Anda di halaman 1dari 22

ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEADILAN SOSIAL

DAN EKONOMI

(TEMA D)
Makalah
Diajukan Sebagai Syarat Mengikuti
Latihan Kader II HMI Cabang Pontianak Tahun 2021

Disusun oleh:
MA’RIE MUHAMMAD
HMI CABANG GOWA RAYA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)


CABANG GOWA RAYA
Tahun 1443 H / 2021 M
muqaddimah

ATAS NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

Bersyukur dan Ikhlas Bahagia HMI

Segala puji bagi Allah yang maha Terpuji, yang pertama dan utama, Sang Pemilik
semesta Alam, Dia yang Maha Melihat tapi tak terlihat, Dia yang Maha mengetahui tapi
tak diketahui keberadaan Nya, Dia yang maha segalaNya tapi kita sering lupa akan
segala Tentangnya.
Dan juga penulis sampaikan sholawat dan keselamatan kepada sang Revolusioner
peradaban, putra mahkota dunia sang pangeran rembulan utusan Allah S.W.T
NABI MUHAMMAD S.A.W
Para Ahlul Bait pun Para Sahabat setia-Nya.
Tak terlupakan salam hormat saya sampaikan kepada MOT (Master Of Training) yang
telah kenyang makan asam garam keorganisasian, semoga Allah membalas segala budi
baik kalian.

Penyusun
Ma’rie Muhammad

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 3

C. Tujuan............................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 4

A. Hakikat Keadilan Dalam Islam ..................................................... 4

B. Konsep Keadilan Dalam Islam...................................................... 8

C. Konsep Keadilan Ekonomi............................................................ 11

BAB III PENUTUP......................................................................................... 16

A. Kesimpulan.................................................................................... 16

B. Saran.............................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan
kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah
kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi
prinsip kegotong-royongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah
amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (An-Nisa: 58). Ketaatan
rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib
dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah
termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya
(pengajar tentang Kebenaran) (An-Nisa’-59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati
ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan Yang Maha
Esa (Al-Maidah:45).
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan
keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaan di antara anggota masyarakat.
Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki.
Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan
perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan
golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di
satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak
istimewa di lain pihak (Al-Hadid:20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong
timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam.
Proses selanjutnya -yaitu bila sudah mencapai batas maksimal- pertentangan golongan itu
akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya (Al-Isra’:16).
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan akan terjadi dalam
kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-
perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam
kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan
adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi
pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau
korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin
berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara
1
kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti
menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak
terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam
masyarakat (An-Nisa’:160-161, Ash-Shu’ara’:182-183, Al-Baqarah:279, Al-Qasas:5).
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme.
Kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang
mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara
tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup
kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan
kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat
(Al-Baqarah:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah
penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari
kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (Al-Humazah:1-3).
Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata
masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk
mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus
menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya
dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-
restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu.
Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf
dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang
munkar diharamkan) (Ali-Imran:110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang
tidak menjalankan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam hal ini pengakuan
berketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak
berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum
menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (As-Saf:2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat
tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda.
Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu
selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia
menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah
menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan
kebengisan.
2
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar
sebagaimana diterapkan di muka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap
pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan
adanya Tuhan. Sembahyangmerupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil
peringatan kepada Tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan
dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan
kemungkaran (Al-Ankabut:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar
(Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti
menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan agama”
-Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk
pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam,
yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Luqman:30).
Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada Tuhan Yang Maha Esa tentu
tersalurkan ke arah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam
hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan
fundamental terhadap kemanusiaan.[1]

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hakikat Keadilan di dalam Islam ?
2. Bagaimana Konsep Keadilan Sosial Dalam Islam ?
3. Bagaimana Konsep Keadilan Ekonomi ?

C. Tujuan
1. Untuk memahami hakikat keadilan di dalam Islam
2. Untuk memahami konsep keadilan sosial dalam Islam
3. Untuk memahami konsep keadilan ekonomi
4. Untuk menjadi bahan bacaan dan memperkaya khazanah keiilmuan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Keadilan Dalam Islam


Pada hakikatnya keadilan adalah suatu implementasi kebenaran dalam kehidupan
manusia, baik berkaitan dengan hidup pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya.
Implementasi kebenaran tentu harus dilakukan secara berkesinambungan. Jika kebenaran
diimplementasikan secara terus menerus, maka terbentuklah masyarakat yang berkeadilan.
Selanjutnya jika implementasi kebenaran ini dikontrol dan mengontrol nilai kebaikan dan
keindahan atau dengan kata lain jika keadilan dikendalikan dan mengendalikan nilai-nilai
keihsanan, maka tidak saja terbentuk masyarakat yang berkeadilan tetapi sekaligus terwujud
masyarakat yang berperadaban.
Munculnya agama Islam di abad pertengahan membawa pengaruh dan perubahan tatanan
nilai kemasyarakatan yang dikenalkan oleh ajaran Kristen. Islam tumbuh di daerah gersang
yang tidak memiliki sistem dan tatanan nilai kemasyarakatan seperti pada imperium Romawi
tempat tumbuhnya ajaran Kristiani, sehingga corak dan watak ajaran Islam berbeda dengan
ajaran Kristiani.
Keadaan seperti ini justru merupakan keadaan yang paling tepat, sebab dengan demikian
Islam dapat memiliki kekuasaan untuk menumbuhkan masyarakat yang menginginkannya
tanpa sifat kecongkakan, lalu meletakkan aturan dan sistem baginya yang selanjutnya
membimbing hati dan jiwa mereka seperti halnya dengan sikap dan amaliah mereka, serta
menyatakan urusan duniawi dan agama dalam cita-cita dan syariatnya.
Semua dibangun atas asas kesatuan antara alam dunia dan alam akhirat dalam sistem tunggal
yang hidup dalam hati setiap individu. Ajaran Islam menurut Quthb mengatur bentuk
hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya, hubungan antara sesama makhluk, dengan alam
semesta dan kehidupan, hubungan manusia dengan dirinya, antara individu dengan
masyarakat, antara individu dengan negara, antara seluruh umat manusia, antara generasi
yang satu dengan generasi yang lain, semuanya dikembalikan kepada konsep menyeluruh
yang terpadu, dan inilah yang disebut sebagai filsafat Islam.[2]
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan
pada setiap tindakandan perbuatan yang dilakukan (Q.S an-Nisa’: 58):
ِ َ‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل ۚ إِ َّن هَّللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ِه ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َس ِميعًا ب‬
‫صيرًا‬ ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم أَ ْن تُ َؤ ُّدوا اأْل َ َمانَا‬
ِ َّ‫ت إِلَ ٰى أَ ْهلِهَا َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬

Artinya:
4
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan ama- nat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 135 juga dijumpal perintah kepada orang-orang yang
beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ ِب ْالقِ ْس‚ ِط ُش‚هَدَا َء هَّلِل ِ َولَ‚وْ َعلَ ٰى أَ ْنفُ ِس‚ ُك ْم أَ ِو ْال َوالِ‚ َدي ِْن َواأْل َ ْق‚ َربِينَ ۚ إِ ْن يَ ُك ْن َغنِيًّ‚‚ا أَوْ فَقِ‚‚يرًا فَاهَّلل ُ أَوْ لَ ٰى بِ ِه َم‚ا ۖ فَاَل‬
‫ْرضُوا فَإِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِيرًا‬ ِ ‫تَتَّبِعُوا ْالهَ َو ٰى أَ ْن تَ ْع ِدلُوا ۚ َوإِ ْن ت َْل ُووا أَوْ تُع‬
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika
kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan’
Perintah untuk berlaku adil atau menegakkan keadilan dalam menerapkan hukum
tidak memandang perbedaan agama, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat as S-
Shura ayat 15, yakni:
ُ ْ‫ب ۖ َوأُ ِم‚‚ر‬
‫ت أِل َ ْع‚ ِد َل بَ ْينَ ُك ُم ۖ هَّللا ُ َربُّنَ‚‚ا َو َربُّ ُك ْم ۖ لَنَ‚‚ا أَ ْع َمالُنَ‚‚ا‬ ُ ‫فَلِ ٰ َذلِكَ فَا ْد‬
ُ ‫ع ۖ َوا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ تَ ۖ َواَل تَتَّبِ ْع أَ ْه َوا َءهُ ْم ۖ َوقُلْ آ َم ْن‬
ٍ ‫ت بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ ِم ْن ِكتَا‬
‫صي ُر‬ ِ ‫َولَ ُك ْم أَ ْع َمالُ ُك ْم ۖ اَل ُح َّجةَ بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ُم ۖ هَّللا ُ يَجْ َم ُع بَ ْينَنَا ۖ َوإِلَ ْي ِه ْال َم‬
Artinya:
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman
kepada semua kitab yaig diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di
antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada
pertengkaran antara kami dan kamu Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah
kebali (kita).”
Begitu pentingnya berlaku adil atau menegakkan keadilan, sehingga Tuhan
memperingatkan kepada orang-orang yang beriman supaya jangan karena kebencian terhadap
suatu kaum sehingga memengaruhi dalam berbuat adil, sebagaimana ditegaskan dalam A1-
Qur’an Surat al-Maidah ayat 8, yakni:

َ ‫ْط ۖ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَوْ ٍم َعلَ ٰى أَاَّل تَ ْع ِدلُوا ۚ ا ْع ِدلُوا هُ‚ َو أَ ْق‚ َربُ لِلتَّ ْق‚ َو ٰى ۖ َواتَّقُ‚‚وا هَّللا َ ۚ إِ َّن هَّللا‬
ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَوَّا ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَا َء بِ ْالقِس‬
َ‫خَ بِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
Artinya:

5
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu Untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan dalam sejarah perkembangan pemikiran Filasafat Islam tidak terlepas dan
persoalan keterpaksaan dan kebebasan. Para Teolog muslim terbagi dalam dua kelompok,
yaitu Kaum Mu’tazilah yang membela keadilan dan kebebasan, sedangkan Kaum Asy’ari
yang membela keterpaksaan. Kaum Asy’ari menafsirkan keadilan dengan tafsiran yang khas
yang menyatakan Allah itu adil, tidak berarti bahwa Allah mengikuti hukum-hukum yang
sudah ada sebelumnya, yaitu hukum-hukum keadilan tetapi berarti Allah merupakan rahasia
bagi munculnya keadilan.
Setiap yang dilakukan oleh Allah adalah adil dan bukan setiap yang adil harus
dilakukan oleh Allah, dengan demikian keadilan bukan lah tolok ukur untuk perbuatan Allah
melainkan perbuatan Allahlah yang menjadi tolok ukur keadilan. Adapun Kaum Mu’tazilah
yang membela keadilan berpendapat bahwa keadilan memiliki hakikat yang tersendiri dan
sepanjang Allah mahabijak dan adil, maka Allah melaksanakan perbuatannya menurut kriteria
keadilan.
Murtadha Muthahhari, mengemukakan bahwa konsep adil dikenal dalam empat hal;
pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu masyarakat yang ingin tetap bertahan
dan mapan, maka masyarakat tersebut harus berada dalam keadaan seimbang, di mana segala
sesuatu yang ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar
yang sama. Keseimbangan sosial mengharuskan kita melihat neraca kebutuhan dengan
pandangan yang relatif melalui penentuan keseimbangan yang relevan dengan menerapkan
potensi yang semestinya terhadap keseimbangan tersebut. [3]Al-Qur’an Surat ar-Rahman :7
yang artinya: “Allah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan)”.

6
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa, yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah keadaan
alam yang diciptakan dengan seimbang. Alam diciptakan dan segala sesuatu dan dan setiap
materi dengan kadar yang semestinya dan jarak-jarak diukur dengan cara yang sangat cermat.
Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan apa pun. Keadilan yang
dimaksudkan adalah memelihara persamaan ketika hak memilikinya sama, sebab keadilan
mewajibkan persamaan seperti itu, dan mengharuskannya. Ketiga, adil adalahmemelihara
hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya.
Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan
setiap individu diperintahkan untuk menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak
atas berlanjutnya eksistensi.
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri mempunyai arti yang lebih dalam daripada
apa yang disebut dengan keadilan distributif dan finalnya Aristoteles; keadilan formal hukum
Romawi atau konsepsi hukum yang dibuat manusia lainnya. Ia merasuk ke sanubari yang
paling dalam dan manusia, karena setiap orang harus berbuat atas nama Tuhan sebagai tempat
bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan tindakan. Penyelenggaraan keadilan dalam
Islam bersumber pada Al-Qur’an serta kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim yakni umat.
[4]
Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan sesuatu
pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang, memberikan sesuatu
yang memang menjadi haknya dengan kadar yang seimbang. Prinsip pokok keadilan
digambarkan oleh Madjid Khadduri dengan mengelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
aspek substantifdan prosedural yang masing-masing meliputi satu aspek dan keadilan yang
berbeda. Aspek substantif berupa elemen-elemen keadilan dalam substansi syariat (keadilan
substantif), sedangkan aspek prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam hukum
prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural).[5]
Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara tidak tepat,
maka ketidakadilan prosedural muncul. Adapun keadilan substantif merupakan aspek internal
dan suatu hukum di mana semua perbuatan yang wajib pasti adil (karena firman Tuhan) dan
yang haram pasti tidak adil (karena wahyu tidak mungkin membebani orangorang yang
beriman suatu kezaliman). [6]Aplikasi keadilan prosedural dalam Islam dikemukakan oleh
Ali bin Abu Thalib pada saat perkara di hadapan hakim Syuraih dengan menegur hakim
tersebut sebagai berikut:
1. Hendaklah samakan (para pihak) masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada yang
didahulukan.
2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan hakim.
7
3. Hendaklah hakim menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan.
5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
Sebagai penutup uraian tentang keadilan dan perspektif Islam, saya mengutip pendapat
Imam Ali sekaligus sebagai “pemimpin Islam tertinggi di zamannya” beliau mengatakan
bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip yang signifikan dalam memelihara keseimbangan
masyarakat dan mendapat perhatian publik. Penerapannya dapat menjamin kesehatan
masyarakat dan membawa kedamaian kepada jiwa mereka. Sebaliknya penindasan,
kezaliman, dan diskriminasi tidak akan dapat membawa kedamaian dan kebahagiaan.
B. Konsep Keadilan dalam Islam
Dan sistem nilai-nilai sosial itu bisa berbeda-beda menurut waktu dan arah
perkembangan masyarakat. Pada waktu masyarakat kita masih menganut sistem sosial yang
bersifat feodal, misalnya, bisa kejadian bahwa keadilan sosial pada waktu itu dianggap
sebagai suatu konsep di mana the best thing of life itu adalah buat raja dan keluarganya.
Adapun sisanya, itulah yang buat orang-orang bukan raja dan bukan keluarga raja. Begitulah
sistem sosial dan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu. Dengan demikian konsep keadilan
sosial juga menjadi berbeda dengan sekarang.
Mungkin, andaikata kita menjadi negara dan bangsa komunis, misalnya, maka sistem
nilai dan konsep keadilan sosial kita juga berbeda. Sebab dalam sistem itu, apa yang
diputuskan oleh pimpinan partai, itulah yang mutlak baik untuk masyarakat dan itulah yang
menjadi dasar buat keadilan sosial . Istilah keadilan sosial dikenal secara luas oleh bangsa
Indonesia, karena istilah ini tercantum dalam sila kelima Pancasila, Dasar Negara Republik
Indonesia. Sila tersebut secara lengkap berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. Keadilan sosial dalam sila tersebut - sejalan dengan kutipan ekstensif di atas -
berarti keadaan yang dibenarkan atau sesuai dengan sistem nilai-nilai sosial masyarakat
Indonesia. Dalam hal ini karena masyarakat Indonesia dan Dunia mayoritas adalah muslim,
maka ukuran keadilan itu logikanya adalah terutama sistem nilai-nilai sosial masyarakat
Islam. [7]
Dalam kaitannya dengan hal ini, sistem nilai-nilai sosial masyarakat Islam yang menjadi
dasar bagi konsep keadilan adalah bersumber dari Quran dan Sunnah - Hadits Nabi saw, serta
berbagai situasi tipikal ruang dan waktu masyarakat itu berada. Konsep keadilan sosial dalam
Islam bisa di jelaskan seperti ini. Keadilan Menurut Berbagai Disiplin Studi Keislaman Secara
harfiah, kata adil berasal dari bahasa Arab ‫ عدل و عدالة‬- ‫ يعدل‬- ‫ عدل‬yang berarti - bertindak adil,
imbang, dengan jujur.

