Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RETORIKA

RETORIKA POLITIK
Dosen Pengampuh : Nasrullah La Madi, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:
ALFANDI UMATERNATE

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
2020
1.1 Definisi Retroika Politik

Retorika (dari bahasa Yunani: ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik


pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter
pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah
dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara
umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan
menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato,
persuader (orang yang mempersuasi) dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam
merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke
(1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun,
definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi
di universitas. 

Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan
di atas) dan praktik kontemporer dari retorika yang termasuk analisis atas teks tertulis dan visual.
1.2 Sejarah Retroika Politik

Menurut sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di


Yunani pada abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya yang asli, retorika
adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni berpidato.
Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk menyampaikan pikiran dan
gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan
tertentu.

Orang yang pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah


orang Yunani Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM).
Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu:

(1) Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan


(2) Diegesis atau narration: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang
akan dikemukakan .
(3) Agon atau  argument: bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok
persoalan yang dikemukakan itu.
(4) Parekbasis atau digression: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-
keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi
(5) Peroration: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.

Sudah sejak permulaan perkembangan retorika timbul perbedaan pendapat (Icontroversiae,


kontroversi) mengenai beberapa hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut mrnyangkut
persoalan pemakaian unsur stilistika, maslah hubungan antara retorika dan moral, dan
masalah pendidikan.

Kontroversi pertama menyangkut persoalan : apakah perlu mempergunalkan unsur-


unsur stilistika dalam pidato-pidato. Ada tiga aliran, yuaitu yangt menyetujui penggunaan unsure
stilistika, yang menolak dan yang berada diluar kedua aliran pertama
Gorgias dari liontini, yang mula-mula memperkenalkan retorilka pada orang Athena( sekitar
427 SM), berpendapat bahwa perlu menggunakan upaya-upaya stilistika dalam retorika. Sebab
itu gaya yang digunakan untuk pidato penuh dengan upaya-upaya stilistika: epitet-epitet penuh
hiasan, anti tese-antitese, terminasi (akhir kata) yang penuh ritmis dan bersajak. Nilai antitese-
antitese tersebut dapat dilihat kelak dalam pidato maupun narasi historis dari Thucydides, dan
dalam argumentasi yang berbentuk sandiwara karangan Euripides. Pemakaian unsur stilistika
yang berlebihan ini kjemudian menimbulkan reaksi yang keras dan dengan sendirinya
melahirkan aliran yang kedua. Aliran ke dua ini menghendaki suatu bentuk gaya yang sederhana,
seperti karya yang tampak pada lysias. Sebenaranya kedua aliran ini mencari criteria bagi
keunggulan karya mereka dalam hal: kejelasan, kesan, kepatutan, keindahan dan kemunian
bahasa. Seorang tokoh lain yang berada diluar kedua tokoh tesebut adalah Isocrates. Sedangkan
Demosthenes berusaha untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bertentangan itu.

Kontroversi kedua menyangkut relasi antara retorika dan moral: apakah alam pidato juga
diinahkan masalah moral.

Dalam pidato biasanya tidak dikemukakan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Pidato


lebih banyak berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan, karena pendengar biasanya adalah
orang-orang yang tidak berpendidikan, atau orang yang tidak senang mendengarkan pidato.
Sebab itu gorgias perpendirian bahwa seorang orator harus menyampaikan bukti-bukti baik
mengenai keadilan maupun ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa
rtorika merupakan alat yang mubazir (amoral)., pendirian ini dikecam oleh lawan-lawanya yang
beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang essensial karena
kebenaran dan keadilan member kemungkinan yang paling baik bagi persuasi. Pandangan
terakhir ini kemudian diperkuat oleh aistoteles. Pandangan ini memberikan sumbangan yang
besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator
telah member perimbangan yang berlawanan bagi persuasi, sebab itu pengauh georgias tetap
bertahan juga sampai jaman renaissances.
Kontroversi yang ketiga yang juga sudah muncul sejak permulaan perkembangan retorika
adalah masalah pendidikan. Kontroversi yang kedua mempunyai kaitan dengan kontroversi yang
ketiga ini. Ahli-ahli retorika yang mempunyai tanggungjawab moral dalam retorika, mengkritik
rekan-rekan mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka, terutama
dlam pengadilan. Akibatnya mereka juga tidak mencapai kata sepakat untuk topic manasaja yang
harus dimasukkan kedalam mata pelajaran retorika dipusat-pusat pendidikan. Isocrates misalnya
(pertengahan abad ke-IV SM) berpendapat bahwa aspek-aspek politik dapat dimasukkan dalam
pelajaran retorika. Pendapatnya ini dituangkan dalam karyanya antidosis. Karangan plato (1428-
348 SM) gorgias dan Phaedrus membicarakan juga topic yang dipertentangkan itu. Gorgias
membicarakan masalah etika dan politik, sedang Phaedrus membicarakan etika dan mistik.

Dalam Phaedrus karya plato, Socrates memaklumkan bahwa retorika adalah suatu seni yang
dangkal yang dapat memperoleh nilai kalau amatanya mengambil dalam alam bagian filsafat.

Terlepas dari semua pendapat dan kontroversi tersebut diatas, perlu dikemukakan bahwa


karya yang terkenal dari jaman yunani kuno ini adalah karya aristoteles (384-322 SM) yang
bejudul rethorika. Dalam karya ini aristoteles mengumumkan bahwa logika formal adalah
dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dawn legislatif maupun di
pengadilan. Dalam buku ini ia membedakan tiga jenis pidato yang didasarkan pada pendngarnya,
yaitu: (1) pidato yudisial (legal) atau forensic, yaitu pidato mengenai perkara dipengadilan
mengenai apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya para hakim atau yuri
dalam suatu mahkamah pengadilan; (2) pidato deliberative atau politik (suasoria), yaitu pidato
yang berisi nasehat yang disampaikan para penasehat mengenai hal-hal yang patut atau tidak
patut dilaksanakan.

Para pendengar adalah anggota badan legislatif atau eksekutif; (3) pidato epideiktik atau
demonstrative, yaitu pidato-pidato baik untuk pementasan, ucapan-ucapan ibadah maupun bukan
ibadah biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai hal-hal yang terjadi sekarang.
1.3 Jenis Retroika Politik

Dalam Karyanya, Retorika, Aristoteles mengidentifikasi ada tiga jenis retorika yang
sering digunakan dalam peristiwa politik antara lain:

1.Retorika deliberatif digunakan untuk mempengaruhi orang-orang dalam masalah kebijakan


pemerintah.

2.Retorika forensik/yuridis yang berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu sebagai upaya
menunjukkan bersalah atau tidak bersalah seseorang yang bisanya digunakan dalam proses
pengadilan.

3.Retorika demonstratif adalah epideiktik, wacana yang memuji dan menjatuhkan.


Retorika demonstratif ini digunakan untuk memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang,
suatu lembaga, atau gagasan. Menurut Aristoteles, kampanye politik biasanya penuh dengan
retorika demontratif dimana satu pihak menantang kualifikasi pihak lain bagi jabatan di dalam
pemerintahan.

Dukungan editorial oleh surat kabar, majalah, televisi dan radio juga mengikuti garis
retorika demonstratif, digunakan untuk memperkuat sifat-sifat positif kandidat yang didukung
dan sifat-sifat negatif lawannya.Teun van Dijk memandang retorika berita terkait erat dengan “
bagaimana jurnalis mengatakan sesuatu”.

Pendapat Aristoteles dan Dijk didukung Gill and Karen Whedbee yang berpendapat
retorika memiliki beragam pengertian, tetapi semuanya mendefinisikan retorika sebagai tipe
instrumental teks berita, wahana menggiring pemahaman pembaca (audiance). Asumsinya tidak
semua individu atau kelompok masyarakat memiliki kesamaan akses ke saluran komunikasi
(media), karena teks berita bisa menjadi hegemonik. Dalam relasi seperti itu retorika cenderung
dijadikan alat dominasi atau menindas misalnya, ketika teks berita senatiasa berperspektif
tunggal untuk memahami berbagai peristiwa.
Media pasti mempunyai retorika tertentu ketika memberitakan suatu masalah. Hal ini
dapat diamati dari bingkai berita yang ditonjolkan. Menyusun orasi dari juru kampanye menjadi
berita adalah suatu strategi wacana yang dilakukan jurnalis. Bagi jurnalis yang mendukung satu
kandidat, komentar kandidat, jurkam atau pendapat tokoh mengenai satu kandidat cenderung
akan dikutip apa adanya dalam teks berita. Sebaliknya jika jurnalis tidak setuju, maka komentar
atau ucapan kandidat itu akan tetap dikutip dalam teks berita, tetapi biasanya dengan
mengkontraskannya dengan pendapat yang berseberangan. Dengan cara itu, jurnalis secara tidak
langsung mensugestikan kepada pembaca bahwa komentar calon kandidat atau tokoh itu tidak
benar, dan tidak didukung banyak orang.
1.4 Contoh Kasus

Seperti yang di bahas beberapa bulan bahkan beberapa tahun yang lalu, wacana hukuman
mati bagi pelaku tindak pidana korupsi yang diusulkan Menteri Hukum dan HAM Patrialis
Akbar dianggap hanya permainan politik. Banyak yang menuding wacana tersebut hanyalah
sebuah akal-akalan agar dapat mengecoh konsentrasi masyarakat dan mencari simpatik publik
untuk sejenak melupakan masalah-masalah yang lainnya di Negara ini. Dan sampai saat ini
retorika politik masih dilakukan oleh beberapa pihak untuk memanipulasi atau mempengaruhi
khalayak luas di luar sana.

Anda mungkin juga menyukai