Anda di halaman 1dari 7

BUTIR-BUTIR FILSAFAT NUSANTARA DALAM SEJARAH BANGSA

INDONESIA
MENURUT PERSPEKTIF TAN MALAKA
Julio Purba Kencana , Gregorius Pasi Antonius Deny Firmanto
1 2, 3

1
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
2
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
3
Filsafat keilahian, STFT Widya Sasana Malang, Indonesia
E-mail: julioopurbakencana@gmail.com , gregoriussmm@ymail.com , rm_deni@yahoo.com
1 2 3

Abstrak
Studi ini membahas tentang butir-butir filsafat nusantara dalam sejarah bangsa indonesia menurut
perspektif Tan Malaka. Terbentuknya bangsa Indonesia tidak terlepas dari proses Panjang yang
dinamakan sejarah bangsa Indonesia itu sendiri. Mulai dari lahirnya sistemkerajaan di Nusantara hingga
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Semuanya itu dapat terjadi karena kesaadaran warga
negara Indonesia yang sadar akan keberagaman yang ada. Hal ini jugalah yang menjadi permenungan
Tan Malaka sebagai salah satu bapa pendiri banngsa. Sebagai pendiri bangsa Tan Malaka berpendapat
bahwa sebagai sebuah bangsa yang lahir dari political unity, bangsa Indonesia harus memiliki kesadaran
dan toleransi dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, Tan Malaka mau
mengatakan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia harus memiliki dasar hidup atau falsafahnya
sendiri atau lebih tepatnya kontrak hidup bersama. Kontrak hidup bersama atau yang lebih dikenal
sebagai Pancasila inilah yang hendaknya senantiasa dipakai sebagai pedoman hidup dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Metodologi yang digunakan dalam studi ini adalah studi kepustakaan dan
peninjauan kritis terhadap permasalahan yang sedang terjadi. Studi ini menemukan bahwa butir-butir
filsafat nusantara dalam sejarah bangsa Indonesia dalam perspektif Tan Malaka Mengalami
pemenuhannya dalam dasar negara yaitu Pancasila.

Kata kunci: Sejarah, Indonesia, Pancasila, Tan Malaka

Abstract
This study discusses the points of archipelago philosophy in the history of the Indonesian nation
according to Tan Malaka's perspective. The formation of the Indonesian nation cannot be separated from
a long process called the history of the Indonesian nation itself. Starting from the birth of the royal system
in the archipelago to the proclamation of independence on August 17, 1945. All of this can happen
because of the awareness of Indonesian citizens who are aware of the diversity that exists. This is also
the reflection of Tan Malaka as one of the founding fathers of the nation. As the founder of the nation, Tan
Malaka believes that as a nation born of political unity, the Indonesian nation must have awareness and
tolerance in living together as a nation. Thus, Tan Malaka wants to say that as a nation, Indonesia must
have its own basis of life or philosophy or rather a contract of living together. The contract of living
together or better known as Pancasila is what should always be used as a way of life in the life of the
nation and state. The methodology used in this study is a literature study and a critical review of the
current problems. This study finds that the points of the philosophy of the archipelago in the history of the
Indonesian nation in the perspective of Tan Malaka have been fulfilled in the state foundation, namely
Pancasila.

Keywords: History, Indonesia, Pancasila, Tan Malaka

1. Pendahuluan
Negara Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beragam suku dan bangsa. Kondisi
seperti ini seringkali membuat Negara Indonesia sebagai negara plural mengalami konflik yang berkaitan
dengan SARA. Konflik SARA jugalah yang terkadang menjadi pemicu dari berbagai konflik lainnya.
Permasalahan ini tidak terlepas dari sistem demokrasi yang Indonesia anut. Kelemahan ini disebabkan
oleh kelemahan sistem demokrasi yang memang cenderung kepada kuantitas daripada kualitas.
(bladjar.com, 2021) Kecenderungan seperti ini membuat Indonesia sering jatuh ke dalam permasalahan
“Mayoritas dan minoritas”. Kecendrungan inilah yang terkadang digunakan oleh oknum-oknum tertentu
untuk memecah belah bangsa Indonesia ke dalam dua kelompok yaitu mayoritas dan minoritas.
Sistem pengelompokan berdasarkan kaum mayoritas dan minoritas seperti ini membuat dan
memunculkan perpecahan di berbagai daerah. Munculnya perpecahan di berbagai daerah membuktikan
bahwa masyarakat telah melupakan sebuah kebenaran yang utama tentang berdirinya negara Indonesia.
Mereka lupa bahwa negara Indonesia berdiri karena political unity dan bukan karena cultural unity.
Mereka lupa bahwasanya Indonesia dapat berdiri karena pancasila sebagai kontrak sosial
masyarakatnya dan bukan atas dasar kesamaan kultur budaya apalagi agama. Kelemahan bangsa
Indonesia yang cenderung jatuh ke dalam radikalisme agama ini juga yang terkada menyebabkan konflik-
konflik berbau SARA muncul.

Permasalahan ini seakan menjadi bukti dari ketakutan yang selama ini ditakuti oleh Tan Malaka
bapak republik bangsa ini. Ketakutan Tan Malaka adalah sebuah ketakutan yang tidak memiliki dasar dan
memang benar adanya. Ia mempertanyakan keputusan Soekarno, Hatta, dan pendiri bangsa lainya yang
mencoba menyatukan beragam suku bangsa ke dalam satu kedaulatan dengan pancasila sebagai
kontrak sosialnya. Akan tetapi kesadaran akan Pancasila sebagai kontrak sosial masih sangat minim
dimiliki oleh bangsa Indonesia dan hal inilah yang menjadi ketakutan Tan Malaka.
Ketakutan Tan malaka dan sikap masyarakat Indonesia yang seakan” melupakan” sejarah,
membuat saya bertanya-tanya. Bagaimana sejarah bangsa Indonesia terbentuk? Apakah wawasan dan
falsafah nusantara dapat menjadi identitas bangsa? Dan apakah pancasila dapat menjadi pemersatu
bangsa dalam satu kedaulatan? Lalu bagaimana pandangan Tan Malaka tentang bangsa Indonesia?
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi filosofis atas sejarah bangsa Indonesia dalam
hubungannya dengan falsafah nusantara sebagai identitas bangsa. hubungan diantara keduanya perlu
direfleksikan secara filosofis-kritis. Dengan bertitik tolak dari pengertian bangsa menurut Tan Malaka
saya mencoba menelusuri kemungkinan-kemungkinan untuk menemukan kebijaksanaan dalam filsafat
nusantara sebagai ilmu filsafat.

2. Metodologi
Penulisan artikel ini menggunakan metodologi pendekatan kualitatif-deskriptif dengan
menggunakan library research. Sumber-sumber bacaan yang digunakan kemudian ditelaah berdasarkan
hubungannya terhadap kajian fenomena yang dibahas dalam kerangka filsafat. Data-data dikumpulkan
melalui studi literatur secara online dan offline.
Studi literatur digunakan untuk memperoleh data primer dan sekunder tentang latar belakang dan
butir butir pemikiran filsafat nusantara dalam perspektif Tan Malaka. Data primer yang digunakan adalah
data yang memaparkan sejarah terbentuknya bangsa indonesia mulai dari sumpah pemuda hingga
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. sedangkan data sekunder lebih mengarah pada pandangan-
pandanga filosofis yang berasal dari pemiikiran maupun gagasan tan malaka.
Setelah data ini terkumpul, penulis kemudian membaca, memahami, dan menguraikannya
menjadi ringkasan filosofis juga terhadap beberapa poin-poin penting untuk membahas lebih dalam poin-
poin dalam penulisan artikel ini. Terakhir penulis menganalisis dan kemudian merefleksikanya secara
filosofis mengunakan filsafat materialisme Tan Malaka sebagai pisau bedah dalam menganalisis
permasalahan yang ada.

3. Hasil dan pembahasan


a. Sejarah bangsa Indonesia
Kebangsaan (nationhood) adalah rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan
masyarakat ( society) di satu pihak dan kekuasaan negara ( state ) dipihak lain. (Inderesti Revi, 1995)
Keseimbangan itu sebenarnya sudah berkali-kali dicoba oleh kerajaan-kerajaan yang yang ada di
nusantara. Misalnya saja seperti; sriwijaya, singasari, dan majapahit. Namun yang berhasil mencapai
keseimbangan dan hampir berhasil mempersatukan nusantara hanya majapahit. Walaupun berhasil
mempersatukan nusantara dibawah satu kedaulatan, tetap saja persatuan di bawah panji majapahit
hanya sebuah persatuan palsu. Persatuan di era majapahit tercipta karena ketakutan kepada penguasa
dan bersifat memaksa. Persatuan tersebut bukan tercipta karena rasa dan kemauan untuk hidup
bersama di dalam satu kedaulatan sebagai sebuah negara.
Rasa dan kemauan untuk hidup bersama sebagai sebuah negara baru muncul diera kolonialisme
dan imperialisme belanda. Penindasan yang terjadi di zaman penjajahan Belanda memunculkan rasa
senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa yang menderita bersama. Rasa itu semakin kuat
sehingga pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari seluruh nusantara sama-sama menikrarkan
sebuah sumpah bersama sebagai bentuk persatuan.(Kompas.com, 2021) Namun persatuan di masa itu
belum dapat dikatakan sebagai sebuah persatuan karena masih kental dengan sikap kesukuan yang
ditandai dengan kata “jong” pada setiap daerah yang ikut serta dalam sumpah pemuda.
Persatuan itu baru benar-benar muncul pada zaman pendudukan jepang sampai pada pasca
kemerdekaan. Persatuan berbagai suku dan bangsa ini kemudian dikukuhkan ke dalam sebuah kontrak
hidup bersama yang disebut sebagai pancasila. komitmen untuk hidup bersama inipun diikrarkan dalam
proklamasi kemerdekaan yang dibacakan dan diwakili oleh Soekarno dan Moh Hatta pada tanggal 17
Agustus 1945.
Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia resmi menjadi
sebuah negara political unity. Atau lebih tepatnya persatuan negara Indonesia ke dalam satu kedaulatan
dapat dipersatukan lewat wawasan nusantara yang memunculkan pancasila sebagai kontrak sosial.
Namun selama orde lama memimpin banyak sekali pemberontakan-pemberontakan yang mengancam
kedaulatan dan persatuan negara. Salah satu contoh pemberontakan yang mengancam persatuan dan
ideologi pancasila adalah GS30/PKI. Untungnya pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh pemerintah
masa itu.
Keutuhan NKRI kembali dipertanyakan ketika orde baru memegang tampuk kekuasaan.
Pembangunan yang bersentral di pulau Jawa, tingkat kemiskinan yang tinggi serta pembangunan yang
tidak merata memunculkan banyak pemberontakan di banyak daerah. keadaan ini semakin diperparah
dengan sikap rezim Soeharto yang cenderung otoriter dan diktator. Puncak dari ketidakadilan ini adalah
dengan berpisahnya timor-timor dari Indonesia. Namun permasalahan ini akhirnya dapat diatasi dengan
lengsernya rezim Soeharto karena demo besar tahun 1998 yang dikenal sebagai peristiwa reformasi
(Tribunjabar.id, 2022).

b. Konsepsi Wawasan dan falsafah nusantara identitas bangsa


Konsepsi wawasan nusantara dianggap sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenal diri
dan lingkungannya yang serba beragam dan memiliki nilai strategis dengan mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa. Selain itu kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional (Winarno, 2020). Dengan begitu konsepsi
wawasan nusantara juga memiliki nilai sebagai weltanschauung atau falsafah bangsa. Namun konsepsi
nusantara memiliki nilai lain di mata dunia yaitu sebagai identitas bangsa Indonesia. Identitas ini melekat
dan menjadi bagian dari ciri khas Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Oleh sebab itu, negara
Indonesia tidak dapat menerapkan sistem negara berdasarkan konsep kesamaan budaya atau cultural
unity. Sistem negara yang lebih cocok dengan Negara kepulauan seperti Indonesia yang terdiri dari
berbagai suku dan bangsa adalah negara political unity. Keberagaman bangsa Indonesia membuatnya
lebih cocok menggunakan sistem negara political unity dengan pancasila sebagai kontrak hidup bersama.
Akan tetapi kebanyakan orang di negara Indonesia belum memiliki kesadaran akan konsepsi wawasan
nusantara. Mereka cenderung memaksakan suatu kultur yang dominan sebagai identitas negara. Mereka
tidak menyadari bahwa negara yang terdiri dari berbagai budaya ini dapat bersatu karena konsepsi
wawasan nusantara sebagai identitas bersama dan pancasila sebagai kontrak sosialnya.
Ketidakmampuan untuk memahami falsafah nusantara dan ketidakmampuan untuk menerima perbedaan
membuat masyarakat Indonesia rentan dengan konflik yang berbau SARA. Maka dari itu penting bagi kita
sebagai masyarakat indonesia memahami konsepsi wawasan nusantara sebagai ciri khas , pandangan
hidup bersama, dan identitas bangsa.
c. Indonesia negara political unity
Dengan pemahaman yang kurang lebih sama, bangsa pada dasarnya memiliki dua arti, yaitu
bangsa dalam pengertian kebudayaan (cultural unity) dan bangsa dalam pengertian politik kenegaraan
(political unity ) (Winarno, 2020). Cultural unity adalah bangsa yang tercipta karena kesamaan kultur
seperti budaya, ras maupun agama. Bangsa yang lahir dari kesamaan cultur ini biasanya diperintah oleh
raja dan menganut sistem pemerintahan monarki atau teokrasi. Sementara itu political unity adalah
bangsa yang tercipta karena rasa senasib sepenanggungan yang muncul karena penjajahan maupun
diktatorisme. Bangsa atau negara yang lahir dari political unity biasanya menganut sistem demokrasi dan
memiliki kontrak sosial sebagai perjanjian hidup bersama.
Indonesia sendiri adalah bangsa yang berdiri karena political cultural. Indonesia lahir dari rasa
senasib dan sepenanggungan karena kolonialisme dan imperialisme Belanda. Penderitaan yang
disebabkan oleh kolonialisme Belanda membuat bangsa Indonesia dari sabang sampai merauke
berkomitmen untuk hidup bersama didalam satu kedaulatan dengan pancasila sebagai kontrak sosialnya.
kesadaran ini jugalah yang membuat Indonesia pada akhirnya dapat merdeka dan bebas dari
kolonialisme Belanda.
Akan tetapi rasa senasib sepenanggungan itu tampaknya tidak terlalu kuat. Sehingga rakyat
Indonesia sering kali jatuh ke dalam permasalahan yang berbau SARA dan seringkali menyebabkan
perpecahan. Perpecahan itu terjadi karena beberapa oknum masyarakat yang mencoba mengganti
pancasila menjadi ideologi yang mereka anut. Mereka lupa bahwa pancasila bukan hanya sekedar
ideologi dan dasar negara, melainkan sebagai sebuah kontrak hidup bersama atau lebih tepatnya
pancasila adalah kontrak sosial bangsa indonesia
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia harus selalu dijadikan landasan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bersama lebih disebabkan adanya kompromi politik
sehingga menempatkan Pancasila sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi secara bersama-sama
pula. Pancasila merupakan kontrak sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang notabene adalah umat
yang beragama yang harus dijalankan secara konsisten dan bertanggung jawab (Ellya Rosana, 2017)
Akan tetapi fakta ini seringkali disembunyikan oleh oknum-oknum pemain politik identitas.
Mereka lebih menggunakan dan bermain aman dengan menyempitkan definisi pancasila hanya sebagai
ideologi bangsa. Hal ini menyebabkan banyak orang yang tidak paham akan pengertian pancasila
sebagai kontrak sosial bangsa mencoba menggantinya karena berpegang teguh dengan pengertian
pancasila sebagai ideologi agama. Mereka mencoba menggantikan ideologi pancasila menjadi ideologi
agama tanpa mereka sadari jika mereka mengganti ideologi pancasila sama saja dengan membubarkan
negara Indonesia.
Ketidaktahuan akan pengertian pancasila sebagai kontrak sosial membuat negara kita semakin
mudah digerogoti permasalahan “mayoritas dan minoritas”. Negara kita lebih mudah dihancurkan dengan
isu SARA ketimbang agresi militer negara-negara luar. Namun masyarakat tidak terlalu mengerti dengan
kondisi yang sedang dialami negara ini. Mereka terlalu sibuk dengan ritual-ritual agama dan mitos-mitos
budaya ketimbang persatuan negara. Ketidakmampuan nalar masyarakat Indonesia inilah yang Tan
Malaka katakan sebagai logika mistika.
Masyarakat indonesia terlalu mencintai agama dan budaya. Mereka lebih mementingkan
perkataan dan iming-iming masuk surga yang disampaikan pemuka agama ketimbang kemanusiaan.
Keadaan ini seolah-olah membenarkan perkataan Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah
candu. karena rasa candu dan mabuk agama inilah yang membuat manusia Indonesia seringkali mudah
untuk diprovokasi.
Menyembuhkan seseorang yang mengalami kecanduan memang tidak mudah. Apalagi yang
mengalami kecanduan ini bukan hanya satu orang melainkan masyarakat luas. maka makin sulitlah
menyembuhkan sikap kecanduan akan agama tersebut.
d. Pandangan Tan Malaka tentang bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi nilai adat dan budaya.
karakteristik bangsa Indonesia yang seperti ini telah melahirkan banyak kebudayaan serta adat istiadat.
Mulai dari kesenian, makanan, agama dan hampir semua unsur kehidupan masyarakat Indonesia
dipengaruhi oleh tradisi setempat. Hal ini menyebabkan segala macam permasalahan yang tidak memiliki
jawaban juga diselesaikan dengan cerita-cerita legenda maupun mitos yang sudah menjadi budaya
bangsa. konsep berpikir seperti inilah yang dinamakan logika mistika oleh Tan Malaka.
Logika mistika inilah yang dimaksud Tan Malaka sebagai sebuah penghambat kemajuan negara.
Tan Malaka berpendapat bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju maka kita harus siap mengubah pola
pikir dari logika mistika menjadi rasional logika. Karena seperti yang Tan Malaka katakan dalam
MADILOG “Demikianlah kalau kita pakai pikiran yang jernih, hati yang berani dan jujur, memikirkan,
bahwa zat berasal dari rohani, kita mesti tersesat. Kita mesti akui, bahwa hakikat yang semacam itu
bertentangan dengan akal.”(Tan Malaka, 2008)
Tan Malaka juga berpandangan bahwa Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi negara yang
maju apabila masih terkungkung dengan jerat agama. Bagi Tan malaka agama dan negara adalah dua
hal yang berbeda dan saling bertolak belakang dan tidak dapat disatukan. Oleh karena itu, pemikiran Tan
Malaka lebih condong kepada ideologi sosialisme. Tan Malaka juga menginginkan supaya Bangsa
Indonesia terlepas dari logika mistika sehingga dapat mengolah negara yang kaya ini dengan
pengelolaan yang lebih efektif lagi.
e. Refleksi Filosofis
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir karena rasa senasib dan sepenanggungan karena
kolonialisme Belanda. Karena rasa senasib dan sepenanggungan inilah bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku bangsa memutuskan untuk hidup di dalam satu kedaulatan negara. Karakteristik
bangsa Indonesia yang beragama ini kemudian membuat negara Indonesia memiliki beraneka ragam
kebudayaan dan ciri khas di masing-masing daerah kepulaunnya. Keberagaman ini kemudian
teraktualisasi dan terelaborasi di dalam kontrak untuk hidup bersama yang dinamakan Pancasila.
Pancasila adalah kontrak sosial bangsa sekaligus arah tujuan hidup bangsa Indonesia.
Namun seiring berjalanya waktu bangsa Indonesia mulai melupakan alasan utama kehidupan bersama
dengan Pancasila sebagai kontrak sosialnya. Mereka mulai mencari cara membuang identitas nusantara
sebagai jati diri bangsa dan memaksakan kultur budaya tertentu dari suatu agama menjadi kebudayaan
bersama. Permasalahan ini muncul dan semakin mengancam karena pola pikir manusia yang masih
berakar kuat dengan tradisi dan mitos-mitos yang ada atau biasa dikenal dengan logika mistika.
Logika mistika yang menjalar hampir di setiap daerah inilah yang menurut Tan Malaka sebagai alasan
utama dari perpecahan yang ada. Menurut Tan Malaka bangsa Indonesia mulai melupakan jati dirinya
sebagai bangsa yang berdiri karena alasan politik atau political unity. Setelah lupa akan jati dirinya
bangsa ini kemudian mencoba mengubah arah pandangan bangsa yang terdiri dari ragam suku bangsa
menjadi satu kultur dibawah kebudayaan yang sama yang berciri agama. Keadaan ini membuat
perkataan karl marx tentang agama adalah candu mengalami kepenuhannya di dalam negara Indonesia.
Kecanduaan akan ajaran agama dan cinta mati terhadap iming-iming surga membuat keberagaman
kebudayaan di nusantara menjadi sebuah hal tabu bagi beberapa oknum. Kecanduan akan agama ini
membuat kita mempertanyakan kembali apakah Pancasila masih relevan dengan kehidupan bangsa
Indonesia yang mulai bergerak secara terpisah. Dan apakah negara Ini harus membuang semua yang
berkaitan dengan hal mistik atau dalam istilah Tan Malaka disebut dengan logika mistika supaya bisa
maju. Atau masyarakat Indonesia harus menjadi masyarakat kapitalis atau materialis untuk bisa maju?
Sebenarnya bangsa Indonesia tidak perlu menjadi bangsa kapitalis maupun materialis untuk maju.
Masyarakat Indonesia sebenarnya bisa saja menjadi bangsa yang maju apabila mereka memaksimalkan
kemampuan yang ada di dalam negara yaitu keberagaman budaya dan gotong royong. Benar
masyarakat Indonesia telah memiliki ciri khasnya sendiri yaitu bangsa gotong royong. Dengan menyadari
dua kekuatan tersebut niscaya negara Indonesia dapat menjadi negara yang maju seperti negara maju
lainnya.
Akan tetapi sekali lagi jika bangsa Indonesia masih berpegang pada logika mistika dan kecanduan
terhadap agama seperti yang dikatakan Tan Malaka maka cita-cita itu tetap akan sia-sia. Namun jika
bangs aini mulai menggunakan nalarnya dan mulai menerima keberagaman bangsa serta melupakan
rasa candunya terhadap agama maka negara ini akan menjadi salah satu negara adidaya seperti
Amerika serikat. Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa sudah seharusnya memperbaiki pola pikir
dan mulai menggunakan nalar kita sebagai manusia Indonesia yang bangga memiliki keberagaman.
Karena dengan begitu kita tidak mudah untuk dimanipulasi oleh bangsa luar maupun oleh diri kita sendiri.
Dan pada akhirnya kita dapat menjadi sebuah bangsa yang maju dan makmur yaitu bangsa Indonesia.

4. Penutup
Negara indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beragam suku dan bangsa. Karena itu,
bangsa Indonesia berdiri dan tercipta bukan karena kesamaan kultur melainkan karena rasa senasib dan
sepenanggungan. Keadaan ini kemudian membuat masyarakat Indonesia untuk berkomitmen hidup
bersama di dalam satu kedaulatan bangsa. Namun hal ini tidaklah mudah karena perbedaan-perbedaan
yang ada terkadang menjadi hambatan tersendiri bagi bangsa indonesia. Keadaan ini kemudian dapat
diatasi dengan mempersatukan masyarakat Indonesia dengan satu ideologi yang berasal dari jiwa bangs
aitu sendiri yaitu Pancasila.

Pancasila adalah sebuah falsafah hidup yang berasal dari keberagaman bangsa indonesia. Di
dalam Pancasila sendiri terkandung berbagai macam ajaran-ajaran serta nasehat kehidupan yang
berasal dari seluruh daerah nusantara. Selain sebagai falsafah dan dasar negara, Pancasila juga
berperan sebagai kontrak sosial bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang memiliki banyak kearifan lokal yang berasal dari
banyak kultur. Pemikiran serta animisme yang masih kuat, membuat negara Indonesia masih berada di
bawah bayang-bayang mitos dan legenda. Cara berpikir seperti inilah yang Tan malaka disebut sebagai
logika mistika.

Logika mistika membuat bangsa Indonesia masih berada di dalam ketertinggalan dalam
kemajuan zaman. Logika mistika juga membatasi masyarakat indonesia dalam menggunakan nalarnya
dan cenderung mempercayai hal-hal mistis sebagai jawaban dari berbagai permasalahan yang ada.
Keadaan ini semakin diperparah dengan keadaan masyarakatnya yang masih mabuk dan kecanduan
akan iming-iming surga. Permasalahan ini kemudian memunculkan permasalahan yang lebih krusial
dalam hubungannya dengan toleransi umat beragama.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kearifan lokal hanya dipandang sebagai kebudayaan yang
harus dilestarikan dan bukan sebagai sarana memisahkan diri dari kebangsaan Indonesia. Keberagaman
hendaknya dipandang sebagai sebuah kekayaan dan bukan sebaliknya. Dan nalar hendaknya juga lebih
diutamakan dalam menjawab permasalahan yang ada ketimbang menggunakan hal-hal mistis sebagai
jawaban. Dengan demikian semua kearifan lokal yang ada di negara Indonesia dapat dipandang sebagai
sebuah kekayaan milik bersama dan bukan milik suku tertentu.

5. Daftar Pustaka
"EKSISTENSI PANCASILA SEBAGAI KONTRAK SOSIAL UMAT ...."
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/2031. Diakses pada 25 Mei. 2022.

Inderesti, Revi, Budi Kurniawan, and JB Sudarmanto. MENJADI INDONESIA. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 1995.

"Inilah 20 Kelebihan dan Kekurangan Demokrasi - bladjar.com." https://www.bladjar.com/kelebihan-dan-


kekurangan-demokrasi/. Diakses pada 20 Mei. 2022.

Kilas Balik Demonstrasi Mahasiswa 1998, Ramai-ramai Kepung ...." 11 Apr. 2022,
https://jabar.tribunnews.com/2022/04/11/kilas-balik-demonstrasi-mahasiswa-1998-ramai-ramai-kepung-
gedung-dpr-ri-soeharto-pun-tumbang. Diakses pada 21 Mei. 2022.
"Sumpah Pemuda: Isi Teks, Sejarah, dan Maknanya Halaman all." 12 Jan. 2022,
https://regional.kompas.com/read/2022/01/12/220332578/sumpah-pemuda-isi-teks-sejarah-dan-
maknanya?page=all. Diakses pada 21 Mei. 2022.

Tan Malaka. MADILOG MATERIALISME, DIALEKTIKA, LOGIKA. Yogyakarta: NARASI, n.d.


Winarno. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Jakarta Timur: PT Bumi AKSARA,
n.d.

Anda mungkin juga menyukai