Anda di halaman 1dari 105

KARYA TULIS ILMIAH

Disusun Oleh :
ADE ARI SATRI
08170100175

TUGAS TAKE HOME


KEPERAWATAN KOMPUTER

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU

SARJANA KEPERAWATAN 2019


LEMBAR PERSETUJUAN

Disusun oleh:

ADE ARI SATRI

Pembimbing

i
KATA PENGANTAR

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ i


ABSTRAK ................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... v
DAFTAR DIAGRAM ............................................................................................... vi
DAFTAR SKEMA ................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 8
C. Tujuan ................................................................................................................ 8
D. Manfaat penelitian .............................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................... 11
A. Landasan Teori ................................................................................................. 11
1. Konsep Dasar penyakit Diabetes Militus ..................................................... 11
2. Luka kaki diabetik ........................................................................................ 23
3. Perawatan luka diabetik ................................................................................ 28
B. Kerangka Teori................................................................................................. 63
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 64
A. Kerangka Konsep ............................................................................................. 64
B. Variabel dan Definisi Operasional ................................................................... 66
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 69
A. Desain Penelitian .............................................................................................. 69
B. Waktu dan Tempat penelitian .......................................................................... 70

iii
C. Populasi dan Sampel ........................................................................................ 71
D. Pengumpulan Data ........................................................................................... 74
BAB V PEMBAHASAN .......................................................................................... 80
A. Gambaran Umum Lahan Paktik ....................................................................... 80
B. Hasil Penelitian ................................................................................................ 81
C. Pembahasan Penelitian ..................................................................................... 89
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................. 93
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 93
B. Rekomendasi ....................................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR TABEL

v
DAFTAR DIAGRAM

vi
DAFTAR SKEMA

vii
DAFTAR LAMPIRAN

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat

dari defek sekresi insulin, kerja insulin atau bahkan keduanya. Diabetes

melitus menjadi masalah kesehatan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga

dunia. Prevalensi penyakit ini terus bertambah secara global. Diabetes

Melitus (DM) adalah salah satu jenis penyakit degenerative yang

mengalami peningkatan setiap tahun di negara-negara seluruh dunia.

Menurut Internasional of Diabetic Ferderation (IDF, 2015), Tahun 2013

Indonesia memiliki sekitar 8,5 juta penderita Diabetes yang merupakan

jumlah ke-empat terbanyak di Asia dan nomor-7 di dunia. Dan pada

tahun 2020, diperkirakan Indonesia akan memiliki 12 Juta penderita

diabetes, karena yang mulai terkena diabetes semakin muda.

Tingkat prevalensi global penderita DM pada tahun 2014 sebesar

8,3% dari keseluruhan penduduk di dunia dan mengalami peningkatan

pada tahun 2014 menjadi 387juta kasus. Indonesia merupakan negara

menempati urutan ke 7 dengan penderita DM dengan sejumlah 8,5 juta

penderita setelah Cina, India dan Amerika Serikat, Brazil, Rusia, Mexico

(IDF, 2015).

1
2

Angka kejadian DM menurut data Riskesdas (2013) terjadi

peningkatan dari 1,1 % di tahun 2007 meningkat menjadi 2,1 % di tahun

2013 dari keseluruhan penduduk sebanyak 250 juta jiwa. Berdasarkan

data Riskesdas 2007, prevalensi diabetes mellitus di pulau Jawa adalah di

provinsi DKI Jakarta sebesar 1,8%, di Provinsi Jawa Barat sebesar 0,8%,

di provinsi D.I Yogyakarta sebesar 1,1%, di provinsi Jawa Timur sebesar

1,0%, di Provinsi Banten sebesar 0,5%. Prevalensi diabetes pada

kelompok usia lanjut usia di Negara-negara maju juga makin meningkat

dengan bertambah panjangnya usia penduduk, sehingga konsekuensinya

meningkatnya masalah-masalah kesehatan akibat komplikasi diabetes.

Angka kejadian penderita DM yang besar berpengaruh

peningkatan komplikasi.Menurut Soewondo dkk (2010) dalam Purwanti

(2013) sebanyak 1785 penderita diabetes melitus di Indonesia yang

mengalami komplikasi neuropati (63,5%), retinopati (42%), nefropati

(7,3%), makrovaskuler (6%), mikrovaskuler (6%), dan kaki diabetik

(15%). Adapun cara pencegahan komplikasi pada penderita DM yaitu

melakukan kontrol kadar gula darah, periksa rutin gula darah, konsumsi

obat hiperglikemi, latihan fisik ringan dan patuh dalam diit rendah kalori

(Arisman, 2011).

Salah satu pilar dalam penanganan diabetes adalah intervensi

farmakologi berupa pemberian obat hipoglikemia oral. Keberhasilan

dalam pengobatan dipengaruhi oleh kepatuhan pasien terhadap


3

pengobatan yang merupakan faktor utama dari outcame terapi. Upaya

pencegahan komplikasi pada penderita diabetes mellitus dapat dilakukan

dengan meningkatkan kepatuhan untuk memaksimalkan outcame terapi.

Kepatuhan pengobatan adalah kesesuaian pasien terhadap anjuran atas

medikasi yang telah diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan

frekuensi. Hubungan antara pasien, penyedia layanan kesehatan, dan

dukungan social merupakan faktor penentu interpersonal yang mendasar

dan terkait erat dengan kepatuhan minum obat.

Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan

glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2 adalah factor

ketidakpatuhan pengobatan dan kepatuhan dalam diit rendah kalori.

Kepatuhan dalam diit merupakan salah satu pilar keberhasilan dalam

penatalaksanaan DM (Djokroprawiro,2006). Penelitian yang lebih

spesifik tentang kepattuhan dalam pengobaan DM pada umumnya masih

rendah, 80% pasien DM menyuntik dengan cara yang tidak tepat, 58%

menyuntik insulin dengan dosis yang tidak sesuai, 77% memantau dan

menginterprestasikan gula darah secara tidak tepat, dan 75% tidak mau

makan sesuai dengan anjuran (Sukratini dan Ambartana 2011).

Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh phitri &Widiyaningsih

2013 memperlihatkan bahwa kepatuhan menjalankan program diit

sebagian besar tidak patuh sebanyak (56,9%).

Perencanaan makan (diet) merupakan penatalaksanaan dasar DM


4

tipe II sebelum penggunaan obat hipoglikemik oral maupun suntik

insulin. Penatalaksanaan ini lebih baik daripada penggunaan obat-obatan,

karena terhindar dari konsumsi bahan-bahan kimia yang terkandung

didalam obat. Di dalam diet ini, penderita DM harus sungguh-sungguh

mengatur pola makan. Penderita DM harus mengkonsumsi makanan yang

rendah lemak; cukup karbohidrat; protein; tinggi serat terutama serat larut

yang terdapat didalam sayuran dan buah-buahan (> 25 gram serat

larut/hari) (Shahab, 2006). Serat larut dan zat-zat lainnya dapat

ditemukan di dalam berbagai macam sayuran dan buah-buahan, seperti

kangkung, wortel, terong, kol, bayam, buncis, apel merah, belimbing, pir

hijau, jambu biji merah, pepaya, dan sebagainya (Haryati, 2008).

Selain sayuran dan buah-buahan yang telah disebutkan, ternyata

ada salah satu tanaman yang banyak mengandung serat dan antioksidan.

Tanaman yang dimaksud adalah tanaman rosella yang sering tumbuh

dihalaman-halaman rumah saat ini. Hanya saja masyarakat belum

sepenuhnya menyadari tentang berbagai macam manfaat yang terkandung

didalamnya (Kustyawati&Ramli, 2008). Tanaman rosella semakin

populer dikalangan masyarakat dikarenakan cara penanaman dan

pemeliharaannya yang sangat mudah. Meskipun di Indonesia sendiri

belum banyak dimanfaatkan, tetapi di Negara lain sudah banyak

dimanfaatkan sejak dulu.

Seluruh bagian dari tanaman seperti bunga, buah, kelopak dan


5

daunnya dapat dimakan. Tanaman rosella ini juga dimanfaatkan sebagai

bahan minuman, sari buah, salad, sirup, asinan dan puding

(Maryani,Herti 2005). Kelopak rosella sering digunakan sebagai bahan

minuman yaitu sebagai teh. Teh rosella ini dibuat dengan cara menyeduh

3 kuntum kelopak rosella kering dengan 200 cc (1 gelas) air panas,

kemudian diminum 3 kali sehari (Obat Herbal Tradisional Rosella, 2010).

Teh rosella ini disebut juga terapi tanaman obat (terapi herbal). Untuk

terapi diabetes, teh rosella ini dikonsumsi selama 7 hari.

Kelopak rosella kering (teh rosella) yang sudah diseduh

mempunyai warna yang menarik dan rasa manis asam yang sangat kuat.

Banyak yang belum menyadari bahwa ternyata teh rosella ini mempunyai

efek farmakologis yang cukup lengkap untuk kesehatan tubuh (Maisarah,

2008). Kelopak rosella diketahui dapat membantu mengurangi kekentalan

darah (menurunkan kadar gula darah) dan melancarkan peredaran darah.

Hal ini dilihat dengan adanya kandungan farmakologi didalam kelopak

rosella, yaitu asam sitrat, asam malat, vitamin C, antosianin, protein dan

flavonoid. Flavonoid yang terdiri dari gossy peptin, anthocyanin

danglucoside hibiscin tersebut berperan sebagai antioksidan yang dapat

membantu menetralkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan pada

sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga meningkatkan

kembali sensitifitas kerja insulin (Haryadi, 2010)

Kebenaran tentang manfaat teh rosella untuk menurunkan kadar


6

gula darah ini diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Arifiyani (2009) dengan judul penelitian pengaruh air rebusan bunga

rosella terhadap kadar glukosa darah studi eksperimental pada tikus

dengan pembebanan glukosa. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil

bahwa terdapat pengaruh antara pemberian air rebusan bunga rosella

terhadap penurunan kadar gula darah. Dengan nilai probabilitas pada

menit terakhir yaitu menit ke-90 dari uji paired sample test pada

kelompok I, II, III adalah > 0,05 dan pada kelompok IV adalah <0,05

Dimana kelompok I merupakan kontrol positif yang hanya diberi

aquadest, kelompok II diberi air rebusan bunga rosella sebanyak 25 %,

kelompok III diberi air rebusan bunga rosella sebanyak 50 % dan

kelompok IV diberi air rebusan bunga rosella sebanyak 100 %. Dalam

penelitian ini dinilai yang berpengaruh dalam menurunkan kadar gula

darah adalah flavonoid yang terkandung didalam air rebusan rosella

(Arifiyani, 2009).

Meskipun baru di uji cobakan pada mencit dan masih banyak orang

yang belum menyadari tentang manfaat rosella yang cukup baik untuk

kesehatan tubuh, ternyata teh rosella juga sudah dikonsumsi oleh

sebagian kecil masyarakat. Contoh kecilnya adalah pada dua orang

penderita DM tipe II (Diabetisi) yang sudah sekian lama menderita DM

dengan kadar gula darah yang kadang jauh diatas normal. Kedua diabetisi

tersebut mengungkapkan sudah bosan dengan obat-obatan kimia dan

ingin mencari pengobatan yang lain. Setelah mencari informasi ke


7

berbagai sumber, akhirnya ada teman yang menyarankan untuk

mengkonsumsi teh rosella untuk terapi diabetes. Setelah diabetisi I

mengkonsumsi teh rosella selama hampir 1 bulan dan diabetisi II

mengkonsumsi teh rosella kurang lebih selama 3 bulan, kadar gula darah

ke dua diabetisi tersebut kembali stabil (Fakta tentang rosella,2009).

Diabetisi I yang sebelum mengkonsumsi teh rosella mempunyai

kadar gula darah 450 mg/dl, setelah hampir satu bulan mengkonsumsi teh

rosella kini kadar gula darahnya menjadi 130 mg/dl. Sedangkan pada

diabetisi II yang sebelum mengkonsumsi teh rosella mempunyai kadar

gula darah 320 mg/dl, setelah hampir tiga bulan mengkonsumsi teh

rosella kini kadar gula darahnya menjadi 101 mg/dl (Fakta tentang

rosella,2009).

Angka kejadian diabetes mellitus Tipe II di RSU adhyksa

meningkat pada tahun 2016 yaitu sejumlah 2610 orang dari 664 orang

pada tahun 2015. Dan pada 6 bulan terakhir di Poliklinik penyakit dalam

dari bulan Oktober 2017 - Maret 2018 di dapatkan data dari 3287

pengunjung 1664 orang adalah penderita penyakit diabetes mellitus.

Berdasarkan hasil presurvey penelitian di RSU Adhyksa pada

tanggal 26 Maret 2018 dengan menggunakan metode wawancara

terhadap 20 orang penderita diabetes di poliklinik RSU Adhyaksa

didapatkan hasil, sebanyak 15 orang mengatakan hanya minum obat yang

diberikan dokter dan sebanyak 5 orang penderita mengatakan selain


8

minum obat pernah juga mencoba terapi komplementer seperti meminum

daun insulin dan daun kumis kucing tetapi tidak dikonsumsi lagi karena

kadar gula darah tetap tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang bagaimana “Pengaruh Pemberian Teh Kelopak Bunga

Rosella Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah (KGD) Pada Penderita

Diabetes Mellitus Di Poliklinik RSU ADHYAKSA.

B. Rumusan Masalah

Diabetes Melitus Menyebabkan Terganggunya aktifitas, ada

penelitian yang mengatakan bahwa teh rosella memiliki kandungan yang

baik untuk memperbaiki resistensi insulin, Berdasarkan data yang didapat

dari hasil rekam medis di Rsu Adhyksa ternyata angka kejadian Diabetes

mellitus terus meningkat dari tahun ke tahun maka dari itu peneliti tertarik

untuk membuat rumusan masalah sebagai berikut: “Adakah pengaruh

antara pemberian teh rosella dengan penurunan Kadar Gula Darah (KGD)

pada penderita Diabetes Mellitus (DM Di Poliklinik RSU Adhyaksa

Tahun 2018?”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kelopak bunga rosella


terhadap penurunan Kadar Gula Darah (KGD) pada penderita Diabetes
Mellitus (DM) di Poliklinik RSU Adhyaksa Tahun 2018.
9

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui penurunan gula darah sebelum diberikan teh rosella

pada penderita diabetes mellitus di poliklinik RSU Adhyaksa

Tahun 2018.

b. Diketahui penurunan gula darah setelah diberikan teh rosella

pada penderita diabetes mellitus di poliklinik RSU Adhyaksa

Tahun 2018.

c. Diketahui Pengaruh pemberian teh rosella pada penderita

diabetes mellitus terhadap penurunan gula darah di poliklinik

RSU Adhyaksa Tahun 2018.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Aplikatif

a. Bagi penderita diabetes mellitus

Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan penderita

diabetes mellitus yang nantinya menjadi bahan pertimbangan

untuk memilih metode yang tepat dan praktis dalam

menurunkan kadar gula darah yang salah satunya dengan

mengkonsumsi teh rosella

b. Bagi Rumah Sakit Terkait

Memberikan tambahan informasi dalam pelayanan kesehatan

pada penderita diabetes melitus dalam meningkatkan kualitas

hidup dan pelayanan kesehatan khususnya dalam penyakit


10

diabetes sesuai dengan misi rumah sakit ADHYAKSA yang ke

4 yaitu berperan serta dalam pendidikan,penelitian dan

pengabdian masyakat dalam rangka meningkatkan kesehatan

masyarakat.

2. Manfaat Teoritis

Bagi institusi pendidikan Sebagai sumber bacaan dalam keperawatan

penyakit dalam dan kegiatan proses belajar mengajar khususnya

keperawatan pada penderita DM tipe II. Serta Hasil penelitian dapat

menjadi referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan

penelitian sejenis.

3. Manfaat Metodologis

Bagi peneliti Menambah pengetahuan dan digunakan sebagai

pembelajaran peneliti dalam melakukan penelitian terkait dengan

dengan pengaruh daun the rosella terhadap penurunan kadar gula darah.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Landasan Teori

1. Diabetes Mellitus

a. Pengertian

Menurut WHO (2009), Diabetes adalah penyakit kronis, yang

terjadi ketika pankreas tidak cukup memproduksi insulin, atau ketika

tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan

oleh pankreas. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa

dalam darah (Diabetes, 2010).

Diabetes Melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar

glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar

belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo, 2009).

Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik

dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana

defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

Kejadian ini berhubungan dengan arteosklerosis yang dipercepat, dan

merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskuler

spesifik seperti nefropati, neuropati dan retinopati (Soegondo, 2011)

11
12

b. Klasifikasi

Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia )adalah yang sesuai dengan anjuran klasifikasi

DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2011, sebagai

berikut :

1) Diabetes Melitus tipe 1 (DM tipe I)

Diabetes tipe 1 merupakan 5-10 persen dari semua kasus

diabetes, biasanya ditemukan pada anak atau orang dewasa

muda.Pada diabetes tipe ini pankreas mengalami kerusakan dan tidak

ada pembentukan insulin sehingga penderita melakukan suntikan

insulin setiap hari. (R.A Nabyl, 2012)

Diabetes tipe 1 terjadi jika tubuh sama sekali tidak dapat

memproduksi insulin, gejalanya akan cepat terasa karena tidak ada

kontrol gula darah. Peran insulin sangat penting dalam menjaga

stabilitas tubuh dengan mencegah penghancuran protein (tersimpan

dalam otot) dan lemak. Jika insulin tidak ada, produk sampingan

hasil penghancuran lemak dan otot akan menumpuk dalam darah dan

menghasilkan suatu zat yang dinamakan keton. Jika hal ini dibiarkan

terus, jumlahnya akan terus meningkat hingga orang tersebut

mengalami apa yang disebuk ketoasidosis koma. (Bilous, 2008)

Gangguan insulin pada tipe 1 umumnya terjadi karena

kerusakan sel-sel beta pulau langerhans yang disebabkan oleh reaksi

autoimun.Namun ada pula yang disebabkan oleh virus, diantaranya


13

virus Coksakie, Rubella, CM Virus, Herpes, dan lain-lain.(R.A

Nabyl, 2012).

2) Diabetes Melitus tipe II (DM tipe II)

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih

umum dengan jumlah penderita lebih banyak dibandingkan dengan

diabetes tipe 1. Penderita diabegtes tipe 2 mencapai 90-95 persen

dari seluruhan total populasi penderita diabetes mellitus. Tipe ini

biasanya ditemukan pada orang yang berusia diatas 40 tahun, dengan

berat badan berlebihan. Obesitas memang bias menyebabkan tidak

bekerjanya insulin secara baik sehingga pemecahan gula terganggu

dan meningkatkan kadar gula darah. Namun dengan kini jumlah

penderita diabetes tipe 2 di kalangan remaja dan anak pun

meningkat. (R.A Nabyl, 2012)

Karena suplai insulin berkurang atau tidak cukup efektif

sebagaimana mestinya, tingkat gula darah naik lebih lamban. Tidak

banyak protein dan lemak yang dihancurkan, hingga produksi keton

pun tidak banyak, dan resiko terkena ketoasidosi koma pun kecil

(Bilous, 2008).

3) Diabetes Gestasional

Diabetes tasional adalah kehamilan normal yang disertai

peningkatan resistensi insulin (ibu hamil gagal mempertahankan


14

euglycemia). Faktor resiko diabetes mellitus gestasional antara lain

riwayat keluarga, obesitas, dan glikosuria. Diabetes ini didapatkan

pada 2-5 persen ibu hamil. Biasanya gula darah kembali normal bila

sudah melahirkan, namun risiko ibu untuk mendapatka diabetes tipe

2 sangat di kemudian hari vukup besar. Diabetes gestasional

meningkatkan morbiditas neotatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,

polisitemia, dan makrosomia.Hal ini terjadi karena bayi dari ibu

yang menderita diabetes gestasional mensekresi insulin lebih besar

sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.Frekuensi

diabetes gestasional kira-kira 3-5 persen (R.A Nabyl, 2012).

4) Diabetes Melitus tipe lain

Ini merupakan diabetes yang timbul akibat penyakit lain yang

mengakibatkan gula darah meningkat, misalnya infeksi berat,

pemakaian kortikosteroid, dan lain-lain. Dalam diabetes ini individu

mengalami hiperglikemiaakibat kelainan spesifik (kelainan genetik

fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit akromegali), penggunaan

obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat

yang mengganggu insulin (b-andrenergik), dan infeksi atau sindroma

genetik(R.A Nabyl, 2012).


15

c. Gejala Diabetes Melitus

1) Poliuri (peningkatan produksi urine)

Gejala awal diabetes melitus berhubungan dengan efek

langsung dengan efek langsung dari kadar gula darah yang

tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dl, maka

glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi

lagi ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan

sejumlah besar glukosa yang hilang. Karna ginjal menghasilkan

air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering

berkemih dalam jumlah yang banyak

2) Polidipsi (sering kali merasa haus dan ingin minum sebanyak-

banyaknya)

Dengan banyaknya urine yang keluar, tubuh akan

kekurangan cairan (dehidrasi). Untuk mengatasi hal tersebut,

maka muncullah rasa haus, sehingga diabetisi selalu ingin

minum yang banyak, dingin, manis dan segar. Hal inilah yang

merugikan karena membuat kadar gula darah semakin tinggi.

3) Polifagia (peningkatan nafsu makan) dan kurang tenaga

Untuk mengkompensasi kalori yang hilang maka penderita

diabetes seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga

banyak makan. Inilah yang disebut polofagi.


16

Gejala yang lain adalah pandangan kabur, pusing, mual dan

berkurangnya ketahanan selama melakukan olahraga (Nabyl,

2012).

d. Patofisiologi Diabetes Melitus

1) Patofisiologi Diabetes Tipe 1

Pada diabetes tipe 1, tidak terdapat hormon insulin

disebabkan oleh karena pada diabetes tipe 1 terjadi reaksi

autoimun. Pada individu yang rentang terhadap diabetes tipe 1,

terdapat adanya ICA (Islet Cell Antibody) yang meningkat

kadarnya oleh karena beberapa faktor pencetus seperti infeksi

virus, diantaranya virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-

lain hingga timbul peradangan pada sel beta (insulitis) yang

akhirnya menyebabkan kerusakan permanen sel beta. Yang

diserang pada insulitis itu hanya sel beta, biasanya sel alfa dan

beta tetap utuh (Suyono dalam Soegondo, 2011).

2) Patofisiologi Diabetes tipe 2

Diabetes tipe 2 adalah kelainan yang heterogen dengan

prevalensi yang sangat bervariasi diantara kelompok etnis. Di AS

populasi yang sangat tinggi prevalensi adalah suku bangsa India

Pima, Keturunan Spanyol dan Asia. Patogenesis diabetes mellitus

tipe 2 diatandai dengan adanya resistensi insulin perifer,


17

gangguan “Hepatic Glucose Production (HPG)” dan penurunan

fungsi sel beta, yang pada akhirnya akan menuju ke kerusakan

total sel beta. Pada stadiun prediabetes, mula-mula tinbul

resistensi insulin yang disusul kemudian peningkatan sekresi

insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin itu agar kadar

glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak

sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar

glukosa meningkat dan fungsi sel beta makin menurun. Saat

itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi

sel beta itu berlangsung secara progresif sampai pada akhirnya

sama sekali tidak mampu lagi mensekresi insulin, suatu keadaan

menyerupai diabetes tipe 1 dan kadar glukosa darah makin

meningkat (Suyono dalam Soegondo, 2011).

e. Kriteria DM

1) Kriteria diagnostik DM menurut Perkeni (2015) Gejala dan

tanda klinis klasik diabetes ditambah dengan kadar glukosa

sewaktu > 200 mg/dL. Dimana sewaktu didefinisikan sebagai

kapan saja dalam satu hari tanpa mempedulikan waktu sejak

terakhir kali, sedangkan gejala dan tanda klinis klasik diabetes

3P berupa poliuria (banyak buang air kecil), polidipsia (banyak

minum), polifagia (banyak makan) serta penurunan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.


18

2) Kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL (>7mmol/L), dimana

puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori selama

kurang lebih 8 jam.

3) Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan >200 mg/dL (>11,1

mmol/L (LeMone & Burke, 2008).

f. Komplikasi Diabetes Melitus

1) Komplikasi Akut

a) Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang

disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan

berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai

kejang.penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat

hipoglikemik oral golongan sulfonilurea. Tanda hipoglikemia

mulai muncuul bila glukosa darah kurang dari 50 mg/dl,

meskipun reaksi hipoglikemia bisa juga muncul pada kadar

glukosa darah yang lebih tinggi (Boedisantoso, 2011).

b) Hiperglikemia

Kelompok hiperglikemia secara anamnesis ditemukan

adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral

maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Tanda khas

adalah kesadaran menurun disertai dehidrasi yang berat

(Boedisantoso, 2011).
19

2) Komplikasi Kronik

a) Retinopati

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling

sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74 tahun.

Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai

dari retinopati non-proliferatif sampai perdarahan retina,

kemudian ablasio retina dan lebih lanjut lagi akan

menyebabkan kebutaan.

b) Nefropati

Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai

dengan adanya mikroalbuniuria, dan kemudian berkembang

menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan

fingsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan keadaan

gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan pengobatan

subtitusi.

c) Penyakit Jantung Koroner

Kewaspadaan untuk kemungkinan terjadinya penyakit

pembuluh darah koroner harus ditingkatkan terutama untuk

mereka yang mempunyai resio tinggi terjadinya kelainan

arterosklerosis seperti mereka yang mempunyai riwayat

keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun riwayat

keluarga DM yang kuat.


20

d) Penyakit Pembuluh Darah Perifer

Mengenali dan mengelola berbagai faktor resiko terkait

terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang

paling penting dalam usaha pencegahan terjadinya masalah kaki

diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki, neuropati dan adanya

penurunan suplai darah ke kaki merupakan hal yang harus dicari

dan diperhatikan pada praktik pengelolaan DM sehari-hari

(Sudoyo, 2006).

g. Pengelolaan DM

Tujuan utama pengelolaan diabetes menurut Perkeni 2015 adalah :

1) Jangka pendek : menghilangkan keluhan/gejala DM dan

mempertahankan rasa nyaman dan sehat.

2) Jangka panjang : mencegah penyulit, baik makroangiopati

maupun neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM.

3) Cara : menormalkan kadar glukosa, lipid, insulin. Mengingat

mekanisme dasar kelainan DMadalah terdapatnya faktor

genetik, tekanan darah, resistensi insulin dan insufisiensi sel

beta pankreas, maka cara-cara untuk memperbaiki kelainan

dasar yang dapat dikoreksi harus tercermin pada langkah

pengelolaan.
21

4) Kegiatan : mengelola pasien secara holistik, mengajarkan

perawatan mandiri dan melakukan promosi perubahan

perilaku.

