Anda di halaman 1dari 8

Ethos, Pathos, dan Logos

Sejak zaman retorika Yunani kuno hingga sekarang, komunikator haruslah melengkapi
diri dengan ethos, pathos dna logos.
- Ethos adalah sumber kepercayaan yang ditunjukkan oleh seorang komunikator bahwa
ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena ia seorang ahli, maka ia
dapat dipercaya. Faktor ethos lainnya adalah track record.
- Pathos adalah tampilan emosi, komunikator harus pas memunculkan semangat dan
gairah berkomunikasi. Contoh komunikator yang memiliki pathos yang baik adalah
Bung Karno
- Logos adalah argumentasi komunikasi harus masuk akal.

Pengertian Etos, Patos, logos menurutSocrates


Socrates yang terkenal dan merupakan seorang filsuf yang brilian meringkas inti komunikasi
menjadi tiga konsep yang menarik yang disebutnya etos, patos, dan logos.Etos mencakup
karakter.Patos mencakup perasaan belas kasihan.Logos mencakup isi.
Etos, menurut Socrates, berarti membangun kredibilitas pengajar–kredensi atau hal-hal yang
membuatnya bisa dipercaya. Socrates tahu bahwa diri anda jauh lebih penting dari perkataan dan
tindakan anda, karena diri andalah yang MENENTUKAN apa yang anda katakan dan lakukan.
Dalam hal ini siapa anda akan menentukan bagaimana cara anda berkomunikasi dan bisa
dipercaya dalam komunikasi. Seorang akademis dan pemuka agama pasti punya etos yang
berbeda.Apalagi jika dia adalah seorang Raja atau Presiden.Semakin tinggi dan populer
statusnya maka etosnya harus semakin baik. Etos ini akan menghasilkan kepercayaan pendengar
kita. Faktor kepercayaan ini adalah komoditas terbesar anda untuk melakukan komunikasi.
Patos, atau perasaan belas kasihan, berkaitan dengan bagaimana komunikator membangkitkan
semangat pendengar dan menggerakkan emosi-emosi mereka. Hal ini akan menghasilkan
MOTIVASI pendengar. Jika anda berkomunikasi dengan perasaan yang benar dan menunjukkan
bahwa anda memang peduli maka pendengar anda akan senang sekali melakukan apa saja yang
anda ingin pendengar lakukan. Contoh: orang tua yang mengajar anaknya dengan kasih maka
anaknya akan menuruti perintah orang tuanya.
Logos adalah isi yang menyangkut pengumpulan fakta.Hal ini menjadi alasan mengapa
tindakan harus dilakukan oleh pendengar.Logos atau bisa dikatakan juga ilmu memberikan
pemikiran dan pengertian. Dengan begitu para pendengar akan memahami alasan logis (masuk
akal) melakukan sebuah tindakan atau perintah. Para pendengar akhirnya bisa memahami
tindakan dan menjadikan tindakan itu miliknya. Contoh: Jika anda belajar dengan baik maka
anda akan mendapat nilai sesuai dengan kemampuan (hasil belajar) anda.
Konsep komunikasi ini sangat berguna dan bermanfaat bagi kita yang bekerja dalam bidang
apapun. Sebagai seorang pengajar (sekuler dan rohani) konsep ini harus terjadi dalam proses kita
mengajar. Sebagai manajer, pemimpin perusahaan, kepala bidang, dll hal ini juga sangat penting
ketika kita memimpin rapat atau pun ketika mengawasi kerja dilapangan. Sebagai Politisi,
Menteri, dan bahkan Presiden hal ini juga sangat penting diterapkan, sehingga kebijakan,
peraturan, keputusan, maupun instruksi bisa sampai dengan baik dan dikerjakan dengan tepat.
Sebagai orang tua kita juga harus mampu menerapkan konsep ini sehinggat anak bisa dididik
dengan baik.
http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/24/etos-patos-dan-logos-344099.html
Ethos, Pathos, dan Logos Komunikator
Ethos Komunikator Ethos berarti “sumber kepercayaan” (source credibility) yang ditunjukkan
oleh seorang komunikator atau orator bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh
karena seorang ahli, maka ia dapat dipercaya.

Kepercayaan komunikan terhadap komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam


bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Kepercayaan kepada komunikator
mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan dianggap olehnya sebagai
benar dan sesuai dengan kenyataan empiris.

Secara umum diakui pula bahwa keahlian seorang komunikator baik keahlian itu bersifat khas
atau bersifat umum seperti yang timbul dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial yang
lebih tinggi atau jabatan profesi yang lebih tinggi akan membuat pesan yang dikomunikasikan
menimbulkan daya pengaruh yang kuat dan besar.

Dengan demikian seorang komunikator menjadi source of credibility disebabkan adanya “ethos”
(daya yang memancar) pada dirinya. Kalau menurut Aristoteles daya yang memancar dalan diri
komunikator meliputi;

- good sense;
- good moral character, and
- goodwill.

Atau kalau menurut para ahli masa sekarang ini diterjemahkan menjadi :
- itikad baik (good intentions);
- dapat dipercaya (trustworthiness);
- kecakapan atau kemampuan (competence or expertness).

Jadi komunikator yang berethos menunjukkan bahwa dirinya mempunyai itikad baik, dapat
dipercaya dan mempunyai kecakapan atau keahlian.

Seorang komunikator zaman sekarang menghadapi ratusan juta khalayak maka ethos mutlak
harus dimiliki setiap komunikator . Apabila komunikator tidak memiliki ethos, maka setiap
kegiatan komunikasi yang dilakukan kemungkinan akan menimbulkan efek bumerang yang
menyebabkan ia kehilangan kepercayaan, kehormatan, dan wibawa.
Menurut Hovland dan Weiss menyebut ethos ini credibility yang terdiri dari dua unsur, yaitu :
expertise (keahlian), dan trust worthiness (dapat diperaya)

Untuk membedakan kedua unsur tersebut dapat dilihat pada contoh berikut; Nasihat dokter
diikuti pasien-nya, karena dokter memiliki keahlian.Tetapi seorang pedagang memuji-muji
dagangannya sukar untuk dipercaya, mungkin pedangang itu tidak memiliki trust wrthiness.
Untuk kedua unsur ethos tersebut para ahli lain menyebutnya berbeda :
untuk expertness, Mc. Croskey menyebutnya authoritativeness; Markham menyebutnya reliable-
logikal; sedangkan Berlo, Lemert & Mertz menggunakan istilas qualification.

Untuk trust worthiness, ahli lain menggunakan istilah safety, character, atau evaluative factor.

Sedangkan menurut Jalaludin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi menyatakan bahwa : “
... ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari kredibilitas,
atraksi, dan kekuasaan”.

Selanjutnya menurut Jalaludin Rakhmat bahwa unsur ethos tersebut berhubungan dengan jenis
pengaruh sosial yang ditimbulkannya. Menurut Herbert C. Kelman pengaruh komunikasi kita
pada orang lain berupa tiga hal : internalisasi (internalization), identifikasi (identification), dan
ketundukan (compliance). Internalisasi pada diri komunikan akan tumbuh setelah menerima
pengaruh komunikasi dari seorang komunikator yang memiliki kredibilitas. Identifikasi pada diri
komunikan akan tumbuh setelah menerima pengaruh komunikasi dari seorang komunikator yang
memiliki sikap aktraksi (daya tarik) yang diterima komunikan tersebut. Begitu juga ketundukan
pada diri komunikan akan tumbuh setelah menerima pengaruh komunikasi dari seorang
komunikator yang memiliki kekuasaan.

Komponen pertama ethos menurut Jalaludin Rakhmat adalah kredibilitas.Kredibilitas adalah


seperangkat persepsi yang dimiliki komunikan tentang sifat-sifat komunikator.Karena
kredibilitas itu masalah persepsi, maka kredibilitas berubah-ubah tergantung pada pelaku
persepsi (komunikan), topik yang dibahas, dan situasi.Seorang Penyelia mempunyai kredibilitas
terhadap karyawan yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi tidak dihadapan para penyelia
lainnya, apalagi dihadapan Top Manajer.

Dengan demikian kredibilitas tidak ada pada diri komunikator, tetapi terletak pada persepsi
komunikan.Oleh karena itu kredibilitas dapat berubah atau diubah, dapat terjadi atau dijadikan.

Menurut Kenneth E. Andersen bahwa : “hal-hal yang mempengaruhi persepsi komunikan


tentang komunikator sebelum ia melakukan komunikasinya disebut prior ethos”.

Sumber komunikasi memperoleh prior ethos karena berbagai hal, diantaranya :


- Pengalaman langsung (direct experience), karena sudah lama bergaul jadi dikenal integritas
kribadiannya.
- Pengalaman wakilan (vicarious experience), ketertarikan komunikan karena komunikator itu
sudah sering muncul di media massa atau sering mendengar namanya.
- Prior ethos karena sponsor (by sponsorship and§ endorsement), ketertarikan komunikan
karena (sponsor) pihak-pihak yang mendukung komunikator, atau bila organisasi yang
berstatus tinggi memperkenalkannya pada komunikan.
- Petunjuk-petunjuk non-verbal§ (intrinsic prior), ketika pembicara diperkenalkan
penampilannya kurang meyakinkan, tapi karena ketika mulai berbicara orang itu mulai menarik
perhatian
khalayak karena pemilihan kata-katanya tepat, isi yang disampaikan, dan kedalaman
uraiannya.

Hal-hal tersebut di atas merupakan kredibilitas sebagai persepsi. Selanjutnya menurut Jalaludin
Rakhmat komponen-komponen kredibilitas adalah :
- Keahlian, adalah kesan yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dengan
hubungannya dengan topik yang dibicarakan. Komunikator yang tinggi pada keahliannya
dianggap cerdas, mampu, ahli, berpengalaman, dan terlatih.
- Kepercayaan, adalah kesan komunikan tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya
(Jujur atau tidak jujur, tulus atau lancung, dan sebagainya). Aristoteles menyebutnya “good
moral character”, sedang Quintillianus menyebutnya “a good man speaks well”.

Sedangkan menurut Koehler, Annatol, dan Applbaum komponen kredibilitas itu ditambah lagi
dengan :
- Dinamisme, berkenaan dengan cara berkomunikasi, bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan
berani. Dinamisme memperkokoh kesan keahlian dan kepercayaan.
- Sosiabilitas, adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang periang dan
suka bergaul.
- Kooreientasi, adalah kesan komunikan tentang komunikator sebagai orang yang mewakili
kelompok dan nilai-nilai dari komunikan.
- Karisma, menunjukkan suatu sifat luar biasa yang dimiliki komunikator yang menarik dan
mengendalikan komunikan seperti magnet menarik benda-benda sekitarnya. Karisma terletak
pada persepsi komunikan.

Menurut Richard Ricke dan Malcolm Sillars kredibilitas ada tiga macam, yaitu :
- Kredibilitas tidak langsung, pembicara tidak menggunakan pernyataan-pernyataan khusus dari
orang lain atau pernyataan pribadi yang langsung mengenai karakter pribadinya.
- Kredibilitas langsung, pembicara membuat pernyataan langsung mengenai dirinya.
- Kredibilitas sekunder, pembicara menggunakan kredibilitas orang lain sebagai dasar
argumentasinya.
Komponen kedua ethos menurut Jalaludin Rakhmat adalah atraksi. Faktor-faktor situsional yang
mempengaruhi atraksiyaitu :daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan kemampuan. Dalam
masalah kesamaan telah dibahas di muka dalam homophily dan heterophily.

Komponen ketiga ethos menurut Jalaludin Rakhmat adalah kekuasaan.Kekuasaan adalah


kemampuan menimbulkan ketundukan. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator dapat
“memaksakan” kehendaknya pada orang lain, karena komunikator memiliki sumber daya yang
sangat penting (critical resources).

Berdasarkan sumber daya yang dimilinya, French dan Raven membagi jenis-jenis kekuasaan
dalam :
a) Kekuasaan koersif (coersive power), menunjukkan kemampuan komunikator untuk
mendatangkan ganjaran dan hukuman pada komunikan. Ganjaran dan hukuman dapat bersifat
personal (misalnya benci atau kasih sayang) juga dapat bersifat impersonal (kenaikan pangkat
atau pemecatan, termasuk perkataan dosen yang akan tidak meluluskan mahasiswa kalau
mengumpulkan tugas terlambat).
b) Kekuasaan keahlian (expert power), berasal dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, atau
kemampuan yang dimiliki komunikator. Misal dosen dituruti oleh mahasiswa `untuk
menafsirkansuatuteori.

c) Kekuasaan informasional (informational power), berasal dari isi komunikasi tertentu atau
pengetahuan baru yang dimiliki komunikator. Misal ahli komputer dapat diterima sarannya untuk
pengadaan kumputer di suatu instansi.

d) Kekuasaan rujukan (reference power), disini komunikan menjadikan komunikator sebagai


kerangka rujukan untuk menilai dirinya apabila komunikator berhasil menanamkan kekaguman
sehingga diteladani perilakunya. Contoh perilaku Nabi diikuti ummatnya.

e) Kekuasaan legal (legitimate power), ini sama dengan otoritas legal rasional, seperti dibahas di
muka. penelitian psikologis tentang penggunaan kekuasaan menunjukkan bahwa orang memilih
jenis kekuasaan yang dimilikinya tidak secara rasional. Hasil penelitian Heilman & Garner
menunjukkan :Komunikan akan lebih baik diyakinkan untuk melakukan perilaku yang tidak
disukai dengan dijadikan ganjaran dari pada diancam dengan hukuman. Ancaman yang kuat
malah menimbulkan bumerang akan jadi melawan.

Efektifitas ancaman dapat ditingkatkan apabila komunikator memberikan alternatif perilaku


ketundukan dan komunikan dapat memilih walau terbatas.
Selanjutnya hasil penelitian Kipnis menunjukkan bahwa :
Kekuasan informasional sering kali digunakan bila komunikator memandang prestasi
komunikan yang kurang baik disebabkan oleh kurangnya motivasi.Bila atasan melihat prestasi
bawahan jelek karena kemampuannya jelek, maka akan mengguakan keahliannya.

Sedangkan hasil penelitian Goodstadt & Hjelle menunjukkan bahwa :


kekuasan koersif umumnya digunakan bila komunikator menganggap komunikan tidak
melakukan anjuran dengan baik karena bersikap negatif atau mempunyai kecenderungan
melawan.

Cikal bakal pendidikan klasik sebenarnya telah dibangun bahkan sebelum Sokrates berkeliaran di
pasar Athena dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas yang memaksa orang untuk berpikir. Zeno
dari Elea (abad ke-5 SM) telah mulai mengganggu orang dengan paradoks-paradoksnya, untuk memulai
sebuah dialektika. Namun pendidikan klasik dengan trivium dan quadrivium baru dibakukan pada abad
pertengahan. Istilah liberal arts sendiri pertama kali dipakai oleh Cassiodorus, seorang pejabat Roma
pada abad ke-6. Ia memakai istilah ini untuk menggambarkan ketujuh cabang liberal arts yaitu trivium:
gramatika, dialektika dan retorika, dan quadrivium: aritmatika, geometri, musik dan astronomi.

Bagian pertama adalah trivium. Trivium sendiri berasal dari kata tri (Latin: tiga) dan via (Latin:
jalan), sehingga dapat diartikan “tiga jalan”. Tiga jalan (ungkapan yang lebih tepat adalah tiga tahap)
yang dimaksudkan di sini ialah tiga jalan menuju pengetahuan. Jalan-jalan ini bukanlah pengetahuan,
melainkan cara meraih pengetahuan. Tahap-tahap ini menggambarkan tahap-tahap perkembangan
manusia, dari bayi sampai dewasa, dalam meraih pengetahuan. Perlu diingat bahwa trivium bukanlah
mata pelajaran melainkan metodologi pembelajaran yang menjadi jiwa dari pelajaran yang diberikan.
Bisa dilihat di bagian berikutnya bahwa mata pelajaran yang diberikan sesungguhnya tidak berbeda jauh
dengan yang kita kenal. Perbedaannya terletak pada cara pembelajarannya.

Tahap yang pertama adalah gramatika, atau pengetahuan kongkrit. Pada masa ini manusia belajar
dengan menghapal. Anak-anak berada pada tahap ini, sehingga kita dapat melihat mereka yang dengan
mudah menghapalkan segala macam hal-hal baru yang diberikan pada mereka. Kita dapat melihat bahwa
bayi dapat dengan mudah belajar bahasa yang diajarkan pada mereka. Tahap ini adalah tahap yang sangat
penting karena di sinilah manusia mengumpulkan segala macam dasar yang akan dipakai pada tahap
berikutnya.

Tahap yang kedua adalah dialektika, atau logika. Jika pada tahap gramatika kita mempelajari fakta,
pada tahap ini kita mulai membuat hubungan antara satu fakta dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan
seperti sebab akibat mulai dipelajari dan dipertanyakan. Tahap ini dimulai dengan mengajukan
pertanyaan “mengapa”. Kemampuan mengajukan pernyataan dan alasan serta menarik kesimpulan mulai
dikembangkan. Di tahap inilah kemampuan abstraksi mulai dikembangkan. Biji yang telah ditanam pada
tahap gramatika telah mulai berbunga.

Tahap yang ketiga adalah retorika, atau kemampuan berkomunikasi dan berekspresi. Pada tahap ini
kita belajar menyusun fakta-fakta dengan logika yang benar untuk menyusun sebuah pemikiran. Pada
tahap ini kemampuan abstraksi mencapai kemampuan tertingginya. Kita bisa mulai merambah area abu-
abu maupun daerah yang belum pernah dieksporasi berbekal dengan pengetahuan yang telah diperoleh di
tahap sebelumnya. Bunga dari tahap sebelumnya akan berkembang menjadi buah-buah yang bisa
dinikmati, sebuah hasil perjuangan yang manis.

Ketiga tahap awal ini dapat digambarkan seperti pada permainan lego. Di tahap gramatika, kita
berkenalan dengan bentuk lego yang bermacam-macam. Semakin banyak bentuk yang dikenal semakin
kaya pengembangan pada tahap berikutnya. Di tahap dialektika, kita mulai mencoba memasang satu
bentuk dengan yang lainnya, pas atau tidak. Eksplorasi adalah kata kunci di tahap ini. Trial-and-error
dibantu oleh bimbingan guru akan semakin memantapkan tahap ini. Di tahap retorika, mulailah kita
membuat bentuk-bentuk yang kita inginkan. Di sinilah kemampuan berekspresi diuji. Sintesis menjadi
kata kunci di tahap ini.

Quadrivium, yang diberikan pada universitas di abad pertengahan dapat dijelaskan secara singkat
seperti berikut ini. Quadrivium sendiri adalah ilmu sebagai subjek seperti yang dikenal sekarang.
Aritmatika adalah ilmu yang mempelajari tentang angka pada dirinya sendiri. Geometri mempelajari
tentang angka di dalam ruang. Musik mempelajari tentang angka di dalam waktu. Dan astronomi, yang
sering dianggap sebagai ilmu tertinggi, adalah ilmu yang mempelajari angka di dalam ruang dan waktu.
Teologi yang menjadi corak pendidikan gereja juga kerap dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai
pemberi tujuan.

Sejarah membuktikan bahwa pendidikan klasik telah menyediakan lahan yang subur sehingga
setelah saatnya, Renaissance, Eropa menjadi tempat persemaian ilmu pengetahuan yang berkembang
pesat sampai saat ini. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah pendidikan klasik ini masih dapat diterapkan
pada saat ini, mengingat kegagalan pendidikan modern yang hanya menciptakan manusia-manusia hamba
dan robot. Untuk hal ini, dengan sedikit penyesuaian, pendidikan klasik dapat dijadikan alternatif untuk
membawa perubahan di tengah jaman yang pragmatis ini. Charlotte Mason, seorang penggagas
pendidikan klasik, memberikan banyak hal yang menjadi inspirasi dari tulisan ini.
Gramatika, yang menjadi dasar, dapat diberikan pada usia sekolah dasar, yaitu di usia 7-12 tahun.
Yang pertama-tama perlu diperhatikan ialah pengajaran bahasa, karena kemampuan berbahasalah yang
akan menyediakan medium untuk perkembangan ilmu yang lain. Bahasa ibu tentunya perlu mendapatkan
prioritas. Kemampuan menulis dasar seperti penulisan kalimat yang baik dan membuat karangan
sederhana juga perlu ditekankan. Bahasa Inggris juga perlu diberikan sebagai bahasa kedua sejak dini,
mengingat peranan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang semakin penting, khususnya setelah
era Internet. Di Indonesia, hal ini menjadi semakin relevan mengingat sebagian besar literatur masih
berbahasa Inggris. Yang kedua adalah kemampuan matematika, yang akan dijadikan dasar pijakan ilmu-
ilmu pasti di kemudian hari. Kemampuan aritmatika tentunya menjadi pilihan utama. Yang ketiga ialah
pengembangan kesadaran, melalui pelajaran sejarah dan geografi. Di sini anak diperkenalkan dengan
fakta-fakta sejarah dan geografi, melalui cara yang menyenangkan seperti bercerita dan melihat gambar.
Pengembangan kesadaran ini akan memberikan rasa identitas kepada anak, yang akan memberikan
landasan awal untuk bertolak pada tahap berikutnya. Yang terakhir adalah pengembangan keingintahuan,
melalui pelajaran ilmu alam. Anak di sini diajak untuk menjadi seorang pengamat dan pencatat yang baik.
Fakta-fakta dasar yang telah teruji kebenarannya, seperti gravitasi dan evolusi juga perlu diberikan kepada
anak didik. Musik dan seni lainnya juga dapat diajarkan untuk mengasah nilai rasa dan estetika anak.
Kemampuan anak di usia ini yang mampu menyerap segala macam hapalan harus dimanfaatkan sejauh
mungkin untuk menyerap dasar-dasar ilmu. Hal ini menjadi kritis karena bahan-bahan yang diberikan
akan sangat mempengaruhi perkembangan anak di tahap yang lebih lanjut.

Dialektika adalah tahap di usia sekolah menengah pertama. Di tahap ini, logika sebagai sebuah
ilmu tersendiri perlu diperkenalkan. Subjek yang diberikan sebenarnya masih sama dengan tahap
gramatika. Yang membedakan adalah cara belajarnya. Pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” harus
ditumbuhkembangkan di tahap ini. Matematika, misalnya, sudah bisa mulai memasukan aljabar dan
geometri. Studi sejarah dan geografi perlu melibatkan komparasi dan relasi, ketimbang sekedar
kronologis maupun spasial. Ilmu-ilmu sosial lain bisa mulai diperkenalkan sebagai kelanjutan logisnya.
Ilmu-ilmu alam diajarkan dengan pemahaman hukum-hukum alam dan penjelasan logisnya. Metode
ilmiah perlu diperkenalkan secara formal dalam menarik kesimpulan. Anak didik juga perlu mulai
diperkenalkan dengan literatur-literatur klasik, baik lokal maupun dunia. Dan bukan hanya sekedar
membaca, mereka juga harus menangkap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh penulis-penulis
literatur tersebut. Bahasa internasional lain seperti Jerman, Prancis, Spanyol, Arab maupun Mandarin bisa
diajarkan untuk memperluas literatur yang dapat dibaca. Untuk anak yang sangat berbakat, pengajaran
bahasa Latin dan Yunani bisa menjadi bahan pertimbangan. Kemampuan menulis secara utuh juga mulai
diajarkan. Kemampuan menulis esai maupun fiksi dapat dijadikan sebagai sebuah tonggak keberhasilan di
tahap ini. Diskusi dan debat dapat dipakai selanjutnya untuk mengasah kemampuan logika mereka.

