Anda di halaman 1dari 46

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah tim penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga tim penulis dapat menyelesaikan Modul
ini guna untuk memenuhi tugas untuk mata kuliah Penulisan Bahan Ajar. Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang Penyusun miliki. Oleh karena itu,
Penyusun mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya Penyusun berharap semoga modul ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Terima kasih yang besar kepada dosen dan teman teman yang telah berkontribusi
sehingga Modul ini selesai tepat waktu. Modul ini Penyusun buat agar bisa menjadi sedikit
penambah wawasan pembaca.
Semoga semua ini bisa memberi sedikit manfaat dan dapat menuntun pada
langkah yang lebih baik.Meskipun Penyusun berharap isi modul ini bebas dari kesalahan
dan kekurangan, namun tetap saja ada kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu Penyusun
mohon maaf yang sebesar besarnya, semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Pontianak, 8 Januari 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I Bilingualisme dan Diglosia...............................................................................4

A. Bilingualisme......................................................................................................4
B. Diglosia...............................................................................................................9
C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia.....................................................................11

BAB II Alih Kode dan Campur Kode.........................................................................13

A. Alih Kode............................................................................................................13
B. Campur Kode......................................................................................................16

BAB III Interferensi dan Integrasi..............................................................................21

A. Interferensi..........................................................................................................21
B. Integrasi...............................................................................................................25

BAB IV Perubahan , Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa..................................28

A. Perubahan............................................................................................................28
B. Pergeseran...........................................................................................................30
C. Pemertahanan Bahasa..........................................................................................31

BAB V Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa............................................................34

A. Sikap Bahasa.......................................................................................................34
B. Pemilihan Bahasa................................................................................................35

BAB VI Bahasa dan Kebudayaan..............................................................................37

A. Hakikat Kebudayaan...........................................................................................37
B. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan....................................................................38
C. Etika Berbahasa...................................................................................................39

BAB VII Perencanaan Bahasa ...................................................................................40

ii
A. Kebijakan Bahasa................................................................................................40
B. Perencanaan Bahasa............................................................................................41

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................43

iii
BAB I

Bilingualisme Dan Diglosia

Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain,
entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan
dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat
tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat
tutur yang terbuka, artinya, yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain,
tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa
kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi
sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang di dalam sosiolinguistik disebut
bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, konvergensi, dan
pergeseran bahasa. Dalam bab ini hanya akan dibicarakan tentang bilingualisme dan
diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya. Sedangkan peristiwa yang lainnya
akan dibicarakan pada bab-bab berikutnya.

A. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut
juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang
dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan
orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73). Untuk dapat
menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.
Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang
kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang
dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa
Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan
dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia di sebut juga
kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga
istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan)
yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Dalam buku ini tentang

4
multilingualisme tidak akan dibicarakan secara khusus, sebab modelnya sama dengan
bilingualisme.
Konsep umum bahwa bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah
menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan
bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (lihat juga Dittmar 1976:170):
1) Sejauhmana taraf kemampuan seseorang akan B2 (Bl tentunya dapat dikuasai
dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2) Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini?
3) Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga
4) bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
5) Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian?
Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-
nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau
B2-nya?
6) Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2 nya dapat
mempengaruhi Bl-nya.
7) Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebutdalam
konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?

Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, sejauhmana penguasaan


seseorang terhadap B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan
bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang bilingual, baiklah kita simak
terlebih dahulu batasan-batasan mengenai bilingualisme yang diberikan oleh beberapa
orang pakar. Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56)
mengatakan bahwa bilingualisme adalah "kemampuan seorang penutur untuk
menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya" Jadi, menurut Bloomfield ini
seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan BI dan B2 dengan derajat
yang sama baiknya.

Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap


pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu
rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu
sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang
berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan

5
B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang
bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan Bl sama baiknya, untuk fungsi dan
situasi apa saja dan di mana saja. Seorang bilingual yang dapat menggunakan B2
sama baiknya dengan B1, oleh Halliday (dalam Fishman 1968:141) disebut
ambilingual. Oleh Oksaar (dalam Sebeok 1972:481) disebut ekuilingual; dan oleh
Diebold (dalam Hymes 1964:496) disebut koordinat bilingual. Namun, seperti sudah
disebutkan di atas, penutur bilingual yang seperti ini jarang ada. Yang ada dan biasa
adalah para penutur bilingual yang sama-sama baik dalam dua bahasa, tetapi
umumnya dalam ranah kebahasaan (Inggris: language do main) yang berbeda.
Misalnya, Si A baik berbahasa tertentu dalam ranah ilmu sosial, tetapi kurang dalam
ilmu kedokteran; Si B baik dalam ranah ilmu hukum tetapi kurang dalam ilmu sastra,
dan sebagainya.

Pertanyaan kedua, yaitu apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam


bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana? Untuk
menjawab pertanyaan kedua itu, baiklah terlebih dahulu kita telusuri pendapat para
pakar. penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan
tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah
sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa
dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat tingkat yang ada di dalamnya. Bagi
Weinrich menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek
atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen
(1968:10) yang memasukkan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke
dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang
mengatakan bahwa apa yang disebut dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk
juga dua variasi bahasa.

Dari pembicaraan di atas dapat kita lihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa
di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti
bahasa Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah
bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan bahasa Jawa dialek Surabaya.
Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah juga dialek, maka berarti hampir semua
anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual; kecuali anggota masyarakat tutur
yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat
satu dialek dari bahasa itu.

6
Pertanyaan ketiga, mempermasalahkan kapan seorang penutur bili ngual
menggunakan kedua bahasa yang dikuasainya secara bergantian; kapan harus
menggunakan Bl-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia
secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1 atau B2 nya. Pertanyaan
mengenai kapan seorang penutur bilingual menggunakan satu bahasa tertentu, B1-nya
B2-nya, atau satu ragam bahasa tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa
atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan
adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut.

Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa kapan harus digunakan B1 dan
kapan pula harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan
situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan BI dan B2 ini tidaklah bebas. Oleh
karena itu, pertanyaan berikutnya dari masalah ketiga, "kapan seorang penutur
bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2" adalah agak sukar dijawab.
Dalam kasus penutur bilingual Sunda - Indonesia di atas barangkali memang ada
topik dan situasi tutur yang memberi kebebasan untuk menggunakan salah satu
bahasa itu. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur
bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat
dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Montreal, Kanada. Masyarakat tutur di Montreal
merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan
bahasa Prancis, yang dapat digunakan secara bebas, sebab tampaknya dalam
masyarakat Montreal itu tidak ada pembedaan fungsi kapan harus digunakan bahasa
Inggris dan kapan pula harus digunakan bahasa Prancis. Oleh karena itu, dapat
dikatakan masyarakat tutur bilingual di Montreal itu dapat secara bebas menggunakan
kedua bahasa tersebut. Bangsa Belgia yang mengakui adanya dua bahasa negara,
yaitu bahasa Prancis dan bahasa Belanda(dialek Vlam) tidak dapat menggunakan
kedua bahasa itu secara bebas seperti di Montreal, sebab kedua bahasa itu digunakan
di wilayah yang berbeda: bahasa Prancis di wilayah Bélgia Selatan, sedangkan
Belanda di wilayah Belgia Utara. Bangsa Singapura yang mengakui mempunyai
empat buah bahasa negara (Melayu, Mandarin, Hindi, dan Inggris) juga tidak
menggunakan keempat bahasa itu secara bebas, sebab masing-masing bahasa tersebut
merupakan B1 bagi etnis tertentu. Maka dalam praktiknya bahasa Inggris lebih umum
digunakan sebagai lingua franca antaretnis yang terdapat di negara kecil itu.

7
Masalah keempat yang dipertanyakan di atas menyangkut masalah,
sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau
sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya. Pertanyaan ini menyangkut masalah
kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya.
Sebelum ini, kita berasumsi bahwa penguasaan terhadap Bl oleh seorang bilingual
adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap (dialek Vlam) tidak dapat
menggunakan kedua bahasa itu secara bebas seperti di Montreal, sebab kedua bahasa
itu digunakan di wilayah yang berbeda: bahasa Prancis di wilayah Bélgia Selatan,
sedangkan Belanda di wilayah Belgia Utara. Bangsa Singapura yang mengakui
mempunyai empat buah bahasa negara (Melayu, Mandarin, Hindi, dan Inggris) juga
tidak menggunakan keempat bahasa itu secara bebas, sebab masing-masing bahasa
tersebut merupakan B1 bagi etnis tertentu. Maka dalam praktiknya bahasa Inggris
lebih umum digunakan sebagai lingua franca antaretnis yang terdapat di negara kecil
itu.

Masalah kelima yang dipertanyakan di atas adalah apakah bilingualisme itu


terjadi pada perseorangan ataukah pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut
satu masyarakat tutur? Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya
dengan penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Mackey (1968:554-555)
berpendapat bahwa bilingualisme bukan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan
bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga
bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitu
pun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga
mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat
tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-invidu para penutur, sebab
penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan
adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur Bl dan
masyarakat tutur B2. Berbeda dengan Mackey, Oksaar (1972:478) berpendapat bahwa
bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Mengapa?
Sebab bahasa itu penggunaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja,
melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa itu
bukan sekadar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat untuk menunjukkan
identitas kelompok (Chaer 1994). Konsep bahwa bahasa merupakan identitas
kelompok memberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang

8
bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya.
Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah
bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas: mungkin juga meliputi satu
negara. Umpamanya di negara Belgia, seperti sudah disebutkan di muka, digunakan
dua bahasa, Belanda dan Prancis, sebagai bahasa resmi negara. Begitu juga Finlandia,
di mana digunakan bahasa Find dan bahasa Swedia secara berdampingan dan
bergantian dalam kehidupan di negara itu.

Bilingualisme yang sungguh murni seperti yang terdapat di Montreal itu


jarang ditemukan di tempat lain. Yang lazim adalah adanya perbedaan peranan untuk
setiap bahasa. Artinya, setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat
secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing.
Umpamanya, di Indonesia penutur bilingual bahasa Sunda (B1) - bahasa Indonesia
(B2), hanya bisa menggunakan bahasa Sundanya untuk percakapan yang bersifat
kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam sidang DPR.
Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan penggunaan bahasa
berdasarkan fungsi atau peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, di
dalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.

B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan
oleh Marcais, seorang linguis Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi
linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.
Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tentang "Urbanisasi dan bahasa-bahasa
standar" yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di
Washington DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut
dengan sebuah artikelnya yang berjudul "Diglosia" yang dimuat dalam majalah Word
tahun 1959. Artikel ini kemudian dimuat juga dalam Hymes (ed.) Language Culture
and Society (1964:429-439): dan dalam Giglioli (ed.) Language and Social Contact
(1972). Hingga kini artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai
diglosia, meskipun Fishman (1967) dan Fasold (1984) ada membicarakannya juga.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu
masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan

9
dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Rumusan asli Ferguson tentang
diglosia itu adalah sebagai berikut:
1) diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain
terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu
bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain
2) dialek-dialek utama itu, di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar,atau
sebuah standar regional.
3) ragam lain (yang bukan dialek - dialek utama) itu memiliki ciri:
a) sudah (sangat) terkodifikasi
b) gramatikalnya lebih kompleks
c) merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
d) dipelajari melahui pendidikan formal
e) digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal tidak
digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari

Ferguson membicarakan diglosia itu dengan mengambil contoh empat buah


masyarakat tutur dengan bahasa mereka. Keempat masyarakat tutur itu adalah
masyarakat tutur bahasa Arab, Yunani modern, Jerman Swiss, dan Kreol Haiti.
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengah kan sembilan topik, yaitu
fungsi, prestise, warisan sastra, pemerolehan, standardisasi, stabilitas, gramatika,
leksikon, dan fonologi. Berikut kita bicarakan secara singkat. Fungsi merupakan
kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis
terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat
dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau
ragam R). Dalam bahasa Arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik, bahasa Al-
Quran yang lazim disebut al-fusha, diaiek R-nya adalah berbagai bentuk bahasa Arab
yang digunakan oleh bangsa Arab, yang lazim di sebut addarij. Dalam bahasa Yunani
dialek T-nya disebut katharevusa, yaitu bahasa Yunani mumi dengan ciri-ciri
linguistik Yunani klasik: sedangkan dialek R-nya disebut dhimotiki, yakni bahasa
Yunani lisan. Dalam bahasa Jerman-Swis dialek T-nya adalah Jerman standar, dan
dialek R-nya adalah berbagai dialek bahasa Jerman. Di Haiti, yang menjadi dialek T-
nya adalah bahasa Prancis, sedangkan dialek R-nya adalah bahasa Kreol-Haiti, yang
dibuat berdasarkan bahasa Prancis (Tentang Kreol lihat kembali Bab 5).

10
C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Bagaimana hubungan antara diglosia dan bilingualisme sebenarnya secara
tidak langsung sudah dibicarakan di atas, tetapi untuk lebih jelas dan lebih eksplisit
berikut ini kita bicarakan lagi. Kalau diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan
fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah
keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman
(1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu seperti tampak
dalam bagan berikut.
Dari bagan itu tampak adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan
diglosia, yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3)
diglosia tanpa bilingualisme, dan (4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia. Di dalam
masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan
diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa
R. Kedua ragam atau bahasa itu akan digunakan menurut fungsinya masing-masing,
yang tidak dapat dipertukarkan. Contoh masyarakat tutur yang bilingual dan diglosis
adalah di Paraguay. Di sana bahasa Guarani, salah satu bahasa asli Amerika, berstatus
sebagai bahasa R, dan bahasa Spanyol yang merupakan bahasa Indo Eropa berstatus
sebagai bahasa T. Keduanya digunakan menurut fungsinya masing-masing. Bahasa
Guarani untuk komunikasi santai, percakapan sehari-hari dan informal; sedangkan
bahasa Spanyol untuk komunikasi resmi atau formal.
Di dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah
individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan satu bahasa
untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka
dapat menggunakan bahasa yang mana pun untuk situasi dan tujuan apapun. Contoh
masyarakat yang bilingual tetapi tidak disertai diglosia adalah masyarakat di
Montreal, Kanada, seperti sudah kita bicarakan sebelum ini.
Suatu masyarakat yang pada mulanya bilingual dan diglosis, tetapi kemudian
berubah menjadi masyarakat yang bilingual tetapi tidak diglosis dapat terjadi apabila
sifat diglosisnya "bocor". Dalam kasus ini sebuah variasi atau bahasa "merembes" ke
dalam fungsi yang sudah dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Hasil perembesan
ini mungkin akan menyebabkan terbentuknya sebuah variasi baru (kalau T dan R
mempunyai struktur yang sama); atau penggantian salah satunya oleh yang lain (kalau
T dan R tidak sama strukturnya). Sebuah contoh bilingualisme tanpa diglosia di mana
R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman. Di sana, peralihan ke

11
bahasa Prancis dari bahasa Jerman berlangsung dengan disertai meluasnya
bilingualisme, di mana masing-masing bahasa dapat digunakan untuk berbagai tujuan.
Di dalam masyarakat yang berciri diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat
dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan
kelompok ruling group yang hanya bicara dalam bahasa T. Sedangkan kelompok
kedua, yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya
berbicara bahasa R. Situasi diglosia tanpa bilingualisme banyak kita jumpai di Eropa
sebelum Perang Dunia Pertama. Misalnya, dalam satu periode sejarah Czar Rusia,
para bangsawan hanya berbicara dalam bahasa Prancis, sedangkan masyarakat Rusia
yang lebih luas hanya berbicara dalam bahasa Rusia dengan berbagai dialeknya.
Sesungguhnya masyarakat yang diglosis tanpa disertai bilingualisme tidak dapat
disebut sebagai satu masyarakat tutur, sebab kedua kelompok tersebut tidak
berinteraksi; kecuali secara minim dengan menggunakan interpreter atau
menggunakan bahasa pijin.
Pola keempat dalam pembicaraan hubungan diglosia dan bilingualisme adalah
masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingualisme. Di dalam masyarakat yang
tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi
serta dapat digunakan untuk segala macam tujuan. Keadaan ini hanya mungkin ada
dalam masyarakat yang primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sangat sukar
ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual ini akan mencair (self-
liquidating) apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain (Fishman 1972:106).
Diglosia dengan bilingualisme, dan diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya
berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.
1) Perintah kepada pekerja,pelayan,dan tukan
2) Surat pribadi
3) Pembicaraan di parlemen
4) Perkuliahan di universitas
5) Percakapan dengan keluarga dan teman sejawat
6) Siaran berita
7) Sandiwara radio
8) Editorial di surat kabar
9) Komentar kartun politik
10) Puisi
11) Sastra rakyat

12
BAB II

Alih Kode Dan Campur Kode

A. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari
satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia
beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual.
penyebab terjadinya alih kode karena adanya beberapa faktor yaitu: penutur,
lawan tutur, perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke
informal dan sebaliknya, topik pembicaraan, dan untuk sekedar bergengsi.
Nanang dan Ujang, keduanya berasal dari Priangan, lima belas menit sebelum
kuliah dimulai sudah hadir di ruang kuliah. Keduanya terlibat dalam percakapan yang
topiknya tak menentu dengan menggunakan bahasa Sunda, bahasa ibu keduanya.
Sekali-sekali bercampur dengan bahasa Indonesia kalau topik pembicaraan
menyangkut masalah pelajaran. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap
masuklah Togar, teman kuliahnya yang berasal dari Tapanuli, yang tentu saja tidak
dapat berbahasa Sunda. Togar menyapa mereka dalam bahasa Indonesia. Lalu, segera
mereka terlibat percakapan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak lama
kemudian masuk pula teman teman lainnya, sehingga suasana menjadi riuh, dengan
percakapan yang tidak tentu arah dan topiknya dengan menggunakan bahasa
Indonesia ragam santai. Ketika ibu dosen masuk ruangan, mereka diam, tenang, dan
siap mengikuti perkuliahan. Selanjutnya kuliah pun berlangsung dengan tertib dalam
bahasa Indonesia ragam resmi. Ibu dosen menjelaskan materi kuliah dalam bahasa
Indonesia ragam resmi, mahasiswa bertanya dalam ragam resmi, dan seluruh
percakapan berlangsung dalam ragam resmi hingga kuliah berakhir. Begitu kuliah
selesai, dan ibu dosen meninggalkan ruang kuliah, para mahasiswa itu menjadi ramai
kembali, dengan berbagai ragam santai, ada pula yang bercakap-cakap dalam bahasa
daerah.
Dari ilustrasi itu dapat dilihat, pada mulanya Nanang dan Ujang, yang
berbahasa ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, kecuali sesekali kalau topik
pembicaraannya mengenai bahan pelajaran, mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Sewaktu Togar, yang berasal dari Tapanuli itu, masuk, maka Nanang dan Ujang
mengubah bahasa mereka dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, meskipun hanya

