Anda di halaman 1dari 11

Jurnal Poetika Vol. III No.

2, Desember 2015

KRITIK SASTRA DI PRANCIS

Muhammad Al-Fayyadl
Sastra Roman, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Jln. Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta
Email: fayyadl85@yahoo.com
Abstrak
Kemunculan kritik sastra sebagai suatu “lembaga sastra”, dalam pengertian modern, merupakan
fenomena yang relatif baru di Prancis, yaitu pada sekitar abad ke-19, dan semakin terlembaga pada
abad ke-20. Pelembagaan kritik sastra muncul seiring pemilahan antara kritik yang dilakukan oleh para
pencipta dan kritik yang dilakukan oleh para “kritikus”, dan seiring runtuhnya puitika representasi yang
dibangun di atas hierarki genre-genre sastra dan superioritas kritikus atas pencipta pada abad ke-17.
Artikel ini mengkaji munculnya pelembagaan kritik sastra dan fenomena dualitas kritik sastra melalui
teori “dua kritik” Roland Barthes yang diterapkan untuk membaca praktik kritik sastra di Prancis, dari
abad ke-16 sampai paruh abad ke-20.
Kata kunci: kritik sastra, “dua kritik”, krisis
Abstract
The emergence of literary criticism, as sort of “literary institution” in a modern sense, is relatively a new
phenomenon in France as it happened in 19th century and would be more institutionalized in 20th century. It due to the
progressive distinction between the author criticism and the critic cricitism as well as to the decline of poetic representation,
which has been built on hierarchy of genres and critic’s superiority over authors in 17th century. This article traces the
institutionalization of literary criticism and the duality of its practices through the lens of Roland Barthes’ “two
criticism”, applied to read the practices of literary criticism in France from 16th century onwards.
Keywords: literary criticism, “two criticism”, crisis.

Pendahuluan memperlihatkan eksistensi suatu kritik sastra


“Kritik sastra di Prancis” merujuk kepada yang secara khusus memiliki kecenderungan,
fenomena yang secara umum mendeskripsikan tekanan, pendekatan, serta “gaya” yang lekat
praktik kritik sastra di negeri Héxagone itu; dengan dengan budaya dan selera estetik masyarakat
kata “praktik” yang kita maksudkan tentang Prancis sendiri. Dengan kata lain, kita bisa
bagaimana kritik itu dilakukan, dioperasikan, meleburkan “kritik sastra di Prancis” (critique
dan dilangsungkan melalui serangkaian littéraire en France) sebagai “kritik sastra ala
pembacaan, studi, atau penciptaan artistik oleh Prancis” (critique littéraire française).
para penulis Prancis, dan dilembagakan dan Kritik itu, karenanya, memiliki dimensi
dikanonisasi, tetapi juga diperdebatkan, dikritik, “nasional”, yang sejarah dan institusionalisasinya
dipertanyakan ulang, atau didekonstruksi berhubungan dengan–meminjam ungkapan
dalam tradisi literer masyarakat Prancis. Dalam Carton–“berjalan dan majunya spirit Prancis”
pengertian ini, ia merujuk kepada bagaimana (la marche et le progrès de l’esprit français); dengan
kritik itu dioperasikan dalam hubungannya kata lain, mentalitas, watak, dan selera bangsa
dengan berbagai institusi susastra yang Prancis (Carton, 1886: 1). Ini berlaku setidaknya
mempertahankan atau mentransformasikan hingga 1960-an ketika kritik sastra di Prancis
tradisi literer tersebut–pengarang, kritikus, masih sangat kecil dipengaruhi oleh kritik sastra
akademi sastra, media, pembaca. Di sisi lain, Anglo-Saxon, Jerman (Leo Spitzer, Wilhelm
ungkapan tersebut juga merujuk kepada Dilthey), dan Italia (Benedetto Croce), meski
kekhasan konsepsional kritik sastra Prancis dengan perkecualian-perkeculian tertentu
dibandingkan kritik sastra dari tradisi (formalisme Rusia) (Barthes, 1991). Pasca-
literer negara Eropa lainnya, kekhasan yang 1960-an, meski dengan tetap bertahannya

143
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

sejumlah nama kritikus yang sebelumnya telah yang memiliki domainnya sendiri, tetapi juga
memproduksi pendekatan kritik tersendiri, mengalami pergeseran dan terkadang peleburan
seperti nama-nama Jean Starobinski dengan dengan wilayah-wilayah di luarnya?
“kritik kesadaran”-nya (critique de la conscience),
Jean Yves-Tadié dengan kritik “biografis”-nya, Renaisans dan Dua Kritik
atau Gérard Genette dengan naratologinya, Istilah dua kritik berutang pada esai Barthes
tradisi literer Prancis menyerap dengan tingkat yang mencatat berkembangnya dua jenis kritik
akselerasi yang beragam pendekatan kritik dari dalam tradisi literer Prancis 1960-an–“kritik
tradisi literer lain (negara-negara Frankofon, universiter” dan “kritik ideologis”, atau “kritik
Asia, Eropa, Afrika, Amerika Latin), yang objektif ” dan “kritik interpretatif ” (Barthes,
dimungkinkan oleh hibridisasi bangsa Prancis 1991). Rumusan ini berguna tidak saja untuk
sendiri akibat mutasi sosial, politik, dan ideologis menggambarkan suasana kritik sastra pada
yang dibawa oleh “kondisi postmodern”, yang rentang historis yang khusus itu, tetapi juga
dicirikan oleh perubahan imajinasi teritorial dan untuk menandai praktik “kritik” pada fase yang
geografis pengetahuan dan narasi keprancisan jauh sebelumnya, yaitu pada transisi antara abad
yang dibangun (Lyotard, 1979: 30-31). ke-16 Renaisans dan abad ke-17 ketika kritik
Karena sifat nasionalnya, maka kritik itu, sastra di Prancis belum menjadi suatu lembaga
dalam fase tertentu, tidak mencakup kritik yang memiliki hubungan formal dengan
atau pendekatan kritik para kritikus dari luar kesusastraan.
Prancis yang membaca atau memperlakukan Terdapat setidaknya dua kecenderungan
karya sastra Prancis bukan lagi sebagai bagian kritik yang diperlihatkan pada rentang itu, yaitu
dari khazanah literer nasional, melainkan bagian kritik para pencipta dan kritik para kritikus. Dua
dari kesusastraan modern secara umum, seperti praktik kritik, yang namun demikian dilakukan
yang dilakukan oleh Henry James terhadap tak jarang oleh subjek yang sama, belum memilah
Baudelaire, Flaubert, Balzac dan Zola (James, secara ketat antara pencipta dan kritikus. Hal ini
1965); mirip sebagaimana para kritikus Prancis terlihat pada Rabelais dan Montaigne, serta para
pada abad ke-18 memperlakukan Shakespeare, pengarang teater (auteurs dramatiques) Prancis
bukan sebagai pengarang Inggris melainkan abad ke-17–Corneille, Racine, La Bruyère,
pengarang modern, atau Stefan Zweig bukan Molière. Karya-karya Rabelais adalah karya
sebagai pengarang Austro-Jerman melainkan sastra sekaligus contoh kritik sastrawi dalam
pengarang modern. pengertiannya yang paling wantah, yaitu kritik
Pertanyaannya adalah bagaimana, dengan terhadap norma-norma pada zamannya yang
kemenentuan ciri nasionalnya, kritik itu dapat disampaikan secara sastrawi, tetapi juga sekaligus
menemukan apa yang disebut Barthes sebagai kritik terhadap “standar” estetik dan literer
“bahasa kritiknya sendiri” (le propre langage de la pada eranya, yang didominasi oleh epigonisme
critique) dan menemukan, melampaui identitas atas estetika Yunani Kuno. Pada Rabelais, kita
nasionalnya, apa yang khas dari bahasa kritik itu menemukan upaya pertama untuk mengangkat
terhadap objek yang bernama “kesusastraan” prestise bahasa Prancis sebagai bahasa yang
(littérature)? Bagaimana kritik itu menggali dan menandai “keterputusan”, dan bukan sekadar
menyiapkan suatu perangkat bagi apa yang biasa kontinuitas, dari Latin.
kita pahami dalam pengertian modern sebagai Montaigne memperkenalkan kritik dengan
“kritik sastra”, in stricto sensu? Dan bagaimana ironi dan humor, dan mencipta suatu cara-ucap
kesusastraan, dipahami secara baru sebagai objek yang orisinal bagi kritik “satiris”. Dalam subjek
bagi kritik tersebut, mendapat pengertiannya yang dibicarakan, Montaigne adalah pendahulu
yang “resmi” sebagai suatu lembaga tekstual dari kritik sastra moralis yang menjadikan sastra

144
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

suatu bentuk pedagogi bagi pembelajaran dan rendus, dengan penulisnya yang disebut gazetier,
pengenalan karakter manusiawi. Menurut Des seperti yang dilakukan Robinet terhadap karya-
Granges, Montaigne juga pendahulu bagi suatu karya Molière) patut dicatat.
bentuk kritik “imajis” yang melontarkan satir- Tidak dapat dilewatkan pula “kamar-kamar
satirnya dengan penggambaran yang hidup, kesusastraan” (salons littéraires), ruang-ruang
melampaui deskripsi yang kering dan datar khusus yang dibangun para aristokrat untuk
(Des Granges, 1922); pada Montaigne, kita pembacaan sastra, pertunjukan musik, serta
menangkap suatu “kritik naratif ”–pendahulu berbagai hiburan seni lainnya; ruang-ruang ini
bagi naratologi. memainkan peran yang sangat vital bagi praktik
Corneille merefleksikan praktik kritik, dengan munculnya selapisan bangsawan,
penciptaannya dengan “pengujian-pengujian terutama dari kaum wanita, sebagai kritikus
yang terkadang sangat mendalam” (Carton, yang berpengaruh. Hal inilah yang dilakukan
1886: 30), sementara Racine menuliskan oleh Madame de Rambouillet dengan salon-
kritiknya dengan ulasan-ulasan pendek atas nya yang masyhur, Hôtel Rambouillet. Ruang-
karya teater atau puisi-teatrikal penulis lain ruang itu–yang dalam Prancis abad ke-19 dan
dan konsepsinya sendiri mengenai teater. ke-20 bergeser ke kafe-kafe–menjadi tempat
Kritik itu, dengan demikian, lahir dari proses pembaptisan para sastrawan dan kritikus, tak
a priori yang berlangsung dalam penciptaan jarang dengan keterlibatan Académie française
dan, di lain waktu, dari tanggapan a posteriori dalam polemik-polemiknya.
atas kritik orang lain terhadap karyanya, yang Pematangan dua praktik kritik itu
direfleksikannya ke dalam suatu kritik. Ini berhubungan dengan dua kebutuhan yang
terlihat pada Corneille; kritik-kritiknya adalah berbeda. Pengarang menulis kritik untuk
refleksi atas penciptaannya, penggaliannya atas membuat semacam sketsa (esquisse) bagi cara
konsepsi baru tentang teater dan puisi-dramatik, kerjanya, keyakinan-keyakinan estetiknya,
tetapi terkadang juga pembelaan atas ofensif penggambaran yang lebih eksplisit tentang
para kritikusnya; misalnya, pembelaannya atas alur dan proses penciptaannya, pengujian atas
Le Cid dari Scudéry. pembacaan orang lain terhadap karyanya–
Polemik-polemik sastra yang melibatkan pendeknya, untuk menautkan diri, entah
pencipta dan kritikusnya, yang ditanggapi melalui pancaran otonom penciptaan sendiri
dengan refleksi atas kritik itu dalam bentuk atau pantulan reflektif penciptaan orang
kritik yang lain, mendorong lahirnya suatu lain, pada penciptaan sebagai esensi dan objek
lapisan baru yang menempatkan diri secara yang sesungguhnya bagi kritik. Sementara
lebih sadar-diri sebagai “kritikus”. Dalam hal ini, itu, kritikus menulis kritik untuk menilai dan
penerbitan dan akademi sastra memegang peran memberi “putusan estetik”, memilah dan
yang bertujuan menengahi polemik yang terjadi, memilih, mencecap dan menimbang, mencela
dan memungkinkan status kritikus mengalami atau merekomendasikan, untuk pada gilirannya
pelembagaan yang lebih tertata. Polemik antara menetapkan, dengan cara yang dogmatis atau
Corneille dan Scudéry mengundang kehadiran hipotetis, norma-norma penciptaan.
Académie française, suatu lembaga intelektual Hal terakhir inilah yang diperlihatkan oleh
tunjukan Louis XIV di bawah otoritas Kardinal para Mesdames patron salons littéraires itu–selain
Richelieu, dan keterlibatan jurnal Observateur Madame de Rambouillet, kita dapat menyebut
dengan penulis kritiknya, Chapelain. Peran Madame de Sévigné dan Madame de Bouillon–
penerbitan ini, baik dalam arti journal (jurnal tetapi juga Visé, Subligny, Huet, Régnier, serta
berisi ulasan-ulasan panjang) maupun gazette sejumlah penerbit mereka. Peran mereka
(terbitan berisi resensi-resensi pendek, comptes- sangat vital untuk menempa suatu bentuk kritik

145
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

berdasarkan penilaian atas “citarasa” karya sastra yang “baik”, yang disebutnya dengan
sastra (le goût des lettres) guna menemukan, dalam “Puitika” (Boileau, 1881). Dalam hal ini, Boileau
puisi-teater atau narasi roman yang mereka menarik kesejajaran langsung antara dirinya
baca, “kesadaran akan yang-indah” (la conscience dan Aristoteles serta Horace dalam “Puitika”
du beau); karenanya, sastra pada rentang fase ini mereka: menetapkan prinsip-prinsip umum dan
disebut juga “Belles-Lettres” atau Surat-surat yang khusus yang memungkinkan seorang kritikus
Indah. memilah antara karya yang berselera baik dan
Istilah “citarasa” menyingkap dua dimensi buruk, melakukan klasifikasi genre sastra, dan
internal sekaligus eksternal dari bentuk kritik memungkinkan seorang pembaca menulis
ini: internal karena menyiratkan bahwa karya karya sastra yang “baik” berdasarkan “kode
sastra memiliki kualitas-kualitas inheren yang keindahan” (code de beauté) yang intrinsik di
dianggap sudah seharusnya melekat (keindahan, dalam kesusastraan. Boileau mengekstraksikan
keagungan, keluhuran, kemampuannya menarik apa yang menjadi selera kaum aristokrat yang
jiwa pembacanya ke taraf kesadaran yang lebih baru berhenti pada moral kritik ke dalam suatu
tinggi, dst.); eksternal karena mengungkap konsep kritik, dengan merumuskan “standar”
konstruksi sosial dari selera sastrawi yang keindahan yang digali dari sumber utama
dibentuk, yaitu seturut dengan norma-norma Boileau: estetika klasik Latin Greko-Roman.
kesopanan (courtoisie) dan etiket kaum aristokrat– Dalam hal ini, tujuan kritik bukan lagi
kedua dimensi ini akan menyediakan prakondisi mendiskriminasi secara langsung, tetapi
bagi teori sastra maupun sosiologi sastra. mempurifikasi: kritik sastra mesti memurnikan
Para kritikus itu memilah karya-karya sastra kesusastraan dari cacat bahasa atau cacat nalar
sesuai dengan “citarasa”-nya, sesuai dengan kebahasaan dalam karya. Tindakan ini dapat
kemampuan karya itu mengartikulasikan dilihat sebagai bentuk pemurnian bahasa
ceritanya secara memikat, elegan, dan simpatik Prancis dari kata-kata yang kotor atau tak
sehingga mampu mengangkat kehormatan pantas, dari infleksi dan pengaruh-pengaruh
pengarangnya di mata para audiensnya. Dengan asing yang menodai kemurnian akar Latin
kata lain, tujuan kritik ini adalah keberterimaan bahasa tersebut. Untuk itu, kritik sastra mesti
karya; ia memilah dan memilih karya-karya meletakkan sebuah metode dengan mempelajari
yang dapat diterima dan diintegrasikan ke karya pada dirinya dan untuk dirinya. Kritik itu
dalam norma-norma moral tertentu. Fungsi mesti menggali prinsip-prinsip esensial dari
kritik ini adalah diskriminatif secara moral: estetika klasik yang terbukti bertahan, karena
mendiskreditkan, mencela, atau merendahkan dianggap merepresentasikan kode keindahan
karya sastra yang tak dapat diterima oleh norma yang universal, untuk diterapkan kepada karya
tersebut. Namun demikian, para kritikus itu itu sendiri. Dan metode itu mestilah objektif,
baru memilah menurut “citarasa” dan belum terukur, dan mampu memperlihatkan simetri,
melakukan suatu teoretisasi atas norma-norma harmoni, dan kepaduan komposisional yang
penciptaan. Peran kedua tersebut secara resmi menunjukkan kesatuan antara bentuk dan
dimainkan oleh para akademisi, dan dalam isi, serta anasir di dalam isi. Sebagai seorang
konteks abad ke-17, kita mesti menyebut Cartesian, Boileau menerjemahkan prinsip
Nicolas Boileau, pendahulu bagi kritik sastra filosofis Descartes ke dalam sastra: keniscayaan
akademis tetapi juga peletak bagi konsepsi menghadirkan karya sastra sebagai sesuatu yang
modern tentang “metode” kritik sastra. jelas dan terpilah (clair et distinct) dan terukur
Dengan karyanya, Art poétique, Boileau layaknya geometri.
meletakkan untuk pertama kalinya, dalam Dalam hubungannya dengan praktik kritik
bentuk sangat elementer, prinsip-prinsip pertama yang dilakukan oleh para pencipta,

146
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

konsepsi Boileau ini dengan jelas hendak “primat fiksi” (primat de la fiction), yaitu klasifikasi
memposisikan diri secara didaktik sebagai hierarkis genre sastra berdasarkan materi yang
petunjuk dan pembimbing bagi penciptaan; dibicarakan dan cara mengungkapkannya.
dengan kata lain, penciptaan bukanlah sebuah Inilah yang dilakukan oleh Boileau dengan
aktivitas yang liar melainkan penuh disiplin, memilah berbagai genre sastra yang ada (elegi,
yang mesti dibimbing dan diarahkan oleh kritik. ode, soneta, epigram, balada, satir, dst.), sambil
Kritik, dengan demikian, mendikte penciptaan. meletakkan di bawah genre sastra par excellence,
Penciptaan dapat melahirkan karya sastra yaitu tragedi. Tiga genre utama terbentuk di
yang baik, sejauh ia dibimbing dan diterangi seputar hierarki itu: tragedi untuk yang pertama
oleh kritik. Kita menyaksikan di sini suatu (yang polanya menjadi dasar bagi estetika klasik
pergeseran yang sangat penting mengenai Greko-Roman), epos atau puisi epik (épopée),
definisi kesusastraan, yaitu bahwa kesusastraan disusul oleh komedi. Ketiganya tersusun seturut
hadir, sejauh ia didefinisikan oleh kritik, sebagai yang dibicarakan: para pahlawan yang terbelah
objek bagi kritik. Kritik lebih unggul daripada antara manusia dan dewata (tragedi), pahlawan
kesusastraan, sebagaimana inteligensi lebih biasa (epos), anti-hero (komedi). Keterpilahan di
unggul–dalam skema Cartesian–daripada antara ketiganya menopang sistem representatif
tubuh. Sastra adalah materi, tubuh yang tercipta yang dibangun.
secara natural oleh Alam, tetapi materi itu akan Namun pada abad ke-18 dan ke-19, seiring
tetap abadi dalam kealamiahannya sampai ia dengan runtuhnya monarki yang menjadi
ditemukan oleh kritik. Maka dalam konsepsi pranata bagi puitika ini, terjadi krisis pada sistem
ini, sastra diperlakukan sebagai suatu esensi representasi dengan dimulainya suatu proses
yang pada dirinya tidak berubah dan abadi, puitika lain yang disebut Rancière sebagai puitika
sehingga yang diperlukan adalah penciptaan “estetik” (la poétique esthétique), yaitu puitika yang
ekspresi yang baru guna mengungkap esensi itu mengganti primat fiksi yang hierarkis ke dalam
melalui berbagai genre yang ada; sebagaimana “primat bahasa” (primat du langage) yang egaliter,
kebenaran, dalam diktum Cartesian, adalah dimana yang terpenting bukan lagi materi yang
abadi, dan yang diperlukan hanyalah penciptaan diangkat, tetapi cara ungkapnya, dimana apa saja
metode yang baru guna mengungkap kebenaran dapat menjadi subjek bagi sastra (Rancière, 2011:
itu. 28). Sastra dibangun bukan lagi atas esensi yang
tetap, melainkan atas ekspresinya, yaitu model
Romantisme dan Krisis Puitika Representasi penulisannya (modèle de l’écriture), atau ekspresivitas
Estetika Prancis abad ke-17 merupakan– kebahasaannya. Dilihat dari ekspresinya, maka
meminjam istilah Jacques Rancière–suatu yang terpenting bukan lagi apa yang dibicarakan
“puitika representasi” (la poétique de la représentation) oleh karya sastra, melainkan bagaimana karya itu
yang bekerja dengan konvensi tentang harmoni, ditulis dan bagaimana subjek yang dibicarakan itu
keselarasan, simetri, keterpilahan, sebagai diekspresikan. Inilah estetika yang dibawakan
unsur-unsur yang membentuk “representasi” oleh Romantisme terhadap Klasisisme; estetika
sastra yang berkualitas, atau “representasi” dari ini menggantikan esensi sastra dengan ekspresi
esensi sastra itu sendiri yang abadi (Rancière, dan mencairkan hierarki subjek sastra ke dalam
2011: 20). Namun, watak utama dari puitika ini suatu ruang kosong dimana apa saja, tanpa
adalah sifatnya yang hierarkis: ia memilah sastra memandang nilainya yang penting atau remeh-
sesuai prinsip hierarkis dengan menempatkan temeh, dapat menjadi subjek bagi sastra sejauh
inteligensi/jiwa di atas tubuh, ujaran-tindakan dapat diekspresikan dengan kuat dan penuh
(parole-acte) di atas penulisan (écriture), dan bekerja efek.
dengan apa yang disebut Rancière sebagai Krisis ini membawa perubahan yang secara

147
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

gradual–seturut dengan proses revolusioner seragam dalam ranah kritik penciptaan maupun
yang panjang dalam konstelasi sosial dan kritik “akademis”–eklektisisme dan resistensi
politik Prancis, dari runtuhnya monarki menuju atas rasionalisme itu terlihat paling menonjol
tatanan Republikan baru–memisahkan estetika dalam kritik penciptaan. Terhadap optimisme
Romantik dari Klasik. Hal ini setidaknya Cartesian, para kritikus Romantik bertolak
pertama-tama ditandai oleh dua hal. Pertama, dari pesimisme dan semangat ironis terhadap
pembalikan para pencipta terhadap privilese linearitas, dan memperlihatkan ketertarikan
kritik para kritikus; para pencipta semakin pada kejutan, kekuatan ekspresif, dan kombinasi
menuntut otonomi yang independen atas yang ganjil antara keriangan yang eksesif
penciptaannya, menyaingi otoritas kritikus. dan sentimen kegetiran (hal terakhir ini akan
Inilah yang dilakukan oleh para philosophes menajam di akhir abad ke-19 dengan simbolisme
ensiklopedis (Diderot, Voltaire, D’Alembert). à la Baudelaire dan kritik Verlaine). Dalam hal
Meski Voltaire, misalnya, mengakui keeleganan ini, penting menggarisbawahi perubahan dalam
konsepsi Boileau, namun, sebagai pencipta, ia orientasi kritik itu.
mempertahankan suatu keluwesan kreatif yang Kritik penciptaan Romantik, berbeda
resisten terhadap norma-norma penciptaan dengan kritik representatif, tidak lagi tercurah
yang ditetapkan Boileau. Voltaire mengangkat pada upaya defensif kritikus-pencipta untuk
satir dan anekdot–yang bertolak dari para anti- membela kualitas atau keunggulan literer karya
hero (“Si Lugu”)–ke dalam taraf kesusastraan sendiri dari serangan kritikus “akademis”. Ia
yang sama kualitasnya dengan tragedi atau puisi mulai lebih terorientasi “ke dalam”, bukan lagi
epik klasik; Diderot mengangkat komedian kepada proses penciptaan individual, melainkan
sebagai figur sentral teater, menggantikan kepada pembentukan konsep yang singular
dramawan tragis, figur istimewa teater Klasik. tentang kesusastraan sebagai suatu “lembaga”
Kedua, semakin menguat dan mapannya kritik tekstual yang dibangun atas reorganisasi otonomi
akademis, yang ditandai oleh perkembangan bahasa dan hubungan yang spesifik antara karya
kritik “objektif ” dari “doktrinarisme” Boileau (œuvre) dan dunia, antara kata-kata dan benda.
ke “dogmatisme” Ferdinand Brunetière, dan Para kritikus-pencipta dari abad ke-17 masih
prestise kelembagaan yang diperankan oleh berbicara tentang proses kreatif secara individual
Universitas Sorbonne sebagai pusat kritik sastra dan konsepsi-konsepsi individual pengarang
akademis. tentang karya yang ditulisnya, suatu proses yang
Perubahan-perubahan itu berkisar di menempatkan penciptaan sebagai objek bagi
seputar goyahnya prinsip puitika representasi– refleksi atau pemikiran. Namun, meski beberapa
doktrin utama filsafat Cartesian–yang tendensi seperti ini bertahan, para kritikus-
mengunggulkan rasio atas hasrat dan simpati, pencipta dari abad ke-18, lebih-lebih abad ke-
dan penekanan pada disiplin rasional atas 19, melangkah lebih jauh dengan masuk bukan
kapasitas mental, psikologis, dan afektif. lagi kepada Penciptaan, sebagai proses, tetapi
Bertentangan dengan rasionalisme Cartesian, kepada Sastra sebagai produk–Sastra sebagai
para pengarang Romantik menekankan hasrat, suatu objek bentukan yang direfleksikan secara
simpati, dan spontanitas ekspresif. Bertentangan sadar. Maka, pengarang tidak lagi berbicara
dengan keterpilahan anasir dan genre dalam tentang subjektivitasnya (dalam suatu pola
karya, mereka melakukan eklektisisme dengan “auto-reflektif ” yang hendak menunjukkan
mencampur atau mengasimilasikan berbagai kepada dunia siapa “aku”), melainkan berbicara
genre yang ada ke dalam suatu genre baru yang tentang karya sebagai produk penciptaan yang
heteroklit. memiliki hubungan yang otonom terhadap
Perubahan ini berlangsung secara tidak dirinya sebagai pengarang. Pertanyaan yang