Menurut Perkeni (2015), ada 4 pilar pengelolaan DM :

1) Edukasi (penyuluhan)

Edukasi merupakan bagian integral asuhan perawatan

DM. Edukasi adalah pendidikan dan latihan mengenai

pengetahuan dan ketrampilan pada pengelolaan DM yang

diberikan kepada setiap penderita DM. Melalui edukasi,

penderita diabetes (diabetisi) bisa mengetahui dan mengerti

tentang apa itu diabetes, masalah apa yang harus dihadapi,

mengapa penyakit ini perlu dikendalikan secepatnya, dan

seterusnya (Soegondo, 2008). Dalam edukasi ini ditekankan

bahwa hal yang terpenting dalam pengendalian diabetes adalah

perubahan pola makan dan aktifitas fisik (olah raga), inilah

yang disebut dengan perubahan gaya hidup (life style)

(Kariadi, 2009).

2) Perencanaan makan (diet)

Pengaturan pola makan merupakan pilar terpenting bagi

pengobatan diabetes, istilah yang lebih dikenal adalah diet.

Pengaturan makan yang dimaksud adalah merancang

sedemikian rupa makanan yang jumlahnya sesuai dengan

kebutuhan sehingga insulin yang tersedia mencukupi dan zat


22

gizi yang terkandung didalamnya sehat dan seimbang (Kariadi,

2009). Dalampenatalaksanaan penyakit DM, diet yang tepat

merupakanlangkah pertama sebelum pemberian obat-obatan,

suntik insulin, maupun yang tanpa obat dan insulin (Soegondo,

2008).

3) Latihan Jasmani/Olahraga

Dengan melakukan kegiatan olahraga secara teratur dan

berkesinambungan diharapkan kadar gula darah penderita DM

tipe II tetap stabil di angka normal. Selain dapat menormalkan

kadar gula darah, olahraga secara teratur juga dapat

memberikan beberapa keuntungan, antara lain : mendapatkan

kesegaran tubuh, membuang kelebihan kalori sehingga

mencegah kegemukan, gula darah lebih terkontrol, mengurangi

kebutuhan obat dan insulin, mencegah terjadinya DM tipe II

dini bagi orang-orang yangtermasuk golongan resiko tinggi,

menurunkan tekanan darah tinggi dan mengurangi resistensi

insulin pada orang yang obesitas (Soegondo, 2009).

4) Obat-obatan (Terapi Farmakologik)

Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan

olah raga) belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah

penderita, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa

penatalaksanaan terapi farmakologik. Menurut Kariadi (2009)

terapi farmakologik pada DM dibagi menjadi 2, yaitu:


23

a) Obat-obat yang diminum (oral), yaitu tablet atau pil yang

disebut obat hipoglikemik oral (OHO).

b) Obat untuk disuntikkan, yaitu insulin.

Untuk penderita DM, insulin biasanya diberikan dalam

berbagai kondisi.

2. Luka Kaki Diabetik

a. Pengertian luka kaki diabetik

Luka adalah rusaknya atau hilangnya kontuinitas jaringan yang

dapat diakibatkan oleh faktor internal seperti obat-obatan, perubahan

sirkulasi, perubahan proses metabolisme, infeksi, kegagalan

transport oksigen dan juga oleh faktor eksternal seperti suhu yang

ekstrim, injury, alergen, radiasi, zat-zat kimia (Potter & Perry, 2010).

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Penyebab

luka dapat berasal dari tusukan/goresan benda tajam, benturan benda

tumpul, kecelakaan, terkena tembakan, gigitan hewan, bahan kimia,

air panas, uap air, terkena api atau terbakar, listrik dan petir

(Murtutik & Marjiyanto, 2013).

Luka Kaki Diabetik adalah kerusakan sebagian (partial

thickness) atau keseluruhan (full thickness) pada kulit yang dapat

meluas kejaringan dibawah kulit, tendon, otot, tulang atau

persendian yang terjadi pada seseorang yang menderita penyakit

diabetes melitus (Parmet& Frykberg, 2006). Kondisi luka kaki


24

diabetik timbul sebagai akibat terjadinya peningkatan kadar gula

darah. Luka kaki diabetik yang lama, atau tidak dilakukan

penatalaksanaan yang tepat dan tidak sembuh, maka luka akan

menjadi infeksi, dan ini merupakan kondisi yang sering

mengakibatkan gangren dan amputasi (Suriadi, 2015).Luka kaki

diabetik didefinisikan sebagai luka yang mengalami kegagalan

proses perbaikan integritas jaringan sesuai dengan fungsi anatomi

dan biasanya berlangsung selama periode lebih dari tiga bulan

(Frank, 2009).

b. Patofisiologi dan Manifestasi klinik

Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah neuropati

dan vaskular adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya

luka. Pada pasien dengan diabetik, sering kali mengalami gangguan

pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan

gangguan sensasi saraf terutama pada bagian tubuh perifer atau yang

dikenal dengan diabetic peripheral neuropathy (Tanenberg, 2009).

Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan kerusakan pada saraf. Hal

ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem

saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot, kelenjar dan organ

visceral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonom

menyebabkan terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan

abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi


25

dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi atau

tidak dapat mencapai jaringan perifer, atau untuk kebutuhan

metabolisme pada lokasi tersebut.

Efek pada neuropati autonomi ini akan menyebabkan kulit

menjadi kering, anhidrosis, yang memudahkan kulit menjadi rusak

dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan infeksi dan

meningkatkan risiko untuk terjadinya gangren. Dampak lain adalah

karena adanya neuropati perifer yang mempengaruhi pada saraf

sensori yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa tekanan, nyeri,

dan perubahan temperatur (Suriadi, 2004; Tanenberg, 2009).

Hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan tekanan yang biasanya terjadi

pada kaki juga menjadi faktor risiko yang memicu terjadinya luka,

sehingga berisiko tinggi infeksi dan terjadinya amputasi (Rowe,

2014). Infeksi pada penderita DM terjadi karena adanya kondisi

hiperglikemia merusak respon immunologi, hal ini menyebabkan

leukosit gagal melawan patogen yang masuk, selain itu iskemia

menyebabkan penurunan suplai darah yang menyebabkan antibiotik

juga tidak efektif sampai pada luka (Suriadi, 2015).

c. Klasifikasi luka diabetes

Luka diabetes menurut Wagnerdapat dibedakan kedalam enam

grade, yaitu (Clayton dan Elasy, 2009):


26

1) Grade 0: tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan

pembentukan kalus ”claw”

2) Grade 1 : Ulkus superfisial tanpa melibatkan jaringan bawah kulit

3) Grade 2 : Ulkus dalam tanpa terlibat tulang/pembentukan abses.

4) Grade 3 : Ulkus dalam dengan selulitis/abses atau osteomyelitis.

5) Grade 4 : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki, dengan tanpa

selulitis.

6) Grade 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

Untuk grade 0 dan grade 1, peran pencegahan primer sangat

penting dan semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan kesehatan

primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun oleh dokter umum

atau dokter keluarga.Grade3 dan grade 4 kebanyakan sudah

memerlukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih

memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk

grade 5, apalagi grade 6 jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas

sekali memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana

harus ada dokter bedah, terutamanya dokter ahli bedah vaskuler atau

ahli bedah plastik dan rekonstruksi (Sudoyo, 2009).

d. Manajemen luka diabetes

Manajemen luka diabetes nonsurgical terdiri dari menjaga

kelembapan pada lingkungan luka, debridement jaringan nekrotik,

mengurangi tekanan pada area luka, meningkatkan kekuatan otot


27

pada ekstremitas. Pengelolaan luka diabetes berhubungan dengan

pengurangan penekanan, pengendalian infeksi, perbaikan iskemia

dan menjaga lingkungan luka yang dapat meningkatkan proses

penyembuhan. Pengurangan penekanan pada area luka dengan

mengistirahatkan dan mengelevasikan ekstremitas harus dilakukan

sesegera mungkin. Selanjutnya adalah pengendalian infeksi. Pada

umumnya luka diabetes mengalami infeksi mikroorganisme

sehingga harus dilakukan kultur luka. Kultur luka yang harus

dilakukan adalah kultur luka bagian dalam akan menunjukkan hasil

yang lebih reliable terhadap kondisi luka. Dengan kultur antibiotik

yang diberikan akan lebih sensitif (Suryadi, Maliawan, 2012).

Perawatan luka yang diberikan pada pasien harus dapat

meningkatkan proses penyembuhan luka. Pembersihan luka

dilakukan minimal dua kali dalam sehari. Perawatan yang bersifat

memberi kehangatan dan lingkungan yang moist pada luka (Sartika,

2008). Balutan luka yang bersifat lembab dapat memberikan

lingkungan yang mendukung sel untuk melakukan suatu proses

penyembuhan luka dan mencegah terjadinya trauma atau kerusakan

ulangan yang memperparah kondisi luka. Kondisi luka yang lembab

pada permukaan luka dapat meningkatkan proses perkembangan

perbaikan kondisi luka, mencegah dehidrasi jaringan dan nekrosis

sel. Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan

faktor pertumbuhan (Carolina, 2014).


28

3. Perawatan luka kaki diabetik

a. Pengertian perawatan luka

Perawatan luka adalah serangkaian prosuder kegiatan atau

tindakan yang dilakukan untuk merawat luka agar dapat mencegah

terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa atau jaringan

lain, fraktur, luka operasi yang merusak kulit. Serangkaian kegiatan

itu meliputi pembersihan luka, pemasangan balutan, mengganti

balutan, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang

meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi,

pembuangan drainase, pemasangan perban (Bryant, 2007).

Perawatan luka dapat membuat pasien merasa tidak nyaman karena

adanya rasa nyeri yang timbul akibat rangsangan, iritasi atau trauma

pada saraf, biasanya pasien merasakan seperti terbakar, panas,

tersengat listrik, meskipun luka diabetik bersifat neuropati perifer

(Waspadji 2004, dalam Sudoyo, 2009).

b. Tujuan perawatan luka

Tujuan dilakukan perawatan luka adalah untuk membantu

proses penyembuhan luka agar berjalan efektif dengan waktu

masing-masing fase seminimal mungkin. Prosedur penanganan luka

berbeda-beda dengan tergantung jenis luka namun secara garis besar

terdiri dari pembersihan luka baik dengan irigasi maupun

debridement.Sebelum melakukan perawatan luka diawali dengan

melakukan anamnesis. Sebelum melakukan perawatan luka


29

diperlukan adanya pengkajian, dicari informasi penyebab luka,

kapan terjadinya luka, apa saja yang dilakukan untuk mengurangi

luka (Suryadi, Maliawan, 2012).

Menurut Brunner dan Suddarth (2013) ada beberapa tujuan

dalam perawatan luka, yaitu :

1) Mencegah terjadinya infeksi

2) Mempercepat proses penyembuhan luka

3) Meningkatkan kenyamanan fisik dan psikologi

c. Klasifikasi perawatan luka

1) Perawatan luka berdasarkan karakteristik luka:

a) Perawatan luka yang memiliki jaringan nekrotik yang

sering dijumpai pada luka kronis seperti ulkus iskemi, ulkus

neuropati, ulkus vena dan ulkus dekubitus. Luka yang memiliki

karakteristik banyak nekrotik dilakukan dengan cara

debridemen. Debridemen merupakan pengangkatan jaringan

yang sudah mengalami nekrosis yang bertujuan untuk

menyokong pemulihan luka. Indikasi debridemen adalah luka

akut atau luka kronik dengan jaringan nekrosis.

b) Perawatan luka yang terinfeksi

Kebanyakan luka kronik terkontaminasi oleh mikroorganisme

yang sangat banyak. Pada luka nfeksi yang menghasilkan bau

dapat menggunakan balutan dengan arang aktif (Activated


30

Charcoal dressing) sebagai penghilang bau yang efektif. Jika

terdapat eksudat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, maka

balutan busa yang menyerap dan dilapisi arang (Morissson,

2004).

c) Perawatan luka dengan banyak eksudat

Eksudat dapat mengikis tepi luka jika jaringan sekitarnya

menjadi terendam air. Volume eksudat berkurang pada

waktunya, tetapi sampai stadium tersebut diperlukan balutan

yang bisa menyerap dan tidak melekat (Morisson, 2004).

2) Perawatan luka berdasarkan etiologinya (Suryadi, Maliawan,

2012).

a) Luka insisi bedah

Lakukan pengkajian kondisi area operasi yang meliputi

kondisi balutan, adanya perdarahan, drain, insisi, jahitan.

Lakukan pembersihan luka dimulai pada pusat luka ke arah

keluar secara perlahan-lahan. Gunakan normal salin untuk

pembersihan luka. Pertahankan kondisi luka agar tetap bersih.

Penggantian balutan tergantung pada kondisi balutan bersih

atau kotor. Jenis balutan yang disarankan adalah balutan yang

dapat mempertahankan kelembaban.

b) Ulkus Arteri

Lakukan pengkajian adanya tanda-tanda infeksi, bila

keadaan luka kering dan eskar keras, jangan dilakukan


31

debridemen. Lakukan balutan dengan teknik steril dan

pertahankan lingkungan dalam keadaan lembab. Pada saat

berbaring posisi kepala ditinggikan 5 sampai 7 derajat yang

bertujuan untuk menyokong sirkulasi daerah kulit dan

ekstremitas.

c) Ulkus Vena

Lakukan pengkajian kondisi area luka. Ganti balutan

dengan teknik steril. Bersihkan luka dengan normal salin. Bila

ada jaringan nekrotik lakukan debridemen. Lakukan

peninggian posisi pada daerah kaki. Prinsip perawatan luka

pada ulkusvena adalah meningkatkan pengisian kembali ke

vena,yang akan menyebabkan statis vena menurun.

d) Neuropati perifer ulkus diabetik

Penggunaan balutan pada neuropati perifer ulkus diabetik

dapat disesuaikan dengan jumlah eksudat yang dihasilkan oleh

luka. Balutan yang sering digunakan adalah hidrogel. Balutan

ini digunakan ketika luka sedang kering dengan tujuan

menghasilkan sedikit cairan untuk melembabkan permukaan

luka. Balutan foam digunakan ketika luka menghasilkan cairan

eksudat yang banyak sampai sedang dan balutan alginat

digunakan ketika luka menghasilkan banyak cairan eksudat.


32

e) Ulkus dekubitus

Perawatan luka ulkus dekubitus mencakup 3 prinsip yaitu:

debridemen, pembersihan dan dressing. Debridemen dilakukan

untuk mencegah infeksi yang lebih luas. Debridemen bertujuan

untuk mengangkat jaringan yang sudah nekrosis. Gunakan

normal salin untuk pembersihan luka.

d. Efektifitas Penyembuhan luka

Dalam Jurnal Luka Indonesia terdapat tiga efektifitas

penyembuhan luka yaitu (Yusuf, 2017) :

1) Efektifitas waktu:

Lama perawatan luka selama 82 hari, frekuensi perawatan

sebanyak 23 kali, rata-rata pergantian balutan selam 4 hari, dan

rata-rata waktu perawatan selama 30-60 menit.

2) Efektivitas dressing :

Tidak nyeri, bau terkontrol, dan balutan tidak lepas.

3) Efektivitas hasil :

Sembuh tanpa komplikasi dan sembuh tanpa amputasi (minor

atau mayor).

e. Fase Penyembuhan Luka

Fase penyembuhan luka terdiri dari empat fase, yaitu (Orsted et

al, 2004; Rothenberg, 2013; Velnar, Bailey, dan Smrkolj, 2009):


33

1) Fase Hemostasis

Setelah terjadi kerusakan jaringan kulit pada saat luka,

trombosit berperan dalam penutupan dari kerusakan pembuluh

darah. Pembuluh darah itu sendiri akan mengalami penyempitan

dalam merespon cedera, tapi spasme ini akhirnya akan rileks.

Trombosit mengeluarkan zat vasokontriksi untuk membantu

proses ini, namun peran utamanya adalah untuk membentuk

bekuan darah stabil untuk menutup pembuluh darah yang rusak.

Trombosit diaktifkan dan mengeluarkan glikoprotein perekat

yang memicu agregasi trombosit (Orsted et al, 2004;

Rothenberg, 2013).

2) Fase Inflamasi

Secara klinis, inflamasi (fase kedua penyembuhan luka)

bermanifestasi sebagai eritema, bengkak, dan hangat, sering

timbul nyeri atau dikenal dengan istilah ”rubor et tumor cum

calore et dolore”. Fase ini biasanya berakhir hingga 4 hari pasca

luka terjadi. Respon inflamasi menyebabkan pembuluh darah

mengalami kebocoran, melepaskan plasma dan neutrofil ke

jaringan sekitarnya. Neutrofil memfagosit debris dan

mikroorganisme serta menyediakan garis pertahanan pertama

terhadap infeksi. Selama proses pencernaan bakteri dan selular

debris, neutrofil mati dan melepaskan enzim intraseluler ke

matriks sekitarnya yang kemudian mencerna jaringan. Fibrin


34

kemudian mengalami pemecahan sebagai respon pembersihan

dimana produk hasil degradasinya merangsang sel berikutnya

yang terlibat dalam proses tersebut seperti fibroblas dan sel

epitel. Hal ini diperantarai oleh mast cell lokal (Orsted et al,

2004; Rothenberg, 2013).

3) Fase Proliferasi

Fase proliferasi dimulai sekitar 4 hari setelah terjadinya

luka dan biasanya berlangsung sampai hari ke 21 pada luka akut,

tergantung pada ukuran luka dan kesehatan pasien. Hal ini

ditandai dengan angiogenesis, deposisi kolagen, pembentukan

jaringan granulasi, kontraksi dan epitelisasi luka. Secara klinis,

proliferasi ditandai oleh berwarna kemerahan pada jaringan atau

kolagen di dasar luka dan melibatkan penggantian jaringan kulit

dan kadang-kadang subdermal jaringan pada luka yang lebih

dalam, serta kontraksi luka. Dalam fase ini pertumbuhan lapisan

luar pembuluh darah kapiler dan sel-sel endotel. Proses ini

disebut angiogenesis. Sel keratinosit, yang bertanggung jawab

untuk epitelisasi (Orsted et al, 2004; Rothenberg, 2013).

4) Fase Remodelling

Proses penyembuhan luka melibatkan remodeling dan

penataan kembali jaringan luka dari jaringan kolagen untuk

menghasilkan tensil dengan kekuatan yang lebih besar. Sel-sel

utama yang terlibat dalam proses ini adalah fibroblas. Fase


35

remodeling bias memerlukan waktu hingga dua tahun setelah

luka terjadi. Selama fase ini fibrin dibentuk ulang, pembuluh

darah menghilang dan jaringan memerkuat susunannya (Orsted

et al, 2004; Rothenberg, 2013).

4. Nyeri

a. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.

Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap

orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang

tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengevakuasi rasa nyeri

yang dialaminya (Hidayat, 2008).

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual

dan potensial, yang menyakitkan tubuh serta dapat diungkapkan oleh

individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami

kerusakan atau cedera yang mengakibatkan dilepasnya bahan –

bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin,

histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang

akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier et.al, 2011).

Definisi keperawatan menyatakan nyeri adalah sesuatu yang

menyakitkan tubuh yang dapat diungkapkan secara subjektif oleh

individu yang mengalaminya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak


36

ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun

beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status

psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam

banyak hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan

sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau

stimuli emosional (Potter & Perry, 2010).

Intenational Association for Study of Pain(IASP),

mendefinisikan nyeri sebagai sesensori subyektif dan pengalaman

emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan

kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kondisi

terjadinya kerusakan. Kerusakan jaringan yang tidak menyenangkan

yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh atau disebut dengan

istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk,

panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual

(Potter & Perry, 2010).

b. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri

akut dan nyeri kronis. Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau

durasi terjadinya nyeri.

1) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu

yang singkat (kurang dari 6 bulan). Nyeri akut yang tidak diatasi
37

secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan yang

disebabkannya karena dapat mempengaruhi sistem pulmonary,

kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan imonulogik

(Potter & Perry, 2010).

2) Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih

dari 6 bulan. Nyeri kronik berlangsung di luar waktu

penyembuhan yang diperkirakan, karena nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya. Nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan

jaringan (Guyton & Hall, 2014). Nyeri kronik mengakibatkan

supresi pada fungsi sistem imun yang dapat meningkatkan

pertumbuhan tumor, depresi, dan ketidakmampuan.

Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi dua (Potter

dan Perry, 2010) yaitu :

1) Nyeri nosiseptif Nosiseptif berasal dari kata “noxsious/harmful

nature” dan dalam hal ini ujung saraf nosiseptif, menerima

informasi tentang stimulus yang mampu merusak jaringan. Nyeri

nosiseptif bersifat tajam, dan berdenyut dua (Potter dan Perry,

2010).

2) Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri

neuropatik terasa seperti terbakar, kesemutan dan hipersensitif


38

terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri atas beberapa

macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang umumnya bersumber

dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot dan

tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu

nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari

jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ

visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari

bermacam-macam organ viscera dalam abdomen dan dada (Guyton

& Hall, 2014).

c. Faktor – faktor yang mempengaruhi nyeri

Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor yang

saling berinteraksi.Kemampuan untuk mentoleransi nyeri dapat

rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah,

cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan

dengan obat-obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan

praktek spiritual (Le Mone & Burke,2008).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut

antara lain:

1) Pengalaman Nyeri Masa Lalu

Semakin sering individu mengalami nyeri, semakin takut

individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan


39

diakibatkan oleh nyeri. Individu ini mungkin akan lebih sedikit

mentoleransi nyeri akibatnya, individu tersebut ingin nyerinya

segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah.

Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui

ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak adekuat

(Potter & Perry, 2010).

2) Umur

Umumnya para lansia menganggap nyeri sebagai

komponen alamiah dari proses penuaan dan dapat diabaikan atau

tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Orang dewasa tua

mengalami perubahan neurofisiologi dan mungkin mengalami

penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang

nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi

pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau

diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf

normal (Le Mone & Burke, 2008).

Cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan

cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia

mempunyaimetabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak

tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia

lebih muda. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang akibat

dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakitnya

(misalnya diabetes) (Le Mone & Burke, 2008). Diperkirakan


40

lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah

kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia

cenderung mengabaikan nyeri dan menganggap nyeri menjadi

bagian dari penuaan normal (Potter & Perry, 2010).

3) Jenis Kelamin

Berbagai penyakit tertentu adahubungannya dengan jenis

kelamin, terutama yang erat hubungannya dengan alat

reproduksiatau yang secara genetik berperan dalam perbedaan

jenis kelamin (Le Mone & Burke, 2008). Di beberapa

kebudayaan menyebutkan bahwa anak laki-laki harus berani dan

tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh

menangis dalam situasi yang sama.

Toleransi nyeri dipengaruhi oleh faktor - faktor biokimia

dan merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa

memperhatikan jenis kelamin. Meskipun penelitian tidak

menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam

mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit

pada perempuan. Perempuan lebih suka mengkomunikasikan

rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik opioid

lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Potter & Perry,

2010).
41

4) Sosial Budaya

Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang

dan memahaminya dapat membantu pasien untuk menghindari

dan mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan

nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan

budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih tentang nyeri

pasien dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi

perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri

pasien (Potter & Perry, 2010).

5) Nilai Agama

Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan

penderitaan sebagai cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman

ini membantu individu menghadapi nyeri dan menjadikan

sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini

mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya;

karena akan mengurangi persembahan mereka (Potter & Perry,

2010).

6) Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat

Lingkungan dan kehadiran keluarga juga dapat

mempengaruhi nyeri seseorang. Pada beberapa pasien yang

mengalami nyeri seringkali bergantung pada anggota keluarga

atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,

perlindungan. Walaupun nyeri tetap terasa, tetapi kehadiran


42

orang yang dicintainya akan dapat meminimalkan rasa

kecemasan dan ketakutan. Apabila keluarga atau teman tidak ada

seringkali membuat nyeri pasien tersebut semakin tertekan. Pada

anak-anak yang mengalami nyeri kehadiran orang tua sangat

penting (Potter & Perry, 2010).

d. Fisiologi nyeri

Saat terjadinya stimulus yang dapat menimbulkan kerusakan

jaringan hingga pengalaman emosional dan psikologis yang

menyebabkan nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan

kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan

persepsi. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah

menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor)

terkait. Proses berikutnya adalah transmisi, dalam proses ini terlibat

tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan

impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang

meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla

spinalis ke batang otak dan thalamus. Proses terakhir adalah

modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi

nyeri. Suatu senyawa tertentu telah diternukan di sistem saraf pusat

yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis.

Senyawa ini diaktifkan jika terjadi relaksasi atau obat analgetika

seperti morfin (Dewanto, 2009).


43

Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang

ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri

sama sekali belum jelas. Bahkan struktur otak yang menimbulkan

persepsi tersebut juga tidak jelas. Nyeri secara mendasar merupakan

pengalaman subyektif yang dialami seseorang sehingga sangat sulit

untuk memahaminya (Dewanto, 2009). Nyeri diawali sebagai pesan

yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P,

bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf

perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang

terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan

sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal

spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh

tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di

otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan

pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di

mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri

dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di

bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk

mcngurangi nyeri di dacrah yang terluka (Potter & Perry, 2010).

Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau

tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke

otak. Stimulasi saraf sensoris dengan cara menggaruk atau mengelus

secara lembut di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga


44

rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat

menutup gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat

ingin sembuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang

dirasakan (Potter & Perry, 2010).

Nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi aspek

pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom simpatis dan

parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan

tekanan darah, peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan,

meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis,

sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat, berakibat

tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan,

kelelahan, dan pucat (Kozier dkk, 2009).

Pada kasus nyeri yang parah dan serangan yang mendadak

merupakan ancaman yang mempengaruhi manusia sebagai sistem

terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang mengancam dan

mengganggu keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap

stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui

sistem hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula

adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi

kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan

dan mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi kondisi

emergency untuk mempercepat penyembuhan. Apabila mekanisme


45

ini tidak berhasil mengatasi stressor (nyeri) dapat menimbulkan

respon stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan

menghambat penyembuhan dan kalau makin parah dapat terjadi syok

ataupun perilaku yang meladaptif (Potter & Perry, 2010).

e. Pengukuran intensitas nyeri

Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa berat

nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat

subjektif dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran

nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah

menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan

gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012). Untuk

menilai skala nyeri terdapat beberapa macam skala nyeri yang dapat

digunakan untuk mengetahui tingkat nyeri seseorang antara lain:

1) Verbal Descriptor Scale (VDS)

VDS adalah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata

pendeskripsi yang telah disusun dengan jarak yang sama sepanjang

garis. Ukuran skala ini diurutkan dari “tidak terasa nyeri” sampai

“nyeri tidak tertahan”.Perawat menunjukkan ke klien tentang skala

tersebut dan meminta klien untuk memilih skala nyeri terbaru yang
46

dirasakan.Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa

paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa tidak

menyakitkan. Alat VDS memungkinkan klien untuk memilih dan

mendeskripsikan skala nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2010).

2) Visual Analogue Scale (VAS)

VAS merupakan suatu garis lurus yang menggambarkan skala

nyeri terus menerus.Skala ini menjadikan klien bebas untuk memilih

tingkat nyeri yang dirasakan. VAS sebagai pengukur keparahan

tingkat nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat menentukan

setiap titik dari rangkaian yang tersedia tanpa dipaksa untuk memilih

satu kata (Potter & Perry, 2010).

Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. 1Skala pengukur Nyeri VAS

Skala nyeri pada skala 0 berarti tidak terjadi nyeri, sedangkan

skala 10 merupakan skala nyeri yang sangat berat dan tidak dapat

dikontrol.Ujung kiri pada VAS menunjukkan tidak ada rasa nyeri,

sedangkan ujung kanan menandakan nyeri yang paling berat.

3) Numeric Rating Scale (NRS)

Gambar 2.2Skala Pengukur Nyeri NRS


47

Skala nyeri pada angka 0 berarti tidak nyeri, angka 1-3

menunjukkan nyeri yang ringan, angka 4-6 termasuk dalam nyeri

sedang, sedangkaan angka 7-10 merupakan kategori nyeri berat.

Oleh karena itu, skala NRS akan digunakan sebagai instrumen

penelitian (Potter & Perry, 2010).

Menurut Skala nyeri dikategorikan sebagai berikut:

1) 0 : tidak ada keluhan nyeri,tidak nyeri.

2) 1-3 : mulai terasa dan dapat ditahan, nyeri ringan.

3) 4-6 : rasa nyeri yang menganggu dan memerlukan usaha untuk

menahan, nyeri sedang.

4) 7-10 : rasa nyeri sangat menganggu dan tidak dapat ditahan,

meringis, menjerit bahkan teriak, nyeri berat.

4) Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

Skala ini terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang

menggambarkan wajah yang sedang tersenyum untuk menandai

tidak adanya rasa nyeri yang dirasakan, kemudian secara bertahap

meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah sangat sedih,

sampai wajah yang sangat ketakutan yang berati skala nyeri yang

dirasakan sangat nyeri (Potter & Perry, 2010).

Gambar 2.3 Skala Pengukur Nyeri FRS


48

Skala nyeri tersebut Banyak digunakan pada pasien pediatrik

dengan kesulitan atau keterbatasan verbal.Dijelaskan kepada pasien

mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien

memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.

f. Manajemen nyeri

Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri yaitu: metode

farmakologi dan metode non farmakologi.

a) Penatalaksanaan farmakologi mencakup penggunaan opioid

(narkotik), obat- obatan anti inflamasi nonopioid/ nonsteroid

(NSAIDS), dan analgesik penyerta atau koanalgesik (Kozier &

Snyder, 2010).

b) Penatalaksanaan nonfarmakologi Penatalaksanaan nyeri

nonfarmakologi terdiri dari beberapa strategi penatalaksanaan

fisik dan kognitif perilaku intervensi fisik mencakup stimulasi

kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf elektrik transkutan

(TENS), tehnik relaksasi, hipnosis, massage, distraksi akupresur

& aromaterapi (Kozier & Snyder, 2010). Berikut uraian

penatalaksanaan nonfarmakologi diantaranya sebagai berikut:

a) Stimulasi kutaneus.

Stimulasi ini dapat memberikan perhatian nyeri sementara

yang afektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan

memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan


49

dari sensasi menyakitkan, sehingga mengurangi persepsi

nyeri.

b) Imobilisasi

Membatasi pergerakan pada bagian tubuh yang menyakitkan,

dapat membantu mengatasi episode nyeri akut. Imobilisasi

berkepanjangan dapat menyebabkan kontraktur pada sendi,

atrofi sendi dan masalah kardiovaskular.

c) TENS (Stimulasi Saraf Elekktrik Transkutaneus)

TENS adalah suatu metode pemberian stimulusi elektrik

bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang telah

teridentifikasi, ke titik akupreasur, di dsepanjang area saraf

tepi yang mensarafi area nyeri atau di sepanjang kolumna

spinalis.

d) Relaksasi

Relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan

ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik relaksasi

yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi

lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan mata dan

bernapas dengan perlahan dan nyaman.

e) Hipnosis

Hipnosis atau hipnoterapi dapat membantu mengubah

persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu


50

pendekatan holistik, hipnosis menggunakan sugesti diri

dankesan tentang perasaan yang rileks dan damai.

f) Massage

Massage atau pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat

membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot, dan dapat

meringankan ansietas karena kontak fisik yang

menyampaikan perhatian.

g) Distraksi

Distraksi adalah menjauhkan perhatian seseorang dari rasa

nyeri dan mengurangi persepsi rasa nyeri. Dalam beberapa

keadaan, distraksi dapat membuat klien benar- benar tidak

menyadari rasa nyeri.

h) Akupresure

Akurpresure dikembangkan dari sistem penyembuhan

akupuntur cina kuno. Terapis menekankan jari pada titik -

titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan

dalam akupuntur.

i) Aromaterapi

Aromaterapi yaitu terapi komplementer yang menggunakan

minyak esensial dari bau harum tumbuhan untuk mengurangi

masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup.


51

5. Aromaterapi

a. Pengertian

Aromaterapi berasal dari dua kata yaitu aroma dan terapi.

Aroma memiliki pengertian harum atau wangi dan terapi memiliki

pengertian penyembuhan atau pengobatan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa aromaterapi merupakan salah satu perawatan

atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial

(Jaelani, 2009). Aromaterapi adalah salah satu metode terapi

keperawatan yang menggunakan bahan cairan tanaman yang sudah

menguap atau dikenal dengan minyak esensial (Purwanto, 2013).

Aromaterapi adalah suatu metode dalam relaksasi yang

menggunakan minyak esensial dalam pelaksanaannya berguna untuk

meningkatkan kesehatan fisik, emosi, dan spirit seseorang. Berbagai

efek minyak esensial, salah satunya adalah menurunkan intensitas

nyeri dan tingkat kecemasan. Minyak esensial atau minyak atsiri

yang bersifat menurunkan atau menghilangkan rasa nyeri, antara lain

nankincense, cengkih, wintergreen, lavender, pappermint, dan

eucalypyus (Koensoemardiyah, 2009).

Aromaterapi merupakan suatu teknik atau terapi yang

menggunakan minyak esensial atau sari minyak murni sebagai media

untuk mengatasi masalah kesehatan, sebagai penjaga mood dan

perasaan, menjaga gairah, menyegarkan serta menenangkan jiwa dan

membantu dalam proses penyembuhan(Maifrisco, 2008).


52

Aromaterapi mempunyai efek yang positif karena diketahui

bahwa aroma yang segar dan harum merangsang reseptor sensori dan

pada akhirnya mempengaruhi orang yang menghirupnya sehingga

menimbulkan efek yang baik terhadap emosi. Aromaterapi yang

masuk akan mempengaruhi komplek sensorik somatic-cascade yang

secara langsung mengaktifkan sistim saraf otonom, memori, dan

emosi melalui amigdala dan struktur limbik lainnya. Bau yang

dihirup akan mengaktifkan pelepasan neurotransmitter seperti

serotonin, endorphin, norepinephrine di hipotalamus hipofisis axia

dan memodulasi neuroreseptor dalam kekebalan tubuh, sistim

suasana hati, mengubah, mengurangi kecemasan, dan mengganggu

respon stres (Rohimawati, 2009).

b. Jenis – jenis Aromaterapi

Aromaterapi memiliki berbagai jenis, antara lain aromaterapi

yang berasal dari lavender, lemon, vanila, apel, cendana

(sandalwood), pappermint, chamomile, jasmine, rosemary dan lain

sebagainya. Aromaterapi tersebut memiliki banyak manfaat seperti

merilekskan, aromaterapi tersebut memiliki keunggulan masing-

masing dalam hal menenangkan, menyembuhkan, merangsang,

pembangkit semangat (Jaelani, 2009).


53

1) Lavender

Aromaterapi lavender berasal dari bagian bunga dan kelopak

bunga yang berkhasiat untuk mengharmoniskan, meredakan,

menyeimbangkan, menyegarkan, merilekskan, serta dapat

menenangkan. Minyak lavender digunakan untuk membantu

dalam meringankan rasa mudah marah, gelisah, nyeri, stres,

meringankan otot pegal, gigitan, sengatan, sebagai antiseptik,

menyembuhkan insomnia, sakit kepala dan dapat digunakan

secara langsung pada rasa sakit dari luka bakar atau melepuh

ringan (Sharma, 2009).

2) Lemon

Lemon merupakan aroma yang digunakan untuk menenangkan

suasana. Aroma yang menggemaskan dapat meningkatkan rasa

percaya diri, merasa lebih santai, dapat menenangkan syaraf,

tetapi tetap membuat kita sadar. Minyak lemon untuk tubuh

bermanfaat untuk mengatasi masalah pencernaan, untuk

meredakan sakit dan nyeri pada persendian dan diterapkan untuk

kondisi seperti rematik, asam urat, dan membantu meredakan

sakit kepala (Clarke, 2009).

3) Vanila

Menghasilkan aroma sangat akrab dengan suasana rumah yang

hangat dan nyaman, sehingga wanginya sanggup menenangkan

pikiran.
54

4) Pappermint

Aroma yang bergitu menyegarkan, membangkitkan suasana,

dapat mengurangi rasa sakit perut, mengurangi ketegangan, dan

dipercaya dapat menyembuhkan sakit kepala.

5) Rosemary

Aroma ini digunakan melalui inhalasi dapat bermanfaat untuk

meningkatkan kewaspadaan, meningkatkan daya ingat,

meningkatkan kecepatan dalam berhitung. Rosemary merupakan

jenis aromaterapi yang biasa digunakan untuk melegakan otot

dan pikiran. Aroma yang dihasilkannya juga dapat membantu

lebih konsentrasi (Maifrisco, 2008).

c. Manfaat Aromaterapi

Koensoemardiyah (2009) memaparkan berbagai macam manfaat

aromaterapi dalam kehidupan, antara lain:

1) Minyak atsiri sebagai antiseptik

Minyak atsiri bekerja sebagai antiseptik adalah menanggulangi

penyakit akibat infeksi pernafasan.

2) Minyak atsiri sebagai zat analgesik

Sifat analgetik aromaterapi bekerja karena ada sifat anti radang

(anti-inflamasi) efek pada peredaan darah dan menghilangkan

racun atau efek mati rasa.


55

3) Minyak atsiri sebagai zat anti radang

Minyak atsiri bermanfaat untuk meringankan peradangan

ringan, seperti terkena sinar matahari dan gigitan serangga.

4) Minyak atsiri sebagai zat antitoksin

Minyak atsiri mempunyai efek menginaktivasi racun yang

dihasilkan bakteri.

5) Minyak atsiri sebagai zat balancing

Minyak atsiri mempunyai efek balancingyang ditandai efek

kontradiksi dari suatu minyak atsiri. Satu minyak atsiri pada

suatu keadaan mungkin berkhasiat membangunkan, sedang pada

keadaan lain berkhasiat menidurkan.

6) Minyak atsiri sebagai zat immunostimulan

Peran sebagai immunostimulan bekerja dengan cara

meningkatkan immunoglobin.

7) Minyak atsiri sebagai zat mukolitik dan ekspektoran.

Peran sebagai zat mukolitik karena mengandung karvon,

menton, thuyon, pinokamfon. Aplikasinya secara inhalasi

sehingga dapat memasuki sistem pernapasan.

d. Mekanisme Aromaterapi

Efek fisiologis dari aroma dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu

yang bertindak melalui stimulasi sistem saraf dan organ-organ yang

bertindak langsung pada organ atau jaringan melalui effector-


56

receptor mekanisme (Hongratanaworakit, 2009). Aroma yang

dihasilkan dari aromaterapi berkaitan dengan gugus steroid didalam

kelenjar keringat yang disebut osmon yang mempunyai potensi

sebagai penenang kimia alami yang akan merangsang neurokimia

otak. Aroma yang menyenangkan akan menstimulasi thalamus untuk

mengeluarkan enkefalin. Enkefalin memiliki fungsi sebagai

penghilang rasa sakit alami, selain itu enkefalin jga mempunyai

fungsi dalam menghasilkan perasaan sejahtera. Enkefalin seperti

halnya endorphin merupakan zat kimiawi endogen (zat yang

diproduksi oleh tubuh) yang berstruktur serupa dengan opioid

(Smeltzer & Bare, 2013).

e. Cara Penggunaan Aromaterapi

Aromaterapi dapat digunakan dalam beberapa cara, yaitu melalui:

1) Penyerapan melalui kulit

Minyak esensial merupakan senyawa yang diapakai dalam

banyak pengobatan penunjang karena kerutannya dalam lipid

yang ditemukan di dalam stratum korneum sehingga minyak

essensial dianggap mudah diserap. Penyerapan senyawa ini

terjadi saat senyawa ini melewati lapisan epidermis kulit dan

masuk ke dalam saluran limfe, saraf, serta masuk ke dalam

aliran darah dan menuju ke setiap sel tubuh untuk bereaksi

(Djilani & Dicko, 2012).


57

2) Melalui inhalasi

Proses inhalasi aromaterapi akan menyebabkan molekul-

molekul yang ada pada minyak esensial yang terhirup akan

terbawa oleh arus turbulen ke langit-langit hidung. Pada langit-

langit hidung terdapat bulu-bulu halus yang menjulur dari sel-sel

reseptor ke dalam saluran hidung. Molekul minyak yang

tertahan pada bulu-bulu ini suatu impuls akan ditransmisikan

lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius ke dalam sistem

limbik. Proses ini akan memacu memori dan emosional lewat

hipotalamus bekerja sebagai regulator yang menyebabkan pesan

tersebut dikirim ke bagian otak dan bagian tubuh lainnya. Pesan

yang diterima akan diubah sehingga terjadi pelepasan zat-zat

neurokimia yang bersifat euforik, relaksan, sedatif, atau

stimulan menurut keperluan tubuh (Djilani & Dicko, 2012).

Terdapat beberapa cara dalam penggunaan aromaterapi

secara inhalasi yaitu dengan dituangkan ke kertas tissue,

pengusapan langsung di tangan, penggunaan alat penguap atau

steamer, rendaman, botol penyemprot dan vaporizer/diffuser

(Siahaan, 2013). Beberapa cara pemberian yang disebutkan

diatas, pemberian aromaterapi secara inhalasi dengan cara

Vaporizer atau diffuser merupakan cara paling disukai. Cara

kerja Vaporizer yaitu dengan membebaskan molekul – molekul


58

pada aromaterapi yang paling ringan selanjutnya dihirup oleh

hidung mesuk ke pusat penciuman (Siahaan, 2013).

Pemakaian diffuser biasanya digunakan untuk

menenangkan saraf atau mengobati beberapa masalah

pernafasan. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan

beberapa tetes minyak esensial dalam diffuserdan menyalakan

sumber panas. Duduk dalam jarak tiga kaki dari diffuser,

pengobatan biasanya berlangsung sekitar 30 menit (Cahyasari,

2015). Alat diffuser dikatakan lebih efisien dikarenakan dapat

menyemprotkan semua molekul yang berbeda-beda pada waktu

relatif bersamaan. Pemakaian diffuser tidak akan membakar

residu aromaterapi. Sehingga inhalasi menggunakan diffuser

sangat ideal untuk efek relaksasi (Price, 2008).

Penggunaan aromaterapi dengan diffuser yaitu

digunakan dalam konsentrasi tertentu. Price merekomendasikan

penggunaan aromaterapi 20 tetes dalam 50 mL air dengan

konsentrasi 2% (Price, 2008).

3) Pijat atau masase

Aromaterapi apabila digunakan melalui pijat dilakukan

dengan langsung mengoleskan minyak essensial yang telah

dipilih di atas kulit. Minyak esensial baru bisa digunakan setelah

dilarutkan dengan minyak dasar seperti minyak zaitun, minyak


59

kedelai, dan minyak tertentu lainnya (Departement of Health,

2007).

4) Kompres

Penggunaan aromaterapi melalui kompres hanya sedikit

membutuhkan minyak aromaterapi. Kompres hangat dengan

aromaterapi dapat digunakan untuk menurunkan nyeri punggung

dan nyeri perut. Kompres dingin yang mengandung minyak

aromaterapi digunakan pada bagian perineum saat kala kedua

persalinan (Departement of Health, 2007).

5) Berendam

Berendam dengan menggunakan aromaterapi adalah dengan

cara menambah tetesan minyak esensial ke dalam air hangat

yang digunakan untuk berendam. Dengan cara ini efek dari

minyak esensial akan membuai perasaan dsn membuat rileks,

melarutkan pegal-pegal dan nyeri, juga memberi efek yang

merangsang dan memberikan energi. Pasien akan memperoleh

manfaat tambahan dari menghirup uap harum minyak esensial

aromaterapi yang menguap dari air panas (Hadibroto & Alam

2009). Mandi yang mengandung minyak esensial dan

berlangsung selama 10-20 menit yang direkomendasikan untuk

masalah kulit dan menenangkan saraf (Craig hospital, 2013).


60

B. Penelitian Terkait

Dalam jurnal dengan menggunakan aromaterapi mempunyai potensi

sebagai penenang kimia alami yang akan merangsang neurokimia otak.

Aroma yang menyenangkan akan menstimulasi thalamus untuk mengeluarkan

enkefalin yangberfungsi sebagai penghilang rasa sakit alami.

Selain itu penelitian terkait lainnya adalah:

1. Firdaus (2016) dalam penelitiannya “Pengaruh Pemberian Aromaterapi

Terhadap Nyeri Haid Pada Mahasiswa S1 Keperawatan Angkatan IX” di

STIKES Muhamadiyah Banjarmasin. Partisipan pada penelitian ini

sebanyak 34 responden. Metode penelitian menggunakan quasi

eksperimen dengan rancangan one group pretest-posttest design. Teknik

pengambilan sampel menggunakan teknik aksidental sampling. Analisa

data menggunakan uji Wiloxon Signed Rank Test. Berdasarkan analisis

data dapat diketahui bahwa ada pengaruh secara bermakna aromaterapi

terhadap nyeri haid pada mahasiswi S1 keperawatan angkatan IX di

STIKES Muhammadiyah Banjarmasin dengan nilai p=0,000 <ᵅ 0,05.

2. Dwijayanti (2015) dalam penelitiannya “Perbedaan Intensitas Nyeri Post

Sectio Caesaria Sebelum dan Sesudah Pemberian Aromaterapi Lavender

Secara Inhalasi” di RSUD Dr. Adhyatma MPH Semarang. Partisipan

pada penelitian ini sebanyak 32 responden. Pengumpulan data

menggunakan lembar skala nyeri. Desain penelitian ini menggunakan

eksperimental dengan desain one group pretest - posttest. Teknik


61

pengambilan sampel menggunakan teknik aksidental sampling. Analisa

data menggunakan uji Paired t-test. Berdasarkan analisis data atas dapat

diketahui bahwa ada perbedaan intensitas nyeri dari pemberian

aromaterapisebelum dan sesudah pemberian aromaterapi lavender secara

inhalasi pada pasien post sectio caesarea dengan nilai p = 0,001 (p

<0,05) dan nilai t sebesar 9,000 (thitung > 2,042).

3. Karlina (2015) dalam penelitiannya “Pengaruh Pemberian Aromaterapi

Lavender Secara Inhalasi Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri

Persalinan Fisiologis Pada Primipara Inpartu Kala Satu Fase Aktif ” di

BPM Fetty Fathiyah Kota Mataram. Partisipan pada penelitian ini

sebanyak 20 responden. Desain penelitian ini menggunakan

eksperimental dengan desain one group pretest – posttest without

control. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive

sampling. Analisa data menggunakan uji Paired t-test. Berdasarkan

analisis data atas dapat diketahui bahwa ada pengaruh intensitas nyeri

dari pemberian aromaterapisebelum dan sesudah pemberian aromaterapi

lavender secara inhalasi pada pasien primipara inpartu kala satu fase aktif

dengan nilai p = 0,000 (p <0,05).

4. AV Bangun (2013) dalam penelitiannya “Pengaruh Aromaterapi

Lavender Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasca” di RS Dustira Cimahi.

Partisipan pada penelitian ini sebanyak 10 responden. Pengumpulan data


62

menggunakan lembar skala nyeri VDS. Desain penelitian ini

menggunakanquasi eksperimental dengan desain one group pretest -

posttest. Analisa data menggunakan uji Paired t-test. Berdasarkan

analisis data atas dapat diketahui bahwa ada pengaruh intensitas nyeri

dari pemberian aromaterapisebelum dan sesudah pemberian aromaterapi

lavender pada pasien pasca operasi dengan nilai p = 0,001 (p <0,05).

Hasil ini menunjukkan ada pengaruh aromaterapi terhadap

intenistas nyeri sebelum perlakuan dan sesudah pemberian perlakuan

aromaterapi. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil

kesimpulan bahwa aromaterapi mampu menurunkan intensitas nyeri

dangan cara menghambat salah satu proses perjalanan terjadinya nyeri.


63

C. Kerangka teori

Dari tinjauan teori dapat dilihat kerangka teori sebagai berikut :

Skema 2.1 Kerangka Teori

Managemen nyeri:
Luka kaki
a. Penatalaksanaan
diabetik Farmakologi
b. Penatalaksanaan Non
Farmakologi
Nyeri 1. Stimulasi kutaneus
Tingkat nyeri 2. Imobilisasi
3. TENS
saat perawatan
4. Relaksasi
Tidak 5. Hipnosis
luka
6. Massage
nyeri
7. Distraksi
8. Akupresur
9. aromaterapi

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri :

1. Pengalaman nyeri masa lalu


2. Umur
3. Jenis Kelamin
4. Sosial Budaya
5. Nilai Agama
6. Lingkungan dan dukungan orang
terdekat.

Sumber: Potter dan Perry (2010), Kozier & Snyder(2010).


BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Konsep

Skema 3.1 kerangka konsep

Gambaran Perilaku Klien TB Paru dalam melakukan Teknik Batuk Efektif

Penyakit TBC Paru masih menjadi masalah utama kesehatan terutama di

Indonesia yang merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh berbagai

strain mikrobakteri. Hal ini menyebar melalui udara ketika orang yang memiliki

batuk infeksi TB aktif bersin, atau menyebarkan cairan pernapasan melalui udara

Dengan masuknya kuman tuberculosis maka akan menginfeksi saluran nafas

bawah dan dapat menimbulkan terjadinya batuk produktif. Hal tersebut akan

menurunkan fungsi kerja silia dan mengakibatkan penumpukan secret yang akan

menjadi masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang

disebabkan oleh klien mengalami batuk produktif, sesak nafas. Intervensi

Keperawatan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dilakukan

intervensi keperawatan yaitu mengeluarkan mukus atau lendir agar saluran

pernafasan kembali efektif, salah satunya yaitu tindakan mandiri yang bisa

dilaksanakan pasien untuk mengeluarkan sputum yaitu teknik batuk efektif. Batuk

64
65

efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien dapat mengeluarkan

dahak dengan maksimal. Namun latihan ini hanya bisa dilakukan pada orang yang

sudah bisa di ajak kerja sama atau kooperatif (Potter&Pery,2005).

Perilaku diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap

lingkungannya. Robert Kwick (1974) dalam Ahmad Kholid (2014), Menyatakan

bahwa Perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat

diamati dan bahkan dapat dipelajari. Peneliti ingin meneliti tentang Perilaku klien

TB Paru dalam melakukan teknik batuk efektif dikarenakan banyaknya penderita

TB Paru yang sudah diberikan penkes tentang teknik batuk efektif dan peneliti

ingin mengetahui bagaimana perilaku klien TB Paru dalam melakukan teknik

batuk efektif secara mandiri yang mampu menjadikan kebiasaan saat

mengeluarkan sputum. dengan batuk efektif penderita tuberculosis paru dapat

mengurangi nyeri pada bagian dada dan tidak harus mengeluarkan banyak tenaga

untuk mengeluarkan secret


66

B. Variabel dan Definisi Operasional

Tabel 3.1
Variabel dan Definisi Operasional
Definisi
Alat
No Variabel Operasion Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
al
1 Perilaku Kebiasaan Lembar Melakuka Kriteria baik bila Ordinal
Pasien responden check list n Klien TB paru
Tuberkulos dalam pengamata mendapatkan nilai
is Paru berperilaku n langsung > 2,7 perilaku baik
Melakukan untuk kepada
Tekhnik melakukan responden Kriteria tidak baik
Batuk teknik batuk untuk jika klien tb paru
Efektif efektif melakukan mendapat nilai≤
teknik 2,7 perilaku tidak
Batuk baik
efektif (Sudjana,2005)
dengan
mengguna
kan Skala
Guttman
benar : 1
jika salah
diberi nilai
:0
2. Jenis Ciri Lembar Alat 1= Laki-laki Nominal
Kelamin Biologis checklist pengumpu 2= Perempuan
Yang lan data
dimiliki penelitian
responden bagian
dan data
dibedakan karekterist
menjadi ik
laki-laki responden
dan
perempuan
3. Umur Lama waktu Lembar Alat Usia Produktif Rasio
hidup sejak checklist pengumpu dari 15-50 tahun.
67

di lahirkan lan data


sampai penelitian
dengan bagian
ulang tahun data
terakhir karekterist
responden ik
saat responden
penelitian di
lakukan
4. Tingkat Pendidikan Lembar Alat 1=Tidak Sekolah Ordinal
Pendidikan formal yang checklist pengumpu 2=SD
telah dilalui lan data 3=SMP
oleh penelitian 4=SMA
responden bagian 5=PT
data (Depkes RI,2009)
karekterist
ik
responden
5. Pekerjaan Aktivitas Lembar Alat 1=Tidak Bekerja Nominal
yang checklist pengumpu 2=Buruh
dilakukan lan data 3=Wirausaha
responden penelitian 4=Pegawai
mempunyai bagian Swasta
penghasilan data 5= PNS
dari karekterist
aktivitas ik
tersebut responden

6. Riwayat Status dari Lembar Alat 1= Baru Nominal


Pengoba Responden checklist pengumpu 2= Putus
tan Tuberkulosi lan data 3= Kambuh
s paru penelitian
berdasarkan bagian
klasifikasi data
pengobatan karekterist
ik
responden
7. Lama Status dari Lembar Alat 1= ≤ 6 bulan Nominal
Pengobatan Responden checklist pengumpu 3 = ≥ 6 bulan
OAT Tuberkulosi lan data
s Paru penelitian
68

berdasarkan bagian
lamanya data
pengobatan karekterist
OAT ik
Tuberkulosi responden
s.
8 Frekuensi Status dari Lembar Alat Berapakali Rasio
Perawatan Responden checklist pengumpu responden TB Paru
TB Paru Tuberkulosi lan data menjalani perawatan
s Paru penelitian
berdasarkan bagian
Frekuensi data
perawatan karekterist
ik
responden
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah suatu metode

penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian

yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena

yang terjadi di dalam masyarakat. Pada umumnya metode penelitian ini

digunakan untuk membuat penilaian terhadap suatu kondisi dan penyelenggaraan

suatu program di masa sekarang (Notoatmodjo,2010).

Bentuk pelaksanaan penelitian deskriptip terdiri dari berbagai jenis, salah satu

diantaranya adalah survei. Survei adalah suatu cara penelitian deskriptif yang

dilakukan terhadap sekumpulan objek dalam jangka waktu tertentu. Pada

umumnya survei bertujuan untuk membuat penilaian terhadap suatu kondisi dan

penyelenggaraan suatu program kemudian hasilnya digunakan untuk menyusun

perencanaan perbaikan program tersebut ( Notoatmodjo,2005).

Penelitian ini ditunjukan untuk mendapatkan gambaran informasi tentang

perilaku pasien TB Paru dalam melakukan teknik batuk efektif, selanjutnya hasil

penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber data dan menggunakan penelitian

ini untuk dapat dikembangkan di penelitian selanjutnya. Penelitian ini dilakukan

69
70

dengan mengumpulkan data melalui lembar checklist yang merupakan langkah-

langkah yang terstruktur. Setelah itu akan diketahui perilaku yang diolah dengan

cara analisis dan perhitungan statistik.

B. Waktu dan Tempat penelitian

1. Waktu Kegiatan

Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap yang dibagi menjadi beberapa

tahapan, yaitu :

a. Tahap persiapan

Tahap persiapan meliputi pengajuan judul penelitian, pembuatan Proposal,

permohonan izin penelitian, dan konsultasi dengan pembimbing. Waktu yang

dibutuhkan dalam tahap ini yaitu tanggal 2 februari – 20 Maret 2015.

b. Tahap uji dan pelaksanaan penelitian

Pada tahapan ini dilaksanakan uji proposal dengan tim penguji sebelum

dilaksanakannya pengumpulan data ke lapangan. Tahap uji proposal

dilaksanakan pada 24 Maret 2015 dan dilanjutkan pengumpulan data dengan

melakukan observasi berdasarkan SOP batuk efektif pada tanggal 23 April 2015

– 26 Mei 2015.

c. Tahap penyelesaian

Tahap ini merupakan tahap terakhir yang meliputi analisis data dan penyusunan

laporan. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan juni 2015. Dan selanjutnya

dilaksanakan sidang KTI pada tanggal 2 Juli 2015.


71

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di ruangan rawat inap teratai RS Paru Dr M

Goenawan Partowidigdo Kabupaten Bogor alasan dilakukannya penelitian di

tempat tersebut karena ruangan tersebut merupakan salahsatu ruangan rawat inap

paru dewasa.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo,2010). Pada penelitian ini populasi yang diambil oleh peneliti

adalah 54 responden TB Paru yang di rawat Inap di ruangan teratai RS Paru M

Dr Goenawan Partowidgdo Kabupaten Bogor Baik yang suspek maupun yang

sudah terdiagnosis menderita TB Paru.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan

dianggap mewakili seluruh populasi ( Notoatmodjo, 2010).

3. Jumlah Sampel

Menetapkan besarnya atau jumlah sampel suatu penelitian tergantung kepada

dua hal, yaitu pertama adanya sumber-sumber yang dapat digunakan untuk

menentukan batas maksimal dan dari besarnya sampel. Kedua, kebutuhan dari

rencana analisis yang menentukan batas minimal dari besarnya sampel

(Notoatmodjo,2010).
72

Desain penelitian ini adalah deskriptif, maka rumus besar sampel minimal yang

digunakan adalah sebagai berikut:


2
Z1−a/2 ∗ P(1 − P)2
n=
( d )2

2
Keterangan : Z1−a/2 = nilai Z pada derajat kepercayaan 1 – a tertentu

1–a 90 % 95 % 99 %

2
Z1−a 1.64 1,96 2,58

P = proporsi kasus pada penelitian sebelumnya

d = presisi / kemaknaan = 10 %, 5 %, 1 %

Berdasarkan data yang diperoleh di RS Paru Dr M.Goenawan Partowidigdo

Kabupaten Bogor tahun 2014 jumlah Pasien TB Paru di Rawat Inap 20741.

Pada Februari 2015 jumlah klien penyakit paru-paru yang menjalani rawat inap

sebanyak 181 orang. Pasien TB Paru yang menjalani Rawat inap bulan februari

2015 adalah 91 orang. sehingga didapatkan proporsi klien TB Paru adalah

50,2%

Berdasarkan rumus di atas maka :

Proporsi : 50,2% = 0,5


2
Tingkat kepercayaan : 1 – α: 95 % dan Z1−a/2 : 1,96

Presisi : 10 %= 0,1
73

2
Z1−a/2 ∗ P(1 − P)2
n=
( d )2
2
1,961−a/2 ∗ 0,5 (1 − 0,5)2
n=
( 0,1 )2

3,8416 ∗ 0,5 (0,5)2


n=
0,01

0,4802
n=
0,01

n = 48,02 orang = 49 orang

Berdasarkan perhitungan di atas jumlah sample yang didapat

dengan perhitungan proporsi 50,2% dengan presisi mutlak dan tingkat

kepercayaan 95% sehingga didapatkan hasil 48,02 orang. Peneliti

mengambil jumlah sampel dengan membulatkan jadi 49orang. Untuk

mencegah kesalahan data, maka peneliti menambah 10 % sempel dari

jumlah sempel minimum sehingga menjadi 54 orang.

4. Metode Penelitian

Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, data

yang dikumpulkan atau didapat melalui wawancara. Purposive samplingdisebut

juga judgement sampling. Adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara

memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti

(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili

karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya(Nursalam, 2008).


74

5. Kriteria Sampel

a. Kriteria Inklusi dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang

memenuhi syarat sebagai sampel.

Kriteria inklusi dalam penelitian adalah

1) Pasien Tuberkulosis Paru batuk produktif

2) Usia Produktif 15 – 50 tahun

3) Berjenis Laki-laki dan Perempuan

4) Pasien sudah diberikan penkes batuk efektif

5) Bersedia dijadikan responden.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak dapat memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

yang penyebabnya antara lain Pasien TB Paru menolak menjadi responden atau

berada pada suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan

penelitian.

Kriteria ekslusif dalam penelitian adalah:

1) Pasien Tuberkulosis Paru dengan kondisi sesak berat

2) Pasien Tuberkulosis Paru yang menolak untuk dijadikan responden

D. Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian
75

Penelitian menggunakan instrumen pengumpulan data berupa observasi dengan

menggunakan prosedur dalam melakukan teknik Batuk Efektif yang dikutif dari

RS Paru Dr M Goenawan Partowidigdo yang dimodifikasi berdasarkan konsep,

teori pada tinjauan pustaka. Kemudian data diambil melalui pengisian lembar

Checklist. Lembar Checklist ini berisi prosedur dalam melakukan teknik batuk

efektif dimana peneliti hanya memberi tanda Checklist (√) pada kolom yang telah

tersedia. Kolom tersebut mewakili tindakan yang dilakukan. Penilaiannya diukur

dengan skor dari tindakan yang dilakukan responden sesuai tahapan yang ada

dalam lembar checklist. Skor 1 untuk tahapan yang dilakukan, kemudian

checklist (√ ) diberikan pada kolom “YA” dan skor 0 untuk tahapan yang tidak

dilakukan kemudian checklist (√ ) diberikan pada kolom “ TIDAK”.

2. Etika Penelitian

a.Peneliti menjelaskan lembar persetujuan responden dalam melaksanakan

penelitian.

b. peneliti menjamin hak responden dan dirahasiakan informasinya.

c. menghormati harkat dan martabat manusia.

d. keadilan dan inklusivitas.

3. Prosedur penelitian

Dalam pengumpulan data, peneliti mengacu pada tahapan yang di tetapkan

dalam prosedur di bawah ini:


76

a. Setelah proposal penelitian disetujui pembimbing dan koordianator mata

ajar maka peneliti mengajukan permohonan izin kepada pihak Rumah Sakit

Paru Dr Gunawan.

b. Menyerahkan surat izin penelitian pada pihak Rumah Sakit.

c. Setelah mendapatkan izin dari pihak Rumah Sakit, dan menjelaskan

penelitian kepada kepala ruangan, peneliti mulai melihat catatan perawat

mengenai penkes batuk efektif dan responden TB paru dengan batuk

produktif, kemudian peneliti mengobservasi responden TB paru pada saat

batuk sesuai kriteria inklusi yang berupa lembar checklist.

d. Setelah mengobservasi responden Tb paru, peneliti menjelaskan tentang

penelitian kepada responden dan mengisi data karakteristik

e. Setelah semua data terkumpul dimulai proses pengolahan data dan di

lanjutkan dengan pembuatan laporan penelitian.

4. Pengolahan data

Data yang masih mentah (row date) harus di olah sedemikian rupa

sehingga menjadi informasi yang akhirnya dapat digunakan untuk

menjawab tujuan penelitian. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh

peneliti dalam pengolahan data dibagi menjadi 4 tahap yaitu :

a. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap


77

pengumpulan data atau setelah data terkumpul Hal yang diperiksa meliputi

kelengkapan jawaban lembar Checklist.

b. Coding

Coding merupakan kegitan pemberian kode numerik (angka) terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila

pengolahan data analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam

pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (code

book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu variabel.

Proses ini akan memberikan gambaran informasi yang dibutuhkan terkait

penelitian. Pada tahap coding ini peneliti akan melakukan pengkodean

untuk jawaban responden, pada data isian lembar Checklist dengan cara

memberikan kode 1 = ya dan 0 = tidak.

b. Data Entry

Jawaban yang telah diberi kode dimasukan kedalam tabel dengan cara

menghitung frekuensi data. Memasukan data boleh memakai cara manual

atau pengolahan menggunakan komputer.

c. Data Cleaning

Cleaning (Pembersihan data) adalah kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah terentry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut

dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry data ke computer. Apabila

semua data dari setiap sumber data atau responden selesai ke computer.

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai di input,
78

maka perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-

kesalahan pemberian code, ketidaklengkapan, dan seebagainya, jika terjadi

kesalahan tersebut di lakukan pembetulan atau koreksi (Azis,2013).

5. Analisa data

Analisa yang digunakan peneliti adalah analisa univariat yang dilakukan

terhadap variabel dari hasil penelitian. Dalam analisa ini didapatkan hasil

data dalam bentuk distribusi frekuensi dan presentase dari variabel

(Notoatmodjo, 2010). Setelah tahap pengumpulan data selesai, peneliti

menilai dengan sistem skor yang telah dibuat sebelumnya yaitu

berdasarkan nilai mean atau median. Setelah data di olah maka hasil yang

didapat oleh peneliti memiliki distribusi data yang normal, kemudian dari

data tersebut peneliti menentukan nilai mean. Setelah ditentukan, peneliti

mengelompokan hasil peneliti ini menjadi dua kategori yaitu kelompok

perilaku baik dan perilaku yang tidak baik, untuk ketentuannya apabila

skor > 2,7 maka responden tersebut dikatakan memiliki perilaku baik dan

apabila skor ≤ 2,7 maka responden tersebut dikatakan memiliki perilaku

tidak baik. Tahap selanjutnya yaitu menghitungnya dalam bentuk

persentase sehingga dapat dibuat interpretasi data untuk disajikan dalam

bentuk diagram atau tabel.

6. Interpretasi Data
79

Data diinterpretasi dengan menggunakan skala menurut Arikunto (2006)

sebagai berikut:

a. 0 % : Tidak satupun

b. 1 % - 25% : sebagian kecil

c. 26 % - 49 % : kurang dari stengahnya

d. 50 % : setengahnya

e. 51 % - 75 % :lebih dari setengahnya

f. 76 % - 99 % : sebagian besar

g. 100 % : seluruhnya
BAB V

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lahan Paktik

Rumah sakit paru Dr M Goenawan Partowidigdo (RSPG) Cisarua bogor

adalah rumah sakit BLU khusus kelas A sesuai keputusan menteri kesehatan

RI nomor 437/MENKES/SK/VI/2009. RSPG memberikan pelayanan pada

penyakit paru-paru yang berdiri sejak tahun 1908, dan ditetapkan menjadi RS

Paru Dr M Goenawan (RSPG) pada tahun 2004. RSPG berlokasi dikawasan

pariwisata yang berhawa sejuk puncak dan berada pada ketinggian kurang

lebih 500 – 800 M dari permukaan laut, tepatnya di jalan raya puncak KM

83, PO BOX 28, desa cibeureum, kecamatan cisarua kode pos 16750,

kabupaten bogor. Rumah sakit Paru dr. M. Goenawan partowidigdo cisarua

bogor memiliki pelayanan rawat inap, rawat jalan, instalasi gawat darurat dan

penunjang medis. Untuk rawat inap tersedia 170 tempat tidur. Yang terdiri

dari Perinatalogi 7 TT, ICU 2 TT, Melati VIP 16 TT, Anggrek kelas I 38 TT,

Tanjung kelas II 6 TT, Kelas III 13 TT, Kaca piring kelas II 18 TT, Mawar

kelas III 22 TT, dan Teratai khusus dewasa paru kelas III berjumlah 48 TT

yang terdiri dari 2 lantai teratai atas dan bawah.

Visi RSPG adalah “menjadi rumah sakit rujukan penyakit paru yang

berkualitas dengan unggulan kanker paru tahun 2019”. Dan misinya adalah

menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru dan upaya rujukan secara

80
81

paripurna, melaksanakan kegiatan pelatihan dan pendidikan serta penelitian,

pengembangan di bidang kesehatan paru secara terpadu dan

berkesinambungan,menyelenggarakan tata kelola rumah sakit yang akuntabel,

transparan,dan reponsibel.

B. Hasil Penelitian

Penelitian di lakukan di ruangan teratai RS Paru Dr M Goenawan

Partowidigdo pada bulan April-Mei 2015 dengan jumlah responden 54 orang.