13
bahasa ragam santai. Demikian juga bahasa yang digunakan oleh teman-teman
mereka yang datang kemudian. Tetapi begitu ibu dosen masuk dan kuliah mulai
berlangsung, maka percakapan hanya dilakukan dalam bahasa Indonesia ragam
formal. Penggunaan ragam formal ini baru berhenti bersamaan dengan berakhirnya
jam perkuliahan. Tepatnya, begitu ibu dosen meninggalkan ruang kuliah.
Peristiwa pergantian bahasa yang digunakan dalam ilustrasi di atas dari bahasa
Sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi,
atau juga ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di
dalam sosiolinguistik.
Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan
pendapat dari para pakar. Namun, ilustrasi dan keterangan di atas telah memberi
gambaran apa yang disebut dengan alih kode.
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, "gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi". Pada ilustrasi di atas kita lihat
peralihan penggunaan bahasa dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan
Nanang dan Ujang adalah karena berubahnya situasi, yaitu dengan datangnya Togar.
Situasi "kesundaan" yang tadinya menyelimuti Nanang dan Ujang berubah menjadi
situasi "keindonesiaan" dengan adanya Togar yang tidak mengerti bahasa Sunda,
sedangkan ketiganya mengerti bahasa Indonesia. Secara sosial perubahan pemakaian
bahasa itu memang harus dilakukan, sebab adalah sangat tidak pantas dan tidak etis
secara sosial, untuk terus menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang
ketiga. Apalagi or ang ketiga itu, dalam ilustrasi di atas Togar, telah lebih dahulu
menyapa mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, alih kode
ini dapat dikatakan mempunyai fungsi sosial.
Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa,
maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa,
tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu
bahasa. Dalam ilustrasi di atas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Lengkapnya Hymes mengatakan "code switching has become a common term for
alternate us of two or more lan guage, varieties of language, or even speech styles".
Dari pendapat Appel dan Hymes di atas jelas bagi kita bahwa pengalihan dari
bahasa Sunda ke bahasa Indonesia yang dilakukan Nanang dan Ujang berkenaan
dengan hadirnya Togar, dan pengalihan dari ragam santai ke ragam resmi berkenaan
dengan berubahnya situasi dari situasi tidak formal ke situasi formal (ketika

14
perkuliahan berlangsung), adalah tercakup dalam peristiwa yang disebut dengan alih
kode. Dari ilustrasi di atas kita lihat pula bahwa pengalihan kode itu dilakukan dengan
sadar dan bersebab.
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita
kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukakan
Fishman (1976:15), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum
penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4)
perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Fishman (1976:15), yaitu "siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan, dan dengan tujuan apa". Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum
penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah (1) pembicara atau penutur, (2)
pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4)
perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.
Menurut Widjajakusumah terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa
Indonesia adalah karena :
(1) kehadiran orang ketiga
(2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis;
(3) beralihnya suasana bicara,
(4) ingin dianggap "terpelajar";
(5) ingin menjauhkan jarak;
(6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda,
(7) mengutip pembicaraan orang lain;
(8) terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia,
(9) mitra berbicaranya lebih mudah,
(10) berada di tempat umum,
(11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda,
(12) beralih media/sara bicara.

Dalam masyarakat tutur tertentu, terutama yang mengenal tingkatan sosial


bahasa (undak usuk), ada alih kode yang terjadi tidak secara drastis, melainkan
berjenjang menurut satu kontinum, sedikit demi sedikit, dari yang dekat sampai yang
jauh perbedaannya, sehingga alih kode itu tidak terasa "mengagetkan". Dalam

15
masyarakat tutur bahasa Jawa, seperti dilaporkan Soewito (1983), lazim terjadi.
Umpamanya, kalau dua remaja Jawa, putra dan putri, baru pertama kali bertemu dan
berkenalan, mula-mula kedua pihak menggunakan bahasa Jawa krama (inggil). Pihak
putra menyapa si putri dengan kata sapaan mbak, meskipun dia sadar bahwa dia lebih
tua dari yang disapa. Sebaliknya, sang putri akan menyapa dengan kata sapaan dik
meskipun dia juga sadar bahwa dia lebih muda dari yang disapanya. Kemudian
sesudah berkenalan keduanya bertambah akrab, maka mereka akan beralih kode ke
ragam madya, atau sepotong krama sepotong ngoko. Kata sapaan yang digunakan
menjadi tidak jelas; biasanya hanya "berkono-konoan" saja.

Misalnya, lha kono priye? (lha di situ (kamu) bagaimana?). Selanjutnya


setelah perkenalan mereka menjadi intim, mereka akan beralih kode lagi dengan
menggunakan ragam ngoko. Kini sang putra menyapa dengan kata sapaan dik,
sedangkan sang putri dengan kata sapaan mas. Kelak bila keduanya jadi bersuami
istri, maka terjadi lagi alih kode dengan menggunakan ragam ngoko halus. Kata
sapaan yang mereka gunakan pun berubah menjadi bu dan pak.

Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan
alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung
antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya,
seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi di atas.

Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa
atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa
asing.

B. Campur Kode
Campur kode adalah proses yang sama yang digunakan untuk membuat
bahasa pidgin, tetapi perbedaannya adalah bahasa pidgin diciptakan di dalam
kelompok-kelompok yang tidak menggunakan satu bahasa yang sama, sedangkan
campur kode terjadi ketika para penutur multilingual menggunakan satu bahasa yang
sama atau lebih.
Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan
mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat yang
bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan.
Malah Hill dan Hill (1980:122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat

16
bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, megatakan
bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah diguna kannya
dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat
tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanya. Namun, yang jelas, kalau
dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki
fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-
sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan di atas. Sedangkan di dalam campur
kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan
keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu
hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian
sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia
banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah
melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang
kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia
yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
Thelander (1976, 103) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur
kode. Katanya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa
suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa klausa maupun frase-frase yang
digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan
masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri,
maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode. Dalam hal ini
menurut Thelander selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkembangan
dari campur kode ke alih kode. Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalau ada
usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klausa atau frase-frase yang digunakan,
serta memberi fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-
masing.
Fasold (1984) menawarkan kriteria gramatika untuk membedakan campur
kode dari alih kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu
bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas
memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut
struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Untuk

17
menjelaskan keterangannya itu Fasold memberikan contoh campuran bahasa Spanyol
dan bahasa Inggris yang diangkat dari Labov (1971:45 7)
- Y cuando estoy con gonte me borrocha porque me siento (dan ketika saya dengan
orang saya mabuk sebab saya merasa)

mas happy, mas free, you know, pero si yo estoy con mucha (lebih bahagia, lebih
bebas, tahu kan, tetapi saya dengan banyak)

gente yo no estoy, you know, high, more or less (orang saya tidak, tahu kan, tinggi,
kira-kira)

- I couldn't get along with anybody (saya tidak bisa bergaul dengan siapa pun)

Berdasarkan kriteria kegramatikalan, maka dari awal sampai kata pero


merupakan serpihan bahasa Spanyol. Kata-kata happy, free, dan you know dipinjam
dari bahasa Inggris. Lalu, pernyataan high dan more or less adalah bahasa Inggris.
Klausa berikutnya sepenuhnya dalam bahasa Inggris, baik dalam kosakata maupun
gramatika. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bagian awal teks di atas sampai dengan
ungkapan more or less yang berupa if clause adalah bahasa Spanyol yang bercampur
bahasa Inggris. Alih kode ke dalam bahasa Inggris baru dimulai dengan kata I,
meskipun di depannya ada empat buah kata bahasa Inggris.

Tawaran Fasold (1984) yang sejalan dengan pendapat Thelander (1976)


tampaknya memang merupakan jalan terbaik sampai saat ini untuk membicarakan
peristiwa campur kode dan alih kode. Keduanya sukar dicari perbedaannya yang
pasti, kalau kita bersikeras untuk berpegang pada konsep alih kode dan campur kode
seperti yang sudah dikemukakan di atas. Sebagai contoh perhatikan percakapan
berikut yang dilakukan oleh para penutur dwibahasawan Indonesia - Cina Putunghoa
di Jakarta, diangkat dari laporan Haryono (1990).

Lokasi : di bagian iklan kantor surat kabar Harian Indonesia

Bahasa : Indonesia dan Cina Putunghoa

Waktu : Senin, 18 November 1988, pukul 11.00 WIB Penutur : Informan III (inf) dan
pemasang iklan (PI)

18
Topik : memilih halaman untuk memasang iklan

Inf III : Ni mau pasang di halaman berapa? (Anda, mau pasang di halaman berapa?)

PI : Di baban aja deh (di halaman delapan sajalah)

Inf III : mei you a ! Kalau mau di halaman lain; baiel di baban penuh Iho! Nggak ada
lagi! (kalau mau di halaman lain. Hari selasa halaman delapan penuh lho. Tidak ada
lagi)

PI : na wo xian gaosu wodejingli ba. Ta yao de di baban a (Kalau demikian saya


beritahukan direktur dulu. Dia maunya di halaman delapan)

Inf 111 : Hao, ni guosu ta ba. Jintian degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru
datang lagi (Baik, kamu beri tahu dia. Iklan hari ini sangat banyak. Kalau mau kamu
harus segera datang lagi.

Menurut Haryono, kedua partisipan itu sudah akrab. Hal itu tampak dari
penggunaan pronomina persona kedua tunggal ni "kamu". Kata ganti yang sama yang
menyatakan hormat adalah Xiansheng. Dilihat dari segi penggunaan bahasa Cina
Putunghoa, yaitu bahasa Cina dialek Beijing (yang disepakati untuk digunakan
sebagai bahasa pergaulan umum atau sebagai alat komunikasi resmi di RRC dan
Taiwan), tampaknya tidak begitu menyimpang dari kaidah yang ada. Tetapi dari segi
bahasa Indonesia, digunakan bahasa Indonesia dialek Jakarta, bukan bahasa Indonesia
ragam baku. Di sini kita lihat bahwa meskipun pembicaraan tentang pemasangan
iklan adalah masalah formal, tetapi nyatanya ragam bahasa yang digunakan bukan
ragam formal melainkan ragam nonformal Dengan demikian dapat dikatakan telah
terjadi penyimpangan pemakaian fungsi bahasa Maka, masalah kita sekarang adalah
mengapa bisa terjadi begitu, yakni ragam bahasa nonformal digunakan pada situasi
formal. Kiranya hal ini berkenaan dengan tingkat kemampuan berbahasa si penutur,
yang baru bisa berbahasa Indone sia ragam tak formal (dalam hal ini bahasa Indonesia
dialek Jakarta), dan belum dapat menggunakan ragam formal. Ini tentunya merupakan
satu "kesalahan" dalam sosiolinguistik.

Dari contoh peristiwa tutur yang diberikan Haryono itu, akhirnya bisa
dikatakan, bahwa menentukan beda peristiwa alih kode dan campur kode memang
tidak mudah. Dalam peristiwa tutur itu, bila mau dikatakan telah terjadi alih kode

19
berdasarkan rumusan yang telah dibicarakan adalah tidak mudah, sebab peralihan
bahasa yang terjadi tidak ada sebabnya, kecuali kemampuan para partisipan terhadap
ragam formal bahasa Indonesia yang memang masih rendah. Kalau mau dikatakan
telah terjadi suatu campur kode juga agak sukar sebab tidak jelas mana bahasa inti dan
mana yang merupakan serpihan. Oleh karena itu, barangkali, hal ini lebih tepat
dibicarakan dalam bab tentang interferensi. Lalu, sejalan dengan yang dibicarakan
dalam diglosia, bahwa ragam formal suatu bahasa memang harus dipelajari dalam
pendidikan formal; kiranya, para partisipan di atas tidak pernah mengalami
pendidikan itu.

20
BAB III

Interferensi dan Integrasi

Interferensi dan Integrasi merupakan dua topik dalam sosiolinguistik yang terjadi
sebagai akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang
multilingual. Keduanya juga erat berkaitan dengan masalah alih kode dan campur kode
yang sudah kita bicarakan pada bab yang lalu. Kalau alih kode adalah peristiwa
penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab
tertentu dan dilakukan dengan sadar, sedangkan campur kode adalah digunakannya
serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang mungkin
memang diperlukan, sehingga tidak dianggap suatu kesalahan atau penyimpangan, maka
dalam peristiwa interferensi juga digunakannya unsur unsur bahasa lain dalam
menggunakan suatu bahasa yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang
dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Kalau dilacak penyebab terjadinya
interferensi ini adalah terpulang pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa
tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Biasanya interferensi ini terjadi dalam
menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu
adalah bahasa pertama atau bahasa ibu.

A. Interferensi
Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk
menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya
persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh
penutur yang bilingual. Seperti sudah disebutkan dalam bab yang lalu, penutur yang
bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian; dan
penutur multilingual, kalau ada, tentu penutur yang dapat menggunakan banyak
bahasa secara bergantian. Namun, kemampuan setiap penutur terhadap Bl dan B2
sangat bervariasi. Ada penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya, tetapi ada
pula yang tidak, malah ada yang kemampuannya terhadap B2 sangat minim, Penutur
bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap B1 dan B2 sama baiknya, tentu tidak
mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan,
karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri sendiri. Penutur
bilingual yang mempunyai kemampuar. seperti ini oleh Ervin dan Osgood (1965:139)
disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap

21
B2 jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap Bl-nya disebut
berkemampuan bahasa yang majemuk. Penutur yang mempunyai kemampuan
majemuk ini biasanya mempunyai kesulitan dalam menggunakan B2-nya karena akan
dipengaruhi oleh kemampuan B1-nya. Bagaimana proses berbahasa bagi penutur yang
berkemampuan majemuk dan sejajar ini dapat dibagankan sebagai berikut, (diangkat
dengan sedikit modifikasi dari Ervin dan Osgood).

Rm im rml-----------------------------iml

IA IB RA RB RB RA

Rm I - - - - - - - - - - - - - - - - - - im 2

IB
RB

Dalam diagram di atas ada ditunjukkan proses interpretasi yaitu gerak dari
isyarat (1) ke interpretasi. Sebaliknya, ada juga proses representasi atau proses
pengungkapan, yaitu gerak dari R ke I. Baik dalam proses interpretasi maupun proses
representasi bisa terjadi interferensi. Dalam hal ini interferensi yang terjadi dalam
proses interpretasi disebut interferensi reseptif, yakni berupa penggunaan bahasa B
(dalam diagram di atas) dengan diresapi unsur unsur bahasa A. Sedangkan interferensi
yang terjadi pada proses representasi disebut interferensi produktif. Wujudnya berupa
penggunaan bahasa A tetapi dengan unsur dan struktur bahasa B.

Interferensi dalam bidang morfologi, antara lain, terdapat dalam pembentukan


kata dengan afiks. Afiks-afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam
bahasa lain. Umpamanya dalam bahasa Belanda dan Inggris ada sufiks-isasi, maka
banyak penutur bahasa Indonesia yang menggunakannya dalam pembentukan kata
bahasa Indonesia, seperti neonisasi, tendanisasi, dan turinisasi. Bentuk-bentuk

22
tersebut merupakan penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia, sebab
untuk membentuk nomina proses dalam bahasa Indonesia ada konfiks pe-an. Jadi,
seharusnya peneonan, penendaan, dan penurian. Secara aktual data ini kini belum ada.
Contoh lain dalam bahasa Arab sufiks -wi dan -ni untuk membentuk adjektif, maka,
banyak penutur bahasa Indonesia yang menggunakan sufiks itu seperti pada kata-kata
manusiawi, bahasawi, surgawi, dan gerejani. Penggunaan bentuk-bentuk kata seperti
ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan dalam bahasa Indonesia baku juga
termasuk interferensi, sebab imbuhan yang digunakan di situ berasal dari bahasa Jawa
dan dialek Jakarta. Bentuk yang baku adalah tertabrak, terjebak, terlalu kecil, dan
terlalu mahal.

Interferensi dalam bidang sintaksis, kita ambil contoh kalimat dalam bahasa
Indonesia dari seorang bilingual Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi
kalimat itu "Di sini toko Laris yang mahal sendiri" (diangkat dari Djoko Kentjono
1982). Kalimat bahasa Indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa
Jawa bunyinya adalah "Ning kene toko Laris sing larang dhewe". Kata sendiri dalam
kalimat bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata Jawa dhewe. Kata
dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain, memang berarti 'sendiri', seperti terdapat
dalam kalimat "Aku dhewe sing teko" (saya sendiri yang datang), dan "Kowe krungu
dhewe?" (apakah kamu mendengarnya sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di
antara kata sing dan adjektif adalah berarti 'paling', seperti sing dhuwur dhewe 'yang
paling tinggi, dan sing larang dhewe 'yang paling mahal'. Dengan demikian dalam
bahasa Indonesia baku kalimat tersebut di atas seharusnya berbunyi "Toko Laris
adalah toko yang paling mahal di sini". Contoh lain, struktur kalimat bahasa
Indonesia, "Makanan itu telah dimakan oleh saya" adalah dipengaruhi oleh bahasa
Sunda, karena kalimat Sundanya adalah, "Makanan teh atos dituang ku abdi". Dalam
bahasa Indonesia baku susunannya haruslah menjadi, "Makanan itu telah saya
makan".

Penggunaan serpihan kata, frase, dan klausa di dalam kalimat dapat juga
dianggap sebagai interferensi pada tingkat kalimat. Perhatikan serpihan serpihan dari
bahasa lain yang terdapat dalam kalimat-kalimat bahasa Indonesia berikut!

- Mereka akan married bulan depan.

23
- Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja (Nah
karena saya sudah benar-benar baik dengan dia, maka saya tanda tangani saja)

- Yah apa boleh buat, better laat dan noit (Yah apa boleh buat, lebih baik terlambat
daripada tidak sama sekali) Pimpinan kelompok itu selalu mengatakan education
is necessary for

- life (Pemimpin kelompok itu selalu mengatakan, bahwa pendidikan adalah perlu
dalam kehidupan).

Melihat contoh-contoh di atas, mungkin timbul pertanyaan pada Anda, apa


bedanya interferensi dengan campur kode, sebab contoh-contoh tersebut dapat juga
dikategorikan sebagai campur kode. Dari uraian pada bab terdahulu sudah
dikemukakan bahwa campur kode adalah penggunaan serpihan serpihan dari bahasa
lain yang bisa berupa kata atau frase, dalam menggunakan suatu bahasa. Contoh di
atas adalah kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat serpihan dari
bahasa Inggris, Jawa, dan Belanda. Oleh karena itu, jawaban terhadap pertanyaan di
atas adalah barangkali begini: campur kode mengacu pada digunakannya serpihan-
serpihan bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa tertentu, sedangkan
interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa
dengan memasukkan sistem bahasa lain, yang bagi golongan puris dianggap sebagai
suatu kesalahan.

Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-


bahasa Nusantara berlaku bolak-balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki
bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa-bahasa daerah.
Tetapi dengan bahasa asing, bahasa Indonesia hanya menjadi penerima dan tidak
pernah menjadi pemberi. Lihat bagan dari Soewito (1983) berikut!

Bahasa Bahasa
Asing Daerah

AI Bahasa D1
Indonesia
A2 D2

A3,dst D3,dst
24
Sehubungan dengan adanya bahasa yang "kaya" dengan kosakata (seperti
bahasa Inggris dan bahasa Arab), dan bahasa yang masih berkembang yang
kosakatanya belum banyak, timbul pertanyaan, apakah hanya bahasa "kaya" yang
yang bisa menjadi donor, dan bahasa "miskin" hanya menjadi resepien, ataukah
sebaliknya: bahasa "miskin" juga dapat menjadi donor terhadap bahasa "kaya".
Menurut logika, memang hanya bahasa yang kayalah yang mempunyai peluang untuk
menjadi donor, sedangkan bahasa miskin hanya menjadi resepien, dan tak berpeluang
untuk menjadi bahasa donor. Namun, dalam kenyataannya, karena bahasa itu erat
kaitannya dengan budaya masyarakat penuturnya, maka dapat dikatakan (tidak sejalan
dengan pendapat Soewito) bahwa bahasa miskin pun dapat menjadi donor kosakata
kepada bahasa kaya, terutama untuk kosakata yang berkenaan dengan budaya dan
alam lingkungan bahasa donor.

B. Integrasi
Penerimaan unsur bahasa lain dalam bahasa tertentu sampai menjadi berstatus
integrasi memerlukan waktu dan tahap yang relatif panjang. Pada mulanya seorang
penutur suatu bahasa menggunakan unsur bahasa lain itu dalam tuturannya sebagai
unsur pinjaman karena terasa diperlukan, misalnya, karena dalam B1-nya unsur
tersebut belum ada padanannya (atau bisa juga telah ada tetapi dia tidak
mengetahuinya). Kalau kemudian unsur asing yang digunakan itu bisa diterima dan
digunakan juga oleh orang lain, maka jadilah unsur tersebut berstatus sebagai unsur
yang sudah berintegrasi. Umpamanya, kata Inggris research pada tahun 60-an sampai
tahun 70-an digunakan sebagai unsur yang belum berintegrasi. Ucapan dan ejaannya
masih menurut bahasa aslinya. Tetapi kemudian ucapan dan ejaannya mengalami
penyesuaian, sehingga ditulis sebagai riset. Maka, sejak itu kata riset tidak dianggap
lagi sebagai unsur pinjaman, melainkan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia,
atau kosakata bahasa Inggris yang telah berintegrasi ke dalam bahasa Indonesia.
Proses penerimaan unsur bahasa asing, khususnya unsur kosakata, di dalam
bahasa (Indonesia) pada awalnya tampak banyak dilakukan secara audial. Artinya,
mula-mula penutur Indonesia mendengar butir-butir leksikal itu dituturkan oleh
penutur aslinya, lalu mencoba menggunakannya. Apa yang terdengar oleh telinga,
itulah yang diujarkan, lalu dituliskan. Oleh karena itu, kosakata yang diterima secara
audial seringkali menampakkan ciri ketidak teraturan bila dibandingkan dengan
kosakata aslinya. Perhatikan contoh kosakata bahasa Indonesia berikut, lalu

25
bandingkan dengan bentuk aslinya. Sebelah kiri kosakata bahasa Indonesia dan
sebelah kanan bentuk aslinya.
a) Klonyo – eau de cologne
b) Dongkrak – domme kracht
c) Atret – achter uit
d) Persekot - voorschot
e) Sopir - chauffeur
f) Sirsak - zuursak
g) Pelopor - voorloper

Pengaruh yang ada dalam bahasa resepien paling-paling hanya menambah


kosakata, seperti yang terjadi dewasa ini pada bahasa Inggris. Kemungkinan kedua,
bahasa resepien mengalami perubahan sistem, baik pada subsistem fonologi,
subsistem morfologi, subsistem sintaksis, maupun subsistem lainnya. Untuk
kemungkinan kedua ini kita ambil bahasa Indonesia sebagai contoh. Sebagai bahasa
yang sedang berkembang, sistem bahasa Indonesia telah banyak mengalami
perubahan akibat peristiwa interferensi dan integrasi. Pada subsistem fonologi, dulu
bahasa Indonesia tidak mengenal atau mempunyai fonem /f/, /x/, dan /s/, tetapi kini
ketiga fonem itu telah menjadi fonem bahasa Indonesia. Dulu bahasa Indonesia hanya
memiliki pola silabel V, VK, KV, dan KVK, tetapi kini telah bertambah dengan pola
KKV, KKVK, dan KVKK. Dalam bidang morfologi dulu bahasa Indonesia tidak
mengenal bentuk-bentuk seperti ketabrak (yang ada tertabrak), kemahalan (yang ada
terlalu mahal), dan tendanisasi (yang seharusnya ada penendaan); tetapi sekarang
bentuk bentuk tersebut sudah lazim digunakan. Dalam subsistem sintaksis dulu
bahasa Indonesia tidak mengenal struktur Bapaknya si Ali sakit (yang ada adalah
Bapak si Ali sakit) dan kue itu sudah dimakan oleh saya (yang ada adalah kue itu
sudah saya makan); tetapi kini struktur kalimat seperti itu telah biasa digunakan dalam
bahasa Indonesia. Bagi Weinreich (1968:1-2). yang berpendapat bahwa interferensi
itu mengandung pengertian penyusunan kembali pola-pola bahasa donor menurut
sistem bahasa resepien, memberi penegasan bahwa bagaimanapun juga, sedikit atau
banyak, peristiwa interferensi itu akan memberi pengaruh bagi sistem bahasa
resepien. Kemungkinan ketiga, kedua bahasa yang bersentuhan itu sama-sama
menjadi donor dalam pembentukan alat komunikasi verbal baru, yang disebut dengan
istilah pijin.

26
Alat komunikasi yang disebut pijin ini terbentuk dari dua bahasa atau lebih
yang berkontak dalam satu masyarakat, mungkin kosakatanya diambil dari bahasa
yang satu dan struktur bahasanya diambil dari bahasa lain. Atau bisa juga bahasa-
bahasa tersebut sama-sama memberi kontribusi baik dalam bidang kosakata maupun
bidang tata bahasa. Pijin ini digunakan sebagai alat komunikasi yang sifatnya cepat,
terutama untuk keperluan perdagangan. Untuk komunikasi dalam keluarga para
penutur menggunakan bahasa ibu masing-masing. Jadi, pijin tidak mempunyai
penutur asli. Tidak ada yang berbahasa pertama bahasa pijin. Pijin in terjadi hampir di
seluruh tempat di mana ada kegiatan perdagangan dan ada pertemuan berbagai
penutur dari masyarakat tutur yang berbeda.

27
BAB IV

Perubahan, Pergeseran, Dan Pemilihan Bahasa

A. Perubahan Bahasa
Pertanyaan pertama yang mengusik pikiran kita dalam membicarakan masalah
perubahan bahasa adalah koma apakah perubahan bahasa itu dapat diamati atau di
observasi titik terjadinya perubahan itu tentunya tidak dapat diamati sebab perubahan
itu yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa berlangsung dalam masa waktu yang
relatif lama koma sehingga tidak mungkin di observasi oleh seseorang yang
mempunyai waktu yang relatif terbatas namun yang dapat diketahui adalah bukti
adanya perubahan bahasa itu titik ini pun terbatas pada bahasa bahasa yang
mempunyai tradisi tulis dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah
lama berlalu.
1. Perubahan fonologi
Perbahan fonologi dalam bahasa inggris ada juga yang berupa penambahan
fonem /z/. Bahasa inggris kuno dan pertengahan tidak mengenal fonem /z/ garis
miring /z/. Lalu ketika terserap kata-kata seperti azure, measure, rouge dari
bahasa Prancis, maka fonem /z/ tersebut ditambahkan dalam khazanah fonem pun
dapat kita lihat.
2. Perubahan morfologi
Perubahan bahasa dapat juga terjadi dalam bidang morfologi yakni dalam
proses pembentukan kata. Umpamanya dalam bahasa indonesia ada proses
penasaran dalam proses pembentukan kata dengan prediksi me dan pe kaidahny
adalah :
1. Apabila kedua prefiks itu di imbuhkan pada kata yang dimulai dengan
konsonan
2. Kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan
Jadi jelas dalam data tersebut telah terjadi penyimpangan kaidah, dan
munculnya alomorf menge- dan penge- para ahli tata bahasa tradisional tidak
mau menerima alomorf menge- dan penge- itu karena menyalahi kaidah dan
dianggap merusak bahasa. Namun kini kedua alomorf itu diakui sebagai dua
alomorf bahasa indonesia untuk morfem me- dan pe-. Kasus ini merupakan suatu
bukti adanya perubahan besar dalam morfologi bahasa indonesia.

28
3. Perubahan sintaksis
Perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa indonesia juga sudah dapat kita
saksikan. Umpamanya menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah kalimat
aktif transitif harus selalu mempunyai objek atau dengan rumusan lain, setiap kata
kerja aktif transitif harus selalu diikuti oleh objek. Tetapi dewasa ini kalimat aktif
transitif banyak yang dilengkapi objek seperti.
1) Reporter anda melaporkan dari tempat kejadian
2) Pertunjukan itu sangat mengecewakan
3) Sekretaris itu sedang mengetik di ruangannya
4) Dia mulai menulis sejak duduk di bangku SMP
5) kakek sudah makan tetapi belum minum

Tetap kerja aktif transitif kalimat seperti di atas menurut kaidah yang
berlaku harus diberi objek tetapi pada contoh di atas tidak ada objeknya titik

4. Perubahan Kosakata
Perubahan bahasa yang paling mudah terlihat adalah pada bidang kosakata.
Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru, hilangnya
kosakata lama aku mah dan berubahnya makna kata. Kata-kata yang diterima dari
bahasa lain disebut kata pinjaman atau kata serapan. Penyerapan atau
peminjaman ini ada yang dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya,
Tetapi ada juga melalui bahasa lain. Kata festa dari bahasa Prancis pertengahan
(Prancis modern ft dan Prancis kuno faste). Telah secara langsung diserap oleh
bahasa Inggris pertengahan, yang menjadi feast dalam bahasa inggris modern.
Oleh karena itu, kata-kata yang diterima secara audial seringkali menampakan
ciri ketidakteraturan bila dibandingkan dengan kosa kata aslinya.
5. Perubahan semantik
Perubahan semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna butir-
butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit,
perubahan yang bersifat total maksudnya kalau pada waktu dulu kata itu,
misalnya bermakna ‘A’ maka kini atau kemudian menjadi bermakna ‘B’
umpamanya kata bead dalam bahasa inggris aslinya bermakna doa, sembahyang,
tetapi bermakna tasbih, butir-butir tasbih, kata knight dalam bahasa inggris kuno
bermakna ‘bahagia’, tetapi kini bermakna ‘pandir, ‘tolol’.

29
Perubahan makna yang sifatnya meluas (broadening) maksudnya dulu, kata
tersebut hanya memiliki satu makna tetapi kini memiliki lebih dari satu makna
dalam bahasa inggris kata holiday aslinya bermakna harus suci yang berkenaan
dengan agama tetapi kini bertambah dengan makna hari libur dan kata pictures
pada mulanya hanya bermakna gambar tetapi gini juga bermakna potret dan
bioskop putih perubahan makna yang menyempit artinya kalau pada mulanya
kata itu memiliki makna yang luas tetapi kini menjadi lebih sempit maknanya.
Umpamanya kata sarjana dalam bahasa indonesia pada mulanya bermakna orang
cerdik pandai tetapi kini hanya bermakna orang yang sudah lulus dari perguruan
tinggi contoh lain kata ahli pada mulanya berarti orang yang termasuk dalam satu
golongan atau kaum tetapi kini hanya bermakna orang yang pandai dalam satu
bidang ilmu saja.
Menurut Wardhaught (1990) membedakan adanya dua macam perubahan
bahasa, yaitu perubahan internal dan rebana eksternal perubahan internal terjadi
dengan di dalam bahasa itu sendiri, seperti berubahnya sistem kronologi sistem
morfologi dan sistem sintakis. Sedangkan perubahan eksternal terjadi sebagai
akibat adanya pengaruh dari luar seperti peminjaman atau penyerapan kosakata
penambahan fonem dari bahasa lain dan sebagainya.

B. Pergeseran bahasa
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seseorang
penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat perpindahan dari
suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Kalau seorang sekelompok orang
penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan
mereka maka akan terjadi lah pergeseran bahasa ini. Pendatang atau kelompok
pendatang ini untuk keperluan komunikasi mau tidak mau harus menyesuaikan diri
dengan meninggalkan bahasanya sendiri lalu, menggunakan bahasa penduduk
setempat dalam kelompok asal mereka memang dapat menggunakan bahasa pertama
mereka tetapi untuk berkomunikasi dengan orang lain tentunya mereka tidak dapat
bertahan untuk tetap menggunakan bahasa sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus
belajar menggunakan bahasa penduduk setempat. Maka untuk berkomunikasi mereka
terpaksa harus dapat menggunakan alat seadanya dan sebisanya berikut ini telah lihat
beberapa kasus pergeseran bahasa dalam masyarakat multilingual indonesia sebagai
dari perpindahan atau mobilitas penduduk.

30
Togar dan sehat dua orang mahasiswa di malang yang berasal dari sumatera
utara ketika pertama datang di malang dekat sedikitpun tidak mengerti bahasa jawa
maka keduanya terpaksa menggunakan bahasa indonesia untuk berkomunikasi dengan
orang-orang di sekitarnya, teman-teman kuliah, teman-teman sepemondokan, dan
para tetangga jika mereka cuman berdua mereka memang dapat menggunakan bahasa
indonesia mereka yaitu bahasa Mandailing. Kemudian karena teman-teman kuliah,
teman sepemondokan, dan tetangga-tetangga, serta orang-orang lain menggunakan
bahasa jawa, keduanya pun mencoba sedikit-sedikit belajar bahasa jawa pada
mulanya mereka berbicara bahasa jawa dengan aksen batak, tetapi mulanya mereka
berbicara bahasa jawa dengan aksen batak, tetapi lama-kelamaan akan datangnya
lebih bisa berbahasa jawa dalam setiap keperluan kecuali di mana diperlukan
menggunakan bahasa indonesia akhirnya mereka berdua pun hampir tidak pernah lagi
menggunakan bahasa ibu mereka lebih lebih di tempat umum. Maka di sini telah
terjadi pergeseran bahasa kedudukan bahasa mandailing mereka meskipun bahasa
pertama telah terbesar oleh bahasa jawa yang bahasa indonesia bahasa jawa
digunakan dalam situasi tak formal sedangkan bahasa indonesia digunakan dalam
situasi formal.

C. Pemertahanan bahasa
Dari pembicaraan di atas dapat disaksikan bahasa penggunaan B1 oleh sejumlah
penutur dari suatu masyarakat yang bilangual atau multilingual cenderung menurun
akibat adanya B2 yang mempunyai fungsi yang lebih superior. Dalam kasus yang
dilaporkan Danie (1987) kita lihat menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di
minahasa timur adalah karena pengaruh penggunaan bahasa melayu manado yang
mempunyai prestasi yang lebih tinggi dan penggunaan bahasa indonesia yang
jangkauan maka hanya bersifat nasional. Namun adakalanya penggunaan B1 yang
sejumlah penutur nya tidak banyak dapat bertahan dan terhadap pengaruh penggunaan
B2 yang lebih dominan. Untuk menjelaskan ini kita ambil lapor sumarsono (1990)
mengenai pemerintahan dan penggunaan bahasa melayu lolongan di desa duluan
koma termasuk dalam wilayah kota negara bali titik dalam masyarakat menawan
selain ada B1 bahasa melayu lolongan dan B2 lama bahasa bali ada lagi B2 lain yang
disebut oleh peneliti sebagai kedua baru yang bahasa Indonesia. Kedudukan dan
status bahasa indonesia sebagai bahasa negara bahasa nasional dan bahasa persatuan
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada bahasa bali menurut pandangan

31
masyarakat pelalawan. Bahkan dianggap sebagai milik sendiri dalam kedudukan
mereka sebagai bangsa indonesia dengan demikian tampak lah bahwa pemerintahan
dan bahasa melayu lolongan terhadap bahasa indonesia menjadi lemah. Banyak dana
sosial yang tadinya menggunakan bahasa melayu lo lawan dan base balik ini
menggunakan bahasa indonesia antara lain rendah keluarga koma ke tetangga,
keakraban, keagamaan pendidikan perdagangan dan pemerintahan akhirnya kalau
ditanyakan apakah bahasamu indonesia kelak dapat menggeser atau memerintahkan
bahasa melayu lawan dari masyarakat golongan tidaklah dapat dijawab sekarang
sebab proses pergeseran dan proses kepunahan itu memerlukan gurun waktu yang
cukup panjang dan melalui beberapa generasi namun yang pasti dapat disebutkan
adalah bergeser ataupun nanya bahasa melayu golongan itu sangat ditentukan oleh
keputusan koma berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat melawan itu sendiri.
Menurut beberapa penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahirlah
merupakan cerminan dari sikap batinnya atau yang terdapat dalam batin selalu keluar
dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam batin banyak faktor yang mempengaruhi
hubungan sikap batin dan perilaku. Oleh karena itu namanya sikap ini yang berupa
pendirian berada dalam batin koma maka tidak dapat diamati secara empiris namun
menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap ada
dalam batin itu dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir ketik banyak penelitian
telah dilakukan terhadap yang disebut sikap itu terutama dalam kaitan nya dengan
psikologi sosial komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam
sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam
proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik kaum masuk
atau tidak suka, kerhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai
rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki
sikap positif jika sebaliknya disebut memiliki sikap negative.
Di indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain
sasaran hidup bahasa indonesia bahasa daerah dan bahasa asing titik bahasa indonesia
digunakan dalam domain ke indonesia dan atau udah main yang sifatnya nasional,
seperti dalam pembicaraan antara suku agama bahasa pengantar dalam pendidikan,
dan dalam surat menyurat dinas rumah bahasa daerah digunakan dalam domain ke
daerah dan seperti dalam upacara pernikahan, percakapan dalam keluarga daerah
koma dan komunikasi antar penutur asli daerah titik sedangkan bahasa asing
digunakan untuk komunikasi antar bangsa aku mah atau untuk keperluan keperluan

32
tertentu yang menyangkut internet kotor orang asing. Pembagian tugas ketiga bahasa
itu tampaknya jelas dan sudah menyelesaikan persoalan bagaimana harus memilih
salah satu dari ketiga bahasa itu. Namun kenyataannya pemilihan bahasa bagi orang
indonesia bahasa perlu digunakan pendekatan yang bukan semata-mata bertumpu
pada pemain sosiologis, melainkan harus dilakukan berdasarkan pendekatan psikologi
sosial. Penggunaan bahasa indonesia dan bahasa daerah di sumatera barat secara lisan
masih mendekati fungsinya untuk digunakan dalam domain-domain yang ditentukan
secara sosiologis rumah tetapi secara tulisan sudah menyimpang atau bergeser dari
domain-domain itu, karena alasan seperti yang disebutkan diatas. Dari penelitian itu
dapat disimpulkan juga bahwa pemakaian bahasa indonesia telah meluas akibat
psikologis yang dihadapi dalam pemilihan tetapi berbahasa minang kabau atau tetapi
bahasa Indonesia. Perluasan penggunaan bahasa indonesia dari hanya untuk
komunikasi antar suku dan untuk yang sifatnya nasional indonesia menjadi digunakan
juga sebagai alat komunikasi antar suku selain karena sifat-sifat bahasa indonesia itu
sendiri yang antara lain sederhana dan mudah dipelajari juga adalah karena dorongan
motivasi dan tujuan-tujuan sosial tertentu. Untuk pengembangan bahasa indonesia
hal-hal yang dibicarakan di atas koma lima luasnya penggunaan bahasa indonesia
adalah suatu positif yang menggembirakan titik tetapi di balik itu muncul pula
dampak negatifnya yang tidak menguntungkan bagi program pembinaan bahasa
indonesia titik mereka sering mendapatkan hambatan psikologis dalam menggunakan
bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa koma seringkali memaksa mereka
bolak-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa indonesia titik akhirnya
sering terjadi kalimat-kalimat yang bukan jawa dan bukan pula indonesia titik di
kalangan kelompok atasan atau intelektual karena ingin mudahnya saja.
Sejarah sosiolinguistik hal tersebut tidak akan menjadi masalah, mungkin
dalam penelitian sosiolinguistik tetapi bagi pembinaan bahasa indonesia berbagai
bahasa nasional dan bahasa negara tentu merupakan masalah besar, sebab hal itu
merupakan peristiwa perusakan bahasa indonesia tidak diharapkan. Penutur yang
memiliki sikap bahasa positif terhadap bahasa indonesia koma tentu tidak akan
melakukan pencampuran bahasa. Dia akan menggunakan bahasa indonesia secara
cermat dan benar.

33
BAB V

Sikap Bahasa Dan Pemilihan Bahasa

A. Sikap Bahasa
Menurut banyak penelitian tidak selalu yang dilakukan secara lahirlah
merupakan cerminan dari sikap batinnya atau yang terdapat dalam batin selalu keluar
dalam bentuk perilaku yang sama ada dalam batin banyak faktor yang mempengaruhi
hubungan sikap batin dan perilaku. Oleh karena itu namanya sikap ini yang berupa
pendirian berada dalam batin koma maka tidak dapat diamati secara empiris namun
menurut kebiasaan jika tidak ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi sikap ada
dalam batin itu dapat diduga dari tindakan dan perilaku lahir ketik banyak penelitian
telah dilakukan terhadap yang disebut sikap itu terutama dalam kaitan nya dengan
psikologi sosial komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam
sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam
proses berpikir. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik kau masuk
atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan titik jika seseorang memiliki
nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan koma maka orang itu dikatakan
memiliki sikap positif jika sebaliknya disebut memiliki sikap negative.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif terhadap bahasa indonesia Halim
(1978:7) berpendapat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk mengubah sikap negatif
itu menjadi sikap bahasa yang positif adalah dengan pendidikan bahasa yang
dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma bahasa, di samping norma-
norma sosial dan budaya yang ada di dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Namun apakah berhasil masih tergantung lagi pada motivasi belajar siswa koma yang
banyak ditentukan oleh sikap siswa terhadap bahasa yang sedang dipelajari.
Menurut Lambert (1967) motivasi belajar ini mungkin berorientasi pada
perbaikan nasib yang disebutnya orientasi instrumental dan mungkin juga berorientasi
pada keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari yang
lalu disebut orientasi interaktif. Orientasi instrumental banyak terjadi pada bahasa-
bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas banyak di kebutuhan dan menjanjikan
nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa inggris bahasa perancis dan bahasa jepang
sedangkan orientasi intergratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu
masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi yang tetapi bahasa bahasanya hanya
digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu titik dari

34
pembicaraan mengenai jika bahasa di atas dapat dilihat bahwa jika bahasa juga bisa
mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa dan bukan bahasa lain
dalam masyarakat yang bilangual dan multilingual.

B. Pemilihan Bahasa
Di indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain
sasaran hidup bahasa indonesia bahasa daerah dan bahasa asing. Bahasa indonesia
digunakan dalam domain ke indonesia and atau udah main yang sifatnya nasional,
seperti dalam pembicaraan antara suku agama bahasa pengantar dalam pendidikan,
dan dalam surat menyurat dinas rumah bahasa daerah digunakan dalam domain ke
daerah dan seperti dalam upacara pernikahan, Percakapan dalam keluarga daerah, dan
komunikasi antar penutur asli daerah.
Sedangkan bahasa asing digunakan untuk komunikasi antar bangsa atau untuk
keperluan keperluan tertentu yang menyangkut orang asing. Pembagian tugas ketiga
bahasa itu tampaknya jelas dan sudah menyelesaikan persoalan bagaimana harus
memilih salah satu dari ketiga bahasa itu titik namun kenyataannya pemilihan bahasa
bagi orang indonesia bahasa perlu digunakan pendekatan yang bukan semata-mata
bertumpu pada sosiologis, melainkan harus dilakukan berdasarkan pendekatan
psikologi sosial. Penggunaan bahasa indonesia dan bahasa daerah di sumatera barat
secara lisan masih mendekati fungsinya untuk digunakan dalam domain domain yang
ditentukan secara sosiologis rumah tetapi secara tulisan sudah menyimpang atau
bergeser dari domain domain itu, karena alasan seperti yang disebutkan diatas.
Dari penelitian itu dapat disimpulkan juga bahwa pemakaian bahasa indonesia
telah meluas akibat psikologis yang dihadapi dalam pemilihan tetapi berbahasa
minang kabau atau tetapi bahasa Indonesia. Perluasan penggunaan bahasa indonesia
dari hanya untuk komunikasi antar suku dan untuk yang sifatnya nasional indonesia
menjadi digunakan juga sebagai alat komunikasi antar suku selain karena sifat-sifat
bahasa indonesia itu sendiri yang antara lain sederhana dan mudah dipelajari juga
adalah karena dorongan motivasi dan tujuan tujuan sosial tertentu. Untuk
pengembangan bahasa indonesia hal-hal yang dibicarakan di atas, lima luasnya
penggunaan bahasa indonesia adalah suatu positif yang menggembirakan. Tetapi di
balik itu muncul pula dampak negatifnya yang tidak menguntungkan bagi program
pembinaan bahasa Indonesia. Mereka sering mendapatkan hambatan psikologis dalam
menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali

35
memaksa mereka bolak-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa
Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat yang bukan jawa dan bukan pula
Indonesia. Di kalangan kelompok atasan atau intelektual karena ingin mudahnya saja.
Secara sosiolinguistik hal tersebut tidak akan menjadi masalah malam
mungkin stupid baru dalam penelitian social linguistik tetapi bagi pembinaan bahasa
indonesia berbagai bahasa nasional dan bahasa negara tentu merupakan masalah
besar, sebab hal itu merupakan peristiwa perusakan bahasa indonesia tidak
diharapkan. Penutur yang memiliki sikap bahasa positif terhadap bahasa
Indonesia,tentu tidak akan melakukan pencampuran bahasa titik dia akan
menggunakan bahasa indonesia secara cermat dan benar.