148
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

melatari diskursus ini bukan lagi “Siapakah aku, yang menjadi bahan dari sebuah fragmen cerita,
Pengarang?” melainkan “Apakah Karya itu?”, novelet, atau puisi. Ini yang dilakukan Hugo
“Apakah objek yang bernama Kesusastraan dalam antologi kroniknya, Choses vues.
itu?” “Apakah kata-kata?”. Sementara para pencipta mengeksplorasi
Hal ini yang mendorong suatu refleksi, kesusastraan sebagai objek yang dipikirkan,
juga teoretisasi awal, dari intuisi Flaubert sering kali secara heterodoks terhadap norma-
tentang novel (roman), sebagai genre baru norma penciptaan sebelumnya, para kritikus
yang muncul dari krisis sistem representatif, “akademis”, mewarisi cita-cita metodis Boileau,
suatu “genre tanpa genre” (Rancière, 2011: semakin kukuh memperlakukan sastra sebagai
29) yang tidak dapat dikategorikan ke dalam objek bagi analisis. Perbedaan orientasi ini dapat
kategori sistem yang lama karena satu hal yang dirumuskan sebagai dialektik antara Sintesis
singular: kemampuannya melepaskan bahasa versus Analisis. Pencipta mencari keutuhan
dari tujuan fungsionalnya, yang dalam estetika sintetik dari Sastra, kritikus memecah keutuhan
Klasik memiliki tujuan untuk menghibur atau itu ke dalam satuan-satuan kecil analitik.
mengedifikasi jiwa pembacanya, ke dalam suatu Terdapat setidaknya empat model kritik di sini:
prosa dimana kepekatan bahasa dan keutuhan kritik dogmatis, kritik impresionis, kritik moralis,
ekspresif menentukan keberhasilan atau dan kritik analitik (Tissot, 1890).
kegagalannya sebagai karya. Bahasa menjadi “Kritik dogmatis” Ferdinand Brunetière
sistem “autotelik” (autós, diri; télos, tujuan) yang merupakan pengembangan modern dari cita-
tidak memiliki tujuan kecuali dirinya sendiri. cita kritik metodis Boileau (Tissot, 1890: 39). Ia
Selain itu, tentu saja, kemampuan novel untuk disebut dogmatis, karena memberikan penilaian
mengangkat subjeknya tanpa kecuali–dalam terhadap kualitas sebuah karya menurut
novel, tulis Flaubert, “tak ada yang indah dan kemurniannya dalam menjaga kontinuitasnya
tak ada yang buruk … gaya adalah satu-satunya dengan akar Latin bahasa Prancis. Ia
cara absolut bagi novel untuk melihat segala mempertahankan pandangan evolusionis
sesuatu” (Rancière, 2011: 29). tentang sejarah kesusastraan modern, sebagai
Pencarian akan pemikiran tentang produksi produk yang evolutif dari kesusastraan klasik. Ia
literer, yang memungkinkan kesusastraan memandang, karenanya, keterputusan dari akar
dipahami secara baru dalam materialitas Latin sebagai wujud dekadensi sastra Prancis–
ekspresifnya, terlihat dari cara pencarian itu suatu posisi yang membawanya berseberangan
dipadatkan ke dalam “fragmen-fragmen”. secara tajam dengan Flaubert atau Zola, yang
Muncul fenomena baru “manifesto” sastra, mengangkat bahasa-bahasa “rendahan” dari
seperti dalam jurnal La Muse française atau kaum jelata. Analisisnya terhadap kemurnian
manifesto Victor Hugo tentang puisi atau roman Latin dari karya sastra Prancis agaknya
dramatik sebagai ciri dari modernitas literer. mengantisipasi pendekatan filologi sastra yang
Gagasan “fragmen” ini sebagian dipengaruhi menandai peralihan abad ke-19.
oleh Romantisme dalam sastra Jerman melalui “Kritik impresionis” menunjukkan
terbitan-terbitan Athenaeum Schlegel bersaudara kecenderungan yang kurang analitik daripada
yang berambisi menjadikan kesusastraan suatu kritik yang pertama. Seperti diperlihatkan oleh
medium absolut bagi Ide tentang Yang Sastrawi kritikus utamanya, Jules Lemaître, kritik ini
(Labarthe-Nancy, 1978: 57). Patut dicatat juga menampilkan karya sastra sebagai sehimpunan
fakta bahwa para kritikus-pencipta itu tak kesan-kesan yang memberi suatu potret utuh
jarang memposisikan diri juga sebagai seorang tentang kehidupan sang pengarang dan pesan
kroniker, atau penyusun kronik bagi peristiwa- yang ingin disampaikannya (Tissot, 1890: 75).
peristiwa yang berlangsung atau mereka amati, Seperti Brunetière, Lemaître mengunggulkan