8
Dalam khazanah intelektual Islam, kata adil diberikan arti secara berbeda-beda sesuai
dengan sudut pandang dan kepentingan disiplin pengetahuan masing-masing. Dalam ilmu
dirayah hadits, kata adil dirartikan sebagai berikut: - ‫صفة راســــخة فى النفس تحمل صاحبها على مالزمة‬
‫ التقوى والمروءة فتحصل ثقة النفس بصــــــدقه‬Kualitas kestabilan primer pribadi yang kondusif bagi yang
bersangkutan untuk senantiasa bertaqwa dan memelihara muru’ah sehingga menjadi orang
yang terpercaya karena obyektifitas yang dimilikinya Ilmu kalam mengkaji kata adil berkaitan
dengan salah satu dari lima prinsip paham mu’tazilah, yang salah satunya adalah keadilan
Tuhan. [8]
Keadilan Allah dibahas dalam hubungannya dengan tanggung jawab manusia
kepadaNya. Jika manusia harus bertanggung jawab, maka manusia mesti memiliki free will
dan free act untuk menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri, tidak ditaqdirkan oleh Allah
sebelumnya. Termasuk juga dalam konteks keadilan Tuhan, bahwa Ia hanya memberikan
beban yang mampu ditanggung oleh manusia, Ia hanya berbuat baik dan yang terbaik bagi
manusia [9]
Para fuqaha mengkaji keadilan dalam berbagai konteks, yaitu persyaratan bagi: hakim,
saksi, kepala negara dan sebagainya. Mereka memberikan arti orang yang adil ialah mereka
yang menghindarkan diri dari dosa-dosa besar, tidak bergelimang dosa-dosa kecil, konsisten
dengan kebenaran, menghindari prilaku-prilaku tercela seperti makan dan kencing di jalanan .
Studi pengantar bidang fiqh juga mengadakan kajian tentang keadilan sebagai salah satu asas
hukum Islam [10]
Dalam bidang tafsir, arti keadilan dikaitkan dengan konteks kandungan ayat yang
ditafsirkan. Sekalipun demikian, secara umum kata tersebut oleh Ashfahani diartikan sebagai
menyamakan (‫ ) المســــاواة‬atau secara lengkap ialah moderasi secara tepat (‫) التقســــيط على ســــواء‬.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa ada dua keadilan: Pertama, keadilan yang diketahui secara
mutlak oleh akal manusia, yang tidak berubah kapan pun, serta tak terbantahkan dengan cara
apa pun, misalnya berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu, tidak
mengganggu orang yang tidak mengganggumu. Kedua, keadilan yang diketahui berdasarkan
petunjuk syara’, yang dalam hal ini mungkin berubah pada suatu masa, seperti qishash,
tebusan delik pidana, dan melenyapkan harta orang murtad. [11]
Konsep Keadilan Menurut Sistem Nilai-nilai Islam Bagi seorang muslim, keadilan
adalah konsekuensi logis dari paham tauhid yang dianutnya. Paham tauhid menghendaki
diakuinya Allah sebagai satu-satunya yang berhak dipertuhankan, sebagai the Only Supreme
Being. Hal ini berarti bahwa manusia sama sekali dilarang mempertuhankan selainNya,
sekaligus dilarang sama sekali menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan. Manusia harus
hanya menghambakan diri kepada Allah, tidak kepada yang lain. Sebab jika demikian berarti
9
ia telah mensubordinasikan diri kepada selain Allah. Demikian pula manusia dilarang sama
sekali menjadikan yang lain tersubordinasikan kepadanya.
Dengan demikian hubungan antar manusia adalah hubungan kesetaraan, kesepadanan,
bebas dari sikap menghambakan dan terhambakan. Inilah hakikat keadilan itu, sebab keadilan
adalah al-musâwâh - al-taswiyah - sama dan mempersamakan. Jelas dalam hal ini tauhid
adalah teologi pembebasan, karena paham ini menjadikan manusia terbebaskan dari sikap
menghambakan dan terhambakan. Inilah yang harus menjadi landasan utama manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota sebuah keluarga, etnis, masyarakat, dan juga
bangsa. Keadilan sebagai suatu konsekuensi logis paham tauhid, mengandung makna bahwa
penegakannya harus dilakukan untuk memelihara paham itu sendiri. Ini artinya kegagalan
menegakkan keadilan adalah juga kegagalan memangku paham tauhid itu sendiri.
Dalam bidang sosial, keadilan ditegakkan di atas prinsip keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat; antara kewajiban-kewajiban sosial dan hak-
hak individu; pemberian kesempatan berkembang yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan; perlindungan yang seimbangan antara anak-anak dan orang dewasa; antara
ibadah sosial dan ibadah ritual.
Reformasi Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berperadaban Perubahan ke arah yang
baik (disimbolkan dengan min al- dhulumât ila al-nûr) atau lebih baik (dinyatakan dengan al-
âkhirah khair wa abqâ) adalah prinsip dasar Islam, termasuk perubahan ke arah keadilan atau
yang lebih adil. Dalam kaitannya dengan keadilan, paradigma ini bersifat aktif, konstruktif,
dan dinamis. Bersifat aktif, karena untuk menegakkan keadilan dituntut selalu menjaga posisi
moderat, bersifat konstruktif, karena untuk benar-benar mencapai kemoderatan tersebut, harus
selalu ada koreksi-koreksi ke arah penyempurnaan, baik berasal dari orang yang bersangkutan
maupun dari orang lain, dan bersifat dinamis mengingat aktualisasi keadilan menuntut sikap
akomodatif terhadap perkembangan ruang dan waktu tanpa melepas prinsip-prinsip dasar
universalnya.
Masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang mengimplementasikan kebaikan dan
keindahan dalam berbagai aspek kehidupan mereka, atau dengan singkat adalah mayarakat
yang berihsan. Seperti diketahui bahwa negara dan pemerintahan adalah institusi produk
peradaban. Produk peradaban ini hanya akan bertahan jika tidak dirusak oleh kezaliman.
Taimiyah menyatakan bahwa sesungguhnya Allah akan menegakkokohkan suatu negara yang
adil walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan Ia akan melakukan sebaliknya terhadap suatu
negara yang zalim, sekalipun dikuasai oleh orang-orang yang beriman.
Dalam hal ini tidak saja keadilan melestarikan peradaban, tetapi juga dilestarikan oleh
peradaban, atau tepatnya ialah keadilan mengontrol dan dikontrol oleh peradaban.
10
Berdasarkan uraian di atas, reformasi atau bahkan transformasi ditujukan pada segala upaya
untuk menciptakan keadaan yang selalu kondusif bagi terwujudnya masyarakat yang
berkeadilan dan berperadaban secara proaktif, konstruktif, dan dinamis secara terus menerus
sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu.
Berdasarkan paparan mengenai konsep keadilan dalam Islam di atas, dapat di simpulkan
bahwa keadilan sosial adalah keadilan yang didasarkan atas sistem nilai-nilai masyarakat.
Mengingat penduduk Indonesia dan Dunia adalah mayoritas muslim, maka logis jika sistem
nilai-nilai tersebut terutama harus berasal dari masyarakat Islam. Sistem nilai-nilai masyarakat
Islam dibangun di atas landasan Quran dan Sunnah - Hadits Nabi saw, dan dengan
memperhatikan tuntutan tipikal kekinian.
Sistem nilai-nilai masyarakat Islam memandang: keadilan sebagai konsekuensi logis
paham tauhid, keadilan merupakan tugas sosial para rasul, keadilan sebagai perlakuan
moderat yang proporsional berdasarkan kualitas obyek, keadilan harus diwujudkan dengan
cara mengkondisikan faktor-faktor penunjang dan menghindari faktor-faktor penghalang
dalam segala aspek kehidupan manusia yang antara lain dalam bidang hukum, politik,
ekonomi, sosial, pendidikan; keadilan harus diaktualisasikan dengan tetap berpijak pada nilai-
nilai dasar universalnya serta dengan memperhatikan tuntutan ruang dan waktu, keadilan
harus mendahului dan mendasari kemakmuran, keadilan harus mengontrol dan dikontrol oleh
keihsanan demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban.
C. Konsep Keadilan Ekonomi
Keadilan merupakan pilar terpenting dalam ekonomi Islam. Penegakkan keadilan telah
ditekankan oleh Al-Qur’an sebagai misi utama para Nabi yang diutus Allah (Al-Hadid: 25),
termasuk penegakkan keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan.
Allah yang menurunkan Islam sebagai sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia,
menekankan pentingnya penegakan keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik
maupun sosial. Komitmen Al-Quran tentang penegakan keadilan sangat jelas. Hal itu terlihat
dari penyebutan kata keadilan di dalam Al-quran mencapai lebih dari seribu kali[12] yang
berarti ; kata urutan ketiga yang banyak disebut Al-Quran setelah kata Allah dan ‘Ilm.
Bahkan, Ali Syariati menyebutkan, dua pertiga ayat-ayat Al-Quran berisi tentang
keharusan menegakkan keadilan dan membenci kezhaliman, dengan ungkapan kata zhulm,
itsm, dhalal, dll.Karena itu, tujuan keadilan sosio ekonomi dan pemerataan pendapatan /
kesejahteraan, dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari filsafat moral Islam.
Begitulah, penekanan Islam pada penegakkan keadilan sosio ekonomi. Maka, adalah
keliru, klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang
berbicara dan bertindak tegas dalam masalah keadilan. “Setidaknya hanya kamilah yang
11
mempunyai komitmen kuat tentang nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan
berbagai komponen masyarakat dunia dalam kerangka memperlihatkan keunggulan ideologi
atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis tentang keadilan sosio ekonomi dan
pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan
(ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosio ekonomi lebih merupakan
akibat dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan
uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosio
ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual) dan persaudaraan universal.
Sehingga, tidak aneh, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional
(kapitalis) dominan hanya digunakan oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga
perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara.
Fenomena ini semakin jelas terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan
miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar.
Sebagaimana disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada
penegakan keadilan sosio ekonomi, merupakan akibat tekanan-tekanan kelompok masyarakat
dan tekanan-tekanan politik. Untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi itu mereka
mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment.
Meskipun ada usaha melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini menurut
Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, karena nyatanya
pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-
kelompoknya.
Jadi, konsep keadilan sosio ekonomi dalam Islam berbeda secara mendasar dengan
konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosio ekonomi dalam Islam,
selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal
sesama manusia.
Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut.
Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan
keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa
dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam
sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua
sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid
syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer),
seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga
12
menuntut agar sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui
kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-
impor dan sebagainya.
Tauhid yang menjadi fondasi utama ekonomi Islam, mempunyai hubungan kuat dengan
konsep keadilan sosio-ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa
Allah sebagai pemilik mutlak dan manusia hanyalah sebagai pemegang amanah, mempunyai
konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain
yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan
cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep
persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang
semuanya secara organis dan terkait satu sama lain untuk memberikan sumbangan yang
positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran
pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan memberikan pinjaman lunak bagi masyarakat
ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial ekonomi, Islam secara
tegas mengecam konsentrasi asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan menawarkan
konsep zakat, infaq, sedeqah, waqaf dan institusi lainnya, seperti pajak, jizyah, dharibah, dan
sebagainya.
Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang
kaya saja di antara kamu” (Al-Hashr: 7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin,
baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (Al-Ma'arij: 24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam berbeda
dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu menggunakan indikator PDB
(Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan
pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana
dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan
pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran.
Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan.
Pertumbuhan an sich bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan.
Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua sisi dari sebuah entitas
yang tak terpisahkan, karena itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan
kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, bertentangan dengan
konsep keadilan ekonomi menurut Islam.
13
Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya peran perusahaan
swasta (private ownership) dengan motivasi mencari keuntungan maksimum, harga pasar
akan mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam
membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring.
Sistem ekonomi kapitalis telah menggoyahkan pondasi moral manusia, karena sistem
ini telah menghasilkan manusia yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga telah
melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah
pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, telah muncul banyak konsumen yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesenjangan terjadi secara tajam. Perusahaan-
perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang (Al-
Ma'arij:24), bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu
atau menimbulkan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak dimaksudkan untuk
menciptakan kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam,
proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah
keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi,
etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari sikap yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai
perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja
dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak mampu
berusaha. Bentuk penghargaannya adalah sikap Islam yang memperkenankan pendapatan
seseorang berbeda dengan orang lain, karena usaha dan ikhtiarnya. Firman Allah,
“Sesungguhnya Allah melebihkan rezeki sebagian kamu atas sebagian lain”. (An-Nahl: 71).
Namun, orang yang diberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya
untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat
terlepas dari kemisikinan absolut.
Konsep keadilan sosio-ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan
pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, dapat pula dikatakan bahwa ekonomi
Islam adalah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak aneh, bila
anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan sosio-ekonomi Islam mempunyai
kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa
sistem sosialisme itu jika ditambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka
ia menjadi islami.
Dengan demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem
keadilan sosio Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak
14
keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan
menginginkan pemerataan pendapatan, jelas berbeda dengan prinsip ekonomi Islam.
Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu.
Reaksi masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang
intinya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya
didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat
pertentangan terhadap pemilikan individu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan
keadilan sosio-ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling mencintai
(mahabbah), bahu membahu (takaful) dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si
kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.[13]

