Anda di halaman 1dari 55

PROPOSAL

HUBUNGAN KEPATUHAN TERAPI INSULIN DENGAN GANGGUAN


KADAR GULA DARAH PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS DI
RUANG RAWAT INAP RSUD KOTA MATARAM

RIJAL HAMBALI
208STYC21

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PRODI STUDI KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2022
Daftar Isi

Daftar Isi...................................................................................................................i
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................6
1.3 TujuanPenelitian.....................................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................................6
1.4 Manfaat penelitian..................................................................................7
1.4.1 Bagi Pelayanan dan Masyarakat...........................................................7
1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan...............................................................7
1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu.......................................................................7
1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya........................................................................7
BAB II
PEMBAHASAN.....................................................................................................8
2.1 Konsep Medis Diabetes Militus..............................................................8
2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus...............................................................8
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi..........................................................................9
2.1.3 Etiologi................................................................................................11
2.1.4 Tanda dan Gejala..............................................................................12
2.1.5 Klasifikasi...........................................................................................14
2.1.6 Patofisiologi........................................................................................15
2.1.7 Pathway..............................................................................................18
2.1.8 Komplikasi..........................................................................................19
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang....................................................................20
2.1.10 Penatalaksanaan.............................................................................23
2.2 Kepatuhan..............................................................................................31

i
2.2.1 Definisi Kepatuhan................................................................................31
2.2.2 Pentingnya Kepatuhan.........................................................................31
2.2.3 Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Kepatuhan..............................32
2.2.4 Risiko Potensial untuk Ketidakpatuhan.............................................33
BAB III
KERANGKA PENELITIAN..............................................................................35
3.1 Kerangka Konsep..................................................................................35
3.2 Hipotesa..................................................................................................36
BAB IV
METODE PENELITIAN....................................................................................37
4.1 Jenis Penelitian......................................................................................37
4.2 Tempat dan Waktu...............................................................................37
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian...........................................................38
4.4 Variable Penelitian................................................................................39
4.5 Definisi Operasional..............................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................50

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus merupakan kondisi serius, jangka panjang (atau

“kronis”) yang terjadi ketika peningkatan kadar glukosa darah terjadi karena

tubuh tidak dapat memproduksi salah satu atau cukup hormon insulin atau

tidak dapat menggunakan insulin secara efektif. Insulin adalah hormon

esensial yang diproduksi di pankreas. Insulin juga penting untuk

metabolisme protein dan lemak. Kekurangan insulin, atau ketidak mampuan

sel untuk meresponnya, menyebabkan tingginya kadar glukosa darah

(hiperglikemia), yang merupakan indicator klinis diabetes (International

Diabetes Federation, 2019).

Diabetes dan Penyakit Tidak Menular (PTM) lainnya, saat ini telah

menjadi ancaman serius kesehatan global. Berdasarkan dari data World

Healtah Organization (WHO) tahun 2021, 70% dari total kematian di dunia

dan lebih dari setengah beban penyakit. 90-95% dari kasus Diabetes adalah

Diabetes yang sebagian besar dapat dicegah karena disebabkan oleh gaya

hidup yang tidak sehat (Webber, 2021)

Meningkatnya prevalensi diabetes di seluruh dunia didorong oleh faktor

sosial ekonomi, demografi, lingkungan dan genetik. Peningkatan yang

berkelanjutan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan faktor risiko

terkait, yang meliputi meningkatnya angka obesitas, diet yang tidak sehat

dan kurangnya aktivitas fisik. IDF memperkirakan bahwa akan ada 578 juta

1
2

orang dewasa dengan diabetes pada tahun 2030, dan 700 juta pada tahun

2045 (International Diabetes Federation, 2019).

(Kemenkes RI, 2018)Pada tahun 2015, Indonesia menempati peringkat

ke tujuh dunia di dunia untuk prevalensi penyandang diabetes tertinggi di

dunia bersama dengan China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan

Meksiko dengan jumlah estimasi orang dengan diabetes sebesar 10 juta

(IDF Atlas 2015). Diabetes dengan Komplikasi merupakan Penyebab

Kematian tertinggi ketiga di Indonesia (SRS 2014) Persentase Kematian

akibat diabetes di Indonesia merupakan yang tertinggi kedua setelah Sri

Lanka. Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukkan

kecenderungan meningkat yaitu dari 5,7% (2007) menjadi 6,9% (2013).

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang

akibat peningkatan angka kemakmuran di negara yang bersangkutan akhir-

akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan

gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya angka

kejadian penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit diabetes

melitus. Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang

berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia.

Di Nusa Tenggara Barat, prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah

sekitar 1,6% pada tahun 2018, Mataram merupakan wilayah keempat tertinggi

dengan angka kejadian terbanyak yaitu 6.791 penderita diabetes mellitus tipe

2. Wilayah pertama dengan angka kejadian diabetes mellitus terbanyak

dimiliki oleh Lombok Timur sebanyak 11.348, Lombok Tengah 8.473. dan

wilayah ketiga Lombok Barat sebanyak 7.451 (Riskesdas NTB, 2018)


3

Penelitian menurut (Ceria N, 2020) Risiko DM meningkat terutama

ketika seseorang berusia 45 tahun keatas dan mengalami kelebihan berat

badan, sehingga tubuh tidak sensitif lagi dengan insulin. Pengendalian kadar

gula darah merupakan hal yang penting dalam penanganan DM. Pasien

diabetes perlu memahami faktor-faktor yang berpengaruhi untuk

mengendalikan kadar gula darah, yaitu diet, aktivitas fisik, kepatuhan minum

obat, dan pengetahuan.keberhasilan pengelolahaan DM untuk mencegah

komplikasi dapat dicapai salah satunya melalui kepatuhan dalam terapi

farmakologi. Kepatuhan merupakan perubahan perilaku sesuai perintah yang

diberikan dalam bentuk terapi latihan, diet, pengobatan, maupun kontrol

penyakit kepada dokter.

Kepatuhan pengobatan adalah sejauh mana perilaku seseorang minum

obat, mengikuti diet, dan / atau menjalankan perubahan gaya hidup, sesuai

dengan rekomendasi yang disepakati dari penyedia layanan kesehatan World

Healtah Organization (WHO) tahun 2021. Kepatuhan merupakan salah satu

faktor yang sangat penting dalam keberhasilan terapi seorang pasien

termasuk pasien diabetes melitus. Kepatuhan menjadi persoalan yang perlu

mendapat perhatian pada pasien.

Dikutip dari penelitian (Ejeta dkk, 2015) kadang penderita diabetes

mellitus yang sudah mempunyai pengetahuan dalam penggunaan insulin

masih saja tidak patuh dalam penggunaan karena adanya keluhan-keluhan

tertentu selama pemakaian insulin, maupun sebaliknya ada juga penderita

yang sudah patuh namun tidak mempunyai pengetahuan karena sikap

patuhnya itu timbul karena adanya paksaan bukan berasal dari kesadaran diri
4

sendiri. Penelitian dari (Soelistijo, 2021) Pasien DM digolongkan sebagai

tingakat kepatuhan terapi rendah. Kepatuhan pengobatan ialah salah satu

kunci penting yang berperan dalam menstabilkan kadar gula darah.

Timbulnya ketidakpatuhan mengakibatkan tidak tercapainya tujuan terapi

tersebut.

Faktor-faktor ketidak patuhan yang dipengaruhi penyandang diabetes

melitus, antara lain merasa membaik, tidak ingat, minimnya pengetahuan

tentang fungsi dari penyelesaian terapi, kehabisan obat di rumah, jarak yang

ditempuh dari rumah ke fasilitas kesehatan (PERKENI, 2021b).