36
BAB VI

Bahasa Dan Kebudayaan

Teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa
itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun, mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang ada dalam budaya akan
mempengaruhi budaya dalam bahasa.

A. Hakikat Kebudayaan
Kroeber dan Kluckhom (1952) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi
mengenai kebudayaan, dan mengelompokkannya menjadi enam golongan menurut
sifat definisi itu, yakni;
1) Definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur
kebudayaan;
2) Definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan;
3) Definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku;
4) Definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan,
dan belajar hidup,
5) Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur.
6) Definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya
kebudayaan sebagai hasil karya manusia. Tanpa melihat bagaimana rumusan
definisi-definisi yang dikumpulkan itu satu per satu sudah dapat diketahui dari
pengelompokan itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua aspek dan segi
kehidupan manusia. Lalu, kalau kita lihat definisi golongan.
a. Maka bisa dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan
akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan.

37
B. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat di atas bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi,
hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di
mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun, ini bukanlah satu-satunya
konsep yang ada dibicarakan orang, sebab di samping itu ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif,
yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw
(1985) malah menyebutkan bahwa bahasa (istilah beliau kebahasaan) dan kebudayaan
merupakan dua sistem yang "melekat" pada manusia.
Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di
dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku
sebagai kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan
kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana
itu. Masinambouw(1985) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara
kebahasaan dan kebudayaan itu, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat
koordinatif. Kalau bersifat subordinat, mana yang menjadi main system (sistem
atasan) dan mana pula yang menjadi subsystem (sistem bawahan).
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua
hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan
kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat,
seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang
logam. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem
kebudayaan (lihat Silzer 1990). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan
kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat,
sehingga tidak dapat dipisahkan.
Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini
atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-
laki, sebab kalimat seperti, "Aminah akan mengawini si Dul" tidak berterima.
Sebaliknya dalam budaya Inggris, baik laki-laki maupun wanita dapat menikahi lawan
jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering
disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa
isyarat; tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan
alat komunikasi verbal.

38
C. Etika Berbahasa
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan secara luas telah kita bicarakan.
Apakah hubungan itu bersifat koordinatif atau subordinatif tidak perlu dipersoalkan
lagi, tetapi yang jelas keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling
mempengaruhi.
Kalau kita terima pendapat Masinambouw (1984) yang mengatakan bahwa
sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia di
dalam masyarakat, maka berarti di dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai
norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa
menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa
(Inggris: linguistic etiquette, lihat Geertz 1976).
Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-
norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat Oleh karena itu,
etika berbahasa ini antara lain akan "mengatur" (a) apa yang harus kita katakan pada
waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan
status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa apa yang paling
wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu; (c) kapan dan
bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang
lain, (d) kapan kita harus diam; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di
dalam berbicara itu.
Etika berbahasa ini erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-
norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat Oleh karena itu,
etika berbahasa ini antara lain akan "mengatur" (a) apa yang harus kita katakan pada
waktu dan keadaan tertentu kepada seorang partisipan tertentu berkenaan dengan
status sosial dan budaya dalam masyarakat itu; (b) ragam bahasa apa yang paling
wajar kita gunakan dalam situasi sosiolinguistik dan budaya tertentu; (c) kapan dan
bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang
lain, (d) kapan kita harus diam; (e) bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di
dalam berbicara itu.
Seseorang baru dapat disebut pandai berbahasa kalau dia menguasai tata cara
atau etika berbahasa itu. Kajian mengenai etika berbahasa ini lazim disebut etnografi
berbahasa. Dalam kajian antropologi istilah etnografi digunakan untuk pemerian
kebudayaan. Dalam hal ini memang tidak bertentangan, sebab etika berbahasa itu juga
merupakan subsistem kebudayaan.

39
BAB VII

Perencanaan Bahasa

A. Kebijaksanaan Bahasa
kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual
dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan
ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan
masalah kebahasaan yang dihadapai oleh suatu bangsa secara nasional (lihat Halim
1976). Jadi, kebijaksanaan bahasa itu merupakan satu pegangan yang bersifat
nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara membina dan
mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat digunakan
secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara
lingual, etnis, dan kultur berbeda.
Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama,
sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-
negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu
hanya ada satu bahasa saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung
tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya,
Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggris.
Tetapi di negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa
daerah akan memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai
kemungkinan untuk timbulnya gejolak sosial dan politik akibat persoalan bahasa itu.
Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang
dari 400 buah, agak beruntung sebab masalah-masalah kebahasaan yang bisa terjadi di
negara lain, secara historis telah agak diselesaikan sejak agak lama. Secara politis di
Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu (1) bahasa nasional Indonesia, (2) bahasa
daérah, dan (3) bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk
menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para pemimpin perjuangan Indonesia,
berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah
digunakan secara luas sebagai lingua franca di seluruh Nusantara dan sistemnya
cukup sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa Melayu itu menjadi
bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan memberinya nesia yang terjadi pada
tanggal 28 Oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut nama bahasa Indonesia.

40
Peristiwa pengangkatan bahasa Indo Soempah Pemoeda itu tidak pernah
menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia,
meskipun jumlah penuturnya lebih banyak berlipat ganda. Kemudian, penetapan
bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam Undang-Uundang Dasar 1945 pun
tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam
menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan bahasa asing dapat terlaksana dengan mulus Bahasa Indonesia
yang ditetapkan, sesuai dengan kedudukannya, sebagai lambang kebanggaan nasional,
dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa; bahasa daerah
bekerja sebagai lambang kedaerahan dan alat komunikasi.
Dari pembicaraan di atas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan
usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat
fungsi dan status bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar
komunikasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain
memberi keputusan mengenai status, kedudukan, dan fungsi suatu bahasa,
kebijaksanaan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi
bahasa itu yang biasa disebut korpus bahasa.
Korpus bahasa ini menyangkut semua komponen bahasa, yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, kosakata, serta sistem semantik Komponen ini harus juga
diperhatikan agar kebijaksanaan kebahasaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas.
Selanjutnya segala masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan
kebijaksanaan harus segera dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.
B. Perencanaan Bahasa
Istilah perencanaan bahasa (language planning) mula-mula digunakan oleh
Haugen (1959) pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah
yang diinginkan oleh para perencana. Menurut Haugen selanjutnya, perencanaan
bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang
diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah
untuk mempengaruhi masa depan. Sebagai contoh usaha perencanaan itu disebutkan
pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan
dapat dijadikan pedoman bagi para penutur di dalam masyarakat yang heterogen.
Keberhasilan perencanaan bahasa itu sangat bergantung pada jaringan
komunikasi sosial yang ada dan pada mobilisasi kekuatan sosial. Tauli (1968, yang
juga dikutip Moeliono 1983), yang melihat bahasa terutama sebagaimemberi

41
pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut korpus bahasa.
Korpus bahasa ini menyangkut semua komponen bahasa, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis, kosakata, serta sistem semantik Komponen ini harus juga diperhatikan agar
kebijaksanaan kebahasaan itu bersifat menyeluruh dan tuntas. Selanjutnya segala
masalah kebahasaan yang ditemukan dalam menetapkan kebijaksanaan harus segera
dirumuskan dalam bentuk perencanaan bahasa.
Evaluasi terhadap pembakuan bahasa memang sukar sekali dilakukan, sebab
masalah dalam pembakuan bahasa termasuk masalah yang kompleks, sukar
dirumuskan, sukar memecahkan, dan tidak mengenal aturan berhenti. Oleh karena itu,
seperti kata Rittel dan Weber (1973, yang dikutip Rubin 1983,338, dan Gunarwan
1983). masalah-masalah pembakuan bahasa tersebut termasuk masalah masalah
kejam (wicked problems). Pembawaan bahasa itu sendiri, menurut Amran Halim
(1979:29) merupakan proses yang berlangsung terus menerus selama bahasa yang
bersangkutan tetap digunakan oleh masyarakat yang hidup dan tumbuh, dan
berkembang sedemikian rupa, sehingga sebenamya tidak dapat dikatakan dengan pasti
di mana pangkal dan di mana ujungnya.

42
Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2010. “Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta” : PT. Rineka Cipta.
Aslinda. 2006. Pengantar Sosiolinguistik. Jakarta. Gramedia.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta. Gramedia.
Rahardi, Kunjana R. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta. Gramedia.
Rahardi, Kunjana R. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Umar, Azhar & Delvi Napitupulu. 1994. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik
(Suatu Pengantar). Medan: Pustaka Widyasarana.
Herlina, Eli. 2007.Kajian Penggunaan Gaya Bahasa Sarkasme pada Tuturan Remaja
(Suatu Tunjauan Sosiolinguistik).

43
44
45

Anda mungkin juga menyukai