INDONESIA
MENURUT PERSPEKTIF TAN MALAKA
Julio Purba Kencana , Gregorius Pasi Antonius Deny Firmanto
1 2, 3
1
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
2
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
3
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
E-mail: julioopurbakencana@gmail.com , gregoriussmm@ymail.com , rm_deni@yahoo.com
1 2 3
Abstrak
Studi ini membahas tentang butir-butir filsafat nusantara dalam sejarah bangsa indonesia menurut
perspektif Tan Malaka. Terbentuknya bangsa Indonesia tidak terlepas dari proses Panjang yang
dinamakan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Mulai dari lahirnya sistemkerajaan di Nusantara hingga
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Semuanya itu dapat terjadi karena kesaadaran warga
negara Indonesia yang sadar akan keberagaman yang ada. Hal ini jugalah yang menjadi permenungan
Tan Malaka sebagai salah satu bapa pendiri banngsa. Sebagai pendiri bangsa Tan Malaka berpendapat
bahwa sebagai sebuah bangsa yang lahir dari political unity, bangsa Indonesia harus memiliki kesadaran
dan toleransi dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, Tan Malaka mau
mengatakan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus memiliki dasar hidup atau falsafahnya
sendiri atau lebih tepatnya kontrak hidup bersama. Kontrak hidup bersama atau yang lebih dikenal
sebagai Pancasila inilah yang hendaknya senantiasa dipakai sebagai pedoman hidup dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Metodologi yang digunakan dalam studi ini adalah studi kepustakaan dan
peninjauan kritis terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Studi ini menemukan bahwa butir-butir
filsafat nusantara dalam sejarah bangsa Indonesia dalam perspektif Tan Malaka Mengalami
pemenuhannya dalam dasar negara yaitu Pancasila.
Abstract
This study discusses the points of archipelago philosophy in the history of the Indonesian nation
according to Tan Malaka's perspective. The formation of the Indonesian nation cannot be separated from
a long process called the history of the Indonesian nation itself. Starting from the birth of the royal system
in the archipelago to the proclamation of independence on August 17, 1945. All of this can happen
because of the awareness of Indonesian citizens who are aware of the diversity that exists. This is also
the reflection of Tan Malaka as one of the founding fathers of the nation. As the founder of the nation, Tan
Malaka believes that as a nation born of political unity, the Indonesian nation must have awareness and
tolerance in living together as a nation. Thus, Tan Malaka wants to say that as a nation, Indonesia must
have its own basis of life or philosophy or rather a contract of living together. The contract of living
together or better known as Pancasila is what should always be used as a way of life in the life of the
nation and state. The methodology used in this study is a literature study and a critical review of the
current problems. This study finds that the points of the philosophy of the archipelago in the history of the
Indonesian nation in the perspective of Tan Malaka have been fulfilled in the state foundation, namely
Pancasila.
1. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beragam suku dan bangsa. Kondisi
seperti ini seringkali membuat Negara Indonesia sebagai negara plural mengalami konflik yang berkaitan
dengan SARA. Konflik SARA jugalah yang terkadang menjadi pemicu dari berbagai konflik lainnya.
Permasalahan ini tidak terlepas dari sistem demokrasi yang Indonesia anut. Kelemahan ini disebabkan
oleh kelemahan sistem demokrasi yang memang cenderung kepada kuantitas daripada kualitas.
(bladjar.com, 2021) Kecenderungan seperti ini membuat Indonesia sering jatuh ke dalam permasalahan
“Mayoritas dan minoritas”. Kecendrungan inilah yang terkadang digunakan oleh oknum-oknum tertentu
untuk memecah belah bangsa Indonesia ke dalam dua kelompok yaitu mayoritas dan minoritas.
Sistem pengelompokan berdasarkan kaum mayoritas dan minoritas seperti ini membuat dan
memunculkan perpecahan di berbagai daerah. Munculnya perpecahan di berbagai daerah membuktikan
bahwa masyarakat telah melupakan sebuah kebenaran yang utama tentang berdirinya negara Indonesia.
Mereka lupa bahwa negara Indonesia berdiri karena political unity dan bukan karena cultural unity.
Mereka lupa bahwasanya Indonesia dapat berdiri karena pancasila sebagai kontrak sosial
masyarakatnya dan bukan atas dasar kesamaan kultur budaya apalagi agama. Kelemahan bangsa
Indonesia yang cenderung jatuh ke dalam radikalisme agama ini juga yang terkada menyebabkan konflik-
konflik berbau SARA muncul.
Permasalahan ini seakan menjadi bukti dari ketakutan yang selama ini ditakuti oleh Tan Malaka
bapak republik bangsa ini. Ketakutan Tan Malaka adalah sebuah ketakutan yang tidak memiliki dasar dan
memang benar adanya. Ia mempertanyakan keputusan Soekarno, Hatta, dan pendiri bangsa lainya yang
mencoba menyatukan beragam suku bangsa ke dalam satu kedaulatan dengan pancasila sebagai
kontrak sosialnya. Akan tetapi kesadaran akan Pancasila sebagai kontrak sosial masih sangat minim
dimiliki oleh bangsa Indonesia dan hal inilah yang menjadi ketakutan Tan Malaka.
Ketakutan Tan malaka dan sikap masyarakat Indonesia yang seakan” melupakan” sejarah,
membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana sejarah bangsa Indonesia terbentuk? Apakah wawasan dan
falsafah nusantara dapat menjadi identitas bangsa? Dan apakah pancasila dapat menjadi pemersatu
bangsa dalam satu kedaulatan? Lalu bagaimana pandangan Tan Malaka tentang bangsa Indonesia?
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi filosofis atas sejarah bangsa Indonesia dalam
hubungannya dengan falsafah nusantara sebagai identitas bangsa. hubungan diantara keduanya perlu
direfleksikan secara filosofis-kritis. Dengan bertitik tolak dari pengertian bangsa menurut Tan Malaka
saya mencoba menelusuri kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan kebijaksanaan dalam filsafat
nusantara sebagai ilmu filsafat.
2. Metodologi
Penulisan artikel ini menggunakan metodologi pendekatan kualitatif-deskriptif dengan
menggunakan library research. Sumber-sumber bacaan yang digunakan kemudian ditelaah berdasarkan
hubungannya terhadap kajian fenomena yang dibahas dalam kerangka filsafat. Data-data dikumpulkan
melalui studi literatur secara online dan offline.
Studi literatur digunakan untuk memperoleh data primer dan sekunder tentang latar belakang dan
butir butir pemikiran filsafat nusantara dalam perspektif Tan Malaka. Data primer yang digunakan adalah
data yang memaparkan sejarah terbentuknya bangsa indonesia mulai dari sumpah pemuda hingga
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. sedangkan data sekunder lebih mengarah pada pandangan-
pandanga filosofis yang berasal dari pemiikiran maupun gagasan tan malaka.
Setelah data ini terkumpul, penulis kemudian membaca, memahami, dan menguraikannya
menjadi ringkasan filosofis juga terhadap beberapa poin-poin penting untuk membahas lebih dalam poin-
poin dalam penulisan artikel ini. Terakhir penulis menganalisis dan kemudian merefleksikanya secara
filosofis mengunakan filsafat materialisme Tan Malaka sebagai pisau bedah dalam menganalisis
permasalahan yang ada.
4. Penutup
Negara indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beragam suku dan bangsa. Karena itu,
bangsa Indonesia berdiri dan tercipta bukan karena kesamaan kultur melainkan karena rasa senasib dan
sepenanggungan. Keadaan ini kemudian membuat masyarakat Indonesia untuk berkomitmen hidup
bersama di dalam satu kedaulatan bangsa. Namun hal ini tidaklah mudah karena perbedaan-perbedaan
yang ada terkadang menjadi hambatan tersendiri bagi bangsa indonesia. Keadaan ini kemudian dapat
diatasi dengan mempersatukan masyarakat Indonesia dengan satu ideologi yang berasal dari jiwa bangs
aitu sendiri yaitu Pancasila.
Pancasila adalah sebuah falsafah hidup yang berasal dari keberagaman bangsa indonesia. Di
dalam Pancasila sendiri terkandung berbagai macam ajaran-ajaran serta nasehat kehidupan yang
berasal dari seluruh daerah nusantara. Selain sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila juga
berperan sebagai kontrak sosial bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang memiliki banyak kearifan lokal yang berasal dari
banyak kultur. Pemikiran serta animisme yang masih kuat, membuat negara Indonesia masih berada di
bawah bayang-bayang mitos dan legenda. Cara berpikir seperti inilah yang Tan malaka disebut sebagai
logika mistika.
Logika mistika membuat bangsa Indonesia masih berada di dalam ketertinggalan dalam
kemajuan zaman. Logika mistika juga membatasi masyarakat indonesia dalam menggunakan nalarnya
dan cenderung mempercayai hal-hal mistis sebagai jawaban dari berbagai permasalahan yang ada.
Keadaan ini semakin diperparah dengan keadaan masyarakatnya yang masih mabuk dan kecanduan
akan iming-iming surga. Permasalahan ini kemudian memunculkan permasalahan yang lebih krusial
dalam hubungannya dengan toleransi umat beragama.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kearifan lokal hanya dipandang sebagai kebudayaan yang
harus dilestarikan dan bukan sebagai sarana memisahkan diri dari kebangsaan Indonesia. Keberagaman
hendaknya dipandang sebagai sebuah kekayaan dan bukan sebaliknya. Dan nalar hendaknya juga lebih
diutamakan dalam menjawab permasalahan yang ada ketimbang menggunakan hal-hal mistis sebagai
jawaban. Dengan demikian semua kearifan lokal yang ada di negara Indonesia dapat dipandang sebagai
sebuah kekayaan milik bersama dan bukan milik suku tertentu.
5. Daftar Pustaka
"EKSISTENSI PANCASILA SEBAGAI KONTRAK SOSIAL UMAT ...."
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/2031. Diakses pada 25 Mei. 2022.
Inderesti, Revi, Budi Kurniawan, and JB Sudarmanto. MENJADI INDONESIA. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 1995.
Kilas Balik Demonstrasi Mahasiswa 1998, Ramai-ramai Kepung ...." 11 Apr. 2022,
https://jabar.tribunnews.com/2022/04/11/kilas-balik-demonstrasi-mahasiswa-1998-ramai-ramai-kepung-
gedung-dpr-ri-soeharto-pun-tumbang. Diakses pada 21 Mei. 2022.
"Sumpah Pemuda: Isi Teks, Sejarah, dan Maknanya Halaman all." 12 Jan. 2022,
https://regional.kompas.com/read/2022/01/12/220332578/sumpah-pemuda-isi-teks-sejarah-dan-
maknanya?page=all. Diakses pada 21 Mei. 2022.