Berdasarkan WHO pada tahun 2021, Di Negara maju kepatuhan rata-

rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis hanya

sebesar 50% sedangkan Di Negara berkembang jumlah tersebut bahkan

lebih rendah (indonesia, 2021). Rendahnya kepatuhan akan menyebabkan

kontrol glikemik yang buruk, sehingga terjadi peningkatan resiko dan

komplikasi kronik (mikrovaskular dan makrovaskular). Akibatnya akan

berdampak negatif baik secara ekonomi, klinik, maupun kualitas hidup

pasien dikarenakan seringnya relaps dan re-hospitalisasi (Indahningrum et

al., 2020). Penurunan kualitas hidup mempunyai korelasi yang signifikan

dengan angka kesakitan serta kematian, dan sangat berpengaruh di usia

harapan hidup pasien diabetes melitus (Decroli, 2019)

Menurut penelitian (Fatimah, 2015) Keluhan dan gejala yang khas

ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa

darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa


5

glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan

kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada

hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal.

Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan

dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang

menurun cepat .

Pada penelitian sebelumnya (Purwaningtyas and ., 2020) yang

mengevaluasi hubungan kepatuhan terhadap terapi insulin. Penelitian yang

sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

kepatuhan pengobatan terhadap kualitas hidup, walaupun dalam beberapa

penelitian lain mengatakan pengaruhnya tidak begitu besar (Alfian, 2016).

Sehingga analisis hubungan antara kepatuhan pengobatan dan kualitas hidup

masih kontroversi pada beberapa literatur. Beberapa penelitian mengatakan

bahwa kepatuhan pengobatan yang baik berhubungan dengan kualitas hidup

yang baik, namun pada penelitian yang lain tidak menunjukkan adanya

keterkaitan (Purwaningtyas and ., 2020). Oleh karena latar belakang

permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti kepatuhan pengobatan

pasien dengan diabetes tipe 2, serta hubungan antara kepatuhan terhadap

terapi insulin dengan menggunakan kuisioner MMAS-8 dengan judul

Hubungan Kepatuhan Terapi Insulin Dengan Gangguan Kadar Gula Darah

Pada Penyandang Diabetes Melitus Di Ruang Rawat Inap 3C RSUD Kota

Mataram
6

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat di lihat bahwa

penyakit DM erat kaitannya dengan perilaku pasien baik dalam terapi

dietnya maupun tingkat kepatuhan serta motivasi diri pasien. Peneliti

merumuskan masalah pada penelitian ini, yaitu : “Apakah ada Hubungan

Kepatuhan Terapi Insulin Dengan Gangguan Kadar Gula Darah Pada

Penyandang Diabetes Melitus Di Ruang Rawat Inap 3C RSUD Kota

Mataram?”

1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan Kepatuhan Terapi Insulin Dengan

Gangguan Kadar Gula Darah Pada Penyandang Diabetes Melitus Di

Ruang Rawat Inap 3C RSUD Kota Mataram

1.3.2 Tujuan Khusus


1) Mengukur tingkan kepatuhan terhadap terapi insulin pada pasien

Diabetes Mellitus Di Ruang rawat inap 3C RSUD Kota Mataram.

2) Mengidentifikasi karakteristik responden, meliputi umur, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, lama menderita Diabetes melitus.

3) Menganalisa tingkat kepatuhan responden tentang terapi

pada pasien Diabetes Mellitus Di Ruang rawat inap 3C RSUD

Kota Mataram.

4) Membandingkan tingkan kepatuhan terhadap terapi insulin pada

pasien Diabetes Mellitus Di Ruang rawat inap 3C RSUD Kota

Mataram.

5) Menilai tingkan kepatuhan terhadap terapi insulin pada pasien

Diabetes Mellitus Di Ruang rawat inap 3C RSUD Kota Mataram.


7

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Bagi Pelayanan dan Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data yang dapat

dikembangkan oleh perawat di rumah sakit dalam menentukan intervensi

dan pemberian informasi bagi pasien diabetes melitus dalam upaya

meningkatkan kepatuhan pasien diabetes melitus.Hasil penelitian ini juga

diharapkan dapat meningkatkan interaksi antara pasien dan perawat agar

dapat mengatasi faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan


Melalui pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

data dasar dalam pengembangan ilmu keperawatan dan sebagai upaya

meningkatkan kepatuhan pasien diabetes melitus dalam menjalani terapi

insulin.

1.4.3 Bagi Perkembangan Ilmu


Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan metode caring bagi

perawat dalam melakukan pendekatan untuk mengkaji faktor yang dapat

mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.

1.4.4 Bagi Peneliti Selanjutnya


Hasil penelitian ini diharapkan sebagai dasar untuk pengembangan

penelitian selanjutnya untuk menemukan intervensi-intervensi yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan

pengobatan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Medis Diabetes Militus

2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit yang ditandai dengan

kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh

kekurangan insulin baik absolut maupun relatif tingkat kadar glukosa

darah menentukan apakah seseorang menderita DM atau tidak (Webber,

2021)

Diabetes Mellitus adalah kurangnya produksi dan ketersediaan

insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi insulin, yang

sebenarnya jumlahnya cukup. Kekurangan insulin disebabkan

terjadinya kerusakan sebagian kecil atau sebagian besar sel-sel beta

pulau langerhans dalam kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan

insulin (PERKENI, 2021b)

(Kementerian Kesehatan RI., 2020) Diabetes Mellitus adalah

penyakit kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan

cukup insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan

insulin yang dihasilkannya. Insulin adalah hormon yang mengatur gula

darah. Hiperglikemia, atau peningkatan gula darah, merupakan efek

yang umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu

menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama

saraf dan pembuluh darah.

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Diabetes Mellitus merupakan penyakit sistemis, kronis, multifactorial,

8
9

yang diakibatkan karena kekurangan insulin ditandai oleh kenaikan

kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2. 1 Anatomi Sistem Endokrin (Corwin, 2009)

1. Anatomi

Sistem endokrin terdiri atas hipofisis anterior dan posterior, tiroid,

paratiroid, korteks adrenal, medulla adrenal, pankreas gonas, badan

pineal, serta timus. Selain itu, masih ada sel endokrin khusus yang

terdapat pada traktus gastrointestinal. Hormon kelenjar endokrin adalah

vital dalam mempertahankan kehidupan, termasuk fungsi deferensiasi,

reproduksi, adaptasi, pertumbuhan/ perkembangan, dan proses menua

(Bradero, 2009).

Pankreas adalah suatu alat tubuh yang berbentuk sedikit panjang

terletak retroperitoneal dalam abdomen bagian atas, didepan vertebra

lumbalis I dan II. Kepala pankreas terletak dekat dengan kepala

duodenum, sedangkan ekornya sampai ke limpa. Pankreas dapat darah

dari arteri lienalis dan arteri mesenterika superior. Duktus pankreatikus


10

bersatu dengan duktus koledukus dan masuk ke duodenum. Pankreas

menghasilkan dua kelenjar yaitu kelenjar endokrin dan kelenjar

eksokrin.

Pankreas menghasilkan kelenjar endokrin yang terdiri atas

kelompok sel yang membentuk pulau-pulau Langerhans. Pulau-pulau

Langerhans berbentuk oval dan terbesar di seluruh pankreas. Dalam

tubuh manusia terdapat 1-2 juta pulau-pulau Langerhans yang

dibedakan atas granulasi dan pewarnaan, setengah dari sel ini

mensekresi hormone insulin (Syaifuddin, 2011).

2. Fisiologi

Pankreas adalah kelenjar endokrin dan eksokrin. Sel pankreas

yang berfungsi sebagai sel endokrin adalah pulau Langerhans. Pulau

Langerhans mempunyai empat macam sel yaitu :

a. Sel alfa menyekresi hormone glukagon.

b. Sel beta menyekresi insulin.

c. Sel delta menyekresi somatostatin. Somatostastin dapat menekan

keluarnya (inhibitor) hormon pertumbuhan, insulin dan gastrin.

d. Sel-F menyekresi polipeptida pankreas.

Stimulus utama untuk keluarnya insulin adalah glukosa. Melalui

insulin, tubuh dapat menggunakan makanan yang telah di cerna dan

juga dapat menyimpan kelebihan makanan tubuh sebagai cadangan.

Fungsi keseluruhan glukagon adalah meningkatkan kadar glukosa

dalam darah. Organ target glukosa adalah hati. Glukagon dapat


11

menstimulasi glukogenilisis (pecahan glukogen menjadi glukosa).

Apabila suplai glukosa tidak mencukupi melalui glukagenolisis,

glukagon dapat menarik asam amino dan asam lemak otot dan

mengubahnya menjadi glukosa melalui proses glukogeonisis. Glukagon

juga dapat bekerja sama dengan epinefrin dan glukokortikoid untuk

mempertahankan kadar glukosa ketika tubuh mengalami stress atau

sedang puasa (Bradero, 2009)

2.1.3 Etiologi

Menurut Tarwoto (2011), Waspadji (2010) dan Padila (2012),

penyebab Diabetes mellitus yaitu:

1. Diabetes tipe I:

a. Faktor genetik

Penyandang diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri;

tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah

terjadinya DM tipe 1. Kecenderugan genetik ini ditemukan pada

individu yang memiliki tipe antigen HLA.

b. Faktor-faktor imunologi

Adanya respon otoimun yang merupakan respon abnormal

dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara

bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah

sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau

Langerhans dan insulin endogen.


12

c. Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang

menimbulkan destruksi selbeta.

2. Diabetes tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin

dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum

diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin.

Faktor-faktor risiko:

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 45

tahun)

b. Obesitas, berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal.

c. Riwayat keluarga (Padila, 2012)

2.1.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada Diabetes Mellitus menurut Tarwoto (2011)

dan Bambang (2011) sebagai berikut:

1. Poliuri (banyak kencing)

Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah

meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa

sehingga terjadi osmotik diuresis yang mana gula banyak menarik

cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.

2. Polidipsi (banyak minum)


13

Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan

cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien

lebih banyak minum.

3. Polifagi (banyak makan)

Hal ini disebabkan karena meningkatnya katabolisme,

pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan energi

berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar.

4. Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang

Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur

menjadi glukosa, maka tubuh berusaha mendapat peleburan zat dari

bagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus

merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan

makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot

dan lemak sehingga klien dengan Diabetes Mellitus walaupun

banyak makan akan tetap kurus.

5. Kelaianan pada mata, penglihatan kabur

Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan

aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar,

termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan pada

lensa.

6. Terkadang tanpa gejala

Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan

peningkatan glukosa darah.


14

2.1.5 Klasifikasi

Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dalam Arisman (2010) dan

Brunner (2014). Diabetes mellitus di bagi menjadi beberapa tipe yaitu :

1. Diabetes Mellitus tipe I

Yaitu diabetes mellitus yang bergantung insulin. Diabetes ini

terjadi pada 5% s.d 10% penyandang DM. Pasien sangat tergantung

pada insulin melalui penyuntikkan untuk mengendalikan gula darah.

2. Diabetes Mellitus tipe II

Merupakan penyakit familier yang mewakili kurang-lebih

85% kasus DM di negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi

(35% orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup

tradisional menjadi modern. Kebanyakan penyandangnya memiliki

berat badan lebih. Atas dasar ini pula, pasien dengan DM jenis ini

dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) kelompok obes, dan (2)

kelompok no-obes. Kemungkinan untuk mengidap DM tipe II akan

berlipat dua jika berat badan bertambah sebanyak 20% di atas berat

badan ideal dan usia bertambah 10 tahun (diatas 40 tahun).

3. Diabetes sekunder atau DM tipe lain. Penyebab diabetes jenis ini,

meliputi:

a. Penyakit pada pankreas yang merusak sel β, seperti

hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik.

b. Sindrom hormonal yang menganggu sekresi dan/atau

menghambat kerja insulin, seperti akromegali, feokromositoma,

dan sindrom Cushing.


15

c. Obat-obat yang menganggu sekresi insulin (fenitoin) atau

menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid)

d. Kondisi tertentu yang jarang terjadi seperti kelainan pada

reseptor insulin.

e. Sindrom genetik

4. Diabetes Kehamilan (GDM)

Diabetes kehamilan adalah intoleransi glukosa yang mulai

timbul atau diketahui selama pasien hamil, biasanya terjadi pada

trimester kedua atau ketiga. Disebabkan oleh hormone yang

disekresi plasenta dan menghambat kerja insulin.

5. Diabetes Mellitus terkait malnutrisi (DMMal)

Diabetes jenis ini biasanya menampakkan gejala pada usia

muda, antara 10-40 tahun (lazimnya di bawah 30 tahun). Sebagian

pasien mengalami nyeri perut yang menjalar ke daerah punggung.

Ciri lainnya ialah nilai BMI di bawah 20, hiperglikemia derajat

sedang hingga berat, cenderung tidak berkembang ke arah ketosis

(kecuali jika disambangi infeksi), dan kadang-kadang adanya

riwayat malnutrisi semasa bayi atau anak. Autopsi memperlihatkan

klasifikasi pankreas, kerusakan endokrin dan eksokrin, serta fibrosis

dan batu pada saluran eksokrin.

2.1.6 Patofisiologi

Menurut Ernawati (2013) dan Sirdawan (2010) patofisiologi dari

Diabetes Mellitus yaitu:

1. Diabetes tipe I
16

Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan

oleh proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat produksi

glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang

berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun

tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia

postprandial (sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal

tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar;

akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika

glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urine, ekskresin ini

akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan.

Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari

kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami

peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga menganggu metabolisme protein dan lemak

yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami

peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya simpanan

kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis

(pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi

lain) namun pada penyandang defisiensi insulin, proses ini akan

terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan


17

hiperglikemia. Di samping itu akan terjadi pemecahan lemak yang

mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan

produk samping pemecahan lemak.

2. Diabetes tipe II

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang

berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor

khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan

reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme

glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai

dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin

menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh

jaringan. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan

ciri khas Diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan

jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan

produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis

diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe 2.


18

2.1.7 Pathway
1. Faktor genetik
Ketidakseimbangan Kerusakan sel beta 2. Inveksi virus
produksi insulin 3. Pengrusakan imunologik

Gula dalam darah tidak dapat Risiko


dibawa masuk dalam sel ketidakstabilan
kadar glukosa
darah
Hiperglikemia
Vikositas darah Syok Anabolisme
meningkat hiperglikemik protein menurun
Batas melebihi ambang
ginjal
Aliran darah lambat
Koma diabetik Kerusakan pada
Glukosuria antibodi
Iskemik jaringan
Dieresis osmotik

Kekebalan tubuh
Ketidakefektifan perfusi menurun
Poliuri Retensi urin jaringan peifer

Kehilangan elektrolit
dalam sel Kehilangan kalori Risiko infeksi Neuropati sensori
perifer
Sel kekurangan bahan untuk
Dehidrasi metabolisme Klien tidak merasa
Nekrosis luka
sakit
Risiko syok
Protein dan lemak dibakar Gangguan
Merangsang Gangrene integritas jaringan
hipotalamus
BB menurun

Pusat lapar dan haus Keletihan

Polidipsia Pemecahan protein


Polifagia Katabolisme lemak

Asam lemak
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Keton ureum
kebutuhan

Ketoasidosis

Gambar 1.2 Pathway DM Padila (2012)


19

2.1.8 Komplikasi

Pasien dengan DM berisiko terjadi komplikasi baik bersifat akut

maupun kronis diantaranya (Tarwoto, 2011) :

1. Komplikasi akut

a. Koma hiperglikemia disebabkan kadar gula sangat tinggi

biasanya terjadi pada diabetes mellitus tipe II

b. Ketoasidosi atau keracunan zat keton sebagao hasil metabolisme

lemak dan protein terutama terjadi pada diabetes mellitus tipe I.

c. Koma hipoglikemia akibat terapi insulin yang berlebihan atau

tidak terkontrol.

2. Komplikasi kronis

a. Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf perifer) pada organ-

organ yang mempunyai pembuluh darah kecill seperti pada :

1) Retinopati diabetika (kerusakan saraf retina dimata) sehingga

mengakibatkan kebutaan.

2) Neuropati diabetika (kerusakan saraf-saraf perifer)

mengakibatkan baal/gangguan sensoris pada organ tubuh.

3) Nefropati diabetika (kelainan/kerusakan pada ginjal) dapat

mengakibatkan gagal ginjal.

b. Makroangiopati

1) Kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard

infark maupun gangguan fungsi jantung karena arteriskelosis.

2) Penyakit vaskuler perifer.

3) Gangguan sistem pembuluh darah otak atau stroke.


20

c. Ganggren diabetika karena adanya neuropati dan terjadi luka yang

tidak sembuh-sembuh.

d. Disfungsi erektil diabetika.

Angka kematian dan kesakitan dari diabetes terjadi akibat

komplikasi seperti karena :

a. Hiperglikemia atau hipoglikemia.

b. Meningkatnya risiko infeksi.

c. Komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati.

d. Komplikasi neurofatik.

e. Komplikasi makrovaskuler seperti penyakit jantung koroner,

stroke.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada Diabetes Mellitus menurut Arisman

(2010) adalah:

1. Pemeriksaan darah

a. Pemeriksaan kadar gula darah

Pemeriksaan kadar gula darah diperlukan untuk menetukan

jenis pengobatan serta modifikasi diet. Ada dua macam

pemeriksaan untuk menilai ada/tidaknya masalah pada gula

seseorang. Pertama, pemeriksaan gula darah secara langsung

setelah berpuasa sepanjang malam; uji kadar gula darah puasa

(fasting blood glucose test) merupakan pemeriksaan baku emas

(gold standard) untuk diagnosis DM. Seseorang di diagnosis DM


21

manakala kadar gula darah puasanya setelah dua kali pemeriksaan

tidak beranjak dari nilai diatas 140 mg/dL.

Kedua, penilaian kemampuan tubuh dalam menangani

kelebihan gula seusai minum cairan berkadar glukosa tinggi yang

diperiksa dengan tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance

test). Caranya, darah pasien yang telah berpuasa selama 10 jam

(jangan lebih dari 16 jam) diambil untuk diperiksa. Segera setelah

darah diperoleh, pasien diberi minuman yang mengandung

75gram glukosa (1,75 g/kgBB untuk anak-anak dan 100g bagi

wanita hamil). Darah pasien kemudian diambil lagi setelah ½, 1,

2, dan 3 jam untuk diperiksa. Kadar gula darah ≤ 110 mg/dL

dianggap sebagai respons gula darah yang normal.

Gula darah puasa disimpulkan terganggu jika hasil

pemeriksaan menunjuk pada kisaran angka ≥ 110 hingga ≤ 126

mg/dL. Jika hasil uji gula darah mencapai angka ≥ 140 sampai <

200mg/dL pada 2 jam postprandial, dikatakan sebagai toleransi

glukosa terganggu. Pasien dipastikan mengidap DM jika kadar

gula darah 2 jam postprandial bernilai ≥ 200 mg/dL.


22

Table 2.1 Patokan Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa untuk
Menyaring dan Mendiagnosis DM

Bukan Belum Pasti


pasti
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200
(mg/dL)
Kadar glukosa Plasma vena < 100 100-125 ≥ 126
dara puasa Darah kapiler < 90 90-99 ≥ 100
(mg/dL)
Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia,
(PERKENI, 2021a)

b. Pemeriksaan kadar kolestrol dan trigliserida

Pemeriksaan ini menjadi penting karen diabetesi memiliki

kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami aterosklerosis

dan hiper lipoproteinemia tipe IV (ditandai dengan peningkatan

VLDL). Tingginya kadar kolesterol dan trigliserida memerlukan

penangan diet yang khusus.

c. Pemeriksaan kadar kalium berguna untuk mengetahui derajat

katabolisme protein.

d. Hasil pemeriksaan BUN (blood urea nitrogen) dan kreatinin

serum yang tidak normal menyiratkan nefropati yang

membahayakan.

e. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbA1c)

Pemeriksaan lain untuk memantau rata-rata kadar glukosa

darah adalah glykosylated hemoglobin (HbA1c). Test ini

mengukur persentasi glukosa yang melekat pada hemoglobin.

Pemeriksaan ini menunjukkan kadar glukosa darah rata-rata

selama 120 hari sebelumnya, sesuai dengan usia eritrosit. HbA1c

digunakan untuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang,


23

sehingga dapat memprediksi risiko kimplikasi. Hasil HbA1c tidak

berubah karena pengaruh kebiasaan makan sehari sebelum test.

Pemeriksaan HbA1c dilakukan untuk diagnosis dan pada interval

tertentu untuk mengevaluasi penatalaksanaan DM. Pemeriksaan

ini setidaknya diperiksa sekali setiap 3 atau 4 bulan.

2. Pemeriksaan Urine

a. Glukosa akan merembes ke dalam urin jika kadar gula darah telah

mencapai ambangnya pada kisaran angka 150-180 mg/dL.

Pemeriksaan urin dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan

dilaporkan dengan sistem plus: 1+ hingga 4+.

b. Keton terutama harus diperiksa selama infeksi, stres emosional,

atau jika terjadi peningkatan kadar gula darah yang sangat tinggi.

c. Protein urin juga harus diperiksa terutama jika gejala komplikasi

ginjal (nefropati) mulai tampak.

3. Pemeriksaan angiografi, monofilamen, dopler pada luka gangren.

4. Kultur jaringan pada luka gangren.

5. Pemeriksaan organ lain yang mungkin terkait dengan komplikasi DM

seperti pemeriksaan mata, saraf, jantung, dll.

2.1.10 Penatalaksanaan

Tujuan pelaksanaan pasien dengan DM menurut Ernawati (2013),

Sidartawan (2010), dan Brunner (2014) adalah :

a. Menormalkan fungsi dari insulin dan menurunkan kadar glukosa

darah.
24

b. Mencegah komplikasi vaskuler dan neurophati.

c. Mencegah terjadinya hipoglikemia dan ketoasidosis.

Prinsip penatalaksanaan pasien DM adalah mengontrol gula darah

dalam rentang normal. Untuk mengontrol gula darah, ada lima faktor

penting yang harus diperhatikan yaitu :

a. Asupan makanan atau managemen diet.

b. Latihan fisik atau exercise.

c. Obat-obatan penurunan gula darah.

d. Pendidikan kesehatan.

e. Monitoring.

Perencanaan penatalaksanaan DM bersifat individual artinya perlu

dipertimbangkan kebutuhan terhadap umur pasien, gaya hidup,

kebutuhan nutrisi, kematangan, tingkat aktivitas, pekerjaan dan

kemampuan pasien dalam mengontrol gula darah secara mandiri.

1. Managemen diet DM

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari (PERKENI,

2021b):

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan

energi.

Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.

2) Pembatasan karbohidrat total <130g/hari tidak dianjurkan.

3) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan

tidak diperkenankan melebihi 30% total kebutuhan energi.


25

4) Komposisi lemak yang dianjurkan: lemak jenuh <7% kebutuhan

kalori, lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak

tidak jenuh tunggal

5) Konsumsi kolestrol dianjurkan <200 mg/hari.

6) Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi.

7) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes melitus

sama

dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari, kecuali terdapat

riwayat

hipertensi maka natrium harus dikurangi.

8) Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram perhari yang berasal

dari berbagai sumber makanan. Ada beberapa cara untuk

menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang

diabetes melitus, antara lain dengan memperhitungkan

kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal.

Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung

pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktifitas, berat

badan, dan lain-lain. Cara perhitungan berat badan ideal adalah

sebagai berikut: Perhitungan berat badan ideal menurut indeks

Untuk menentukan status gizi dipakai rumus body massa index

(BMI) atau indeks massa tubuh (IMT) yaitu :

BMI atau IMT = BB (kg)


(TB (m))²
26

Ketentuan:

BB kurang : IMT < 18,5

BB normal : IMT 18,5 – 22,9

BB lebih : IMT > 23

BB dengan risiko : IMT 23 – 24,9

Obes I : IMT 25 – 29,9

Obes II : IMT > 30,0

2. Latihan fisik/exercise

Latihan fisik bagi pasien dengan DM sangat dibutuhkan,

karena pada saat latihan fisik energi yang dipakai adalah glukosa

dan asam lemak bebas. Latihan fisik bertujuan :

a. Menurunkan gula darah dengan meningkatkan metabolisme

karbohidrat.

b. Menurunkan berat badan dan mempertahankan berat badan

normal.

c. Meningkatkan sensitivitas insulin.

d. Meningkatkan kadar HDL (high density lipoprotein) dan

menurunkan kadar trigliserida.

e. Menurunkan tekanan darah.

Jenis latihan fisik diantaranya adalah olahraga seperti latihan

aerobic, jalan, lari, bersepeda, berenang. Yang perlu diperhatikan

dalam latihan fisik pasien DM adalah frekuensi, intensitas, durasi


27

waktu dan jenis latihan. Misalnya pada olahraga sebaiknya secara

teratur 3x/minggu dengan intensitas 60-7-0% dari heart rate

maximum (220-umur), lamanya 20-45 menit.

3. Obat-obatan

a. Obat antidiabetik oral atau Oral Hypoglikemik Agent (OH)

Efektif pada DM tipe II, jika managemen ntrisi dan latihan

gagal.

Jenis obat-obatan antidiabetik oral diantaranya :

1) Sulfonlurea : bekerja dengan merangsang beta sel

pankreas untuk melepaskan cadangan insulinnya. Yang

termasuk obat jenis ini adalah Glibenklamid, Tolbutamid,

Klorpropamid.

2) Biguanida : bekerja dengan menghambat penyerapan

glukosa di usus, misalnya mitformin, glukophage.

b. Pemberian hormon insulin

Pasien dengan DM tipe I tidak mampu memproduksi

insulin dalam tubuhnya, sehingga sangat tergantung pada

pemberian insulin, tetapi memerlukannya sebagai pendukung

untuk menurunkan glukosa darah dalam mempertahankan

kehidupan. Tujuan pemberian insulin adalah meningkatkan

transport glukosa ke dalam sel dan menghambat konvensi

glikogen dan asam amino menjadi glukosa. Berdasarkan daya

kerjanya insulin dibedakan menjadi :


28

Table 2.2 Jenis Insulin dan Cara kerjanya

Jenis Insulin Nama Insulin Cara Kerja Cara Pemberian


Insulin kerja Insulin regular Insulin jenis IV, IM, SC
singkat (Crystal Zinc ini diberi 30 Infus
Insulin/CZI). menit sebelum (AA/Glukosa/elektr
Saat ini makan, olit), jangan
dikenal 2 mencapai bersama darah
macam insulin puncak setelah karena mengandung
CZI, yaitu 1-3 macam enzim yag merusak
dalam bentuk dan efeknya insulin
asam dan dapat bertahan
netral. sampai 8 jam.
Preparat yang
ada antar lain:
Actrapid®,
Velosulin®,
Semilente®.
Insulin kerja Netral Awal kerjanya Jangan IV karena
menengah Protamine adalah 1,5 – bahaya emboli.
Hegedorn 2,5 jam.
(NPH), Puncaknya
Monotard®, tercapai dalam
Insulatard® 4-15 jam dan
efeknya dapat
bertahan
sampai dengan
24 jam.
Insulin kerja Preparat: Campuran dari Jangan IV karena
panjang Protamine insulin dan bahaya emboli.
Zinc Insulin protamine,
(PZI), diabsorpsi
ultratard dengan lambat
dari tempat
penyuntikkan
sehingga efek
yang di
rasakan cukup
lama, yaitu
sekitar 24-36
jam.
Insulin Merupakan
Infasik kombinasi
(campuran) insulin jenis
singkat dan
menengah.
Preparatnya:
Mixtard®
30/40
Sumber: Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Mellitus (Ernawati, 2013)
29

Absorpsi dan durasi dari insulin bervariasi tergantung

pada tempat penyuntikkan, misalnya injeksi pada abdomen

diabsorpsi lebih cepat sehingga durasinya lebih pendek

dibandingkan pada lengan atau bokong.

Dosis insulin ditentukan berdasarkan pada :

a) Kebutuhan pasien. Kebutuhan insulin meningkat pada

keadaan sakit yang serius/parah, infeksi, menjalani operasi

dan masa pubertas.

b) Respon pasien terhadap injeksi insulin. Pemberian insulin

biasanya dimulai antara 0.5 dan 1 unit/Kg/BB/hari.

Terdapat tiga cara pemberian insulin dengan benar:

a) Dengan jarum suntik (syringe): menggunakan jarum tipis

dan kecil untuk menyuntikkan insulin dibawah kulit.

b) Menggunakan pen: pen merupakan perangkat seperti

memegang peluru yang mengandung insulin. Seperti

jarum suntik, pen digunakan untuk menyuntikkan insulin

di bawah lapisan kulit.

c) Melalui pompa (pump): sebuah tabung kecil dan kanul

yang dikenal sebagai infus set, ditempatkan di bawah kulit

pasien yang diberikan insulin. Jumlah isnulin dapat di

ubah-ubah oleh setiap pengguna.

Area tubuh yang biasa dipilih untuk injeksi subkutan

insulin pada orang dewasa adalah lengan atas, paha, perut, dan

bokong. Daerah ini memiliki jaringan subkutan cukup tebal


30

untuk memungkinkan teknik injeksi yang tepat dan jaminan

dosis benar diposisikan setelah injeksi. Penyerapan insulin

lebih cepat di daerah perut dibandingkan dengan injeksi di

area lainnya (Tarwoto, 2011).

Gambar 2.2Tempat Penyuntikkan Insulin (Kementerian Kesehatan RI.,


2020)

4. Pendidikan Kesehatan

Hal penting yang harus dilakukan pada pasien dengan DM

adalah pendidikan kesehatan. Beberapa hal penting yang perlu

disampaikan pada pasien DM menurut Tarwoto (2011) adalah :

a. Penyakit DM yang meliputi pengertian, tanda dan gejala,

penyebab, patofisiologi dan test diagnosis.

b. Diet atau managemen diet pada pasien DM.

c. Aktivitas sehari-hari termasuk latihan dan olahraga.

d. Pencegahan terhadap komplikasi DM diantaranya

penatalaksanaan hipoglikemia, pencegahan terjadi gangren

pada kaki dengan latihan senam.

e. Pemberian obat-obatan DM dan cara injeksi insulin.


31

f. Cara monitoring dan pengukuran glukosa darah secara

mandiri.

5. Monitoring glukosa darah

Pasien dengan DM menurut Tarwoto (2011) perlu

diperkenalkan tanda dan gejala hiperglikemia dan hipoglikemia

serta yang paling penting adalah bagaimana memonitor glukosa

darah secara mandiri. Pemeriksaan glukosa darah dapat dilakukan

secara mandiri dengan menggunakan glukometer. Pemeriksaan

ini penting untuk memastikan glukosa darah dalam keadaan

stabil.

Pengukuran glukosa darah dapat dilakukan pada sewaktu-

waktu atau pengukuran gula sewaktu yaitu pasien tanpa

melakukan puasa, pengukuran 2 jam setelah makan dan

pengukuran pada saat puasa.

2.2 Kepatuhan

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Kepatuhan dalam pengobatan didefinisikan sebagai sikap perilaku

minum obat pasien bertepatan dengan maksud saran kesehatan yang

telah diberikan kepadanya. Kepatuhan menjadi faktor terpenting yang

menetukan hasil terapeutik, terutama pada pasien yang menderita

penyakit kronis (Inamdar, Kulkarni, & Karajgi et al., 2013)

2.2.2 Pentingnya Kepatuhan

Ada banyak situasi dalam praktik klinis di mana kepatuhan sangat

penting untuk hasil terapeutik yang lebih baik, diantaranya:


32

1) Penyakit kronik seperti diabetes dan hipertensi

2) erapi pengganti, contohnya Thyroxin dan insulin

3) Pemeliharaan efek farmakologis

4) Pemeliharaan konsentrasi obat serum untuk mengendalikan

gangguan tertentu

5) Penyakit menular dimana ketidakpatuhan menjadi hambatan utama

untuk mencapai kesehatan, seperti penyakit infeksi, tuberculosis,

dan HIV (Inamdar, Kulkarni, & Karajgi et al., 2013)

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memepengaruhi Kepatuhan

Menurut Inamdar, Kulkarni, & Karajgi et al., 2013 ada beberapa

faktor yang mempengaruhi kepatuhan yang diantaranya, yaitu :

1) Faktor predisposisi meliputi faktor demografi (umur, jenis kelamin,

prestasi pendidikan, status sosial ekonomi, pekerjaan) juga

mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan persepsi pasien

tentang penyakit dan tingkat keparahan, penyebab, pencegahan dan

pengobatannya.

2) Faktor yang memungkinkan adalah keterampilan dan sumber daya

yang dibutuhkan untuk kepatuhan. Istilah keterampilan mengacu

pada

kemampuan pasien untuk mengadopsi perilaku yang akan

memastikan kepatuhan dan sumber daya termasuk ketersediaan dan

aksesibilitas fasilitas kesehatan seperti apotek, klinik atau rumah

sakit.
33

3) Faktor penguat adalah faktor-faktor yang menentukan apakah

kepatuhan didukung oleh keluarga, teman sebaya, penyedia layanan

kesehatan, masyarakat setempat, dan masyarakat pada umumnya.

2.2.4 Risiko Potensial untuk Ketidakpatuhan

Menurut Inamdar, Kulkarni, & Karajgi et al., 2013 ada beberapa

faktor yang menjadi risiko potensial yang diantaranya, yaitu:

a. Demografi

Usia, jenis kelamin, pendidikan, status sosial ekonomi dan

pekerjaan

mempengaruhi kepatuhan. Kompleksitas pengobatan, lama

pengobatan, biaya pengobatan, kesesuaian dosis dengan aktivitas

sehari-hari, ada atau tidaknya gejala penyakit, serta kondisi

penyakit yang kronis atau akut dapat juga menjadi risiko potensial

yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan.

b. Terkait dengan pasien

Pemahaman akan penyakit dan akibatnya, persepsi ancaman yang

ditimbulkan oleh penyakit, penerimaan penyakit, pemahaman akan

manfaat biaya pengobatan, motivasi keluarga pasien, keterlibatan

pasien dalam mengambil keputusan, dan penurunan kemampuan

fisik.

c. Hubungan pasien dengan pelayanan kesehatan professional

Keadaan seputar kujungan pasien (akses mudah ke pelayanan

kesehatan), kualitas dan efektivitas interaksi, waktu yang


34

dihabiskan

penyedia pelayanan kesehatan, sikap penyedia pelayanan kesehatan

terhadap pasien, kualitas komunikasi dan kecukupan penyedia

informasi, jarak antara kunjungan pasien.

d. Faktor psikologi

Beberapa pasien merasa bersalah karena minum obat dimana orang

lain melihatnya sebagai stigma sosial. Ketakutan tentang tergantung

pada pengobatan menjadi alasan lain untuk tidak patuh pada

pengobatan.

e. Pengetahuan tentang kesehatan

Pengetahuan dan sikap pasien juga mempengaruhi kepatuhan.

Pasien merasa bahwa akibat dari suatu penyakit dapat berdampak

serius bagi kesehatannya.

f. Faktor sosial

Faktor sosial seperti hubungan keluarga yang kuat, bantuan dari

teman dan rekan kerja akan mempengaruhi kepatuhan


BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan suatu hubungan antar konsep satu dengan lainnya yang

berguna menjelaskan serta menghubungkan topik yang akan dibahas (Setiadi, 2013).

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Variabel independen variabel dependen

Kadar gula darah


kepatuhan

Gambar 3 1 Kerangka konsep kepatuhan penyandang diabetes mellitus dalam menjalani terapi
insulin

35
36

Keterangan gambar

: Variabel yang diteliti

: Alur Pikir

3.2 Hipotesa

Apakah ada hubungan kepatuhan terapi insulin dengan gangguan kadar gula

darah pada penyandang diabetes melitus di ruang rawat inap rsud kota

mataram?

H0: Tingkat kepatuhan terapi insulin tidak ada hubungannya dengan

gangguan kadar gula darah pada penyandang diabetes melitus

H1: Tingkat kepatuhan terapi insulin ada hubungannya dengan gangguan

kadar gula darah pada penyandang diabetes melitus


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa

sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya

(Nursalam,2017). Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk

mendeskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada masa

kini. Pada penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan tentang kepatuhan terapi

insulin pada penyandang Diabetes Melitus.

Model pendekatan yang digunakan adalah cros-sectional yaitu pendekatan

yang menggunakan cara observasi atau pengumpulan data sekali saja dan

pengukurannya dilakukan terhadap variabel subjek pada saat pemeriksaan

(Nursalam,2017). Pada penelitian ini data pasien Diabetes Melitus dikumpulkan

satu kali saja dengan cara memberikan kuesioner kepada responden.

4.2 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan di RSUD Kota Mataram, dengan

pertimbangan wilayah kerja RSUD Kota Mataram tersebut memiliki kriteria dan

jumlah sampel yang memadai untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini akan

dilaksanakan pada tanggal 1 september 2023 sampai dengan 1 oktober 2023.

37
38

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

2016). Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria

yang telah ditetapkan (Nursalam,2017). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien diabetes melitus yang melakukan pengobatan di

RSUD Kota Mataram. Berdasarkan data 3 (tiga) bulan terakhir 70 orang.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti

dan di anggap mewakili seluruh populasi (Nursalam,2017).

Sampel penelitian yang diteliti adalah penyandang diabetes melitus yang

memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria sampel

Kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dimana

kriteria ini menentukan dapat atau tidaknya sampel tersebut digunakan.

1) Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian yang

terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2017). Yang termasuk

kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a). pasien diabetes melitus yang bersedia menjadi responden.


39

b). pasien diabetes melitus yang mendapatkan terapi insulin

suntik.

c). Pasien diabetes melitus murni yang tidak disertai penyakit

penyerta.

2) Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang

tidak memenuhi kriteria inklusi (Nursalam,2017) . yang termasuk

kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

a). Pasien Diabetes melitus yang tidak kooperatif.


b). Pasien Diabetes mellitus yang tidak mengalami gangguan komunikasi
verbal dan gangguan pendengaran.
c). Pasien Diabetes yang mempunyai penyakit penyerta.
b. Besar sampel

Dalam penelitian ini populasi penyandang diabetes melitus diruang irna 3C

yaitu selama 3 (tiga) bulan terakhir sebanyak sebesar 70 orang. besar sampel

yang akan diteliti sebanyak 20 orang yang termasuk kriteria inklusi.

c. Teknik Sampling
Teknik sampling merupakan cara pengambilan sampel. Teknik sampling
pada penelitian ini menggunakan purposive sampling dimana sampel
ditentukan oleh orang yang telah mengenal populasi yang akan diteliti
(Sumantri,2011).

4.4 Variable Penelitian

variabel penelitian merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang.

Obyek, organisasi atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2016). Variabel penelitian yang akan diteliti yaitu kepatuhan pasien

diabetes melitus yang menjalani terapi insulin. Variabel selanjutnya adalah


40

nilai gula darah sewaktu.

4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional (Anggita, 2018) merupakan definisi variabel- variabel

yang akan diteliti secara operasional. Definisi operasional dibuat untuk

memudahkan pada pelaksanaan pengumpulan data dan pengolahan serta analisi

data. Pada saat akan melakukan pengumpulan data, definisi operasional yang

dibuat mengarahkan dalam pembuatan dan pengembangan instrument

penelitian . dengan definisi operasional yang tepat maka batasan ruang lingkup

penelitian atau pengertian variabel-variabel yang akan diteliti menjadi lebih

fokus
41

Tabel 3 1 Variable dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
Kepatuhan Kepatuhan Kuisioner mengenai Skor nilai Ordinal
pasien pengobatan kepatuhan menggunakan dalam
diabetes terapi insulin modifikasi Morisky rentang 0-8
melitus yaitu sejauh Medication Adherence dan
dalam mana (MMAS-8) berupa 8 dinyatakan
menjalani perilaku pertanyaan dengan tujuh dalam tiga
terapi seseorang pertanyaan dengan kategori,
insulin. dalam menggunakan skala yaitu :
melakukan dikotomi dan satu
terapi insulin pertanyaan menggunakan 1. Kepatuhan
dengan tepat skala likert. Untuk skala tinggi (skor
pada dikotomi : 8)
waktunya Ya = 0 2. Kepatuhan
yang Tidak = 1 sedang (skor
meliputi Untuk skala likert : 6-7)
: Tepat a. Tidak pernah 3. Kepatuhan
Indikasi,tepa b. Sesekali rendah (skor
t obat, tepat c. Kadang-kadang <6)
pasien dan d. Biasanya
tepat dosis e. Selalu
untuk keterangan :
mencegah Selalu : 7 kalidalam
terjadinya seminggu
komplikasi Biasanya : 4-6 kali dalam
pada pasien seminggu
diabetes Kadang-kadang : 2-3 kali
mellitus. dalam seminggu
Sesekali : 1 kali dalam
seminggu
Tidak Pernah : Tidak
pernah lupa A = 1 B-E =

Kadar hasil Alat glukometer One call mg/dL Rasio


gula pemeriksaan plus
darah ses
sewaktu aat pada
(GDS) suatu hari
tanpa
memerhatika
n waktu
makan
terakhir
(Widijanti,
2006).
Nilai normal
42

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional
GDS
adalah
70mg/dL –
139
mg/dL,
sedangkan
nilai GDS
tinggi
adalah ≥ 140
mg/dL

B. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Dari sumber data yang didapatkan, jenis data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan sumber primer dan sekunder. Sumber primer

adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul

data dan sumber sekunder merupakan sumber tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat

dokumen . (Sugiyono,2016). Jenis data dalam penelitian ini dikumpulkan

meliputi data primer dan data sekunder.

a. Data primer yang meliputi :

1) Karakteristik sampel ( nama, jenis kelamin, umur, Pendidikan dan

pekerjaan)

2) Kepatuhan melakukan terapi insulin pada pasien diabetes melitus

b. Data sekunder adalah data jumlah diabetes melitus di ruang rawat inap
43

irna 3C RSUD Kota Mataram yang akan dijadikan tempat penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data

ada dua cara yaitu :

a. Pengukuran kepatuhan dalam menjalani terapi insulin dengan

menggunakan kuesioner MMAS-8

b. Wawancara merupakan Teknik pengumpulan data dimana

pewawancara (peneliti atau yang diberikan tugas melakukan

pengumpulan data) dalam mengumpulkan data mengajukan

pertanyaan kepada yang diwawancarainya. Wawancara dapat

dilakukan secara terstruktur (Sugiyono,2016). Dalam penelitian ini

metode wawancara yang dilakukan tidak terstruktur dimana calon

responden di wawancari untuk mengetahui identitas dan

penyandang diabetes melitus yang masih aktif

Adapun langkah-langkah dalam melakukan pengumpulan data yaitu :

a. Tahap persiapan

1) Peneliti akan mempersiapkan materi yang mendukung

penelitian

2) Peneliti akan mengurus surat permohonan informasi data

melalui bidang Pendidikan jurusan Keperawatan STIKES

YARSI Mataram untuk mencari data, kemudian surat pengantar

tersebut diberikan kepada direktur RSUD Kota Mataram.

3) Peneliti akan menyusun proposal yang telah disetujui oleh

kedua pembimbing .

4) Peneliti akan mempersiapkan lembar permohonan untuk


44

menjadi responden.

5) Peneliti akan mempersiapkan lembar persetujuan untuk menjadi

responden (informed concent).

6) Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian,

yaitu berupa kuesioner.

b. Tahap pelaksanaan

1) Setiap penyandang diabetes melitus yang dirawat di irna

3C RSUD Kota Mataram akan diseleksi berdasarkan kriteria

inklusi, penyandang diabetes melitus yang memenuhi kriteria

inklusi dijadikan sampel penelitian.

2) Penyandang diabetes melitus yang dijadikan sampel

penelitian akan diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan

untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

3) Responden yang telah diberikan penjelasan selanjutnya

menandatangani lembar informed concent sebagai bukti

persetujuan

4) Peneliti akan melakukan pengukuran kepatuhan

penyandang diabetes melitus dalam menjalani terapi insulin

dengan menggunakan kuesioner. Kemudian peneliti akan

menjelaskan cara pengisian kuesioner sesuai dengan petunjuk

yang tersedia selanjutnya meminta responden untuk mengisi

kuesioner.

5) Peneliti akan mengucapkan terimakasih kepada responden

atas partisipasinya dalam penelitian .

6) Selanjutnya akan dilakukan pengolahan data.


45

3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat pengumpulan data yang digunakan

untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati

(Sugiono,2014). Dalam penelitian ini, Instrumen penelitian ini

menggunakan kuisioner kepatuhan yang di adopsi dan dimodifikasi dari

Morisky Medication Adherence (MMAS-8) (Morisky, 2008). Kuesioner

kepatuhan terdiri dari 8 pertanyaan dengan 7 pertanyaan menggunakan

skala dikotomi dengan skor : Ya = 0 dan tidak = 1, dan 1 pertanyaan

menggunakan skala likert : A. Tidak pernah, B.Sesekali, C.Terkadang,

D.Biasanya, dan E. setiap waktu dengan skor A=1 dan B-E = 0.

Kuesioner ini diuji validitas dan diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia oleh Fautisne (2012) di Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris

Universitas Gadjah Mada yang disesuaikan dengan bentuk aslinya dalam

Bahasa Inggris. Uji validitas dan rehabilitas yang sudah dilakukan

menunjukan hasil semua item pertanyaan valid dengan nilai r hitung =0,3.

Uji rehabilitas kuesioner menggunakan Cronbach alpha sebesar 0,716

dinyatakan reliabel jika nilai Cronbach’s alpha >0,60, hasil uji validitas

dan reliabilitas dari kuesioner MMAS-8 menyatakan bahwa kuesioner

dapat digunakan.
46

C. Metode Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu upaya untuk memprediksi data dan

menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan

mendapat data yang siap untuk disajikan (Hidayat,2014). Metode

pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing

Editing merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memeriksa

kembali kebenaran data yang diperoleh atau dikumpulkan . pada

proses ini peneliti akan melakukan pengecekan setiap lembar

kuesioner untuk memastikan bahwa setiap komponen yang terdapat

dalam kuesioner dan data karakteristik responden yang terdapat dalam

kuesioner dan data karakteristik responden telah terisi semua untuk

menghindari kekeliruan atau kesalahan data.

b. Coding

Coding merupakan proses mengklasifikasi data sesuai dengan

klasifikasinya dengan cara memberikan kode tertentu .

c. Processing/entry

Processing/entry adalah melakukan pemindahan atau memasukkan

data yang sudah terkumpul dari lembar kuesioner ke dalam computer

untuk di proses. Peneliti pada tahap ini akan memasukkan data yang

sudah terkumpul dari lembar kuesioner ke dalam computer untuk

diproses.
47

d. Cleaning

Cleaning adalah pembersihan data melalui pengecekan kembali data

yang akan di entry apakah data sudah benar atau belum. Peneliti pada

proses ini akan melakukan pembersihan data yang sudah dimasukkan

kedalam computer . hasil cleaning yang telah peneliti lakukan tidak

ditemukan data-data yang kurang atau data yang tidak perlu (Missing

data).

1. Teknik Analisa Data

Analisa data menggunakan Analisa statistik deskriptif. Statistik deskriptif

adalah statistic yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku

untuk umum atau generalisasi. kegiatan dalam analisis data adalah

mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden,

menstabulasi data berdasarkan variabel dari seluruh responden,

menyajikan data tiap variabel yang di teliti, melakukan perhitungan untuk

menjawab rumusan masalah. (Sugiyono, 2016). Statistic deskrtiptif yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari frekuensi dan proporsi atau

persentase.

2. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan.


48

Menurut (Hidayat, 2015), masalah etika yang harus diperhatikan antara

lain :

1. Informed consent (lembar persetujuan menjadi responden)

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan sebelum

penelitian dilakukan dengan tujuan agar responden maksud, tujuan

penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika responden bersedia

diteliti maka responden harus menandatangani lembar persetujuan.

Jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak

klien. Pada tahap ini peneliti akan memberikan lembar persetujuan

agar responden maksud, tujuan penelitian dan mengetahui

dampaknya. Responden yang dijadikan sampel menandatangani

lembar persetujuan.

2. Anonimity (Tanpa nama)

Memberikan jaminan kerahasiaan identitas responden peneliti

dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden

pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan, peneliti akan

memberikan jaminan mengenai kerahasiaan identitas responden

peneliti dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada

lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.


49

3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi

maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok

data tertentu yang dilaporkan pada hasil riset.

4. Self determination

Responden diberi kebebasan untuk mencantumkan apakah

bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara

sukarela tanpa ada unsur paksaan atau pengaruh dari orang lain.

Kesediaan klien ini dibuktikan dengan kesediaan menandatangani

surat persetujuan sebagai responden. Peneliti tidak akan memaksa

responden untuk bersedia mengikuti kegiatan penelitian.

Responden pada penelitian ini bersedia secara sukarela mengikuti

penelitian dan sudah dibuktikan dengan kesediaan menandatangani

surat persetujuan sebagai responden.

5. Protection from discomfort and harm

Responden bebas dari rasa tidak nyaman, intervensi dilakukan

berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan responden sehingga

responden bisa merasa bebas menentukan waktu pertemuan dan

tempat pertemuan dengan peneliti. Peneliti akan memaksimalkan

hasil penelitian agar bermanfaat (beneficence) dan meminimalkan

hal yang merugikan (maleficience) bagi responden.


DAFTAR PUSTAKA

Ainni, Ayu Nissa (2017). Studi kepatuhan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus
tipe-2 di instalasi rawat jalan RSUD Dr. Tjitrowardojo Purwerejo. Naskah
Publikasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Indonesia
Alfian, Riza (2016). Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan tentang
penggunaan insulin pada pasien diabetes melitus di poliklinik penyakit dalam
RSUD DR. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, Vol.1,
No.1, 9-18
American Diabetes Association (2011). Standards of medical care in diabetes
2011.Diaksespada November 14, 2017, from
http://dms.ufpel.edu.br/ares/bitstream/handle/123456789/92/S11.full.pdf?seq
uence=1
Banjarnahor, Eka & Sunny Wangko (2012). Sel beta pancreas sintesis dan sekresi
insulin. Jurnal Biomedik, Vol.4, No.3, 156-162
Ejeta, F., Raghavendra, Y., WoldeMariam, M., (2015). Patient Adherence to Insulin
Therapy
in Diabetes Type 1 and Type 2 in Chronic Ambulatory Clinic of Jimma University
Specialized Hospital, Jimma, Ethiopia, International Journal of Pharma Sciences
and Research, Vol. 6 No. 4
Ernawati (2013). Penatalaksanaan Keperawatan Diabetes Terpadu Dengan Penerapan
Teori Keperawatan Self Care Orem. Jakarta: Mitra Wacana Media
Fibriana, Reni (2014). Diabetes melitus dan terapi insulin. Jurnal PPSDM Migas Cepu,
Vol.1, No.2
Inamdar, S.Z., R.V. Kulkarni, S.R..Karajgi, F.V. Manvi, M.S. Ganachari, & B.J.
Mahendra Kumar (2013). Medication adhrence in diabetes mellitus: An overview
on pharmacist role. American Journal of Advanced Drug Delivery, 238-250
International Diabetes Federation (2015). Diabetes atlas seventh edition. Diaksespada
November 1, 2017 from http://www.diabetesatlas.org/component/attachments/?
task=download&id=116
Khairati, Syahrul, Sorimuda Sarumpaet, & Hiswani (2016). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan terapi insulin terhadap kadar hba1c penderita diabetes
melitus tipe 2 di rsup haji adam malik tahun 2016. Diakses pada Mei 20, 2018 from
https://www.scribd.com/document/378920489/Faktor-faktoryang-memengaruhi-
kepatuhan terapi-insulin-terhadap-kadar-HbA1C-padapenderita-Diabetes-Melitus-
Tipe-II-di-RSUP-h Adam-Malik-Medan-Tahun

50
51

Laoh, Joice, Sri Indah Lestari, Maria V. H. Rumampuk (2013). Hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan berobat pada penderita diabetes melitus tipe 2 di poli
endokrin BLU RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Diakses pada July 26, 2018
from https://media.neliti.com/media/publications/92921- ID-hubungan-dukungan-
keluarga dengan-kepatu.pdf
Medicinus (2014). Diabtes mellitus, Scientific Journal of Pharmaceutical Development
and Medical Application. Vol.27, No.2 Agustus 2014
Morisky, et al., (2008). Predictive validity of a medication adherence measure in an
outpatient setting. The Journal of Clinical Hypertension, Vol.10 No.5, 348-354
National Community Pharmacists Association (2013). Medication adherence in America:
A national report. Diaksespada November 15, 2017 from
https://www.ncpanet.org/pdf/reportcard/AdherenceReportCard_Abridged.pdf
Notoatmodjo, Soekidjo (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
RinekaCipta
Noor Fatimah, Restyana. (2015). Diabetes Melitus Tipe 2. Lampung University: Medical
Faculty. Vol. 4 No. 5
Oktadiansyah, Denny &Yulia (2014). Kepatuhan minum obat diabetes pada pasien
diabetes melitus tipe 2. Skripsi yang Tidak Dipublikasikan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2015). Konsensus pengelolaan dan
pencegahan diabetes melitus tipe2 di Indonesia. Diakses pada November 14, 2017
from http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2015). Konsensus sediaan insulin.
Diakses pada November 22, 2017 form http://pbperkeni.or.id/newperkeni/wp
content/plugins/downloadattachments/includes/download.php?id=102
Prayogo, Akhmad Hudan Eka (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru di Puskesmas
Pamulang Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten. Skripsi, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia
Purwanti, Endah (2016). Gambaran kepatuhan minum obat pasien diabetes melitus tipe 2
di Rawat Jalan RSUD Banyudono. Naskah Publikasi, Stikes Kusuma Husada,
Surakarta, Indonesia
Rasdianah, Nur, Suwaldi Martodiharjo, Tri M. Andayani, & Lukman Hakim (2016).
Gambaran kepatuhan pengobatan pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas
Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol.5 No. 4, 249-
257
Riskesdas (2013). Situasi dan analisis diabetes. Diakses pada November 1, 2017,
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatindiabetes.p
df
Rismayanthi, Cerika (2010). Terapi insulin sebagaial ternatif pengobatan bagi penderita
diabetes. Medikora Vol. VI, No 2 November 2010: 29-36
52

Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: In


Graha Ilmu.
Srikartika, Valentina Meta, Annisa Dwi Cahaya, & Ratna Suci Wahyu Hardiati (2016).
Analisis faktor yang mempengaruhi kepatuhan penggunaan obat pasien diabetes
melitus tipe 2. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi Vol.6 No.3 205-212
Sugiyono. (2016). Definisi dan Operasionsl Variabel Penelitian. Definisi Dan
Operasionsl Variabel Penelitian.
Sumantri, Arif (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana Widodo,
Cahyono, Didik Tamtomo, & Ari Natalia Prabandari (2016). Hubungan aktifitas
fisik, kepatuhan mengkonsumsi obat anti diabetic dengan kadar gula darah pasien
diabetes melitus di Fasyankes Primer Klaten. JSK, Vol.2 No.2, 63-69
Yulia, Siti (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam menjalankan diet
pada penderita diabetes melitus tipe 2. Skripsi, Universitas Negeri Semarang,
Semarang, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai