DISUSUN OLEH:
3. Wahyu Setyaningrum
4. Dewi Julianti
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan Makalah Keperawatan Pasien dengan Hipertensi Krisis.
Penyusunan makalah ini menjadi salah satu tugas yang harus mahasiswa
selesaikan sebagai pelengkap mata kuliah keperawatan dewasa. Penyusunan
makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan berbagai pihak yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih sebesar besarnya kepada berbagai pihak yang telah
membantu penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih
terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan agar
makalah ini menjadi lebih baik ke depannya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I .................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................... 5
1.2 Tujuan…………………………………………………………………...7
BAB II ............................................................................................................... .9
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... .9
3
2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................ 18
2.8 Penatalaksanaan................................................................................... 23
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Hipertensi Krisis ... 29
BAB III............................................................................................................... 42
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan angka prevalensi hipertensi pada
penduduk >18 tahun berdasarkan pengukuran secara nasional sebesar 34,11%.
Angka prevalensi di atas diperoleh melalui pengukuran tekanan darah pada
6
responden Riskesdas dengan berdasarkan pada kriteria JNC VII yaitu bila
tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau tekanan darah diastolic > 90 mmHg.
Prevalensi ini lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada tahun 2013 sebesar
25,8% (Pusdatin Kementerian Kesehatan, 2019). Sedangkan, angka kejadian
hipertensi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
pada tahun 2017 mencapai 2812 kasus. Dari keseluruhan angka ini, dapat kita
diketahui bahwa hipertensi telah menjadi masalah kesehatan dunia yang besar
dan memiliki kemungkinan peningkatan yang cepat sehingga tidak bisa dianggap
remeh.
Tingginya angka kejadian hipertensi dipengaruhi oleh dua jenis
factor yang beresiko yaitu yang tidak dapat dikontrol seperti umur, jenis
kelamin, genetik dan riwayat keluarga hipertensi (WHO, 2022). Selain itu,
faktor yang dapat dikontrol diantaranya obesitas, konsumsi alkohol, kebiasaan
merokok dan stress (Nelwan, 2019). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun
2018, prevalensi merokok di Indonesia sebesar 28,8 % pada usia ≥ 10 tahun, dan
konsumsi tembakau (hisap dan kunyah) sebesar 33,8 % pada usia ≥ 15 tahun.
Proporsi minuman beralkohol pada usia ≥ 10 tahun sebesar 3.3 %. Sedangkan
untuk angka kurangnya aktivitas fisik sebesar 33,5 % dan proporsi
obesitas
21,8%. Ini mencerminkan kejadian hipertensi yang akan terus menerus
meningkat jika faktor-faktor gaya hidup tidak dapat dikontrol.
Walaupun hipertensi merupakan penyakit yang kronik, namun dapat
terjadi kondisi di mana tekanan darah meningkat secara akut atau tiba-tiba, yang
disebut krisis hipertensi. Seseorang dikatakan mengalami krisis hipertensi
jika tekanan darah mencapai ≥180/120 mmHg. Kondisi ini bisa berakibat fatal
karena dapat disertai dengan kerusakan organ target, seperti jantung, otak
dan ginjal (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Terdapat 2 jenis krisis hipertensi, yaitu hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi. Yang membedakan keduanya adalah adanya kerusakan organ target.
Pada hipertensi urgensi tekanan darah mencapai ≥180/120 mmHg namun tidak
disertai kerusakan organ target, sedangkan pada hipertensi emergensi
terdapat tanda kerusakan organ target seperti edema paru, iskemia jantung,
7
gangguan neurologis hingga stroke, gagal ginjal akut, diseksi aorta, dan
eklampsia. Terdapat beberapa kejadian yang dapat memicu terjadinya krisis
hipertensi. Penyebab yang
8
paling sering adalah ketidakpatuhan minum obat anti hipertensi. Penyebab sering
lainnya adalah konsumsi obat-obatan simpatomimetik yang mempunyai efek
meningkatkan tekanan darah dan laju jantung (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Gejala yang dapat terjadi antara lain nyeri kepala, pusing, penurunan
kesadaran, sesak napas, nyeri dada, muntah, penurunan produksi urin, dan
gangguan penglihatan. Gejala yang timbul ini bergantung pada organ target yang
terdampak. Pada seseorang yang mengalami peningkatan tekanan darah secara
masif disertai gejala-gejala tersebut, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menegakkan diagnosis hipertensi emergensi dan tentu saja untuk menetukan
penanganan yang tepat (Alley, Schick, & Doerr, 2022).
Hipertensi telah berkontribusi menyumbangkan komplikasi pada
penyebab penyakit kronis yang membebani negara, seperti penyakit jantung,
stroke, penyakit ginjal, yang menghabiskan hampir 30% dana Jaminan Kesehatan
Nasional. Pemerintah telah berupaya mengatasi masalah ini melalui pelaksanaan
program Germas untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
lebih baik, menyadarkan mereka dalam mencegah penyakit dan
membudayakan perilaku hidup sehat (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Oleh karena prevalensi hipertensi yang setiap tahunnya semakin
meningkat dengan disertai komplikasi penyakit kronis. Maka, kita sebagai
perawat memiliki peranan penting dalam penanganan dan perawatan pasien
dengan hipertensi. Faktor terbesar yang berperan dalam memicu
kejadian hipertensi berasal dari gaya hidup. Perawat sebagai edukator dapat
memberikan edukasi pada masyarakat yang berisiko mengalami hipertensi,
skrining dini serta edukasi terkait manajemen hipertensi. Perawat juga harus
memiliki pengetahuan yang adekuat serta keterampilan klinis terhadap kasus
hipertensi krisis, sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima pada
kejadian hipertensi dengan konsep kegawatdaruratan tanpa menimbulkan
komplikasi lebih lanjut.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah
9
1.2.1 Tujuan Umum
Perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien
hipertensi secara komprehensif melalui pendekatan proses asuhan
keperawatan yang professional.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
sedangkan pada hipertensi emergensi terdapat tanda kerusakan organ target
seperti edema paru, iskemia jantung, gangguan neurologis hingga stroke, gagal
ginjal akut, diseksi aorta, dan
12
eklampsia Alley, Schick, & Doerr,
2022).
14
menimbulkan peningkatan tekanan darah mendadak. Kondisi ini dapat
diatasi setelah keluhan membaik tanpa memerlukan penatalaksanaan spesifik
terhadap tekanan darah.
b. Riwayat Keluarga
Faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium.
Berbagai penelitian dan study kasus menguatkan bahwa faktor keturunan
merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi, dimana jika dalam keluarga
ada yang menderita hipertensi 25-60% akan terjadi pada anaknya.
c. Usia
Pasien yang berumur di atas 60 tahun mempunyai tekanan darah di atas
140/90 mmHg akan menyebabkan perubahan alami secara struktural maupun
fungsional pada jantung, pembuluh darah dan hormone. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar (Kemenkes, 2013).
Berdasarkan jurnal epidemiologi hubungan karakteristik dan obesitas sentral
dengan kejadian hipertensi bahwa kelompok hipertensi sebanyak (87,00%)
berusia > 59 tahun., sementara usia ≤ 59 tahun hanya (58,00%) yang hipertensi
(Amanda and Martini, 2018).
15
d. Jenis Kelamin
Hipertensi banyak ditemukan pada laki - laki dewasa muda & paruh
baya. Laki - laki memiliki resiko sekitar 2,3 kali lebih besar untuk menderita
hipertensi lebih awal disebabkan gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah (Kemenkes, 2019). Pada wanita, setelah berusia 55 tahun / yang
mengalami menopause, risiko mengalami hipertensi meningkat akibat faktor
hormonal.
17
darah. Akibatnya arteri menyempit dan perlu tekanan lebih besar untuk
memompa darah ke seluruh tubuh.
b. Diabetes melitus
Glukosa yang merupakan produk hasil pemecahan karbohidrat yang kita
konsumsi, akan diangkut oleh darah ke seluruh tubuh lalu diubah menjadi sumber
energi. Agar glukosa bisa masuk ke dalam sel tubuh dibutuhkan insulin. Pada
kondisi diabetes mellitus, produksi insulin oleh pankreas tidak adekuat, sehingga
menyebabkan glukosa menumpuk di intravaskuler. Kondisi ini akan
mengakibatkan darah terlalu kental karena molekul glukosa yang
berukuran cukup besar banyak berada di dalam intravaskuler. Viskositas darah
yang meningkat ini menyebabkan tahan sistemik semakin besar, sehingga jantung
memerlukan tekanan yang lebih kuat untuk memompakan darah ke seluruh tubuh.
c. Perokok
Racun didalam rokok terutama karbonmonoksida menyebabkan oksigen yang
terikat oleh hemoglobin didalam sirkulasi sedikitdikarenakan afinitas CO (karbon
oksida) lebih tinggi terhadap Hemoglobin jika dibandingkan dengan O2,
sehingga jantung akan mengkompensasi dengan menaikkan heart rate untuk
memenuhi kebutuhan suplay ke jaringan. Untuk mengejar cardiac output yang
optimal maka kenaikan denyut jantung tersebut diikuti dengan peningkatan
kontraktilitas miokard, sehingga tekanan darah akan meningkat pula. Nikotin dari
asap rokok masuk ke tubuh dan diedarkan oleh pembuluh darah. Nikotin yang
masuk sampai otak diperkirakan epinephrin yang mengakibatkan vasokonstriksi,
sehingga akan meningkatkan afterload. Beban afterload yang meningkat
menyebabkan tekanan darah makin tinggi.
e. Sensivitas Natrium
Pemasukan garam yang berlebih dapat menyebabkan retensi air meningkat,
karena sifat garam adalah menarik air (osmosis). Peningkatan retensi air
maka
18
akan menaikkan beban preload sehingga akan menyebabkan daya untuk
melakukan ejeksi semakin besar. Ada juga pendapat yang mengatakan hormon
natriuretik menghambat aktivitas pompa Na-K-ATPase, sehingga akan
mengganggu terjadinya proses potensial aksi di miokard. Terganggunya proses
potensial aksi ini mengakibatkan aktivitas listrik jantung menurun. Sehingga,
suplay O2 ke jaringan hanya mengandalkan efektivitas dari kerja mekanik
jantung, sehingga jantung harus memompa lebih kuat untuk memenuhi
kebutuhan jaringan.
f. Kalium rendah
Apabila tubuh kekurangan kalium, natrium yang berlebihan di dalam tubuh
tidak bisa keluar, sehingga resiko hipertensi meningkat.
g. Alkohol
Resiko hipertensi meningkat dua kali lipat bagi pengkonsumsi alkohol.
h. Stress
Kondisi stres akan menyebabkan aktivasi dari sistem saraf simpatik.
Aktivitas saraf simpatik dihubungkan dengan pengeluaran produksi katekolamin,
akibatnya terjadi vasokontriksi yang akan menurunkan perfusi ke ginjal. Ketika
perfusi ke ginjal menurun, maka ginjal akan memproduksi hormon renin
oleh korteks adrenal. Hormon renin berfungsi untuk mengubah angiotensinogen
dalam darah (diproduksi di ginjal) menjadi angiotensin I. Oleh angiotensin
converting enzyme (ACE) di paru, angitensin I akan diubah menjadi angiotensin
II. Angiotensin II bersifat vasokonstriktor, sehingga akan membuat beban
afterload meningkat. Beban afterload yang meningkat memaksa jatung untuk
memompa lebih kuat untukdapat memberikan suplai ke jaringan. Selain itu
angiotensin II juga memicu diproduksinya hormone aldosteron. Hormon
aldosteron berfungsi dalam mekanisme retensi garam dan air, sehingga akan
meningkatkan beban preload dan afterload.
2.5 Patofisiologi
Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang
timbul akibat interaksi berbagai faktor risiko. Seperti yang telah diketahui bahwa
tekanan
19
darah dihasilkan dari perkalian antara cardiac output dan tahanan resistensi
perifer. Segala bentuk mekanisme yang mempengaruhi kedua hal tersebut
selanjutnya memberikan perubahan pada nilai tekanan darah (Kotchen,
2018). Mekanisme tersebut seperti pada gambar:
20
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler (Chisolm, 2017). Vasokonstriktor didapat juga
dari adanya perubahan pada struktur pembuluh darah dimana terjadi pada usia
lanjut dengan penurunan elastisitas atau penyumbatan pembuluh darah.
Disisi lain, terjadi peningkatan intake sodium akan memicu tertariknya cairan di
ginjal sehingga meningkatkan volume cairan ekstrasel dan meningkatkan tekanan
darah (Aspiani, 2019). Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan
hipertensi.
Gejala darurat yang paling umum akan tergantung pada organ yang
terkena tetapi mungkin termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan, dada, nyeri,
dyspnoea, pusing, dan defisit neurologis lainnya. Pada pasien dengan
ensefalopati hipertensi, adanya somnolen, kelelahan, kejang tonik klonik,
dan kebutaan kortikal dapat mendahului penurunan kesadaran; namun, lesi
neurologis fokal jarang terjadi dan harus meningkatkan kecurigaan stroke.
22
2.6.3 Manifestasi klinis pada hipertensi urgensi yakni (Mancia et al.,
2013)
a. Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan organ
target b. Pada otak ditemukan defek motorik atau
sensorik
c. Pada retina ditemukan keabnormalitasan funduskopi
d. Jantung didengarkan adanya suara jantung 3 atau 4, murmur,
aritmia, lokasi impuls apical, rales pada paru dan edema perifer
e. Pada arteri perifer ditemukan nadi yang hilang, menurun
ataupun asimetris, ekstremitas yang dingin, lesi iskemik kulit
f. Pada arteri karotis didengarkan adanya murmur sistolik
2.7 Komplikasi
Komplikasi karena hipertensi dapat mengenai beerbagai organ vital,
seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit hipertensicerebrovascular,
hipertensi enselopati, dan retinopati (Sylvestris, 2014).
2.7.1 Retinopati
Tekanan darah yang tinggi menyebabkan stenosis pada arteri Renalis yang
memperdarahi ginjal. Hal ini mengakibatkan suplay darah ke ginjal berkurang
sehingga ginjal tidak dapat menjalankan fungsinya.
23
2.7.4 Penyakit Cerebrovaskular
2.7.6 Stroke
24
Gambar Pathway Hipertensi (WOC ) dengan menggunakan Standar Diganosa Keperawatan Indonesia dalam PPNI (2017)
Elastistas arteri-
oskerosis
Sinkrop
Respon RRA Afterload Nyeri dada
e. Berhenti merokok
Menurut penelitian yang dilakukan Sutriyawan dkk (2021), berhenti
merokok mampu menunjukkan penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi,
disertai dengan kebiasan melakukan aktivitas fisik. Keduanya memiliki relasi
yang signifikan terhadap tekanan darah pasien.
2.8.2 Farmakologi
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah >
6
28
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologiyang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu (PERKI, 2015) :
a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
b. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti
pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid. Jangan
mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
d. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
e. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur
29
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan diatas adalah algoritme tatalaksana hipertensi
secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of
Hypertension and the International Society of Hypertension 2013.
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi
obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko. Tabel 6 menunjukkan target nilai tekanan darah yang di
rekomendasikan dalam JNC 7 & JNC 8.
Tabel Rekomendasi Target Tekanan Darah
30
Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah
ditujukan pada pencegahan kematian, infark miokard, stroke, pengurangan
frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target
tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan adalah tekanan darah
sistolik
< 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg. Terapi non
farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan yang
ada adalah pada terapi farmakologi, khususnya pada rekomendasi obat-obatannya
(PERKI, 2015).
31
Gambar Rekomendasi untuk Krisis Hipertensi dan Emergensi
Sumber: Whelton et al (2018)
32
a. Tatalaksana Farmakologi pada Hipertensi Krisis
Aspek spesifik obat anti hiperensi intravena kerja singkat yang
dipergunakan pada hipertensi emergensi memungkinkan penurunan tekanan
darah terkonrol secara gradual dan ketat. Karakteristik efek anti hipertensi
tersebut memungkinkan pengendalian tekanan darah dengan segera bila
terjadi respon penurunan tekanan darah yang berlebihan (Williams et al, 2018).
Dari berbagai pilihan obat pada tatalaksana HT emergensi, tidak didapatkan obat
tunggal yang diketahui lebih superior dibandingkan lainnya. Review sistemik dan
meta-analisis yang dilakukan terhadap obat-obatan anti-HT emergensi
menunjukkan bahwa, hanya didapatkan perbedaan minor pada derajat penurunan
tekanan darah diantara obat-obat tersebut, serta tidak didapatkan perbedaan
morbiditas atau mortalitas (Sarafis & Bakris, 2019). Gambar dibawah ini
menyajikan karakteristik farmakologis obat anti hipertensi emergensi (Williams
et al, 2018).
33
Gambar Tipe obat, dosis dan karakteristik terapi hipertensi emergensi
Sumber: Sarafis & Bakris (2019)
34
Gambar Tatalaksana farmakologi berdasarkan tipe kerusakan organ
target
Sumber: Sarafis & Bakris (2019)
35
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Hipertensi Krisis
2.9.1 Triage
Merupakan suatu sistem atau cara untuk mengidentifikasi dan memilih
prioritas pasien dengan kondisi yang paling berbahaya sehingga dapat
memberikan tindakan segera. Triase bertujuan untuk memastikan pasien
ditangani dalam urutan urgensi klinis yang mengacu pada waktu
kritis pemberian intervensi. Triase juga memungkinkan alokasi pasien ke
area penilaian dan perawatan yang paling tepat (ACEM, 2016). Dalam
memprioritaskan pasien didasarkan pada tingkat kegawatan,
angka harapan hidup dan ketersediaan sumber daya.
Prioritas Kegawatan:
a. Merah: gawat darurat (waktu respon 0-10 menit), contoh kasus: pasien
dengan masalah A-B-C, nyeri dada, cedera kepala berat, syok, kejang,
trauma dada, perdarahan tidak terkontrol, kejang, cedera multiple.
b. Kuning: darurat tidak gawat (waktu respon: 30 menit), contoh
kasus:
nyeri karena gangguan paru, luka bakar, penurunan kesadaran (GCS >
8), diare dengan dehidrasi sedang, panas tinggi.
c. Hijau: tidak gawat tidak darurat (waktu respon: 60 menit),
contoh kasus: luka minor, batuk, dislokasi
d. Hitam: DOA (death on arrival), pasien telah meninggal saat tiba
di
IGD
36
5) Kemungkinan fraktur servikal
37
b. Breathing
Kaji:
1) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
2) Suara nafas melalui hidung atau mulut
3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
c. Circulation (dengan kontrol perdarahan)
Kaji:
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembapan kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
5) Adanya tanda-tanda syok
d. Disability
Kaji:
1) Tingkat kesadaran (AVPU: Alert – Verbal – Pain – Unresponsive)
2) Gerakan ekstremitas (adanya hemiparese dan nilai kekuatan otot)
3) GCS ( Glasgow Coma Scale ) Eye – Motoric - Verbal
4) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya
e. Exposure
Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
2.9.4 Anamnesa
Anamnesa terdiri dari:
a. Identitas pasien: nama, jenis kelamin, suku, pekerjaan
38
b. Keluhan utama: pada krisis hipertensi, biasanya pasien akan
mengeluhkan pusing, kepala berat, nyeri dada, cepat lelah, berdebar-
debar, sesak napas, kelemahan sebagian atau seluruh anggota tubuh atau
bahkan tanpa keluhan (PERKI, 2016).
c. Riwayat penyakit dahulu dan sekarang
d. Riwayat kesehatan keluarga: factor keturunan yang
menyertai e. Riwayat pekerjaan: tingkat stress dan koping
f. Riwayat geografi: lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi
kejadian masalah kesehatan, terutama hipertensi
g. Riwayat alergi: adanya alergi obat-obatan atau
makanan h. Kebiasaan sosial: gaya hidup
i. Kebiasaan merokok: lamanya, frekuensi, respon pasien
39
keadaan pembuluh darah.
Jantung: kaji iktus kordis, getaran, periksa suara dan
batas jantung, bising jantung. Tekanan darah diukur minimal
2 kali dengan tenggang waktu 2 menit dalam posisi
berbaring atau duduk, dan berdiri sekurang setelah 2 menit.
Pengukuran menggunakan yang sesuai, dan sebaiknya dilakukan
pada kedua sisi lengan, dan jika nilainya berbeda maka nilai yang
tertinggi yang diambil.
6) Abdomen: bising, pembesaran ginjal, ascites
7) Ekstremitas: lemahnya atau hilangnya nadi parifer, edema
8) Neurologi: tanda thrombosis cerebral dan perdarahan
40
j. Echocardiogram: tampak adanya penebalan dinding ventrikel
kiri, mungkin juga sudah terjadi dilatasi dan gangguan fungsi sistolik dan
diastolik.
41
2.9.8 Intervensi Keperawatan
Tabel Rencana Asuhan Keperawatan
NO. DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Resiko penurunan a. Keefektifan Pompa Jantung Perawatan Jantung
curah jantung
b. Status Sirkulasi 1. Evaluasi adanya nyeri dada ( intensitas, lokasi, durasi )
berhubungan dengan
c. Tanda Vital 2. Catat adanya distritmia jantung
peningkatan afterload,
vasokontriksi, 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
hipertrofi/rigiditas
4. Monitor status kardiovaskuler
ventrikuler, iskemi Kriteria hasil :
miokard 1. Tanda vital dalam rentang 5. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
normal (tekanan darah,
6. Monitor abdomen sebagai indikator penurunan perfusi
nadi, respirasi)
7. Monitor balance cairan
2. Dapat mentoleransi
aktivitas, tidakada kelelahan 8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
3. Tidak ada edema paru,
9. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia
perifer, dantidak ada
10. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan
asites
4. Tidak ada penurunan 11. Monitor toleransi aktivitas pasien
kesadaran
12. Monitor adanya dyspnea, fatigue, takipnea dan ortopnea
41
13.Anjurkan untuk menurunkan stress
42
14. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
43
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk aktivitas yang di inginkan
5. Bantu untuk mendapatkan alat bantu aktivitas seperti kursi
roda, krek
6. Bantu mengidentifikasi aktivitas yang disukai.
Administrasi Analgesik
1. Tentukan lokasi, karteristrik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
45
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
46
wajah tampak rileks 6. Dorong keluarga untuk menemani pasien
4. Mengungkapkan cemas
7. Lakukan back/neck rub
berkurang
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. TTV dalam batas normal
9. Identifikasi tingkat kecemasan
1 Kesimpulan
Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
tekanan darah melebihi ambang batas normal yaitu tekanan sistolik lebih
tinggi dari 140 mmHg dan diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg secara
persisten pada dua kali pemeriksaan. Pada hipertensi krisis, peningkatan
tekanan darah sistolik mencapai >180 mmHg dan tekanan diastolic >120
mmHg. Hipertensi krisis terjadi secara tiba-tiba dan jika hipertensi tidak
segera ditangani berdampak pada kerusakan organ target.
2 Saran
a. Perawat harus mampu mengkaji secara komprehensif mulai dari
pengkajian sampai evaluasi keperawatan sehingga pasien
hipertensi dapat tertangani dengan tepat dan tidak sampai terjadi
komplikasi yang mengancam organ - organ vital.
b. Perawat dapat meningkatkan kualitas terutama dalam
hal penyuluhan hipertensi yang berkesinambungan baik berupa
brosur ataupun diskusi sehingga morbiditas, mortalitas dan
rehospitalisasi pasien hipertensi dapat diminimalkan.
c. Pemberian asuhan keperawatan dapat melibatkan keluarga
sebagai support sistem. Edukasi dapat diberikan kepada pasien
dankeluarga, agar keluarga mampu terlibat aktif dalam upaya
penyembuhan dan komplikasi yang lebih berat.
DAFTAR PUSTAKA