BAHASA INDONESIA
Kritisisme vs Strukturalisme
Pada dasarnya pertarungan antara Saussure dan Wittgenstein dilatarbelakangi oleh
focus yang berbeda. Saussure memilih sebagai linguis yang kemudian kondang sebagai Bapak
Linguistik Modern, sedangkan Wittgenstein yang kondang sebagai pencetus aliran Filsafat
Bahasa Biasa kemudian dikenal sebagai Bapak Filsafat Kontemporer.
Yang kemudian juga harus dicatat, dalam perkembangannya prinsip Saussure tentang
strukturalisme bahasa lebih dikenal luas di seluruh dunia, dibandingkan prisip kritis
Wittgenstein tenang bahasa biasa atau bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Strukturalisme beranggapan bahwa penelitian yang bercorak kualitatif, mengingat penelitian
kuantitatif disajikan melalui angka dan hitung-hitungan.
Kendati demikian, menyadari bahwa aliran Filsafat Bahasa lebih memiliki prinsip yang
unik, spesifik dan kritis mengenai hakikat bahasa, dan juga memiliki sejumlah metode yang
khas dalam hal analisis bahasa, boleh ditegaskan bahwa aliran Filsafat Bahasa Biasa
merupakan aliran yang lebih mengemuka sejak awal abad ke-20.
Mengingat pembaca buku ini adalah mahasiswa yang hendak atau sedang diarahkan
menuliskarya tulis ilmiah (apa pun bentuknya). Istilah “ilmuwan”, yang disebut pula pandit,
akademikus, sarjana, cendikiawan, intelektual, dan jauh hari, merujuk pada seseorang yang
mempunyai banyak pengetahuan dalam suatu ilmu atau seseorang yang secera mendalam
berkecimpung dalam suatu ilmu.
Mengingat semua pemahaman manusia dilakukan lewat Bahasa, maka menguasai
Bahasa akan menghasilkan gambar yang jauh lebih akurat tentang dunia. Oleh karena itu,
dalam konteks buku ini, kesadaran berbahasa tidak dapat dilepaskan dari persoalan
menafsirkan makna. Hal ini bukan omong kosong, karena Ludwig Wittegenstein, sang tokoh
kunci dibalik kelahiran pengusaan Bahasa tidak ditentukan lagi oleh struktur logisnya
(unsuresiktasis dan gramatikal), tetapi bagaimana penggunaanya dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
Dikatakan demikian, karena Filsafat Bahasa Biasa berniat menjernihkan penggunaan
bahasa dalam filsafat, dalam dunia akademik, dan juga sekaligus dalam kehidupan sehari-hari,
agar sajian bahasa tidak tampil secara ruwet, melingkar-lingkar, membingungkan, atau agar
tidak terjadi keliru empistemologi (keliru pengetahuan) yang menyebabkan bahasa digunakan
hanya sebagai alat kekuasaan bagi sipembicara kepad mitra bicaranya.
Hakikat Bahasa
Menurut aliran Filsafat Bahasa Biasa, pada hakikatnya bahasa adalah Tindakan
manusia dalam memaknai segala realitas. Oleh karena itu, makna kata-kata dalam ungkapan
bahasa selalu berbeda Ketika digunakan di dalam kehidupan.
Dari hal tersebut menurut Wittgenstei dipicu oleh kenyataan bahwa bahasa lebih merupakan
media pengembang pikiran manusia, terutama dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu.
Berbanding terbalik dari prinsip kaum Saussurian yang menegaskan bahwa bahasa harus
tunduk di bawah hukum linguistic yang berkembang sinkron, yang terstruktur, dan serempak
dalam bermasyarakat.
Berdasarkan dari semua hal di atas, sadar berbahasa Indonesia bagi mahasiswa, apa pun bidang
ilmunya, bukan sesuatu yang mengadaada. Dengan harapan sebagai generasi muda pewaris
bangsa kelak menjadi ilmuan yang memiliki pemikiran yang logis, kritis, dan etis dalam menuis
artikel ilmiah dan dapat menyerapnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dikehidupan
sehari-hari.