149
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

estetika Klasik sebagai model literer, tetapi tanpa diri dari pretensi untuk merestorasi cacat
menilai modernitas secara hitam-putih sebagai kebahasaan karya, atau memberi putusan moral
antitesis bagi Klasisisme. Ia menangkap spirit tentang karya. Satu-satunya pretensi kritik
Klasik pada caranya menampilkan hidup secara analitik adalah nilai keilmiahan (scientificité) dari
jenaka atau bijak, tanpa dibebani keharusan pendekatannya.
moral. Model kritiknya dekat dengan pendekatan Kritik ini mengambil titik tolak dari
kritik biografis Sainte-Beuve, yang berhasrat konsepsi tentang karya sastra sebagai karya
pada rekonstruksi moral kepengarangan melalui yang mengandung tanda-tanda (signes)–tanda
kesan-kesan yang tertangkap dari sebuah karya. kebahasaan maupun tanda yang merujuk
“Kritik moralis” mewarisi sebagian kepada inteligensi kreatif pengarang, hidup atau
aksentuasi moral dari Klasisisme, namun genealogi penciptaannya. Inilah pendekatan
memberi tekanan yang lebih pada moralisme kritik Hyppolite Taine yang melihat, di balik
melalui moralitas keagamaannya yang kuat, yaitu keutuhan sintetik sebuah karya, hubungan
moralitas Katolik (Tissot, 1890: 123). Dalam di antara tanda-tanda sebagai unsur analitik
arti sempit, kritik sastra ini menghendaki suatu terkecil yang membentuk karya. Masing-masing
puritanisme literer yang menghendaki agar tanda itu membentuk dimensi material dari
karya sastra kembali menjadi sarana bagi ide-ide ekspresivitas bahasa, yang memungkinkan
religius. Kebencian terhadap sastra modern yang pembaca menangkap modus berpikir (mode de
dipandang “dekaden” terlihat dari kritik-kritik penser), modus merasakan (mode de sentir), dan
Edmond Scherer terhadap Baudelaire, Zola, modus kehidupan (mode de vivre) pengarang.
Manet; atau asketisme pastoral Jules Barbey Pendekatan ini akan merintis kritik semiologis
d’Aurevilly yang melihat Ide, alih-alih Sensasi, pada abad ke-20.
sebagai prinsip sastra. Kritik ini menganalisis Konsepsi semiotik Taine masih bersifat
karya sastra hanya untuk melihat konsekuensi umum, dan karenanya belum benar-benar layak
moralnya kepada pembaca. disebut “semiologi” dalam pengertian modern.
Namun, jika kritik moralis dilakukan Tetapi, pendekatan ini memberikan suatu visi
sebagian oleh kalangan Katolik yang reaksioner tentang karya sebagai konstelasi hubungan-
terhadap watak sekular Revolusi dan perubahan- hubungan, suatu universum yang memiliki
perubahan moral yang dibawanya, di sisi lain, relasi-relasi eksplisit maupun implisit. Suatu visi
kritik ini juga dilancarkan oleh para pembaharu kritik yang akan digali oleh formalisme maupun
sosialis abad ke-19, seperti para sosialis semiologi abad ke-20 dengan cara yang lebih
Saint-Simonian yang mengkritik pesimisme rinci.
sastra modern dan menyerukan perlunya “Genealogi” menjadi kata kunci bagi
pembaharuan spiritual sastra bagi solidaritas pendekatan kritik analitik lain yang diinisiasi
sosial (Collectif, 1924). Fungsi moralis dari kritik Sainte-Beuve. Prinsip genealogi ini adalah
ini akan diperdalam oleh kritik sastra Marxis “karya ada karena manusia, manusia ada karena
pada abad ke-20, yang melihat sastra dari fungsi lingkungan” (L’œuvre par l’homme, l’homme par le
sosialnya memperkuat atau memperlemah milieu). Ia melihat karya sebagai ekspresi dari
moral revolusioner. kehidupan pengarangnya–kebenaran karya
Di antara keempat kritik di atas, “kritik mesti dicari dalam potret kehidupan pengarang.
analitik” merupakan kritik yang memerankan Analisis karya mengandaikan analisis biografis.
fungsi analitiknya dengan paling tepat, Sementara analisis biografis tak lepas dari
dibandingkan–yang terdekat–“kritik dogmatik” analisis tentang lingkungan, maka analisis ini
serta kedua kritik yang lain. Namun berbeda dari mesti mencakup pula analisis tentang akar,
“kritik dogmatik”, kritik analitik membebaskan asal-usul (genetik), dan pengaruh sosial atau

150
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

karya lain terhadap suatu karya. Meminjam otonomisasi ini, di sisi lain, memperdalam
pendekatannya dari zoologi dan botanologi jarak antara keduanya dan mengakibatkan
abad ke-19, Sainte-Beuve memperkenalkan kritik-penciptaan semakin resisten terhadap
suatu pendekatan genetik, yang akan dielaborasi kritik “akademis” dan menolak beberapa
di abad ke-20 oleh kritik genetik. kecenderungan dogmatis kritik “akademis”
Dua kritik analitik lain dilakukan oleh Paul yang memperlakukan kritikus seolah-olah lebih
Bourget, dengan psikologi sastranya–pendahulu unggul daripada pencipta, dan memperlakukan
bagi kritik psikoanalitik–yang melihat karya pencipta dan karyanya tak lebih sebagai objek
sastra murni sebagai ekspresi psikologis sang yang mati untuk diamati dan dinilai. Hal ini
pengarang; juga oleh Émile Hannequin dengan berlaku setidaknya pada paruh pertama abad ke-
“esto-psikologi”(estho-psychologie)-nya, yang 20, sebelum pada dekade 1960-an, bersamaan
menggabungkan tiga pendekatan kritik sastra: dengan revolusi literer yang dilakukan oleh para
“estetika” yang mengkaji emosi pengarang avant-gardist “Novel Baru” (Nouveau Roman),
dan pengaruhnya terhadap emosi pembaca, kritik sastra mengalami revolusinya sendiri
“psikologi” yang mengkaji karya dan suasana dengan “Kritik Baru” (Nouvelle Critique) yang
mental-kejiwaan pengarang, dan “sosiologi” menolak pretensi ilmiah dan objektif teori sastra
yang mengkaji hubungan antara karya, (Traore, 2006), dan membawa teori sastra ke
pembaca, dan konteks sosialnya. Pendekatan dalam subjektivitas “metodis” yang menuntut
kritik Hannequin memperlihatkan kemajuan penemuan dan pembacaan kreatif kritikus
yang lebih kompleks di antara pendekatan kritik atas teks sastra melalui metode atau teknik
analitik yang lain, karena mulai terlihat upaya yang memperlihatkan fleksibilitas yang tinggi
mempertemukan di antara berbagai pendekatan akan interpretasi (Semiologi, Dekonstruksi).
yang berbeda, dan membuka jalan bagi suatu Pembelahan antara “dua kritik” itu berlaku
cara memperlakukan kritik bukan lagi sebagai hingga pada dekade 1960-an, ketika batas antara
paradigma abstrak, melainkan suatu pendekatan kritik “akademis” dan “non-akademis” itu
semi-empiris. melebur, yaitu ketika “kritik interpretatif ” yang
Hal ini akan diperkuat oleh pendekatan disitir oleh Barthes juga menuntut untuk menjadi
kritik Lansonian (Gustave Lanson) pada transisi “kritik objektif ”, memanfaatkan perkembangan
antara akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, teoretis ilmu-ilmu sosial abad ke-20.
dan akan terus mendominasi kritik sastra di Resistensi kritik-penciptaan itu terlihat,
universitas-universitas Prancis hingga akhir pada transisi abad ke-20, dari cemooh Verlaine
dekade 1950-an, yang menjadikan kritik sastra atas Sainte-Beuve dan segala pendekatan “kritik
suatu teknik analitik yang empiris dan pedagogis biografis” yang hendak memahami karya sastra
untuk mengomentari masing-masing frase atau melalui rekonstruksi atas potret pengarangnya—
kata dari sebuah teks sastra, dan mengaitkannya kritik ini, karenanya, juga disebut “kritik potretis”
dengan pendekatan historisis sejarah sastra (critique portraitiste)—dan bergaung kembali
yang telah terbagi sesuai dengan masing-masing melalui Marcel Proust dengan Contre Sainte-Beuve
kecenderungan besar zamannya dan kategori- (Dupas, 2009). Resistensi itu mengungkap suatu
kategori besar yang telah ditetapkan sebelumnya pergeseran penting yang, bagi para pencipta,
oleh sejarah sastra (histoire littéraire). diabaikan atau tidak mampu dilihat oleh
para kritikus–karena miskinnya imajinasi dan
Kritik dan Krisis keterpakuan mereka kepada empirisitas “fakta-
Sementara dua kritik itu–kritik-penciptaan fakta” literer–yaitu munculnya krisis pada
dan kritik “akademis”–mengalami otonomisasi lembaga-lembaga yang menopang kesusastraan
yang menuntut independensi satu sama lain, itu sendiri; gagasan-gagasan besar yang menjadi

151
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

episentrum kesusastraan: “pengarang”, “karya”, memperdalam “ortodoksi” teoretis mereka


“pembaca”. Bagaikan peramal, para pencipta dengan menjadikan karya sastra sebagai objek
telah mendeteksi gejala krisis ini jauh sebelum ilmiah dalam pengertiannya yang ketat. Hal ini
krisis ini benar-benar disadari oleh kritikus dilatari oleh penemuan dan pengembangan
“akademis” pada 1960-an, misalnya Stéphane perangkat-perangkat teoretis baru yang
Mallarmé yang di tahun 1890-an, dalam menuntut status keilmiahannya dalam filsafat
aforisme-aforismenya, Crise de vers (“Krisis dan ilmu-ilmu sosial. Perkembangan linguistik
Lirik”), menulis: “Kesusastraan di sini mengalami mencangkokkan formalisme Rusia kepada
krisis yang pelik, dan fundamental” (Mallarmé, kritik sastra Prancis. Pengaruh fenomenologi
2003: 247). Dan daripada memilih dikungkung Husserlian memungkinkan lahirnya pendekatan
oleh norma-norma penciptaan, sang penyair “kritik kesadaran”, dan fenomenologi Gaston
memilih mengikuti instingnya akan krisis, Bachelard memberi dasar bagi “kritik yang-
dan menangkap kebaruan penciptaan dalam imajiner” Jean-Pierre Richard, atau antropologi
krisis mendasar yang menimpa kesusastraan: sastra Northrop Frye. Mutasi psikologi ke
“Aku menyukai, menghadapi langit mendung, psikoanalisis menandai mutasi dari psikologi
berhadap-hadapan melawan jendela, mengikuti sastra ke psikoanalisis sastra (Charles Mauron).
kilasan-kilasan badai” (J’aime comme en le ciel mûr, Sementara itu, ekonomi-politik Marxis dan
contre le vitre, à suivre des lueurs d’orages) (Mallarmé, materialisme historis memberi perumusan
2003: 247). baru tentang sosiologi sastra yang tidak lagi
Resistensi ini menandai pencarian yang positivistik, tetapi dialektis (Lucien Goldmann).
lebih mendalam dari para pencipta atas konsep Barthes mencatat empat gugus kritik
kesusastraan yang tidak dapat didikte oleh kritik sastra pada dekade 1950-an dan dekade 1960-
“akademis”, dan bahkan memberi tantangan an, yang memberi konteks bagi Nouvelle
kepada kritikus “akademis”. Mallarmé menulis Critique yang tercetus oleh esai Barthes tentang
puisi Un Coup de dés yang memberi tantangan Racine, Sur Racine, dan berhimpun di seputar
kepada kritik sastra untuk keluar dari verbalisme “kritik ideologis” atau “kritik interpretatif ”,
kata-kata menuju pendekatan topologis atas sebagai antipoda bagi “kritik universiter” atau
ruang-ruang kosong yang diciptakan oleh “kritik objektif ”: eksistensialisme, Marxisme,
puisi. Proust menulis A la recherche du temps psikoanalisis (Freudian dan Bachelardian), dan
perdu, yang memberi tantangan kepada kritik formalisme-strukturalisme. Kritik-kritik ini,
untuk memikirkan relasi baru antara kata-kata, meski disebut “ideologis” karena berangkat
aliran kesadaran, dan musikalitas, yang tidak dari keterkaitan kepada ideologi tertentu, atau
dapat ditangkap oleh kekakuan dan keketatan tidak berpretensi memisahkan antara netralitas
pendekatan analitik. Sementara karya-karya itu ilmiah dan intervensi politis-ideologis, masuk ke
menggedor-gedor batas-batas keilmiahan kritik dalam pusaran “kritik akademis”, karena kritik-
“akademis”, mereka juga turut memperdalam kritik tersebut menuntut status keilmiahan yang
pencarian penulisnya akan suatu bahasa baru lebih tinggi atas berbagai teori dan konsep yang
yang dapat mendesentralisasi, jika bukan dihasilkannya.
meleburkan, “subjek” pengarang di dalam Dengan demikian, pemilahan antara “kritik
universum teks yang dibangun. universiter” dan “kritik ideologis” mulai luruh
Ketika para kritikus-pencipta memperdalam pasca-1960-an, ketika kritik ideologis mulai
konsepsi kesusastraan dengan membuka menggusur kritik tradisional yang pada paruh
kemungkinan-kemungkinan terjauh yang pertama abad ke-20 mendominasi perguruan
bisa dicapai oleh bahasa, kritikus “akademis” tinggi Prancis, yang dibentuk oleh model kritik
pada paruh awal abad ke-20 berkutat untuk Lansonian. Hal ini terjadi bersamaan dengan

152
Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

pecahnya Sorbonne dan krisis legitimasi Daftar Pustaka


Sorbonne sebagai model bagi pendidikan Barthes, Roland. 1991. Essais critiques. Paris:
tinggi Prancis pada Revolusi Mei 1968. Kritik Seuil.
ideologis, yang melakukan invensi–penciptaan Boileau, Nicolas. 1881. Art poétique. Paris:
yang baru–terhadap teori sastra dan melakukan Hachette.
suatu pembaruan dengan menyatakan suatu Carton, Henri. 1886. Histoire de la critique littéraire
krisis tepat di jantung Kesusastraan sendiri, en France. Paris: A. Dupret, 1886.
sejak 1970-an mulai diterima berangsur-angsur Collectif. 1924. Doctrine de Saint-Simon : Exposition,
ke dalam kritik “akademis” dan mengalami première année, 1829. Paris: Librairie Michel
“normalisasi”. Rivière.
Peran pembaruan yang diciptakan oleh Des Granges, Ch. M., 1922. Précis de la littérature
kritik sastra “ideologis” serta Nouvelle Critique française. Paris: Hatier.
pada momen yang sangat khusus pada dekade Dupas, Solenn. 2009. “Regards sur la critique
1960-an dimungkinkan karena dua hal. Pertama, littéraire à la fin du XIXe siècle: l’exemple
kritik ini mengemban fungsi menyatakan krisis des portraits verlainiens”, Revue ATALA,
dalam kesusastraan, dan bukan melegitimasi n. 12.
status quo kesusastraan, atau membangun suatu James, Henry. 1965. Selected Literary Criticism.
kanonisasi bagi kesusastraan. Modernitas New York: McGraw-Hill.
literer tidak terletak dalam kelantangannya Lacoue-Labarthe, Philippe, dan Jean-Luc
memproklamasikan suatu era baru, sebagaimana Nancy. 1978. L’Absolu littéraire: Théorie de la
para pengarang Romantik, melainkan pada littérature du romantisme allemand. Paris: Seuil.
keterusterangannya menyatakan sebuah krisis Lyotard, Jean-François. 1979. La Condition
yang menandai keusangan model-model yang postmoderne. Paris: Minuit.
ada dan kebutuhan akan kebaruan (nouveauté), Mallarmé, Stéphane. 2003. “Crise de vers”, Igitur
yang bisa jadi meregenerasi sebagian aspek dari Divagations Un Coup de dés. Paris: Gallimard,
teori tradisional atau meninggalkan seluruhnya. Coll. “Poésie/NRF”.
Kedua, kritik ini, namun demikian, tidak berhenti Rakovic, Robert. 2007. “Quelle politique
menyatakan krisis, atau menandai gejala krisis. de (la) crise d’après la critique littéraire
Kritik itu juga membangun suatu cara pandang française à partir de 1980 ? Une enquête
baru yang dapat diistilahkan di sini sebagai bibliographique”, Trans : Revue de la littérature
“metakritik”, yaitu seperangkat metode, générale et comparée, (4).
teknik, atau epistémé berpikir tentang objek Rancière, Jacques. 2011. La Parole muette : Essai
sastrawi yang memberi pendasaran baru atas sur les contradictions de la littérature. Paris:
praktik kesusastraan, namun tanpa mengklaim Fayard/Pluriel.
orisinalitas (kritik itu dapat menyerap berbagai Tissot, Ernest. 1890. Les Évolutions de la critique
pengaruh yang berbeda-beda, atau merujuk française, Genève: H. Georg.
kepada berbagai referensi yang berbeda- Traore, François Bruno. 2006. “Autorité
beda) dan keajegan atau stabilitasnya (kritik ini des méthodes d’analyse de textes de la
cenderung bersifat eksperimental dan asumsi- «Nouvelle Critique» et l’état actuel de la
asumsinya siap untuk difalsifikasi). Dengan critique littéraire”, Revue de CAMES, vol. 7.
cara itu kritik menjadi dapat mengimbangi
eksperimentasi para sastrawan, tanpa
menempatkan diri sebagai lebih superior atau
inferior daripada karya sastra.

153

Anda mungkin juga menyukai