Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH KEPERAWATAN PASIEN DENGAN

HIPERTENSI URGENSI DI UNIT GAWAT DARURAT

DISUSUN OLEH:

1. Theresia Devi Septiana H

2. Sulistiyaning Puji Rahayu

3. Wahyu Setyaningrum

4. Dewi Julianti

PROGRM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
JAKARTA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan Makalah Keperawatan Pasien dengan Hipertensi Krisis.
Penyusunan makalah ini menjadi salah satu tugas yang harus mahasiswa
selesaikan sebagai pelengkap mata kuliah keperawatan dewasa. Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih sebesar besarnya kepada berbagai pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih
terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan agar
makalah ini menjadi lebih baik ke depannya.

Bekasi, Juni 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I .................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN ............................................................................................... 5

1.1 Latar Belakang....................................................................................... 5

1.2 Tujuan…………………………………………………………………...7

1.2.1 Tujuan Umum............................................................................... 8

1.2.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 8

BAB II ............................................................................................................... .9

TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... .9

2.1 Definisi Hipertensi.................................................................................9

2.2 Etiologi Hipertensi............................................................................... 10

2.2.1 Hipertensi Primer.......................................................................... 10

2.2.2 Hipertensi Sekunder...................................................................... 10

2.3 Klasifikasi Hipertensi .......................................................................... 11

2.4 Faktor Resiko ...................................................................................... 14

2.4.1 Faktor resiko yang tidak dapat diubah ...........................................


14

2.4.2 Faktor risiko yang dapat diubah .................................................... 15

2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 17

3
2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 18

2.7 Komplikasi .......................................................................................... 20

2.8 Penatalaksanaan................................................................................... 23

2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Hipertensi Krisis ... 29

BAB III............................................................................................................... 42

KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 42

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 42

3.2 Saran ................................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi termasuk masalah kesehatan yang besar dan serius karena
sering tidak terdeteksi meskipun sudah bertahun-tahun. Hipertensi atau penyakit
tekanan darah tinggi adalah faktor risiko utama terjadinya penyakit
kardiovaskular aterosklerotik, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal (WHO,
2021). Hipertensi menimbulkan risiko mortalitas dini, yang meningkat saat
tekanan sistolik dan diastolik meningkat (Alifariki, dkk, 2019). Peningkatan
tekanan darah yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah di organ
jantung, ginjal, otak dan mata (Brunner & Suddarth, 2020). Hipertensi disebut
juga sebagai “silent killer” karena orang dengan hipertensi sering tidak
menampakkan gejala. WHO (2012) mengestimasikan sekitar 46% penderita
hipertensi usia dewasa tidak menyadari kondisinya. Demikian pula di
Indonesia, Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah memperkirakan separuh
orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan kondisinya (P2TPM
Kementerian Kesehatan, 2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization /WHO)
mengestimasikan saat ini prevalensi hipertensi secara global sebesar 22%
dari total penduduk dunia. Dari sejumlah penderita tersebut, hanya kurang dari
seperlima yang melakukan upaya pengendalian terhadap tekanan darah yang
dimiliki. Asia Tenggara berada di posisi ke-3 tertinggi dengan prevalensi
sebesar
25% terhadap total penduduk, WHO memperkirakan 1 di antara 5 orang
perempuan diseluruh dunia memiliki hipertensi. Jumlah ini lebih besar diantara
kelompok laki-laki, yaitu 1 di antara 4 (WHO, 2019). WHO juga memperkirakan
pada tahun 2025 terjadi kenaikan kasus hipertensi sekitar 80 %, pada tahun 2000
dari 639 juta kasus menjadi 1,5 milyar kasus pada tahun 2025 terjadi di negara
berkembang, termasuk Indonesia (Memah et al., 2019).

5
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan angka prevalensi hipertensi pada
penduduk >18 tahun berdasarkan pengukuran secara nasional sebesar 34,11%.
Angka prevalensi di atas diperoleh melalui pengukuran tekanan darah pada

6
responden Riskesdas dengan berdasarkan pada kriteria JNC VII yaitu bila
tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolic > 90 mmHg.
Prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada tahun 2013 sebesar
25,8% (Pusdatin Kementerian Kesehatan, 2019). Sedangkan, angka kejadian
hipertensi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
pada tahun 2017 mencapai 2812 kasus. Dari keseluruhan angka ini, dapat kita
diketahui bahwa hipertensi telah menjadi masalah kesehatan dunia yang besar
dan memiliki kemungkinan peningkatan yang cepat sehingga tidak bisa dianggap
remeh.
Tingginya angka kejadian hipertensi dipengaruhi oleh dua jenis
factor yang beresiko yaitu yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis
kelamin, genetik dan riwayat keluarga hipertensi (WHO, 2022). Selain itu,
faktor yang dapat dikontrol diantaranya obesitas, konsumsi alkohol, kebiasaan
merokok dan stress (Nelwan, 2019). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun
2018, prevalensi merokok di Indonesia sebesar 28,8 % pada usia ≥ 10 tahun, dan
konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) sebesar 33,8 % pada usia ≥ 15 tahun.
Proporsi minuman beralkohol pada usia ≥ 10 tahun sebesar 3.3 %. Sedangkan
untuk angka kurangnya aktivitas fisik sebesar 33,5 % dan proporsi
obesitas
21,8%. Ini mencerminkan kejadian hipertensi yang akan terus menerus
meningkat jika faktor-faktor gaya hidup tidak dapat dikontrol.
Walaupun hipertensi merupakan penyakit yang kronik, namun dapat
terjadi kondisi di mana tekanan darah meningkat secara akut atau tiba-tiba, yang
disebut krisis hipertensi. Seseorang dikatakan mengalami krisis hipertensi
jika tekanan darah mencapai ≥180/120 mmHg. Kondisi ini bisa berakibat fatal
karena dapat disertai dengan kerusakan organ target, seperti jantung, otak
dan ginjal (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Terdapat 2 jenis krisis hipertensi, yaitu hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi. Yang membedakan keduanya adalah adanya kerusakan organ target.
Pada hipertensi urgensi tekanan darah mencapai ≥180/120 mmHg namun tidak
disertai kerusakan organ target, sedangkan pada hipertensi emergensi
terdapat tanda kerusakan organ target seperti edema paru, iskemia jantung,

7
gangguan neurologis hingga stroke, gagal ginjal akut, diseksi aorta, dan
eklampsia. Terdapat beberapa kejadian yang dapat memicu terjadinya krisis
hipertensi. Penyebab yang

8
paling sering adalah ketidakpatuhan minum obat anti hipertensi. Penyebab sering
lainnya adalah konsumsi obat-obatan simpatomimetik yang mempunyai efek
meningkatkan tekanan darah dan laju jantung (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Gejala yang dapat terjadi antara lain nyeri kepala, pusing, penurunan
kesadaran, sesak napas, nyeri dada, muntah, penurunan produksi urin, dan
gangguan penglihatan. Gejala yang timbul ini bergantung pada organ target yang
terdampak. Pada seseorang yang mengalami peningkatan tekanan darah secara
masif disertai gejala-gejala tersebut, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis hipertensi emergensi dan tentu saja untuk menetukan
penanganan yang tepat (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Hipertensi telah berkontribusi menyumbangkan komplikasi pada
penyebab penyakit kronis yang membebani negara, seperti penyakit jantung,
stroke, penyakit ginjal, yang menghabiskan hampir 30% dana Jaminan Kesehatan
Nasional. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini melalui pelaksanaan
program Germas untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
lebih baik, menyadarkan mereka dalam mencegah penyakit dan
membudayakan perilaku hidup sehat (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Oleh karena prevalensi hipertensi yang setiap tahunnya semakin
meningkat dengan disertai komplikasi penyakit kronis. Maka, kita sebagai
perawat memiliki peranan penting dalam penanganan dan perawatan pasien
dengan hipertensi. Faktor terbesar yang berperan dalam memicu
kejadian hipertensi berasal dari gaya hidup. Perawat sebagai edukator dapat
memberikan edukasi pada masyarakat yang berisiko mengalami hipertensi,
skrining dini serta edukasi terkait manajemen hipertensi. Perawat juga harus
memiliki pengetahuan yang adekuat serta keterampilan klinis terhadap kasus
hipertensi krisis, sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima pada
kejadian hipertensi dengan konsep kegawatdaruratan tanpa menimbulkan
komplikasi lebih lanjut.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah

9
1.2.1 Tujuan Umum
Perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien
hipertensi secara komprehensif melalui pendekatan proses asuhan
keperawatan yang professional.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Perawat mampu menjelaskan pengkajian keperawatan pada


kasus hipertensi.

b. Perawat mampu merumuskan dan menjelaskan diagnosa


keperawatan berdasarkan data pasien dan membuat prioritas diagnosa

c. Perawat mampu menetapkan dan menjelaskan hasil/luaran yang


ingin dicapai dari pasien dan intervensi yang sesuai.

d. Perawat mampu menjelaskan tentang tindakan keperawatan, baik


yang bersifat mandiri maupun kolaboratif pada pasien hipertensi

e. Perawat mampu menjelaskan evaluasi terhadap tindakan yang


telah diberikan pada pasien hipertensi.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Penetapan nilai hipertensi ini
merujuk pada kriteria diagnosis JNC (Joint National Committee) VIII tahun 2014
dan AHA (American Heart Association) tahun 2020 (Unger et al. 2020). Nilai
normal baik tekanan darah sistolik maupun diastolik menjadi poin penting untuk
mendukung efisiensi fungsi organ vital seperti jantung, otak, ginjal serta
kesehatan fisik secara menyeluruh (WHO, 2021). Seseorang dikatakan hipertensi
jika tekanan darah sistole ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang (PERKI, 2015; Williams et al, 2018). Peningkatan tekanan
darah yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama (persisten) dapat
menimbulkan kerusakan pada ginjal, jantung dan otak bila tidak terdeteksi secara
dini (Yulanda & Lisiswanti, 2017). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa
hipertensi didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah
dengan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan diastolic ≥ 90
mmHg secara persisten pada minimal dua kali pengukuran tekanan darah.
Walaupun hipertensi merupakan penyakit yang kronik, namun dapat
terjadi kondisi di mana tekanan darah meningkat secara akut atau tiba-tiba, yang
disebut krisis hipertensi. Seseorang dikatakan mengalami krisis hipertensi
jika tekanan darah mencapai ≥180/120 mmHg. Kondisi ini bisa berakibat fatal
karena dapat disertai dengan kerusakan organ target, seperti jantung, otak
dan ginjal (Alley, Schick, & Doerr, 2022). Terdapat 2 jenis krisis hipertensi,
yaitu hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Yang membedakan keduanya
adalah adanya kerusakan organ target. Pada hipertensi urgensi tekanan darah
mencapai ≥180/120 mmHg namun tidak disertai kerusakan organ target,

11
sedangkan pada hipertensi emergensi terdapat tanda kerusakan organ target
seperti edema paru, iskemia jantung, gangguan neurologis hingga stroke, gagal
ginjal akut, diseksi aorta, dan

12
eklampsia Alley, Schick, & Doerr,
2022).

2.2 Etiologi Hipertensi


Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam
yang disebabkan oleh dua klasifikasi, yaitu:

2.2.1 Hipertensi Primer


Bagi sebagian besar pasien dengan tekanan darah tinggi,
penyebabnya tidak diketahui. Ini diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau
esensial. Lebih dari 90% pasien dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi
primer. Hipertensi primer tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan
terapi yang tepat (termasuk modifikasi gaya hidup dan obat-obatan). Faktor
genetik dapat memainkan peran penting dalam pengembangan hipertensi primer
(Bell, Twiggs, 2018). Dimana bentuk tekanan darah tinggi ini cenderung
berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun.

2.2.2 Hipertensi Sekunder


Sebagian kecil pasien memiliki penyebab spesifik tekanan darah tinggi,
yang diklasifikasikan sebagai hipertensi sekunder. Kurang dari 10% pasien
dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi sekunder (Bell, Twiggs, 2018).
Hipertensi sekunder disebabkan oleh kondisi medis atau pengobatan yang
mendasarinya. Penyebab hipertensi sekunder meliputi penyakit ginjal
(parenkimal
2-3%; renovaskular 12%), endokrin 0,3-1% (aldosteronisme primer,
feokromositoma, sindrom Cushing, akromegali), vascular (koarktasio aorta,
aortoarteritis non-spesifik), obat-obat 0,5% (kontrasepsi oral, OAINS,
steroid, siklosporin) dan lain-lain 0,5%. (PERHI, 2019). Mengontrol kondisi
medis yang mendasarinya atau menghilangkan penyebab akan mengakibatkan
penurunan tekanan darah sehingga menyelesaikan hipertensi sekunder. Bentuk
tekanan darah tinggi ini cenderung muncul tiba-tiba dan sering menyebabkan
tekanan darah lebih tinggi daripada hipertensi primer.
Tabel Penyebab hipertensi sekunder berdasarkan usia

Kelompok umur Persentase Etiologi paling umum

Anak –anak 70 - 85 Penyakit Parenkim Ginjal


12
Kelompok umur Persentase Etiologi paling umum

(bayi s/d 12 tahun)


Remaja 10 - 15 Penyakit Parenkim Ginjal Koartasio aorta
(12-18 tahun )
Dewasa Muda 5 Disfungsi tiroid Displasia
(19-39 tahun) fibromuscular penyakit parenkim ginjal
Dewasa tengah 8 - 12 Aldosteronisme, disfungsi tiroid Obstructive
(40-64 tahun) sleep apnea cushing syndrom
Lanjut usia 17 Arteri renalis stenosis aterosklerotik
(> 65 tahun) gagal ginjal hipotiroid
Sumber : (Viera & Nautze, 2012)

2.3 Klasifikasi Hipertensi


Hipertensi diklasifikasikan berdasarkan besaran tekanan darah sistolik
dan diastolik. Berbagai guideline klasifikasi hipertensi diantaranya:
Tabel Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee (JNC) 7

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80-89


Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
Sumber: (Yulanda & Lisiswanti, 2017)

Tabel Klasifikasi hipertensi menurut European Society of Cardiology-


European Society of Hypertension (ESC-ESH) 2018
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistole (MmHg) Diastole (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal 120-129 80-84
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat I 140-159 85-89
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistole (MmHg) Diastole (mmHg)
Hipertensi derajat II 160-179 100-109
Hipertensi derajat III ≥ 180 ≥110
Hipertensi Sistolik ≥ 140 ≥90
TerisolasiESH (2018)
Sumber:

Di Indonesia Sendiri, Menurut Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia


(PERHI), diagnosis hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau
TDD
≥90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.
Berdasarkan pengukuran TDS dan TDD di klinik, pasien digolongkan
sesuai dengan klasifikasi dari ESC-ESH (2018).

Tabel Klasifikasi hipertensi 2020 International Society of Global


Hypertension (ISH)
Kategori Tekanan Darah Sistole Tekanan Darah
(mmHg) Diastole (mmHg)
Normal <130 <85
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Derajat I 140-159 90-99
Hipertensi Derajat II ≥160 ≥100
Sumber: Unger et al. (2020)

Tabel Klasifikasi hipertensi berdasarkan AHA 2017

Klasifikasi Sistolik Diastolik

Hipertensi Urgensi > 180 mmHg > 120 mmHg


Hipertensi Emergensi > 180 mmHg + > 120 mmHg +
kerusakan organ target kerusakan organ target
Sumber: AHA (2017)

2.3.1 Hipertensi Emergensi


Hipertensi emergensi adalah hipertensi derajat 3 dengan HMOD akut. Hal
ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan penanganan segera dan
seksama. Untuk menurunkan tekanan darah biasanya memerlukan obat
intravena. Kecepatan peningkatan dan tinggi tekanan darah sama pentingnya
dengan nilai absolut tekanan darah dalam menentukan besarnya kerusakan organ.
Gambaran hipertensi emergensi adalah sebagai berikut (PERHI, 2019):
a) Hipertensi maligna: hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan
perubahan gambaran funduskopi (perdarahan retinadan atau papiledema),
mikroangiopati dan koagulasi intravascular diseminasi serta ensefalopati
(terjadi pada sekitar 15% kasus), gagal jantung akut, penurunan
fungsi ginjal akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil
di ginjal, retina dan otak. Makna maligna merefleksikan prognosis buruk
apabila tidak ditangani dengan baik.
b) Hipertensi berat dengan kondisi klinis lain, danmemerlukan
penurunan tekanan darah segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi
miokard akut atau gagal jantung akut.
c) Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma, berakibat
kerusakan organ.
d) Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.
Gejala emergensi tergantung kepada organ terdampak, seperti sakit
kepala, gangguan penglihatan, nyeri dada, sesak napas, pusing kepala atau gejala
deficit neurologis. Gejala klinis ensefalopati hipertensi berupa somnolen, letargi,
kejang tonik klonik dan kebutaan kortikal hingga gangguan kesadaran (PERHI,
2019). Meskipun demikian, lesi neurologis fokal jarang terjadi dan bila
terjadi, hendaknya dicurigai sebagai stroke. Kejadian stroke akut terutama
hemoragik dengan hipertensi berat disebut sebagai hipertensi emergensi. Namun
demikian penurunan tekanan darah hendaknya dilakukan dengan hati-hati.

2.3.2 Hipertensi Urgensi


Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti klinis
keterlibatan organ target. Umumnya tidakmemerlukan rawat inap dan dapat
diberikan obat oral sesuai dengan algoritma penatalaksanaan hiperteni urgensi
(PERHI, 2019). Peningkatan tekanan darah mendadak dapat diakibatkan obat-
obat simpatomimetik. Keluhan nyeri dada berat atau stres psikis berat juga dapat

14
menimbulkan peningkatan tekanan darah mendadak. Kondisi ini dapat
diatasi setelah keluhan membaik tanpa memerlukan penatalaksanaan spesifik
terhadap tekanan darah.

2.4 Faktor Resiko

2.4.1 Faktor resiko yang tidak dapat diubah


a. Etnis/Ras
Menurut data dari Third National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES III, 1988-1991) dalam Sheps (2005) menunjukkan bahwa jumlah
penderita hipertensi berkulit hitam 40% akan lebih tinggi dibandingkan dengan
yang berkulit putih. Hal ini belum diketahui secara pasti penyebabnya, namun
dalam orang berkulit hitam ditemukan kadar rennin yang lebih rendah dan
sensitifitas terhadap vasopresin lebih besar (Rustiana, 2014).

b. Riwayat Keluarga
Faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium.
Berbagai penelitian dan study kasus menguatkan bahwa faktor keturunan
merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi, dimana jika dalam keluarga
ada yang menderita hipertensi 25-60% akan terjadi pada anaknya.

c. Usia
Pasien yang berumur di atas 60 tahun mempunyai tekanan darah di atas
140/90 mmHg akan menyebabkan perubahan alami secara struktural maupun
fungsional pada jantung, pembuluh darah dan hormone. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan jurnal epidemiologi hubungan karakteristik dan obesitas sentral
dengan kejadian hipertensi bahwa kelompok hipertensi sebanyak (87,00%)
berusia > 59 tahun., sementara usia ≤ 59 tahun hanya (58,00%) yang hipertensi
(Amanda and Martini, 2018).

15
d. Jenis Kelamin
Hipertensi banyak ditemukan pada laki - laki dewasa muda & paruh
baya. Laki - laki memiliki resiko sekitar 2,3 kali lebih besar untuk menderita
hipertensi lebih awal disebabkan gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah (Kemenkes, 2019). Pada wanita, setelah berusia 55 tahun / yang
mengalami menopause, risiko mengalami hipertensi meningkat akibat faktor
hormonal.

2.4.2 Faktor risiko yang dapat diubah


a. Obesitas
Obesitas meningkat pada penduduk berusia >18 tahun, pada tahun 2010
terdapat 11,7% menjadi 15,4% pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan
RI,
2017). Usia 35-65 tahun merupakan usia yang dianggap paling banyak menderita
hipertensi dengan obesitas (Sulastri dkk., 2012). Peningkatan morbiditas dan
mortalitas berhubungan dengan obesitas dan overweight karena terjadinya
hipertensi (Gungor, 2014). Peningkatan kadar lemak dalam tubuh terutma
kolesterol yang menyebabkan kenaikan berat badan disebabkan karena kelebihan
asupan lemak, sehingga terjadi hipertensi.
Obesitas menyebabkan luas permukaan tubuh menjadi lebih luas, sehingga
ruang hidrostatik yang dilalui untuk sirkulasi sistemik akan semakin
panjang. Makin panjang kolom hidrostatik makin tinggi pula tahanan
sistemiknya, maka diperlukan juga tekanan hidrostatik yang lebih besar untuk
dapat memenuhi kebutuhan suplai O2 dan nutrisi ke jaringan. Selain itu, pada
kondisi obesitas, posisi pembuluh darah sering kali terjepit oleh lapisan
lemak, sehingga akan menimbulkan beban afterload yang lebih tinggi. Obesitas
menyebabkan luas permukaan tubuh menjadi lebih luas, sehingga ruang
hidrostatik yang dilalui untuk sirkulasi sistemik akan semakin panjang. Makin
panjang ruang hidrostatik makin tinggi pula tahanan sistemiknya, maka
diperlukan juga tekanan hidrostatik yang lebih besar untuk dapat memenuhi
kebutuhan suplai O2 dan nutrisi ke jaringan. Kondisi obesitas juga menyebabkan
tubuh membutuhkan lebih banyak oksigen untuk membakar kalori, dengan
demikian kerja jantung akan semakin berat untuk berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen tersebut. Pada kondisi obesitas, seringkali lemak januh
16
dan lemak trans yang masuk ke dalam tubuh secara terus menerus dapat
menyebabkan penumpukan lemak di dalam pembuluh

17
darah. Akibatnya arteri menyempit dan perlu tekanan lebih besar untuk
memompa darah ke seluruh tubuh.

b. Diabetes melitus
Glukosa yang merupakan produk hasil pemecahan karbohidrat yang kita
konsumsi, akan diangkut oleh darah ke seluruh tubuh lalu diubah menjadi sumber
energi. Agar glukosa bisa masuk ke dalam sel tubuh dibutuhkan insulin. Pada
kondisi diabetes mellitus, produksi insulin oleh pankreas tidak adekuat, sehingga
menyebabkan glukosa menumpuk di intravaskuler. Kondisi ini akan
mengakibatkan darah terlalu kental karena molekul glukosa yang
berukuran cukup besar banyak berada di dalam intravaskuler. Viskositas darah
yang meningkat ini menyebabkan tahan sistemik semakin besar, sehingga jantung
memerlukan tekanan yang lebih kuat untuk memompakan darah ke seluruh tubuh.

c. Perokok
Racun didalam rokok terutama karbonmonoksida menyebabkan oksigen yang
terikat oleh hemoglobin didalam sirkulasi sedikitdikarenakan afinitas CO (karbon
oksida) lebih tinggi terhadap Hemoglobin jika dibandingkan dengan O2,
sehingga jantung akan mengkompensasi dengan menaikkan heart rate untuk
memenuhi kebutuhan suplay ke jaringan. Untuk mengejar cardiac output yang
optimal maka kenaikan denyut jantung tersebut diikuti dengan peningkatan
kontraktilitas miokard, sehingga tekanan darah akan meningkat pula. Nikotin dari
asap rokok masuk ke tubuh dan diedarkan oleh pembuluh darah. Nikotin yang
masuk sampai otak diperkirakan epinephrin yang mengakibatkan vasokonstriksi,
sehingga akan meningkatkan afterload. Beban afterload yang meningkat
menyebabkan tekanan darah makin tinggi.

d. Kurangnya aktifitas fisik


Jika seseorang kurang begerak frekuensi denyut jantung menjadi lebih tinggi
sehingga memaksa jantung bekerja lebih keras setiap kali kontraksi.

e. Sensivitas Natrium
Pemasukan garam yang berlebih dapat menyebabkan retensi air meningkat,
karena sifat garam adalah menarik air (osmosis). Peningkatan retensi air
maka
18
akan menaikkan beban preload sehingga akan menyebabkan daya untuk
melakukan ejeksi semakin besar. Ada juga pendapat yang mengatakan hormon
natriuretik menghambat aktivitas pompa Na-K-ATPase, sehingga akan
mengganggu terjadinya proses potensial aksi di miokard. Terganggunya proses
potensial aksi ini mengakibatkan aktivitas listrik jantung menurun. Sehingga,
suplay O2 ke jaringan hanya mengandalkan efektivitas dari kerja mekanik
jantung, sehingga jantung harus memompa lebih kuat untuk memenuhi
kebutuhan jaringan.

f. Kalium rendah
Apabila tubuh kekurangan kalium, natrium yang berlebihan di dalam tubuh
tidak bisa keluar, sehingga resiko hipertensi meningkat.

g. Alkohol
Resiko hipertensi meningkat dua kali lipat bagi pengkonsumsi alkohol.

h. Stress
Kondisi stres akan menyebabkan aktivasi dari sistem saraf simpatik.
Aktivitas saraf simpatik dihubungkan dengan pengeluaran produksi katekolamin,
akibatnya terjadi vasokontriksi yang akan menurunkan perfusi ke ginjal. Ketika
perfusi ke ginjal menurun, maka ginjal akan memproduksi hormon renin
oleh korteks adrenal. Hormon renin berfungsi untuk mengubah angiotensinogen
dalam darah (diproduksi di ginjal) menjadi angiotensin I. Oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) di paru, angitensin I akan diubah menjadi angiotensin
II. Angiotensin II bersifat vasokonstriktor, sehingga akan membuat beban
afterload meningkat. Beban afterload yang meningkat memaksa jatung untuk
memompa lebih kuat untukdapat memberikan suplai ke jaringan. Selain itu
angiotensin II juga memicu diproduksinya hormone aldosteron. Hormon
aldosteron berfungsi dalam mekanisme retensi garam dan air, sehingga akan
meningkatkan beban preload dan afterload.

2.5 Patofisiologi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang
timbul akibat interaksi berbagai faktor risiko. Seperti yang telah diketahui bahwa
tekanan
19
darah dihasilkan dari perkalian antara cardiac output dan tahanan resistensi
perifer. Segala bentuk mekanisme yang mempengaruhi kedua hal tersebut
selanjutnya memberikan perubahan pada nilai tekanan darah (Kotchen,
2018). Mekanisme tersebut seperti pada gambar:

Gambar Patofisiologi hipertensi


Sumber: (Chisolm, 2017)

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah


terletak pada pusat vasomotor di medula oblongata. Pusat vasomotor akan
mengirimkan impuls saraf simpatis menuju korda spinalis berlanjut ke kolumna
medula spinalis dan menuju ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Pada
titik ini, neuron preganglion mengeluarkan asetilkolin yang merangsang serabut
saraf pasca ganglion ke pembuluh darah kapiler melalui pelepasan nonepieprin
yang mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler sehingga meningkatkan
resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan darah (Brunner & Suddarth, 2012).
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin
I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat,
yang

20
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler (Chisolm, 2017). Vasokonstriktor didapat juga
dari adanya perubahan pada struktur pembuluh darah dimana terjadi pada usia
lanjut dengan penurunan elastisitas atau penyumbatan pembuluh darah.
Disisi lain, terjadi peningkatan intake sodium akan memicu tertariknya cairan di
ginjal sehingga meningkatkan volume cairan ekstrasel dan meningkatkan tekanan
darah (Aspiani, 2019). Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan
hipertensi.

2.6 Manifestasi Klinis


Hipertensi dikatakan juga “silent killer” karena seringkali seseorang tidak
merasakan tanda dan gejala serta 30% tidak menyadari bahwa telah terjadi
peningkatan tekanan darah. Manifestasi klinis muncul saat penderita mengalami
hipertensi selama bertahun-tahun dan bila sudah mulai mengenai organ lain
(Ardiansyah, 2012), gejalanya antara lain :
a. Terjadi kerusakan susunan syaraf pusat
b. Nyeri kepala oksipital yang terjadi saat bangun dipagi hari
karena peningkatan tekanan intrakranial yang disertai mual dan
muntah.
c. Epistaksis karena kelain vaskuler akibat hipertensi yang diderita.
d. Sakit kepala,pusing dan keletihan disebabkan oleh penurunan
perfusi darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah.
e. Penglihatan kabur akibat kerusakan pada retina sebagai dampak hipertensi.

2.6.1 Manifestasi klinis pada hipertensi sekunder antara lain (Manciaet


al.,
2013)
a. Munculnya cushing syndrome
b. Stigmata kulit (neurofibromatosis pheochromocytoma)
c. Pada palpasi ditemukan pembesaran ginjal (polisistis ginal)
d. Pada auskultasi abdomen terdengar murmur (hipertensi renoveskular)
pada auskultasi area precordial atau dada terdengar murmur (koarktasio
aorta, penyakit aorta, penyakit arteri ekstremitas atas)
21
e. Hilang dan menurunnya nadi femoral dan penurunan tekanan darah
femoral dibandingkan pada pengukuran di lengan (koarktasio aorta,
penyakit aorta, penyakit arteri ekstremitas bawah)
f. Perbedaan tekanan darah dilengan kanan dan kiri (koarktasio
aorta, stenosis aorta subklavia)

2.6.2 Manifestasi klinis pada hipertensi emergensi


Menurut Williams et al (2018), kedaruratan hipertensi adalah situasi di
mana hipertensi berat yang sering mengancam jiwa dan memerlukan intervensi
segera untuk menurunkan TD, biasanya dengan terapi intravena (i.v.) (van den
Born, 2018). Kecepatan dan besarnya peningkatan BP sama pentingnya dalam
menentukan besarnya cedera organ. Manifestasi klinis dari keadaan
hipertensi emergensi adalah (Mancia et al., 2013):

a. Tekanan darah sistolik >180 mmHg dan tekanan darah diastolic


>120 mmHg
b. Terdapat kerusakan organ target secara progresif atau impending seperti
perubahan neurologis mayor, hipertensi ensefalopati, infark serebral,
hemoragik intracranial, gagal ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi
aorta, gagal ginjal atau eklamsia
c. Nyeri dada pada iskemia atau infark miokardium, diseksi aorta
d. Nafas pendek pada edema paru akut sekunder pada gagal ventrikel
kiri e. Nyeri punggung pada pasien diseksi aorta
f. Gejala neurologis seperti nyeri kepala, pandangan kabur, mual dan
muntah yang mengarah pada hemoragi intracerebri atau subarachnoid
atau hipertensi ensefalopati

Gejala darurat yang paling umum akan tergantung pada organ yang
terkena tetapi mungkin termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, dada, nyeri,
dyspnoea, pusing, dan defisit neurologis lainnya. Pada pasien dengan
ensefalopati hipertensi, adanya somnolen, kelelahan, kejang tonik klonik,
dan kebutaan kortikal dapat mendahului penurunan kesadaran; namun, lesi
neurologis fokal jarang terjadi dan harus meningkatkan kecurigaan stroke.

22
2.6.3 Manifestasi klinis pada hipertensi urgensi yakni (Mancia et al.,
2013)
a. Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan organ
target b. Pada otak ditemukan defek motorik atau
sensorik
c. Pada retina ditemukan keabnormalitasan funduskopi
d. Jantung didengarkan adanya suara jantung 3 atau 4, murmur,
aritmia, lokasi impuls apical, rales pada paru dan edema perifer
e. Pada arteri perifer ditemukan nadi yang hilang, menurun
ataupun asimetris, ekstremitas yang dingin, lesi iskemik kulit
f. Pada arteri karotis didengarkan adanya murmur sistolik

2.7 Komplikasi
Komplikasi karena hipertensi dapat mengenai beerbagai organ vital,
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit hipertensicerebrovascular,
hipertensi enselopati, dan retinopati (Sylvestris, 2014).

2.7.1 Retinopati

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan tekanan pada pembuluh darah


retina juga meningkat. Lama kelaman terjadi kerusakan pada pembuluh darah ini
sehingga retina tidak dapa menjalankan fungsinya manangkap dan meneruskan
cahaya dari lensa ke saraf mata. Hal tersebut menyebabkan pasien mengalami
gangguan penglihatan.

2.7.2 Gagal Jantung


Tekanan darah yang tinggi menyebabkan afterload meningkat akibat tahanan
sistemik yang meningkat. Keadaan ini menyebabkan kontraksi ventrikel kiri
meningkat untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Keadaanini lama- kelamaan
menyebabkan terjadinya kerdiomegali dan gagal jantung.

2.7.3 Gagal Ginjal Kronik

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan stenosis pada arteri Renalis yang
memperdarahi ginjal. Hal ini mengakibatkan suplay darah ke ginjal berkurang
sehingga ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya.

23
2.7.4 Penyakit Cerebrovaskular

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan suplai darah ke otak


berkurang. Hal tersebut bisa disebabkan karena stenosis pada pembuluh darah
(Cerebrovascular Disease Non Hemoragic) dan ruptur pembuluh darah
(Cerebrovaskular Disease Hemoragic). Enselopati hipertensi merupakan
sindroma yang ditandai dengan perubahan-perubahan neurologis mendadak atau
subakut yang timbul akibat tekanan arteri yang meningkat, dan kembali normal
apabila tekanan darah diturunkan. Sindroma ini dapat timbul pada setiap macam
hipertensi,tapi jarang pada aldosteronisme primer dan koarktasio aorta.
Enselopati hipertensi biasanya ditandai oleh sakit kepala hebat, bingung,
sering muntah- muntah, mual dan gangguan penglihatan.

2.7.5 Infark Miokard

Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis


atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang
melalui pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan
suplai oksigen yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi
menyebabkan terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat
menjadi infark (Nuraini, 2015).

2.7.6 Stroke

Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg) merupakan faktor resiko stroke


dengan besar resiko 6,905 kali lebih besar dibandingkan yang tidak hipertensi
(tekanan darah ≥ 140/90 mmHg). Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya
maupun menyempitnya pembuluh darah otak. Apabila pembuluh darah otak
pecah, maka timbulah perdarahan di otak dan apabila pembuluh darah otak
menyempit, maka aliran darah keotak akan terganggu dan sel otak akan
mengalami kematian (Jusman & Koto, 2011 dalam Masriadi, 2019).

24
Gambar Pathway Hipertensi (WOC ) dengan menggunakan Standar Diganosa Keperawatan Indonesia dalam PPNI (2017)

Umur Jenis kelamin Gaya hidup Obesitas

Elastistas arteri-
oskerosis

Hipertensi Kerusakan Perubahan Penyumbatan Gangguan sir-


Vasokontriksi
vascular kulasi
pembuluh darah
Perubahan
Status Kesehatan
Otak Ginjal Pembuluh darah
Ansietas
Fasokontriksi pem-
Resisters Suplai O2 buluh darah ginjal Sistemik Koroner
Nyeri pembuluh otak
darah otak menurun
akut
Blood flow menurun Vaso- Iskemi miocard

Sinkrop
Respon RRA Afterload Nyeri dada

Kurang terpapar Perfusi perifer tidak


Informasi efektif
Rangsang aldosterone Penurunan Fatique
curah jatung
Edema Retensi Na
Defisit Intoleran aktifitas
Pengetahuan

Kelebihan volume cairan


26
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Non farmakologi
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular. Menurut PERHI (2021), pola hidup sehat
dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan dapat mengurangi
risiko kardiovaskular. Pernyataan ini didukung dengan penelitian dari Amoah
et al. (2020) yang menunjukkan adanya kontrol tekanan darah pada penderita
hipertensi yang menjalani aktivitas fisik 30 menit sampai satu jam setiap hari
serta diet tanpa daging dan makanan bertepung dibandingkan pada penderita
hipertensi yang tidak menjalani aktivitas fisik rutin dan mengatur diet.
Penelitian lain dari Blumenthal et al. (2021), menunjukkan adanya penurunan
secara signifikan pada tekanan darah dan perbaikan penyakit jantung pada
pasien yang dilakukan latihan fisik dan diet selama empat bulan menjalani
program rehabilitasi jantung.
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka
waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk
memulai terapi farmakologi (PERKI, 2015). Beberapa pola hidup sehat
yang dianjurkan adalah (NICE, 2022; PERKI, 2015):
a. Penurunan berat badan
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25
kg/m2), dan menargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan
lingkar pinggang <90 cm pada laki-lakidan <80 cm pada perempuan. Mengganti
makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan
dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti
menghindari diabetes dan dislipidemia.
b. Mengurangi asupan garam
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi
garam berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan
prevalensi hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak
lebih dari 2
gram/hari (setara dengan 5-6-gram NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur).
Sebaiknya menghindari makanan dengan kandungan tinggi garam.
c. Olahraga
Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari, minimal 3
hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang
tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus
tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga
dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

d. Mengurangi konsumsi alcohol dan kafein


Walaupun konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di
negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin meningkat seiring
dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar.
Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari
pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi
atau menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah. Pada pasien dengan hipertensi, konsumsi kafein mampu
meningkatkan tekanan darah secara akut dalam waktu ≥ 3 jam (Mesas et al,
2011). Ini tidak hanya terjadi pada dewasa, bahkan lansia yang memiliki
kebiasaan konsumsi kafein menunjukkan tekanan darah yang tidak terkontrol
(Garcia et al, 2016). Oleh karena itu, konsumsi kafein juga perlu
dikurangi untuk mencegah peningkatan tekanan darah akut yang
memungkinkan terjadinya hipertensi urgensi.

e. Berhenti merokok
Menurut penelitian yang dilakukan Sutriyawan dkk (2021), berhenti
merokok mampu menunjukkan penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi,
disertai dengan kebiasan melakukan aktivitas fisik. Keduanya memiliki relasi
yang signifikan terhadap tekanan darah pasien.

2.8.2 Farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah >
6

28
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologiyang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu (PERKI, 2015) :
a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
b. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti
pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid. Jangan
mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
d. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
e. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur

Gambar Pedoman Tatalaksana Hipertensi


Sumber: PERKI (2015)

29
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan diatas adalah algoritme tatalaksana hipertensi
secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension 2013.
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi
obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko. Tabel 6 menunjukkan target nilai tekanan darah yang di
rekomendasikan dalam JNC 7 & JNC 8.
Tabel Rekomendasi Target Tekanan Darah

Rekomendasi Target Tekanan Darah


JNC 7 < 140/90 mmHg
< 130/80 mmHg bagi pasien dengan diabetes atau
penyakit ginjal kronis
JNC 8 < 150/90 mmHg untuk pasien berusia ≥ 60 tahun
< 140/90 mmHg untuk pasien berusia < 60 tahun,
diabetes, dan penyakit ginjal kronis.
Sumber: (Ripley & Barbato, 2019)

Tabel Klasifikasi dan tatalaksana hipertensi bagi dewasa


Terapi inti
Klasifikasi TDs TDd Modifikasi
Dengan
TD (mmHg) (mmHg) gaya hidup Tanpa keluhan
keluhan
Normal < 120 dan < 80 Dianjur

Prehipertensi Tanpa obat anti Obat sesuai


120 - 139 atau 80 – 89 Perlu
hipertensi indikasi keluhan
Kebanyakan
pemberian Obat sesuai
Hipertensi diuretik (thiazide) indikasi keluhan
stadium 1 140 - 159 atau 90 - 99 Perlu dipertimbangkan ditambahkan
juga ACEI, ARB, obat anti
Beta Blocker dan hipertensi
CCB
Hipertensi 2 kombinasi obat
stadium 2 ≥ 160 atau ≥ 100 Perlu hipertensi atau
lebih
Sumber: Modul PKKvTD (2019)

30
Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah
ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan
frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target
tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan adalah tekanan darah
sistolik
< 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg. Terapi non
farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan yang
ada adalah pada terapi farmakologi, khususnya pada rekomendasi obat-obatannya
(PERKI, 2015).

2.8.3 Tatalaksana Kegawatdaruratan Hipertensi


Krisis
Prinsip umum tatalaksana hipertensi emergensi adalah terapi anti
hipertensi parenteral mulai diberikan segera saat diagnosis ditegakkan di UGD
sebelum keseluruhan hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh. Dilakukan
perawatan diruang intensif untuk memonitor ketat TD dan kerusakan organ
target. Penurunan TD secara gradual bertujuan mengembalikan autoregulasi
organ, sehingga perfusi organ yang normal dapat dipertahankan. Hindari
penurunan tekanan darah agresif pada hipertensi non-emergensi dan juga
penurunan tekanan darah yang terlalu cepat (Sarafidis & Bakris, 2019).
American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) tahun 2017 mengeluarkan pedoman algoritma diagnosis dan
manajemen krisis hipertensi seperti terlihat pada gambar 3 dan 4. Pada pedoman
ACC/AHA (2017), target penurunan tekanan darah dibedakan dengan melihat ada
atau tidaknya kondisi yang memaksa (with or without compelling condition).
Secara umum bila tidak didapatkan compelling condition, tatalaksana HT
emergensi adalah dengan melakukan penurunan tekanan darah maksimal
25% dalam jam pertama, kemudian target penurunan tekanan darah mencapai
160/100-
110 mmHg dalam 2 sampai 6 jam, selanjutnya tekanan darah mencapai normal
dalam 24 sampai 48 jam. Penurunan TD yang lebih agresif dilakukan bila
didapatkan compelling condition (aorta diseksi, pre-eclampsia berat atau
eclampsia, dan krisis pheochromocytoma).

31
Gambar Rekomendasi untuk Krisis Hipertensi dan Emergensi
Sumber: Whelton et al (2018)

Gambar Diagnosis dan Manajemen Krisis Hipertensi


Sumber: Whelton et al (2018)

32
a. Tatalaksana Farmakologi pada Hipertensi Krisis
Aspek spesifik obat anti hiperensi intravena kerja singkat yang
dipergunakan pada hipertensi emergensi memungkinkan penurunan tekanan
darah terkonrol secara gradual dan ketat. Karakteristik efek anti hipertensi
tersebut memungkinkan pengendalian tekanan darah dengan segera bila
terjadi respon penurunan tekanan darah yang berlebihan (Williams et al, 2018).
Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana HT emergensi, tidak didapatkan obat
tunggal yang diketahui lebih superior dibandingkan lainnya. Review sistemik dan
meta-analisis yang dilakukan terhadap obat-obatan anti-HT emergensi
menunjukkan bahwa, hanya didapatkan perbedaan minor pada derajat penurunan
tekanan darah diantara obat-obat tersebut, serta tidak didapatkan perbedaan
morbiditas atau mortalitas (Sarafis & Bakris, 2019). Gambar dibawah ini
menyajikan karakteristik farmakologis obat anti hipertensi emergensi (Williams
et al, 2018).

33
Gambar Tipe obat, dosis dan karakteristik terapi hipertensi emergensi
Sumber: Sarafis & Bakris (2019)

Gambar 6 menyajikan pedoman umum penggunaan obat-obatan anti


hipertensi berdasarkan pada tipe kerusakan organ target (Sarafis & Bakris, 2019).

34
Gambar Tatalaksana farmakologi berdasarkan tipe kerusakan organ
target
Sumber: Sarafis & Bakris (2019)

Sedangkan pemilihan obat-obatan untuk therapi HT urgensi lebih luas


dibandingkan HT emergensi. Mengingat hampir semua anti-HT yang
dipergunakan, akan menurunkan TD secara efektif sesuai durasi kerjanya. Pada
tabel-5 menyajikan obat-obat farmakologis untuk therapi HT urgensi.

Gambar Terapi farmakologis untuk hipertensi urgensi


Sumber: Sarafis & Bakris (2019)

35
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Hipertensi Krisis
2.9.1 Triage
Merupakan suatu sistem atau cara untuk mengidentifikasi dan memilih
prioritas pasien dengan kondisi yang paling berbahaya sehingga dapat
memberikan tindakan segera. Triase bertujuan untuk memastikan pasien
ditangani dalam urutan urgensi klinis yang mengacu pada waktu
kritis pemberian intervensi. Triase juga memungkinkan alokasi pasien ke
area penilaian dan perawatan yang paling tepat (ACEM, 2016). Dalam
memprioritaskan pasien didasarkan pada tingkat kegawatan,
angka harapan hidup dan ketersediaan sumber daya.
Prioritas Kegawatan:
a. Merah: gawat darurat (waktu respon 0-10 menit), contoh kasus: pasien
dengan masalah A-B-C, nyeri dada, cedera kepala berat, syok, kejang,
trauma dada, perdarahan tidak terkontrol, kejang, cedera multiple.
b. Kuning: darurat tidak gawat (waktu respon: 30 menit), contoh
kasus:
nyeri karena gangguan paru, luka bakar, penurunan kesadaran (GCS >
8), diare dengan dehidrasi sedang, panas tinggi.
c. Hijau: tidak gawat tidak darurat (waktu respon: 60 menit),
contoh kasus: luka minor, batuk, dislokasi
d. Hitam: DOA (death on arrival), pasien telah meninggal saat tiba
di
IGD

2.9.2 Pengkajian Primer (Primary Survey)


Menggunakan pendekatan ABCDE,
yaitu:
a. Airway (dengan kontrol servikal)
Kaji:
1) Bersihan jalan nafas
2) Adanya/ tidaknya sumbatan jalan
nafas
3) Distres pernafasan
4) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema
laring

36
5) Kemungkinan fraktur servikal

37
b. Breathing
Kaji:
1) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
2) Suara nafas melalui hidung atau mulut
3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
c. Circulation (dengan kontrol perdarahan)
Kaji:
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembapan kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
5) Adanya tanda-tanda syok
d. Disability
Kaji:
1) Tingkat kesadaran (AVPU: Alert – Verbal – Pain – Unresponsive)
2) Gerakan ekstremitas (adanya hemiparese dan nilai kekuatan otot)
3) GCS ( Glasgow Coma Scale )  Eye – Motoric - Verbal
4) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
e. Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada

2.9.3 Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)


Pengkajian sekunder menggunakan pendekatan SAMPLE, yaitu:
S : Sign and symptoms
A : Allergy
M : Medication
P : Post medical history
L : Last meal
E : Event leading

2.9.4 Anamnesa
Anamnesa terdiri dari:
a. Identitas pasien: nama, jenis kelamin, suku, pekerjaan

38
b. Keluhan utama: pada krisis hipertensi, biasanya pasien akan
mengeluhkan pusing, kepala berat, nyeri dada, cepat lelah, berdebar-
debar, sesak napas, kelemahan sebagian atau seluruh anggota tubuh atau
bahkan tanpa keluhan (PERKI, 2016).
c. Riwayat penyakit dahulu dan sekarang
d. Riwayat kesehatan keluarga: factor keturunan yang
menyertai e. Riwayat pekerjaan: tingkat stress dan koping
f. Riwayat geografi: lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi
kejadian masalah kesehatan, terutama hipertensi
g. Riwayat alergi: adanya alergi obat-obatan atau
makanan h. Kebiasaan sosial: gaya hidup
i. Kebiasaan merokok: lamanya, frekuensi, respon pasien

2.9.5 Pemeriksaan fisik


a. Berat badan dan tinggi badan
b. Melakukan inspeksi head to toe
1) Pemeriksaan kepala: amati ekspresi wajah
2) Mata
 Konjungtiva: pucat, ptechiae
 Sklera: ikterus pada gagal jantung kanan, penyakit hati, dll.
 Kornea: arku senilis, refleks kornea
 Eksopthalamus
 Gerakan bola mata
 Pemeriksaan fundoskopi untuk penyempitan retinal
arteriol, perdarahan, eksudat dan papil edema.
3) Leher: JVP, bising karotis, trakea (tanda oliver) dan
pembesaran thyroid
4) Pemeriksaan thoraks dan sistem respirasi: kaji bentuk dan gerakan
pernafasan, kaji irama, frekuensi, palpasi vocal fremitus, perkusi
keadaan dan batas paru, auskultasi jenis suara nafas.
5) Pemeriksaan sistem kardiovaskular:
 Pembuluh darah: kaji frekuensi, irama, ciri denyutan, isi nadi dan

39
keadaan pembuluh darah.
 Jantung: kaji iktus kordis, getaran, periksa suara dan
batas jantung, bising jantung. Tekanan darah diukur minimal
2 kali dengan tenggang waktu 2 menit dalam posisi
berbaring atau duduk, dan berdiri sekurang setelah 2 menit.
Pengukuran menggunakan yang sesuai, dan sebaiknya dilakukan
pada kedua sisi lengan, dan jika nilainya berbeda maka nilai yang
tertinggi yang diambil.
6) Abdomen: bising, pembesaran ginjal, ascites
7) Ekstremitas: lemahnya atau hilangnya nadi parifer, edema
8) Neurologi: tanda thrombosis cerebral dan perdarahan

2.9.6 Pemeriksaan penunjang


a. EKG: adanya pembesaran ventrikel kiri (LVH), pembesaran atrium kiri,
adanya penyakit jantung koroner atau aritmia (PERKI, 2016).
b. Hemoglobin/hematokrit: bukan diagnostik tetapi mengkaji hubungan
dari sel-sel terhadap terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat
mengindikasikan faktor-faktor risiko seperti hiperkogulabilitas, anemia.
c. BUN/ kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/ fungsi
ginjal.
d. Glukosa: hiperglikemia (Diabetes Millitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin
(meningkatkan hipertensi).
e. Kalium serum: hipokalemia dapat mengindikasikan adanya aldosteron
utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
f. Kalsium serum: peningkatan kadar kalsium serum dapat
meningkatkan hipertensi.
g. Kolesterol dan trigliserida serum: peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/ adanya pembentukan plak ateromatosa
(efek kardiovaskuler).
h. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor
risiko terjadinya hipertensi.
i. Foto rontgen: adanya pembesaran jantung (kardiomegali),
vaskularisasi atau aorta yangmelebar (PERKI, 2016).

40
j. Echocardiogram: tampak adanya penebalan dinding ventrikel
kiri, mungkin juga sudah terjadi dilatasi dan gangguan fungsi sistolik dan
diastolik.

2.9.7 Diagnosa keperawatan


Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan Berikut adalah diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan hipertensi (Tim pokja
SDKI DPP PPNI,
2017):
a. Resiko penurunan curah jantung ditandai dengan perubahan afterload,
perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan
kontraktilitas, perubahan preload. (D.0011)
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas, gaya hidup
menoton. (D.0056)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis, agen
pencedera kimiawi, agen pencedera fisik. (D.0077)
d. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap
konsep diri, ancaman terhadap kematian, kebutuhan tidak terpenuhi,
krisis maturasional, terpapar bahaya lingkungan, kurang terpapar
informasi. (D.0080)
e. Defisit pengetahuan ditandai dengan menanyakan masalah yang dihadapi,
menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran, menunjukkan persepsi yang
keliru, menjalani pemeriksaan yang tidak tepat, menunjukkan
perilaku yang berlebihan. (D.0111)
f. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia,
penurunan konsentrasi hemoglobin, peningkatan tekanan darah,
kekurangan volume cairan, penurunan aliran arteri dan/atau vena.
(D.0009)

41
2.9.8 Intervensi Keperawatan
Tabel Rencana Asuhan Keperawatan
NO. DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Resiko penurunan a. Keefektifan Pompa Jantung Perawatan Jantung
curah jantung
b. Status Sirkulasi 1. Evaluasi adanya nyeri dada ( intensitas, lokasi, durasi )
berhubungan dengan
c. Tanda Vital 2. Catat adanya distritmia jantung
peningkatan afterload,
vasokontriksi, 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
hipertrofi/rigiditas
4. Monitor status kardiovaskuler
ventrikuler, iskemi Kriteria hasil :

miokard 1. Tanda vital dalam rentang 5. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
normal (tekanan darah,
6. Monitor abdomen sebagai indikator penurunan perfusi
nadi, respirasi)
7. Monitor balance cairan
2. Dapat mentoleransi
aktivitas, tidakada kelelahan 8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
3. Tidak ada edema paru,
9. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia
perifer, dantidak ada
10. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan
asites
4. Tidak ada penurunan 11. Monitor toleransi aktivitas pasien
kesadaran
12. Monitor adanya dyspnea, fatigue, takipnea dan ortopnea

41
13.Anjurkan untuk menurunkan stress

Monitoring Tanda Vital

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah

3. Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri

4. Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan

5. Monitor tekanan darah, nadi, RR sebelum, selama, dan


setelah aktivitas.

6. Monitor kualitas dari nadi.

7. Monitor jumlah dan irama jantung

8. Monitor bunyi jantung.

9. Monitor frekuensi dan irama pernafasan

10. Monitor suara paru

11. Monitor pola pernafasan abnormal

12. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

13. Monitor sianosis perifer

42
14. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)

15. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign.


2. Intoleransi aktivitas a. Toleransi Aktivitas Manajemen Energi
berhubungan dengan
b. Perawatan Diri: Aktivitas 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
kelemahan, ketidak
Sehari-hari (ADL)
2. Dorong pasien mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan
seimbangan suplai dan
kebutuhan. 3. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
Kriteria hasil :
4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
1. Berpartisipasi dalam aktivitas
fisik tanpa disertai penigkatan 5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi
tekanan darah, nadi, dan RR secara berlebihan
6. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
2. Mampu melakukan aktifitas
sehari hari (ADL) secara 7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
mandiri
Terapi Aktivitas

1. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi medik dalam


merencanakan program terapi yang tepat
2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan

43
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk aktivitas yang di inginkan
5. Bantu untuk mendapatkan alat bantu aktivitas seperti kursi
roda, krek
6. Bantu mengidentifikasi aktivitas yang disukai.

7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di waktu luang

8. Bantu pasien/ keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan


dalam beraktifitas.
9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktifitas

10. Bantu pasien untuk mengembangkan motovasi diri dan penguatan


11. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual
3. Nyeri Akut a. Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan dengan
b. Kontrol Nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara kompresensif termasuk
penigkatan tekanan
lokasi, karakteristrik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
vaskuler serebral presipitasi
Kriteria hasil : 2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan

1. Mampu mengontrol 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk


nyeri (tahupenyebab mengetahui pengalaman nyeri pasien
nyeri, mampu 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
menggunakan 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
44
tehnik non-farmakologi 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang
untuk mengurangi ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
nyeri, mencari bantuan) 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
2. Melaporkan bahwa nyeri
8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
berkurangdengan menggunakan
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
manajemennyeri
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
nyeri) (farmakologi, nonfarmakologi dan inter personal)
4. Menyatakan rasa nyaman 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
setekahnyeri berkurang
12. Ajarkan tentang teknik non-farmakologi
5. Tanda vital dalam
13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
rentang normal
14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

15. Tingkatkan istirahat

16. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan


nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan nyeri pasien tentang manajemen nyeri

Administrasi Analgesik
1. Tentukan lokasi, karteristrik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum

45
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)

4. Cemas a. Kontrol Diri Penurunan Cemas


berhubungan Menangani
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
dengan krisis Kecemasan
2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
situasional
Kriteria hasil 3. Jelaskan semua prosdur dan apa yang dirasakan selama prosedur
1. Menunjukan teknik 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
untukmengontrol cemas mengurangi takut
2. Teknik nafas dalam 5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,

3. Pasien tanpak rileks dan ekpresi tindakan, prognosis

46
wajah tampak rileks 6. Dorong keluarga untuk menemani pasien
4. Mengungkapkan cemas
7. Lakukan back/neck rub
berkurang
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. TTV dalam batas normal
9. Identifikasi tingkat kecemasan

10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,


ketakutan, persepsi
12. Intruksikan teknik relaksasi

13. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan


5. Kurang a. Pengetahuan: Proses Penyakit Mengajarkan : Proses Penyakit
pengetahuan
b. Pengetahuan: 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
berhubungan
ManajemenHipertensi tentang proses penyakit yang spesifik
dengan kurangnya 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
informasi tentang berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara
Kriteria hasil :
proses penyakit yangtepat
1. Pasien dan keluarga menyatakan
pemahaman tentang 3. Gambarkan tanda dan gejala yang bisa muncul pada
penyakit, kondisi, prognosis, penyakit, dengan cara yang tepat
dan program pengobatan 4. Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
2. Pasien dan keluarga mampu 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat
melaksanakan prosedur yang
6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara
47
dijelaskan secara benar yang tepat
3. Pasien dan keluarga mampu 7. Hindari harapan yang kosong
menjelaskan kembali apa yang
8. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan
dijelaskan perawat / tim
untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau
kesehatan lainya.
proses pengontrolan penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

10. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan


second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan.
11. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan dengan cara
yang baik
12. Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas local,
dengan cara yang tepat
13. Intruksikan pasien untuk melaporkan tanda dan gejala
pada pemberi perawatan, dengan cara yang tepat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah melebihi ambang batas normal yaitu tekanan sistolik lebih
tinggi dari 140 mmHg dan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg secara
persisten pada dua kali pemeriksaan. Pada hipertensi krisis, peningkatan
tekanan darah sistolik mencapai >180 mmHg dan tekanan diastolic >120
mmHg. Hipertensi krisis terjadi secara tiba-tiba dan jika hipertensi tidak
segera ditangani berdampak pada kerusakan organ target.

2 Saran
a. Perawat harus mampu mengkaji secara komprehensif mulai dari
pengkajian sampai evaluasi keperawatan sehingga pasien
hipertensi dapat tertangani dengan tepat dan tidak sampai terjadi
komplikasi yang mengancam organ - organ vital.
b. Perawat dapat meningkatkan kualitas terutama dalam
hal penyuluhan hipertensi yang berkesinambungan baik berupa
brosur ataupun diskusi sehingga morbiditas, mortalitas dan
rehospitalisasi pasien hipertensi dapat diminimalkan.
c. Pemberian asuhan keperawatan dapat melibatkan keluarga
sebagai support sistem. Edukasi dapat diberikan kepada pasien
dankeluarga, agar keluarga mampu terlibat aktif dalam upaya
penyembuhan dan komplikasi yang lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA

Alifariki, L.O., dkk. (2019). Epidemiologi Hipertensi (Sebuah Tinjauan Berbasis


Riset). Yogyakarta: LeutikaPrio.
Alley. W.D, Schick, M.A, Doerr, C. (2022). Hypertensive Emergency (Nursing)
[Updated 2021 Jul 31]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. Available from:
https://www.ncbi. nlm.nih.gov/books/NBK568676/
American Heart Association (AHA). (2017). The 2017 Guideline for Prevention,
Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults. Journal of American College and Cardiology.
23976. Doi:
10.1016/j.jacc.2017.07.745.
American Heart Association (AHA). (2022). Understanding blood pressure
reading. Retrived from: https://www.heart.org/en/health-topics/high-
blood- pressure/understanding-blood-pressure-readings
Amoah, E. M., Okai, D. E., Manu, A., Laar, A., Akamah, J., Torpey, K.
(2020).
The Role of Lifestyle Factors in Controlling Blood Pressure among
Hypertensive Patients in Two Health Facilities in Urban Ghana: A Cross-
Sectional Study. Hindawi International Journal of Hypertension.
2020(ID
9379128): 8. htt ps://doi.org/10.1155/2020/9379128
Aspiani, R. Y. (2019). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Kardiovaskular.
Jakarta: EGC.
Australasian College for Emergency Medicine (ACEM). (2016). Guidelines
on The Implementation of The Australasian Triage Scale in Emergency
Departments. G24(V04). https://acem.org.au/getmedia/51dc74f7-
9ff0-
42ce-872a-
0437f3db640a/
G24_04_Guidelines_on_Implementation_o f_ATS_Jul-
16.aspx
Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. (2019). Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Penelitian Kesehatan. Retrieved from:
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/
L
a poran_Nasional_RKD2018_FINAL.pdf
Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. (2019). Laporan Provinsi DKI Jakarta RISKESDAS
2018. Jakarta: Badan Pengembangan dan Penelitian Kesehatan.
Retrieved from:
https://drive.google.com/drive/folders/1XYHFQuKucZIwmCADX5ff1aD
hf JgqzI-l
Blumenthal, J. A., Hinderliter, A.L., Smith, P.J., Mabe, S., Watkins, L.L.,
Craighead, L., et al. (2021). Effects of Lifestyle Modification on Patients
With Resistant Hypertension: Results of the TRIUMPH Randomized
Clinical Trial. Circulation. 144:1212-1226.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.121.055329
Brunner & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 12. Jakarta:
EGC.
Brunner and Suddarth. (2020). Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 12. Alih
bahasa Yulianti, D & Kimin, A. Jakarta: EGC.
Chisolm, O.E. (2017). Pathophysiology of Hypertension and Hypertension
Management. Texas Hypertension Conference. Retrieved
from https://www.dshs.texas.gov/heart/pdf/Hypertension-
Conference/2Pathophysiology-of-Hypertension---Hypertension-
Management.pdf
Dakota, I. (2020). Modul Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Dasar.
Jakarta: Aksara Bermakna.
Garcia, E.L., Arbeláez, E.O., Muñoz, L.M.L., Castillon, P.G., Graciani, A.,
Banegas, J.R., Artalejo, F.R. (2016). Habitual coffee consumption and
24- h blood pressure control in older adults with hypertension. Clinical
Nutrition. 35(6): 1457-1463. doi: 10.1016/j.clnu.2016.03.021
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2018). Nursing Diagnose Definition and
Classification 2018-2021. Eleventh Edition. New York : Thieme.
Kotchen T.A. (2018). Hypertensive vascular disease. Jameson J, & Fauci A.S., &
Kasper D.L., & Hauser S.L., & Longo D.L., & Loscalzo J(Eds.).
Harrison's Principles of Internal Medicine, 20e. McGraw Hill.
https://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=2129&sectio
nid=192030227
Memah, M., Kandou, G. D. and Nelwan, J. E. (2019). Hubungan Antara
Kebiasaan Merokok dan Konsumsi Alkohol dengan Kejadian Hipertensi
Di Puskesmas Kombi Kecamatan Kombi Kabupaten Minahasa. Kesmas,
8.
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). 2022. Hypertension in
adults: diagnosis and management. NG136.
https://www.nice.org.uk/guidance/ng136
Nelwan, J.E. (2019). Pengaruh Penyuluhan Kesehatan Terhadap Perubahan
Pengetahuan Masyarakat Tentang Hipertensi Di Kota Manado.
Journal Public Health Without Border. Vol.1.
P2PTM Kemenkes RI. (2019). Hari Hipertensi Dunia 2019 : “Know Your
Number, Kendalikan Tekanan Darahmu dengan CERDIK”. Diakses pada
14 April 2022.
http://p2ptm.kemkes.go.id/
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI). (2019). Konsensus
Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Jakarta: PERHI.
https://www.inash.or.id/news-detail.do?id=411
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (PERHI). (2021).
Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2021. Jakarta: PERHI.
Retrived from:
https://drive.google.com/file/d/13tgAZbC2Thi9ODcz2UkwHwsrrqZyjhpp/
view
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2021).
Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Hipertensi Pulmonal. Retrived from:
https://inaheart.org/wp-content/uploads/2021/11/Pedoman- Diagnosis-n-
Tatalaksana-Hipertensi-Pulmo nal-2021.pdf
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2020).
Panduan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan Dewasa. Retrived
from:
https://inaheart.org/wp-
content/uploads/2021/08/PANDUAN_TAT ALAKSANA_PJBD.pd
f
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2016).
Panduan Praktik Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah. Edisi Pertama. Jakarta: PERKI. ISBN 978-
602-7885-43-1.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). (2015).
Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi
Pertama. Jakarta: PERKI.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1
Cetakan 2. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1 Cetakan
2. Jakarta: PPNI.
PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1 Cetakan 2.
Jakarta: PPNI.
Ripley, T. L., and Barbato, A. (2019). Hypertension: PSAP Book 1, Cardiology.
American College of Clinical Pharmacy.
Sarafidis P.A., Bakris G.L. (2019). Evaluation and Treatment of Hypertensive
Emergencies and Urgencies. In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson
RJ, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 6th edition.
Elsevier.p.
444-452
Sutriyawan, A., Apriyani, R., Miranda, T.G. (2021). The Relationship between
Lifestyleand Hypertension Cases at UPT CibiruPublic Health Center
BandungCity. Disease Prevention and Public Health Journal. 15(1):50-
56. ISSN: 2720-9997.
Unger, T., Borghi, C., Charchar, F., Khan, N.A., Poulter, N.R., Prabhakaran,
D., et al. (2020). 2020 International Society of Hypertension Global
Hypertension Practice Guidelines. Hypertension, 75:1334-1357.
DOI:
10.1161/HYPERTENSIONAHA.120.15026.
van den Born BJ, Lip GYH, Brguljan-Hitij J, Cremer A, Segura J, Morales E,
Mahfoud F, Amraoui F, Persu A, Kahan T, Rosei EA, de Simone G,
Gosse P, Williams B. ESC Council on hypertension position document
on the management of hypertensive emergencies. Eur Heart J Cardiovasc
Pharmacotherapy 2018; doi:10.1093/ehjcvp/pvy032.
Viera, A. J., and Neutze, D. M. (2010). Diagnosis of Secondary Hypertension: An
Age-Based Approach. American Family Physician, 82 (12).
Whelton, P.K., Carey, R.M., Aronow, W.S., Casery, D.E, Collins, K..J.,
Himmelfarb, C.D., et al. (2017). ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/
APhA/ ASH/ ASPC/ NMA / PCNA Guideline for the Prevention,
Detection, Evaluation, and Management of High Blood Pressure in
Adults. Hypertension 2018;71:e13-e115
Williams B, Mancia G, Spiering W, Rosei EA, Azizi M, Burnier M, et al. (2018).
2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial hypertension.
European Heart Journal. 39(33):3021-3104.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehy339
World Health Organization (WHO). (2021). Guideline for the pharmacological
treatment of hypertension in adults. Geneva: World Health Organization.
World Health Organization (WHO). (2021). Hypertension. Online at
https://www.who.int/news-room/fact -sheets/detail/hypertensio n , accessed
April 15th, 2022.
World Health Organization. (2013). A Global Brief on Hypertension: Silent
Killer, Global Public Health Crisis. Geneva: WHO Press.
World health organization. (2022). Hypertension (online) diakses pada 15 April
2022. https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/hypertension
Yulanda, G., Lisiswanti, R. (2017). Penatalaksanaan Hipertensi Primer. Majority,
6 (1): 25-33.
Zaenurrohmah, D. H., & Rachmayanti, R. D. (2017). Hubungan Pengetahuan
dan Riwayat Hipertensi Dengan Tindakan Pengendalian Tekanan Darah
Pada Lansia. Fakultas Kesehatan Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai