalani masyarakat Indonesia. Dengan pola
hidup agraris, kecendrungan mistis akan ditemukan di
masyarakat, dengan ritual - ritual upacara menanam dan menuai.
Di masyarakat agraris kehidupan manusia sangat tergantung
pada dialektika alam.
Epistemologi Pedagang merupakan aktifitas yang cendrung
dilakukan oleh etnis tertentu, dalam hal ini, Suku Minang yang
merupakan suku Tan Malaka, lebih cendrung pada aktifitas
berdagang. Tipe pedagang, pola pikirnya lebih bersifat rasional
dan memakai pola transaksional dengan berbagai kepentingan.
Berbeda dengan tipe masyarakat agraris di masyarakat pedagang
unsur mistis tak menjadi hal yang terlalu diperhatikan dalam pola
kehidupan sehari-hari, tetetapi lebih realistis dan penuh
perhitungan. Sedangkan Epistemologi Pejuang, tipe ini
merupakan pola pikir ideologis dan visioner seseorang untuk
kepentingan bangsanya, berjuang demi keyakinan yang
dianggapnya kebenaran.
Menurut Peni Chalid Tan Malaka mengalami proses
pengembangan pemikiran terhadap masyarakat dengan transisi
epistemologi pedagang ke epistemologi pejuang (dari real-
materialistik ke kritis-revolusioner). Keyakinan Tan Malaka
tersebut termanifestasi dalam dua bukunya yang tergolong
sebagai filsafat, yaitu Pandangan Hidup, dan Madilog.

2. Pencak Silat

7
Joustra. Minangkabau, h. 83; encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid III,
h. 252 dalam Harry Poeze. Pergulatan... h. 10

18
Silat atau silek merupakan sebuah aktifitas yang hampir rata
dilakukan oleh anak-anak muda Minang. Silat bukan hanya
sekedar olahraga tetetapi juga melatih disiplin, solidaritas,
ketabahan yang merupakan karakter pendekar. Anak muda yang
akan merantau belum lengkap kalau belum belajar silat. Di
Minangkabau, hal yang biasa kalau di surau-surau tak hanya
belajar agama, tetetapi juga belajar silat. Kegiatan belajar silat
bersifat sukarela, tak ada patokan biaya.
Sudah menjadi tradisi, bahwa yang menjadi guru silat adalah
mereka yang sudah dianggap tinggi kepandaiannya. Menurut
Zulhasril untuk mengawasi kualitas latihan, maka sekalikali
pandeka tuo8 akan datang dari dalam nagari atau dari luar nagari
tetangga.9 Gerakan silat Minangkabau yang seperti menari
mengandung filosofi mikrokosmos dan makrokosmos. Bagi orang
Minang bahwa alam, binatang, tumbuhan dan fenomena alam
tunduk kepada hukum alam yang diatur oleh Tuhan. Bagi orang
yang mempelajari silat maka akan dapat memahami makna
kehidupan dengan kearifan dan strategi.10 Seorang peneliti
bernama Barendregt menjelaskan gerak silat tak hanya melatih
orang terhadap gerak fisik tetetapi juga gelagat pemikiran,
perkataan dapat dibaca, Tahu digarak jo garik, tahu diangin nan
bakisa. Artinya mengerti tentang gerak-gerik dan gelagat.
Selain kemampuan gerak fisik dan akal (strategi), pada tahap
tertentu yang biasanya disebut sakti, silat menggunakan tenaga
supranatural yang sufistik. Agama (Islam) tak terlepas dari silat.
Kesempurnaan ilmu silat seorang pendekar, nampak pada
perilaku sosial kemasyarakatannya yang tak mencari musuh,
terkenal dengan sloko musuah indak dicari, basuo pantang
dielakkan. Berlatih silat, bukan untuk gagah-gagahan mencari
musuh, namun ketika ada musuh adalah pantang untuk
dielakkan.
Silat menjadi bekal bagi kaum muda untuk merantau. Tan
Malaka sebelum merantau pada saat berumur 16 tahun dia
sudah berbekal ilmu agama dan silat. Jurus-jurus silat Tan
Malaka yang lama terpendam selama di Belanda, secara spontan
keluar ketika dia merasa diremehkan dan terancam. Peristiwa
keluarnya pusaka silat Tan Malaka ini terjadi ketika dia di
Belanda, lehernya dibelit sehingga dia tertekan dan sulit bernafas,
karena gerak yang terlatih pada masa kecilnya, dengan beberapa
jurus maka lawannya terpelanting, sehingga dia digelari si
harimau. Silek Harimau atau Silat Harimau, merupakan sebuah

8
Pendekar yang sudah terlatih dan tinggi ilmu silatnya
9
Zulhasril Nasir. Op. Cit. Gerakan .... h. 8
10
Strategi merupakan kemampuan bertindak berdasarkan akal (aka) atau
logika, dalam belajar silat akal lebih utama daripada kekuatan fisik

19
aliran silat padang yang terkenal, melihat budaya budaya
masyarakat Minang, ada kemungkinan Tan Malaka pernah
mempelajarinya. Tan Malaka mengisahkannya di buku dari
Penjara ke Penjara Entah bagaimana jalannya saya meloncat dan
dia terpelanting jatuh didinding. Semenjak itu di belakang saya dia
menggelari saya De tijger.11 De tijger yang dimaksud orang
Belanda yang terkena silek Minang itu adalah Tan Malaka Sang
Harimau. Sebuah gelar yang sangat berwibawa, dan membuat
kawan-kawannya menyegani dan menghormati Tan Malaka.

3. Pola Komunikasi Orang Minang

Orang Minang paling terkenal dengan retorikanya, sehingga tak


salah kalau ilmu tersebut banyak diterapkan dalam berdagang.
Diibaratkan kalau orang Minang yang pandai berdagang orang
bisa merasa berhutang, dalam artian menjadi sebuah kewajiban
baginya membeli atau memenuhinya karena telah terkena
pendekatan persuasif ala Minang tersebut. Orang Minang dalam
memecahkan sebuah persoalan diselesaikan secara musyawarah,
ketika terjadi dialog, permasalahan utama tak langsung
dilemparkan, tetetapi memulainya dengan berbagai sloko hingga
suasana terasa cair untuk menyelesaikan perkara berat sekalipun
sehingga menjadi terasa ringan.
Walaupun masyarakat Minang merupakan masyarakat yang
egaliter dan tak aristokratis, namun pola komunikasi Langgam
Empat adalah etika komunikasi berdasarkan umur, dan posisi
dalam masyarakat yang menjadi etika pergaula, jika tak dipakai
maka bisa dikatakan orang yang tak beradat. Kata menurun,
merupakan pola komunikasi ayah kepada anak, guru kepada
murid, dan mamak kepada kemenakan. Kata mendaki, pola
komunikasi anak kepada ayah, murid kepada guru, kemenakan
kepada mamak. Kata mendatar, merupakan pola komunikasi yang
seumur. Kata melereng, pola komunikasi dalam kendudukan yang
sama dan saling menyegani, pola komunikasi kata melereng ini
mungkin adalah tingkat komunikasi yang tertinggi, karena
merupakan hal tabu untuk berkata terus terang tetetapi
menyampaikannya dengan Bahasa sindiran, periBahasa, dengan
tata Bahasa yang rapi.12 Menurut Hamka dalam Zulhasril, secara
kelembagaan pola komunikasi orang Minang: kata raja
melimpahkan, kata penghulu bermufakat, kata nan tua
menyelesai, kata dubalang kata menderas, kata banyak kata
bagalau, kata perempuan kata merendah.

11
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara I. Jakarta: LPPM Tan Malaka. h.38
12
Navis dalam Zulhasril. Op. Cit. Gerakan h. 12

20
Tan Malaka sebagai perantau bisa jadi telah mempelajari
filosofi Minangkabau berikut: berkata di bawah-bawah,
manyauak di hilir-hilir, ranting orang dipatah, sumur orang digali,
adatnya diisi, Ibu cari sanak cari, induk semang cari
dahulu(berkata merendah-rendah, mengambil air di hilir,
mengambil ranting yang patah, membuat sumur untuk keperluan
bersama, adat diperkaya, Ibu cari sanak cari, induk semang cari
dahulu). Makna filosofi tersebut sangat dalam, sosok Tan Malaka
adalah manifestasi filosofi tersebut. Tan Malaka dalam pergaulan,
dan guru-gurunya sangat terkenal sopan santun dan tak
sombong, ketika berbicara tak merasa paling hebat. Soal
penghormatan kepada orang dirantau Tan Malaka sudah teruji
dari setiap negara yang pernah dikunjunginya dia selalu
mempelajari budaya dan karakter sebuah tempat yang
dikunjunginya sebelum menentukan dan melakukan sikap yang
pantas bagi mereka.
Mengambil ranting patah, bisa dipahami sebagai seorang
perantau jangan bersikap serakah, egois, dan tak menenggang
pada masyarakat yang telah lebih dulu hidup pada tempat yang
baru dipijaknya. Ketika mencari sumber penghidupan baginya
janganlah sampai mengusik sumber pendapatan orang lain,
lihatlah peluang apa yang bisa dilakukan untuk bisa
menghidupkan dirinya. Tan Malaka dalam perantauannya tak
pernah menganggu sumber kehidupan orang lain, bahkan watak
enterpreneurnya selalu muncul untuk bertahan hidup, dia selalu
melihat peluang apa yang bisa dijadikannya sumber
penghidupannya tetetapi juga bisa membantu orang lain.
Sumur orang digali, bisa dimaknai ketika seorang perantau
mendiami sebuah tempat barunya, sudah selayaknya dia
berpartisipasi mengembangkan daerah tersebut agar lebih baik
demi kepentingan bersama. Sedangkan makna adatnya diisi,
seorang perantau tetap memperhatikan dan menghormati adat
budaya dimana dia berpijak, orang Minang menurut Mochtar
Naim bukan tipe, eksklusif dimanapun mereka berada dapat
bergaul dan terbuka. Hal paling menonjol dari Tan Malaka adalah
Ibu cari sanak cari, induk semang cari dahulu, yang berarti di
perantauan carilah tempat berlindung dan yang bisa mengasihi
kita. Tan Malaka dimanapun dia berada hampir selalu ada orang
yang menganggapnya anak angkat, saudara angkat, bapak
angkat. Guru Horensma, Dr. Jansen, Snevliet dan istri adalah
beberapa orang Eropa yang menyayangi Tan Malaka, sehingga
mereka selalu siap sedia membantu Tan Malaka.

4. Egaliter

21
Sosok Tan Malaka yang egaliter, terbentuk dari budaya egaliter
masyarakat Minangkabau. Tak hanya prinsip egaliter, tetetapi
penerapan sosialisme, demokrasi dan hak manusia. Menurut
Zulhasril pada masa kekuasaan kerajaan Pagaruyung tak
mengenal apa yang dikatakan otoritarinisme dan sentralisasi
kekuasaan. Menurut Kartikawening, kerajaan dapat berkuasa
tetetapi tak mengatur setiap nagari.13 Nagari adalah sebuah unit
otonom dalam struktur politik masyarakat Minangkabau yang
mengatur dirinya sendiri yang dapat mengatur segalanya. 14 Nagari
ini menurut Zulhasril terdiri empat kelompok komunitas yang
disebut: kaum, suku, jorong dan payuang. Komunitas ini
terbangun berdasarkan nilai demokrasi dan nilai-nilai tanggung
jawab. Bentuk demokrasi yang dilakukan masyarakat
Minangkabau adalah pemerintahan yang diserahkan kepada
penghulu atau datuk-datuk pemangku adat, mereka memerintah
berlandaskan berdasarkan undang-undang yang berdasar
mufakat, prinsip ini berbunyi, anak kemenakan beraja kepada
penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, dan mufakat beraja
kepada alur yang patut. (anak kemenakan beraja kepada
penghulu, penghulu beraja kepada mufakat, dan mufakat beraja
kepada alur yang patut. 15
Penyelenggaraan pemerintahan nagari ini disebut tali tiga
sepilin sering juga disebut tungku tiga sajarangan. Tiga unsur
tersebut merupakan tiga unsur yang mempersatukan, mereka
adalah unsur adat, agama, cerdik cendikia. 16 Ketiga unsur yang
disebut beringin di tengah kampung tersebut mengadakan rapat
di balairung atau mesjid ketika memecahkan permasalahan
masyarakat. Pemimpin nagari dipilih berdasarkan mufakat
mereka.17 Tentang konsep mufakat ini Tan Malaka telah
menjadikannya dasar dalam konsep demokrasi, bagi Tan Malaka
bulat air dek pembuluh, bulat kata dek mufakat bahwa mufakat
harus jauh dari kekerasan dan paksaan yang menjadi dasar
perundingan adalah penjelasan logis menurut adat dan undang-
undang.18 mufakat beraja kepada alur dan patut

13
Dyah Kartikawening. Public in Space Dynamic in Minangkabau Rural Area
Indonesia. (Thesis) University of Cincinnati. 2006. dalam Zulhasril. Op. Cit.
Gerakan..h. 5
14
Ibid. h. 15
15
Indra Mulya bakti. Pemikiran Politik Tan Malaka. dalam DP. Asral. Op. Cit.
Apa, Siapa, dan.... h.156
16
Zulhasril. Op. Cit. h. Gerakanh.16
17
Seorang pemimpin dalam masyarakat Minangkabau filosofinya, orang yang
didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, artinya pemimpin tak
dikultus individu tetetapi harus merakyat, bukan menjadi kelas sendiri.
18
Tan Malaka. Pandangan Hidup.
http://www.marxists.org/indonesia/index.htm

22
Apabila dilihat penjelasan Zulhasril, dan Kartikawening
tersebut, dapat dipahami bahwa permasalahan egaliter,
demokrasi, sudah lebih dahulu diterapkan dan menjadi nilai-nilai
masyarakat Minangkabau. Nilai - nilai tersebut menyerap dalam
pribadi Tan Malaka, yang memang membentuk dia menjadi orang
yang menghargai kemanusiaan, demokrasi, dan memandang
bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama.
Adat sebagai pengatur kehidupan masyarakat, adat bersendi
syara, syarak bersendi kitbullah. Adat terbagi dua, adat yang tak
dapat diubah atau adat sebenar adat, dan adat yang dapat diubah
atau adat yang diadatkan atau adat teradat.19 Yang menjadi
kebiasaan masyarakat disebut adat istiadat, tingkah laku, mana
yang baik dan buruk dibiarkan. 20 Menurut Navis setelah Islam
masuk Alquran menjadi rujukan dalam adat inilah yang
dimaksud adat bersendi syara, syarak bersendi kitbullah.
Peraturan masalah adat tersebut terdapat dalam Undang-
undang nan Empat (undang-undang nagari, undang-undang isi
nagari, undang-undang luhak dan rantau, dan undang-undang
dua puluh).21 Perundangan adat ini mengatur hubungan individu
dan masyarakat, etika, filsafat, kesenian, pesta, keramaian,
pertanian, harta waris, keamanan, dan suku. Melihat tatanan
masyarakat yang rapi, budaya egaliter dan demokratis ini
menurut Zulhasril, pernah membuat Jenderal Van den Bosch
ingin menghancurkan kearifan lokal masyarakat Minangkabau
tersebut dengan cara menciptakan aristokrasi seperti kerajaan
Jawa, dengan mengeluarkan Plakat Panjang. 22 Tak hanya
dengan Plakat Panjang, Belanda juga menempuh jalur
pendidikan untuk Jawanisasi tanah Melayu, pada tahun 1919
pelajaran Bahasa Melayu dihapuskan, dan diganti dengan
pelajaran Bahasa dan adat Jawa yang disampaikan guru-guru
dari Jawa. Prinsip gotong royong merupakan nilai yang berlaku di
masyarakat Minangkabau, Tegak dikampung pagar kampung,
tinggal di alam pagarnya alam, melompatlah sama pata, menuruk
sama hilang.22

5. Merantau

19
Zulhasril. Op.Cit. Gerakan... h. 17
20
Ibid. h. 18
21
Ibid. h. 18
22
Plakat Panjang dikeluarkan tahun 1833, Jenderal Van den Bosch
memanfaatkan keturunan raja-raja Pagaruyung dan penghulu-penghulu luhak
agar memecah belah masyarakat. Zulhasril menulis, bukan tak mungkin
Perang Paderi adalah akibat politik aristokrasi yang diterapkan Belanda ke
masyarakat Minangkabau.
22
Tan Malaka. Pandangan Hidup. http://www.marxis.org/indonesia/index.htm

23
Merantau bisa dikatakan sebagai puncak dari pendidikan seorang
pemuda Minang. Seorang pemuda memang dilatih mandiri dalam
mengatasi permasalahan hidupnya, selama masih dikampung,
pemuda biasanya selalu tidur di surau sambil belajar berbagai
hal, mulai dari agama sampai silat. Setelah dirasakan cukup
bekal seorang pemuda, maka merantau adalah sebuah keharusan
bagi pemuda, apakah merantau menuntut ilmu maupun bekerja.
Merantau merupakan sebuah sikap, pemikiran, tindakan
meninggalkan kampung asal menuju ke sebuah tempat untuk
menyerap ilmu, maupun mencari kekayaan yang suatu saat akan
bermanfaat bagi daerah asalnya, maupun bangsanya. Perantauan
Tan Malaka dalam menyerap berbagai hal dan pengalam di negeri
orang telah memperkaya dan sebagai modalnya dalam
memperjuangkan bangsanya merdeka.
Merantau bukan semata-mata mencari uang dan harta namun
menuntut ilmu juga bisa dikatakan merantau. Merantau tak
hanya secara fisik, tetetapi merantau secara mental, misalnya
kaum cendikiawan juga bisa merantau. Alfian mengatakan bahwa
Tan Malaka merupakan perantau secara fisik dan mental.23
Merantau merupakan sebuah filsafat dialektika yang secara
tak sadar telah dialami oleh Tan Malaka. Dengan merantau
seorang perantau memiliki keyakinan ada sebuah kehidupan yang
lebih baik di sebuah tempat yang lain dengan membatalkan
kenyamanan dan tak manja terhadap kesuburan alam, dan
kedamaian kampung halaman.
Menurut Alfian, dengan merantau, mengundang perantau
untuk berpikir kritis dengan berusaha melihat dan merasakan
daerah lain sebagai pembanding kampung asal. Visi perantau ini
merupakan cara berpikir dialektis sehingga kontradiksi, dan
konflik dianggap hal biasa.24 Menurut Mrazek konsep rantau
membuat Tan Malaka terbuka menerima unsur-unsur luar atau
baru. Melalui merantau warga Minang dapat melihat dunia luar
yang begitu luas sehingga ketika dia pulang kampung dia akan
merasakan posisinya yang jelas dalam konteks kepulangannya.25

Rantau bagi Tan Malaka adalah antithesis yang berkonflik dengan


thesis (alam sebagai referensi asal), dan dari situ lahirlah synthesis-
hasil pemikiran atau idealisme baru- yang mendorong manusia

23
Alfian.Op. Cit. Kemelut Sejarah. h.140
24
Ibid. h. 140
25
Sejauh jauh bangau terbang akan turun juga ke rawa, pepatah ini sering
dipakai mengibaratkan perantau yang pergi kemanapun suatu saat akan
kembali ke asalnya kampung halaman. Namun apa yang terjadi pada
perantauan Tan Malaka, dia benar-benar merantau cina pergi merantau
dengan tak pernah sama sekali kembali ke kampung halaman

24
untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan
nasibnya........Madilog dimaksudkannya sebagai suatu cara
berpikir baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir
lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhyul yang
menyebabkan orang menyerah kepada alam. 26

Momen pertama Tan Malaka merantau adalah ketika dia


belajar di Kweekschool di Bukit Tinggi walaupun masih dalam
daerah Minangkabau. Tan Malaka dalam usia yang relatif muda
telah menjadi orang terpandang, dia adalah seorang
berpendidikan yang juga menyandang gelar Datuk yang
memimpin kaumnya. Merantau menuntut ilmu ke Bukit Tinggi
ternyata belum membuat dahaga Tan Malaka akan ilmu dan
pengetahuan belum terlepaskan. Tan Malaka yang masih
berumur 16 tahun, selanjutnya menuju Belanda merantau
menuntut ilmu. Siklus ketiga perantauan Tan Malaka adalah
masa pembuangan politiknya. Masa pembuangan selama 20
tahun pun dimanfaatkan oleh Tan Malaka untuk memperdalam
dan memantapkan tekad perjuangannya menuju Republik
Indonesia. Selama pembuangan tersebut Tan Malaka
memantapkan jati dirinya sebagai pemikir, pejuang, Guru
Bangsa, dan sebagai Idealis yang suatu saat akan kembali ke
negerinya dengan membawa semangat dan pemikiran baru bagi
masyarakatnya. Pada masa pulang dari pembuangan inilah Tan
Malaka berpikir dia akan total mencurahkan seluruh hidupnya
bagi kemerdekaan, tetetapi tak dengan langsung terjun melainkan
masuk dulu dengan merubah cara berpikir pribumi yaitu dengan
menulis Madilog.
Pola pikir Dialektika menurut Tan Malaka dapat dibagi empat,
yaitu: Tempo, Berkena-kenaan, berseluk beluk, Pertentangan, dan
Gerakan. Apabila dilihat dari Tempo, dialektika merupakan ilmu
berpikir berlainan dimana masa suatu benda tumbuh dan hilang,
hidup dan mati. Dipandang dari kena-mengena dan seluk beluk
suatu benda dengan benda lain, maka dialektika adalah ilmu
berpikir dalam hal kena mengena dalam hal seluk-beluk
(Varkettung und Zusammenhang). Sebagai ilmu pertentangan,
dialektika adalah kontradiksi - kontradiksi dan pembatalan dari
kebatalan (negation deer negation). Sedangkan dialektika dalam
artian gerakan yaitu mempelajari suatu benda dengan
memperhatikan pertentangannya, kena mengenanya serta seluk
beluknya, pergerakannya, dan tumbuh hilangnya.27

6. Masa Kecil di Ranah Minang


26
Alfian. Op. Cit. Kemelut... h.142
27
Tan Malaka. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Jakarta: LPPM Tan
Malaka. h. 128

25
Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka 28 memiliki pertalian
keluarga dengan dua pemimpin desa Pandan Gadang: Datuk Tan
Malaka dan Datuk Mahurun Basa. Tanggal kelahiran Tan Malaka
tak tercatatat pasti karena pada masa itu belum ada pencatatan
bagi penduduk Indonesia. Namun Harry Poeze menyampaikan
beberapa kemungkinan tahun kelahiran Tan Malaka, sebagai
berikut: 1893, 1894, 1895, 2 Juni 1896, 2 Juni 1897, dan 1899.
Poeze lebih cendrung memilih kelahiran Tan Malaka pada tahun
1894 dengan fakta bahwa pada tahun 1903 Tan Malaka
mengikuti pendidikan di sekolah rendah, maka menurut
kesimpulan Poeze dapat ditarik kesimpulan pada masa itu Tan
Malaka berumur lebih kurang enam tahun.
Sesuai adat masa itu, setiap anak yang dilahirkan akan diberi
nama kecil dengan nama Islam baru kemudian akan mendapat
nama atau gelar menurut adapt, maka Ibrahim adalah nama
Islam yang melekat pada Tan Malaka. Tan Malaka dalam bukunya
dari Penjara ke Penjara menjelaskan bahwa ia mempunyai adik
bernama Kamaruddin enam tahun lebih muda, dan tak memiliki
adik atau kakak perempuan.
Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam
yang taat, ayah dan ibu Tan Malaka sangat alim dan menjalankan
perintah agama Islam. Dalam Madilog Tan Malaka menulis
bagaimana ibunya ketika menjelang ajal, membaca Surat Yasin
berkali-kali karena ibunya hampir sebagian hafal Al-quran.
Sewaktu ibunya masih hidup, Tan Malaka sering diceritakan
tentang nabi-nabi, seperti kisah Adam dan Hawa, Nabi Yusuf, dan
Nabi Muhammad yang menurut penuturan Tan Malaka setiap
mendengar kisah nabi-nabi dari ibunya itu dia selalu menangis.
Ayah dan Ibu Tan Malaka yang sangat peduli terhadap akhlak
anaknya tak hanya menyekolahkan anaknya di Sekolah rakyat,
tetetapi juga menyuruhnya belajar ngaji di surau. Ayah Tan
Malaka adalah penganut tarekat. Menurut Tan Malaka ketika
masih kecil dia sudah bisa menafsirkan Al-quran dan sudah
dijadikan sebagai guru muda. Tan Malaka juga menguasai
Bahasa Arab,dia sangat mengagumi Bahasa Arab yang indah dan
mulia. Sampai di Belanda Tan Malaka tahan menghemat
pengeluaran untuk makan demi membeli buku Sejarah Dunia
karena di dalamnya terdapat sejarah Islam dan Arab.
Tan Malaka adalah seorang anak pemberani, nakal dan keras
kepala di masa kecilnya. Alam Minangkabau yang asri penuh
pemandangan alam; gunung bebukitan dan sungai, menjadi
guru bagi Tan Malaka untuk menempa mental dan fisiknya. Tan
28
Nama lengkap yang merupakan sekaligus gelar adat diperolehnya untuk
melanjutkan kepemimpinan adat

26
Malaka pernah hanyut dibawa arus Sungai Ombilin yang deras
karena berusaha menyebranginya dengan kawan-kawan. Pada
peristiwa hampir hanyut tersebut Tan Malaka beruntung
diselamatkan oleh kawannya.29 Tan Malaka kecil yang nakal
menerima didikan Ayah dan Ibunya yang keras. Pada peristiwa
hanyut menyeberangi Sungai Ombilin tersebut, hukuman
fisikpun diberikan kepada Ibrahim. Ketika sadar setelah terendam
di air, Tan Malaka bercerita, tiba-tiba ibunya dengan rotan
ditangan memberikan pukulan yang pedih untuk memberi
pelajaran. Ternyata ayahnya menganggap hukuman tersebut
belum cukup, sehingga menambahnya dengan memberikan
kekang kuda di mulut, dan menempatkan Tan Malaka di dipinggir
jalan disaksikan orang yang lewat, terutama anak-anak Engku
yang tak diperbolehkan bermain dengan anak desa seperti Tan
Malaka.30
Kenakalan Tan Malaka masih nampak ketika dia sekolah di
kweekschool di Fort de Kock. Guru yang sekaligus menjadi orang
tua angkatnya sangat menyadari kecerdasan Tan Malaka
tersebut, sehingga Horensma dan istrinya sering menasehati si
Ipie31 agar tak terlampau banyak bermain bola kaki dan bermain
musik, tetetapi harus fokus terhadap pelajarannya. Tentu saja
nasehat tersebut diabaikan Tan Malaka muda yang nakal.
Ketika Tan Malaka kecil melakukan kesalahan tak hanya Ayah
dan ibunya saja yang memberikan pelajaran kepadanya, tetetapi
Guru Gadang (Guru Kepala) juga mempunyai hak untuk ikut
campur dalam pendidikan anak-anak kampung. Hukuman dari
Guru Gadang pernah diterima Tan Malaka ketika menerima
hukuman kekang kuda di mulut yang diperolehnya dari sang
ayah. Ibu Tan Malaka mengatakan kepada ayahnya bahwa masih
ada otoritas yang lebih tinggi untuk menghukumnya, yaitu Guru
Gadang. Hukuman dari Guru Gadang yang sangat terkenal adalah
pilin pusat yang sangat ditakuti anak-anak.32
Atas pelajaran-pelajaran yang sering diberikan kepada Tan
Malaka, membuat Tan Malaka merasa diperlakukan tak adil, dan
bertanya-tanya mengapa selalu dia yang mendapat hukuman.
Sampai ketika Tan Malaka menulis buku Dari Penjara ke Penjara,
dia masih bertanya-tanya kenapa menjadi sasaran hukuman pilin
pusat tersebut.

29
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara, Jilid I, Cetakan II, Jakarta: LPPM Tan
Malaka. 2007. h. 21
30
Ibid. h. 21
31
Horensma dan istrinya memanggil Tan malaka dengan Ipe, sebuah
panggilan akrab dan menurut mereka mendekati namanya Ibrahim.
32
Ibid. h. 21

27
.....Sampai sekarang saya merasa heran, kenapa saya saja yang
menjadi sasaran pilin pusat itu. Satu kali lagi dilakukan di
belakang hari, karena saya hampir hanyut pula disebabkan
bermain menyelam-nyelam di bawah perahu yang sedang
menyeberang sungai Ombilin itu pula, dan membawa-bawa lagi
anak-anak para Engku. Lain kali karena main simbur air, artinya
bertanding menyimburi muka sampai salah satunya kalah.
Walaupun saya lihat sampai semua anak-anak lari, saya teruskan
juga menyimbur lawan saya. Akhirnya lawan inipun lari. Saya fikir
perjuangan sudah selesai, kemenangan akhir di pihak saya, dan
saya berhak penuh merasakan lezatnya kemenangan itu. Cuma
heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal. Ketika saya naik ke
tepi mau berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru
Gadang buat menjalankan hukuman pilinan pusat. Rupanya
anak-anak lain sudah melihat Guru Gadang itu di tepi sungai. Dan
saya asyik berjuang membelakangi Guru Gadang. Kalau di
belakang hari pula seterusnya saya yang dikatakan mengajak
anak-anak Engku melihat macan ditangkap digunung, maka saya
saja yang dikenai hukuman pilin pusat. Permainan perang
jeruk (barisan yang satu melempar yang lain dengan jeruk),
berakhir dengan perang batu antar anak sekolah dikampung
Tanjung Ampalu, dengan anak dari kampung Tanjung, maka yang
harus menjalani hukuman sebagai penjahat perang saya
juga......33

Ternyata nasib Tan Malaka kecil yang dianggap sebagai


provokator selalu disalahkan dan mendapat hukuman yang tak
adil baginya, juga dialami sampai akhir hidupnya yang selalu
dianggap sebagai pengacau besar dan memperoleh perilaku
yang tak adil. Masa kecil Tan Malaka di alam Minangkabau
dengan adat istiadatnya banyak mempengaruhi berbagai segi cara
berpikir dan bertindak Tan Malaka.34

B. Biografi Intelektual

1. Pendidikan Tan Malaka

Menurut Poeze sekolah untuk pendidikan rendah pada saat itu


belum banyak. Pemerintah kolonial membagi dua sekolah,
pertama sekolah pemerintah kelas satu, dimana anak didik
adalah golongan priyayi dan mereka dipersiapkan untuk
melanjutkan sekolah. Sedangkan golongan dua, adalah sekolah
pemerintah kelas dua yang merupakan pendidikan dasar yang
rudimenter saja. Sekolah kelas dua awalnya selama tiga tahun,

33
Ibid. h. 22
34
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 3

28
sejak tahun 1895 terbuka kemungkinan pendidikan selama
empat tahun.
Masyarakat Minangkabau sangat peduli terhadap pendidikan
anak mereka. Poeze mengatakan sekolah-sekolah yang ada
sempat kewalahan menghadapi besarnya keinginan untuk
sekolah, bahkan Minangkabau mencapai angka tertinggi
dibandingkan daerah lain di Indonesia. Tahun 1915 terdapat 65
sekolah di Sumatera Barat dengan jumlah murid 10.000, para
murid sekolah kelas dua harus membayar uang sekolah sebanyak
10 sampai 50 sen setiap bulan, namun tetap tergantung pada
pendapatan.35
Tahun 1903 sampai tahun 1908 Tan Malaka belajar di sekolah
kelas dua. Karena dia seorang yang pintar, maka gurunya
menganjurkan agar melanjutkan pelajarannya. Keluarga Tan
Malaka mendukung saran guru tersebut, sehingga Tan Malaka
melanjutkan sekolahnya di kweekschool (Sekolah Guru) di Fort de
kock (Bukittinggi). Pada masa itu kweekschool adalah satu-
satunya lembaga pendidikan lanjutan bagi pribumi di Sumatera.
Menurut Poeze, Tan Malaka menjadi murid kweekschool pada
tahun 1908.
Tahun 1908-1909 kweekschool memiliki 76 murid yang
mencakup seluruh Sumatera, untuk sekolah disini harus
melewati ujian. Tan Malaka merupakan salah seorang murid asal
Minangkabau yang diterima.36 Disekolah ini siswa memperoleh
bayaran f 19,- setiap bulan selain buku-buku, alat sekolah dan
asrama.
Waktu belajar yang padat harus ditempuh Tan Malaka selama
enam tahun. Selama enam hari masuk belajar jam 7.30 sampai
pukul 13, pada sore hari pukul 16 sampai pukul 17 murid kelas 6
harus memberi pelajaran di sekolah pribumi, dan pada malam
hari pukul 18.30 sampai pukul 20.30 murid menyelesaikan
pekerjaan rumah. Waktu berlibur diberikan setiap tahun selama
enam minggu.37
Bahasa pengantar yang dipakai adalah Bahasa Belanda, dan
tentunya Bahasa Belanda merupakan pelajaran terpenting.
Menurut Poeze, dari 35 jam belajar, 15 sampai 18 jam digunakan
untuk belajar Bahasa Belanda, namun Bahasa Melayu juga
dipelajari. Mata pelajaran yang lain adalah berhitung, ilmu ukur,
mengukur tanah, ilmu bumi, sejarah bumi, ilmu alam, ilmu
hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuhan, ilmu pendidikan,
menggambar, menulis dan menyanyi.38Melihat kurikulum yang

35
Ibid. h. 14
36
Ibid. h. 17
37
Ibid. h. 17
38
Ibid. h. 17

29
begitu padat ini, bukanlah hal gampang bagi Tan Malaka untuk
menyelesaikan studinya, pada masa itu sistem penilaian dan
kelulusan sangatlah ketat, menuntut Tan Malaka harus belajar
keras. Selain pelajaran yang padat dan berat, murid juga diatur
dengan berbagai peraturan ketat yang tak memberikan ruang
gerak bagi mereka untuk berbuat banyak hal.
Ketika Tan Malaka masuk sekolah guru, sekolah tersebut
terdapat empat staf dan guru bangsa Eropa, yaitu: B.J. Visscher
(Direktur), T. Kramer (Guru kedua), G.H. Horensma, dan C.F.
Ijspeert (Guru pembantu). Pada masa berikutnya ketika Tan
Malaka sekolah ke Haarlem, Guru Horensma adalah orang
Belanda yang berjasa dan banyak membantu Tan Malaka dalam
berbagai hal, memberikan pinjaman biaya sekolah adalah salah
satunya.
Selain peraturan dan disiplin yang begitu ketat di sekolah
tersebut, menurut Sakti Arga dalam Poeze, Tan Malaka
merupakan sosok yang sangat tertib, hormat dan ramah,
sehingga orang banyak yang mengenalnya. Tan Malaka
merupakan anak yang cerdas sehingga dia mendapat perhatian
khusus dari Guru Horensma dan istrinya yang menganggapnya
sebagai anak angkat.39 Walaupun Tan Malaka menguasai
pelajarannya, bukan berarti hari-harinya diisi hanya dengan
belajar, dia berbeda dengan kawan-kawan sekelasnya, Tan
Malaka tak membutuhkan begitu banyak waktu untuk menguasai
pelajaran, sehingga dia mempunyai kesempatan untuk bermain
bola, dan musik. Masa belajar di kweekschool ini sempat terhenti
karena Tan Malaka harus menerima gelar adat menjadi Ibrahim
Datuk Tan Malaka.
Tahun 1913 Tan Malaka terakhir mengikuti ujian teori, dan
mulai praktek di sekolah ekstern. Dengan bakat dan minatnya
yang luar biasa Tan Malaka telah menjadi inspirasi bagi anak-
anak didiknya. Melihat kesungguhan Tan Malaka dalam
pengajaran tersebut membuat Horensma ingin agar Tan Malaka
melanjutkan studinya di Belanda. Untuk mencari cara
pembiayaan pendidikan Tan Malaka tersebut, Horensma
mengajak Tan Malaka ke Suliki untuk menemui kawan baik
Horensma, W. Dominicus yang bekerja sebagai kontrolir. Menurut
Poeze atas prakarsa mereka maka didirikanlah sebuah yayasan
sebagai jaminan beberapa orang berjanji untuk menyetor
sebanyak f 30 setiap bulan untuk membiayai studinya. Anggota

39
Menurut Harry Poeze, Gerard Hendrik Horensma lahir tanggal 2 Mei 1873 di
Groningen, tahun 1904 ia pergi ke Hindia dan menikah dengan Mathilde Elzas
(1873-1946). Tahun 1915-1920 GH. Horensma menjabat Direktur di sekolah
guru Fort de Kock, selanjutnya menjadi adjunct-inspecteur di Jawa. GH.
Horensma meninggal di Brussel pada tahun 1945 tanpa memiliki anak.

30
yayasan tersebut terdiri dari para guru di sekolah guru, pegawai
negeri, dan sejumlah orang di Suliki. Setelah adanya jaminan
pada bulan Oktober bersama keluarga Horensma berangkat ke
Belanda dengan kapal Wills.40
Menurut Tan Malaka sebenarnya ia tak perlu melanjutkan
studi selama 2 tahun di Rijkskweekschool sampai Belanda hanya
untuk memperoleh hulp-acte. Akte pendidikannya di Kweekschool
Fort de Kock pada masa itu sudah merupakan pendidikan
tertinggi di Sumatera. Kweekschool sudah pendidikan tertinggi
untuk ukuran rakyat Sumatera yang berjumlah 10 juta, apalagi
kalau hanya diukur dengan daerah Minangkabau.
Tan Malaka tiba di Belanda pada tanggal 15-12-1913 sekaligus
diterima sebagai murid di Sekolah Guru Kepala di Kota Haarlem
dengan Keputusan Menteri tanggal 10 Januari 1914. 41 Setiba di
Belanda, tepatnya di Haarlem dijalan Jacobijnenstraat, Tan
Malaka tinggal di sebuah rumah keluarga buruh. Tan Malaka
menempati sebuah kamar loteng yang sempit dan gelap, tentunya
tetap dengan membayar sewa sebagai biaya hidup. Tetapi
menurutnya, sewa yang dibayarnya tak setimpal, karena dia terus
dibantu makanan dengan wanita tua tersebut, belum lagi
anaknya yang sebagai sorang juru tulis sering mendapat bantuan.
Di Belanda, pada bulan-bulan pertama menjalani masa berat,
namun keluarga Horensma tetap memberi bantuan. Sedangkan
lingkungan di sekolah guru Tan Malaka tak mengalami
diskriminasi, sebagaimana surat C. Wilkeshuis dikutip oleh Harry
Poeze. Tan Malaka merupakan warga Hindia yang menerima
perlakuan khusus karena rekomendasi dari orang-orang Eropa
berpengaruh.
Tan Malaka ditempatkan di kelas tahun belajar kedua, di
Haarlem Tan Malaka menampakkan minat luar biasa terhadap
pelajaran ilmu pasti yang membuat gurunya berpikir bahwa tak
mungkin orang Hindia menguasai ilmu pasti. Namun anggapan
bahwa Tan Malaka tak mampu dalam ilmu pasti dipatahkan
setelah melihat bagaimana Tan Malaka menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ilmu pasti, bahkan dengan caranya
sendiri. Namun Tan Malaka terlihat lemah dalam pelajaran
Biologi, karena bersifat hafalan.
Mata pelajaran di Haarlem terasa jauh berbeda ketika sekolah
di Kweekschool di Fort De Kock. Tidak ada satupun pelajaran
yang sama, Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Bumi, Pedagogi,
Menggambar, Ilmu Ukur (meetkunde), Sejarah Tanah Air, Aljabar,
Stereometri (Ilmu Ukur Ruang), Trigonometri, dan Mekanika.
Walupun Bahasa Belanda terasa sulit bagi Tan Malaka, namun
40
Poeze. Op.Cit. Pergulatan h. 24
41
Ibid. h. 15

31
pengakuan C. Wilkeshuis Bahasa Belanda Tan Malaka cukup
bagus hanya permasalahan logat khas Tan Malaka saja, namun
itu bukanlah masalah.
Tidak hanya dalam kondisi kesulitan keuangan tetetapi juga
dalam kondisi sakit terus menerus Tan Malaka berjuang keras
untuk menyelesaikan studinya, sehingga kondisi buruk
kesehatan Tan Malaka berdampak pada nilai-nilainya. Van der
Ley menulis bahwa sejak 1 septmeber 1915 sampai ujian
diselenggarakan Tan Malaka sama sekali tak bisa belajar.
Teman Tan Malaka (P. De Koning) menulis bahwa ketika ujian,
guru yang merupakan ujian negara yang diselenggarakan pada
tanggal 23 Mei 1916 kondisi Tan Malaka sangat buruk. Sehingga
menimbulkan kekhawatiran beberapa penguji dengan
menanyakan apakan Tan Malaka telah belajar dengan baik, dan
dia menjawab Tan Malaka sangat belajar dengan baik hanya saja
dia sudah sakit beberapa lama sehingga tak bisa berjalan kaki ke
gedung ujian.42
Ketika berpamitan dari sekolahnya, Tan Malaka memperoleh
sebuah surat keterangan yang berisi sebagai berikut.
Kelakuan : Baik Sekali
Pengetahuan : Baik
Kemajuan pada Umumnya : Baik43

2. Gagal Meraih Akta Kepala

Cita-cita Tan Malaka untuk memperoleh ijazah Akta Kepala harus


kandas, karena setelah beberapa kali mengikuti ujian, dia selalu
gagal. Selesai soal ujian yang terasa berat juga subjektifitas
penguji mempengaruhi. Dari 15 orang yang mengikuti tes hanya
enam orang yang lulus. Tan Malaka menyimpulkan dengan nada
satiris bahwa orang dapat lulus Akta Kepala, apabila: (a) Betul-
betul mempelajari cara mengikuti ujian; (b) Penguji dengan
pertanyaan-pertanyaan tanpa henti-hentinya itu tak mau
menggagalkan seorang calon; (c) Orang bernasib baik.42 Tulisan
satir Tan Malaka tentang kegagalannya: Tak mudah bagiku!
Betul, orang harus menjadi Ubermesch (manusia super) Hindia,
untuk dapat mengambil khususnya akta kepala. Dalam inkarnasi
yang berikut kuharap akan memilih lapangan kerja yang lain. 43

42
Ibid. h. 48
43
Ibid. h. 48
42
Surat Tan Malaka kepada Horensma, Bussum, 19 September 191, dalam
Poeze. Pergulatan Menuju Republik. h. 88
43
Surat Tan Malaka kepada D.J.L. Van Wijngaarden, Bussum, 25/6-1919,
dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan.....h.103

32
Tan Malaka kurang mendapat angka baik pada tiga mata
pelajaran: Menggambar, Membaca, dan Pengetahuan Alam. Pada
mata pelajaran Membaca, Tan Malaka merasa kesulitan
menjawab soal sastra Yahudi berjudul Lucifer karya Vondel, yang
terasa sulit baginya adalah ketika harus memecahkan kalimat
menurut beberapa dasar karena berkaitan dengan adat istiadat
dan agama Yahudi. Pada mata pelajaran Pengetahuan Alam, Tan
Malaka gagal lebih karena subjektifitas penguji yang tak mau
memberikan angka yang terlampau jauh dari angka yang
diperoleh Tan Malaka sebelumnya, yaitu 3, maka diberilah angka
4. padahal Tan Malaka sangat menguasai Ilmu Kimia yang
diujikan.
Tan Malaka sangat kecewa akan kegagalannya memperoleh
Akta Kepala. Hal ini hal wajar, karena waktu tiga tahun bukanlah
waktu sebentar dan menghabiskan banyak biaya. Tan Malaka
menyesalinya seandai saja dia mempelajari hal lain yang akan
lebih bermanfaat, daripada hanya kegagalan demi selembar ijazah
Akta Kepala.
Ketika menjadi guru di Deli, perlahan Tan Malaka bersentuhan
dan bergelut dalam dunia politik. Selain bertugas sebagai guru,
Tan Malaka sangat aktif menulis permasalahan sosial politik.
Ditengah-tengah kesibukan ini Tan Malaka ternyata masih
memiliki keinginan untuk mengambil Akta Kepala di Batavia,
sehingga dalam suratnya dia ingin belajar lagi, dibantu oleh J.de
Waard Tan Malaka belajar Sejarah dan Ekonomi dengan harapan
ia akan menjadi guru di Jawa. Keputusan Tan Malaka untuk ke
Jawa ini menjadi diskusi antara Horensma dan Dr. Jansen, untuk
mencari guru pengganti Tan Malaka. Guru-guru pengganti
tersebut mendapat arahan terlebih dahulu dari Tan Malaka.

3. Tan Malaka dan Buku

Semangat belajar Tan Malaka selayaknya menjadi inspirasi bagi


para pembelajar. Tan Malaka sangat mencintai Bahasa asing,
kecerdasannya dalam belajar Bahasa dapat dilihat ketika tahun
1922 dia harus berbicara di depan kongres Komintern dalam
Bahasa Jerman. Bahasa Jerman tersebut dipelajarinya hanya
dalam waktu 3 bulan. Bahasa Inggris juga menjadi lahapan Tan
Malaka walaupun dalam masa pelariannya di tengah-tengah
masyarakat Tionghoa, dan dalam kondisi sakit, dan tekanan
sosial dia menghabiskan waktu dengan membaca buku sebanyak-
banyaknya.
Tan Malaka merupakan seorang yang sangat tergila-gila pada
ilmu pengetahuan, sehingga dalam pelarian politiknya tak pernah

33
dia lupa membawa berpeti-peti buku.44 Dalam Madilog Tan
Malaka menceritakan kebiasaan dua tokoh: Leon Trotzky dan
Mohammad Hatta yang membawa berpeti-peti buku ke
pembuanganya. Buku adalah hal terpenting bagi seseorang yang
merasa pemikirannya harus disebarkan.
Bagi Tan Malaka seseorang yang hidup dengan pemikiran yang
harus disebarkan baik melalui pena maupun penyampaian lisan,
kepustakaan merupakan sebuah hal yang wajib. Tan Malaka
mengibaratkannya dengan tukang yang tak akan bisa
membangun apabila tak memiliki semen, batu dan bahan-bahan
lainnya. Menjalankan peran sebagai propagandis dia harus
membuat catatan-catatan yang dianggapnya bisa menaklukkan
musuh dan merebut permufakatan.45
Pada tanggal 22 Maret 1922 adalah pembuangan pertama yang
dialami Tan Malaka, dia tak mau menyia nyiakan waktu hanya
dalam kesunyian pembuangan. Dia membawa buku dengan
beragam tema, mulai dari buku Agama, Alquran, Bibel,
Budhisme, Confusialisme, Darwinisme, Ekonomi Liberal,
Komunisme, Sejarah Dunia, Ilmu Perang, Ilmu Berhitung, sampai
Ilmu Mendidik. Melihat bacaan Tan Malaka tersebut maka tak
salah kiranya apabila Peni Chalid mengatakan Tan Malaka sulit
untuk didefinisikan sebagai seorang Sosiolog, Ekonom, atau ahli
Politik, karena secara spesifik Tan Malaka tak memperdalam ilmu
tertentu.46 Sosok Tan Malaka adalah seorang Universalis.
Namun buku-buku dan catatan Tan Malaka harus ditinggal di
Nederland ketika hendak pergi ke Moskow, karena harus melalui
Polandia yang anti Komunisme, untuk itulah dia harus bebas dari
segala hal yang membuat orang yang memeriksanya akan
membaca kecendrungan pemikirannya. Namun di Moskow selama
8 bulan kebiasaan membaca Tan Malaka agak berkurang, tetetapi
lebih banyak mencermati pelaksanaan Komunisme.
Di Moskow Tan Malaka lebih melihat aplikasi komunisme dan
mengamati sendi kehidupan Uni Soviet dari Pendidikan, Politik,
Ekonomi maupun Kebudayaan. Observasi itu juga ditambah Tan
Malaka dengan melakukan dialog-dialog dengan berbagai
golongan. Data dari pengamatan dan menyelami keadaan tersebut
Tan Malaka catat sebagai bahan untuk menulis buku. Selain

44
Namun kebiasaannya membawa berpeti-peti buku tersebut harus
dihilangkannya demi keselamatan dan kemudahan perjalanannya.
Pemeriksaan demi pemeriksaan membuat akan mengancam jiwanya apabila
ditemukan buku-buku yang dianggap menentang kolonial. Untuk mengatasi
itu, maka Tan Malaka menerapkan sebuah teori mengingat bacaan dengan apa
yang dinamakannya dengan jembatan keledai.
45
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 8
46
Peni Chalid. Op. Cit. Apa, Siapa, dan .h. 130

34
dengan kegiatan pengamatan tersebut dikarenakan ketatnya
aturan tentang sumber-sumber buku yang tak bisa dibawa. 47
Kegiatan membaca Tan Malaka selama di Tiongkok muncul
lagi (namun waktu membacanya sedikit dikarenakan sakit), dia
mulai mengumpulkan buku-buku Ekonomi, Politik, Sejarah,
Ilmu Pengetahuan, Sains, Sosialisme dan Komunisme. Berbelanja
buku bagi Tan Malaka adalah sebuah hiburan. Walaupun untuk
membeli buku dia harus mengencangkan ikat pinggang
menghemat biaya makan ditengah kondisi kesehatan yang
menurun. Namun buku-buku yang dibeli Tan Malaka tersebut tak
banyak terbaca karena tak lebih dari satu jam waktunya untuk
membaca, karena lemah kondisi fisik. Untuk bisa membaca
tumpukan buku-buku tersebut Tan Malaka harus menunggu
pulih fisiknya.48
Peristiwa yang menyedihkan Tan Malaka mengenai buku-
bukunya adalah ketika dia dan buku-bukunya terkepung pada
Perang Jepang-Tiongkok di sebuah jalan bernama North Su Chuan
Road . Setelah selama dua hari terkepung, akhirnya Jepang
memberi kesempatan kepada warga kampung dimana Tan Malaka
terkepung untuk pergi hanya dalam waktu lima menit. Tentunya
waktu yang sangat singkat tersebut, Tan Malaka tak sempat
membawa buku-buku yang menemaninya. Namun ketika perang
selesai Tan Malaka kembali lagi ke rumah dimana buku-bukunya
ditinggalkan, naasnya tak selembar kertaspun lagi yang tersisa
karena telah diambil oleh lalilong (pencuri). Begitu menarik cerita
Tan Malaka tentang kecintaannya kepada buku. Ternyata
peristiwa tersebut tak membuat Tan Malaka menyerah dalam
mengumpulkan buku-buku. Baginya selama masih ada toko
buku, maka perpustakaannya masih bisa dibuat kembali,
walaupun harus dengan mengurangi makanan dan pakaian.
Peristiwa lain yang membuat Tan Malaka harus berpisah
dengan pustakanya adalah ketika dia ditangkap di Hongkong
pada 10 November 1932. disini dia sebenarnya sudah memiliki
satu peti buku, tetetapi dia harus meninggalkannya agar dapat
melarikan diri dan dengan menyamar dia masuk ke Amoy selama
empat tahun, disana dia beristirahat sambil berobat. Di Amoy
tahun 1936 sampat 1937 Tan Malaka mulai kembali
mengumpulkan buku. Namun hal yang paling menyakitkannya
adalah catatan observasinya yang harus dibuang ke laut, demi
keamanan. ......malah dua tiga buku peringatan yang penting
sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah:
catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis,
saya lemparkan ke laut Merqui, sebelum sampai di Rangoon.
47
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 8
48
Ibid. h. 9

35
Putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan
duka cita sekali.......
Namun keputusan membuang catatan observasi tersebut tak
salah diambil oleh Tan Malaka, karena di Rangoon pemeriksaan
ketat sekali. Tan Malaka hanya menyisakan sebuah kamus
English Dictionary, itupun tetap mendapat pemeriksaan yang
ketat, sampai kulit-kulit bukupun diperiksa. Demikian
berbahayanya sebuah buku bagi sebuah rezim.
Di Singapura kondisi kesehatan Tan Malaka mulai membaik
dan siap untuk fokus kembali belajar, tetapi sayangnya kondisi
keuanganya tak memungkinkan dia untuk membeli sejumlah
buku. Sulit baginya untuk mencari uang tambahan, termasuk
menjadi pengajar Bahasa Inggris, karena sulit memperoleh izin
dari inspektur. Dalam kondisi uang untuk makan dan pakaian
yang sulit Tan Malaka pun tak bisa mendaftar sebagai anggota di
perpustakaan karena mahalnya biaya anggota. Untuk mengobati
kehausannya akan membaca, Tan Malaka hanya membaca surat
kabar, dan pengamatan langsung. Namun usaha menutupi
ketakbisaan membaca ini membuahkan hasil beberapa buku.
Dalam perkembangannya Tan Malaka menjadi pengajar
Bahasa Inggris dan Matematika di Nanyang Chinese Normal
School. Maka aktifitas mengumpulkan referensi mulai
dilakukannya. Pihak Raffles Library pun memperbolehkanya
membaca referensi untuk menulis buku. Buku yang paling sering
dibaca Tan Malaka adalah Das Capital karya Karl Marx. Tetetapi
ada saja halangan bagi Tan Malaka untuk belajar, disaat itu
Jepang terus memborbardir Singapura, yang membuat Tan
Malaka harus membaca Das Capital di dalam lubang
perlindungan. Namun akhirnya Singapura menyerah, seluruh
penduduk menyerah dalam halauan pedang terhunus, untungnya
pembantaian yang direncanakan tak jadi dilaksanakan.
Kondisi kritis seperti itu, Tan Malaka masih sempat
memikirkan buku Das Capital yang harus diselamatkannya, maka
disembunyikannya ke dalam air terjemahan Bahasa Inggris Das
Capital yang dipinjam dari Raffles Library di Singapura. Peristiwa
ini terjadi di Upper Serangoon Road di depan rumah Tuan Kin
Can.
Masih mengenai perjalanan Tan Malaka dan buku, setelah dua
minggu Singapura menyerah, Tan Malaka mencoba menyebrang
ke Sumatera, namun gagal karena angin sakal. Maka Tan Malaka
menempuh jalan Penang-Medan, selama dua bulan di jalan
antara Singapura dan Jakarta, melalui Semenanjung Malaka,
Penang, Selat Malaka, Medan, Padang, Lampung, Selat Sunda
dan Jakarta. Dalam perjalanan tersebut Tan Malaka masih
menyempatkan diri berburu buku. Buku-buku yang diburu Tan

36
Malaka mengenai Sejarah Indonesia yang ditulis oleh penulis
Indonesia. uniknya Tan Malaka harus menyembunyikan baik-
baik buku sejarah tersebut, karena terdapat fotonya sendiri.
Kesadaran politik dan pembebasan Tan Malaka, tak bisa
dilepaskan dari buku-buku yang dipelajarinya. Sebelum dia sadar
akan politik, ketika dia berangkat ke Belanda, Guru Horensma
memberi dia sebuah buku berjudul de Fransche Revolutie yang
dikarang oleh Th. Carlyle. Awalnya buku tersebut hanya masuk
peti, namun setelah banyak bersentuhan dengan pemikiran kiri,
pelan-pelan Tan Malaka mulai tertarik tentang Liberte, Egalite,
Fraternite, sehingga baginya buku pemberian Horensma ini
menjadi teman dalam pencariannya.
Tan Malaka juga seorang penikmat sastra, selama di Belanda
dia membaca literatur-literatur Belanda. Menurut Nyonya
Koopmans dimana dia pernah tinggal di rumahnya mengatakan
bahwa Tan Malaka sering membaca karya sastra Belanda sampai
mukanya menjadi hijau mengenai Constantijn Huygens (1596-
1687), Frederick van Eeden (1860-1932), Louis Couperus (1863-
1923), P. Van Limbung Brouwer (1795-1847), P.A.S. van Limburg
Brouwer (1829-1873), Nyonya A. Bosboom Toussaint (1812-1866),
Jacob van Lennep (1802-1868), Hendrick J. Schimmel (1923-
1906), dan Multatuli (Douwes Dekker) (1820-1887).49 Tan Malaka
belajar atau membaca buku dari pagi sampai malam, satu-
satunya pelepas lelah Tan Malaka adalah dengan memainkan
biola, tak ada waktu untuk bergaul dengan perempuan, baginya
waktu adalah belajar dan berjuang.
Kecintaan Tan Malaka terhadap buku juga nampak pada surat
menyuratnya dengan sahabat dan gurunya. Salah satunya, surat
Tan Malaka kepada Dick yang meminta dikirimkan buku
berjudul: Repetitie Atlas I Ned. En Indie dan II Europa en de
Werelddeelen karya J.B. Rodenburg. Tan Malaka tak dapat
menemukan dan memesan buku tersebut di toko buku. Buku
tersebut dipesan Tan Malaka dalam rangka persiapannya
menempuh ujian.
Karena kemampuan akademis Tan Malaka, dia mendapat
tugas dari Komintern untuk menulis buku tentang Indonesia.
mengenai bentuk dan isi buku tersebut Tan Malaka diberi
kebebasan oleh Komintern, sedangkan buku-buku dan data yang
diperlukan untuk proyek tersebut dipesan dari Belanda. Tan
Malaka memfokuskan waktu dan pemikirannya untuk menulis
buku tersebut, dia mengolah data statistik industri, pertanian,
penduduk, dan pemerintahan Indonesia. teori-teori dan
kesimpulan Tan Malaka tersebut menjadi sebuah buku yang
49
Surat Nyonya Koopmans kepada D. Van Wijngaarden, 30-8-1917 dalam Poeze. Iop.
Cit. Pergulatan. h. 65

37
berjudul Indonezija; ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemja Vostoke
(Indonesia dan tempatnya di Timur yang sedang Bangkit). Buku
ini pertama kali terbit tahun 1924 dan cetakan kedua tahun 1925
dicetak sebanyak 5000 eksemplar.50
Dalam buku Indonezija; ejo mesto na proboezjdajoesjtsjemja
Vostoke Tan Malaka mencoba memberi gambaran tentang kondisi
strategis Indonesia, juga membahas tentang iklim, penduduk
yang dibahas sebelum dan sesudah imperialisme masuk ke
Indonesia. tentang pendidikan, Tan Malaka membahas sistem
pendidikan sekolah SI. Pergerakan politik juga menjadi topik
dibuku ini, Tan Malaka membahas Budi Utomo, Partai Nasional
Indonesia.
Membaca buku, dan menulis buku ditengah perjuangan dan
permasalahan yang dihadapi Tan Malaka sungguh luar biasa.
Artikel-artikel yang dimuat di surat kabar juga ditulis Tan Malaka
untuk menyikapi permasalah yang dianggapnya aktual.
Setelah selesai tugas mebuat buku di Uni Soviet, Tan Malaka
ditugaskan ke Cina oleh Komintern untuk mengeluarkan surat
kabar, yang diberi nama oleh Tan Malaka dengan the Dawn.
Selama di Cina Tan Malaka mengalami shock culture mulai dari
makanan sampai masyarakat yang tertutup dan penuh curiga. Di
tengah kesengsaraan dan kesunyiannya itu Tan Malaka
mempelajari Bahasa Inggris dan menghabiskan waktu di kamar
untuk membaca buku-buku. Buku, kemanapaun dan kapanpun
tak pernah terlepas dari kehidupan Tan Malaka, baginya apabila
kehilangan waktu kesempatan membaca dan belajar itu adalah
sebuah kematian spiritual.

3. Tokoh yang Mempengaruhi

Hobi Tan Malaka membaca, dan haus akan ilmu pengetahuan


tentunya menjadi latar belakang bagi pemikiran dan aksinya. Bagi
Tan Malaka seorang revolusioner sejati haruslah selayaknya
ilmuwan dalam cabang ilmu pengetahuan apapun yang memiliki
pikiran terbuka. Prinsip keterbukaan dan rasa ingin tahu yang
tinggi, membuat Tan Malaka menyelami hampir seluruh tokoh
berpengaruh dalam segala bidang, bahkan agama. Dari sekian
banyak tokoh pemikir berikut: Friedrich Nietsche, Karl Marx,
Hegel, Engel menjadi inspirasinya melahirkan pemikiran-
pemikiran dalam konteks pendidikan maupun kemerdekaan
Indonesia.
Selama tinggal di Haarlem, yang kebetulan anak dari ibu
kosnya adalah seorang juru tulis di Amsterdam, yang bernama
Van der Mij. Dari Van der Mij yang diperolehnya dari Herman Van
50
Ibid. h. 331

38
der Mij.51 Tan Malaka membaca De Telegraaf sebuah surat kabar
Partai Sosial Demokrat Nederland. Buku-buku dan bahan bacaan
yang diperolehnya tersebut, menjadi obar semangat yang
menjadikan Tan Malaka seorang revolusioner. Tan Malaka mulai
kagum akan pemikiran Friedrich Nietsche, Tan Malaka mulai
membaca buku Nietsche yang berjudul Zoo sprak Zarathustra, De
Wil tot Matcht. Filsafat Nietsche tentang pembatalan nilai segala
nilai, dan Ubermensch, saking kagumnya terhadap pemikiran
Nietsche, Tan malaka pernah mencoba bergabung masuk tentara
Jerman. Namun hal itu batal, karena Jerman tak menerima
bangsa asing, dan tak membentuk Laskar Sukarela Asing.
Pemahaman Tan Malaka tentang konsep, Liberte, Egalite,
Fraternite, pada saat itu katanya belum sampai kepada konsep
dialektika materialsme. Pada saat itu Tan Malaka belum
menyadari pandangan kelas Borjuis dan kelas proletar disamping
penjajah dan bangsa terjajah. Pandangan dialektis Tan Malaka
muncul ketika revolusi komunis, pada masa inilah Tan Malaka
mulai mendalami buku yang berhubungan dengan Marx-Engels.
Tan Malaka sangat menikmati kontradiksi pemikiran para
filsuf yang dipelajarinya. Terutama perdebatan antara Marx,
Feurbach dan Hegel. Perdebatan yang amat dinikmati oleh Tan
Malaka dipetakan oleh Peni Chalid, sebagai berikut.

Subjek Hegel Marx


Ide Absolut pencipta Abstraksi gerakan
Dialektika Metafisika Hukum gerakan
Keadaan maju Dalam pikiran benda
Kemajuan ide Pikiran mengemudi Gerakan benda
kemajuan
Benda menentukan
pikir

Pertentangan pemikiran antara Hegel dan Marx tersebut


menurut Chalid, menampakkan kecendrungan Tan Malaka
memihak kepada pemikiran Marx, bahwa filsafat harus mengubah
dunia. Tan Malaka dengan terang mengatakan bahwa sebagian
51
Menurut keterangan Tan Malaka dalam buku Dari Penjara ke Penjara 1
Herman Van der Mij adalah teman kosnya yang berasal dari Belgia bekerja
pada suatu pabrik jam di kota Haarlem, dia meninggalkan Belgia karena
diserang Jerman. Herman sangat anti Kapitalisme dan merupakan seorang
radikal. Herman lah yang sering membawa De Telegraaf, brosur, atau tulian-
tulisan anti kapitalisme dan imperialisme setiap pulang kerja. Hal ini sangat
mempengaruhi pembentukan ideologi Tan Malaka.

39
besar isi Madilog berhubungan dengan pemikiran Marx, Engels,
Mehring, Plecanof, Russel, Jevons, Stuart, dan Lenin. 52 Tan
Malaka yang sudah menguasai pemikiran para filsuf tersebut
menulisnya tanpa ada bantuan buku melainkan dengan
pemahamannya saja.53
Tan Malaka mulai larut dalam siklus thesis-anti thesis-
sinthesis, pembatalan dan kebatalan pembatalan. Kelarutannya
ini ditulisnya dengan Bahasa puitis berikut: Demikianlah ombak
asyik dalam ribut taufan usia, dimana keadaan lahir mendorong
fikiran bergerak terus menerus, akhirnya laksana sungai di
gunung, terjun, tergenang, mengalir dan menerobos sampai
kekualanya di samudera. 54

Tan Malaka menyimpulkan filsafat yang dipelajarinya, Nietsche


sebagai thesis, Rosseau sebagai anti thesis, dan akhirnya Marx-
Engels sebagai sintesis. Dalam pemikiran politik Tan Malaka
menyimpulkan, Wilehlm-Hindenburg-Stines sebagai thesis,
Danton-Robespierre-Maarat sebagai anti thesis, dan Kaum
Boljewiki sebagai kebatalan pembatalan.
Dalam hal pendidikan ternyata Prof. Snock Hurgronye memiliki
pengaruh besar bagi arah pendidikan dan karir Tan Malaka.
Perjumpaan dan dialognya dengan Prof. Snock Hurgronye yang
pada masa itu sudah dikenal sebagai ethiesch, pecinta inlanders
dan ilmuwan mengenai Islam menjadi bahan pemikiran dan
perenungannya: Saya, kata maha guru ini, tak akan
memikirkan menjadi guru mengajarkan anak-anak Jerman,
walaupun saya lama tinggal di Jerman, dan berfikir cukup tahu
Bahasa Jerman.55
Percakapan sederhana ini, menyentak hati nurani Tan
Malaka, karena pada awalnya, keinginannya untuk melanjutkan
studi di Rijkweekschool adalah untuk mengajar anak-anak
Belanda, sesuai visi misi sekolah tersebut memang
mempersiapkan guru untuk mengajar anak-anak Belanda: Saya
tercengang mendengarkannya. Kemudian ditanyakan semenjak
umur berapa saya belajar Bahasa Belanda. Saya jawab, semenjak
kira-kira umur 13 tahun. Nah, katanya, dibawah umur 13
tahun, tuan tak bercampur gaul dengan anak-anak Belanda
dibawah umur 13 tahun, di sekolah rendah itu, dengan
mempergunakan kata-kata yang lazim dipakai oleh mereka?
52
Tan Malaka. Dari Penjara ke Penjara 2. Jakarta: LPPM Tan Malaka. h. 240
53
Berikutnya Tan Malaka mendapatkan perpustakaan di dekat Gambir-
Jakarta, di perpustakaan ini Tan Malaka menambah bahan bacaan untuk
memperkuat konsep Madilog
54
Ibid. h. 1
55
Sebagaimana dituliskan Tan Malaka dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara
I

40
Dialog singkat ini menjadi pergolakan pemikiran bagi Tan
Malaka, hingga ia menjadi sangsi akan arah pendidikannya, ia
merasa malu untuk mendapatkan hak sebagai guru anak-anak
Belanda yang tak seBahasa, dan tak sebangsa. Tan Malaka
hampir menukar haluan berpikirnya mengenai tujuan
pendidikannya di Belanda, namun nasehat Horensma tetap
menjadi pertimbangan baginya sebelum mereka berpisah di
Bukittinggi. Menurut Tan Malaka, Horensma sangat
menginginkan orang Indonesia mendapat pendidikan guru di
Belanda.
Niat Tan Malaka untuk menjadi guru kepala tersebut sangat
disadari oleh Tan Malaka, sangat sulit bagi dia mengEropakan
anak-anak Indonesia. Bukan berarti Tan Malaka tak peduli
terhadap tugas mendidik anak-anak Indonesia. tetap terbersit
bahwa pendidikannya cuma satu arah, yaitu bertentangan
dengan pemerintah kolonial, Bahasa Belanda bukanlah Bahasa
pengantar, dan kebudayaan Belanda bukanlah arah pendidikan
yang diterapkan di Indonesia.
Dalam keadaan kurang sehat secara fisik dan kondisi
keuangan yang sulit, Tan Malaka terus dalam pergolakan
pemikiran. Sehingga ia mendamaikan kondisi ini dengan filosofi
yang dianutnya, dialektika. Dimana jalan menuju perubahan dan
perbaikan sama sekali buntu, maka disana hati akan ditarik oleh
kodrat persamaan nasib dan ditolak oleh kodrat pertentangan-
pertentangan, kodrat positif dan kodrat negatif. Di sebuah
kediaman rakyat melarat yang ditinggalinya masa itu, Tan Malaka
terus dilanda pemikiran yang dikatakannya sebagai Thesis dan
Anti Thesis.
Tokoh pendidikan Suwardi Surjaningat yang lebih dikenal
sebagai Ki hajar Dewantara juga memberikan sumbangsih
terhadap pergerakan politik dan pendidikannya. Pada sebuah
pertemuan Tan Malaka dengan Ki hajar Dewantara, dia meminta
Tan Malaka mewakili partainya yang pernah amat revolusioner
Indische Vereeneging di Nederland. Menurut Tan Malaka
sebenarnya partai ini tak banyak memberikan pemandangan
ataupun pengalaman baginya, sehingga dia tak menjawab
permintaan Ki hajar Dewantara tersebut, kecuali hanya
memandang wajah Ki hajar Dewantara yang diiringi ucapan Dr.
Gunawan Mangunkusumo, sudah pada tempatnya, terima saja!
56

Walaupun agak sedikit terpaksa, namun inilah kesempatan


pertama bagi Tan Malaka untuk tampil, dia mewakili Indische
Vereeniging pada Kongres Pemuda Indonesia dan Pelajar
Indonlogie di Deventer. Dia diberi kesempatan memberikan
56
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 39

41
praedvis tentang pergerakan nasional Indonesia. Momen ini
diibaratkan Tan Malaka melempar batu ke dalam kandang ayam,
yang membuat gaduh pemerintah kolonial: Inilah pekik pertama,
yang seolah-olah satu batu dilemparkan ke kandang ayam. Dat
most niet mogge. Niet waar?57
Akibat penampilannya di kongres ini, membuat dia harus
melayani perdebatan dengan beberapa orang Belanda, salah
satunya adalah Fabius.58 Tan Malaka beberapa kali dipanggil ke
rumah Fabius untuk berdebat permasalahan-permasalahan
masyarakat, yang menjadi topik utama adalah pendidikan. Pada
tahun terakhir Tan Malaka di Belanda, pemikiran politik dan
komunismenya mulai matang, pada tahun 1919 Tan Malaka
banyak melakukan diskusi dengan Sneevliet 59 yang juga dihadiri
Hoogscarpel60, Dick Struik61, Tuynman62, Fenny Struyvenberg63,
Dr. Kwa, dan orang-orang Indonesia seperti Liem dan Dahlan
Abdoelah 64

4. Madilog

Madilog menurut Alfian seorang pakar ilmu politik dari


Universitas Indonesia, mengatakan Madilog merupakan hasil
pemikiran terbaik Tan Malaka, paling orisinal, berbobot dan
brilian. 65 Walaupun sebagian besar dari keyakinan teoritisnya
berasal dari Marxisme Leninisme namun apa yang ditulisnya
berdasarkan keyakinannya sendiri sehingga tulisan pemikirannya
tetap memiliki orisinalitas tersendiri. 66 Peni Chalid mengatakan
bahwa semangat berpikir yang melatar belakangi kehadiran

57
Ibid. h. 39
58
Fabius merupakan orang Belanda yang sangat sinis dengan kehadiran Tan
Malaka di Belanda terutama kali dia berkesempatan sekolah di rijkweekschool.
Berikutnya Fabius sering melakukan perdebatan berbagai hal termasuk
permasalahan pendidikan. Tangguhnya kemampuan Tan Malaka dalam
berdebat, membuat Fabius hilang akal, dan mencari-cari cara untuk
memulangkan Tan Malaka ke Indonesia dengan alasan hutang-hutang Tan
Malaka yang sudah terlampau banyak. Sehingga dia mengirim surat kepada
Guru Horensma, namun Horensma sangat marah atas surat yang dikirim
Fabius tersebut, menurut Horensma, dia sangat mengetahui karakter anak
didiknya, Tan Malaka
59
Wartawan kiri Wiessing, seorang tokoh komunis terkemuka di Belanda dan di
Indonesia
60
Guru sekolah menengah dan anggota komunis Tweede Kamer.
61
Dosen di Amerika Serikat.
62
Seorang arsitek.
63
Seorang dokter China
64
Pengurus Himpunan Hindia
65
Zulhasril Nasir. Op. Cit. Gerakan.... h.51
66
Franz Magnis Suseno Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme
dari Lenin sampai Tan Malaka, Jakarta: Gramedia. 2005. h. 205

42
Madilog dikarenakan semangat kuat anti penjajahan, anti
penghisapan imperialisme yang membara dari sosok Tan
Malaka.67 Karena itu Chalid menyebut epistemologi Madilog Tan
Malaka sebagai epistemologi perjuangan yang beralu pikir
progressif. Tentunya pengalaman empirik Tan Malaka selama di
Eropa telah mempengaruhi pemikirannya tentang sains yang
mendorong orang untuk berpikir kongkrit dan faktual. Madilog
ditulis Tan Malaka tanpa harus melihat referensi, melainkan
hanya berdasar ingatannya saja. Tan Malaka sangat memiliki
moral akademis yang tinggi, dalam menulis Madilog tersebut dia
meminta maaf karena tak dapat menulis referensi buku yang
melandasi pemikirannya, dikarenakan kondisi yang tak
memungkinkan baginya membawa buku-buku referensi
68
tersebut.
Buku Madilog ditulis Tan malaka di daerah Rawajati dekat
pabrik sepatu Kalibata, Cililitan, Jakarta. Dari 15 Juli 1942
sampai pertengahan 1943, dia menulis sambil mencermati
kondisi kota, kampung, dan Indonesia secara umum yang telah
20 tahun dia tinggalkan. Madilog ditulis Tan Malaka selama lebih
kurang 8 bulan.69 Tan Malaka adalah sosok yang tekun dalam
menulis, Madilog adalah salah satu karya besarnya.
Madilog ditulis Tan Malaka dalam kondisi pelarian politik, dan
kesulitan keuangan. Polisi kompetei Jepang terus mencurigai
keberadaannya dan mengadakan penggeledahan, tetapi
penyamaran Tan malaka tersebut tak diketahui. 60 Sedangkan
kondisi kesulitan keuangan yang dialaminya, Tan Malaka memilih
bekerja di daerah Banten di Tambang Arang Bayah dengan nama
samaran Ilyas Hussein. Perjalanan naskah Madilog ini cukup
panjang dan rumit, dan hampir saja hilang.
Madilog pernah ikut bersembunyi ke Bayah, Banten dan
mengantarkan romusha ke Jawa Tengah, dan juga mengalami
dinamika Proklamasi kemerdekan Indonesia. Madilog pernah ikut
tertangkap di Surabaya, karena bermunculan Tan Malaka palsu
yang sengaja dimunculkan sebagai propaganda untuk merusak
citra Tan Malaka. Madilog baru muncul tiga tahun setelah
lahirnya yang dikarang untuk membuat masyarakat agar
mengutamakan konsep berpikir ilmiah.

67
Peni Chalid. Op. Cit. Apa Siapa dan ....h. 129
68
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 12
69
Dalam buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan Malaka mengatakan bahwa dia
menghitung penyelesaian Madilog dikerjakan selama 720 jam
60
Pada saat penggeledahan Tan Malaka tidak sedang menulis, semua tulisan
yang bukan kutipan disimpan Tan malaka di tempat khusus sehingga yang
didapat oleh Asisten wedana adalah barang, buku, dan catatan yang boleh
dibaca semua orang.

43
Dalam pengantar Madilog tersebut ditulis Lembah Bengawan
Solo, 15 Maret 1946, dengan berbagai kondisi yang sulit,
ketangguhan intelektual Tan Malaka tetap teruji. Madilog
menurut Frans Magnis suseno adalah sebuah karya filsafat
pertama anak Indonesia, dan selayaknya Tan Malaka mendapat
predikat seorang filsuf. Walaupun pemikiran Tan Malaka banyak
dipengaruhi pemikir seperti Hegel, Engels, dan Marx, namun
orisinalitasnya tetap terjaga, karena Tan Malaka mengembangkan
pemikiran tersebut menjadi pemikirannya sendiri yang khas.
Namun Tan Malaka dengan jujur mengakui bahwa
pemikirannya di Madilog dipengaruhi banyak tokoh: Dengan ini
saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini
semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang
pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga
adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri
atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan
sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri. 61
Madilog adalah sebuah buku yang terpendam dalam pikiran
Tan Malaka dalam jangka waktu bertahun-tahun dan dalam
kondisi jiwa raga yang bergelora. Di Madilog Tan Malaka
menjelaskan seluk belak dan keterkaitan materialisme, dialektika,
dan logika. Menurut Tan Malaka, materialisme, dialektika, dan
logika memiliki lapangan dan tafsiran masing-masing.
Materialisme bisa ditafsirkan mekanis, dialektika Hegelianisme
sering dipakai sebagai alat untuk meluhurkan rohani dan
merohanikan keluhuran.
Sedangkan logika merupakan hasil dari kemajuan ilmu bukti
yang hasilnya mengunggulkan logika sebagai cara berpikir:
Madilog saya maksudkan terutama ialah cara berpikir. Bukanlah
satu Weltanscahuung, pemandangan dunia, walaupun cara
berpikir dan pemandangan dunia atau filsafat adalah seperti
tangga dengan rumah, yakni rapat sekali. Dari cara orang berpikir
itu kita dapat duga filsafatnya, kita dapat tahu dengan cara
dengan metode persoalan apa dia sampai ke filsafat itu. 62
Menurut Anhar Gonggong, Madilog menunjukkan bahwa Tan
Malaka adalah seorang pakar ilmu pengetahuan, dia mengajarkan
cara berpikir yang berlaku bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya. Madilog merupakan cara berpikir berdasarkan
materialisme yang menganggap mater sebagai premis bagi ilmu
pengetahuan, sehingga Tan Malaka membatasi Bahasanya
dengan tak masuk ke daerah kepercayaan.
Bagi Tan Malaka kebajikan spritual memang baik namun tak
memiliki dasar. Pemikiran pemisahan materialisme dan
61
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 12
62
Ibid. h. 18

44
spiritualisme ini sama dengan teori dikotomi yang dikemukakan
Emanuel Kant das Ding ansich, das Ding fuer mich. Menurut
Kant eksistensi dunia dapat dibagi dua, yaitu das Ding ansich,
yaitu dunia sana yang tak dapat dikaji dan disentuh manusia.
Sedangkan das Ding fuer mich adalah dunia sini alam materi
dimana manusia bebas memaknai dan memanfaatkannya.
Tan Malaka dalam suratnya kepada Dick menyatakan dengan
tegas bahwa dia adalah seorang Marxis yang memiliki latar
belakang idealistis. Menurut Peni Chalid pemikiran Tan Malaka
dapat dilihat beberapa kata kunci berikut:

Filosofi Dasar Bidang


Materialistik Objek formal
Dialektik Alur pikir
Logis Ukuran
Kausalitas Hubungan antar fakta
Empiris Observasi/ eksperimen

Menurut Franz Magnis suseno, nada menggurui Tan Malaka


sangat terasa di dalam penulisan Madilog. Hal ini mungkin
dikarenakan latar belakang pendidikanya sebagai guru, yang
ingin penjelasannya benar-benar dipahami oleh masyarakat,
seolah-olah Madilog murupakan semacam kuliah Ilmu Alamiah
Dasar yang mahasiswanya adalah masyarakat. Tan Malaka
dengan gamblang menjelaskan metode-metode ilmiah, seperti
sintesis, analisa, reductio absurdum, induksi, deduksi, verifikasi,
logika formal, teori asal usul kehidupan.
Materialisme yang dibahas dalam Madilog merupakan cara
berpikir realistis, pragmatis dan fleksibel. Dengan mempelajari
materialisme terutama dengan memusatkan perhatiannya apa
yang dekat dan memang menjadi permasalahan hidupnya maka
materialisme merupakan cara berpikir untuk memperbaiki,
merubah kehidupan dunia yang benar-benar dihadapinya dengan
realistis dan pragmatis.63 Sementara Franz Magnis suseno
menjelaskan bahwa materialisme Tan Malaka merupakan cara
memandang realitas secara nyata, dengan memakai ilmu
pengetahuan, dan bukan dengan kacamata mitos.64
Dialektika menurut Tan Malaka merupakan gerakan pikiran
rohani, ketika yang berbentuk saling terpisah oleh sendiri artinya
terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan
begitu maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya

63
Alfian. Op. Cit. Tan Malaka. h. 149
64
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayangh. 217

45
bersatu kembali.65 Tan Malaka mencoba menafsirkan
materialisme dialektik dengan sudut pandang kondisi indonesia.
1.Alam dan masyarakat Indonesia, dengan perantaraan bangsa
barat, ilmu teknik dan organisasi modern, sebelum Proklamasi
sudah membentuk sistem masyarakat produksi-distribusi, sosial-
politik yang ringkasnya boleh disebut sebagai masyarakat
kapitalisme-jajahan Belanda (tesis).
2.Dalam kandungan imperialisme Belanda itu, di antara yang lain-
lain, timbul dan tumbuhlah paham yang bertentangan dengan
paham masyarakat-kapitalisme-jajahan tersebut yang pada
hakekatnya bermaksud mendirikan satu masyarakat baru yang
memakai semua alat teknik dan ilmu Barat itu di dalam suatu
produksi berdasarkan tolong menolong dan distribusi berdasarkan
pada waktu yang memberikan keuntungan hati gajah sama
dilapah, hati tungau sama dicacah dan di waktu bahaya terlentang
sama minum air, terlungkup sama makan tanah, berdasarkan
kemerdekaan dan persamaan di antara manusia dan manusia
serta bangsa dan bangsa di dunia ini (anti-tesis).
3.Dengan proklamasi 17 Agustus, maka rakyat pemuda mulai
bertindak melaksanakan paham pembentukan alam dan
masyarakat baru tadi di bagian bumi kita ini.

Logika menurut Tan Malaka tak bisa terlepas dari dialektika.


Tan Malaka berbicara tentang logika merunutnya dari masa
lahirnya mistik ke filsafat dan kemudian terbagi dua ilmu alam
dan ilmu sosial, di bagian tersebut terdapat dialektika dan logika.
Pemikiran dialektis tak boleh terlepas dari logika, berpikir logis
akan menjawab pertanyaan dengan pasti. Dialektika dapat
menyelesaikan masalah dalam wilayah makro, untuk wilayah
mikro logika jalannya. Dengan logika maka mistika akan dapat
disingkirkan.
Melalui pola pikir materialisme, dialetika, dan logika, Tan
Malaka menentang keras cara berpikir dogmatis yang
menjerumuskan masyarakat ke dalam kebodohan dan
ketertindasan dan pola pikir dogmatis yang dianut Timur inilah
yang membuat Barat dapat menaklukkannya. Sementara Barat
dengan konsep dialektiknya, memberikan ruang bagi ilmu
pengetahuan untuk terus berkembang. Dengan konsep berpikir
dialektis, orang akan terus bersikap kritis dan lebih progress.

C. Kondisi Indonesia

1. Menentang Takhayul

65
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup. http://www.marxist.org/

46
Madilog merupakan himbauan seorang guru bangsa agar
rakyatnya keluar dari kegelapan irasionalitas dan masuk ke
dalam ruang rasionalitas modern. 66 Dalam Madilog Tan Malaka
menjelaskan bahwa sumber utama keterbelakangan bangsa
Indonesia adalah karena rakyat masih terkungkung dalam
penjara takhayul, dan logika mistika. 67 Kegundahan Tan Malaka
terhadap pola pikir masyarakat Timur, tak hanya ditulisnya
dalam Madilog, tetetapi juga ditulisnya dalam sebuah brosur
berjudul Parlemen atau Soviet. Di brosur ini Tan Malaka
menjelaskan bagaimana Barat menjadi masyarakat yang penting
dengan perkembangan teknologi dan otaknya, di Barat sudah
dibuat kapal terbang, kapal samudera, mesin-mesin, kereta api, ,
telepon,dan telegraf. Namun apa yang terjadi pada masyarakat
Timur? Yang ditemukan hanyalah masyarakat yang hanya sibuk
dengan urusan akhirat, adat isti adat, berbagai macam tahayul. 68
Ketika di belahan dunia lain sudah maju dalam teknologi dan
berpikir, pada masa Tan malaka di Indonesia masih diselimuti
kegelapan, dan dipenuhi dengan ilmu-ilmu gaib. Tan Malaka
sangat menentang pola pikir yang mengagungkan takhyul:
Tetetapi tuan mesti kupas masyarakat sekarang, dengan cara
berpikir yang berdasarkan benda, bukan roh, yang bertentangan,
bukan perdamaian, memakai undang berpikir yang bukan
fantastis, bertakhayul, sembarangan. Jelaskan pentingnya benda
buat kesehatan kecerdasan kebudayaan, kemerdekaan dan
kesenangan. 69
Tan Malaka memang keras sekali terhadap pemikiran mistis,
baginya tak perlu menceritakan ilmu kebatinan Timur. Ilmu
kebatinan berada di luar batas pikiran. Menurut Tan Malaka
bangsa Barat pada masa kegelapan sebenarnya sudah mengenal
kebatinan. Bagi Tan Malaka kebatinan tak bersandarkan kepada
kebenaran sedikitpun. Termasuk agama-agama yang masuk ke
Nusantara, menjadi kajian tersendiri bagi Tan Malaka. Bahkan
Tan Malaka mencapai pada sebuah kesimpulan yang keras
menyatakan bahwa paham mistis dalam ajaran-ajaran agama
adalah sebuah omong kosong dan penipuan. Tetapi kritik
kerasnya terhadap agama-agama tersebut, bukanlah berarti Tan
Malaka seorang Atheis. Kritik Tan Malaka terhadap agama-agama
tersebut, lebih cendrung mengkritik pribumi yang tak menggali
66
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayangh. 212
67
Guna menjelaskan apa yang dimaksud dengan logika mistis, Tan Malaka
mengambil contoh Mesir Kuno, dimana masyarakat tak menjelaskan apa yang
ada di dunia nyata sebagai sebab akibat dalam dunia nyata, mereka
menyerahkan semuanya kepada ruh-ruh yang berada di balik hal nyata
tersebut, yaitu dewa-dewa.
68
Tan Malaka. Parlemen atau Soviet. http://www.marxis/indonesia/index/htm
69
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 23

47
kebudayaan Indonesia sendiri, yang asli. Masyarakat kita selalu
memperoleh dari luar dan tak pernah mempunyai cita-cita
sendiri. Agama Hindu, Buddha, dan Islam adalah barang-barang
impor, bukan keluaran negeri sendiri 70 Pertanyaan Tan Malaka
adalah, yang mana budaya Indonesia itu?
Penduduk Jawa adalah kristalisasi dari bermacam-macam
agama ketuhanan dan agama dewa-dewa. Ia bukan animis,
bukan seorang Hindu, bukan seorang Buddha, bukan seorang
Kristen dan bukan seorang Islam yang sejati. Indonesia menurut
alam tetetapi Hindu-Arab pikirannya.71 Menurut Tan Malaka
Indonesia belum mempunyai jati diri yang murni, yakni Indonesia
100%.Riwayat Indonesia adalah riwayat Hindu, perasaan sebagai
kemegahan nasional jauh dari tempatnya, dan cita-cita akan
renaissance sama saja dengan membangunkan aristokratisme.72
Pada masa itu, menurut Tan malaka, bangsa Indonesia yang
sejati masih menjadi budak belian penurut, dan merupakan
sasaran kaum imperialis. Jati diri, kebudayaan bangsa Indonesia
yang sejati tak ada kecuali rakyat mempunyai niat membebaskan
bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka. Bangsa Indonesia
belum sejati, selain menjadi bangsa yang diperbudak.

2. Primitif di Nusantara
Kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak dalam budaya
primitif tak bisa dilepaskan dalam perkembangan pemikiran Tan
Malaka yang menginginkan sebuah tatanan masyarakat modern
yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Tan Malaka dalam bukunya Pandangan Hidup di
Indonesia masih dapat ditemukan masyarakat Indonesia primitif
yang hanya menggantungkan kehidupannya terhadap alam,
misalnya orang kubu di Jambi, Dayak di Kalimantan, dan di
Papua. Mereka belum mengerahkan otaknya memikirkan cocok
tanam, bertukang dan berdagang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya maupun memenuhi perlengkapan perlindungan
keselamatan mereka.
Kekayaan alam telah memanjakan masyarakat primitif
nusantara ini, buah-buahan yang beragam dan bermusim terus
bermunculan di hutan, binatang liar dengan mudah ditemukan,
ikan-ikan terdapat di sungai untuk menjamin hidup mereka, kulit
dan kayu cukup untuk menutupi tubuh mereka, dahan ranting,
pohon dapat mereka jadikan pondok sebagai tempat
perlindungan. Alam Indonesia yang kaya ternyata tak membuat
manusianya memutar otak membanting tulang bekerja keras
70
Tan Malaka. Aksi Massa.Yogyakarta: Narasi. 2008. h. 22
71
Ibid. h. 24
72
Ibid. h. 31

48
untuk lebih memperbaiki perlindungan diri, tetetapi keadaan
alam yang belum memaksa mereka masih dalam keadaan ilmu
pengetahuan seperti awal, tak ada perkembangan.
Tan Malaka mengemukakan kondisi masyarakat primitif yang
diamatinya saat itu bukanlah untuk bermaksud menghina tetapi
bukan dengan maksud memuji, Tan Malaka yakin bahwa
masyarakat primitif tersebut dalam kondisi seperti itu
dikarenakan perbedaan lingkungan dan disebabkan kodrat
pendorong. Mereka akan bisa seperti saudara mereka yang di
desa sebagai petani, buruh, dokter, pengacara apabila kondisi
alam jiwanya seperti mereka, perbedaan yang terjadi tersebut
bukan karena kesanggupan maupun sifat mereka sebagai
manusia.
Perbedaan alam tersebut ternyata membuat perbedaan
pandangan hidup (weltanschauung). Bagi mereka yang berada
dalam hutan belantara tersebut berpikir mencerminkan alam
luarnya kepada alam dalamnya bahwa tekanan kepada jiwanya
yang berada di alam luar, yakni yang berada di dalam hutan
rimba raya. Sehingga menurut Tan Malaka wajarlah kalau mereka
berpikiran sederhana bahwa pepohonan, binatang buas, batu dan
kayu dianggap bernyawa, dan inilah yang menyebabkan
munculnya animisme yang meyakini bahwa semua yang ada di
alam ini bernyawa. Mereka tak hanya memuja yang baik saja,
tetetapi juga yang jahat. Sehingga apa yang mereka anggap
berbahaya justru itulah yang akan mereka sembah. 73 Pada
masyarakat animisme ini mereka terus mengalami dialektika,
mencari apa yang paling mereka takuti untuk dipuja, misalnya
karena hidup mereka dari berburu, maka hantu pemburulah yang
dipuja, atau yang memberi kebaikan, misalnya pohon yang
dianggap menghidupi mereka juga dipuja sebagai maha dewa.
Tentang pembagian zaman, Tan Malaka membaginya dalam
tiga tahap berikut:
1. Zaman kuno. Dimana manusia masih mengandalkan
tangan dan tergantung kepada alam sebagai sumber
penghidupan.
2. Zaman Kemodalan. Eropa dan Amerika tahun 1789
melakukan sebuah revolusi industri, dimana manusia
sudah dibantu dengan mesin-mesin.
3. Zaman antara kapitalisme dan sosialisme. Rakyat sebagai
kekuatan dan sebagai buahnya adalah kekuasaan rakyat. 74

73
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup.http://www.marxis.org/indonesia/
74
Tan Malaka. Parlemen atau Soviet. http://www.marxis.org/indonesia/index/

49
Dari tiga pembagian zaman ini, sebagian Nusantara masih
banyak berada dalam tahap zaman kuno, dimana pola kehidupan
primitif masih berlangsung.

3. Raksasa Kolonialisme

Kolonialisme adalah faktor yang paling penting dalam membentuk


konsep pendidikan Tan Malaka dalam pemikiran maupun aksi
pendidikannya. Indonesia merupakan mata rantai kapitalisme
dunia.
Menurut Tan Malaka dalam buku Naar de Republiek Indonesia,
Imperialisme Belanda yang sempit dan terbelakang telah
membuat kondisi nasional dan sosial Indonesia yang kontras,
sehingga penjajahan di Indonesia tidak ada bandingannya di Asia.
Penjajahan di Mesir, Filiphina penjajah , masih memberi
kesempatan maju dengan memberi akses pendidikan. Di
Indonesia penduduk dilanda kemiskinan, kesengsaraan dan
kebodohan yang dipelihara pemerintah kolonial. Bidang ekonomi
pemerintah kolonial tak memberi kompromi kepada Indonesia
dengan tak adanya modal dari Indonesia, namun kompromi
politik yang didominasi kolonial dan tak berimbang membuat
Indonesia semakin terpuruk dalam kuku imperialisme.
Jika diibaratkan gedung maka Indonesia merupakan tiang-
tiang yang menopang negara-negara imperialis. Belanda dengan
politik etisnya tetap saja memainkan tongkat karet, pedang, dan
pistol di nusantara. Rakyat Indonesia berada dalam ancaman
perikemanusiaan, hak yang dituntut dijawab dengan tongkat dan
pistol. Rakyat dalam keyakinan bahwa pemerintahan imperialis
tidak dapat diharapkan setelah 300 tahun mengorbankan jiwa
rakyat dipelosok negeri. Pemerintah kolonial tidak akan
memberikan konsesi politik dan ekonomi bagi rakyat Indonesia
tetetapi terus melakukan kebiadaban.
Kolonialisme telah menciptakan abad-abad kelaparan,
penderitaan, perbudakan dan kepariaan bagi pribumi.
Kolonialisme juga membuat sendi-sendi kehidupan masyarakat
tak tentu arah, munculnya pasivitas kerohanian yang digantikan
oleh kepalsuan dan kegelapan. Kolonialisme telah menciptakan
rasa takut terhadap penyakit menular, pajak, polisi dan penjara.
Kolonialisme telah menghisap dan memperbudak kaum pribumi,
kolonialisme Belanda telah menindas bangsa Indonesia dalam
politik, ekonomi, budaya, dan hak-hak lainnya.
Analisa Tan Malaka dalam Semangat Muda, membedakan
kapitalisme Eropa dengan di Indonesia. Di Eropa kapitalisme yang
ada memang diciptakan untuk negeri sendiri. Sedangkan
kapitalisme yang berlangsung di nusantara lahir karena

50
kepentingan negara asing. Kalau di Eropa kapitalisme bersifat
organisch alamiah, di Indonesia yang terjadi adalah verkracht atau
diperkosa. Di Indonesia kolonial Belanda membunuh perusahaan
kecil denan membawa masuk produk mereka, hingga yang terjadi
adalah monopoli.
Dalam Semangat Muda, Tan Malaka mengatakan bahwa
Indonesia yang sangat kaya namun kaum pribumi tetap terbelit
kemiskinan. Sementara kaum modal mendapat untung berlipat
ganda, menari di atas penderitaan rakyat yang semakin melarat.
Keuntungan dari bumi Indonesia itu mengalir ke Eropa dalam
jumlah berjuta-juta ung setiap tahunnya untuk membuat bunga
modal.
Buruh di Indonesia sangat berbeda dengan buruh di Eropa, di
Indonesia kaum buruh tidak mempunyai skill industri mereka
hanya buruh tani berbeda dengan buruh di Eropa mereka adalah
buruh pertambangan, kereta, dan kapal. Perbedaan yang
mencolok sangat terasa, kaum proletar Eropa mereka memiliki
pertautan dengan nenek moyangnya di pabrik, di nusantara
kaum proletar memiliki pertautan saudara di desa. Kalau kaum
proletar memiliki sekil teknis dalam menggerakkan mesin
industri berdisiplin tinggi dan produktif, yang terjadi di nusantara
kaum proletar masih terperangkap dalam mistik dan hal-hal gaib.
Perbedaan ini semakin nyata menambah penderitaan kaum
pribumi proletar. Perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan
kualitas.
BAB 3
PEMIKIRAN DAN AKSI PENDIDIKAN

Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah


perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan
pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak
Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga
(Tan Malaka)

I. Pendidikan dan Ideologi

A. Berkarakter Kerakyatan

Tan Malaka sangat mencintai dunia pendidikan, karena dia


sangat menyadari bahwa untuk menjadi bangsa merdeka,
pendidikan adalah modal utama. Kecintaan Tan Malaka terhadap
pengajaran, digambarkan Poeze, dimana ketika Tan Malaka harus
menjalani praktek mengajar di sekolah ekstern dia menampakkan
bakat yang luar biasa dalam pedagogi, anak-anak sangat merasa
sedih ketika Tan malaka harus meninggalkan mereka. Ketika

51
mengajar mereka, Tan Malaka selalu meluangkan waktu untuk
melatih mereka baris berbaris yang sangat mereka sukai.
Bagi Tan Malaka untuk masa depan bangsa Indonesia yang
maju, harus dicapai melalui pendidikan. Karena pendidikan
merupakan perkakas membebaskan keterbelakangan dan
kebodohan kaum Murba, dan untuk itulah sekolah-sekolah harus
didirikan untuk rakyat. Pendidikan untuk rakyat Indonesia harus
berakar kepada budaya Indonesia yang terus digali dan
disampaikan dengan Bahasa Indonesia: Sudah barang tentu
pekerjaan mendidik anak-anak Indonesia tetap saya anggap salah
satu pekerjaan terpenting dimasa sekarang dan masa depan. Soal
kemana pendidikan itu mesti diarahkan, dasar apa yang mesti
dipakai serta cara apa yang mesti diikuti buat saya sendiri sudah
terang, tetapi bertentangan dengan yang dianut oleh Belanda
karena bagi saya Bahasa Belanda bukan merupakan Bahasa
pengantar dan kebudayaan Belanda bukan merupakan ciri dari
pendidikan kita.1

Tan Malaka sangat menyadari bahwa membaca adalah alat


pembangunan karakter bangsa: Janganlah segan belajar dan
membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan
menindas kamu. pandangan Tan Malaka bahwa dengan
pengetahuan kelak pribumi bisa merebut hak mereka yang
dirampas penjajah. Generasi muda harus bersusah payah dalam
menuntut ilmu, dalam kondisi yang bagaimanapun: Tuntutlah
pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga, dalam pekerjaanmu,
dalam bui ataupun buangan!. Ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah alat bagi manusia untuk berkuasa, dan sebagai peluru
melawan penindasan. Pribumi harus menyadari bahwa
kebodohan yang dipelihara penjajah agar semangat kemerdekaan
tak tumbuh di sanubari rakyat. Pendidikan akan menyelamatkan
kehidupan rakyat, melindungi negara karena itulah ilmu
pengetahuan harus terus dipupuk.2

Prinsip kerakyatan adalah landasan filosofis dalam praksis


pendidikan. Pendidikan tak dapat terpisah dalam mempelajari
hakekat realita yang merupakan pusat dari setiap konsep
pendidikan. Pentingnya hal tersebut mengingat program
pendidikan sekolah didasarkan atas fakta dan realita, bukan atas
keinginan menjadi kaum pemodal dengan proses pendidikan yang

1
Tan Malaka dalam Indra Mulya Bhakti, Pemikiran Politik Tan Malaka, Suatu
Penelusuran Awal. Artikel ini termasuk dalam buku Apa, siapa dan Bagaimana
Tan Malaka, Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2007. h. 159
2
Tan Malaka. Naar De Republiek Indonesia. http://www.marxis.org/indonesia

52
didasarkan kemodalan:Kekuasaan kaum modal berdiri atas
didikan yang berdasar kemodalan. Kekuasaan rakyat hanyalah
bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan.

Tiga tujuan pendidikan Tan Malaka yang menjadi dasar


perjuangan pendidikannya tak pernah terlepas dari prinsip
kerakyatan:

1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan


dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi,
Bahasa Belanda, Jawa, Melayu).
2. Memberi haknya murid-murid yakni kesukaan hidup,
dengan jalan pergaulan (verenigging).
3. Menunjukkan kewajiban kelak, terhadap berjuta-juta Kaum
Kromo.3

Pemikiran pembangunan bangsa melalui pendidikan telah


dipikirkan dan ingin dilaksanakan Tan Malaka dalam Tujuh
Minimum Program. Pendidikan yang harus dibangun menurut
Tan Malaka, yaitu:
1. Wajib belajar bagi anak-anak semua warga negara
Indonesia dengan cuma-cuma sampai umur 17 tahun
dengan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pengantar dan
Bahasa Inggris sebagai Bahasa asing yang terutama.
2. Menghapuskan sistem pelajaran sekarang dan
menyusun sistem yang langsung berdasarkan atas
kepentingan-kepentingan Indonesia yang sudah ada dan
yang akan dibangun.

3. Memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-


sekolah kejuruan, pertanian, dan perdagangan dan
memperbaiki dan memperbanyak jumlah sekolah-sekolah
bagi pegawai-pegawai tinggi di lapangan teknik dan
administrasi.3

Walaupun Tan Malaka seorang pembelajar Bahasa asing tetapi


dalam proses pembelajaran dia ingin rakyat tetap mengutamakan
Bahasa Indonesia sebelum menggunakan Bahasa Asing seperti
Bahasa Inggris. Pada masa tersebut tentulah pemakaian Bahasa
Indonesia adalah sebuah kemajuan dalam mempersatukan
bangsa. Sehingga Bahasa Indonesia dianggap hal terpenting bagi
Tan Malaka.

3
Tan Malaka. SI Semarang dan Onderwijs. http://www.marxis.org/indonesia
3
Tan Malaka. Naar de Republiek Indonesia. http://www.marxis.org/indonesia

53
Menghapuskan pembelajaran berbau feodalis merupakan
langkah revolusioner Tan Malaka untuk memutus
keterbelakangan dan mental kuli bagi pribumi. Jika masa
penjajahan mendidik pribumi hanya didasarkan kepentingan
imprealis sendiri, dalam artian setelah menyelesaikan pendidikan
mereka dipekerjakan sebagai pegawai rendahan saja. Tan Malaka
ingin pendidikan semestinya mendahulukan kearifan lokal, agar
msyarakat memperoleh bekal bagi penghidupannya. Olehkarena
itu pendidikan kejuruan seperti: pertanian, perdagangan, teknik,
dan administrasi harus dibenahi kualitasnya.

Pendidikan praxis Tan Malaka tersebut diwujudkannya di


sekolah Sarekat Islam. Sekolah SI berprinsip bahwa hawa (geest)
harus lebih sehat dan memiliki karakter ketimuran yang
membedakan dengan sekolah Eropa. Anak-anak didik dituntut
keras untuk mencari kepandaian membaca, menulis dan
berhitung sebagai modal penghidupan. Konsep Tan Malaka ini
sangat sederhana dalam konteks kekinian, tetapi tentu
merupakan hal luar biasa pada masa Tan Malaka merintis
sekolah SI.

B. Kaum Intelektual dan Kemerdekaan

Kaum intelektual menurut pandangan Tan Malaka, pada masa


itu jauh dari kehidupan dan penderitaan rakyat. Tak adanya
semangat pengorbanan dan pengabdian tersebut dikarenakan
kebingungan posisinya antara rakyat dan pemerintah sehingga
tak kuat berdiri sendiri. Hal tersebut diungkapkan Tan Malaka
dalam Aksi Massa berikut: Mereka tak mempunyai satu
kesaktian yang dapat memengaruhi dan dan menarik hati rakyat.
Kaum intelektual kita tak mendapatkan kepercayaan dan simpati
massa untuk menggerakkan mereka, membuat aksi-aksi, serta
memimpin mereka. Tambahan lagi, sebab jumlah kaum terpelajar
yang tak seberapa, mereka masih tinggal di dalam kelas mereka
dan belum menjadi buruh terpelajar. 4

Keterasingan kaum intelektual tersebut dapat berlangsung


sementara waktu saja, dikarenakan jumlah mereka yang masih
sedikit. Ketika jumlah mereka semakin banyak, layaknya kaum
buruh maka kaum intelektual akan mengalami nasib yang
serupa, kemelaratan. Kekecewaan terhadap kaum ientelektual
yang terasing dari kehidupan rakyat tersebut dikarenakan
exclusivisme Budi Utomo dan National Indische Party yang pada
masa itu dianggap Tan Malaka masih sangat lambat dan masih
4
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 10

54
berdiri jauh dari kehidupan rakyat serta keaktifan politik.
Permasalahan intelektualisme yang ibaratkan menara gading tak
akan banyak berdampak bagi rakyat, tetetapi butuh perbuatan
dan bukti-bukti, salah satunya adalah keaktifan dalam
pergerakan dan politik: Selama kaum terpelajar kita melihat
bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah akademi saja,
selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong
belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar
menceburkan diri ke dalam politik revolusioner yang aktif. 5

Pandangan Tan malaka, apabila kaum intelek tak terjun


dalam lautan revolusi, mereka tak akan terlepas dari penderitaan
pada masa berikutnya, dimana pemikiran dan tenaga mereka
akan dipakai oleh penjajah yang pada gilirannya mereka akan
dicampakkan layaknya kasta proletar intelek sebagaimana yang
terjadi di India, Inggris, dan Jepang. Kaum intelektual harus
tanggap terhadap gerakan perubahan, dimana barisan rakyat
sedang berderap bergemuruh merebut kemerdekaan, jangan
hanya tutup mata dan tak perduli terhadap keadaan.

Kaum intelektual tak bisa hanya menjadi penonton yang


berpangku tangan, sementara nantinya mereka juga yang akan
menikmati perjuangan kemerdekaan. Kaum intelektual harus
berbesar hati melepaskan baju intelektual yang dirasanya lebih
terhormat, dan ikut berkeringat bersama rakyat. Dengan terlibat
dalam badai revolusi, kaum intelektual akan dapat mengabdikan
moral dan intelektualitas mereka guna memperlancar revolusi,
disitulah mereka akan merasakan manisnya kerja sosial, akan
sangat berbeda apabila mereka menjadi kaum yang individualis,
dimana mereka akan terperangkap dalam kesunyian kapitalisme.
Dengan keterlibatan kaum intelektual yang membaur dalam
barisan rakyat yang datang dari berbagai penjuru, makin
kokohlah barisan perjuangan tersebut. Dengan keterlibatan
kaum intelektual maka itu akan menambah lebih baik dimana
ilmu pengetahuan digunakan untuk bangsa sendiri, bukan untuk
membantu raksasa imperialis memperkosa bumi pertiwi yang
hanya memperkaya pihak kolonialis. Dengan keterlibatan kaum
intelektual maka proses perwujudan kebangkitan ekonomi,
sosial, intelek dan kebudayaan akan semakin cepat

Kaum intelektual harus bergeliat dalam gelombang


pemogokan, pemboikotan, demonstrasi, maupun rapat nasional.
Poeze menyatakan bahwa Tan Malaka selalu tak pernah berhenti
menyeru kaum cendekiawan untuk terlibat aktif dalam
5
Ibid. h. 11

55
perjuangan kemerdekaan. Seperti yang ditulisnya dalam Naar de
Republiek Indonesia, 1925.

Sudah lewatlah abad-abad kelaparan dan kesengsaraan yang


menyempitkan nafas, abad perbudakan, dan kehidupan sebagai
Paria.

Sudah lewatlah abad-abad tanpa kepastian hukum dan kehidupan


tanpa hukum, abad-abad pikiran yang pasif, abad-abad kesesatan
dan kegagalan.

Sudah lewatlah perbudakan an pemerasan suatu rakyat oleh rakyat


lain dan pemerasan seorang manusia oleh manusia lain!

Tibalah masa yang sama sekali baru, yang di dalamnya obor


komunisme akan mengantar rakyat Indonesia yang muda ke tujuan
terakhir; kemerdekaan, kebudayaan, dan kebahagiaan semua rakyat
di bumi. 6

Bagi Tan Malaka, bahwa sebuah kesimpulan Indonesia


Merdeka dapat dilihat dari pernyataan Tan Malaka berikut: Siapa
yang percaya bahwa kemerdekaan bangsa dapat diperoleh dengan
perantaraan aksi-aksi parlemen, samalah dengan seseorang di
Gurun Sahara yang memburu fatamorgana. Tetetapi siapa yang
mempergunakan sekalian ilmu pengetahuannya untuk aksi
massa yang teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu
seumpama ayam pulang kekandangnya.7 Tan Malaka sangat
mempercayai bahwa ilmu pengetahuan akan dapat menggerakan
kekuatan rakyat, tentunya dengan totalitas kaum intelektual
untuk melebur dalam permasalahan masyarakat, tak hanya
disibukkan dengan berdiplomasi dengan posisi masih terjajah.
Sekolah yang menciptakan kaum intelektual, harus tak
terpisah terhadap cita-cita politik. Kaum terdidik dari berbagai
bidang keahlian harus terlibat menjadi tenaga memperjuangkan
kemerdekaan, karena mereka memang sudah benar-benar di
gembleng intelektual dan kemampuan organisasinya. Dalam
sebuah surat terbuka yang dimuat dalam De Tribune tertangal
Moskow 19 Agustus 1923, Tan Malaka menyampaikan
pemandangannya tentang mahasiswa dan cendikiawan Indonesia
yang masih terbelenggu dan terpisah tembok dengan kaum
proletar, hingga sedikit sekali kaum intelektual yang terlibat aktif
dalam gerakan komunis.8
6
Tan Malaka. Op. Cit. Naar de Republiek. http://www.marxis.org/indonesia
7
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 8
8
Tan Malaka. Een Open Brief, Tan Malaka aan de Indonesische studenten en
intellectueelen (Surat terbuka dari Tan Malaka kepada mahasiswa dan cendikiawan
Indonesia). De Tribune, 29-8- dan 31-8-1923, dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan....h.340

56
Bagi Tan Malaka kaum terpelajar Indonesia sangat berbeda
dengan di Inggris, dimana kaum intelektual secara sadar
bergabung dengan kaum proletar. Kaum cendikiawan belum
mengakui bahwa kekayaan dan kekuasaan ekonomi di dasarkan
atas kelas buruh. Seruan Tan Malaka kepada kaum intelektual
tak menjanjikan imbalan apa-apa kecuali hanya satu,
kemerdekaan bagi Indonesia. Tan Malaka yakin, perjuangan
bangsa-bangsa yang tertindas di Timur hanya akan berhasil
menggempur imperialisme dan borjuis apabila kaum buruh,
kaum tani dan cendikiawan kompak dalam sebuah partai
revolusioner.
Posisi kaum intelektual dalam pandangan Tan Malaka sangat
jelas, bahwa kaum intelektual yang baru tumbuh belum
mempunyai kasta tempat mereka berlindung, sehingga mereka
menjadi pasif. Kaum intelektual yang mendapatkan pendidikan
imperialis tersebut tak menyadari bahwa mereka harus bergelut,
dan menceburkan diri dalam kasta buruh tani, karena mayoritas
inilah yang akan merebut kemerdekaan
Sikap Tan Malaka sangat tegas, kemerdekaan harus direbut,
jangan pernah mengharapkan belas kasihan dan peri
kemanusiaan dari pihak penguasa kolonial. Rakyat harus belajar
bahwa mereka akan memberi peradaban kepada pribumi, rakyat
harus memperjuangkan kehidupan dan kesejahteraan mereka
sendiri. Kaum terpelajar harus bergabung memperkuat badai
revolusi, dan merasakan dahsyat perjuangan bersama rakyat.

Sudah lewatlah abad-abad kelaparan dan kesengsaraan yang


menyempitkan napas, abad perbudakan, dan kehidupan sebagai
paria. Sudah lewatlah abad-abad tanpa kepastian hukum dan
kehidupan tanpa hukum, abad-abad pikiran yang pasif, abad-abad
kesesatan dan kegagalan. Sudah lewatlah perbudakan dan
pemerasan suatu rakyat oleh rakyat lain dan pemerasan seorang
manusia oleh manusia lain! Tibalah masa yang sama sekali baru,
yang di dalamnya obor komunisme akan mengantar rakyat
Indonesia yang muda ke tujuan terakhir, kemerdekaan, kebudayaan,
dan kebahagiaan semua rakyat di bumi.9

Tan Malaka merupakan contoh seorang intelektual ideal yang


patut ditiru oleh kaum intelektual Indonesia. Tentang ini, seorang
Indonesia di Belanda bernama Haji Salekah menulis seruan yang
dimuat di De tribune tanggal 29 dan 31 Maret yang berjudul
Oost-Indische studenten in Holland mengajak seluruh elemen
pembebasan berbuat nyata di tengah-tengah rakyat, seperti yang
dilakukan oleh Tan Malaka. Tan Malaka merupakan sosok cerdas
yang tegas menyatakan Hindia terlepas dari Belanda, bergerak
9
Tan Malaka. Op. Cit. Naar de Republiek Indonesia http:/www/marxis.org

57
dari segala sudut kehidupan masyarakat, yang membuat dia
harus mendapat tekanan dan pembuangan. Seruan ini ditulis
untuk menyambut kedatangan Tan Malaka di Belanda sebagai
buangan politik.

C. Imperialis Anti Pendidikan

Soal pendidikan dengan sengaja dilengahkan oleh Belanda,


sehingga kaum intelektual menjadi terbatas. 10 menurut Tan
Malaka kalau penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tak
membatasi pendidikan bagi pribumi, niscaya derajat kaum
intelektual pribumi jauh berbeda dari keadaan sekarang (masa
penjajahan). Tentu akan banyak posisi strategis yang akan diisi
oleh pribumi, seperti saudagar, tuan tanah, dan pegawai
bumiputera.
Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial
ataupun intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan
ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik
ada ditangan rakyat. Indonesia akan mendapat kekuasaan politik
tak dengan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner
dan teratur, serta tak mau tunduk. Tentulah perangkat revolusi
tersebut adalah pendidikan rakyat.
Pemerintah Belanda selalu mengemukakan berbagai keberatan
terhadap pendirian Universitas di Indonesia. Semua dalilnya
hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat
disimpulkan dengan alasan berikut:

1. Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang


menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja
rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika tak doyan omong
kosong.
2. Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tak lebih
tinggi, juga sebaliknya tak lebih rendah dari bangsa mana saja,
dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima
pengajaran yang macam mana sekalipun.
3. Bahwa Universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan
atau tiruan dari Eropa, tetetapi dengan memerhatikan perguruan
tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan
keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.11

Penjajahan dan penekanan tak hanya pada perkembangan


lembaga pendidikan. Kalupun ada lembaga pendidikan, Belanda
10
Ibid. h. 7
11
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 60

58
tetap ingin memformat pedidikan yang ada harus meniru
pendidikan di Belanda secara utuh, karena (bagi Belanda)
lembaga pendidikan khususnya universitas yang ada di Belanda
adalah yang terbaik dari universitas manapun. Hal ini tanpa
memperhatikan karakter dan budaya Indonesia.
Akibat politik pendidikan Belanda tersebut, Perguruan
Rendah, Menengah, dan Tinggi semenjak dulu tak cukup untuk
rakyat yang berjumlah 55 juta (masa itu). Hal itu harus diakui
tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya
pemerintah.12 Berikut adalah data statistik yang disajikan Tan
Malaka mengenai kondisi pendidikan pada saat itu.

Jumlah anak-anak yang harus masuk sekolah pada tahun 1919


adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa
8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya
bersekolah tak mendapat tempat (menurut perslah kongres N.I.O.G.
tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang
bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%,
mungkin juga 2% sampai 3%. Jumlah belanja perguruan di tahun
1919 menurut kabar yang sah adalah f20 juta dan f 75 juta untuk
150 ribu orang anak-anak dari 55 juta tukang bayar pajak rakyat
Indonesia. Pada tahun 1923, belanja perguruan itu f 34.452.000.
Jadi, untuk seorang anak bumiputera pada waktu itu dikeluarkan
30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak
Filiphina.13
Tahun 1921 kaum revolusioner memperbaiki keteledoran
pemerintah kolonial dalam pendidikan, dengan mendirikan
sekolah-sekolah sendiri. Walau menempuh berbagai kesulitan:
teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi. Namun
akhirnya di seluruh Jawa dapat didirikan 52 buah sekolah
dengan kira-kira 50.000 murid.
Kolonial menekan perkembangan pendidikan kaum
revolusioner tersebut dengan kekerasan. Guru-guru dilarang
mengajar, dan orangtua murid ditakut-takuti. Peran penting
pemberangusan gerakan pendidikan rakyat tersebut dimainkan
oleh organisasi Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang
dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah kolonial dan
orang-orangnya). Mereka diperintah untuk membakar sekolah,
menakut-nakuti, menganiaya murid dan guru. Pergerakan
pendidikan rakyat terus tanpa henti mendapat tekanan dari
pemerintah kolonial maupun melalui organisasi bandit bayaran,
salah satu yang merasakan dampaknya adalah gerakan
pemberantasan buta huruf di Priangan pada tahun 1922.

12
Ibid. h. 61
13
Ibid. h. 62

59
Politik pendidikan pemerintah dalam soal pengajaran dapat
diungkapkan dengan: Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh
supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara.
Pergerakan pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai
rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit,
mereka dimasukkan ke penjara, disekap dikamar tikus, dihalau
ke luar negeri atau diketok kepalanya sampai mati.
Petani kebanyakan buta huruf dan dungu, mereka ditekan
dalam satu kontrak yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak
itu disebutkan mereka tak boleh berorganisasi dan mogok.
Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang
jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya lebih kecil
mempergunakan pendidikan beracun untuk melemahkan hati
buruh.
Kalaupun pendidikan diberikan kepada rakyat, Belanda tetap
menanam kepentingan kapitalismenya. Rakyat diajarkan untuk
melupakan pertentangan kebangsaan, melupakan adat budaya,
dan jati diri sebagai kaum kromo. Sehingga menyerahkan hidup
dan menggantungkan hidupnya kepada kemodalan kolonialis.
Bangsa Hindia yang terpelajar telah berdamai dengan Belanda
dan melupakan bangsanya sendiri. Inilah politik etis Belanda,
memberikan pendidikan kepada kaum tertindas tetetapi tetap
berimbas kepada penindas dengan menjadi alat industri.

C.Pendidikan dan Revolusi

Visi revolusi Tan Malaka adalah menentang kolonialis-imperialis


Belanda. Masyarakat Indonesia versus kekuasaan kolonial
sebagai titik tolaknya.14 Selama ada penindasan selama itu pula
ada rasa kemerdekaan dan revolusi. Revolusi bagi Tan Malaka
bukanlah peperangan imperialisme yang dilakukan buat bunuh
membunuh dan rampas merampas. Revolusi adalah pertarungan
lahir dan batin, dimana satu bangsa tertindas atau kasta
tertindas, melahirkan dan mengumpulkan sifat-sifat manusia
yang termulia untuk maksud yang tersuci. 15 Kaum revolusioner
harus mengerahkan segala daya otak, pena dan mulut.
Kegandrungan Tan Malaka terhadap Revolusi Bolsyewik 1918
membuatnya semakin condong ke kiri ditambah lagi pengamatan
langsungnya melihat penghisapan kaum kolonialis terhadap
kaum kuli di Deli. Pengalaman sebagai guru membuat menjadi
bertambah kemuakannya tehadap imperialis Belanda dan api
revolusi semakin berkobar di dadanya. Bagi Tan Malaka revolusi
bukanlah sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, sebagaimana
14
Alfian. Op. Cit. Tan Malaka. h. 46
15
Tan Malaka. Semangat Muda. http://www.marxis.org/indonesia/index/htm

60
yang diyakini para penganut Marxis. Revolusi bukan lahir atas
perintah seorang manusia yang luar biasa. Revolusi tak
tergantung atas sosok tokoh individu, revolusi tak dapat
dipikirkan dan dilakukan oleh tokoh kaliber besar sekalipun.
Konsep revolusi Tan Malaka lebih menonjolkan apa yang
disebutnya dengan Massa Aksi.
Revolusi membutuhkan sebuah Massa Aksi yang disebabkan
oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-
tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis,
revolusi adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul
dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman
pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan
oleh berbagai macam faktor: Ekonomi, Sosial, Politik, dan
Psikologis. Semakin besar jurang antara kelas yang memerintah
dengan kelas yang diperintah, semakin besarlah hantu revolusi.
Tujuan sebuah revolusi adalah menentukan kelas mana yang
akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan
revolusi itu dijalankan dengan kekerasan. 16
Menurut Tan Malaka ketika ilmu (wetenschap) masih muda,
semua perjuangan masih dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi
(dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam. Pertentangan
yang muncul masih dalam keagamaan misalnya pertentangan
Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus
(terang dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, dan
Katholisme dengan protestanisme.
Kondisi kehidupan yang masih sangat sederhana tergantung
kepada pekerjaan tangan dan pertanian. Pada masa feodal ini,
pemimpin rakyat tak dibutuhkan kecerdasan otaknya, tetetapi
cukup berdasarkan keturunan raja dengan dukungan pendeta
maupun bangsawan walaupun pemimpin tersebut bodoh. Setelah
ilmu berkembang pesat, manusia semakin cerdas, maka mulai
muncul dogma dalam permasalahan hidup. Mulailah muncul
pertentangan kelas dengan di dasari pengetahuan.
Revolusi bagi Tan Malaka bukan saja menghukum, menentang
kecurangan dan kelaliman, tetetapi juga mencapai segenap
perbaikan dari kecelaan. Pada masa revolusi akan tercapai
puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran dan tercapai
segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Dengan kecerdasan revolusi tersebut merupakan keharusan bagi
suatu kelas dari suatu bangsa untuk menghapus peraturan-
peraturan kolot serta perbudakan. Revolusi adalah mencipta!
demikian ringkas Tan Malaka.
Tan Malaka yang menyelami seluruh peradaban dunia
membandingkan kondisi masyarakat nusantara dengan Yunani.
16
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 16

61
Dalam ilmu pengetahuan, misalnya rakyat Majapahit belum
mengenal cita-cita pemerintahan negeri. Berabad abad
pemerintahan itu bukan untuk dan milik rakyat. Perkataan; Bagi
Tuankulah, ya, junjunganku, kemerdekaan, kepunyaan dan
nyawapatik, diucapakan rakyat Majapahit terhadap raja-rajanya.
Tak ada Orachus, Magna Charta dan tak ada pengetahuan yang
diselidiki dengan serius seperti yang dipergunakan Aristoteles,
Pythagoras dan Photomeus. Pengetahuan mendirikan gedung-
gedung dan ilmu obat-obatan kita masih pada tingkat percobaan,
sebab yang pertama berarti jalan mati, sedang yang kedua
menuntun manusia menuju berbagai macam pengetahuan.
Kesimpulan radikal Tan Malaka bahwa di Nusantara masa itu tak
ada jejak (bekas-bekas) pengetahuan serta puncak kecerdasan
pikiran manusia Indonesia.
Tan Malaka juga membandingkan kondisi pendidikan di
Nusantara dengan di India, imperialisme Inggris mendirikan
sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi
(lebih dari lima universitas). India mempunyai seorang Tilak,
Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr.C. Bose dan Dr.Naye yang
termashur di seluruh dunia. Walaupun kaum terpelajar India
tersebut dilahirkan oleh imperialisme Inggris. Memang Inggris
memberikan pendidikan Barat kepada segolongan India dengan
keterpaksaan, karena kepentingan eksploitasi. Pada permulaan
sekolah-sekolah yang diadakan Inggris tersebut hanya dinikmati
kaum aristokrat dan orang kaya, namun pada akhirnya orang
biasa bisa memasukinya.
Ternyata Inggris telah menggali lubang kuburnya sendiri
dengan memberikan pendidikan Barat kepada rakyat India.
Banyaknya kaum intelelektual dari kalangan rakyat India, telah
memupuk kesadaran, sehingga muncul pergerakan kemerdekaan.
Inilah buah dari pendidikan, Revolusi.
Sedangkan kondisi di Filipina, Amerika dengan serius
memperhatikan sekolah rendah, terutama bidang pertanian.
Dengan adanya empat buah universitas dan beberapa sekolah
tinggi, setiap tahun meluluskan putra dan putri Filipina dalam
jumlah besar untuk mempertahankan Filipina dari imperialis
Amerika.
Dalam kasus Filipina, hanya sedikit penduduk yang buta
huruf, karena bisa dikatakan semua anak-anak masuk sekolah
hingga sampai ke pelosok desa, selain belajar Bahasa sendiri,
pemuda-pemudinya mengerti Bahasa Inggris. Dr. Nieuwenshui
adalah sosok intelektual Amerika yang menentang adanya
pendidikan bagi rakyat Filiphina, namun karena kecerdasan dan
perlawanan rakyat Filiphina dia tak bisa berbuat sewenang-
wenang.

62
Di Indonesia, pemerintah Belanda takut kepada Universitas
dan sekolah tinggi seperti takut kepada hantu. Belengan akan
melimpahnya buruh inteletual dengan adanya universitas. Kalau
Filipina yang pada saat itu jumlah penduduknya 12 Juta, namun
mempunyai empat Universitas dan beberapa sekolah tinggi, tetapi
di Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak,
belum mempunyai satupun juga !. pendidikan pribumi bagi
pemerintah kolonial adalah racun, kesadaran berbangsa merdeka
akan memunculkan daya upaya untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
Pendidikan sebagai perangkat revolusi, dimana ketika
Indonesia sudah bisa mandiri dalam mempersiapkan sumber
daya manusia: insinyur, dokter, guru yang memang berasal dari
pribumi sendiri. Tan Malaka membuat perbandingan negeri
Belanda yang kecilnya 7 x lebih kecil dari Hindia saja bisa
menciptakan kaum terpelajar yang cukup, lalu mengapa
nusantara yang kaya tak mampu mempersiapkan tenaga
terpelajar.
Konsep Marx: Proletariat tak akan kehilangan sesuatu
miliknya, kecuali belenggu budaknya. Menjadi dasar revolusi
Indonesia, bahwa ketika rakyat Indonesia menghadapi sebuah
bentrokan dengan Belanda, maka tak akan ada sesuatupun yang
hilang dari rakyat Indonesia kecuali belenggu budak imperialis.

Ketika barisan rakyat jelata dan rakyat terpelajar sudah


matang dalam barian revolusioner. Maka disinilah segenap jiwa
raga dikerahkan bagi revolusi kemerdekaan Indonesia. berikut
penulis kutip secara utuh seruan Tan Malaka kepada rakyat
khususnya kaum terpelajar untuk bangkit bersatu dan berjuang
dalam memperjuangkan revolusi.

Hai Rakyat Melarat !!

Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan


semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan
mu yang tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu
artinya kemerdekaan buat kamu dan keturunanmu? Beranikah
kamu terus hidup dalam perbudakan dan menyarankan anak
cucumu juga jadi budak ?

Hai Kawan-Kawan Separtai !!

Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar jongkok,


yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah
dididik. Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tak lekas
memperlihatkan hasil yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang

63
maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap tangis Rakyat melarat.
Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak
gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah
yang sangat ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau
kasta yang mengerti di dunia ini yang rela ditindas dan dihisap...

Kawan-Kawan !!!

Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah


perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan
pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak
Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu dimana juga,
dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu
sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira
sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan
55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah
bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu,
Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan,
seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!

Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah-tengah Rakyat,


menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal
kita komunis: "Menang atau mati dalam Massa Aksi." Di tanganmu
tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni Kekapaan, Keselamatan,
Kepandaian dan Peradaban... Kamu Kaum Revolusioner !!

Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan berbisik-


bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini
bersemayam Semangat Revolusioner" 17

II. Pedagogi Untuk Pribumi

A. Metode Belajar

1. Jembatan Keledai

Jembatan keledai (ezelbruggeetje) adalah sebuah konsep


mengingat isi buku yang meringkas sebuah pemahaman akan
buku dengan singkatan, tanpa harus menghafal. Jembatan
Keledai diciptakan dan diterapkan Tan Malaka, setelah dia
merasa kesulitan akan ketergantungannya kepada berpeti-peti
buku yang harus terus dibawanya dalam pelarian, maka kata
kuncinya adalah, harus menguasai buku-buku yang dibaca,
selanjutnya tak menjadi masalah ketika buku tersebut hilang.
Tan Malaka juga mengambil pelajaran dari seorang pemikir Islam,
17
Tan Malaka. Op. Cit. Semangat Muda.http://marxis.org/indonesia/index/

64
Al-Ghazali: Al-Ghazali pemikir sang pembentuk Islam, kalau saya
tak keliru pada suatu ketika kena samun. Penyamun juga
merampas semua bukunya. Sesudah itu Al-Ghazali memasukkan
semua isi bukunya ke dalam otaknya dengan megapalkan.
Bahagia (gunanya) mengapalkan itu buat Al-Ghazali, sekarang
sudah terang bagi kita.18
Konsep belajar Jembatan Keledai sebenarnya direncanakan
oleh Tan Malaka ditulis ke dalam buku yang lebih lengkap, agar
bermanfaat bagi pelajar di sekolah dalam mempelajari satu hal,
terutama bagi pelarian politik, Jembatan Keledai akan sangat
bermafaat. Menurut Tan Malaka seorang pelarian politik harus
bebas beban, seringan-ringannya, dan tak boleh dibebani bawaan
fisik atau psikis, karena setiap detik harus siap berlari dan
berlari. Maka dia harus bebas dari ikatan lahir dan batin. Namun
sayangnya sampai akhir hayatnya, buku Jembatan Keledai tak
sempat ditulisnya.
Pada masa kecil, Tan Malaka dalam belajar suka sekali dengan
cara menghafal dalam Bahasa Arab maupun Belanda. Pada
perkembangannya Tan Malaka mengatakan bahwa konsep
menghafal tak menambah kecerdasan, malah membodohkan dan
memiskinkan yang membuat orang menjadi mekanis. Menghafal
bukan memberikan pemahaman terhadap sebuah materi, tetetapi
hanya mengingat bunyi dan halaman dimana kalimat tersebut
tertulis.
Namun Tan Malaka tetap menyadari pentingnya mengingat
sesuatu, sehingga ia menciptakan Jembatan Keledai sebagai jalan
tengah: Apalkan, ya, apalkan, tetetapi perkara barang yang
sudah saya mengertikan betul, saya apalkan kependekan
intinya saja. Pada masa itulah di sekolah Raja Bukittinggi, saya
sudah lama membikin dan menyimpan dalam otak, perkataan
yang tak berarti buat orang lain, tetetapi penuh dengan
pengetahuan buat saya.19
Bagaimanapun Tan Malaka sangat benci dengan menghafal,
kelemahannya dengan tak suka hafalan ini juga
diperlihatkannya ketika sekolah guru di Haarlem, ketika mata
pelajaran berhitung, Tan Malaka tak menghadapi permasalahan
namun kendala dia hadapi pada mata pelajaran Ilmu tumbuh-
tumbuhan, karena keharusan mengingat dedaunan, biji-biji buah
yang semuanya itu harus dihafal. Dengan Bahasa satiris dalam
bukunya Dari Penjara kepenjara Tan Malaka menulis:
Kebencian ini lebih besar daripada kebencian saya harus
makan roti dan keju setiap hari di pondokan saya. 20
18
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 13
19
Ibid. h. 13
20
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I.

65
Minat Tan Malaka terhadap logika lebih kental, daripada
pelajaran yang cendrung pada hafalan, hal ini tergambar dalam
suratnya kepada Horensma yang menceritakan dia mendapat nilai
baik kecuali pedagogi karena menurutnya tak ada hubungan
dengan logika, yang membuat dia tak mampu menghafalakan
sesuatu.

...Tetetapi buat mempelajari tumbuh-tumbuhan, banyak daun dan


harbuk bunga (meel-draad), bijinya buah, giginya kodok Belanda,
methode mengajarkan a b c kepada anak-anak, dan lain-lainnya, tak
adalah taktik strateginya daripada menghafal dan menghafal. Buat
saya ini sudah tak dapat dipakai kecuali untuk pengetahuan yang
memang menarik hati saya menghafal itu sudah saya benci habis-
habisan.21

Bahkan untuk mengungkapkan kebenciannya terhadap


hafalan, mengatakan bahwa kaji-apalan yang dipaksakan terus
menerus diibaratkan kebenciannya terhadap perbandingan yang
tak adil antara keadaan masyarakat Indonesia dengan Belanda.
Ketidaksukaan Tan Malaka menghafal menurutnya merupakan
salah satu faktor dia gagal memperoleh Akta Kepala selain
subjektifitifitas penguji.22 Selama menghadapi tes Akta Kepala,
Tan Malaka diharuskan menghafal tentang isi bulan, dan
matahari beserta jarak planet-planet. Baginya menghafal angka-
angka aneh itu tak bermanfaat.
Seorang murid yang cerdik ketika dia sudah mengetahui
suatu cara, suatu undang dan kunci buat menjelaskan suatu
persoalan, maka dia tak dengan menghafal begitu banyak
persoalan, tetetapi cukup dengan memegang cara atau kunci dari
persoalan saja.
Contoh berikut adalah kutipan dari bukunya Madilog, Tan
Malaka memberi contoh Jembatan Keledai sebagai berikut: Buat
menjawab pertanyaan siapa yang akan menang diantara dua
negara yang sedang perang umpamanya, Tan Malaka memakai
Jembatan Keledai AFIAGUMMI. A huruf yang pertama
mengandung perkataan Inggris, adalah Armament, yang berarti
kekuatan udara, kekuatan darat dan laut. Masing-masing huruf
mempunyai makna tersendiri, huruf A pertama bisa membawa
Jembatan keledai lain, misalnya ALS (Air, Land, Sea). Sesudah
membandingkan masalah Armamament maka dilanjutkan ke

21
Ibid.
22
Kegagalan Tan Malaka dalam memperoleh Akta Kepala selalu menjadi
diksusinya dalam surat menyurat dengan Horensma, menurut Tan Malaka
bukanlah sulit bagi penguji meluluskan seseorang karena berdasarkan
kedekatan, sedangkan Tan Malaka tetap dianggap sebagai orang luar.

66
masalah kedua, yaitu FINANCE, terpotong oleh huruf F, keuangan
dan sebagainya.
Contoh lain Jembatan Keledai adalah ONIFMAABYCI
AIUDGALOG. sekilas kelihatan dan terdengar seperti Bahasa
sanksekerta, namun sesungguhnya bukan. Melainkan sebuah
konsep ekonomi yang bertentangan dengan teori ekonomi
Mahatma Gandhi.
Tentunya Jembatan Keledai merupakan konsep yang sangat
subjektif, artinya penghafal lah yang sangat mengerti uraian
tersebut. Menurut Tan Malaka satu kata Jembatan Keledai
AFIAGUMMI apabila dijelaskan dalam bentuk tulisan akan
menghabiskan setengah brosur yang membahas Ekonomi, Politik,
Muslihat Perang, Sains dan sebagainya.
Dengan Jembatan Keledai, Tan Malaka tak merasa kesulitan
untuk memaparkan teori-teori yang dipelajarinya ke dalam buku
yang ditulisnya. Madilog, adalah sebuah karya yang ditulis hanya
berdasarkan ingatan Tan Malaka saja, tentunya dengan
menerapkan konsep Jembatan Keledai. Ringkasnya walaupun
saya tak punya pustaka, walaupun buku-buku saya terlantar
cerai berai dan lapuk atau hilang di Eropa, Tiongkok, Lautan
Hindia atau dalam tebat dimuka rumah tuan Tan King Tjang di
Upper Serangoon Road, Singapura, bukanlah artinya itu saya
kehilangan isinya buku-buku yang berarti. 23 Banyak buku
karya Tan Malaka yang menggunakan Jembatan keledai di
judulnya, misalnya MADILOG (Materialisme, Dialektika, Logika),
ASLIA (Asia, Australia), GERPOLEK (Gerilya, Politik, Ekonomi).

2. Psikologi Anak

Dalam mengajar, Tan Malaka sangat memperhatikan kondisi


psikis anak didiknya. Hal ini dapat dilihat ketika Tan Malaka
berdebat dengan kepala sekolah, karena memarahi anak didiknya
yang mebuat cangkolan (bakul) kurang dalam dan kuat. Tan
Malaka memperingatkan kepala sekolah tersebut, bahwa anak-
anak tersebut sudah lama mengerjakannya. Tan Malaka dengan
nada yang keras mengingatkan kepala sekolah bahwa dia
sendiripun harus memberikan teladan dengan cara mengucapkan
salam ketika masuk, Tan Malaka tak membenarkan kepala
sekolah memarahi murid yang sedang dalam pengawasannya.
Sikap Tan Malaka sangat jelas bagi pendidikan anak agar
berkarakter bebas, tak ada posisi penindas dan tertindas:
.....Buat itu saya rasa perlu mengetahui tabiat, kemauan dan
kecondongan hati masing-masing anak. Saya rasa perlunya satu
pusat sebagai sebagai sekolah contoh (model). Untuk
23
Tan Malaka. Op. Cit. Madilog. h. 14

67
mendapatkan semua ini taklah bisa main tuan besar terhadap
anak kuli..... 24
Tan Malaka sangat menyadari perlunya pendekatan psikologis
terhadap anak-anak. Pada saat itu Tan Malaka tak hanya
melakukan pendekatan terhadap peserta didik tetetapi juga
melakukan pendekatan kepada orang tua murid. Untuk
menjalankan idenya tersebut, Tan Malaka mengajak beberapa
kuli dan pegawai untuk membicarakan pendidikan anak-anak
kuli.
Anak-anak diberikan kesempatan menyampaikan pemikiran
mereka dengan menyelenggarakan kongres antara berbagai
sekolah dan dengan sistem bertukar sehingga dapat memberi
contoh yang baik dan menjalin kerjasama dan perkenalan antar
anak di sekolah. Guna menjalankan gagasan tersebut haruslah
anak-anak sendiri yang menyelenggarakanya dan dipimpin oleh
mereka sendiri. Kepemimpinan dan mandiri sangat diinginkan
oleh Tan Malaka kepada anak muridnya.25
Dalam brosur Sarekat Islam dan Oderwijs, Tan Malaka dengan
gamblang menjelaskan bahwa pendidikan harus memperhatikan
kondisi kejiwaan mereka. Pendidikan tak baik diberi terus
menerus kepada murid tanpa ada waktu luang bagi mereka untuk
bermain. Dengan bergaul, anak-anak bisa saling mengenal,
bergaul, dan bermain bersama, sehingga pendidikan bukanlah
menciptakan manusia individualis.

3. Pendidikan Barat

Menurut Tan Malaka apabila kita pelajari dunia Barat, Eropa dan
Amerika, maka akan dapat Tiga Garis Pokok Kebudayaan, yaitu:
Garis Agama, Garis Filsafat, dan Garis Ilmu Pengetahuan
Empirik. Sementara cabang kebudayaan yang lain akan
bersandar pada tiga garis kebudayaan tersebut. 26 Dari tahun 500
SM sampai 1500 M agama memperoleh kedudukan tertinggi,
filsafat masih mengabdi kepada agama. Dari 1500 sampai 1850
M, filsafat mendapat kedudukan tertinggi dalam masyarakat
Barat. Dan tahun dari tahun 1850 sampai sekarang ilmu empiris
memperoleh nilai dan kedudukan tertinggi di Eropa dan Amerika
modern.
Pandangan Tan Malaka Indonesia yang maju harus terlepas
dari logika mistis, lepas dari kekuatan-kekuatan gaib dan mulai
mempergunakan ilmu pengetahuan.27 Sebagai patokan sains dan

24
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 69
25
Tan Malaka. Pembuanganku. Dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan... h.188
26
Tan Malaka. Op. Cit. Pandangan Hidup. http://marxis.org/indonesia/index
27
Magnis. Op. Cit. Dalam Bayang. h. 212

68
teknik maka Baratlah kiblatnya, bahkan Tan Malaka menurut
Franz Magnis Suseno tak malu mengakui bahwa ia adalah murid
Barat, karena di zaman modern, Baratlah yang merintis
pemikiran materialistis, dialektik, dan logika.
Indonesia harus merdeka berpikir dan berikhtiar, sudah
saatnya berdiri atau berubah dengan mengerahkan daya upaya
dengan kecakapan, perasaan dan kemauanya. Manusia sebagai
individu atau bangsa harus mempergunakan pemikiran dan
tenaga buat memajukan kebudayaan manusia umum. Tan
Malaka secara keras menyatakan bahwa manusia ataupun
bangsa yang tak menggunakan pemikiran dan tenaganya bagi
kemanusiaan maka tak layak menjadi seorang manusia atau
bangsa dan pada hakikatnya tak berbeda sedikitpun dengan
seekor binatang.
Tan Malaka menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan
Barat. Rakyat pribumi jangan terjebak dengan berpikir dan
meyakini bahwa kebudayaan dan pengetahuan Timur lebih tua
dan lebih mulia daripada Barat. Pribumi bisa berpikir dan berkata
bahwa mereka lebih baik, apabila melampaui pemikiran dan
karya yang telah diciptakan para pemikir Barat, seperti Newton,
Marx dan Lenin. Dalam kondisi yang masih percaya kepada mitos
dan mistis sungguh tak layak untuk menganggap lebih agung dan
pintar daripada Barat. Budaya takhayul harus dihapus dan
diganti dengan pemikiran ilmiah, setaknya ini adalah langkah
awal bagi pribumi untuk menjadi murid bagi Barat.
Kita tidak perlu malu dan bimbang dalam upaya merampas
kemerdekaan dengan menjadi murid Barat. Kekuatan keinginan
untuk merdeka dan belajar sendiri adalah modal utama dalam
rangka menjadi murid Barat tersebut. Pribumi tak boleh kalah
oleh orang Barat dalam hal pemikiran, pemyelidikan, kejujuran,
kegembiraan, kerelaan dalam segala rupa pengorbanan. Mengakui
dengan tulus, bahwa kita sanggup dan harus belajar dari orang
Barat, tentunya tanpa harus menjadi peniru total dari Barat
melainkan harus cerdas, suka mengikuti dialektika alam, dan
harus melampaui kepintaran guru tersebut (Barat).

Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan mempergunakan segala


kepandaian. Sebelum bangsa Indonesia mengerti dan
mempergunakan segala kepandaian dan pengetahuan Barat,
belumlah ia tamat dari sekolah Barat. Bila seseorang ingin menaiki
tangga sosial dan kebudayaan, haruslah ia merdeka lebih dulu.
Adapun paham tentang kemerdekaan, di Baratlah dilahirkan dan
dipergunakan.Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau
manusia, hendaklah merdeka dengan memakai senjata Barat yang

69
rasional. Apabila sudah dapat memakainya, barulah ia dapat
menciptakan sebuah pergaulan hidup yang baru dan rasional.28

Pengagungan Tan Malaka terhadap ilmu pengetahuan Barat


tersebut, dalam konteks masa kolonial, tentu tidak dapat
disalahkan semerta - merta. Karena pada kondisi masa itu, bumi
nusantara benar-benar dalam kondisi kritis, jauh dari sikap
ilmiah dan rasional. Sehingga belajar ke Barat menjadi solusi
untuk membangun kesadaran merdeka dan bangsa yang
bermartabat, bukan hidup dengan bangsa yang terjebak takhayul.

D. Politik dan Kebijakan Pendidikan

1. Peran Negara dalam Pendidikan

Konsep pendidikan gratis dan subsidi, sudah pernah dipikirkan


oleh Tan Malaka. Bagi Tan Malaka bahwa pendidikan harus
diberikan kepada semua rakyat Indonesia sampai dia berumur 17
tahun secara gratis. Dan ini menjadi bahan perdebatan Tan
Malaka di Belanda dengan seorang tokoh Belanda yang bernama
Fabius. Bagi Tan Malaka pendidikan tak hanya berada di bawah
negara tetetapi negara harus membiayai murid berprestasi:
Tentulah saya setuju dengan aliran, bahwa pendidikan itu dari
sekolah rendah sampai sekolah tinggi, tak saja harus berada di
bawah pimpinan dan pengawasan negara, tetetapi buat murid
yang memang cakap juga harus atas ongkos negara. 29
Pemikiran Tan Malaka tentang peran negara dalam pendidikan
ini mendapat tentangan keras dari Fabius. Menurut Fabius,
politik pendidikan yang dianjurkan Tan Malaka akan menambah
banyak lulusan pendidikan namun akan mengurangi nilai
intelektual. Dengan kebijakan pendidikan yang memberi akses
luas kepada rakyat akan menambah banyak jumlah
pengangguran dikalangan intelek.
Namun argumentasi Fabius tersebut mendapat pelawanan dari
Tan Malaka, pandangannya di sebuah masyarakat dimana
produksi dijalankan menurut rencana, bersamaan dengan itu
adanya pendidikan yang terencana, pengangguran tak mungkin
ada. Kalaupun tetap ada pengangguran, hal itu tak akan
berlangsung lama, karena pendidikan telah dicocokkan dengan
kebutuhan produksi masyarakat.
Pada masa perdebatan Tan Malaka dan fabius ini terjadi,
kebijakan pendidikan masih berdasarkan supply and demand
dimana kaum kapitalis berbuat semaunya, sesuai kebutuhan

28
Tan Malaka. Op. Cit. Aksi Massa. h. 141
29
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 39

70
pihak kolonial. Sementara untuk menentang tentang
intelektualitas yang akan berkurang, menurut Tan Malaka
kecerdasan tak akan menurun, karena murid yang melanjutkan
studi tak lagi didasarkan finansial keluarganya, melainkan
kecerdasan otaknya yang ditetapkan oleh Badan Pendidikan
Negara. Kondisi saat itu, banyak anak cerdas yang tak dapat
melanjutkan studi karena ketakmampuan finansial, sementara
anak yang mempunyai uang namun tak memiliki kemampuan
bisa memperoleh gelar.

2. Kompetensi Guru

Soal kompetensi guru, Tan Malaka yang memang berlatar


belakang pendidikan guru tidak ada tawar menawar bagi calon
guru yang akan dilibatkan di sekolah-sekolahnya. Tan Malaka
sendiripun pengalamannya mulai dari Belanda, Amoy, dan
Singapura untuk menjadi guru dia harus menghadapi kompetensi
yang dibutuhkan pihak sekolah dan murid. Tentang kompetensi
Tan Malaka memberikan nasehat sebagai berikut: Beranilah saya
memperingatkan kepada pemuda-pemudi kita, bahwa yang
syarat terakhir terpenting dalam suatu pekerjaan itu ialah
kecakapan dan rasa tanggung jawab terhadap kewajiban
syarat formal buat sementara saja, menjelang kecakapan itu
terbukti. 30
Pernyataan Tan Malaka tersebut tak semerta-merta
diucapkannya begitu saja, tetapi dia sendiri yang merasakan
bagaimana dia harus mengatasi kendala tanpa menggunakan
ijazah agar tak tercium oleh berbagai pihak yang mencarinya, dia
harus memperlihatkan kompetensinya mengajar mata pelajaran
yang dibutuhkan. Pernyataan di atas dinyatakannya setelah dia
lulus menjadi guru Bahasa Inggris yang dipimpin oleh orang
Inggris di Singapura.
Walaupun Tan malaka dididik sebagai guru, namun dia tetap
memperlihatkan profesionalitas dalam semua pekerjaan yang
pernah di geluti. Mulai dari di sekolah Deli selama dua tahun,
sekolah Sarekat Islam selama enam bulan, wartawan di sebuah
surat kabar di Filiphina. Bekerja sebagai juru tulis di sebuah
perusahaan Jerman di Singapura. Setahun memimpin kursus
Bahasa asing di Amoy. Mengajar di sekolah Tionghoa di
Singapura, sampai menjadi buruh di Bayah Banten. Semua
pekerjaan itu dijalankannya dengan teguh, tekun, dan profesional
walaupun dia dalam keadaan sakit, dikejar-kejar, dan
memikirkan rencana pergerakan kemerdekaan Indonesia.

30
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 186

71
3. Sekolah Kejuruan

Sekolah kejuruan digagas Tan Malaka dalam brosur SI semarang


dan Onderwijs . Tan Malaka ingin setelah menempuh pendidikan
kejuruan, murid-murid bisa menghidupi diri mereka sendiri tanpa
menggantungkan hidup dalam sistim kapitalis. Gagasan Tan
Malaka ini terwujud pada awal tahun 1922 yang merupakan
program kerja pendidikan Sarekat Islam.
Diharapkan koperasi-koperasi yang dibiasakan di sekolah
tersebut akan meluas dikalangan rakyat dimana setiap anggota
Sarekat Islam dapat terlibat aktif.31 Sebelum berangkat Tan
Malaka membuat kesepakatan dengan sebuah lembaga yang
bernama FOSIO (Fonds Oentoek SI Onderwijs)32 yang diketuai oleh
Partondo. Dalam pidatonya Tan Malaka menyampaikan visi misi
tentang pendidikan kejuruan agar dapat memandirikan kaum
proletar, namun dia tetap membutuhkan bantuan dana agar
gagasan tersebut dapat dijalankan. Berikut petikan pidato Tan
Malaka yang penulis kutip dalam buku Poeze.

Semua itu kita namakan pendidikan atas dasar proletar. Itulah


yang kita anggap apa yang kita hasilkan secara maksimal dalam
rangka masyarakat kapitalis.
Tetetapi, kawan-kawan!
Untuk mendapatkan guru-guru cadangan yang setiap waktu
dapat kita kirimkan ke segala pelosok, untuk mebel-mebel sekolah,
alat-alat pelajaran, gedung dan halaman sekolah yang lebih baik,
dan sekolah kejuruan sekolah taklah cukup hanya dengan murid,
guru, dan semangat. Harus ada pula uang. Banyak uang. Lebih
cepat kami mendapatkan uang, lebih cepat bisa berdiri Organisasi
Pemuda Hindia yang kuat.
Para murid memang membayar uang sekolah, tetetapi karena
orangtua mereka termasuk golongan yang termiskin, maka uang itu
belumlah cukup untuk menutup berbagai pengeluaran. Kita tak
diberi subsidi. Dan tak mau menerima subsidi. Kita bisa berjalan
dengan baik tanpa subsidi, jika kita bisa mendapatkan bantuan dari
kalian. Maka dari itu, kita minta dengan sangat bantuan kalian
sebagai dermawan.
Kawan-kawan! Ingatlah, pembebasan kaum proletar dari ideologi
borjuis hanya bisa tercapai melalui pendidikan proletar yang murni.
33

31
Tan Malaka. De Indische School. dalam Poeze. Op. Cit.Pergulatan... h. 187
32
dalam perkembangannya, sesuai kondisi politik, terpecahnya SI FOSIO
berubah menjadi FOR (Fonds Onderwijs Rajat) Dana untuk Pendidikan
Rakyat
33
Pidato Tan Malaka dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan.... h. 188

72
Pemandangan Tan Malaka dalam rangka memperoleh bantuan
dari dermawan tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa untuk
bebas dari imperialis kapitalis dan masyarakat borjuis, maka
kaum proletar harus dibebaskan dari segala pendidikan yang
berbau borjuis. Kemandirian dengan jalan mendirikan pendidikan
kejuruan adalah salah satu cara membebaskan belenggu
ketergantungan kaum kromo. Pendidikan yang akan didirikan
harus link and match berhubungan dengan industri yang ada
maupun yang akan didirikan, sehingga mereka segera bisa
bekerja. Selain itu sekolah pertanian, pertukangan, perniagaan,
teknik, dan administrasi harus diperbanyak.
Tan Malaka merancang program keahlian pertukangan dan
ukir mengukir di sekolah SI, sehingga mereka bisa membuat
meja, kursi, dan peralatan lain yang akan dapat mereka kelola
dan jual sendiri dengan sistem koperasi. Program keahlian
pertukangan inipun mendapat respon positif dan semangat dari
murid sekolah SI. Dengan keahlian yang dimiliki ini kelak anak
didik akan menjadi manusia merdeka, mereka bisa berdikari,
berwira usaha, tanpa tergantung kaum modal.

E. Sekolah Sekolah Sang Guru Revolusioner

1.Foreign Language School di Tiongkok

Selama di Tiongkok, Tan Malaka tak ingin menyia-nyiakan waktu,


dia memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah sekolah
Bahasa asing, tentunya juga dilandasi untuk biaya hidupnya.
Seorang Tiongkok bernama Ka-It mendukung niat Tan Malaka
tersebut, dia siap membantu fasilitas walaupun modal tak ada
untuk mewujudkan sekolah Bahasa asing tersebut. Berbekal
perabotan apa adanya dan menyewa sebuah rumah tua milik
kerabat Ka-It dengan harga rendah.
Setelah siap perabotan untuk kelas foreign language school
tersebut, Tan Malaka mulai merancang program pendidikan dan
membuat iklan yang disebarkan melalui surat kabar. Pada awal
pendirian foreign language school terasa sulit untuk menarik
simpati dan minat pemuda untuk belajar disana karena mereka
lebih berminat dengan tawaran sekolah diploma yang tersedia di
di Hongkong. Sekolah-sekolah Bahasa Inggris di Amoy kalaupun
berdiri dan ramai, itu hanya untuk sebulan dua bulan saja.
Kendala ini menurut Tan Malaka, bukan karena kualitas guru,
tetetapi lebih karena ideologi yang dianut oleh guru tersebut. Pada
masa itu nasionalisme, dan sosialisme Tiongkok sedang
berhembus kencang dan digandrungi pemuda-pemuda Tiongkok.
Isme (paham) yang dianut oleh seorang guru akan mempengaruhi

73
kesuksesan karirnya di Tiongkok, seorang guru yang pakar
sekalipun tak akan laku apabila menganut paham yang kolot atau
berbeda dengan yang dianut oleh murid-murid mudanya. Kondisi
politis dan ideologis ini membuat murid menjadi tak disiplin
mngikuti peraturan perguruan.
Kondisi yang sangat ideologis yang mengabaikan tujuan
perguruan tersebut, sebenarnya menurut Tan malaka kurang
tepat. Murid harus tetap tunduk kepada peraturan perguruan,
dan gurupun tak hanya ada dalam alam intelektualnya saja
tetetapi juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan
dunia modern dan pemikiran politik murid-muridnya, karena
pertentangan ideologis itulah yang menghambat proses belajar
mengajar. Guru dan murid jangan terjebak dalam pandangan
politik yang berbeda, tentu saja guru harus terlibat aktif tak
hanya dalam bidang pengetahuan, tetetapi juga bisa memuaskan
keinginan politik muridnya untuk mengabdi pada bangsa dan
negara yang dicintanya.34
Pada perkembangannya foreign language school Tan Malaka
tak hanya semata-mata belajar Bahasa asing tetapi
berkembang pada diskusi tentang Politik, Ekonomi, dan
Filsafat. Pada satu dua hari pengumuman sekolahnya, Tan
Malaka dikunjungi seorang mahasiswa radikal sosialis yang
ingin belajar Bahasa Jerman, dia membawa karangannya
tentang ekonomi sosialis yang ingin diperiksa gramatikanya
oleh Tan Malaka, dan tentu saja Tan Malaka dengan terbuka
untuk membantunya. Pada pertemuan berikutnya mahasiswa
dari Amoy University yang bernama Huang tersebut membawa
sebuah karangan yang membahas filsafat yang berbau Sosialis
Marxis. Karena Tan Malaka mampu meladeni kehendak
ideologis tersebut, Tan Malaka dimatanya lolos dan layak
untuk menjadi guru. Sebenarnya Tan malaka menyadari
bahwa ia sedang mengalami sebuah tes informal dari calon
muridnya.
Mahasiswa bernama uang memilki pengaruh besar
dilingkungan pemuda, setelah dia merasa puas dengan
pandangan ideologis Tan Malaka, dia menjadi sales tak resmi bagi
sekolah yang didirikan Tan Malaka, dari mulut ke mulut dia
menyebarkan informasi kepada pemuda bahwa mereka
sebagusnya berguru di sekolah tan Malaka tersebut. Tetetapi
murid-murid yang belajar kesana bukan termotivasi untuk belajar
Bahasa, tetetapi lebih kepada politik, banyak pertanyaan muncul

34
Salah satu pertentangan pemandangan politik, pernah terjadi ketika seorang
Dr tamatan Amerika memberikan penjelasan prinsip ekonomoi yang lebih
cedrung kepada kapitalisme, sementara kecendrungan berpikir murid lebih
kepada sosialisme, sehingga pertentangan terlihat jelas di kelas.

74
ditanyakan kepada Tan Malaka, mau tak mau Tan Malaka harus
melayani keingintahuan pemuda-pemuda Tiongkok tersebut.
Pelajaran tambahan politik tersebut menjadi daya tarik
tersendiri bagi pemuda Tiongkok untuk belajar disana. Maka
ramailah sekolah tersebut sehingga ruangan tak lagi memadai
untuk menampung pemuda dari berbagai universitas dan sekolah
menengah tersebut. Maka didirikanlah tak jauh dari jalan Sun
Yat Sen (Chuang San Loo) di Amoy foreign language school.
Sebenarnya pada saat itu juga ada sekolah Bahasa asing yang
berlokasi di Kulangsu, namun pemuda-pemuda tersebut lebih
memilih sekolah Tan Malaka. Tan Malaka juga menambahkan
materi pelajaran dengan jurnalisme, book keeping, untuk itu dia
membutuhkan guru pembantu sehingga dibukalah penerimaan
guru.
Pesatnya perkembangan foreign language school membuat
permasalahan modal dan perluasan sekolah tak lagi menjadi
masalah. Kunci kesuksesanyya adalah menarik hati murid yang
pada umumnya adalah anak-anak orang kaya, sehingga apabila
sudah berkesan bagi mereka, biaya bukan lagi suatu masalah.
Bila seorang guru sudah menarik hati pemuda tiongkok, guru
adalah orang yang disayangi setelah orangtua mereka, rumah
guru menjadi rumah mereka, dan mereka berusaha membuat
sang guru tersebut, dengan mengajak guru ketempat yang
menarik sehingga Tan malaka menjadi jarang di rumahnya.
Walaupun Tan malaka dilayani sangat sempurna oleh murid-
muridnya yang mempunyai uang, dia tetap menjaga perasaan
murid-murid proletar, dia tetap memenuhi undangan murid
proletar. Bagi Tan Malaka, jangan sampai perbedaan strata murid
membuat pelayanan pendidikan dibeda-bedakan.
Karena Tan Malaka memiliki misi politik, maka foreign
language school pun harus ditinggalkannya. Menurut Tan Malaka
ketika foreign language school ditinggalkannya untuk melawat ke
Singapura, sekolah tersebut tetap diminati para murid.
Selanjutnya di Singapura merintis kembali lembaga pendidikan.

2. Menjadi Guru Sekolah Tiongkok di Singapura

Setelah selama satu sampai dua minggu, Tan Malaka sudah


berusaha mencari pekerjaan sebagai bekal hidupnya, banyak
maskapai yang dilamarnya tetetapi belum ada yang diterima,
sementara kondisi keuangan semakin sulit. Seorang pemuda
Amoy bernama Buna sahabat lamanya memberikan jalan
pekerjaan di sebuah sekolah sahabatnya. Keadaan keuangan
yang sangat mendesak membuat Tan Malaka dan Buna segera
mungkin mencari sekolah tersebut, karena sekolahnya kecil dan

75
memiliki nama banyak yang sama menjadi tak mudah bagi
mereka menemukannya, sampai membuat Buna jatuh sakit
kelelahan mencari sekolah tersebut, namun akhirnya tetap
bertemu.