Pada bab ini peneliti akan mengemukakan hasil penelitian dan analisa data.

Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram, tabel dan narasi.

1. Kareteristik Responden

a. Usia

Tabel 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Karekteristik Umur Pada

Responden TB Paru Di Ruangan Rawat Inap Teratai Di RS Paru Dr M

Goenawan pada bulan April 2015 (n=54)

Variabel Mean Standar Devisi Minimal - maximal

Umur 37 tahun 10 17 – 50 tahun

Pada usia produktif penderita TB Paru yaitu berkisar 17 – 50

tahun, rata –rata usia penderita TB Paru di Ruangan rawat inap teratai

yaitu berusia 37 tahun.


82

b. Jenis Kelamin

Diagram 5.1

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Jenis

kelamin di Ruangan Rawat Inap Teratai RS Paru Dr M Goenawan

pada bulan April 2015 (n= 54)

Perempuan
Laki laki

Interpretasi data:

Diagram 5.1 diatas memaparkan jenis kelamin pada responden TB

Paru lebih dari setengahnya adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu

sebanyak 31 responden (57%), dan berjenis kelamin perempuan

sebanyak 23 responden (43%).


83

c. Pendidikan terakhir

Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karekteristik Pendidikan

Terakhir Pada Responden TB Paru Di Ruangan Rawat Inap Teratai Di

RS Paru Dr M Goenawan pada bulan April 2015 ( n = 54 )

Pendidikan Jumlah Persentase


Terakhir
Tidak sekolah 1 1%
SD 25 47%
SMP 12 23%
SMA 15 28 %
SARJANA 1 1%
Jumlah 54 100 %

Interpretasi data:

Tabel 5.1 diatas memaparkan pendidikan terakhir pada responden

TB Paru hampir setengahnya berpendidikan SD yaitu sebanyak 25

responden ( 47%), sebagian kecil berpendidikan SMA sebanyak 15

responden (28%), 12 responden (23%) berpendidikan SMP, 1

responden (1%) tidak sekolah, dan 1 responden (1%) pendidikan

SARJANA.
84

d. Pekerjaan

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karekteristik Pekerjaan

Pada Responden TB Paru Di Ruangan Rawat Inap Teratai Di RS Paru

Dr M Goenawan pada bulan April 2015 ( n = 54 )

Pekerjaan Jumlah Persentase


Tidak bekerja 27 51 %
Buruh 9 16 %
Wirausaha 8 14 %
Pegawai Swasta 10 19 %
PNS 0 0%
Jumlah 54 100 %

Interpretasi data:

Tabel 5.3 diatas memaparkan pekerjaan pada responden TB Paru

lebih dari setengahnya 27 responden (51%) tidak bekerja, sebagian

kecil 10 responden (19%) pegawai swasta, 9 responden (16%) buruh,

8 responden (14%) wirausaha. dan tidak satupun responden TB Paru

bekerja sebagai PNS


85

e. Riwayat pengobatan

Diagram 5.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Riwayat

pengobatan TB Paru di Ruangan Rawat Inap Teratai RS Paru Dr M

Goenawan pada bulan April 2015 (n= 54)

Kambuh
Putus
Baru

Interpretasi data:

Diagram 5.2 diatas menunjukan riwayat pengobatan TB Paru

hampir setengahnya adalah riwayat pengobatan kambuh sebanyak 24

responden (45%), 22 responden (41%) riwayat pengobatan baru dan

sebagian kecil 8 responden (14%) riwayat pengobatan putus.


86

f. Lama pengobatan Tb paru

Diagram 5.3

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Lama

Pengobatan OAT Pada TB Paru di Ruangan Rawat Inap Teratai RS

Paru Dr M Goenawan pada bulan April 2015 (n= 54)

≤ 6 bulan ≥ 6 bulan

Interpretasi data:

Diagram 5.3 diatas menunjukan lamanya pengobatan OAT pada Tb

paru lebih dari setengahnya 28 responden (51%) pengobatan OAT ≤ 6

bulan, dan hampir setengahnya 26 responden (49%) pengobatan OAT

≥ 6 bulan.
87

g. Frekuensi perawatan

Tabel 5.4

Distribusi Responden Berdasarkan Karekteristik Lamanya Perawatan

Pada Responden TB Paru Di Ruangan Rawat Inap Teratai Di RS Paru

Dr M Goenawan pada bulan April 2015 ( n = 54 )

Standar
Variabel Mean Min – Max
deviasi
Lama
Perawatan 1 kali 0.6 1 – 3 kali

Frekuensi perawatan TB Paru di ruangan rawat inap teratai rata

rata 1 kali menjalani perawatan jalan inap di RSPG.

2. Varabel penelitian

Untuk mengetahui perilaku responden tentang teknik batuk efektif dapat

dilihat pada diagram berikut:


88

Diagram 5.4

Distribusi frekuensi perilaku klien TB Paru dalam melakukan teknik

batuk efektif di Ruangan Rawat Inap Teratai RS Paru Dr M Goenawan

pada bulan April 2015 (n= 54)

perilaku tidak baik


perilaku baik

Interpretasi data:

Diagram 5.4 diatas memaparkan bahwa lebih dari setengahnya yaitu

28 responden (51%) memiliki perilaku baik dan hampir setengahnya 26

responden (49%) memiliki perilaku tidak baik.


89

C. Pembahasan Penelitian

Dalam pembahasan ini membahas tentang kesesuaian maupun

ketidaksesuaian antara konsep teoritik dengan hasil penelitian di lapangan

mengenai gambaran perilaku klien TB Paru dalam melakukan teknik

batuk efektif di ruangan teratai RS Paru Dr M Goenawan partowidigdo

tahun 2015.

Berdasarkan hasil penelitian, distribusi perilaku yang diperoleh,

didapatkan bahwa lebih dari setengahnya memiliki perilaku baik yaitu

sebanyak 28 responden (51%) dan 26 responden (49%) memiliki perilaku

tidak baik. Dilihat dari masing masing lembar observasi pada saat

melakukan teknik batuk efektif yaitu seluruh responden posisi duduk atau

tidur miring pada saat batuk, dari 54 responden tidak ada satupun yang

meminum air hangat pada saat batuk efektif, 9 responden melakukan tarik

napas dalam 2 kali, 9 responden melakukan tahan napas pada saat batuk

efektif, 54 responden melakukan batuk dengan kuat dan, dari 54

responden hanya 22 orang yang membuang sputum ke pot sputum.

Penelitian ini juga didukung oleh beberapa teori, salah satunya adalah

teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green, (1980) yang dikutip dalam

Notoatmodjo (2011) dalam teorinya Green perilaku ditentukan atau

terbentuk dari tiga faktor yaitu : faktor predisposisi atau faktor yang

mempermudah terjadinya perilaku seperti karakteristik individu yaitu

umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Faktor


90

pendukung yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang

memfasilitasi perilaku atau tindakan, yang dimaksud dengan faktor

pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya

perilaku kesehatan. dan faktor pendorong merupakan faktor-faktor yang

mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, yang termasuk faktor

ini yaitu petugas kesehatan.

Faktor predisposisi yang kemungkinan mempengaruhi penelitian ini

yaitu jenis kelamin yang didominasi oleh responden yang berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 31 responden (57%) dan sebagian kecil

berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 23 responden (43%).

Menurut Ghana (2008) dalam Agung (2014) perbedaan perilaku

berdasarkan jenis kelamin antara lain cara berpakaian,melakukan

pekerjan sehari-hari, dan pembagian tugas pekerjaan. Perbedaan ini bisa

karena faktor hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian tugas.

Wanita seringkali berperilaku berdasarkan perasaan, sedangkan laki-laki

cenderung berperilaku atau bertindak atas pertimbangan rasional.

Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang

tahun, semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (Azwar, 2009). Dari hasil

penelitian ini rata-rata usia produktif responden berusia dewasa yaitu 37

tahun. Rentang usia responden berkisar 17-50 tahun. Menurut

Notoatmodjo (2010), terbentuknya perilaku terutama pada orang dewasa


91

dimulai pada domain kognitif yaitu pengetahuan, kemudian

menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang

diketahuinya. Selanjutnya objek yang telah diketahui dan

disadarisepenuhnya akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi yaitu

berupa tindakan.

Data mengenai tingkat pendidikan responden kemungkinan tidak

mempengaruhi hasil dari penelitian ini, menunjukan bahwa sebagian

besar responden memiliki pendidikan SD yaitu sebanyak 25 responden

(47%), SMA sebanyak 15 responden (23%), SMP sebanyak 12 responden

(28%), SARJANA 1 responden (1%), dan tidak sekolah 1 responden

(1%).data mengenai tingkat pendidikan responden tidak sesuai dengan

teori menurut Ghana (2008) dalam Agung (2014) yaitu pendidikan sangat

besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang.

Pekerjaan responden kemungkinan tidak mempengaruhi hasil dari

penelitian ini karena sebagian besar responden tidak bekerja yaitu

sebanyak 27 responden (51%), hal ini tidak sesuai dengan

pernyataanGhana (2008) dalam Agung (2014) status sosial ekonomi

seseorang akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan

mempengaruhi perilaku seseorang. menurut Crofton dalam Ferdi (2012)

yang menjelaskan bahwa pekerjaan dan penghasilan akan berpengaruh

terhadap status sosial ekonomi.


92

Pengalaman responden kemungkinan tidak mempengaruhi hasil

penelitian karena rata-rata responden mengalami 1 kali dirawat di RS

Paru Dr M Goenawan. demikian untuk dapat menjadi dasar pembentukan

sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat

(Azwar, 2009).

Selain itu, hasil penelitian ini terdapat kesesuaian dengan konsep teori

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2011) yaitu faktor pendorong

(renforcing factor) adalah faktor-faktor yang mendorong atau

memperkuat terjadinya perilaku. Yang termasuk dalam faktor ini yaitu

petugas kesehatan, hal ini mempengaruhi perilaku pasien Tb Paru dalam

melakukan teknik batuk efektif dikarenakan diberikannya pendidikan

kesehatan batuk efektif oleh petugas kesehatan yaitu perawat.

Penelitian diatas menunjukan hasil bahwa mayoritas pasien Tb Paru

perilaku baik dalam melakukan teknik batuk efektif, hal ini adanya faktor

pendukung yaitu fasilitas dari rumah sakit dan faktor pendorong yaitu

peran perawat dalam melakukan edukasi tentang teknik batuk efektif

yang berdasarkan hasil observasi peneliti adanya catatan tentang

pemberian edukasi yang berupa pendidikan kesehatan teknik batuk efektif

di catatan perawat.
BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di Bab V, serta setelah peneliti

melakukan penelitian tentang “Gambaran perilaku klien TB Paru dalam

melakukan teknik batuk efektif di ruangan rawat inap teratai RS Paru Dr M

Goenawan Partowidigdo 2015”, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

berikut:

1. Hasil penelitian di RS Paru Dr M Goenawan partowidigdo menunjukan

bahwa lebih dari setengahnya memiliki perilaku baik sebanyak 28

responden (51%) dan 26 responden (49%) memiliki perilaku tidak baik

dalam melakukan teknik batuk efektif.

2. Karakteristik responden yang diperoleh dari hasil penelitian ini sebagai

berikut:

a. Responden dalam penelitian ini rata-rata berusia 37 tahun, dengan rentang

usia 17-50 tahun.

b. Responden dalam penelitian ini mayoritas berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 31 responden (57%).

c. Distribusi pendidikan responden sebagian besar berpendidikan SD yaitu

sebanyak 25 orang (47%).

93
94

d. Distribusi pekerjaan responden lebih dari setengahnya tidak bekerja

sebanyak 27 orang (51%).

e. Distribusi riwayat pengobatan responden adalah kambuh sebanyak 24

orang (45%).

f. Distribusi pengobatan OAT responden lebih dari setengahnya yaitu ≤ 6

bulan sebanyak 28 responden (51%).

g. Responden dalam penelitian ini rata-rata menjalani 1 kali perawatan jalan

inap di RS Paru DR M Goenawan partowidigdo.

B. Rekomendasi

1. Peneliti

Diharapkan untuk penelitian selanjutnya bisa mengembangkan judul

penelitian ini sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat menjadi data

dasar untuk penelitian selanjutnya tentang gambaran pengetahuan teknik

batuk efektif pada pasien TB Paru.

2. Institusi Program Studi Keperawatan Bogor

Institusi pendidikan dapat memanfaatkan karya tulis ilmiah ini untuk

dijadikan bahan referensi penelitian selanjutnya, dan diharapkan institusi

dapat menambah lagi sumber bacaan dalam terbitan terbaru mengenai TB

Paru.

3. Pelayanan kesehatan

RS Paru Dr M Goenawan partowidigdo khususnya ditiap ruangan rawat

inap lebih ditingkatkan lagi pendidikan kesehatan tentang batuk efektif dan
95

diharapkan terdapat media penyuluhan yang berupa leflet, lembar balik

untuk pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh perawat.


DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Gumilar, A. R. (2014). Gambaran pelaksanaan perawat dalam pencegahan infeksi

nosokomial (cuci tangan) di Rumah Sakit Salak Bogor,KTI tidak dipublikasikan . Bogor:

Poltekkes kemenkes keperawatan bogor.

Notoatmojo. (2003). Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Rinneka Cipta.

Nursalam. (2008). konsep dan keperawatan dan metodologi penelitian ilmu keperawatan.

Jakarta: EGC.

P. &. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses- proses penyakit edisi 6, volume 2. Jakarta:

EGC.

Robbins, d. (2007). Buku ajar patologi edisi 7, volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai