Ada pelbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang
mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan
bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun, mem unyai
hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa
bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang ada dalam budaya
akan mempengaruhi budaya dalam bahasa.
Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi budaya,
dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturannya. Dalam bab ini akan membicarakan
tentang hubungan yang sebenarnya, paling tidak menurut teori yang berlaku, antara bahasa
dan budaya itu. Karena tentang hakikat bahasa dapat dipahami dari uraian-uraian pada bab
terdahulu, maka tentang hakikat bahasa itu tidak akan merilis lagi. Dalam sub-bab berikut
kiranya perlu terlebih dahulu membahas tentang hakikat kebudayaan itu.
(1) Definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur kebudayaan;
(2) Definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi
secara kemasyarakatan;
(3) Definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan
hidup dan tingkah laku;
(4) Definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan
dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup,
(5) efinisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu
sistem yang berpola dan teratur, (6) definisi yang genetik, yakni definisi yang
menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia. Tanpa melihat
bagaimana rumusan definisi-definisi yang dikumpulkan itu satu per satu sudah dapat
diketahui dari pengelompokan itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua aspek dan
segi kehidupan manusia. Lalu, kalau kita lihat definisi golongan
(6) Maka bisa dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan akibatnya
adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini berbeda memang dengan konsep
kebudayaan yang tercakup dan diurus oleh direktorat yang bernama Direktorat Jenderal
Kebudayaan yang ada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, sebab ternyata yang
diurus oleh direktorat itu hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Direktorat
itu tidak mengurus pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti bidang ekonomi,
teknologi, hukum, pertanian, dan perumahan.
Budaya, kemudian, terdiri dari standar untuk memutuskan apa itu, standar untuk
memutuskan apa yang bisa, standar untuk memutuskan bagaimana perasaan seseorang
tentangnya, standar untuk memutuskan apa yang harus dilakukan tentangnya, dan standar
untuk memutuskan bagaimana melakukannya.
Jadi, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (definisi-definisi
golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (definisi-definisi golongan) (2), dan kebiasaan dan
perilaku (definisi-definisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal
yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan, dan tradisi yang Liasa dilakukan,
dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat
komunikasi nonverbal lainnya.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh
bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia Untuk memahaminya Koentjaraningrat,
menggunakan sesuatu yang disebutnya "kerangka kebudayaan", yang memiliki dua aspek tolak
yaitu (1) wujud kebudayaan, dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa
(a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud itu secara berurutan
disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak
konkret; dan (c) kebudayaan fisik yang bersifat sangat konkret. Sedangkan isi kebudayaan itu
terdiri dari tujuh unsur yang bersifat universal, artinya, ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap
masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur itu adalah (1) bahasa, (2) sistem
teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem
pengetahuan, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan
bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan. Tetapi
kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri dari kelompok-
kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur
utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia yang lainnya. Sekarang, setelah
unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia itu telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah
satu unsur saja. Namun, fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia.
Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai
kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan
merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
Masinambouw(1985) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan
kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat
subordinat, mana yang menjadi main system (sistem atasan) dan mana pula yang menjadi
subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah
yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsystem, seperti yang
sudah kita bicarakan pada subbab 11.1 di atas. Tidak ada atau belum ada yang mengatakan
sebaliknya.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal
yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan
itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat, seperti hubungan antara
sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang logam. Sisi yang satu adalah
sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan (lihat Silzer 1990). Jadi,
pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang
berbeda, tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Jadi sejalan
dengan konsep Masinambouw di atas.
Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis
yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Ed ward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Karena itu, hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis
Sapir - Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic relativity).
Edward Sapir (1884-1939) adalah seorang linguis Amerika yang dihormati dan disegani.
Dia juga sangat memahami konsep-konsep linguistik yang dikemukakan sarjana-sarjana
Eropa Benjamin Lee Whorf (1897-1941) adalah salah seorang murid Edward Sapir. Pada
mulanya dia bukanlah seorang profesional dalam kajian linguistik; tetapi kemudian giat
mempelajari linguistik dan memberikan pendapat-pendapatnya yang telah memperkaya
pikiran-pikiran mengenai linguistik.
Dia dan gurunya, Edward Sapir, banyak mempelajari bahasa-bahasa orang Indian,
dan menuliskan hasil penelitiannya secara luas.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil
penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya
sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya sangat
kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana. Di dalam hipotesis itu dikemukakan
bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan
pikiran manusia; dan oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya.
Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan
mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan
budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa
manusia tidak memiliki pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi budaya dan jalan
pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan sikap dan budaya
penuturannya. Secara bergurau ada yang memberi contoh, katanya, karena dalam bahasa Barat
(Inggris, Belanda, dan sebagainya) ada sistem kala (tenses), maka atau ang Barat sebagai penutur
bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah bergantung dengan waktu.
Mereka melakukan kegiatan selalu bertindak dengan waktu, Begitu pun kebiasaan-
kebiasaan yang berkenaan dengan tindak selalu memperhatikan waktu. Pada musim panas pukul
21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi anak-anak (karena sudah menjadi kebiasaan)
tidur mereka karena sudah malam. Pukul 01.00 (sesudah pukul 24.00) meskipun masih gelap
gulita, bila bertemu mereka sudah akan saling menyapa dengan ucapan "Selamat pagi" karena
hari sudah pagi. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala,
maka katanya, menjadi tidak memperhatikan waktu.
Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur sata atau beberapa jam kemudian.
Itulah sebabnya, katanya, ungkapan "jam karet" hanya ada di Indonesia, tetapi tidak ada pada
bangsa-bangsa yang di dalam bahasanya ada sistem kala.
Hipotesis Sapir Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya
perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara
berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Whorf
menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita
memberinya nama satu per satu Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya kita
membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita pakai, dan bukan atas
dasar realitas itu. Umpamanya jenis warna di seluruh dunia ini sama, tetapi mengapa setiap
bangsa yang berbeda bahasanya, melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Orang Inggris,
misalnya, mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange,
dan grey; tetapi penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu
mabiru, hitam, dan warna gelap lain', melangit 'putih dan warna cerah', meramar kelompok
warna merah", dan malamy "kuning, hijau muda, dan coklat muda'.
Kalau hipotesis Sapir - Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan
amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan pikiran.
Dalam ilmu pengetahuan, seperti juga telah dikemukakan oleh Masinambouw (1985), bahasa itu
hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan
dengan bahasa yang berbeda-beda tidaklah akan menjadi berbeda-beda, pikiran itu akan tetap
sama. Hanya, karena bahasa itu bersifat unik, maka rumusannya mungkin menjadi tidak akan
sama. Bandingkan, orang Inggris menanyakan nama dengan kalimat, "what is your name?"
sedangkan orang Indonesia dengan kalimat, "siapa namamu?" Jadi, dengan kata lain, bahasa
tidak mempengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis
Sapir – Whorf
Banyak orang bertanya, mengapa Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu
berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang begitu kontroversial dengan mengatakan bahwa
bahasa sangat berperanan dalam menentukan jalan pikiran manusia, bahkan katanya bersifat
mutlak. Kiranya, kajian antropologi yang dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua
sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Whorf yang
mendalami penelitian terhadap suku Indian Hopi sampai kepada kesimpulan bahwa bangsa itu
(Indian Hopi) tidak berpikir secara orang Barat berpikir Secara umum pun sering didapati orang-
orang yang hidup dalam suatu budaya mempunyai cara berpikir yang berbeda dengan orang-
orang dari budaya lain. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih
dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Sapir
- Whorf itu. Tetapi para penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali hipotesis
tersebut.
Orang yang mengikuti pendapat hipotesis Sapir Whorf itu tidak banyak; pertama, karena sejak
semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu, kedua diketahui
kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajiannya. Meskipun
demikian masih ada juga sarjana yang secara prinsip dapat membenarkan hipotesis tersebut, dan
mempertahankan sifat relativitas pada kebudayaan umat manusia. Dewasa ini secara terbuka
hipotesis itu tidak diperkarakan orang lagi, tetapi dalam kutipan-kutipan masih disebut-sebut
orang.
Kalau kita ikuti pendapat Silzer (1990) yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan
merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata
uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya,
maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya.
Misalnya, bangsa Inggris, dan bangsa Eropa lainnya, yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi,
maka dalam bahasanya hanya ada satu kata, yaitu rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah,
beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata untuk konsep lauk, teman pemakan nasi.
Sebaliknya dalam budaya Indonesia ada karena ada budaya makan nasi, maka bahasa Indone sia
mempunyai kata yang berbeda untuk keempat konsep itu.
Masyarakat Inggris tentunya mengerti akan adanya perbedaan konsep beras, padi, gabah,
dan nasi itu, tetapi mereka tidak merasa perlu, atau belum merasa perlu untuk saat ini, untuk
menciptakan istilah baru untuk keempat konsep itu. Contoh lain, masyarakat Inggris akrab
dengan olahraga berkuda. Oleh karena itu, mereka mempunyai horse, colt, stallion, pony, dan
mare. Lalu, bagi masyarakat Indonesia karena tidak memerlukan, atau belum memerlukan
pembedaan itu, maka dalam bahasanya juga tidak ada kosakata untuk kelima konsep tentang
kuda itu. Contoh lain mengenai adanya hubungan antara bahasa dan budaya dapat juga kita lihat
dari peribahasa atau pepatah Melayu.
Katanya, peribahasa atau pepatah Melayu ini mencerminkan sifat, sikap, dan keadaan
bangsa Melayu (pada waktu dulu). Umpamanya, peribahasa, "Di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung" mengungkapkan bahwa orang Melayu selalu dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan atau situasi di mana dia berkunjung. Peribahasa yang berbunyi, "Hujan emas di negeri
orang. hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri" menyatakan bahwa orang Melayu
sangat cinta pada tanah aimya. Lalu, pepatah yang mengatakan, "Lain ladang lain
belalang"menunjukkan bahwa orang Melayu sangat memahami bahwa setiap daerah atau bangsa
mempunyai adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda.
Adanya hubungan tindak berbahasa dengan sikap mental para penuturnya ada
dibicarakan oleh Koentjaraningrat, seorang pakar antropologi Indonesia Menurut
Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang
Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat
pada mental sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan
mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggungjawab, dan suka
latah atau ikut-ikutan.
Sifat suka meremehkan mutu tercermin dalam perilaku berbahasa yang "pokoknya
mengerti". Sikap "pokoknya mengerti" ini menyebabkan bahasa yang digunakan menjadi asal
saja. Tanpa mempedulikan bahasa yang digunakan itu benar atau salah. Tentu saja keinginan
untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal
menjadi tidak ada sama sekali. Yang penting adalah bahasa yang digunakan itu "bisa
dimengerti". Soal salah dan benar itu adalah soal guru bahasa atau penyuluh bahasa.
Sikap tuna harga diri, menurut Koentjaraningrat, berarti tidak mau menghargai milik diri
sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing. Sikap ini tercermin dalam perilaku
berbahasa di mana karena ingin selalu menghargai orang asing, maka menjadi selalu
menggunakan bahasa asing, dan menomorduakan bahasa sendiri. Lihat saja buktinya, demi
menghargai orang asing, keset-keset di muka pintu kantor pemerintah pun bertuliskan kata-kata
WELCOME bukan "Selamat datang": pintu-pintu di atas bertuliskan IN atau EXIT, dan
bukannya "masuk" atau "keluar"; dan di pintu yang daunnya dapat dibuka dua arah bertuliskan
petunjuk PUSH dan PULL, dan bukannya "dorong" dan "tarik".
Sikap menjauhi disiplin tercermin dalam perilaku berbahasa yang tidak mau atau malas
mengikuti aturan atau kaidah bahasa. Ujaran-ujaran seperti "Dia punya mau tidak begitu" atau
"Dia punya dua mobil" sudah lazim kita dengar, padahal kedua struktur kalimat itu tidak sesuai
dengan kaidah yang ada. Harusnya berbunyi, "Kemauannya tidak demikian", dan "dia
mempunyai dua buah mobil".
Terakhir, sifat latah atau ikut-ikutan tercermin dalam berbahasa dengan selalu mengikuti
saja ucapan orang lain (biasanya ucapan pejabat atau pimpinan) yang sebenarnya secara
gramatikal tidak benar. Umpamanya, karena adanya gerakan yang bersemboyankan
"memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat", maka diikuti ucapan itu.
Padahal secara semantik dan gramatikal ungkapan, "memasyarakatkan olahraga" memang benar,
yakni berarti menjadikan olahraga itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat, tetapi ungkapan,
"mengolahragakan masyarakat", tidak benar, sebab ungkapan itu berarti 'masyarakat itu jadi olah
raga'. Kalau yang dimaksud adalah menjadikan masyarakat itu berolahraga, maka bentuknya
haruslah, "memperolahragakan masyarakat".
Tetapi kalau hal itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan ucapan,
"Terima kasih!". Contoh lain, kalau pada suatu hari seorang pemuda Inggris bertemu dengan
teman wanitanya dan mengatakan, "Hari ini kamu tampak cantik sekali!" maka si teman wanita
dengan gembira akan menjawab dengan mengatakan, "Terima kasih". Tetapi kalau hal ini terjadi
dalam budaya Indonesia, maka ada kemungkinan si wanita merasa kurang senang dan mungkin
juga akan terucap jawaban, "Jadi, pada hari-hari lain saya ini tidak cantik?".
Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau
menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab
kalimat seperti, "Aminah akan mengawini si Dul" tidak berterima. Sebaliknya dalam budaya
Inggris, baik laki-laki maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia,
informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan
menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat; tetapi dalam budaya Inggris lebih umum
disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan secara luas telah kita bicarakan. Apakah
hubungan itu bersifat koordinatif atau subordinatif tidak perlu dipersoalkan lagi, tetapi
yang jelas keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi.
Kalau kita terima pendapat Masinambouw (1984) yang mengatakan bahwa sistem
bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di dalam
masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma
yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma
budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa (Inggris: linguistic etiquette,
lihat Geertz 1976).
Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial,
dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat Oleh karena itu, etika berbahasa ini
antara lain akan "mengatur" (a) apa yang harus kita katakan pada waktu dan keadaan
tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan status sosial dan budaya
dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa apa yang paling wajar kita gunakan dalam situasi
sosiolinguistik dan budaya tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran
berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain, (d) kapan kita harus diam; (e)
bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara atau etika
berbahasa itu. Kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi berbahasa.
Dalam kajian antropologi istilah etnografi digunakan untuk pemerian kebudayaan. Dalam
hal ini memang tidak bertentangan, sebab etika berbahasa itu juga merupakan subsistem
kebudayaan.
Butir-butir "aturan" dalam etika berbahasa yang disebutkan di atas tidaklah merupakan
hal yang terpisah, melainkan merupakan hal yang menyatu di dalam tindak laku berbahasa.
Apa yang disebutkan pada butir (a) dan (b) kiranya sudah jelas dari bab-bab terdahulu yang
menjelaskan aturan sosial berbahasa, sebagai sesuatu yang menjadi inti persoalan
sosiolinguistik: "Siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di
mana, dan dengan tujuan apa".
Sebagai contoh, umpamanya, kita hendak menyapa seseorang, maka harus kita ketahui
siapa orang itu, di mana, kapan, dan dalam situasi bagaimana Baru kemudian kita memilih
kata sapaan yang tersedia. Menurut Kridalaksana (1982:14) dalam bahasa Indonesia ada 9
jenis kata untuk menyapa seseorang, yaitu (1) kata ganti orang, yakni engkau dan kamu;
(2) nama diri, seperti Dika dan Nita; (3) istilah perkerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, dan
adik, (4) gelar dan pangkat, seperti dokter, profesor, letnan, dan kolonel. (5) bentuk nomina
pelaku (pe+verba), seperti penonton, pendengar dan peminat; (6) bentuk nomina+ku,
seperti Tuhanku. bangsaku, dan anakku (7) kata-kata deiktis, seperti sini, situ, atau, di situ;
bentuk nomina lain, seperti awak, bung, dan tuan, dan (9) bentuk zero, tanpa kata-kata.
Kalau dikaji secara mendalam ternyata penggunaan sistem sapaan dalam bahasa Indonesia
cukup ruwet. Pelbagai aspek perlu dipertimbangkan untuk menggunakan salah satu kata
sapaan yang tersedia. Aspek sosial budaya yang harus dipertimbangkan untuk
menggunakan kata sapaan itu adalah yang disapa itu lebih tua, sederajat, lebih muda, atau
kanak-kanak, status sosialnya lebih tinggi, sama, atau lebih rendah; situasinya formal atau
tidak formal, akrab atau tidak akrab, wanita atau pria, sudah dikenal atau belum dikenal;
dan sebagainya
Butir (c) dan (d) yang juga merupakan aturan dalam etika berbahasa perlu pula
dipahami agar kita bisa disebut sebagai orang yang dapat berbahasa. Kita tidak bisa
seenaknya menyela pembicaraan seseorang, untuk menyela harus diperhatikan waktunya
yang tepat, dan tentunya juga dengan memberikan isyarat terlebih dahulu.
Butir (e) dalam aturan etika berbahasa menyangkut masalah kualitas suara dan gerak-
gerik anggota tubuh ketika berbicara Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada
suara. Setiap budaya mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada
suara. Para penutur dari Sumatera Utara dalam berbahasa Batak terlihat menggunakan
volume suara yang lebih tinggi dibanding dengan para penutur bahasa Sunda dan Jawa.
Selain itu, untuk tujuan-tujuan tertentu volume dan nada suara ini juga biasanya berbeda.
Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal yakni yang disebut kinesik
dan proksimik. Yang dimaksud dengan kinesik adalah, antara lain gerakan mata,
perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, gerakan tangan bahu, kepala, dan
sebagainya. Gerakan mata adalah alat yang sangat penting di dalam etika berbahasa. Di
Amerika dalam interaksi perseorangan adalah biasa bagi pendengar untuk memperhatikan
mata dan mulut si pembicara. Dengan memandang mata atau mulut pembicara, maka si
pembicara akan merasa bahwa si pendengar memperhatikan ujarannya.
Di Indonesia budaya memandang mata ini tidak biasa. Malah jika dilakukan (lebih-lebih
oleh pendengar yang lebih muda) dianggap tidak sopan, tidak berbudaya. Gerakan kepala
juga mempunyai arti penting di dalam etika berbahasa. Bagi orang Yunani kuno gerakan
kepala ke bawah berarti "ya", dan gerakan kepala ke atas berarti "tidak". Ini berbeda
dengan di Indonesia gerakan ke bawah menyatakan "ya", dan untuk menyatakan "tidak"
adalah gerakan ke samping kiri dan kanan. Orang Amerika bila mengucapkan selamat
tinggal disertai dengan lambaian telapak tangan ke bawah, tetapi orang orang Eropa
melakukan hal itu dengan telapak tangan ke atas, disertai dengan gerakan jari-jari tangan
ke muka ke belakang Orang Jawa bila mengatakan "itu" dengan maksud menunjuk disertai
dengan acungan ibu jari dan telapak tangan ke atas.
Padahal orang Melayu dengan acungan telunjuk dan telapak tangan ke bawah. Orang
Indian Hopi di Amerika Utara kalau menunjuk sesuatu mengatakan "yohi" sambil
menunjuk dengan bibirnya waktu mengucapkan bunyi [o] dari kata "yohi" itu (Whorf
1956). Banyak lagi gerak gerik anggota tubuh yang harus diperhatikan dalam bertindak
tutur.
Yang dimaksud dengan proksimik adalah jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau
bercakap-cakap. Dalam pembicaraan yang akrab dan tidak akrab antara budaya yang satu
dengan budaya yang lain biasanya berbeda. Di Amerika Utara dalam pembicaraan antara
dua orang yang belum saling mengenal biasanya berjarak empat kaki. Bila yang seorang
mendekat, maka yang lain akan mundur untuk menjaga jarak itu. Tetapi di Amerika Latin
jarak itu biasanya dua atau tiga kaki. Oleh karena itu, bila orang Amerika Latin berbicara
dengan orang Amerika Utara keduanya akan merasa canggung, jika si Amerika Latin maju
untuk mencapai jarak yang enak baginya, maka si Amerika Utara akan mundur.
Malah Miller (1974:266) menyebutkan untuk menjaga jarak dalam berbicara dengan
orang Amerika Latin, orang Amerika Utara membuat halangan dengan meja atau bangku;
tetapi kadang-kadang orang Amerika Latin memanjatnya untuk mencapai jarak yang enak.
Aturan jarak dalam berbicara ini di Amerika Utara dipahami oleh semua orang mempunyai
maksud tertentu. Bila dua orang Amerika berbicara dalam jarak satu kaki atau kurang,
maka yang dibicarakan biasanya sangat bersifat rahasia.
Pada jarak dua atau tiga kaki, maka yang dibicarakan persoalan pribadi, dan pada jarak
empat atau lima kaki adalah persoalan yang nonpribadi (impersonal) Bila berbicara dengan
orang banyak jaraknya biasanya antara sepuluh sampai dua puluh kaki. Lebih dari dua
puluh kaki, tentunya yang bisa terjadi hanya ucapan selamat, tidak mungkin ada interaksi
verbal. Secara terpisah, kinesik dan proksimik ini merupakan alat komunikasi juga yaitu
alat komunikasi nonverbal, atau alat komunikasi nonlinguistik, yang biasa dibedakan
dengan alat komunikasi verbal atau alat komunikasi linguistik. Dalam kontak langsung,
biasanya kedua alat komunikasi ini digunakan untuk mencapai kesempurnaan interaksi.
Untuk lebih memantapkan pemahaman Anda mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan,
diskusikanlah topik-topik berikut dengan teman teman Anda sekelas!
Lalu, yang dimaksud dengan multirasial adalah terdapatnya etnis yang berbeda, yang
biasanya dapat dikenali dari ciri-ciri fisik tertentu atau dari bahasa dan budaya yang melekat
pada etnis tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan multikultural adalah terdapatnya
berbagai budaya, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda dari penduduk yang mendiami
negara tersebut. Biasanya ciri etnis, bahasa, dan kultur terikat menjadi satu, menandai ras
(suku bangsa) tertentu yang membedakannya dari ras lainnya. Negara-negara Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan India merupakan contoh negara yang multilingual,
multirasial, dan multikultural, yang memerlukan adanya kebijaksanaan bahasa, agar masalah
pemilihan atau penentuan bahasa tertentu sebagai alat komunikasi di dalam negara itu tidak
menimbulkan gejolak politik yang pada gilirannya akan dapat menggoyahkan kehidupan
bangsa di negara tersebut.
Apakah yang dimaksud dengan kebijaksanaan bahasa itu? Kalau kita mengikuti rumusan
yang disepakati dalam seminar Politik Bahasa Nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975
maka kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan
politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah
kebahasaan yang dihadapai oleh suatu bangsa secara nasional (lihat Halim 1976). Jadi,
kebijaksanaan bahasa itu merupakan satu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian
membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai
alat komunikasi verbal yang dapat digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat
diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan kultur berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab
tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah
memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa
saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah
kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda,
dan Inggris.
Tetapi di negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan
memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk
timbulnya gejolak sosial dan politik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara
yang relatif baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari 400 buah, agak beruntung
sebab masalah-masalah kebahasaan yang bisa terjadi di negara lain, secara historis telah
agak diselesaikan sejak agak lama. Secara politis di Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu (1)
bahasa nasional Indonesia, (2) bahasa daérah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum
kebijaksanaan bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para pemimpin
perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Melayu telah sejak berabad-
abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai lingua franca di seluruh Nusantara dan
sistemnya cukup sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa Melayu itu menjadi
bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan memberinya nesia yang terjadi pada tanggal
28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut nama bahasa Indonesia.
Peristiwa pengangkatan bahasa Indo Soempah Pemoeda itu tidak pernah menimbulkan
protes atau reaksi negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah
penuturnya lebih banyak berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi
bahasa negara dalam Undang-Uundang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh
karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa yang
menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat
terlaksana dengan mulus Bahasa Indonesia yang ditetapkan, sesuai dengan kedudukannya,
sebagai lambang kebanggaan nasional, dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan
atau intrabangsa; bahasa daerah bekerja sebagai lambang kedaerahan dan alat komunikasi
intrasuku sedangkan bahasa asing bekerja sebagai alat komunikasi antar-bangsa dan alat
penambah ilmu pengetahuan.
Ketiga bahasa itu dengan fungsi masing-masing tidak menimbulkan masalah. Yang
menjadi masalah adalah bagaimana mengaktifkan pembinaan dan peningkatan penggunaan
bahasa Indonesia dari para warga bangsa Indonesia, karena hingga kini penguasaan mereka
akan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan (lihat Chaer 1993).
Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina agak mirip dengan keadaan di
Indonesia, tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih ruwet. Di Filipina, seperti
di Indonesia, terdapat banyak bahasa daerah dan dua bahasa asing bekas penjajahnya yang
sangat melekat pada bangsa itu, yaitu bahasa Spanyol dan bahasa Inggris. Ketika merdeka
dan memerlukan simbol identitas bangsa, mereka menetapkan dan mengangkat bahasa Taga
log, salah satu bahasa daerah, menjadi bahasa nasional yang diberi nama baru bahasa
Filipino.
Berbeda dengan bahasa Melayu (yang menjadi dasar bahasa Indonesia), bahasa Tagalog
(sebagai dasar bahasa Filipino) sebelumnya belum digunakan secara meluas di seluruh
wilayah Filipina. Oleh karena itu, penerimaan warga Filipina terhadap bahasa Filipino ini
tidak begitu menggembirakan, lebih-lebih karena mereka punya kesan bahwa bahasa Fili
pino ini hanya didasarkan pada bahasa Tagalog (based on Tagalog). Untuk lebih
menggalakkan penerimaan bahasa dan pengunaan bahasa Pilipino ini pada tahun 1973
Majelis Konstituante Filipina mengganti nama Pilipino dengan nama Filipino dengan janji
bahwa bahasa Filipino akan didasarkan pada semua bahasa daerah yang ada di Filipina.
Bagaimana caranya, entahlah. Yang jelas hingga saat ini untuk komunikasi kenegaraan
dan komunikasi antarsuku masih digunakan bahasa Inggris, di seluruh wilayah Filipina
Dengan bahasa Inggris mereka dapat berkomunikasi intrabangsa, tetapi dalam bahasa
Filipino belum dapat dilakukan
Masalah kebahasaan yang dihadapi negara Singapura juga cukup ruwet, tetapi tampaknya
pemerintah Singapura telah dapat melakukan kebijaksanaan bahasa dengan tepat. Republik
Singapura adalah negara kecil yang warganya multilingual, multirasial, dan multikultural.
Maka menyadari keadaan itu, pemerintah Singapura mula-mula membedakan adanya dua
hal, yaitu fungsi bahasa dan penggunaan bahasa. Dalam hal fungsi bahasa ini, mereka
membedakan adanya bahasa nasional dan bahasa resmi. Mereka mengakui punya satu
bahasa nasional, yaitu bahasa Melayu yang menjadi lambang kenasionalan negara itu,
seperti dalam lagu kebangsaan, aba-aba kemiliteran, dan slogan-slogan lain.
Di samping itu Singapura mengakui adanya empat buah bahasa resmi, yang dapat
digunakan dalam segala urusan resmi kepemerintahan. Keempat bahasa resmi itu adalah (1)
bahasa Melayu, (2) bahasa Mandarin (bahasa-bahasa cina), (3) bahasa Tamil (termasuk
bahasa India lainnya), dan (4) bahasa Inggris. Dari urutannya secara emosional paling
terhormat kedudukannya adalah bahasa Melayu, namun, peng gunaannya relatif kecil.
Sebaliknya bahasa Inggris berada dalam kedudukan yang paling rendah, tetapi frekuensi
penggunaannya paling tinggi.
Bangsa India juga menetapkan adanya satu bahasa nasional, yaitu bahasa Hindi, dua
bahasa resmi kenegaraan, yaitu bahasa Hindi dan bahasa Inggris, serta sejumlah bahasa
resmi kedaerahan (lihat Moeliono 1983). Bahasa nasional, bahasa Hindi, tidak dapat
digunakan secara luas di seluruh negara sebagai alat interaksi intrabangsa. Maka, satu-
satunya alat komunikasi yang dapat digunakan untuk keperluan itu adalah bahasa Inggris,
bahasa bekas penjajahnya, yang sejak dulu memang telah menjadi lingua franca.
Keperluan suatu bangsa atau negara untuk memiliki sebuah bahasa yang menjadi
identitas nasionalnya dan satu bahasa, atau lebih, yang menjadi bahasa resmi kenegaraan
(bisa bahasa yang sama dengan bahasa nasional) tidak selalu bisa dipenuhi oleh bahasa atau
bahasa-bahasa asli pribumi yang dimiliki, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan itu dari
bahasa asli pribumi, Filipina dapat memenuhi sebagian; sedangkan Somalia tidak dapat
sama sekali. Berkenaan dengan itu dalam perencanaan bahasa dikenal adanya negara tipe
endoglosik, seperti Indonesia; tipe eksoglosik-endoglosik, seperti Filipina; dan tipe
eksoglosik, seperti Somalia. Lebih lanjut lihat bagan berikut yang diangkat dari Moeliono
1983.
Pengambilan keputusan dalam kebijaksanaan bahasa oleh para pemimpin negara untuk
menetapkan suatu bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan biasanya
juga berkaitan dengan keinginan untuk memajukan suatu bangsa. Umpamanya, Mustafa
Kemal Attaturk, presiden pertama Republik Turki (Proklamasi Turki menjadi sebuah negara
republik adalah tanggal 19 Oktober 1923) demi modernisasi dan kemajuan bangsa,
menghapuskan penggunaan huruf Arab yang sudah berabad-abad lamanya digunakan, dan
menggantinya dengan huruf Latin.
Suatu keputusan yang berani dan luar biasa. Dengan motivasi yang mirip dengan Turki,
untuk mencapai kemajuan pengetahuan teknologi Barat, Nehru, pemimpin besar India,
pernah berujar,"It is absolutely clear to me, and it is not an arguable matter that the scientific
and technological training has to be given in En glish. You will not get through your plan if
you do not do it. It is an absolute necessity" (dari Alwasilah 1985:111).
Indonesia tampaknya telah dapat dengan tepat menyelesaikan masalah kebahasaan ini
dengan menetapkan fungsi dan status bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing
pada tempatnya masing-masing. Singapura pun demikian juga, yakni dengan mengangkat
keempat bahasa milik warganya yang multirasial (Melayu, Mandarin, Tamil, dan Inggris)
sebagai bahasa resmi yang kedudukannya sederajat, dan mengangkat bahasa Melayu (yang
secara historis adalah bahasa asli penduduk Singapura) menjadi bahasa nasional.
Dari pembicaraan di atas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha
kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status
bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunikasi kenegaraan dan
kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status,
kedudukan, dan fungsi suatu bahasa, kebijaksanaan bahasa harus pula memberi pengarahan
terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut korpus bahasa.
Korpus bahasa ini menyangkut semua komponen bahasa, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis, kosakata, serta sistem semantik Komponen ini harus juga diperhatikan agar
kebijaksanaan kebahasaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala masalah
kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera dirumuskan
dalam bentuk perencanaan bahasa.
Istilah lain dalam perencanaan bahasa ini ada juga digunakan glottopolitics dan
language reform. Istilah glottopolitics digunakan oleh Hall (1951) dalam tulisannya
mengenai keadaan bahasa di Haiti. Istilah tersebut digunakan untuk mengacu pada
penerapan linguistik pada kebijaksanaan pemerintah dalam penentuan sarana komunikasi
yang paling cocok Sedangkan istilah language reform digunakan oleh Heyd (1954) dan
Gallagher (1971) yang masing-masing menguraikan reformasi bahasa di Turki. Istilah itu
digunakan juga oleh De Francis (1950) dan Serruys (1962) yang menulis tentang
reformasi bahasa dan gerakan pemberantasan buta huruf di Cina. Terakhir dalam
kepustakaan Inggris ada juga digunakan istilah lan guage development dalam arti yang
sama dengan language planning
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa berbagai istilah dengan berbagai variasi
pengertian tentang perencanaan bahasa, namun, ada suatu kesamaan, yaitu usaha untuk
membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara di masa depan
dengan lebih baik dan lebih terarah.
Sesudah memahami apa yang dimaksud dengan perencanaan bahasa itu, maka
masalah berikut yang timbul adalah siapa yang harus melakukan perencanaan bahasa itu.
Siapa pun sebenarnya dapat menjadi pelaku perencanaan itu dalam arti perseorangan
maupun lembaga pemerintahan atau lembaga swasta. Dalam sejarahnya, tampaknya,
yang banyak menjadi pelaku perencanaan ini adalah lembaga kebahasaan, baik yang
merupakan instansi pemerintahan maupun bukan. Di Eropa badan resmi atau setengah
resmi yang mengurusi bahasa sudah muncul sejak abad ke-16. Pada tahun 1582 didirikan
Academia della Crusca di Firenze untuk bahasa Italia. Pada tahun 1635 dengan meniru
model yang ada di Italia, Kardinal Richeliu mendirikan Academie Francaise untuk bahasa
Prancis; dan di Spanyol didirikan Real Academia Espanola pada tahun 1713 untuk bahasa
Spanyol.
Di Asia lembaga yang mengurusi bahasa tercatat Dewan Bahasa dan Pustaka di
Malaysia, didirikan tahun 1959, di Singapura berdiri Lembaga Bahasa Melayu tahun
1950, di Filipina berdiri Lembaga Bahasa Nasional (Surian ng Wikang Pambansa) tahun
1936; di Jepang berdiri Dewan Bahasa Nasional (Kokugo Shingikai) tahun 1934; dan di
daratan Cina ada Lembaga Penyusunan dan Penerjemahan (Gwo-li byan-yi gwan) yang
didirikan tahun 1932.
Kalau sasarannya adalah bahasa atau korpus bahasa yang akan dibina atau
dikembangkan, maka sasaran itu dapat menjadi bermacam-macam, antara lain: pengembangan
sandi bahasa di bidang pengaksaraan, di bidang peristilahan, di bidang pemekaran ragam
wacana, dan sebagainya. Selain dapat juga direncanakan pembinaan pemakaian bahasa di bidang
pengajaran dan penyuluhan, dapat juga direncanakan untuk "membangkitkan" kembali bahasa
lama (yang telah tidak digunakan) untuk digunakan kembali, seperti yang dilakukan di Irlandia
dan di Israel Di Irlandia usaha ini tidak berhasil karena saingan bahasa Inggris yang terlalu kuat,
sedangkan di Israel usaha pembangkitan bahasa Ibrani tampaknya berhasil (lihat Moeliono
1983,37)
Kalau sasaran perencanaan itu adalah khalayak di dalam masyarakat, maka perencanaan
itu, antara lain, dapat diarahkan kepada golongan penutur asli atau yang bukan penutur asli,
kepada yang masih bersekolah, kepada kaum guru pada semua jenjang pendidikan, kepada
khalayak dalam kelompok di bidang komunikasi media massa (majalah, surat kabar, televisi,
film, dan sebagainya), juga kepada kelompok-kelompok sosial lain yang ada di dalam
masyarakat.
Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah langkah pelaksanaan
apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan
sistem ejaan yang ideal (baku), yang dapat digunakan oleh para penutur dengan benar, sebab
adanya sistem ejaan yang disepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi.
Kemudian diikuti dengan penyusunan atau pengkodifikasian sistem tata bahasa yang dibakukan
serta penyusunan kamus yang lengkap. Kedua buku ini (tata bahasa dan kamus) merupakan
dokumen penting untuk penyebaran korpus bahasa dan pembinaan kebahasaan pada khalayak di
masyarakat. Langkah berikutnya, yang sebenarnya bisa dilakukan bersamaan dengan kodifikasi
korpus, adalah "pemasaran" hasil kodifikasi itu kepada masyarakat. Cara yang tepat dan efektif
adalah melalui jalur pendidikan for mal, untuk pembinaan jangka panjang, dan melalui
penyuluhan kepada anggota masyarakat, untuk pembinaan jangka pendek. Dalam hal ini harus
dingat bahwa usaha perencanaan bahasa dengan segala langkah kegiatannya bukanlah usaha
yang mengenal titik henti sebab bahasa sebagai unsur budaya suatu bangsa bersifat dinamis.
Selalu berubah dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dan tak kenal henti.
Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang
mungkin akibat dari perencanaannya yang kurang tepat, bisa juga dari para pemegang tampuk
kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan
ketenagaan Perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijaksanaan yang
tidak tepat atau keliru, karena salah mengestimasi masalah kebahasaan yang harus diteliti.
Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi dilakukan oleh mereka yang memegang
tampuk kebijakan di luar bidang bahasa.
Di Indonesia, misalnya tidak jarang, ada orang yang cukup berpengaruh bukan hanya
tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak
menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan, "soal bahasa adalah urusan guru
bahasa". Hambatan dari penutur, antara lain, dapat kita lihat kejadian di Is rael dan di Irlandia. Di
Israel usaha pembakuan lafal dengan menetapkan lafal bahasa Ibrani ragam Shepardi sebagai
lafal baku mengalami kegagalan karena golongan Ashkenazi, kaum imigran Yahudi dari Eropa
dan yang berpengaruh, tidak dapat menerimanya.
Begitu juga, Irlandia tidak berhasil menghidupkan kembali bahasa Irlandia karena
golongan yang bukan petani dan yang berpengaruh, lebih suka berbahasa Inggris; dan sudah
merasa puas dengan kedudukan bahasa Irlandia sebagai bahasa seremonial belaka (Gunarwan
1983). Hambatan dana dan tenaga rasanya akan teratasi dengan sendirinya kalau dana dan tenaga
itu tersedia. Dalam hal ini, kalau kita mendengar berbagai keluhan, baik dalam forum seminar
maupun dalam tulisan, mengenai rendahnya mutu penguasaan bahasa Indonesia pelajar,
mahasiswa, maupun cendekiawan Indonesia, kita perlu bertanya: di mana letak hambatan usaha
pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan melalui jenjang pendidikan
formal maupun yang telah dilakukan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan penataran.
Segudang jawaban telah ditemukan, dan seribu satu usaha perbaikan telah dilakukan,
tetapi hasilnya belum juga lebih baik. Kalau kita mengikuti alur pemikiran Koentjaraningrat
(lihat kembali Bab 11), kiranya tidak salah kalau hal tersebut bersumber pada sikap dan sifat-
sifat negatif bangsa Indonesia, seperti yang dikemukakan Koentjaraningrat itu. Berhasil dan
tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat
dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan
Umpamanya, bagaimana keberhasilan dalam bidang pembakuan bahasa, karena pembakuan
bahasa itu biasanya tidak disertai dengan pemerian yang menjelaskan mengenai sasarannya, dan
tidak pula diberi kerangka waktu bilamana hasilnya kira-kira akan tercapai.
Evaluasi terhadap pembakuan bahasa memang sukar sekali dilakukan, sebab masalah
dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar dirumuskan, sukar
memecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. Oleh karena itu, seperti kata Rittel dan Weber
(1973, yang dikutip Rubin 1983,338, dan Gunarwan 1983). masalah-masalah pembakuan bahasa
tersebut termasuk masalah masalah kejam (wicked problems). Pembawaan bahasa itu sendiri,
menurut Amran Halim (1979:29) merupakan proses yang berlangsung terus menerus selama
bahasa yang bersangkutan tetap digunakan oleh masyarakat yang hidup dan tumbuh, dan
berkembang sedemikian rupa, sehingga sebenamya tidak dapat dikatakan dengan pasti di mana
pangkal dan di mana ujungnya.