Karena keadaan memang sudah sangat mendesak, maka dengan


segera kami berangkat mencari sekolah itu. Tiadalah mudah
mendapatkan, sekolah itu karena amat kecil sekali dan namanya
hampir sama pula dengan beberapa sekolah Tionghoa lainnya.
Terpaksalah kami hampir sehari lamanya berjalan atau menaiki
trem dari ujung ke ujung kota Singapur, yang amat panjang dan
lebar itu. Sebagai akibat dari usaha itu, maka besok harinya Buna
jatuh menderita sakit, karena lelah dan kepanasan. Tetetapi kami
berjumpa dengan teman yang dicari itu.35

YY, sahabat Buna yang diperkenalkan kepada Tan Malaka dan


sebagai pemilik sekolah, mempersilahkan kepada Tan Malaka
untuk tinggal di rumah sekolahnya. Walaupun hanya tidur di atas
bangku sekolah, hal itu taklah terlalu penting bagi Tan Malaka
yang sudah biasa menderita dalam perjuangannya, dia sudah
terbiasa di atas ubin bahkan lantai sekalipun, hal inilah yang
membuat dia menjadi orang berpenyakitan. Tinggal di Singapura
tak terlalu sulit menurut Tan Malaka, karena dari segi Bahasa
dan budaya tak terlampau berbeda dengan Indonesia. Maka
mulailah Tan Malaka hari itu menginap di sekolah tersebut.
Tidak lama disana, dibukalah lowongan guru Bahasa Inggris,
dan Tan Malaka langsung diangkat oleh kepala sekolah. Namun,
kerena persyaratan administrasi, Tan Malaka harus mendapatkan
izin atau disyahkan oleh pemerintah Inggris bagian pendidikan
karena setiap sekolah di singapura berada dalam pengawasan
pemerintah Inggris. Kalaupun menuruti peraturan sebenarnya
Tan Malaka tak bisa mendapatkan izin, karena untuk menjadi
guru Bahasa Inggris pada masa itu haruslah orang Inggris yang
sudah mendapatkan ijazah sekolah Inggris. Namun Tan Malaka
yang ahli siasat dan muslihat dapat lolos surat menyurat
pemerintahan Inggris padahal saat itu dia adalah buronan
Inggris.36
Selama mengajar Bahasa Inggris di Singapura, Tan Malaka
memperoleh gaji $ 8 (Dolar Singapura) perbulan. Makan dan
tempat tinggal bebas, namun karena makan kurang memadai
maka gajinya dinaikkan menjadi $ 10 perbulan untuk mengajar
35
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 2. h. 182
36
Tan Malaka juga pernah diterima di sebuah sekolah swasta yang dipimpin
oleh orang Inggris yang membutuhkan guru Ilmu Bumi, tetetapi karena Tan
Malaka tidak memiliki ijazah maka Department of Education tidak
menyetujuinya walaupun Direktur sekolah telah setuju.

76
lima kelas si Sekolah rendah Tionghoa selama dua tahun dia
mengajar disana. Semakin meluasnya pergaulan Tan Malaka
membuat dia semakin sibuk mengajarkan Bahasa Inggris,
sehingga malampun tak ada lagi waktu luang untuk mengajar
Bahasa Inggris, bahkan juga mengajari Kimia dan Matematika.
Pesatnya pergaulan hidup Tan Malaka di Singapura, membuat dia
tak merasa sulit lagi dalam permasalahan keuangan.
Pada masa baru sampai di Singapura, permasalahan ijazah
memang menjadi masalah, seperti yang penulis sampaikan dalam
catatan kaki. Namun, karena semakin banyaknya kawan
Tionghoa, ijazah bukan lagi menjadi masalah baginya untuk
mengajar. Tentu saja hak istimewa bebas dari persyaratan ijazah
itu tak diberikan saja, dia harus dites kompetensinya. Namun
aktifitas mengajarnya yang semestinya meningkat lebih tinggi dan
merambah ke bidang Ilmu Ukur, dan Aljabar mesti terhenti
karena Inggris kalah perang dengan Jepang pada bulan Februari
tahun 1942.
Di Singapura proses belajar mengajar agak terganggu karena
serangan pesawat tempur Jepang. Membuat para guru
mempunyai tugas ekstra, yaitu melindungi murid dari serangan
bom. Guru berbagi jadwal piket memimpin murid ke lobang
perlindungan yang sudah dipersiapkan. Rumah sekolah dengan
bentuknya yang besar dan tinggi menjadi sasaran serangan
pesawat Jepang. Dengan keadaan terdesak dan kekalahan
diambang mata, Inggris membentuk volunteer corps , tentara
sukarelawan yang dikumpul dari barisan buruh dan pemuda-
pemudi Tionghoa. Tentara sukarela ini dibentuk di sekolah
Tionghoa tempat dimana Tan Malaka mengajar, dan banyak
murid yang terlibat, terutama dalam penyadaran politik.
Sebenarnya menurut Tan Malaka ini adalah kelicikan Inggris
untuk memanfaatkan warga Tionghoa, cara ini bahkan dijadikan
alat untuk membinasakan warga Tionghoa, karena hal yang tak
mungkin siap ke medan perang hanya latihan beberapa hari
menghadapi tentara Jepang yang terlatih. Sekolah ditutup dan
beralih fungsi menjadi tempat pelatihan tentara sukarela dan
sebagai asrama. Sampai disini Tan Malaka tak memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang sekolah ketika dia mengajar di
Singapura tersebut.

3. Aksi Pendidikan di Indonesia

a. Kondisi Tanah Deli

77
Beginilah tulisan Tan Malaka, mengungkapkan kondisi Deli dan
rakyat ketika pertama kali dia menginjakkan kakinya di Sumatera
setelah sekian tahun merantau.

Goudland, tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Tetetapi tanah


keringat air mata maut, neraka, buat kaum proletar. Deli dimasa
saya disana (Desember 1919 sampai Juni 1921), sekarangpun masih
menimbulkan kenang-kenangan yang sedih memilukan. Disana
berlaku pertentangan yang tajam antara penjajah dan terjajah,
kekayaan bumi iklimnya Deli menjadi alat adanya satu golongan
kaum modal penjajah yang paling kaya, paling sombong ceroboh dan
paling kolot pada satu kutub. Di kutub yang lain berada satu
golongan bangsa dan pekerja Indonesia yang paling terhisap,
tertindas dan terhina: kuli kontrak..... 37

Tak salah apabila Tan Malaka menyebut Deli sebagai tanah


emas. Di perbatasan Deli dan Aceh terdapat minyak, di
perbatasan Riau terdapat alumunium, di Asahan berbagai
tambang, logam, besi, timah.38 Menurut Tan Malaka, Belanda
pada saat itu tak memiliki hasrat yang kuat untuk industri
tersebut, karena besarnya resiko kerugian. Belanda memilih jalan
yang sederhana saja, yaitu tembakau.
Tembakau asal Deli sangat terkenal di dunia, dan merupakan
bahan pembungkus cerutu Manila. Namun pada
perkembangannya di sekitar kebun tembakau, mulai ditanam
karet, palm, teh, rami, bahkan muncul perusahaan minyak
tanah. Dari tembakau, muncul seorang miliuner yang bernama
Cremer, dia terkenal kaya dan kejam. Sehingga pada saat itu
terkenal sebutan kuli Cremer. Bagi rakyat yang bekerja menjadi
kuli Cremer.
Kondisi rakyat yang bodoh, terjerat hutang, tak jarang sering
terjadi penyerangan-penyerangan kaum kuli terhadap orang
Belanda, ketika Tan Malaka tiba di Deli pada saat itu saja setiap
tahunnya sebanyak 100 sampai 200 orang Belanda tewas
diserang kaum kuli.39
Tanah Deli adalah tanahnya kaum proletar, yang terdiri dari
buruh pelabuhan Belawan, Spoor, pertambangan, petani, kuli
kontrak hampir mencapai 400 ribu orang, menurut perhitungan
37
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 53
38
Ibid. h. 54
39
Karena pertentangan kaum kapitalis dan kaum kuli yang semakin marak,
penyerangan-penyerangan terhadap orang Belanda membuat pemerintah
kolonial membuat undang-undang yang sangat diskriminatif. Bagi kaum kuli
yang membunuh orang Belanda akan mendapatkan hukuman gantung,
sedangkan apabila orang Belanda yang melakukannya mereka hanya di hukum
3 bulan penjara). Hukum diskriminatif ini sebagai opschrikking (menakut-
nakuti yang lain).

78
Tan Malaka terdapat 60% keluarga proletar tulen. 40 Kelompok
masyarakat lainnya yaitu kelas atas yang terdiri dari borjuasi
asing, pertama Eropa-Amerika, dan kedua Tionghoa. Sedangkan
kelompok borjuis Indonesia, jumlahnya tak banyak, yang terdiri
dari Sultan Deli, dan Sultan serdang. Dua kelompok borjuis
Indonesia ini, memiliki konsesi minyak tanah, sehingga mereka
bisa dikelompokkan ningrat-kapitalis.41Selanjutnya di Eropa
(Belanda) duduk seorang borjuis, yang disebut Maskapai,
sedangkan di Deli terdapat Hoofd-administrateur (tuan kebun).
Mereka ini berikutnya calon kapitalis lokal, Tan Malaka
menyebutnya borjuis jembel.
Budaya hidup hedonis kaum pribumi (yang dipelihara kolonial)
menjadi lahan empuk bagi kaum kapitalis untuk mengikat
mereka. Kelas kuli yang bekerja dari jam 4 pagi (berangkat kerja),
jam 7-8 malam baru sampai di rumah, mereka hanya digaji f 0,40
sehari. Yang sangat menyedihkan, kaum kuli suatu saat harus
rela ketika tuan mereka menginginkan istri atau anak
perempuannya. Mereka harus bekerja dengan kondisi perut yang
tak cukup makanan, harus mencangkul selama 12 jam sehari di
bawah terik matahari. Pakaian mereka compang camping karena
harus menerobos hutan.42
Kondisi hidup melarat, serba kekurangan membuat kaum kuli
tergadai untuk memiliki uang banyak dengan cara berjudi yang
memang dibangun oleh maskapai setiap hari gajian: 43 .....Mereka
terikat oleh bermacam-macam peraturan yang ditetapkan oleh
kontrak, yang mereka sendiri tak bisa baca, apalagi mengerti,
tetetapi mereka takuti seperti perjanjian dengan hantu. Mereka
terikat oleh kekolotan,kebodohan, kegelapan, dan hawa nafsu
jahat diri sendiri yang sengaja ditimbulkan oleh perjudian.... 44
Tan Malaka menjelaskan dari 90 diantara 100 kuli kecil
harapan mereka naik pangkat, hanya satu diantara 1000 orang
dapat naik pangkat sebagai hopmandor, pekerja atau pengawal
bengkel mobil, namun tetap dengan gaji yang rendah, f 20,- f 30,-
setiap bulan bagi mandor, f 60,- bagi hop mandor sesudah bekerja
15-20 tahun!45 Kondisi tanah Deli yang tertindas, miskin, dan
40
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 1. h. 54
41
Ibid. h. 55
42
Ibid. h. 57
43
Strategi mendirikan perjudian ini sengaja dibuat oleh maskapai pada hari
gajian, agar kaum kuli mengadu nasibnya di meja judi, dan apabila mereka
kalah judi maka akan diberi peluang besar untuk berhutang. Hutang yang
menjerat inilah menjadi alat maskapai untuk membuat kaum kuli melanjutkan
kontraknya. Budaya judi ini menjadi lingkaran setan yang tidak kunjung
selesai, hutang diadu dengan judi, kalah hutang lagi, akhirnya mereka bekerja
tak menghasilkan apa-apa selain hutang menumpuk.
44
Tan Malaka. Op. Cit.Penjara I. h. 69
45
Ibid. h. 57

79
bodoh membuat jiwa radikal Tan Malaka bergolak: Adakah
tempat buat saya di masyarakat Deli seperti yang saya coba
gambarkan di atas? Buat saya seorang Indonesia yang berpaham
radikal, di tengah-tengah masyarakat yang mengandung
pertentangan yang maha tajam.46

b. Menjadi Guru Kaum Kuli


Ketika menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Direktur Dr.
Jansen47 sewaktu di Amsterdam. Tan Malaka belum menyadari
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya kelak di Deli 48, karena
sudah enam tahun dia di Belanda, dengan kondisi yang amat
berbeda dengan nusantara. Di Belanda diskriminasi tak terlalu
menonjol dialami rakyat Indonesia. Pada waktu menerima
tawaran untuk menjadi guru di Deli, ada dua tujuan yang ada di
dalam pikiran Tan Malaka, yaitu menyelami kehidupan kuli
kontrak dan mendapatkan uang yang akan digunakannya untuk
membayar hutang-hutangnya agar dapat sekolah di Belanda.
Hutang- hutang yang harus dibayar Tan Malaka tersebut
dibayarkannya kepada desanya dan mantan gurunya Horensma.
Pada awal menerima tawaran Dr. Jansen, Tan Malaka dengan
optimis dia akan menemukan perubahan besar dalam hidupnya,
jika sukses membina sekolah kuli tersebut: ....Kalau kami
berhasil, maka terbukalah masa depan gemilang bagi saya.
Sebab, ada harapan besar aku harus berusaha di mana-mana
sebagai pembawa gagasan yang baru itu....49
Kedatangan Tan Malaka di Deli menjadi berita di surat kabar
Sumatera Post.

Kembali. Tuan Ibrahim Tan Malaka, yang setelah berangkatnya


Suwardi Surjaningrat sementara mewakili NIP di Negeri Belanda,
sudah kembali di Hindia sebagai guru di salah satu sekolah
perkebunan perusahaan Senembah.50

Tan Malaka mendapatkan tugas untuk menjadi guru di Tanah


Deli, Sumatera Utara. Kesepakatan yang dibuat Tan Malaka
dengan Dr. Jansen adalah memberikan pendidikan yang
46
Ibid. h. 60
47
Dr. Jansen mendapatkan gelar Dr nya di sebuah universitas di Jerman,
dengan disertasi tentang adat istiadat di tanah Batak, dia seorang peminat
budaya Batak
48
Sebenarnya Dr. Jansen menyadari kesulitan yang akan dihadapi Tan Malaka
di Deli, olehkarena itu dia memerintahkan kepada semua pegawai Belanda ,
agar memperlakukan Tan Malaka layaknya orang Eropa. Karena pesan Dr.
Jansen ini, ketika di Tanjung Morawa Tan Malaka dekat dengan pengawas
sekolah, namun pada selanjutnya dia mulai mendapat kesulitan.
49
Surat A-7, dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan
50
Sumatera Pos, 8-1-1920 dalam Poeze. Pergulatan...

80
dibutuhkan anak-anak kuli. Tugas yang akan diembannya adalah
sebagai pembantu pengawas semua sekolah bagi kaum kuli di
Senembah Mij. Tan Malaka bekerjasama dengan seorang mantan
murid Bahasa Indonesianya di Amsterdam yang menjadi guru.
Tan Malaka memperoleh uitstingsgeld (uang persediaan) sebanyak
f 500,- dan dijanjikan menerima gaji f 350,- perbulan,
mendapatkan fasilitas, rumah, air, listrik, dan kendaraan. 51
Namun pada perkembangan berikutnya, bukan lagi permasalahan
keuangan bagi Tan Malaka, tetetapi penindasan, penderitaan, dan
pembodohan sistematis membuat dia banyak bertentangan
dengan pemerintah kolonial Belanda yang mempekerjakannya.
Surat Tan Malaka kepada Horensma yang menceritakan bahwa
dia telah merasa bosan dengan keadaan perkebunan yang
dirasanya menjemukan dan mengalami kematian spiritual. Waktu
Tan Malaka terfokus pada pengajaran, sehingga dia tak banyak
lagi waktu untuk belajar. Kejenuhan Tan Malaka terhadap
rutinitas tersebut diceritakannya kepada Horensma.

.....Dari pukul 7 sampai 11 saya mengajar di sekolah di tengah-


tengah ladang yang panas sekali. Dari pukul 11 sampai 2 tak ada
pekerjaan. Tetetapi ketika itu saya pun tak ingin belajar, bahkan
duduk-duduk saja tak bisa. Tidur sebentar setelah makan sudah
biasa menjadi keharusan. Kemudian dari pukul 2 sampai 4 kembali
ke sekolah di antara anak-anak kuli. Setelah pulang, saya merasa
telah bekerja keras sehari penuh. Masih bisa membaca surat kabar
pada malam hari; setelah makan (pukul 8) saya tak ada pekerjaan
apa-apa sampai saya tidur pukul 9. nah, Tuan lihat sendiri tak
banyak waktu untuk mengembangkan otak saya. Hanya pada pagi
hari dari pukul 8 sampai 9, dan pada malam hari saya dapat belajar.
Sementara ini, setelah pukul 4 saya dapat dikatakan sudah bebas
dari pekerjaan. Tetetapi tak lama lagi saya harus memberi pelajaran
Bahasa Jawa dengan seorang kerani Jawa. Itu saya lakukan 3 x
seminggu. 2 x di luar tempat tinggal saya. Jadi, antara pukul 6 dan
9 waktu hilang karena berpergian ke tempat pekerjaan. Dan selalu
harus saya persiapkan diri untuk pelajaran Bahasa Jawa itu. 52

Hari-hari di perkebunan tebu benar-benar membuat Tan


Malaka jenuh, ditambah lagi dengan kondisi sosial perkebunan
yang sangat memprihatinkan. Dalam suratnya Tan Malaka
terkesan terpaksa menjalankan tugasnya sebagai guru kaum kuli,
tetetapi dia harus menjalankan kewajibannya. Dalam pikiran Tan
Malaka dia tak akan memperoleh perkembangan apabila terus
bekerja di perkebunan walaupun ditambah gaji 3 x lipat lebih
besar. Dalam surat kepada Horensma tersebut, Tan Malaka

51
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 1. h. 43
52
Surat A-9 kepada Horensma, 2 Mei 1920, dalam Poeze. Pergulatan. h. 139

81
mengeluh bahwa sebenarnya dia tak mempunyai cita-cita sebagai
guru. Tentang keluhan Tan Malaka ini merupakan hal wajar dan
manusiawi, apalagi ketika di Deli, ideologi Tan Malaka belum
benar-benar matang, Tan Malaka masih berpandangan untuk
mencari kehidupan pribadinya, apalagi dia memliki hutang yang
menumpuk di kampung halaman dan kepada guru Horensma.
Rencana yang menggebu untuk membangun pendidikan kaum
kuli mulai memudar, sehingga dia ingin segera meninggalkan
perkebunan yang berpandangan sempit tersebut. Sehingga dia
harus mencari medan perjuangan baru, yaitu Jawa. Permohonan
berhenti Tan Malaka yang disampaikan pada akhir bulan
November, baru mendapat izin beberapa bulan kemudian,
dikarenakan Tan Malaka harus menunggu dan melatih guru
penggantinya.
Tanggal 23 Februari 1921 Tan Malaka berangkat ke Jawa
dengan kapal Rumphius.53 Perginya Tan Malaka disisi lain
membuat pihak sekolah Senembah Matschappij merasa senang,
karena Tan Malaka saat itu sudah mulai terlibat dalam
pergerakan dan pemogokan buruh. Kekhawatiran tersebut dapat
dilihat dengan tak ditemukannya nama Tan Malaka dalam buku
kenangan sekolah tahun 1939 Senembah Matschappij karena
dikhawatirkan akan memperburuk citra dan bisa menjadi
halangan bagi sekolah untuk memperoleh penghargaan. 54

c. Dr. Jansen dan Visi Pendidikan Kaum Kuli

Visi pendidikan Tan Malaka tentang kaum kuli menjadi landasan


setiap aktifitas pendidikannya, mulai dari menjadi guru di Deli
sampai ketika dia mendirikan sekolah Sarekat Islam. Visi
pendidikan kaum kuli yang dilakon Tan Malaka sebenarnya
merupakan rumusan Tan Malaka dan Dr. Jansen, di sebuah
pertemuan di Amsterdam yang tidak terduga, walaupun Tan
Malaka tidak mengenali Dr. Jansen, namun Dr. Jansen
mengenalinya, ketika itu Dr. Jansen memberikan kepada Tan
Malaka laporan tentang pendidikan anak-anak kuli di Deli agar
dipelajarinya. Setelah mempelajari laporan tersebut, Tan Malaka
menyetujui tawaran menjadi guru disana dan mulai merumuskan
sistem pendidikan yang cocok di tanah Deli.
Sebelum Tan Malaka tiba di Deli, sebenarnya Dr. Jansen
sudah menjalankan aktifitas di sekolah kuli. Menurut Poeze, Dr.
Jansen merumuskan pendidikan kaum kuli dengan tetap
mengikat mereka kepada perkebunan, karena kurikulum dan
kegiatan di sekolah selalu berorientasi perkebunan. Dalam
53
Sumatera Post, 24-2-1921 dalam Poeze. Pergulatan..h.136
54
Ibid. h. 117

82
aktifitas sekolah, pada pagi hari waktu satu jam dihabiskan
untuk bekerja di kebun sekolah, anak-anak diajar merawat kebun
dengan rapi, dan di sore hari anak-anak bekerja di perkebunan
dengan mendapat bayaran sekaligus meningkatkan keahlian
mereka dalam berkebun. Strategi ini dibuat agar kelak anak-anak
mempunyai cita - cita bekerja di perkebunan. Fokus pembelajaran
yang dirancang Dr. Jansen adalah adat, tertib, disiplin, dan
kerapian. Guru juga dituntut untuk mengurangi kebiasaan buruk
kaum kuli, seperti berjudi, sehingga pembelajaran moral juga
menjadi perhatian.
Rumusan pendidikan kaum kuli Dr. Jansen dan Tan Malaka
tak jauh berbeda dengan rumusan awal, yaitu membiasakan
pekerjaan tangan kepada murid: Bahwa maksud pendidikan
anak kuli terutama, ialah mempertajam kecerdasan , dan
memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan si murid,
seperti dimaksudkan dengan anaknya bangsa apapun dan
golongan apapun juga. Bahwa disamping pendidikan kecerdasan,
kemauan, dan perasaan itu mesti ditanam kemauan dan
kebiasaan bekerja tangan adalah pekerjaan penting dan bagi
masyarakat tak kurang mulianya daripada pekerjaan otak
semata-mata.
Kekhawatiran Tan Malaka tentang kaum kuli yang akan
meninggalkan kegiatan fisiknya, setelah merasakan nikmatnya
kegiatan otak ini terus disampaikannya dalam setiap kesempatan.
Bahwa antara kognitif dan motorik harus diseimbangkan. Pribumi
yang mencicip manisnya pendidikan jangan sampai memandang
rendah kegiatan fisik orang tua mereka, kaum tani, kaum buruh.
Kecendrungan kaum intelektual yang meremehkan pekerjaan
tangan membuat Tan Malaka geram. Pada suatu kesempatan
rapat umum kaum buruh pada 22 Januari di Semarang yang
dihadiri lima puluh ribu buruh Tan Malaka menyerukan kaum
buruh agar mogok untuk membuktikan betapa berartinya kerja
tangan mereka, dan untuk membungkam mulut orang yang
menganggap remeh pekerjaan buruh. Tan Malaka juga
menjelaskan bahwa disekolahnya pekerjaan tangan sangat diberi
penghargaan, karena pekerjaan tangan sama mulianya dengan
kerja otak, atau orang yang bekerja dengan pena. 55 Tan Malaka
mengkritik keras orang Barat ataupun orang yang kebarat-
baratan yang merasa lebih dihormati dan disegani serta menghina
orang yang bekerja tangan.56

55
Ibid. h. 216
56
Pidato Tan Malaka dalam rapat buruh di Semarang tanggal 22 Januari
dimuat Sinar hindia, 23-31-1-1922, di IPO 1922, no.5. sebagaimana dikutip
oleh Poeze. Ibid. h. 216

83
Pada tahun 1921 mulai didirikan sekolah untuk guru
pembantu, 10 murid terbaik dari 15 dilatih di sebuah asrama di
Tanjung Morawa. Tahun 1922 sudah berdiri dua belas sekolah
perkebunan dengan jumlah murid 581 orang.
Perjuangan Tan Malaka untuk pendidikan kaum kuli
sangatlah berat, dia harus menghadap orang-orang Belanda yang
sangat anti pendidikan diberikan kepada kaum kuli. Bagi mereka
pendidikan yang diberikan kepada anak-anak kuli selain
membuang uang dan waktu, juga akan membuat mereka menjadi
liar, dan brutal. Tentu keliaran dan kebrutalan yang
dimaksudkan orang Belanda disini bukanlah anarkisme fisik,
tetapi kecerdasan dan kesadaran mereka akan arti kemerdekaan
dan kemanusiaanlah yang paling ditakuti. Untuk itulah orang
Belanda selaluyang anti pendidikan selalu menganjurkan bahwa
tidak perlu diselenggarakan pendidikan rendah selama 5 tahun.
Sebagaimana diungkapkan Tan Malaka berikut: Suruh saja anak
kuli itu mencangkul, habis perkara. Dikasih sekolah tani, tukang,
guru, itu semuanya bikin gaduh saja di kebun-kebun. Menambah
onterveden orang tak senang saja, dan menambah anggota
Sarekat Islam saja.57
Logika orang Belanda yang anti pendidikan tersebut dengan
terang-terang menginginkan kaum pribumi untuk terus berada
dalam alam kebodohan. Namun visi pendidikan kaum kuli Tan
Malaka mendapat dukungan dari seorang Belanda bernama Dr.
Jansen yang menganut politik etis, idealis. Dr. Jansen lah yang
mengusulkan berdirinya sekolah untuk kaum kuli, walaupun
idenya ini mendapat tentangan dan ejekan dari orang Belanda
anti pendidikan kaum kuli.
Bersama Tan Malaka Dr. Jansen merumuskan, bahwa
pendidikan bagi kaum kuli harus dapat menunjang kehidupan
mereka. Dr. Jansen adalah mitra sejati Tan Malaka 58 dalam
menjalankan pendidikan untuk anak-anak kuli tersebut, sehingga
ketika Dr. Jansen akan kembali ke Nederland, Tan Malaka sangat
terguncang, karena dia harus berjuang sendiri menghadapi orang
Belanda yang sangat anti dengan dia dikarenakan haluan politik,
dan pekerjaannya sebagai guru. Kebimbangan Tan Malaka
tersebut memunculkan sebuah keputusan pengunduran diri dari
sekolah tersebut: Tuan sudah saksikan sendiri bagaimana
suasana di kebun ini, teristimewa terhadap diri saya sendiri
seorang Indonesia. Apabila tak lama lagi tuan meninggalkan Deli
maka sekolah anak kuli itu akan dijadikan sekolah cangkul. Lebih

57
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 73
58
Pengakuan Tan Malaka, bahwa dia adalah anak angkat Dr. Jansen

84
baik saya minta berpisah dengan tuan sendiri. Demikianlah
usulan saya59
Namun pengunduran diri Tan Malaka di sekolah kuli bukan
semata-mata perginya Dr. Jansen, tetetapi juga diikuti alasan-
alasan politis orang Belada masa itu, karena di Deli, Tan Malaka
tak hanya aktif kegiatan pendidikan tetetapi juga aktif dalam
pergerakan kaum proletar, bahkan Tan Malaka berada di balik
pemogokan-pemogokan kaum buruh. Aktifitas politik Tan Malaka
tersebut membuat gerah orang Belanda, sehingga ancaman terus
ditujukan kepada Tan Malaka. Kondisi politik yang tak kondusif
tersebut membuat Tan Malaka harus merubah strategi juangnya,
salah satunya dia memilih hijrah ke Jawa, tujuannya adalah
Semarang: Sepantasnyalah kalau saya masuk ke Semarang dari
pintu perguruan. Demikian, kata Tan Malaka.
Pengamatan, pengalaman langsung merasakan penderitaan
rakyat selama di Deli setelah lama meninggalkan Indonesia benar-
benar telah membentuk Tan Malaka bukan lagi hanya seorang
guru biasa, tetetapi sudah menjadi seorang Guru Revolusioner,
yang tak hanya sibuk dalam kelas menyadarkan kamanusiaan
manusia pribumi, tetetapi juga mulai menyadarkan bangsanya
yang sedang tertidur lelap dalam dekapan raksasa imperialis. Tan
Malaka tak lagi memikirkan berapa banyak uang yang akan dia
peroleh dengan terlibat di sekolah Sarekat Islam, karena apabila
hanya uang motivasinya, cukuplah kesejahteraannya dijamin di
sekolah kuli Deli. Penyadaran kaum murba adalah misi utamanya
dengan memasuki kancah pergerakan nasional dengan
pendidikan.

Tatkala meninggalkan Deli menuju ke Semarang, hati saya bulat


hendak mendirikan perguruan yang cocok dengan keperluan dan
jiwa rakyat Murba dimasa itu. Dasar tujuan sudah saya pastikan,
pengalaman sementara buat memperteguh dasar tujuan sudah saya
peroleh di Deli selama hampir 2 tahun. Yang saya butuhkan ialah
tempat kemerdekaan bekerja, bahan berupa murid, material berupa
rumah dan alat, serta akhirnya, yang tak kurang juga pentingnya
adalah lingkungan yang mengandung penghargaan atas pekerjaan
perguruan itu.60

Sebelum ke Semarang, Tan Malaka menyempatkan diri


mengunjungi Horensma di Jakarta. Saat itu Horensma sudah
naik pangkat menjadi inspektur sekolah rendah di Indonesia,
Horensma menawarkan pekerjaan untuk Tan Malaka. Tan Malaka
hanya mengatakan dia mau di posisi pekerjaan apa, dia
(Horensma) akan mengusahakan. Namun tekad bulat sudah
59
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. 75
60
Ibid. h. 87

85
menggelora, didadanya, kemerdekaan sehingga Tan Malaka
menolak tawaran pekerjaan yang semata-mata hanya uang,
Horensma sangat menyadari haluan berpikir Tan Malaka
tersebut, tanpa bantahan sang guru tersebut berkata Ga je gang
maar (teruskanlah)

d. Sekolah Sarekat Islam

Di Yogyakarta Tan Malaka menemui sahabat barunya Sutopo


mantan pemimpin surat kabar Budi Utomo. Sutopo mengajak Tan
Malaka berkeliling dalam usaha mendirikan sekolah yang akan
Tan Malaka pimpin. Salah satu tokoh yang dikenalnya adalah
Tjokroaminoto, yang dikenal oleh orang Barat the uncrowned
king of Indonesia karena pengaruhnya yang besar dia disebut
sebagai raja tak bermahkota, dalam pertemuan tersebut
Tojkroaminoto berkata pada Tan Malaka Pintu Sarekat Islam
terbuka untuk saudara. Pertemuan dengan tokoh-tokoh politik
terus bergulir, Tan Malaka berkenalan dengan Darsono, dan
Semaun.
Pertemuan Tan Malaka dan Semaun telah membuat
kesepakatan bahwa dia akan mengajak Tan Malaka ke Semarang
guna memimpin sebuah perguruan. Kepergian Tan Malaka ke
Semarang ini membuat dia harus berpisah dengan Sutopo yang
sedang berusaha mendirikan sekolah untuk Tan Malaka di
Yogyakarta. Di semarang Tan Malaka yang memang penyakitan
jatuh sakit, karena kondisi geografis, lingkungan, makanan yang
dirasakannya sangat berbeda dengan Deli, belum lagi aktifitasnya
yang sangat padat sehingga dia melupakan kesehatannya
terserang paru-paru sehingga dia harus dibawa Tan Malaka ke
rumah sakit. Namun setelah Tan Malaka agak pulih, Semaun
mengadakan rapat istimewa buat anggota Sarekat Islam yang
membahas agenda rapat utama, perguruan.
Usul pendirian sekolah Sarekat Islam mendapat sambutan dan
dukungan yang sangat baik, pada hari itu juga sidang menyetujui
didirikannya sekolah Sarekat Islam. Permasalahan fasilitas tak
begitu menjadi masalah, karena Sarekat Islam memiliki gedung
sendiri yang bisa dijadikan tempat sementara untuk belajar,
sedangkan perangkat alat tulis menulis dengan cepat bisa
diperoleh, hanya dalam waktu dua hari saja, Tan Malaka sudah
memperoleh murid sebanyak 50 orang. Pemikiran dan visi misi
sekolah Sarekat Islam dijabarkan Tan Malaka di dalam sebuah
brosur kecil berjudul S.I. Semarang dan Oderwijs.
Prinsip sekolah sarekat Islam, sebenarnya merupakan
kelanjutan gagasan Tan Malaka, Dr, Jansen, dan De Way ketika

86
masih di sekolah kuli Deli. Gagasan Tan Malaka tentang sekolah
Sarekat Islam, disampaikannya dalam sebuah brosur.

Pendidikan rakyat, seperti yang sampai kini diberikan, sama sekali


tak memuaskan kita. Maksud untuk memberantas buta huruf di
kalangan penduduk pribumi kita anggap belum cukup, seperti yang
terbukti dari hasil-hasilnya, yaitu kaum muda yang telah belajar di
sekolah semacam itu menganggap dirinya terlalu tinggi untuk
pekerjaan kasar, terlalu pintar untuk bekerja dengan cangkul. Jika
cita-cita baik pendidikan rakyat yang sederhana, yaitu mengajar
rakyat sehingga bisa membaca, menulis, dan berhitung, disertai
tujuan mengurangi gairah bekerja, maka mungkin lebih baik tak
diberikan sama sekali. Memberantas buta huruf menjadi tuntutan
masa kini, suatu tujuan yang dikejar di sekolah-sekolah kita.
Akan tetetapi, di samping itu harus dikembangkan cinta akan
pekerjaan; tak hanya dengan kata-kata tetetapi juga dengan
perbuatan.
Sejak dari kecil, orang harus belajar bekerja dengan giat, juga di
sekolah; bukan saja harus diselesaikan dengan rapi pekerjaan
sekolah, tetetapi pekerjaan apa saja yang dihadapi, termasuk
pekerjaan kotor. Itulah, menurut hemat kita, cara berusaha supaya
murid tetap mempunyai gairah kerja.
Dibiasakan waktu muda, dikenal waktu tua, demikianlah sebuah
periBahasa Belanda. Kita membiasakan kaum muda selama belajar
di sekolah untuk melakukan secara teratur pekerjaan yang produktif
dan dibayar; setelah menjadi lebih tua, pekerjaan semua itu sudah
biasa bagi mereka dan dianggap sebagai suatu keharusan. Memang
pekerjaan tangan tak dimaksudkan hanya untuk memberikan
kesibukan kepada anak-anak, tak peduli kesibukan apa. Tak. Kita
mengajar anak-anak supaya bisa bekerja di kebun, memakai
cangkul dan parang, mengerjakan tembakau di bangsal dan
lapangan; sistem pendidikan kita dicocokkan dengan dasar-dasar
kolonisasi, dan harus dapat mengikat orang-orang Jawa dan
keturunannya di perkebunan-perkebunan kita.
Sungguh sudah keterlaluan kalau kita berpikir bahwa setiap
murid harus menjadi kuli.
Anak-anak yang cerdas harus kita didik untuk menempati
kedudukan-kedudukan yang lebih baik di perkebunan-perkebunan
kita; sampai bisa menjadi kerani, tukang, mandor, guru, sopir, atau
juru tulis.
Orang Jawa harus tahu bahwa anaknya yang cerdas bisa
mencapai suatu kedudukan yang lebih baik, juga diperkebunan.
Dengan demikian, pendidikan di sekolah akan lebih menarik, dan
mereka yang tak begitu cerdas akan merasa terdorong untuk tetap
bekerja di perkebunan.61

61
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 120

87
Sekolah Sarekat Islam didirikan bukan untuk mencetak juru
tulis bagi kepentingan pemerintah kolonial, tetetapi sebagai bekal
hidup mereka dan keterlibatan aktif bagi pergereakan
kemerdekaan Indonesia. Dasar yang dipakai Tan Malaka adalah
dasar kerakyatan dalam masa penjajahan: Hidup bersama rakyat
untuk mengangkat rakyat jelata. Bukanlah buat menjadi satu
klas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah
penindas bangsa sendiri. Berhubung dengan dasar dan tujuan
sedemikian, maka metode, ialah cara memajukan kesejahteraan,
perasaan dan kemauan murid, disesuaikan dengan kepentingan
rakyat jelata, pekerjaan rakyat sehari-hari, idam-idaman rakyat
dan pergerakan serta organisasi rakyat.62
Sekolah Sarekat Islam yang didirikan Tan Malaka bukanlah
bermaksud mencari keuntungan, seperti sekolah-sekolah
partikulir. Program sekolah rakyat ini memungut biaya ringan
bahkan gratis. Prinsip yang dianut dan diterapkan di Sekolah
Sarekat Islam yaitu:

1. Memberi senjata cukup, buat pencarian penghidupan


dalam dunia kemodalan (Berhitung, Menulis, Ilmu Bumi,
Bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan sebagainya)
2. Memberi hak murid dalam kehidupannya dengan jalan
pergaulan (verenniging).
3. Menunjukkan kewajibannya kelak terhadap berjuta-juta
kaum kromo (rakyat jelata).

Pemikiran anti kolonialisme dan anti kapitalisme menjadi


landasan pemikiran Tan Malaka yang mewarnai sekolah SI. Anak-
anak memang dididik menjadi manusia merdeka. Pengalaman
selama dua tahun menjadi bekal utama bagi Tan malaka dalam
mengintegrasikan kurikulum pembebasan nasional, kecakapan
hidup, dan intelektualisme. Pemikiran politik Tan Malaka sangat
kental terasa di sekolah SI ini, bahwa kaum terdidik setelah
mengunyah bangku pendidikan, mereka jangan lupa terhadap
perjuangan rakyat tertindas yang hidup dalam kemelaratan.
Banyak pribumi yang melupakan kaum kromo setelah mereka
selesai pendidikan di sekolah pemerintah kolonial.
Disekolah SI ini budaya Timur menjadi geest (hawa) yang
dirasakan peserta didik, tak seperti yang diterapkan di sekolah
partikulier atau HIS Gouvernment. Peserta didik di sekolah SI
dituntut untuk suka bekerja keras untuk mencari ilmu, karena
itulah bekal bagi kehidupan mereka. Tan Malaka yang memang
menyelami ilmu pendidikan sadar betul bahwa anak-anak didik
tak boleh tercerabut dalam masa yang seharusnya mereka alami,
62
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 85

88
yaitu kesukaan bergaul sebagai anak-anak. Berikut adalah
penjelasan tentang Tiga Prinsip Pendidikan Sekolah Sarekat
Islam.

1. Pendidikan sebagai Bekal Hidup

Tan Malaka menyadari bahwa Belanda telah menindas melalui


pendidikan yang hanya berorientasi keada kepentingan mereka,
yaitu kebutuhan akan tenaga kerja di pabrik, pegawai pos, tukang
menghitung uang, daripada mengembangkan kebudayaan melalui
pendidikan.

....kita berani mengatakan, yang juga berumur segitu atau lebih,


mesti akan kalah sama anak-anak kita. Nah, kalau bangsa Eropa
meninggikan betul kepintaran menggambar itu, lebih-lebih bangsa
Belanda, kenapa tak dikeluarkan kepandaian yang terpendam pada
bangsa Jawa itu? Jawabnya: barangkali sebab pabrik gula atau
kantor post lebih suka sama yang pandai menyalin kopi, atau
menghitung uang masuk dan keluar, daripada sama orang yang
pandai menggambar Doso Muko.53

Pada Masa ini, pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda


tak memberi ruang kepada rakyat untuk mempelajari budaya
mereka sendiri, misalnya, etnis Jawa yang ragam budayanya
hanya didik sebagai pekerja saja. Berbeda dengan sekolah SI, Tan
Malaka memberi ruang kepada peserta didik untuk mengenal
budaya kuno mereka, misalnya wayang, tembang-tembang. Di
sekolah SI akan dapat dilihat didinding sekolah beragam gambar
tokoh-tokoh wayang, seperti Bambang Irawan, Prabu Doso Muko,
Gatot Koco, dan sebagainya. Disinilah kemerdekaan berekspresi
dirasakan oleh peserta didik. Menurut Poeze, Tan Malaka sangat
menghargai budaya Jawa, sehingga dia pernah berdebat dengan
pakar pendidikan masa itu, Raden Kamil, dia lebih condong
kepada pendidikan Barat sementara Raden Kamil menentang
segala budaya dan organisasi yang berbau Jawa, sehingga Tan
Malaka menulis seperti berikut.

Bagi kami kaum komunis yang sama-sama mencintai negeri ini,


pendirian kaum Jong Java yang sekarang dapat kami pahami
sepenuhnya, karena kami berdiri di atas dasar sejarah. Seperti di
alam dunia, yang lama tak sepenuhnya hilang tetetapi yang lebih
baik muncul di samping yang lebih buruk, begitulah dapat kami
mengerti bahwa sinar yang samar-samar dalam sejarah Jawa yang
petang itu dapat mengikat hati jiwa pemuda. 54

53
Tan Malaka. SI Semarang dan Onderwijss. http://marxis.org/indonesia
54
Tan Malaka dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan. h. 186

89
Kepintaran anak-anak didik sekolah SI tak kalah dengan anak
tamatan HIS atau keluaran kweekschool. Penghambatan
pendidikan rakyat yang dirasakan oleh Tan Malaka adalah guru-
guru banyak terjebak dalam metode mengajar, sehingga peserta
didik tak bisa mencari jalan sendiri, dan kendala Bahasa Belanda
sehingga menghambat kemampuan mereka berhitung. Sedangkan
di sekolah Sarekat Islam peserta didik diberi kesempatan
kemauan akan berhitung sekuat mereka, sehingga bagi anak yang
kelas IV bisa mempelajari buku hitungan kelas V HIS.
Bahasa Belanda juga dipelajari dengan tekun oleh anak-anak
sekolah SI, Bahasa Belanda menjadi pelajaran Bahasa utama
yang dipelajari, dan masuk dalam roster. Bahasa Belanda dirasa
perlu karena kelak mereka akan berhadapan dengan kaum modal
yang berBahasa Belanda, tentu ini akan berbahaya bagi mereka
yang pintar tetapi tak bisa berkomunikasi dengan Bahasa
Belanda. Kurikulum yang dirancang dan diterapkan Tan Malaka
di sekolah SI ini tak luput juga di perbaiki sesuai kebutuhan dan
perkembangan: Selain daripada vak (mata pelajaran) berhitung,
menggambar, Bahasa itu, tentulah vak-vak ilmu bumi, babad
(sejarah) dunia, menyanyi dan sebagainya kita ajarkan dengan
cara dari dasar, yang cocok dengan haluan kaum SI, ialah kaum
yang melarat. Semua ini belumlah program yang sempurna. Kalau
ada perlu tentu disana sini boleh dirubah.55
Tan Malaka berpandangan bahwa peserta didik harus dapat
menghidupkan diri mereka kelak. Bagi murid yang tamat sekolah
pertanian, mereka kelak akan memimpin koperasi rakyat di desa-
desa. Bagi yang tamat sekolah tukang, mereka diharapkan
menyelenggarakan koperasi pertukangan. Sedangkan yang tamat
sekolah dagang akan dapat menyusun dan memimpin berbagai
macam koperasi.

2.Pendidikan Pergaulan Hidup

Soal pergaulan hidup, bukan hanya teori pada sosok Tan Malaka,
dari masa kecilnya Tan Malaka dikenal pandai bergaul, sampai
ketika studi di Belanda dia dikenal sebagi sosok yang
penggembira, mudah tertawa, dan senang bergaul, dan rasa
humor yang tinggi dan sering sekali menjadi hiburan tersendiri
bagi kawan-kawannya, sebagaimana yang digambarkan oleh
kawan sekelas Tan Malaka, C. Wiskeshuis, sebagaimana dikutip
Poeze.

55
Tan Malaka. Op. Cit. SI dan Onderwijs

90
Rupanya, ia kenal baik tulisan Max Havelaar, karena dalam
leluconnya ia sering mengutip Batavus Droogstooppel. Salah satu
leluconnya yang paling menarik dan selalu membuat kami tertawa
terbahak-bahak ialah pertunjukannya di depan kelas bila guru
kami sebentar saja tak ada sebagai seorang penangkap burung
pipit.

Pergaulan internasional Tan Malaka tak dapat diragukan lagi.


Tan Malaka merupakan sosok yang terbuka dalam bergaul,
terutama kepada pemuda. Ketika di Uni Soviet ditengah-tengah
proyeknya menulis buku Indonezija ejo mesto na
proboezjdajoesjtsjemja Vostoke (Indonesia dan tempatnya di Timur
yang sedang Bangkit) Tan Malaka membuka ruang bagi pemuda
untuk berdialog dengannya: Kamar saya di sebuah bekas hotel
dan terbuka siang dan malam untuk kawan-kawan dan pelajar-
pelajar. Bahkan pada waktu saya tidur malam, kamar saya selalu
terbuka dan ada dua atau tiga pelajar yang bekerja menjelang
ujian, karena kamar saya cukup besar dan tenang untuk belajar.
Kamar yang tenang ini diberikan kepada saya untuk menulis
buku.56
Tan Malaka yang dididik dari kecil dengan watak sosialis dan
budaya terbuka sangat menentang individualisme. Kebiasaan
hidup individualis sudah diantisipasi di sekolah SI, anak-anak tak
hanya disibukkan dengan tugas belajarnya di sekolah. Bagi Tan
Malaka anak didik bukanlah pabrik yang tak berhenti bekerja,
mereka harus diberi kesempatan untuk menikmati hari-harinya
dengan bermain dan bercengkrama bersama rekan sebaya
mereka. Konsep pendidikan pergaulan ini bukanlah tak ada
maksudnya. Memberi kebebasan pergaulan peserta didik kelak
akan menjadi orang yang tak individualis, yang hanya disibukkan
dengan diri sendiri.
Dengan permainan hal ini akan membentuk karakter mereka,
dari main layangan sekalipun!. Dalam setiap permainan anak-
anak, mereka memiliki peraturan sendiri walau tak tertulis yang
harus ditaati mereka yang sedang bermain. Di permainan
tersebut akan muncul tokoh yang memimpin permainan sehingga
bagi yang melanggar akan kena tegur dan tentu saja bagi yang tak
mendengar maka mereka akan dikeluarkan dari permainan. Guru
tetap memiliki peran dalam permainan tersebut tentunya dengan
tidak menjadi diktator: Sifat yang batin-batin itu mesti kita
majukan dan mesti kita sambung. Apa yang kurang mesti kita
tambah. Tetetapi tak semacam guru tak boleh jadi diktator dalam
permainanya, dia mesti merdeka sendirinya. Cuma kalau dia
salah atau tak tahu jalan, baru kita memberi nasehat. 57
56
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I.
57
Tan Malaka. Op. Cit. Sarekat Islam. http://marxis.org/indonesia/index

91
Bentuk kegiatan pergaulan tersebut termanifestasi dalam
commite untuk bibliitheek (perkumpulan buku-buku), komite
kebersihan, klub sepak bola, coorziter dan bestuur yang mereka
bentuk sendiri peraturan dan rapat-rapatnya. Di forum yang
mereka buat sendiri, mereka berlatih bicara dan mengaktualisasi
diri.

3.Pengabdian kepada Rakyat

Tan Malaka mengharapkan agar peserta didik kelak tak


membelakangi rakyat, dan terperangkap dalam neraka
kemodalan. Kalau yang terjadi pada masa itu banyak anak yang
telah selesai pendidikan sekolah pemerintah memisahkan diri
permasalahan kehidupan rakyat, itu dikarenakan pendidikan
yang diinternalisasikan di sekolah. Di sekolah pemerintah
diajarkan kebersihan tetetapi tak dijelaskan apa bahaya
kekotoran, sehingga ketika mereka selesai tak ada kehendak
membiasakan kebersihan kepada kaum melarat malah mereka
beranggapan bahwa kekotoran adalah kebiasaan kaum tersebut.
Kebiasaan pendidikan yang tak menanamkan kecintaan kepada
rakyat tersebut membuat jarak anatara kaum terpelajar dan
rakyat.

Tentulah tiada perkara kebersihan saja yang mendatangkan


pisahan itu. Juga kepandaian, adat istiadat, yang didengarkan atau
dibacanya dalam sekolah, sama sekali tak menanam belas kasihan
pada Kromo. Dan kalau tiada dibangunkan rasa kewajiban dan
kecintaan, maka sudahlah tentu yang bersih pandai dan sopan itu
tiada akan tahu menahu yang kotor, bodoh dan biadab, kata kaum
sana itu.

Permasalahan kerja tangan juga menjadi pemisah antara


kaum terpelajar dan rakyat, mereka merasa terlampau tinggi
untuk mengerjakan pekerjaan tangan yang biasa dikerjakan oleh
rakyat. Sekolah telah menjadikan mereka yang hanya bekerja
dengan otak saja, sehingga menganggap rendah pekerjaan
mencangkul, atau bertukang. Inilah yang diajarkan di sekolah
Belanda: menganggap rendah dan hina segala yang dikerjakan
rakyat jelata. Sementara di sekolah SI, anak-anak tak hanya
diajarkan tentang teori kebersihan belaka, tetetapi diajarkan
sendiri mencari kebersihan, tak ada jongos - jongosan.
Program kebersihan tersebut dilaksanakan oleh Komite
Kebersihan, komite ini menjaga segala pekerjaan yang
berhubungan dengan kebersihan sekolah, seperti bangku, papan
tulis, meja, kelas dan lingkungan. Menurut Tan Malaka, apabila
datang ke sekolah sebelum jam 8, maka akan dapat dilihat anak-

92
anak sekolah SI menyingsingkan lengan baju, memegang kain,
ember untuk bersih-bersih. Tentu saja ini sebuah kemajuan pada
saat itu, karena 2 atau 3 bulan sebelumnya, ketika anak-anak
diminta untuk bersih - bersih, mereka akan menolak dengan
menjawab: itu pekerjaan jongos.

Memandang rendah pada pekerjaan tangan, yakni kerja ibu


bapaknya hari-harian, itulah yang mau kita perangi dengan sekuat-
kuatnya. Anak - anak mesti cinta pada segala macam pekerjaan
yang disahkan (halal). Sesudah kita bisa buang sifat didikan yang
bisa mendatangkan benci pada kaum kromo (yang kerja tangan itu),
maka harus kita perhubungkan anakanak kita dengan kaum
melarat. Itulah gunanya, kalau ada tempo kita membicarakan nasib
si Kromo; kita menanam hati belas kasihan sama bangsa yang
tertindas; kita menunjukkan kewajiban sebagai anak kaum yang
tertindas itu. Sebab itulah kita membangunkan hatinya, supaya
berani bicara dalam vergadering SI, atau vergadering Kaum
Buruh.

Untuk menyampaikan kepedulian terhadap kaum kromo


tersebut, maka anak-anak sekolah SI perlu memiliki keterampilan
berbicara. Dalam komite - komite yang mereka dirikan, secara tak
langsung hal tersebut sudah membentuk tokoh di komunitas
mereka. Diharapkan kelak ketika mereka selesai sekolah tak akan
terpisah dari ibu bapaknya. Tentang komite-komite yang
dibentuk anak-anak sekolah SI tersebut, Tan malaka
menyimpulkan empat hal berikut:

Di sekolah anak-anak SI mendirikan sendiri pelbagai-pelbagai


vereeniging yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan
otak). Dalam urusan vereeniging- vereeniging tadi anak-anak itu
sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah menegerti
dan merasa lezat pergaulan hidup.

Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia


lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu.
Selainnya daripada itu kita membangunkan hati belas kasihan pada
kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan
akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-
juta kaum Proletar.
Dalam vergadering SI dan buruh, maka murid-murid yang sudah
bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya
Kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang
sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.

Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan


pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela rakyat tak

93
dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi
watak dan kebiasaannya masing-masing. 58

Sebuah momen yang tak pernah dilupakan adalah ketika


beberapa murid meminta orangtua, dan murid-murid berumur 14
an agar memajukan organisasi mereka. Setelah itu diadakan
sebuah defile dimana para murid bercelana merah, berbaris,
bersaf-saf di depan masyarakat dan mengumandangkan lagu
internasionale untuk pertama kalinya. Setelah sekian lama dalam
kegelapan kebodohan, momen ini membuat suasana haru, air
mata berlinang terlihat dikhalayak yang merasa sedih, gembira,
dan takjub.59 Masyarakat merasa sedih karena menyadari
anaknya yang beranjak menjadi manusia Indonesia, walau
dengan kondisi sekolah yang serba terbatas. Masyarakat merasa
gembira karena bangga bahwa anak mereka dididik bukan untuk
menjadi alat penjajah, tetetapi buat mengangkat derajat, harkat
dan martabat rakyat yang tertindas, terhisap dan terhina
penjajah.

4. Manajemen Sekolah sarekat Islam

Visi Tan Malaka terhadap pembiayaan sekolah Sarekat Islam


adalah keterlibatan seluruh rakyat jelata. Selanjutnya Sarekat
Islam sangat bergantung pada derma sosial masyarakat: ....kelak
diwujudkan program yang meliputi seluruh rakyat. Dengan
perhatian dan bantuan rakyat jelata, seluruhnya atau sebahagian
besar......60
Pengurusan keuangan sekolah-sekolah dikoordinasikan oleh
sebuah komisi sentral dan kas sentral. Komisi ini menurut Poeze
menerima sisa-sisa dari sekolah-sekolah dan sumbangan dari
dermawan. Dari dana sentral inilah kemudian membiaya
pembangunan sebuah sekolah menengah.61
Tan Malaka menghendaki sekolah yang seperti didirikan di
Semarang dapat berkembang di daerah lain. 62 tentunya tetap
dalam onderwijs (haluan) pendidkan SI. Banyak permintaan di
daerah lain agar sekolah tersebut didirikan disana, mereka sudah
mempersiapkan fasilitasnya, namun perkembangan sekolah SI

58
Ibid. h. 11
59
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I. h. 86
60
Ibid. h. 87
61
Poeze. Op. Cit. Pergulatan... h. 187
62
Pada perkembangannya, Bandung adalah daerah kedua berdirinya sekolah
Sarekat Islam dimana seorang dermawan anggota Sarekat Islam menyediakan
gedung sekolah, dan taman bermain yang baik. Pada masa ini terdapat 300
orang murid, yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke
Bandung

94
terkendala oleh tenaga guru. Kendala tersebut dikarenakan
sulitnya guru keluaran kweekschool yang mau atau berani
memihak pada perjuangan melalui pendidikan tersebut
dikarenakan permasalahan gaji dan keinginan kuat, ataupun
haluan politiknya.
Murid sekolah Sarekat Islam terus bertambah sampai 200
orang. Mulai banyak orang yang berminat menjadi guru datang
dari berbagai penjuru, bahkan ada yang rela meninggalkan
kemapanan di tempat kerja lamanya hanya untuk menjadi
sukarelawan di sekolah SI. Memperhatikan minat yang tinggi
tersebut Tan Malaka mengadakan pelatihan-pelatihan calon guru
dengan memberikan pemahaman kerakyatan.
Untuk mengatasi kekurangan guru, Tan Malaka melatih anak
didik sekolah SI untuk dipersiapkan menjadi guru. Setiap sore
sebanyak 3 x seminggu di kantor sekolah SI mereka mendapat
pelatihan menjadi guru, mereka mendapat materi Bahasa
Belanda, membaca, berhitung dan pedagogie.

Dari pukul 8-1 (pagi) ia meneruskan pelajarannya di sekolah.


Karena ia lekas sudah mengerjakan tiap-tiap vak, maka selama
jam temponya itu, ia disuruh membantu guru-guru SI di kelas I dan
II (semacam guru bantu).

Tiap-tiap sore murid-murid besar itu diberi imu pendidikan


(paedagogie), supaya teorinya buat mengajar semacam guru. 63

Pelatihan guru sekolah SI tersebut dirancang sama tinggi


pengajarannya dengan kweekschool gouvernment. Profesionalisme
mulai dibicarakan disini, sudah mulai dibicarakan masalah gaji
guru sekolah SI. Perhitungannya sebagai berikut: Murid yang
sudah mendapat kursus 1 tahun berhak mengajar di kelas I SI
dengan gaji f 40,-, murid yang sudah menjalankan pelatihan guru
selama 2 tahun berhak mengajar di kelas VII SI dengan gaji f 100.
gaji akan bertambah seiring bertambahnya murid dan kemajuan
sekolah. Berikutnya manajemen keuangan tersebut dapat dilihat
dalam tulisan Tan Malaka berikut.

Di bawah ini kita kasih begrooting, yang kira-kira bisa diteruskan


di kota besar-besar seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta,
dsb. SI, school yang mempunyai murid 300. jumlah uang sekolah
sebulan = 300 x f 3 = f 900. Gaji guru-guru = f 40 + f 50 +f 60 + f 70
+ f 80 + f 90 + f 100 = f 490. Sisa = f 510.Yang f 500 lebihnya ini
boleh sebagian dipakai untuk menambah gaji guru yang sudah lama
dinas, yang rajin, pandai dan sebagainya sehingga rasanya
maximum f 200 bisa didapat. Banyak murid itu bisa lebih dari 300,

63
Tan Malaka. Op. Cit. Sarekat Islam. http://marxis.org/indonesia/index

95
karena kita bikin paralelklassen (Ia, Ib, Ic; kelas-kelas ini sama
pengajarannya, Cuma gurunya lain-lain, sehingga di klas I saja bisa
masuk lebih dari 2 atau 3 guru, dan murid lebih dari 100 atau
200).64

Ambisi Tan Malaka untuk mendidik rakyat terlihat dari


perhitungannya tentang kemungkinan yang kecil bagi pemerintah
untuk menggarap sekolah rakyat tersebut. Dengan besarnya
jumlah penduduk nusantara, sementara anak yang tamatan
sekolah pemerintah baru 2%. Untuk itulah sekolah SI harus
merebut pasar yang besar tersebut, dengan cepat bergerak
dengan kaderisasi guru. Dalam perhitungan Tan Malaka, selama
10 sampai 15 tahun akan dirasakan banyaknya kaum terpelajar
dari rakyat. Merekalah yang diharapkan nantinya untuk
pergerakan rakyat dan pergerakan kemerdekaan.
Persaingan sekolah SI dan sekolah pemerintah ini semakin
gencar, untuk itu sekolah SI terus meningkatkan kualitasnya
sehingga kaum kromo akan membawa anaknya untuk dididik.
Strategi yang diterapkan di sekolah SI adalah memberi kebebasan
kepada anak didik untuk perkumpulan dan permainan, sehingga
banyak anak yang keluar dari sekolah HIS Gouvernment untuk
masuk ke sekolah SI karena tertarik dengan lingkungan belajar di
sekolah SI.
Soal kurikulum sekolah SI memiliki konsep sendiri, mulai dari
buku bacaan, Ilmu Bumi, Babad dan sebagainya. Sekolah SI juga
memperhatikan ilmu pertukangan, dengan merekrut tenaga ahli.
Tentunya keahlian tersebut diberikan agar kelak keluaran sekolah
SI bisa bersaing, tentunya selama anak tersebut memiliki didikan
kerakyatan dan rajin dalam menekuni pelajarannya. Semakin
dahsyatnya pergerakan pedidikan Tan Malaka dengan sekolah SI
ini membuat pemerintah kolonial merasa terancam.

Demikianlah ringkasnya saja maksud kita tentangan onderwijs


buat Rakyat. Barangkali reaksi dan musuh kita tak akan kurang
terus memfitnah dan menghalang-halangi daya upaya kita. Nyata
sudah, bahwa dari pihak pemerintah kita tak akan mendapat
bantuan. Jangankan bantuan, tetetapi kemerdekaan pun tak kita
peroleh, yakni kemerdekaan seperti pada tiap-tiap orang atau
vereeniging (partikulier dan zending) buat mendirikan sekolah yang
cocok dengan haluan masing-masing.65

Sekolah SI terus mendapat tekanan keras, misalnya ketika


sekolah SI ingin melaksanakan pasar derma untuk memperbaiki
sekolah, sampai anak anak didik dilarang menyanyikan lagu
64
Ibid. h. 12
65
Ibid, h. 14

96
Internationale. Dengan melarang kegiatan derma tersebut,
sebenarnya secara tak langsung pemerintah kolonial telah
memberangus sekolah SI, karena sekolah SI menghidupkan
dirinya dari derma sehingga dapat memberi subsidi. Walau
berbagai cara menghalangi perkembangan sekolah SI tersebut
tidaklah melemahkan pergerakan pendidikan rakyat.

Buat kita sendiri sudah cukup bukti yang menerangkan, bahwa


peraturan SI school Semarang, sudah dimufakati oleh beribu-ribu
kaum SI. Hal ini mengeraskan keyakinan kita, bahwa jalan dan
haluan kita lurus dan sah. Apa kehendak dan perbuatan kaum
sama, kita tunggu dengan hati tetap. Ikhtiar kita, yaitu hendak
menarik hati SI terhadap kepada didikan kita, sudahlah cukup
hasilnya. Kepercayaan Rakyat yang sudah diperoleh itu bagi kita
laksanakan sesuatu wet yang kita akui sah dan terkuasa;
kepercayaan itulah saja yang menumpu (mendorong) kita dari
belakang untuk berjalan terus, dengan tiada menoleh kiri kanan. 66

Aksi pendidikan Tan Malaka di sekolah Sarekat Islam benar-


benar menjadi sorotan Belanda. Pergerakan perguruan sekolah
Sarekat Islam yang diidentikan dengan Sekolah Model Tan
Malaka tersebut menjadi pemBahasan di sebuah ensiklopedi yang
berjudul Encyclopaedie van Need. Oostindie vi Suplement, di
halam 534, yang diterjemahkan Tan Malaka sebagai berikut.

Dimana-mana berdiri sekolah rakyat menurut model Tan Malaka;


diantara pekerjaan murid termasuk juga pembentukan barisan
(Barisan Muda, Sarikat Pemuda, Kepanduan) satu dan lainnya
cocok dengan system Komintern. Dimana mungkin dibikin kursus
kilat untuk membentuk propagandis yang aktif, yang sebagai warga
rumekso akan menjadi kader organisasi, mula-mula dalam rapat
terbuka kemudian dalam rapat anggota atau rapat tertutup yang
terbatas. Aturan (Pemerintah) untuk penyelidikan perguruan
partikelir bumiputera (Ind. Stsb 1923 No.136 j. 374) ternyata tak
berdaya buat memberantas propaganda perguruan yang semacam
itu (Lihatlah pemberitahuan pemerintah tentang beberapa perkara
kepentingan umum, April 1924: Bijl. A. Koloniaal Vreslag 1924). 67

Dari terjemahan di atas, dapat dilihat betapa Belanda sangat


khawatir akan perkembangan sekolah yang mereka sebut sebagai
Sekolah Model Tan Malaka yang akan melahirkan kader-kader
pergerakan kemerdekaan. Pada saat itu permintaan pendirian
sekolah SI datang dari pelosok malang, namun tetap Semarang
sebagai pusat.
66
Ibid. h. 55
67
Terjemahan Tan Malaka terhadap Encyclopaedie van Need. Oostindie vi
Suplement. Dalam Penjara I. h. 88

97
Sistem pendidikan yang dianggap Belanda menganut komunis
internasional, akan membahayakan pemerintah kolonial.
Memang visi pendidikan sekolah Sarekat Islam lebih bernuansa
Marxis.68 Seperti yang ditulis oleh Tan Malaka dalam
pembuangannya di buku berjudul Pembuanganku.

1. Pendidikan yang baik, selain harus memberikan pengetahuan


sekolah (berhitung, membaca dan menulis, Bahasa, dst.), harus
pula menerangkan hubungan-hubungan dan keadaan sosial di
Hindia, dengan perkataan lain, dalam arti komunis.
2. Sebagai kebajikan-kebajikan susila diperhatikan apa yang
diperlukan untuk meningkatkan rohaniah dan moral kaum
proletar dan petani Hindia, yang akan menghasilkan
pembebasan ekonomi dan politik mereka. Kebajikan-kebajikan
itu tak dapat disampaikan kepada mereka hanya dengan kata-
kata dan buku-buku saja, tetetapi harus mereka miliki melalui
rapat-rapat dan perkumpulan-perkumpulan.

3. Sekali bebas dari ideologi kapitalis, mereka harus sebanyak-


banyaknya membebaskan diri dari kapitalisme, secara materiil
dan kolonial, sehingga cita-cita mereka dapat tetap dipelihara
dalam bentuk murni. Karena itulah dibuat berbagai bagian
dalam sekolah SI, khusus untuk anak-anak yang sedikitnya
berusia tiga belas tahun, yang akan membuat mereka nanti
cocok untuk menjadi tenaga atau pemimpin yang akan datang di
bidang kejuruan, pertanian, atau koperasi.69

Semaun dalam sebuah kesempatan di sebuah kongres PKI di


Rusia pada tahun 1921 menyampaikan fenomena sekolah SI Tan
Malaka ini. Semaun menjelaskan bagaimana Tan Malaka
memiliki peran penting dalam membangun kesadaran dan
menciptakan kader komunis muda dan sekolah tersebut semakin
berkembang di Hindia Belanda walau dengan berbagai kendala
boikot pemerintah kolonial dan kekurangan dana.70

Taklah berlebihan kalau Semaun memuji Tan Malaka atas


kesuksesannya mendidik anak-anak tersebut agar kelak menjadi
komunis handal, menurut Poeze sekolah SI baru yang akan
didirikan ada di dua belas tempat dengan rata-rata 250 murid,
yang apabila dijumlahkan akan mencapai 3000 murid, yang jika
sebagian besarnya adalah pengikut komunis aktif maka akan

68
Poeze. Op. Cit.Pergulatan. h. 189
69
Tan Malaka. Perjuanganku. Seperti dikutip Poeze. Op. Cit. Menuju. h. 189
70
Pidato Semaun di Kongres Partai Komunis di Moskow, disampaikannya
dalam Bahasa Jerman, sebagaimana Poeze mengutip terjemahannya. Ibid. h.
189

98
menjadi dukungan yang dahsyat bagi PKI yang pada saat itu
masih krisis kader.

Kesuksesan sekolah Sarekat Islam tersebut menurut R. Kern


dalam penasehat pemerintah dalam bidang pribumi ,
dikarenakan beberapa hal berikut:

1. Kurangnya tempat bagi pribumi untuk belajar di HIS.


Apabila HIS diperluas maka fenomena sekolah SI dapat
diatasi atau dilawan.

2. Bakat Tan Malaka dalam mengorganisir. Tentang bakat


organisasi Tan Malaka ini tentunya tak dapat diragukan
lagi, dia biasa berorganisasi dan sering menggerakan massa
dalam jumlah besar, maupun dalam pola pergerakan
bawah tanah.71

3. Penguasaan Tan Malaka dalam bidang pendidikan. Tan


Malaka adalah seorang tamatan kweekschool, dan tamatan
sekolah guru di Haarlem dengan prestasi yang baik dan
benar-benar belajar serius selama masa studinya. Hingga
teori-teori yang dikuasainya secara matang menjadi
lengkap ketika dimanifestasikannya dalam sebuah lembaga
pendidikan.

4. Bakat improvisasi Tan Malaka. Pada permulaan berdirinya


sekolah SI, hanya Tan Malaka sendiri tamatan Belanda,
bagi guru alumni Belanda tak ingin mengajar di sekolah
yang didirikkan Tan Malaka tersebut karena bergaji kecil.
Namun kondisi ini malah menjadi kekuatan bagi Tan
Malaka dan sekolahnya, guru diambil dari muridnya
sendiri, dilatihnya sendiri hingga menjadi guru-guru
revolusioner pembela kaum proletar.

5. Biaya pendidikan rendah. Orangtua murid yang terdiri


kaum jelata proletar menjadi termotivasi untuk

71
Kecakapan Tan Malaka sebagai organisator ini juga diakui oleh Gubernur
Jenderal. Dia mengirimkan kawat tanggal 21 Februari kepada Menteri Daerah
Jajahan yang mengatakan bahwa soerang komunis pribumi Tan Malaka adalah
seorang organisator yang kuat dan baik sekali yang terbukti dari kesuksesan
sekolah-sekolah komunis yang didirikannya. Kawat ini disampaikan sebagai
kekhawatirannya atas permintaan Tan Malaka untuk diinternir (dibuang) ke
Belanda. Permintaan Tan Malaka ini membuat bingung pemerintah kolonial
dan mencari cara agar jangan sampai dia diinternir ke Belanda, walaupun pada
akhirnya disetujui.

99
menyekolahkan anaknya dikarenakan biaya yang ringan,
bahkan bisa digratiskan.

6. Berideologi anti kolonial. Kondisi masyarakat Jawa yang


merindukan masa kejayaan memandang sekolah Tan
Malaka akan dapat mewujudkan kejayaan nasional dengan
mencetak kader-kader muda pergerakan hingga dapat
kembali mengalami kemakmuran, perdagangan, seni dan
kebudayaan.

5. Sekolah SI Bandung

Pada perkembangannya, Bandung adalah daerah kedua


berdirinya sekolah Sarekat Islam, dimana seorang dermawan
anggota Sarekat Islam menyediakan gedung sekolah, taman
bermain yang baik. Pada masa ini terdapat 300 orang murid,
yang membuat Tan Malaka mengerahkan tenaga guru baru ke
Bandung.

Pada kunjungannya ke Bandung, Tan Malaka sangat bangga


bercampur sedih melihat sekolah rakyat72 kedua di Bandung.
Merasa bahagia, karena sekolah rakyat di Bandung sangat besar,
bersih, dan dikelilingi lapangan yang luas. Terlampau bagus bagi
anak-anak proletar! Kata Tan malaka. Sedihnya Tan Malaka
karena sambil mengamati kemewahan sekolah rakyat di bandung
tersebut dia terkenang dengan murid-muridnya di Semarang
yang belajar dalam keadaan serba minim. Sekolah SI Bandung
pertama mencapai sukses besar, sehingga sebulan kemudian
dirancang kegiatan derma pada tanggal 4 sampai 7 Maret untuk
membangun sekolah kedua. Namun secara tiba-tiba pada tanggal
3 Maret Prokurur Jendral di Batavia melarang kegiatan derma
tersebut. Kerugian besar dialami oleh sekolah SI Bandung, yang
menurut perhitungan Tan Malaka mencapai f 14.000. namun
aksi boikot pemerintah tersebut memunculkan solidaritas dengan
memberikan tanah untuk sekolah baru SI Bandung.73

Menurut perhitungan pemerintah kolonial, dengan pelarangan


derma ini, maka otomatis sekolah SI akan perlahan hancur
karena permasalahan keuangan. Tetetapi dalam pelaksanaannya
sekolah SI tetap berjalan, bahkan semakin gencar dengan
propaganda tentang pentingnya pendidikan bagi pribumi.

72
Karena terjadi perubahan nama Sarekat Islam menjadi Sarekat Rakyat, maka
nama sekolah Sarekat Islam juga mengalami perubahan
73
Ibid. h. 180

100
6. Pemboikotan Sekolah SI

Pelarangan pasar derma sekolah SI di Semarang maupun di


Bandung membuat SI mengadakan rapat. Hasil dari rapat adalah
membuat propaganda-propaganda, diantaranya anak-anak
sekolah SI di bawah kordinasi orang dewasa memakai selendang
merah dengan terdapat tulisan rasa merdika mengumpulkan
uang dan mencari perhatian penduduk dengan menyanyikan lagu
internasionale, bahkan Tan Malaka pernah memimpin langsung
anak-anak menyanyi internasionale.73 Juga di dalam rapat-rapat
anak-anak diberi waktu pidato dengan berisikan meminta
bantuan perpustakaan dan kebutuhan lain yang menunjang
pendidikan mereka.

Akibat aktifitas propaganda ini, pengurus sekolah SI


mendapat peringatan dari pemerintah kolonial. Pemerintah
kolonial tak menindak murid-murid yang menjalankan aksi
protes, tetetapi yang menjadi target jerat hukuman adalah
pemimpinnya, yaitu Tan Malaka dan para pengurus sekolah.
Menanggapi peringatan ini SI mengadakan rapat protes dengan
dihadiri PKI, Budi Utomo, dan Sarekat Hindia. Rapat protes ini
merupakan puncak protes tehadap kebijakan pemerintah kolonial
melarang sekolah SI. Tan Malaka menggambarkan dalam
bukunya Mijn Verbanning (pembuanganku), bahwa rapat dihadiri
sekitar lima ribu orang laki-laki pada pagi hari dan pada sore hari
dihadiri sekitar empat ribu wanita pribumi.

Pada rapat protes ini Tan Malaka memiliki kesempatan


berpidato dengan menyampaikan bahwa sekola SI sudah
memiliki komite perpustakaan, dan menerima bantuan buku dari
Palembang, dan Shanghai. Dari Yogyakarta, Kaliwungu, Salatiga
sudah meminta didirikan sekolah SI. Tan Malaka juga
menyampaikan bahwa sekolah SI mencetak guru dari internal
sendiri, dengan tak meminta bantuan dari tenaga guru
pemerintah kolonial, karena guru-guru pemerintah dianggap tak
mencintai rakyat dan pekerjaan mendidik rakyat. Rapat protes itu
menghasilkan sebuah mosi yang berisi menentang tindakan
pemerintah kolonial yang menghambat perkembangan
pendidikan rakyat. Mosi ini disampaikan kepada Gubernur
Jendral, Dewan rakyat, dan Tweede Kamer (Majelis Rendah).

73
Menyanyikan lagu internasionale yang arti baitnya : Negara menindas,
hukum membohong di depan umum dapat dijerat pasal 145 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Sedangkan anak-anak berselendang merah berpawai
tanpa izin bisa dijerat pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

101
Seorang pemimpin komunis Abdulrachman mengatakan
bahwa dengan rapat protes itu, pemerintah kolonial akan
membuang orang-orang yang terlibat sebagai pembicara,
terutama Tan Malaka karena dianggap paling berbahaya. Tentang
kondisi rapat yang dijaga oleh militer itu, Tan Malaka menulis
sebagai berikut:

Semarang pada malam pertama diadakan propaganda tampak


seperti kota yang telah diduduki militer. Patroli-patroli bersenjata
berbaris di jalan-jalan kecil di desa-desa tempat diadakan rapat.
Petugas polisi reserse yang bersenjata memasuki tempat rapat dan
mencatat nama propagandis-propagandis kita dan murid-murid kita
dan bertanya apakah mereka berlaku demikian atas perintah saya.
Anak-anak kita tak bisa ditakut-takuti! Sampai saya meninggalkan
rapat, propaganda dijalankan dengan sukses besar, sehingga anak-
anak kita memperoleh sifat-sifat yang diperlukan untuk pejuang-
pejuang yang akan datang, tak dari buku, tetetapi dari praktek. 74

Gambaran Tan Malaka tentang kondisi rapat protes


menentang sikap pemerintah kolonial terhadap sekolah SI
tersebut seakaan-akan pemerintah melihat barisan murid seperti
menghadapi barisan tentara yang disikapi dengan penjagaan
militer berlebihan. Pendidikan merupakan mesiu paling
menakutkan bagi pemerintah kolonial, untuk itulah segala upaya
dilakukan agar pendidikan tak berkembang pesat bagi pribumi.

7. Politik dan Pendidikan

a. Panggilan Revolusi

Melihat semakin berkembangnya sekolah SI, mulai muncul


kekhawatiran seorang tokoh Sarekat Islam Busro bahwa sekolah
SI akan berbahaya (jatuh) kalau suatu saat ditinggal
penggeraknya, Tan Malaka.75 Bahkan sebelum ke Rusia Semaun
juga memberikan nasehat kepada Tan Malaka.76 Kekhawatiran ini
merupakan hal wajar, karena Busro melihat sosok Tan Malaka
yang revolusioner sangat aktif dalam berbagai sidang terbuka.
Kekhawatiran Busro tersebut disampaikannya kepada Tan
Malaka, memperingatkan bahwa sebaiknya Tan Malaka jangan
dulu berbicara di rapat umum, biarlah dilaksanakan orang lain
dulu. Busro menyarankan kepada Tan Malaka sebaiknya dia
fokuskan diri mengurus bidang pendidikan, kalau Tan Malaka

74
Tan Malaka. Pembuanganku. Dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan
75
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara I.
76
Semaun. Bung Tan. dalam Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka. h. 24.
sebagaimana dikutip Poeze. Op. Cit. Pergulatan. h. 192

102
terlampau aktif di gerakan politik akan menghadapi resiko
penangkapan dan pembuangan.

Pada periode berikutnya kekhawatiran Busro dan Semaun ini


terbukti, Tan Malaka dibuang dengan meninggalkan sekolah SI
yang sedang berkembang dan masih membutuhkan pemikiran
dan tenaganya. Sebenarnya Tan Malaka menyadari nasehat bijak
tokoh Sarekat Islam tersebut. Namun pada kenyataannya
pergerakan kemerdekaan masih kurang tenaga di lapangan,
sehingga membuat Tan Malaka harus turun di rapat-rapat
umum.77

Di Surabaya Tan Malaka tampil dalam rapat umum dengan


mengangkat topik persekutuan Turki dan Soviet. Sebelum
berbicara Tan Malaka diingatkan untuk tak mengangkat topik
komunisme, karena iklim politik yang tak kondusif. Momen-
momen aktifitas politik tersebut diibaratkan oleh Tan Malaka
menginjak tanah lincir. Akibat aktifitas politiknya inilah yang
membuat takdir hidupnya tak hanya sebagai seorang guru,
tetetapi juga politisi gerilyawan. Disini saya menginjak tanah
lincir yang dinamai politik. Sekali kaki menginjak. Tak mudah
ditarik kembali.78

Pernyataan Tan Malaka tersebut dikatakan ketika Tan Malaka


diminta oleh Semaun untuk menjadi Wakil Ketua Serikat Buruh
Pelikan (tambang) Indonesia di Cepu. Pada periode berikutnya
karir politik Tan Malaka lebih menonjol daripada aktifitas
pendidikannya. Mulailah Tan Malaka menjadi pemimpin Partai
Komunis Indonesia, walaupun sebenarnya dia berkeberatan,
tetapi dia tak dapat menolak karena suara sudah bulat
memilihnya sebagai pemimpin: ....Saya memajukan keberatan,
tetap tak berdaya berhadapan dengan suara bulat dan disiplin. 79

Dalam catatan Tan Malaka di buku Dari penjara ke penjara dia


berada di Semarang selama 6 bulan, dan waktunya dihabiskan
99% untuk perguruan. Tan Malaka menghitung aktifitas
politiknya sebanyak 6 jam diluar perguruan: tiga jam di depan
kongres PKI, satu jam di depan VSTP, satu jam bergelut dengan
buruh tambang Cepu, dan sisanya terbagi di empat tempat.

77
Pada saat Tan Malaka mulai bergabung dengan Sarekat Islam, dan mulai
aktif dalam kegiatan politik, masa itu Sarekat Islam sedang menghadapi konflik
internal antara pemandangan Islamisme melawan komunisme
78
Tan Malaka. Penjara I. h. 89
79
Ibid. h. 90

103
Akibat aktifitas politiknya, Tan Malaka ditangkap ketika
kunjungannya ke Sekolah Rakyat Bandung 80 tanpa alasan yang
jelas saat penangkapannya.81Namun Tan Malaka menjelaskan
bahwa dia ditangkap karena telah terlibat dalam kegiatan
komunis internasional, salah satunya adalah melalui sekolah-
sekolah yang didirikan. Berikut potongan terjemahan
Encyclopaedie tentang penangkapan tersebut.

...,dan Tan Malaka dijatuhkan tindakan administrasi externeering


dan interneering, kepada Tan Malaka yang sudah beberapa tahun
teristimewa berusaha memberikan pengajaran dan pendidikan
kepada pemuda menurut dasar komunis internasional
(Malakascholen) ditunjukkan Kupang sebagai tempat tinggalnya. Dia
meminta meninggalkan Hindia Belanda,... 82

Dalam proses penangkapan tersebut Tan Malaka istirahat


dulu di penjara Bandung untuk kemudian pergi bersama reserse
ke stasiun, disana ia berpamitan dengan para pengurus sekolah
SI, guru-guru, dan murid-murid yang sangat mengalami
kesedihan atas penangkapan tersebut.83

Setibanya di Semarang, Tan Malaka disambut oleh nyonya


Snevliet, Dekker, dan murid-murid sekolah SI dengan
menyanyikan lagi Internasionale sebagai penghormatan terhadap
Sang Guru Revolusioner. Tapi Tan Malaka sebenarnya sudah
diturunkan satu halte sebelumnya untuk dibawa ke penjara.
Karena Belanda khawatir kharismatik Tan Malaka akan
menyebabkan kumpulan massa. Tentu saja penyambutan ini
menjadi sia-sia.

Menurut Poeze di penjara hanya ada pemimpin PKI Sudibio


menyambutnya dan berkata pada Tan Malaka Salam dari
kawan-kawan. Dalam kondisi seperti ini Tan Malaka dengan
ketabahan dan keteguhannya malah menguatkan kawan-kawan
seperjuangan dengan mengatakan, tetap tabahlah. 84 Di penjara
80
Menurut Poeze, di Bandung Tan Malaka tak hanya memantau dan mengajar
di sekolah SI Bandung tetetapi juga melakukan persiapan untuk pemogokan
umum.
81
Untuk apa Tan Malaka ditangkap pada saat itu, polisi Bandungpun tak
mengetahui alasannya, malah Tan Malaka terlibat diskusi panjang tentang
komunisme dengan para opsir. Menurut Tan Malaka dalam bukunya
Pembuanganku. Seperti dikutip Poeze.Pergulatan... h. 220. di penjara Tan
Malaka ditempatkan di kurungan orang Eropa karena ia dianggap sama
dengan orang Eropa sebab posisinya sebagai dewan gemeente di Semarang.
82
Tan Malaka. Op. Cit. Penjara 1. h. 98
83
Poeze. Op. Cit. Pergulatan. h. 221
84
Tan Malaka. Pembuanganku. dalam Poeze. Pergulatan... 221

104
Tan Malaka diberi kesempatan untuk membela diri sesuai pasal
47 Reglemen Pemerintah mengenai hak eksorbitan.85 Tan Malaka
diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang aktifitas politiknya,
namun tak dijawabnya.

Sebenarnya kalau berdasarkan hukum kolonial, Tan Malaka


belum cukup bukti kuat untuk ditarik ke pengadilan. Para ahli
hukum Belanda tak mendapatkan pasal yang dapat menjerat Tan
Malaka. Tidak bisa melenyapkan Tan Malaka berdasarkan role
the game, maka Belanda main kayu (Bahasa Tan Malaka)
dengan melakukan berbagai cara untuk mengasingkan Tan
Malaka dari rakyat,sehingga tak bisa terlibat dalam pergerakan
pendidikan rakyat, dan politik. Terbukti, dengan dibuangnya Tan
Malaka, ini mempengaruhi haluan pendidikan yang dirancang
Tan Malaka, pada masa berikutnya sekolah SI cenderung kepada
aktifitas propaganda antara SI Merah dan Serikat Rakyat, bukan
lagi berdasarkan untuk mencerdaskan dan memandirikan rakyat.

Perpecahan SI berdampak pada sekolah-sekolah yang


didirikan oleh Tan Malaka tersebut. Pada awal perpecahan hingga
munculnya SI-Merah dan Serikat rakyat memunculkan
keengganan SI Merah menjadi Serikat Rakyat yang di bawah
pengawasan PKI, namun pada April 1924 ada enam belas cabang
SI Merah yang bergabung ke SR dan secara resmi ditetapkan
pada kongres tanggal 20 dan 21 April yang dihadiri oleh Alimin,
Muso, Sardjono, dan Aliarchman. Semenjak bergabungnya SI
Merah ke SR, PKI mulai menggarap pendidikan yang memang
sudah mantap berdiri, dimanfaatkan sebagai sarana propaganda.
Peserta didik diberi materi Marxisme, dan teori-teori komunisme,
karena kelak mereka akan menjadi anggota PKI.

......Ringkasnya, walaupun perguruan sekolah rakyat tak


dipusatkan kepada usaha mengejar ijazah yang resmi, tetetapi
taklah saya lupakan kepentingan didikan kecerdasan otak yang
sesungguhnya dan latihan buat kepandaian yang berguna bagi
pencaharian hidup. Tetetapi kebencian anak muridd yang terbukti
pada perpisahan kami di semarang itu rupanya sangat
mempengaruhi pendidikan dan latihan di perguruan sekolah rakyat
dibelakang hari. Didikan akan condong kepada propaganda.86

Pada awal tahun 1924 menurut Poeze sudah ada 13 sekolah


SI. Tan Malaka dalam bukunya Pembuanganku seperti yang
85
Namun Tan Malaka tidak mau mengajukan pembelaan diri secara tertulis
karena dia menyadari tidak ada manfaatnya. Hal ini diungkapkannya dibuku
Toendoek seperti dikutip oleh Poeze. Pergulatan... h.221
86
Tan Malaka. Pembuanganku. Dalam Poeze. Pergulatanh. 350

105
ditulis Poeze, mengatakan bahwa sekolah SI berikutnya hanya
menjadi alat menarik para pengikut antara SI Semarang dan SI
Yogyakarta, salah satunya sekolah SI Bandung menjadi alat
propaganda. Sekolah SI menjadi lahan penting yang digarap PKI,
sehingga sekolah-sekolah baru didirikan, seringkali nama Tan
Malaka disebut dengan hormat sebagai pendiri sekolah. Bahkan
potret Tan Malaka dijadikan alat propaganda dengan dipajang
pada perayaan besar pendirian sekolah SI di Cicalengka. Potret
Tan Malaka dipajang bersama potret Lenin, Semaun, dan Baars.
Dalam kesempatan tersebut pidato pembukaan diulas kembali,
bahwa Tan Malaka adalah pelopor sekolah tersebut.

Dari tanggal 22 sampai 24 April (tidak tertulis tahun) diadakan


Kongres sekolah SI di Semarang. Empat puluh utusan dari enam
belas sekolah menghadirinya, namun lima sekolah mengirimkan
surat yang menyatakan dirinya turut hadir. Hasil dari kongres
tersebut adalah meningkatkan beberapa hal berikut.

1. Walaupun sekolah SI terus menghadapi kesulitan, tetetapi


pembangunan sekolah-sekolah baru akan terus digalakan.
2. Membangun sekolah sekolah untuk pendidikan guru.

3. Sekolah-sekolah kejuruan lebih diperbanyak.

4. Menerbitkan buku, brosur untuk ana-anak.

5. Perubahan nama FOSIO dirubah menjadi FOR (Fonds Oinderwijs


Rajat).87

Aktifitas FOR pada bulan Mei yaitu menyerukan kepada


rakyat agar mendermakan uangnya untuk Sekolah Rakyat yang
memiliki 2.500 murid. Jumlah sekolah semakin bertambah
banyak, hingga tahun 1925, FOR sudah mendirikan 35 cabang. 88
Untuk penerbitan FOR menerbitkan majalah Barisan Muda untuk
murid Sekolah Rakyat yang redaksinya diurus sendiri oleh murid.
Namun karena kendala pembiayaan maka Barisan Muda hanya
terbit dua kali pada bulan November dan Desember. 89 FOR
menerbitkan pedoman mendirikan Sekolah Rakyat yang
mencakup: ideologi pendidikan, anggaran dasar, dan peraturan
rumah tangga, rencana pelajaran, pengaturan keuangan sekolah,
dan hal praktis lainnya.90 Kongres PKI di Batavia tanggal 7-10
87
Sinar Hindia, 21-2-1924 di IPO 1924 nomor 9 dalam Poeze. Pergulatan. h. 350
88
API. 26/27-5-1925 di IPO 1925, nomor 23 dalam Poeze. Pergulatan.h.351
89
Ibid. h. 351
90
API. Januari 1925 di IPO, nomor 2 dan 3, dan De Tribune, 19-12-1924 dalam
Poeze. Op. Cit. Pergulatan.h. 35

106
Juni 1924 menganggap penting akan disiplin pendidikan.
Gerakan pendidikan Tan Malaka sepeninggalannya tetap
berjalan, tetetapi berjalan dengan konsep dan pelaksanaan yang
sangat berbeda sebagaimana sebelum dia pergi.

b. Penjara untuk Sang Guru

Dalam penjara Tan Malaka sering mendapatkan kunjungan dari


Nyonya Snevliet yang sering membawa makanan ekstra karena
khawatir melihat kondisi kesehatan Tan Malaka yang terus
menurun. Nyonya Snevliet juga menyampaikan perkembangan
dunia luar, dan menceritakan bahwa dia sering mengajarkan
keterampilan tangan di sekolahnya dan melihat bagaimana
murid-murid SI mengalami kesedihan mendalam, mereka sering
menangis setelah di tinggal Tan Malaka. Inilah Sang Guru Sejati,
Tan Malaka, walaupun kondisi dan nyawanya sendiri terancam
dia masih memikirkan pendidikan anak-anak muridnya, dan
sering menangis sendiri, membayangkan kesulitan yang akan
dihadapi murid-muridnya tanpa dirinya.91 Tentang kesulitan yang
akan dihadapi sekolah Tan Malaka juga menjadi pemberitaan
surat kabar Sinar Hindia. Tentang kesedihan murid-murid Tan
Malaka tersebut dapat dilihat dari potongan bait sajak berBahasa
Belanda yang sudah diterjemahkan, dan dimuat di Surat kabar
Sinar Hindia. Sajak tersebut tak hanya mengabarkan kesedihan
tetetapi juga perlawanan dan kebencian terhadap penjajah

Kami masih kecil, harus bersabar, menunggu nasib PPPB, bahwa


rapat tak kan bubar, tanggal 20 Februari akan terjadi pemogokan di
mana-mana, Sajak ini sampai pada akhirnya, Syukurlah,
kapitalisme dikuburkan, Kaum buruh dengan demikian menjadi
sejahtera, Yang tak setuju harus dihancurleburkan. 92

Untuk menggambarkan Tan Malaka yang merupakan sosok


inspiratif dan Sang Guru Revolusioner, ada baiknya penulis kutip
sebuah artikel panjang yang ditulis dalam Het Vrije Woord sebagai
reaksi terhadap penangkapan Tan Malaka dan Bergsma.93
91
Dalam surat-surat yang ditulis murid Tan Malaka, mereka selalu mendoakan
sang guru agar segera dibebaskan dan mereka berjanji akan belajar dan
bekerja lebih giat lagi demi menyenangkan sang guru Surat-surat tersebut
membuat Tan Malaka menangis. Tan Malaka. Toendoek. dalam Poeze. Op. Cit.
Pergulatan. h.223
92
Sinar Hindia 16-2-1922 di IPO 1922, No. 8. dalam Poeze. Op. Cit. Pergulatan.
h. 176
93
Bergsma berasal dari Friesland, Belanda merupakan keturunan orang miskin.
Ketika berusia 12 tahun terpaksa meninggalkan sekolah untuk bekerja.
Bergsma pergi ke Nusantara sebagai kolonial, namun ia merasakan kepedihan
kaum pribumi yang tertindas oleh imperialis Belanda yang nota bene

107
Kepada Piet Bergsma dan Tan Malaka,
Kawan-kawan!
Supaya sekali lagi mengetahui bahwa kalian masih tetap berada di
tengah-tengah kami, kutulis surat ini. Dan juga supaya lebih banyak
orang akan mengetahui: bahwa kalian memang jantan dengan
akhlak mulus, terlalu baik untuk dihargai oleh mereka yang
mendahului kita yang bertingkat sedang atau di bawahnya, terlalu
besar untuk dilihat seluruhnya oleh mereka.
Pada hari-hari percobaan ini pikiran dan perasaan kami ada pada
mereka yang mendahului kalian di jalan yang tak mementingkan diri
sendiri. Kalian telah melihat mereka dalam cahaya yang akan dilihat
oleh kaum muda kalau kita sudah menjadi tua, dan begitu besar
dan begitu baik mereka akan dipandang oleh pria dan wanita dari
Zaman Baru, begitu besar dan begitu baik kalian akan terlihat oleh
orang banyak.
Dan kau, Tan Malaka,
Dalam waktu begitu pendek kau berada di tengah-tengah kami dan
betapa banyak pekerjaan yang telah kau lakukan.
Dilahirkan di Timur, dididik di Barat, kau sudah maju terlalu jauh.
Dengan otak cerdasmu dan hati baikmu, kau datang kepada kami
dan kau berkata: apakah disini diperlukan orang dengan tenaga
segar untuk bekerja sebagai pengabdi rakyatku?
Nah, inilah aku, sudah ada disini!- Apakah disini diperlukan orang
yang sekalipun masih muda, sudah banyak mengetahui pengalaman
hidup, sehingga ia bisa turut memikirkan rencana membangun di
atas puing-puing zaman sekarang? Nah, inilah aku, sudah ada
disini!
Apakah disini diperlukan orang yang lebih baik dari kalian yang
mengetahui jiwa rakyat, yang setiap waktu bisa menerangkan apa
yang harus diketahui setiap orang? Nah, inilah aku sudah ada disini!
Kau singkirkan ijazah keterampilan yang diperoleh di Barat;
keuntungan bagimu merupakan harga yang terlalu rendah bagi
hilangnya kepercayaan pada dirimu.
Tan Malaka, guru, propagandis, kau harus kami puja, kau boleh
kami puja, karena kami tahu bahwa pujian, yang membuat orang
besar kepala, akan memberi kekuatan kepadamu untuk lebih dalam
membungkuk pada rakyat dalam upayamu mengajar rakyat: supaya
mereka berdiri dengan tegak.
Kesehatanmu agak lemah; terlalu lemah mungkin untuk arus
kekuatan yang oleh jiwamu didorong ke dalam saraf-sarafmu.
Tetetapi kau akan bersabar, bukan?
Tak dapat dijinakkan, memang, tetetapi kau percaya; bahkan kau
tahu; jadi,
Jiwamu dalam keseimbangan.
Tak ada ombak waswas di hatimu!

merupakan bangsanya sendiri. Pergolakan hati nurani mengamati penindasan


ini membuat dia mempelajari sosialisme dan komunisme juga mulai aktif
dalam membela kaum pribumi

108
Nah, kalau begitu, segala-galanya baik.
Maka, dengan otak yang lebih tajam, badan yang tetap kuat, pejuang
yang telah bertumbuh menjadi pemimpin akan berada tepat pada
waktunya di tempatnya kembali dalam barisan yang melangkah
maju untuk mengubah keadaan kacau ini menjadi masyarakat
buruh.
Dan kau, Tan Malaka,
Pendiri sekolah di depan wajah Marx, Trotzky, dan Lenin.
Juga pekerjaanmu,
Akan dilanjutkan, mungkin oleh orang-orang yang tak begitu kuat
tetetapi lebih banyak jumlahnya.
Karena mereka semua yang memelopori rakyat menuju Zaman Baru
akan mendapatkan kekuatan dan pelajaran dari perbuatan-
perbuatan kalian, dan dari apa yang kalian ucapkan dan tuliskan
dalam zaman yang penuh keajaiban ini, ketika perbuatan sudah
sesuai dengan kata-kata.
Dan banyak orang dengan cepat akan mengikuti jejak kalian.
Kami menyatakan salut kepada kalian, dan tak akan mengucapkan
kata-kata sedih. Sebab, pada kenyataannya kalian berdua sudah
bebas; sekalipun dikerangkeng.
Kawan-kawan, sampai jumpa lagi!.94

Sekilas artikel yang ditulis Het Vrije Woord tersebut terkesan


terlampau berlebihan dan pengkultusan individu Tan Malaka.
Namun apabila ditelusuri perjalanan dan perjuangan hidup Tan
Malaka, maka apa yang ditulis oleh Het Vrije Woord itu memang
benar. Tan Malaka bukanlah seorang guru yang hanya sibuk di
dalam kelas dengan teori-teori yang dijejalkan kepada murid-
muridnya. Dia juga membuka alam berpikir murid-muridnya
membawa mereka kesadaran akan kemanusiaannya,
kemerdekaannya dan memperlihatkan bahwa mereka sedang
dalam keadaan tertindas, dan itu harus ada pergerakan,
perlawanan. Tan Malaka bukanlah sosok yang hanya
mementingkan kesenangan hidupnya sendiri, sampai akhir
hayatnya dia tak sempat memikirkan istri, dan tak meninggalkan
kekayaan apapun selain buku-buku buah pemikirannya dalam
pergulatan menuju bangsa merdeka. Seluruh hidupnya diabdikan
kepada rakyat yang disebutnya kaum kromo, kaum murba, dan
setiap pemikiran dan aksinya hanyalah satu saja menuju
Republik Indonesia.
Karena kondisi kesehatan Tan Malaka yang tak baik untuk
dibuang ke Kupang di Timor, maka dia mengajukan pembuangan
ke negeri Belanda yang tak akan berdampat terlampau buruk bagi
kesehatannya bila dibandingkan dengan Kupang. Menurut Poeze
sebagaimana dikutipnya dari surat kabar Soeara Rajat sebagai
94
Het Vrije Woord, 10-2-1922, halaman 1-2, dimuat di De Tribune, 3-5-1922.
sebagaimana dikutip oleh Poeze. Menuju. h. 225

109
tanda kehormatan untuk Tan Malaka, sekolahnya ditutup pada
tanggal 14 Februari.95 Hari pembuangan Tan Malaka ini menjadi
pemberitaan, sehingga sekolah Tan Malaka memberikan
penghormatan khusus bagi hari pembuangan Tan Malaka
tersebut. Atas permintaan Tan Malaka yang diajukan ke
Gubernur Jendral, dan diajukan lagi ke Menteri Daerah Jajahan,
dan Menteri Daerah Jajahan mengadakan konsultasi kepada
Menteri Kehakiman, dan diajukan ke Dewan Hindia, maka
keputusannya Dewa Hindia tak keberatan apabila Tan Malaka
dibuang ke Belanda, dengan alasan di Belanda Tan Malaka tak
akan bisa menganggu ketertiban umum.96 Pada tanggal 10 Maret
berdasarkan nasehat Menteri Jajahan dan Dewan Hindia, maka
Gubernur Jendral mengeluarkan keputusan Tan Malaka agar
dibuang ke Belanda secepat-cepatnya dengan biaya sendiri.

C. Melepas dengan Internasionale

Pada tanggal 14 Maret residen Semarang mengirim kabar kepada


Gubernur Jendral tentang kapal Insulinde yang akan berangkat
dari Semarang pada tanggal 23 Maret, dikapal itulah Tan Malaka
akan berangkat ke Belanda. Sebenarnya Tan Malaka minta agar
diberi waktu selama delapan hari untuknya agar dapat
menyelesaikan urusan-urusannya, namun tidak disetujui karena
diketahui Tan Malaka akan memanfaatkan waktu tersebut untuk
menyelesaikan urusan-urusan di sekolah Sarekat Islam. Namun
menurut Poeze, Gubernur Jendral mengizinkannya asal tetap
dalam pengawasan polisi.97
95
Soeara Rajat no.4, 16-2-1922 di IPO 1922,no.12. sebagaiamana dikutip
Poeze. Op. Cit. Pergulatan...h.225
96
Berikut petikan pendapat Dewan Hindia tertanggal 1 Maret: Mengenai soal
pertama Dewan melihat bahwa keberatan Tan Malaka dari Hindia Belanda
niscaya akan sangat mengurangi pengaruhnya dan bahwa penempatannya di
Negeri Belanda secara relatif memberi sedikit kemungkinan kepadanya untuk
mengadakan kegiatan yang bisa melanggar keamanan dan ketertiban umum.
Kemungkinan itu tak seluruhnya terhapuskan, tetetapi ini akan terjadi juga
bila ia ditempatkan di ibu kota Kupang. Jika Tan Malaka diberi kebebasan
untuk meninggalkan Hindia Belanda, maka ia bisa tinggal di tempat lain atau
di dekat Nusantara; karena tempat yang tersedia untuk itu kebanyakan
hanyalah di daerah-daerah jajahan Inggris, maka dapat diperkirakan bahwa
dalam hal itu tak akan dialami terlalu banyak rintangan. Yang lebih penting
ialah kemungkinan bahwa ia akan kembali ke Hindia Belanda dengan nama
palsu. Dewan memandang kemungkinan ini pun tak begitu penting. Sebab,
bukanlah berdasarkan tingkah laku dan ucapan-ucapan Tan Malaka di muka
umum maka kehadirannya bisa dipandang berbahaya bagi keamanan dan
ketertiban umum, dan karena ia tak dapat melakukan aksi di muka umum
kembali tanpa ada tindakan-tindakan hukuman baru dari pihak pemerintah..
dalam Poeze. Pergulatan... h. 227-228
97
Ibid. h. 230

110
Tan Malaka mengunjungi sekolah SI dengan harus dikawal
polisi. Melihat kunjungan Sang Guru yang akan dibuang tersebut
membuat murid-murid yang melihatnya dalam waktu singkat
berkerumun, ditarik, di dorong. Mereka mengucapkan selamta
jalan, dan menyanyikan berulang-ulang lagu Internasionale yang
menurut Tan Malaka seolah-olah membangunkan warga
Semarang agar bangkit. Murid-murid yang mengerumuni Sang
Guru tak beranjak walau bel sudah berbunyi, sehingga Tan
Malaka menceritakan pengamannya selama di penjara barulah
murid kembali kekelasnya.98Demikian saying dan patuhnya para
murid dengan San Guru. Setelah dari sekolah Tan Malaka ke
rumah Nyonya Snevliet untuk mengadakan rapat anggota SI, PKI,
yang juga dihadiri komisi-komisi sekolah dan dewan guru. Pada
kesempatan ini dibicarakan permasalahan pembiayaan sekolah,
sekolah-sekolah baru.99
Barulah pada malam berikutnya kawan separtai dan murid-
murid mengadakan perpisahan di kantor SI.100 Menurut Poeze,
ruangan penuh sesak dengan kaum laki-laki, anak-anak
bercelana merah dan membawa bendera merah, serta kaum
wanita yang juga menggendong anak mereka. Poeze
menggambarkan bagaimana dua anggota partai membuka jalan
baginya, ketika Tan Malaka duduk, menggemalah lagu
Internasionale. Angota partai bergantian berpidato mengucapakan
selamat jalan dengan hati yang murni dan tulus karena akan
ditinggal seorang pemimpin pergerakan, setiap akhir pidato
anggota digemakan kembali Internasionale. Sebenarnya pada
pertemuan perpisahan itu Tan Malaka tidak ingin bicara, berjabat
tangan cukuplah kiranya bagi Tan Malaka. Tetapi kawan-
kawannya menggendongnya ke panggung. Tan Malaka
mengungkapkan kondisi tersebut sebagai berikut.

Saya tak bisa berbicara lama, karena ketika saya berkata bahwa
saya telah memperoleh kepercayaan rakyat, ruang itu menjadi
bagaikan samudra semangat, dan kantor SI untuk waktu yang lama
menggeletar dengan suara gemuruh. Ketika itu saya lihat bahwa
hampir semua murid menangis dan orangtua merekapun menangis.
Dan saya tak bisa lagi melanjutkan pidato saya. Saya merasa betapa
tak cukupnya kata-kata saya untuk menggambarkan topan dan
badai yang menguasai diri saya. Saya berhenti dan tak lama
kemudian dua kawan separtai menemani saya di samping kiri dan
kanan dan mengantarkan saya keluar. Sudah tentu tak bisa saya

98
Ibid. h. 231
99
Pada rapat terakhir ini menurut Tan Malaka. Toendoek dalam Poeze.
Pergulatan. h. 231, suasana terasa haru, tidak ada tertawa bahkan kawan
seperjuangan tidak berani menatap wajahnya
100
De Locomotief. 20-3-1922 dalam Poeze. Pergulatan. h. 231

111
berjabatan tangan dengan ribuan kawan itu. Tetetapi saya belum
keluar ketika kelompok di dekat pintu luar mulai bergerak karena
puluhan anggota SI memegang tangan kiri dan tangan kanan saya
sambil berkata: Malaka, kami berjanji akan melanjutkan
pekerjaanmu sampai kau kembali ke Jawa. Saudara! Selamat Jalan!.
Tangis, teriakan, ucapan, dan janji dari ribuan pria, wanita, dan
anak-anak membuat diri saya terharu dan tanpa disadari tiba-tiba
saya sudah duduk di motor polisi. Tetetapi motor itu belum bisa
berangkat, karena puluhan wanita ingin berjabat tangan dengan
saya, sehingga petugas polisi pun harus menunggu sampai bisa
berangkat. 101

Ditulisan Tan Malaka tersebut, terlihat sosok lembut Tan


Malaka dibalik karakter dan sikapnya yang keras. Terungkap
kesedihan seorang guru yang harus menatap wajah wajah sedih
anak didiknya yang akan ditinggal. Serta kawan kawan
perjuangan yang larut dalam keharuan karena akan ditinggalkan
seorang penggerak organisasi yang handal.
Tan Malaka mendapat perpanjangan waktu selama satu hari
guna menyelesaikan urusan. Perpanjangan waktu ini
dimanfaatkan bertemu dengan kawan separtai, tanggal 23 Maret
diadakan pertemuan di kantor SI. Besok harinya dengan
menggunakan perahu Tan Malaka dibawa ke kapal Insulinde yang
sengaja dijauhkan dari dermaga agar tak ada kerumunan masa
yang mengantar Tan Malaka. Setiba di Batavia Tan Malaka
selama lima hari dalam penjara dan sempat berjumpa dengan
Guru Horensma. Tanggal 29 Maret kapal Insulinde berangkat dari
Tanjung Priok dan pada tanggal 1 April berlabuh di Padang. Di
Padang Tan Malaka tak diperbolehkan turun ke darat, namun dia
tak sempat bertemu dengan orangtuanya, karena adik Tan
Malaka melarang orangtua mereka karena takut akan mengalami
kegoncangan melihat nasib anaknya tersebut, hanya doa yang
dipanjatkan orangtua Sang Guru Revolusioner tersebut. Dari
Padang, Tan Malaka berangkat meninggalkan Hindia menuju ke
Barat, menjalani masa pembuangan hingga saatnya dapat
kembali berjuang. Pemberitaan pembuangan Tan Malaka masih
terus dikabarkan oleh surat kabar komunis, bahkan potret Tan
Malaka dan Bergsma dijual kepada anggota terkemuka sebagai
kenang-kenangan, yang uangnya akan digunakan untuk
memperbaiki sekolah SI.
Pembuangan Tan Malaka ke Belanda bukan berarti mematikan
pergerakannya. Di Belanda Tan Malaka malah mendapat
sambutan hangat dari kaum komunis Belanda. Berbagai rapat
umum dihadiri Tan Malaka sebagai pembicara. Salah satu
101
Tan Malaka. Toendoek h. 82-3. sebagaimana dikutip Poeze. Pergulatan. h.
233

112
pertemuan dimana Tan Malaka memperoleh kesempatan menjadi
pembicara di depan Communistische Onderwijzers (Himpunan
Guru-Guru Komunis). Uniknya untuk mendengar pembicaraan
Tan Malaka, guru-guru komunis tersebut harus membayar tiket
masuk sebesar lima belas sen. Pertemuan tersebut diliput harian
himpunan De Communistische Ondewijzers yang isinya dukungan
terhadap sekolah SI.101
Tan Malaka memberikan serangan-serangannya terhadap
pemerintah kolonial yang memberikan pendidikan kepada
pribumi dengan mencerabut mereka dari akar budaya dan
mengasingkannya dari masyarakat Indonesia. Pemerintah
kolonial memberikan akses pendidikan yang tak memadai, karena
anggaran lebih ditekankan kepada militer. Karena itulah sekolah-
sekolah SI berdiri. Tan Malaka terus mengiktui perkembangan
sekolah-sekolah komunis, dan mengirimkan tulisan kepada surat
kabar Hindia tentang penentangannya terhadap pemerintah
Hindia yang terus menekan sekolah-sekolah rakyat dengan
undang-undang.

Redaksi yang terhormat,


Sehubungan dengan berita terakhir yang berkata bahwa pemerintah
Hindia seolah-olah berniat untuk menghidupkan peraturan-
peraturan hukum terhadap sekolah-sekolah komunis, yang berarti
penindasan prakarsa rakyat di bidang pendidikan, maka yang
bertanda tangan di bawah ini merasa dirinya terpaksa menyatakan
protes keras terhadap tindakan itu dan menempatkan segala
tanggung jawab atas akibat-akibat yang mungkin akan terjadi di
atas bahu pemerintah Hindia.
14 Juni 1922.
T.MALAKA 102

Selama pembuangan Tan Malaka, sekolah-sekolah SI tetap


berjalan bahkan semakin berkembang. Pada kesempatan kongres
PKI yang membicarakan masa depan sekolah SI pada Februari
1923 di Bandung, kehadiran Tan Malaka tetap dianggap ada,
dengan menyediakan kursi kosong yang di atasnya tertulis nama
Tan Malaka, dan empat kursi kosong lainnya yang menandakan
mereka tetap hadir walaupun dalam pembuangan politik atau di
penjara. Tetap bertahannya sekolah SI inilah yang membuat
khawatir pemerintah kolonial, sehingga peraturan semakin
diperketat. Pemerintah yang menjuluki Sekolah-sekolah Tan
Malaka harus dipantau salah satunya ketika akan mendirikan
sekolah dengan menjelaskan landasan pendirian pendidikan, dan
kepala daerah dapat tidak menyetujui pendirian sekolah dengan
101
Ibid. h. 265
102
Ibid. h. 286

113
alasan ketertiban umum dapat melarang sekolah selama-lama
dua tahun.103
Walaupun di pengasingan Tan Malaka sibuk dengan gerakan-
gerakan politiknya di Belanda, sekolah SI tetap menjadi
pemikirannya. Tulisan berikut adalah tulisan Tan Malaka yang
menceritakan masa depan sekolah SI yang terancam karena
dipersulit pemerintah Belanda.

SEKOLAH-SEKOLAH SAREKAT ISLAM


Omongan-omongan Inspektur.
(T.M.) Sistem pembuangan yang dilakukan pemerintah rupanya tak
dapat mencegah tetap majunya sekolah-sekolah SI. Di Tegal,
Sukabumi, Sumedang, dan tempat-tempat lain di daerah Priangan
sudah didirikan sekolah-sekolah SI. Khususnya kawan-kawan
separtai di Bandung telah meneruskan perluasan sekolah-sekolah
itu dengan tenaga dan uang di luar dugaan besarnya. Mereka telah
mencapai hasil yang luar biasa dan ini mengharuskan pemerintah
mengirimkan seoang inspektur ke sekolah SI di Bandung.
Inspektur mengadakan penyelidikan dan setelah itu beranggapan
bahwa cahaya kurang, para murid tak mendapatkan cukup banyak
buku, padahal (anak-anak miskin harus membeli sendiri buku-buku
itu) dan papan tulis tak cukup mengkilap.
Semangat baru yang menghinggapi anak-anak proletar tak
dibicarakan. Dan memang itu tak dapat ia membicarakannya.
Seorang inspektur Hindia seperti itu, yang sehari-harinya biasanya
duduk di sebuah mobil pemerintah (dan sudah tentu minta deklarasi
yang banyak), harus mengisi laporan bulanannya dengan macam-
macam keluhan, jadi harus bisa mencari banyak kesalahan. Daya
penangkapannya biasanya tak lebih jauh daripada warna papan
tulis di depan kelas, sampul buku kanak-kanak, dan kilauannya
pegangan pintu.
Pemerintah bisa mendapatkan lebih banyak keterangan dari
inspektur semacam itu, jika ia dikirimkan ke banyak sekali sekolah
zending dan sekolah swasta, tempat kadang-kadang tak ada cahaya,
bangku, atau papan tulis. Ada sekolah-sekolah semacam itu.
Tetetapi sekolah-sekolah itu tak diselidiki. Tetetapi dalam hal kami,
pemerintah sendiri tahu bahwa kami ingin memperbaiki sekolah-
sekolah kami dan membuatnya lebih indah. Itulah sebabnya kami
mengadakan pasar amal di Bandung, yang dilarang oleh pemerintah
sehingga orang SI mendapat kerugian sebanyak f 14.000. sekalipun
demikian, inspektur semacam itu masih berani berbuat yang tak-
tak!
Setahu kami, belum pernah ada seorang inspektur pergi ke
Semarang. Semarang agak revolusioner, bukan? Di sana orang
harus mencari siasat yang lebih licin. Pemerintah sekarang ini

103
Staatsblad van Nederlandsc Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) 1923,
nomor 136, dalam Poeze. Pergulatan..

114
memberikan empat sekolah kepada Semarang, semuanya dengan
Cuma-Cuma! Memang menggiurkan! Darimanakah tiba-tiba sikap
manis itu? Nah, bagi angkatan laut dikeluarkan lebih kurang f
250.000.000. jika sekian banyak dapat dikeluarkan untuk menindas
Pak Kromo dengan kekerasan, mengapa tak bisa mengeluarkan
beberapa ratus ribu untuk beberapa sekolah, supaya dengan
demikian dapat dihancurkan sekolah SI di Semarang, benteng
semacam revolusioner! Kekerasan tak digunakan, sikap kaum etisi
tampak apabila sekolah SI mati karena sebab-sebab yang wajar,
maka kemudian keempat sekolah itu setiap waktu dapat
dibubarkan, bukan? Misalnya, karena penghematan. Seolah-olah
pikiran dan semangat seperti suatu perusahaan dagang dapat
digencet sampai mati karena saingan!
Itupun dirasakan masih belum cukup. Mereka masih merasa
ragu. Dalam lubuk hati mereka disadari, sekalipun tak diucapkan
secara terbuka, bahwa sekolah SI tak dilahirkan karena suatu
cetusan keinginan pada suatu saat, melainkan sekolah-sekolah itu
dilahirkan karena keadaan-keadaan ekonomi dan politik umum yang
meliputi massa rakyat Indonesia. Itulah sebabnya semangat itu tak
bisa ditumpas hanya dengan pembuangan, inspeksi, dan kelunakan.
Harus lebih banyak yang dilakukan. Karena itu, sedang dibuat
undang-undang terhadap sekolah SI itu. Berita tentang hal itu akan
kita dengar dalam waktu dekat.104

Tulisan Tan Malaka ini mengungkapkan rasa tertekan Tan


Malaka dalam usahanya mendirikan dan mengembangkan
sekolah SI. Dapat dilihat betapa peristiwa dilarangnya pasar
derma sekolah SI Bandung melekat kuat dalam ingatannya.
Ditambah lagi dengan peraturan-peraturan yang di supervisi oleh
inspektur yang sengaja mencari kesalahan dan kekurangan
sekolah SI. Padahal kekurangan itu ingin diatasi oleh pengurus
sekolah SI, namun pemerintah kolonial yang menghambat kerja
mereka. Tan Malaka menegaskan bahwa pergerakan pendidikan
rakyat tak akan terhenti hanya karena pembuangan tokoh
penggeraknya, maupun dengan inspeksi-inspeksi yang terlampau
mengada-ada, termasuk dengan rencana akan diterapkan
undang-undan baru. Sekolah SI berdiri karena dlandasi keadaan
politik yang harus diperjuangkan dan perbaikan ekonomi yang
diinginkan oleh rakyat, jadi bukan hal mudah untuk menghabisi
sekolah SI.

104
Ibid. h. 305-306

115
BAB 4

PENUTUP
MENUJU INDONESIA MERDEKA 100%

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap


dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat
yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang
sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali! ( Tan Malaka )

A. Guru Bangsa yang dilupakan

Tan Malaka secara langsung maupun tidak langsung, sudah


menjadi guru para revolusioner dan tokoh pergerakan. Secara
langsung, tidak jarang tokoh - tokoh kemerdekaan bertanya
kepada Tan Malaka tentang arah perjuangan, sedangkan secara
tidak langsung tokoh-tokoh tersebut mengikuti perkembangan
pemikiran dan arahan Tan Malaka melalui buku-buku yang
banyak ditulisnya.
Bung Karno pernah menyatakan: Saya seorang Marxis
nasionalis.1Sebagai seorang komunis yang berpandangan
komunis nasionalis, Tan Malaka mendapat julukan seorang
Trotskyis. Dengan statemen tersebut sebenarnya Bung Karno
telah memakai pemikiran Tan Malaka yang telah bersebrangan
dengan kelompok Komunis (PKI) di bawah pimpinan Muso yang
berpaham Komunis Internasional. Soekarno pernah mengatakan
dan mengeluarkan testatemen, bahwa kalau ia dan Hatta
ditangkap oleh pasukan sekutu, maka Tan Malaka akan
menggantikan kedudukannya sebagai presiden, dan sebagai
pemegang tongkat komando Revolusi.2 Bung Karno, selalu
mengikuti perkembangan pemikiran Tan Malaka dengan
membaca buku-buku dan pamflet yang ditulis Tan malaka.
Bahkan Bung Karno pernah menyelenggarakan pertemuan empat

1
Mavie Rose. Alih Bahasa: Hermawan Sulistiyo. Indonesia Merdeka: Biografi
Politik Mohammad Hatta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991. h.108
2
Wawancara dengan Sajuti Melik, 24 September 1962, dalam Anderson, Java
in a Time of Revolution.h.191 (Mavie Rose. Alih Bahasa: Hermawan Sulistiyo.
Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1991. h. 212

116
mata yang dibuat rahasia, untuk membicarakan arah perjuangan
bangsa.
Sedangkan Mohammad Hatta mengenal Tan Malaka, ketika
diperkenalkan oleh Subardjo di flat milik Subardjo ketika di
Leiden.3 Pada saat Bung Karno ingin memberi amanat testatemen
kepada Tan Malaka seorang Bung Hatta mengusulkan empat
orang untuk memegang mandat tersebut. Hatta mengusulkan,
Tan Malaka sebagai wakil kelompok radikal, Sjahrir wakil
kelompok semi radikal, Sukiman dari kalangan Muslim, dan
Wongsonegoro dari konservatif. Karena Sukiman berada di
Yogyakarta, disepakati bahwa Iwa Kusuma Sumantri mewakili
badan Islam.4
Hatta mengklaim bahwa ia menyarankan Soekarno supaya
mandat kepresidenan dialihkan menjadi quadrumvirate (empat
serangkai) yaitu Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma
Sumantri, dan Wonngsonegoro.5 Saran Hatta mencerminkan
konsep Empat Serangkai, yaitu kepemimpinan bersama yang
mewakili alur-alur utama di dalam masyarakat Indonesia semasa
pendudukan Jepang. Namun menurut Adam Malik yang
merupakan anak didik Tan Malaka yang militan, Tan Malaka
memandang pengaturan baru ini sebagai penghianatan janji. 6
Perkembangan berikutnya, menurut Hatta, dalam salah satu
wawancara terakhir semasa hidup, Soekarno menyesali
kesepakatannya dengan Tan Malaka dan berusaha mencari
kompromi.
Sementara itu Hatta bekerja sama erat dengan Semaun dan
Darsono, dan memperoleh dukungan mereka, ia dan teman
sesama Minangkabau, Tan Malaka, pada dasarnya tetap bertahan
isu-isu yang cendrung memisahkan kaum sosialis demokrat dan
kaum komunis. Hatta lebih menyukai demokrasi parlementer,
sementara Tan Malaka mendukung sistem satu partai. Bidang
kesepakatan Hatta dan Tan Malaka menurut memoar Hatta, ialah
pada ketidaksukaan mereka terhadap Stalin dan menolak tunduk
kepadanya.7 Bung Hatta pernah menanyakan kenapa Tan Malaka
tidak di Komintern lagi, setelah masa Lenin, pertanyaan ini
dijawab Tan Malaka: tulang punggung saya terlalu keras untuk
tunduk kepada Lenin. Ini merupakan sikap Tan Malaka yang
tegas, bahwa perjuangannya sangat berbeda dengan komunis
internasional, sebagaimana yang diperjuangkan di PKI.

3
Mavie. Op. Cit. Biografih. 39
4
Muhammad Hatta. Bung Hatta Answers. h. 15
5
Mavie. Op. Cit. Biografih. 212
6
Adam Malik. In the Service of the Republic, Singapore: Gunung Agung. 1980.
h.204
7
Memoir Hatta. h. 137

117
Juga bagi Tan Malaka, yang pada tahun 1920 telah menulis
mengenai kecocokan koperasi sebagai sarana untuk melawan
keuntungan berlebihan yang dipetik para pedagang perantara. 8
Hatta pernah berusaha mengatur sebuah wawancara dengan
Djamaluddin Tamin, wakil Tan Malaka di Singapura dan
sekretaris partainya, PNI, tetapi Tamin, yang sadar bahwa Hatta
akan diawasi secara ketat oleh Penguasa Inggris, tidak berani
mengambil resiko pertemuan seperti itu.9 Tan Malaka dan
kelompoknya sangat dipertimbangkan oleh pemerintah, apalagi
ketika Tan Malaka membuat barisan oposisi yang bernama
Persatuan Perjuangan.
Hatta menaruh perhatian terhadap situasi di Sumatera. Dua
revolusi sosial telah berlangsung, satu di Aceh dan satunya lagi di
Sumatera Timur. Kedua revolusi ini ditujukan pada penguasa
setempat. Revolusi Aceh, yang lebih bersifat Islam ketimbang
Marxis, tidak begitu mencemaskan bagi Hatta dibanding
pemberontakan yang terjadi di Sumatera Timur, yang memiliki
hubungan langsung dengan Persatuan Perjuangan bentukan Tan
Malaka. Kedudukan Tan Malaka tinggi di Sumatera, termasuk di
wilayah Minangkabau, dan strateginya tentang perjuangan
bersenjata lebih sesuai dengan semangat militansi di kalangan
kaum nasionalis, dibandingkan dengan Sjahrir dan Amir
sjarifuddin untuk melakukan perundingan.10
Walaupun terdapat perbedaan pandangan antara Tan Malaka
dan Bung Hatta, mereka berdua tetap saling mengagumi. Tan
Malaka kagum akan konsep koperasi Tan Malaka, sedangkan
Bung Hatta mengagumi Tan Malaka yang tidak pernah berhenti
memperjuangkan republik, walaupun berperan di balik layar dan
jarang tampil ke publik. Bahkan, menurut Tan Malaka dalam
bukunya dari penjara ke Penjara, ketika Bung Hatta berkunjung
ke Bayah, Bung Hatta pernah mengajak Tan Malaka untuk
membantu pemerintah dengan bergabung dalam parlemen. Tetapi
permintaan Bung Hatta tersebut ditolak halus dengan Tan Malaka
dengan mengatakan, saya akan bantu Bung berdua dari
belakang.
Untuk melihat sosok Tan Malaka, ada baiknya sekilas melihat
perspektif rival politik terkuat Tan Malaka, Sutan Sjahrir. Sama
8
dalam H.A. Poeze. Tan Malaka: Strijder Voor Indonesies Vrijheid, Levensloop
van 1897 tot 1945, The Hague: Nijhoff, 1976, hlm. 85, n.47. Artikel Tan
Malaka,Verbruiks-cooperaties voor het javaansche proletariat, dimuat dalam
Het Vrije Woord. 15 Mei, 1920
9
Poeze. Tan Malaka, h. 413. Sewaktu saarbrucken berlabuh di Belawan,
Sumatera timur, Hatta menyelinap masuk ke Medan, sebelum akhirnya turun
di Singapura. Sinar Deli, 22 Agustus 1932
10
Mavie. Op. Cit. Biografi..h. 228

118
sama berasal dari Minangkabau, tetapi mereka berdua selalu
dalam konstelasi pemikiran dan tindakan yang bersebrangan,
bahkan bermusuhan. Namun sosok Tan Malaka, tetaplah
disegani oleh Sjahrir. Menurut Sastra, seorang anggota aktif PNI
Baru sewaktu pembuangan Hatta dan Sjahrir, Sjahrir bersiap-
siap untuk memperhitungkan Tan Malaka sebagai alternatif orang
yang akan mengumumkan Proklamasi.11 Ketika dihubungi, Tan
Malaka dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak siap untuk
memproklamirkan kemerdekaan, Sastra menyimpulkan, sehingga
bagi kami tak ada alternatif lain selain Bung Karno dan Bung
Hatta.12 Tidak hanya itu, Sjahrir sangat menyadari pengaruh Tan
Malaka, sehingga Sjahrir pernah meminta Tan Malaka untuk
menjadi ketua Partai Sosialis yang dia bentuk. Tan Malaka
menolak pinangan ini, karena menurut Tan Malaka, kondisi
Indonesia yang masih dalam kancah perjuangan sangatlah tidak
baik dan tidak strategis apabila dipecah-pecah dengan banyaknya
partai.
Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, dan Tan Malaka
adalah para pendiri bangsa yang pola relasi mereka seperti murid
dan guru,saling memberi masukan dan ajaran. Terkadang berpola
kawan dan lawan, sewaktu waktu saling mendukung di waktu
yang lain saling berperang. Pola yang rumit, karena perbedaan
pandangan mereka tentang strategi perjuangan dan implementasi
kemerdekaan republik.
Disisi lain, Belanda, Inggris, dan Jepang, dan para penindas
dimana Tan Malaka pernah beraktifitas politik dan melakukan
propaganda penyadaran mengatakan bahwa Tan Malaka adalah
seorang pengacau besar. Tentu sikap ini sangat membanggakan.
Karena hal itu merupakan sebuah pengakuan dan bukti bahwa
Tan Malaka memang berhak memperoleh gelar Pahlawan
Nasional, karena dia sudah mewakafkan jiwa dan raganya untuk
memperjuangkan bangsa yang hidup dalam kebodohan dan
penindasan imperialisme.
Namun penulis tidak habis pikir ketika mengkaji literatur
sejarah, bahwa Tan Malaka harus keluar masuk penjara,
mengalami pemboikotan, sampai akhirnya hidupnya berakhir di
moncong senapan anak bangsa sendiri, Republik Indonesia,
11
Sastra. Makna Sjahrir untuk Sastra dan Sastra untuk Sjahrir. dalam
mengenang Sjahrir. h. 10-11.
12
Ibid., h. 90. Garis bawah dari Sastra. Hatta sadar akan kembalinya Tan
Malaka ke Indonesia dan ia nyatakan bahwa sesungguhnya ia melihat Tan
Malaka di Bayah, Banten, saat Tan Malaka berusaha keras menghindari
perjumpaan dengannya. Lihat Hatta, Bung Hatta Menjawab. h.16. Tan Malaka
dikabarkan menganggap Soekarno dan Hatta sebagai simbol golongan tua
yang berkolaborasi dengan penguasa Jepang. Lihat Alfian. Tan Malaka:
Pejuang Revolusioner yang Kesepian, dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3ES

119
dimana dia mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk
mewujudkan kemerdekaan. Sejarah hidup, pemikiran dan segala
hal yang berkenaan dengan Tan Malaka sama nasibnya seperti
jasadnya yang sampai saat ini masih menjadi misteri, dimana
menghilang dan dibuang tanpa penguburan layaknya seorang
pahlawan kemerdekaan di Taman Makam Pahlawan.
Bagi bangsanya sendiri, Tan Malaka secara sistematis
dilenyapkan dengan dibunuh raganya maupun dilenyapkan
pemikiranya karena dianggap subversif, komunis, ateis, dan
berbagai stigma negatif yang ditanamkan kepada sosok Tan
Malaka tanpa memberikan ruang dialog untuk mempelajari
sejarah hidup maupun pemikirannya, apakah memang benar hal
itu melekat kepada sosok Tan Malaka?. Anak bangsa ini harus
banyak lagi membaca dan mempelajari Sejarah Bangsanya, agar
dapat berpikir objektif dalam menyimpulkan fakta Sejarah,
sehingga tidak menghakimi secara instan, Tan Malaka komunis,
Tan Malaka atheis. Begitu juga selayaknya terhadap tokoh sejarah
lainnya. Mereka adalah anak zamannya, yang tidak bisa dihakimi
dengan zaman kini.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah demikian perkataan
Bung Karno yang mungkin melekat dibenak anak bangsa
Indonesia. Tetapi tidak cukup apabila hanya dengan
mengatakannya dan hanya menjadi retorika kosong. Tugas
generasi yang ada untuk merestorasi kondisi negara yang sedang
carut marut ini dengan kembali menggali spirit, pemikiran, dan
tindakan yang jernih semata-mata untuk mewujudkan bangsa
Indonesia yang berdaulat. Tan Malaka sebagai Bapak Bangsa
yang terlupakan memang tidak akan pernah dilupakan oleh
seluruh masyarakat di Bangsa yang mengidap amnesia ini,
walupun dalam komunitas kecil, mungkin masih dalam kajian
akademis sosok Tan Malaka terus dikaji pemikirannya. Mungkin
inilah wujud seperti apa yang pernah dikatakan Tan Malaka
Suaraku akan semakin menggema dari dalam kubur. Peristiwa
tragis yang dialaminya, justru menjadi kekuatan dan menarik
bagi generasi muda untuk mempelajari sejarahnya.
Sudah selayaknya masyarakat memandang Tan Malaka pada
suatu kondisi dimana Republik Indonesia masih dalam proses
perjuangan pencarian dan belum menemukan bentuk ideal.
Sehingga pemikiran-pemikirannya tentang kondisi pendidikan,
sosial politik dan ekonomi cendrung mengarah kepada
komunisme, karena Tan Malaka adalah anak zaman ketika itu
dimana komunisme menjadi sebuah teologi pembebasan hampir
di seluruh dunia, dan secara teoritispun founding fathers seperti
Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan bapak pendiri bangsa
lainnya, mereka sangat gandrung dengan Sosialis Marxisme.

120
Negara Indonesia yang belum ada bentuk ideologi harus dijadikan
landasan dalam menilai Tan Malaka secara objektif, karena
pertarungan ideologi yang dipelopori para tokoh sangat sengit.
Mulai dari ideologi yang ingin Negara berdasarkan Agama,
Nasionalisme, dan Komunisme.
Marxisme dan Komunisme memang pernah menorehkan
sejarah kelam Bangsa Indonesia, sehingga pemikir maupun orang
yang aktif dalam partai terlarang tersebut cendrung digelapkan
dalam sejarah, walaupun tak sedikit sumbangsih pemikiran dan
gerakannya bagi Indonesia. Tan Malaka adalah sosok pendiri
bangsa yang dilupakan tersebut, walaupun banyak sejarawan
menyatakan bahwa Tan Malaka Bapak Republik (salah satunya
adalah Muhammad Yamin), karena telah lebih dulu memikirkan
konsep Republik bagi Indonesia di dalam buku Naar de Republiek
Indonesia, jauh sebelum Bung Karno, Bung Hatta, dan Sjahrir.
Tan Malaka sebagai tokoh komunis bahkan dapat dikatakan
sebagai bapak Komunisme Indonesia dengan konsep komunis
nasionalis, yang membuat dia harus terbuang dari partainya
karena memandang bahwa penerapan komunisme di Indonesia
haruslah berkarakter budaya dan berbasis kearifan lokal
masyarakat Indonesia. Bagi Tan Malaka Moskow sebagai kiblat
komunisme tak dapat 100% diterapkan karena perbedaan banyak
hal, salah satunya di Indonesia, Muslim sebagai mayoritas, maka
perlu disatukan perjuangan Komunisme dengan Islam. Pemikiran
Pan Islamisme ini disampaikanya dalam Kongres Komintern di
Moskow, yang membuat Stalin kebakaran jenggot, dan membuat
karirnya di Komunis Internasional berakhir. Ditambah lagi rasa
permusuhan yang dinampakkan kawan-kawan seperjuangannya
di PKI, seperti, Semaun, Aidit, dan Muso. Tentunya karir politik
Tan Malaka tak berakhir walaupun dipecat dari Komintern dan
PKI, Tan Malaka menyalurkan pemikiran komunis nasionalnya
dipartai yang didirikannya seperti, PARI, dan MURBA.
Komunisme yang diperjuangkan Partai Komunis Indonesia,
dimana Tan Malaka adalah salah seorang pemimpinnya, memang
telah menorehkan tinta hitam dalam sejarah Republik Indonesia,
itu harus dicatat jelas dan sebagai fakta sejarah Republik
Indonesia. Namun apabila ditelusuri pemikiran dan aksi Tan
Malaka semata-mata menuju Indonesia Merdeka 100%. Tan
Malaka selalu berikhtiar agar dia dapat bermanfaat bagi zaman
dan bangsanya, sehingga setiap waktu dan perenungannnya
adalah untuk keagungan bangsa Indonesia dan kemanusiaan.
Tan Malaka adalah orang yang berbahagia dapat hidup dalam
sebuah zaman pergulakan dan perjuangan. Dalam hari-harinya
yang sepi dalam pelarian maupun dalam penjara, Tan Malaka

121
terus menggali permasalahan agung tentang dialektika
kehidupan, khususnya pada zamannya hidup.
Kontemplasi Tan Malaka tentang zaman dan Indonesia yang
dalam jajahan kolonialisme ini menjadi pergulatan pemikirannya
dalam hari-harinya menjalankan tugas mendidik kaum kuli di
Deli.
Sekolah sebagai tempat mendidik anak-anak bangsa yang
berjiwa merdeka, bukan dianggap sebagai robot dalam proses
pendidikan dan menjadi mesin kapitalistis yang hanya
menguntungkan kolonial. Guru-guru harus meninternalisasikan
benih-benih manusia merdeka kepada muridnya dan menjadi
manusia mandiri yang akan berdampak kepada kemandirian
bangsa yang tak bergantung kepada negara lain.
Di abad kapitalisme, pendidikan cendrung hanya dijadikan
alat dimana out put dari pendidikan hanya menjadi mekanistis
sebagai perangkat produktifitas kapitalisme. Keadaan
ketergantungan kepada pemodal dan bermental sebagai tenaga
kerja ini menjadikan mental budak di dalam masyarakat yang
tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada pemodal.

B. Arah Pendidikan Indonesia

Konsep pemikiran maupun aksi pendidikan Tan Malaka dapat


diklasifikasikan dalam beberapa aspek berikut: Pedagogi,
Manajemen dan Kebijakan Pendidikan, Kurikulum.
Tinjauan pedagogi, menurut Tan Malaka, seorang guru harus
menyadari perannya sebagai pendidik dan pelatih rakyat jelata
yang terperangkap dalam kebodohan. Melalui pendidikan yang
diberikan dengan memperhatikan aspek psikologis, sosial,
maupun budaya peserta didik, maka seorang guru telah berusaha
untuk memanusiakan manusia, dan mengindonesiakan manusia
Indonesia.
Guna mencapai tujuan pendidikan, maka seorang guru
haruslah menguasai prinsip-prinsip pengajaran. Proses
pembelajaran di sekolah seharusnya tak mencerabut siswa dari
akar budayanya, olehkarena itu guru harus menggali kearifan
lokal dimana dia memberikan pengajaran. Sehingga proses
internalisasi informasi memang benar berdasarkan kondisi
kehidupan masyarakat, tentunya tanpa mengabaikan tentang
perkembangan dunia.
Pemikiran Tan Malaka tentang kurikulum, secara sederhana
terdapat tiga poin penting, yaitu: Pendidikan sebagai bekal hidup,
Pendidikan pergaulan sosial, serta pendidikan tanggung jawab
sosial.

122
Pendidikan harus bisa membuat kehidupan peserta didik
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat, untuk itulah diajarkan
keterampilan membaca, berhitung, dan keterampilan tangan.
Konsep pendidikan sebagai bekal hidup, saat ini menjadi misi
utama lembaga pendidikan. Semakin bertumbuhnya lembaga
pendidikan yang menawarkan kecakapan hidup sudah
semestinya mendapat apresiasi dan harus didukung secara nyata.
Dengan keterampilan hidup, ketika menyelesaikan studinya maka
mereka akan dapat mengaktualisasikan diri dengan keterampilan
yang dimilki sehingga menjadi manusia mandiri yang tak
bergantung kepada orang lain.
Tentang perlunya kecakapan hidup ini, Tan Malaka pernah
menggagas mandiri sekolah kejuruan dalam bidang
perkoperasian, pertukangan, perkebunan, dan perdagangan.
Apabila ditinjau dengan kekinian pemikiran tersebut tentu
sangatlah sederhana, tetetapi menjadi luar biasa apabila dilihat
latar belakang mengapa penting pendidikan keterampilan. Ketika
usul pendidikan disampaikan, pendidikan yang diselenggarakan
masyarakat masih belum ada penjurusan terhadap suatu
keterampilan, masih bersifat kognitif. Sehingga ketika mereka
selesai sekolah tetap merasa gamang dengan kebutuhan pasar
yang memerlukan suatu keahlian. Ditambah lagi dengan tingkat
ketergantungan masyarakat masyarakat kepada pemodal,
dikarenakan masyarakat tidak memiliki life skills memadai.
Manusia sebagai mahluk sosial harus diperkuat lagi dalam
lembaga pendidikan yang telah diatur dalam kurikulum. Peserta
didik harus memilki waktu luang dalam berinteraksi sesama
mereka maupun masyarakat. Pendidikan kerakyatan Tan Malaka
menginginkan interaksi sosial yang kokoh ditanamkan dari proses
pendidikan terendah. Olehkarena itu format pergaulan sosial
tersebut begitu dirancang Tan Malaka dalam aktifitas
pendidikannya. Karena Tan Malaka sangat menyadari, bahwa
jangan sampai pribumi yang telah mengecap pendidikan, menjadi
sosok individualis dan asosial.
Bagaimana nilai-nilai pergaulan sosial ditanamkan kepada
anak-anak di sekolah Indonesia sekarang? Perlu penelitian
mendalam untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut.
Namun sistem pendidikan telah memerangkap peserta didik
dalam tekanan hanya fokus pada pelajaran. Banyak kebijakan-
kebijakan pendidikan nasional yang tak memperhatikan peserta
didik sebagai mahluk sosial. Kelas akselerasi, kelas standar
internasional, kelas excellent dan berbagai istilah lainnya
membuat siswa sibuk dari pagi sampai sore dengan pelajaran-
pelajaran. Tak hanya sampai disitu, beban belajar berbentuk
tugas-tugas masih mereka bawa ke rumah, hingga malamnya

123
mereka disibukan lagi dengan pelajaran-pelajaran. Tak hanya itu,
program-program sekolah unggulan dengan memakai konsep
sekolah terintegrasi, dengan waktu yang padat sampai sore telah
merampas waktu anak-anak untuk sekedar bersantai, bermain,
dan memperluas pergaulan mereka. Sehingga mereka tak hanya
unggul dalam kecerdasan intelektual tetetapi juga memilki
kecerdasan sosial sehingga tak menjadi sosok individualis.
Kondisi pendidikan Sekolah Dasar di Indonesia saat ini, sangat
memprihatinkan. Murid-murid SD yang seharusnya dapat
menikmati permainan bersama kawan kawannya di rumah,
telah dirampas waktu tersebut oleh sekolah. Alasan - alasan
seperti, sekolah terintegrasi menjadi apologi untuk memadatkan
jam pelajaran, dan beban pelajaran yang berat. Anak anak yang
telah lelah pulang ke rumah, tidak ada waktu lagi untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya. Sedari kecil mereka telah
didik individualis dengan sistem pendidikan yang tidak
memperhatikan psikologi anak.
Aspek tanggung jawab sosial mendapat perhatian penting
dalam pemikiran pendidikan Tan Malaka. Kekhawatiran
eksklusivisme kaum intelektual, yang seakan menjadi kasta
tersendiri telah diantisipasi oleh Tan Malaka. Pada masanya
superioritas kaum terpelajar memang terasa mencolok, terutama
yang memperoleh pendidikan Eropa. Tan Malaka tidak henti-henti
mengkritisi kaum intelektual yang hidup dalam menara gading
tersebut dalam ceramah-ceramah maupun melalui tulisan.
Tentang alienasi kaum intelektual tersebut masih terasa saat ini.
Konteks perguruan tinggi, kaum intelektual masih banyak
terpenjara dalam kampus dalam idealisme sempit maupun dalam
sains. Kehidupan kaum intelektual yang seakan bertembok
dengan rakyat jelata tersebut masih tetap terasa walaupun
sebenarnya perguruan tinggi memliki prinsip Tri Dharma:
Pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada masyarakat. Perguruan
tinggi sebagai wadah kaum intelektual belum bisa diandalkan
sebagai agen perubahan ketika secara individu mereka masih
berpikir bahwa kasta mereka lebih tinggi daripada rakyat jelata
yang bergelut dengan kerasnya kehidupan sekedar
mempertahankan hidup.
Kaum intelektual dan kaum teknokrat selayaknya tak terasing
dalam pergulatan kehidupan kaum jelata, karena pekerjaan kaum
jelata taklah lebih rendah dari kerja intelektual, kerja tangan dan
fisik merekalah yang membangun bangsa ini. Tan Malaka pernah
ingin menguji mana yang lebih penting pekerjaan kaum proletar
atau kaum intelektual, dengan mengajak mogok kerja kaum
buruh dimana segala produksi akan terhenti, disinilah disadari
bahwa antara intelektual dan jelata adalah suatu kesatuan yang

124
bergerak menuju satu tujuan bangsa berdaulat, dan masyarakat
sejahtera.

3. Pendidikan dan Globalisasi

Anthony Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai peningkatan


interdependensi masyarakat dunia, dimana terjadi tak ada lagi
batas sosial politik di antara negara. Ada enam komponen
globalisasi yang disampaikan oleh Cohen dan Kennedy: pertama,
perubahan konsep ruang dan waktu. Kedua, peningkatan
interaksi budaya. Ketiga, permasalahan sama yang dihadapi
masyarakat. Keempat, pertumbuhan interkoneksi dan
interdependensi. Kelima, meningkatnya jaringan kekuatan
transnasional aktor-aktor dan organisasi-organisasi. Keenam,
sinkronisasi seluruh dimensi yang meliputi globalisasi.
Sedangkan Gunawan Wiradi memahami globalisasi sebagai
gerakan internasional yang dilandasi neo liberalisme, yang
meyakini prinsip pasar bebas, sebebas-bebasnya, mencakup
perdagangan bebas, gerak tenaga kerja bebas, investasi bebas,
dan gerak modal bebas. Guna melanggengkan liberalisasi tersebut
menurut Wiradi maka peran negara harus diminimalkan sekecil
mungkin dalam berbagai aspek demi kepentingan kapitalisme.
Globalisasi sebagai keniscayaan dengan motif utamanya
adalah pasar bebas tak berarti bangsa Indonesia tak memiiki
karakter bangsa karena terbawa godaan mimpi-mimpi indah yang
ditawarkan kapitalisme. Globalisasi dengan muka barunya neo
kolonialisme tak lagi dengan membawa armada perang. Senjata
modal neo kolonial dari negara-negara maju perlahan merampas
kekayaan Indonesia, sehingga negara ini menjadi hanya di atas
kertas, faktanya modal-modal dan lahan telah dikuasai
kapitalisme. Korporasi-korporasi besar menancapkan kukunya
ditanah air mencari tenaga kerja ahli namun murah. Kaum buruh
yang semakin tergilas teknologi dan peraturan pabrik yang
menindas dihantui kehilangan pekerjaan. Kaum tani tak lagi
memiliki lahan, penyerobotan-penyerobotan tanah perusahaan
asing semakin menyengsarakan kaum tani. Lapangan kerja
semakin sempit, impor tenaga kerja ahli dari luar telah
menyingkirkan tenaga-tenaga domestik. Para sarjana berebut
menjadi tenaga kerja dengan sistem outsourcing dimana tak ada
jaminan kesejahteraan, asuransi kesehatan, namun dengan
tuntutan kerja di bawah tekanan dan dibawah todongan
pemecatan tanpa uang tolak karena tak mencapai target yang
ditentukan.
Hantu globalisasi dengan senjatanya kapital semakin
mengancam kehidupan kaum proletar. Selama masih ditemukan

125
penindasan layaknya kerja rodi yang penulis gambarkan tersebut,
wajarlah kalau muncul pertanyaan, apakah sudah merdeka 100%
Indonesia? dengan wajah barunya neo kolonial mengeksplorasi
kekayaan alam maupun memanfaatkan tenaga rakyat demi
kepentingan industri dan berbagai bidang bisnis mereka. Rakyat
tak mendapat apa-apa selain menjadi penonton.
Pendidikan di Indonesia diselenggarakan bukan untuk
mempersiapkan sumber daya manusia handal untuk
dipergunakan bagi Imperialisme global. Para stakeholder harus
menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan untuk rakyat
adalah sebagai pondasi untuk menjadi bangsa merdeka dalam
berbagai bidang: Politik, Budaya, Ekonomi, Militer, Teknologi.
Globalisasi sebagai realitas seharusnya menjadi tantangan agar
Indonesia tak menjadi bangsa yang membebek, dan terjebak
dalam pendidikan untuk menciptakan tenaga ahli dan intelektual
yang hanya menghamba kepada kepentingan kapitalisme, dengan
apologi globalisasi dan kepentingan ekonomi.
Apabila pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia hanya
berdasarkan pemenuhan kebutuhan industrialisme Barat, lalu
apa bedanya dengan masa penjajahan Belanda? Dimana
pemerintah kolonial hanya memberikan akses pendidikan kepada
pribumi sebagai strategi memenuhi kebutuhan mereka terhadap
kerja-kerja klerikal, buruh, dan mandor-mandor perkebunan.
Masa kolonial akses pendidikan yang dibatasi dan selalu
dipersulit, semata-mata untuk terus memerangkap Indonesia
dalam jurang kebodohan dengan kebodohan abadi tersebutlah
Imperialisme semakin mencengkramkan kuku kekuasaan dan
taring kerakusanya mengeksploitasi negeri ini. Bagi Belanda
bahwa bangsa Indonesia harus tetap dalam jurang kebodohan
adalah suatu kebijakan mutlak.
Kebodohan yang masih menjajah Indonesia tersebut dapat
dilihat dari data pada harian Kompas, 13 Oktober 2010 yang
mengatakan bahwa kekayaan Indonesia hanya dikuasai 0,2% oleh
penduduk pribumi. Fakta kemiskinan dalam aspek penguasan
kekayaan Indonesia ini mencerminkan bahwa bangsa Indonesia
belum merdeka, karena masih dikuasai oleh pihak asing.
Pertanyaan yang muncul, mengapa ini bisa terjadi? Apakah
pendidikan yang dibangun selama ini tak cukup membangun
bangsa yang mandiri dan berdaulat dinegeri sendiri? Apakah
sedemikian bodohnyakah bangsa Indonesia sehingga tak dapat
mengeksplorasi kekayaan dan mengelola kekayaannya sendiri?
Konteks kekinian, pendidikan yang digagas para pendiri
bangsa, Ki Hajar dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan
Malaka didasarkan pada pembangunan karakter bangsa yang
mandiri, seperti kehilangan arah. Perguruan tinggi mengekor

126
kebutuhan pasar, sehingga tak aneh ketika Perguruan tinggi
hanya mencetak buruh-buruh intelektual yang bekerja mekanistis
menggerakan industri yang ironisnya kekayaan negeri sendiri
untuk kepentingan asing. Kaum intelektual maupun kaum
teknokrat mekanis ini tidak memilki apa yang disebut oleh Ulrich
sebagai social chemistry dimana kaum terpelajar harus dapat
menyatu dalam kehidupan sosial dan menyelami dialektika
berbangsa untuk menuju kepada masyarakat yang satu. Paham
individualistis ini sebenarnya sudah dikhawatirkan oleh Tan
Malaka, dimana dia pernah mengatakan apabila dengan
pendidikan membuat kaum intelektual merasa lebih tinggi dari
rakyat yang bekerja dengan cangkul, dan pekerjaan kaum
proletar lainnya, maka lebih baik pendidikan tersebut tak
diberikan kepada mereka.
Pendidikan sebagai social capital yang akan menggerakan roda
pembangunan harus dipandang sebagai kebutuhan pokok.
Namun pendidikan yang diberikan jangan mengabaikan prinsip-
prinsip nasionalisme dan humanisme. Fenomena melunturnya
nasionalisme dapat dijadikan sebuah premis bahwa penanaman
pemikiran kebangsaan, kerakyatan, dan keindonesiaan belum
terselenggara dengan baik. Betapa mengerikan kondisi Indonesia
di masa beberapa tahun mendatang, ditengah arus informasi
teknologi dan budaya pop hedonisme generasi muda terjebak
dalam perangkap ketakpastian. Sehingga kalaupun muncul
ilmuwan handal, teknokrat ahli, birokrat, maupun pekerja yang
tak menyadari posisinya sebagai warga dunia yang merupakan
warga bangsa Indonesia. Ketika arus dunia tanpa batas ini
menghilangkan jati diri dan karakter nasionalisme, kerakyatan
dan keindonesiaan, taklah aneh apabila dalam berbagai sendi
kehidupan masyarakat Indonesia akan menjadi chaos. Korupsi
akan semakin merajalela karena nilai-nilai dasar sebagai warga
negera yang baik tak terinternalisasi. Ketika konsep nilai-nilai
yang adi luhung pada masa pergerakan kemerdekaan terus digali,
diinternalisasi dalam level pendidikan tertinggi minimal perilaku
bobrok dalam pengelolaan negara akan dapat dikurangi.

4.Guru Revolusioner

Guru merupakan agen revolusi terpenting untuk menuju


Indonesia merdeka 100% . Sebagaimana yang telah diterapkan
Tan Malaka dalam berbagai kegiatan pendidikannya. Tan Malaka
selalu menekankan bahwa guru yang dilatih dan dilibatkan dalam
proyek pendidikannya selalu dituntut memiliki kompetensi. Bisa
dikatakan empat kompetensi (pedagogik, profesional, sosial, dan
kepribadian) yang termaktub dalam Undang-undang guru dan

127
Dosen No 15 tahun 2005 yang menjadi acuan perbaikan kualitas
pendidikan saat ini, sebenarnya telah diterapkan Tan Malaka.
Bahkan empat kompetensi tersebut pada masa Tan Malaka
sebenarnya bisa ditambahkan dengan kompetensi ketabahan dan
keikhlasan demi bangsa dan negara. Nilai patrioti inilah yang
luntur dalam proses pendidikan saat ini.
Jika direfleksikan pengabdian guru pada masa Tan Malaka,
disatu sisi mereka dituntut memiliki kompetensi yang harus
melalui proses pendidikan guru yang berat dengan standar
pemerintah kolonial. Ketika mereka mengaplikasikan ilmunya,
ternyata bukan hanya dilandasi kesejahteraan individu dan uang
belaka. Jika dilihat dari penghasilan yang diperoleh sangatlah tak
berimbang, seperti yang diperoleh Tan Malaka ketika mengajar di
sekolah kuli di Deli, maupun ketika di sekolah Sarekat Islam,
yang bisa dikatakan tak dibayar. Pengabdian kepada negara
dengan memanusiakan anak bangsa agar dapat melihat dunia,
merenungkan posisi mereka yang tertindas, dengan mengajarkan
mereka aksara, berhitung, dan keterampilan tangan.
Guru sebagai penjaga karakter bangsa merupakan suatu
profesi yang memiliki peran sosial tinggi sebagai model manusia
ideal. Pendidikan karakter yang digaungkan akhir-akhir ini tak
akan mencapai hasil maksimal jika guru sebagai pionir
perubahan tak menginternalisasikan karakter ideal kepada
peserta didik. Pendidikan berkarakter seperti apa yang hendak
diterapkan dicapai dalam pendidikan nasional? Penulis mencoba
mengkristalkan pemikiran-pemikiran Tan Malaka tentang
pendidikan sebagai alat kemerdekaan dan character building.
Dalam tulisan dan tindakan Tan Malaka, penulis
menyimpulkan beberapa poin peran pendidikan sebagai
pembangunan karakter, yaitu.
Pertama. Pendidikan merupakan alat penyadaran rakyat untuk
melawan ketak adilan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan
hukum. Kedua. Pendidikan adalah proses penyadaran
kemanusiaan dari rakyat yang tak menyadari posisi tertindas
hingga menyadari sebuah pembebasan. Olehkarena itu rakyat
harus diberikan penyadaran melalui pendidikan untuk
melakukan perubahan nasib individunya dan masyarakat.
Ketiga. Pendidikan harus dapat menggali khasanah ilmu, dan
budaya bangsa sendiri yang belum tergali karena masih
memandang ilmu dan budaya yang diimpor dari luar selalu
dianggap baik dan terbaik. Karakter bangsa harus dibangun tiada
henti menggali kekayaan ilmu dan budaya di Indonesia. bangsa
yang berkarakter unggul adalah ketika mampu berdiri sama tinggi
dengan peradaban luar Barat khususnya dengan memperlihatkan

128
keunggulan pengetahuan, teknologi dan budaya yang digali dan
diciptakan sendiri.
Keempat. Masyarakat dididik bukan untuk menjadi kasta
ekslusif. Kaum intelektual dengan senjata pikiran dan
teknologinya bukan berarti mereka membangun tembok dari
kehidupan rakyat jelata, dan permasalahan bangsa. Sebaliknya
kaum terdidik harus melebur dalam sebuah interaksi yang saling
mendukung. Intelektualisme tak dapat dijadikan bahwa golongan
terdidik lebih baik, lebih mulia, lebih unggul dari kaum proletar
yang bekerja mengandalkan tenaga mereka.

129
Selampiran Puisi untuk Tan Malaka

MERAH LANGIT SUMATERA

Lembah Pandan Gadang hamparkan sejarah,


Fajar Merah membaja berpijar memantul diatas
Melayang elang berkodrat Jenderal Perang mencabik langit
penjajahan berabad waktu
Panglima bertempur utuh memimpin prajurit malam bercelurit
bulan

Gerbang kejayaan diselimuti kabut kolonial binal


Dengus penderitaan tersembunyi bergerilya dihutan perang
Strategi menyerang dan sembunyi diam dan bernyanyi
Bergelap gelap di depan moncong senapan
Berterang terang dalam kelengahan penindas

Merah langit Sumatera


Menyambut elang kemerdekaan mengerang merdeka
Langit Suliki di sawah terbentang memerah gerah
Medan semangat Republik berkobar menyala lelap kaum
terbelenggu

Sukma hilang makna dalam kelana benua tanpa ujung


Nusantara dijanjikan lepas dari tirani
Medan jiwa menyebrangi batas ketakmampuan
Penjara raga terpecah, penjara pikiran melebur digelombang
pelayaran
Kutub ke kutub melangkahi peta dunia
Tubuh terjebak magnet api meletup pergolakan
Pikiran wanginya udara pagi di Lembah Suliki
Menembus barisan serdadu berbaris bengis
Panji kemenangan dihembuskan perlawanan bertaktik
Jeruji jarak merapatkan didada Sumatera
Tetetapi keabadian pengabdian
Tak dapat dihentikan senapan kematian

130
PROSA PROLETAR

Murba pekerja buka jendela pagi tanpa labirin, cerobong pabrik


melambaikan asap memanggil kepulkan asap lebih kelam
Murai kelabu berkicau meracau ngigau dipondok ringkihmurba,
buyar hening ruang sesak keluarga Murba terputus sarang laba
laba diserbu nyamuk penghisap mimpi mereka

Bangun ayah murba dari tidur pengap dalam mimpi memancang


beton dikepala sendiri, bergesa berangkat kerja mengayuh
langkah berdesakan di lorong setapak lapak lapak rumah tak
layak, berjejalan suara berebut terdengar dari deru pabrik dua
puluh empat jam tak berhenti

sibuk Ibu murba memasak sisa beras dari karung berkepinding,


panci panik mengitam terbakar tungku Ibu dari abu abu bara
tercecer industri energi,

Anak anak murba tak bersekolah berlari dari mimpi indah,


menuju ke sungai keruh, dari jembatan baja meloncat berteriak
luka: Merdeka kah Aku !

Kaum pekerja berbaju debu, semakin lara dalam hitungan rupiah


yang digenggam erat dibasahi keringat terperas
Walau darah menetes menggerakan mesin mesin bisu menjadi
gaduh, martabat diikat seperti domba, melata seperti ular
meronta lapar seserigala hilang mangsa

Bekerja bergerak iringi gerigi dan roda mesin mendengus rakus


suara majikan, palu bertalu dentang besi hentikan hening
Bayangan anak tertawa lapar menunggu ibu menanak batu
Bayangan anak bermain boneka kayu karena boneka dora
seharga sekarung beras, bayangan tak henti berkelebat
Tenggelam lubang bernisan pengki, terlarut pekat asap cerobong
muntah kekenyangan
Dilangit senja diatap pencakar kota, pekerja memancang baja
Pecah keringat menghujan darah, bekerja mengaliri tanah air,
bergerak angin gunung, menampar bangkit manusia manusia
baja

Bergelombang badai mengitari pabrik berdentang bising

131
Memercik api menyelimuti pabrik berproduksi keringat buruh
Suluh bara dari cerobong membakar, massa aksi berlari lari di
dada anak negeri

MENGHITUNG DARAH

Suliki: 1

Haus anak lembah penyadaran itu tak tuntas


Kweekschool Bukit Tinggi belum setinggi Semeru
Ketika menyapa langit Andalas
Merantau langkah tinggalkan pulau terbelenggu
Dialektika dunia membentang
Teluk Bayur berdebur mengantar
Air mata ibu menawarkan asin laut perjuangan

Harleem: 2

Guru renta kenakan jubah luka


Tahan gigil langit Harleem
Gelora dunia menyambar matanya
Tersulut obor dari tanah Nederland

Deli : 3

Buku di dadanya adalah bara pembakar takhayul negeri budak


Ketika pohon dituhankan
Jimat jimat diagungkan
Pengetahuan terpendam di samudera
Suluh sang guru menyulut penanya
Deli tanah kuli: jelata buta tak mampu baca dunia
Sibuk berperan kerbau
Mengolah tanah bagi penjajah

Tanah Jawa: 4

Layar lebar penindasan: penghisapan manusia atas manusia


Di mata rentanya raksasa Republik tidur mendengkur di mata
sangkur
Samudera rasa merdeka buta bisu sunyi
Jelata camping dihisap kepinding kolonialis

Majapahit dalam kepahitan


Sriwijaya berjaya mengarungi lautan sejarahnya
Ini dia Nusantara sekarang:

132
Anjing putih menghisap darah tak terasa

Senja Revolusi: 5

Raut sore berkerut


Berjejal kaum miskin
Mengerang nganga lapar
Suasa luka menutup surya

Jelata dekil berbedil


Baris rapat di Medan Area
Gemuruh masa buruh
Derap kaki kaum tani
Berlari lari ke perang suci

Perburuan: 6

Ia menempuh barisan persekongkolan pembunuh


Menyapa si lapar, merangkul si miskin, memeluk si hina
Membangkitkan si melarat, memberi minum untuk si haus
Laskar merah putih merdeka mengenakan tutup kepala kain
hitam, berubah penjagal

Pesta Kera: 7

Serdadu serdadu kera berpesta senjata


Asap kelabu mesiu gelisah tak ikhlas menelan anak Suliki
Sejarah sudah terlanjur berkata dengan pelatuk senapan
Nyawa Indonesia itu?

Serdadu serdadu kera berderap gemuruh


Menyeret tubuh ke lembar sejarah yang harus dilupakan:
jangan kenang ia

Sebaris penanda di lontar yang kemudian lenyap


Kera kera revolusi merampas jiwanya
Gerombolan kera putih berdansa dansi dipimpin singa hitam
Menanam Republik tanpa merah putih
Meliuk kali Brantas menyaksikan Tan tanpa nisan

Pesta Anjing: 8

133
Anjing anjing hitam putih itu mencabik tubuh tuberculosis
Hingga tak satupun posternya di kelas-kelas sekolah
Membisu bersama-sama Bung Karno, Bung Hatta
Rimba Kediri: 9

Menghitung langkah Proklamasi


Mematri kematian laskar rakyat
Tersungkur jelata renta dalam gerilya
Rimba Kediri memeluk mesra
Orang tua yang disia-siakan mortir

Bertongkat ranting hutan Kediri


Jenazah renta merayap bangkit
Memutik sejarahnya sendiri

Mengenang Genang Sejarah: 0

Dialektika senjata tidak bermata


aku menghitung darahmu, tak terhingga
Merenangi darahmu aku berhenti bisu
Gelombang perlawanan melambai lambai di dada muda
Api kematian menjadi nol di jiwa

134
135

Anda mungkin juga menyukai