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang
membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di
dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan
kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan
keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan perselisian,
baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-
nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal
dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat
Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut
merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek
sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik. Selanjutnya mengenai
keadilan ekonomi adalah aturan main (rules of the game) dalam ajaran Islam dapat
dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama,seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh
kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan
terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh
fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan
kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem
ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan
secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk
mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi.
Kesimpulannya seharusnya kaum Muslim menjadi pelopor militan untuk mencipta
suatu karya kemanusiaan keadilan sosial dan ekonomi dalam kehidupan sebagai tugas
kekhalifahannya yang akan menjadi rahmat bagi sekitarnya. Kita harus berusaha agar
setiap orang dapat bekerja maksimal sesuai kemampuannya sehingga terpenuhi semua
kebutuhan dasarnya. Cita-cita ini harus dibarengi ketentuan halal dan haram dalam
memperoleh Keadilan ekonomi dan kerukunan hidup , sehingga tidak ada kezaliman
manusia atas manusia (Q.S 2:279) serta tidak dibenarkan struktur atas baik sistem
pemerintahan maupun undang-undang melakukan praktek kezaliman yang
mengakibatkan kerusakan (Q.S 2:188).

16
B. Saran
1. Dalam rangka meningkatkan peran esensi ajaran Islam dalam implementasi
kehidupan sosial bermasyarakat harus meningkatkan kemampuan bakat dan
minatnya dalam kehidupan sehari- hari.
2. Diharapkan para pembaca dapat mengimplemtasikan tujuan akhir dari esensi
ajaran Islam tentang keadilan sosial dan bermasyarakat untuk berusaha menjadi
manusia muslim yang paripurna dalam konsep al-insan dan al-kamil.
3. Dengan memahami hakikat dan konsep keadilan sosial dan ekonomi di dalam Islam
diharapkan kepada kita para regenerasi umat, supaya kita tidak terlalu larut dalam
kebodohan dan ketidaktahuan dalam hal tersebut sehingga dapat menyebabkan kita
kepada praktik atau kehidupan sosial dan ekonomi yang komunis, kapitalis dsb.

17
DAFTAR PUSTAKA
Ashfahani, al-Raghib al-, Mu’jam Mufradât Alfâdh al-Qurân, Beirut:Dâr al-Fikr: 1972,
hlm 336
Hadad, Ismid (Ed.), Kebudayan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta, LP3ES: 1981),
hlm 39
Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, (Jakarta: Putaka Panji Mas,: 1983) hlm. 125.
Keadilan Ekonomi Dalam Islam.http://www.agustiantocentre.com/?p=759
Khadduri,Madjid. Teologi Keadilan (Perspektf Islam), (Surabaya: Risalah Gusti:
1999) hlm.119-201.
Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dâr al-Fikr: 1975, hlm 231
Maktabah al-Qâhirah. Shiddieqy, Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta, Bulan
Bintang: 1974), hlm 21
Muthahhari,Murtadha . Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, (Bandung:
Mizan: 1995) hlm 53-58.
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Hasil-Hasil Kongres HMI XXIX di Pekanbaru,
(PB HMI; Jakarta)
Quthb, Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka; 1994)
Qadri,AA. . Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah
Pemerintahan Muslim, (Yogyakarta: PLP2M: 1987)
Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim. al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dâr
al-Fikr: 1975 Hlm 127

[1] Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Hasil-Hasil Kongres HMI XXIX di Pekanbaru,
(PB HMI; Jakarta) Hlm 151.
[2] Quthb, Sayyid. Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka; 1994) hlm.25

[3] Muthahhari,Murtadha . Keadilan Ilahi: Azas Pandangan Dunia Islam, (Bandung:


Mizan: 1995) hlm 53-58.
[4] Qadri,AA. . Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan
Muslim, (Yogyakarta: PLP2M: 1987) hIm. 1
[5] Khadduri,Madjid. Teologi Keadilan (Perspektf Islam), (Surabaya: Risalah Gusti:
1999) hlm.119-201.
[6] Hamka, Tafsir Al-azhar Jus V, (Jakarta: Putaka Panji Mas,: 1983) hlm. 125.

[7] Hadad, Ismid (Ed.), Kebudayan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta, LP3ES:
1981), hlm 39
[8] Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, Beirut:
Dâr al-Fikr: 1975, hlm 231
[9] Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim. al-Milal wa al-Nihal, Beirut:
Dâr al-Fikr: 1975 Hlm 127
[10] Maktabah al-Qâhirah. Shiddieqy, Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta,
Bulan Bintang: 1974), hlm 21
[11] Ashfahani, al-Raghib al-, Mu’jam Mufradât Alfâdh al-Qurân, Beirut:Dâr al-Fikr:
1972, hlm 336
[12] Penyebutan kata keadilan dalam Al-Quran tidak saja menggunakan akar kata ‘adil
tetapi juga al-mizan dan al-qist

[13] Keadilan Ekonomi Dalam Islam.http://www.agustiantocentre.com/?p=759

19

Anda mungkin juga menyukai