Di tahap retorika, tahap usia sekolah menengah atas, anak didik diharapkan sudah mampu
melakukan sistesis dari apa yang telah mereka sebelumnya. Matematika, ilmu alam dan ilmu sosial bukan
lagi pelajaran yang terpisah melainkan satu. Sejarah dan geografi juga diintegrasikan untuk memberikan
nilai humanisme. Ilmu filsafat sebagai ibu dari semua ilmu sudah bisa diperkenalkan. Literatur-literatur
tingkat lanjut diharapkan dapat memperkaya wawasan mereka. Kemampuan memilah informasi, mana
yang penting dan tidak penting, mana yang relevan dan tidak relevan, menjadi kegiatan sehari-hari.
Kemampuan orasi dan menulis diharapkan telah mencapai tahap tertinggi. Sebagai sebuah tonggak final,
anak diharapkan dapat membuat sebuah tulisan komprehensif mengenai sebuah topik, yang kemudian
diujikan di depan pengajar. Keberhasilan mempertahankan tulisannya akan menjadi tanda kelulusannya
dari trivium.

Liberal arts, yang mengusung kata liberal yang berarti membebaskan, khususnya setelah trivium
diharapkan dapat membentuk anak didik yang:
(1) mampu membaca dan menyimak dengan baik

(2) mampu berpikir dengan jernih dan mengekspresikan dirinya secara persuasif

(3) mampu menempatkan dirinya dalam ruang, waktu, dan budaya dalam relasinya dengan dunia
luar

(4) mampu mengapresiasi dan belajar dari perbedaan antara dirinya dan orang di tempat dan masa
yang berbeda

(5) mampu menikmati keindahan yang terpapar di hadapannya

(6) mampu belajar secara mandiri dan berkelanjutan, dengan menggunakan lima kemampuan di
atas

(7) mengevaluasi dan mengarahkan semua ilmu yang dipelajarinya menuju ke kebenaran sejati
(Wes Callihan, dalam Schola Classical Tutorials).

Quadrivium, sebagai dasar pendidikan tinggi memuat modal lanjutan untuk pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi awal (strata satu) perlu dikembalikan sebagai sarana untuk mencetak doktorandus, atau
calon doktor. Pendidikan liberal arts justru tidak mengkotak-kotakkan ilmu seperti kecenderungan umum
sekarang. Mahasiswa meneruskan trivium dengan menambah amunisi baru untuk pertempuran
berikutnya. Amunisi lanjut ini ialah matematika, fisika, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, psikologi,
sejarah, filsafat, bahasa asing, atau ilmu-ilmu murni lainnya. Dalam empat tahun (mengikuti tradisi
quadrivium) mahasiswa menyelesaikan semua ilmu murni ini pada tahap elementer. Studi ini akan ditutup
dengan sebuah ujian komprehensif untuk menguji penguasaan mahasiswa atas masing-masing subjek.
Kelulusan akan menjadi sebuah tonggak kesiapan mahasiswa untuk menjadi seorang kandidat doktor,
meninggalkan masa magang (apprenticeship) untuk memulai petualangannya sendiri di belantara ilmu
pengetahuan.

Manusia-manusia yang dilahirkan dari pendidikan klasik ini, setelah melalui jalan yang panjang,
diharapkan memiliki kemampuan sebagai penerus peradaban manusia dan membawa umat manusia ke
masa depan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai