Anda di halaman 1dari 5

Bahasa Indonesia di tengahPertarunganDuaRaksasa Bahasa

Tirulahperilaku orang bijak- Confusius

Dalambabiniakanmempertunjukan “pertarungan” yang mewarnaieksistesi Bahasa

Indonesia, yang hingga zaman milenialdewasainimasihsajaberlangsung,

terutamadalamkitaemmahamihakikatbangsa.

Pertarungan yang dimaksudterjadiawalabad ke-20 di Eropa, yaitu ketika muncul

perbedaanteorema (prinsip) yang

sangattajamdalammemahamihakikatbahsaantaratokohpencetusaliranstrukturalisme Bahasa asal

LinguistikMoedern, yaituMongin-Ferdinand de Saussure (1857-1913), dantokohaliranFilsafat

Bahasa asaluniversitas Cambridge, Inggris, yaitu Ludwig Wittgenstein (1889-1953),

kemudianamatdikenalsebagaiBapakFilsafatKontemporerpencetusaliran Bahasa Biasa

(Wibowo,2018)

Pertarunga di antarakedua “raksasabahasa” memangtidakterjadisecara frontal.

Selaintidakpernahbertemudalamkontekswaktu yang sama, keduanya juga memilikikonstituen

(pendukung) danwilayahpenyebaran yang berbeda. Pengaruh Saussure

menyebarkewilayahEropadanlatasmenyeberangke Amerika Serikat, sedangkanpengaruh

Wittgenstein “hanya” menyebarkewilayahnegara-negara Anglo Saxon.

Walaupunbegitu, kenyataanhistorisbahwakelahiranaliranpemikirankontemporer yang

telah disebutkan itu lebih dipengaruh oleh priinsip Wittgenstein, dapat ditegaskan bahwa prinsip

Wittgenstein memang lebih memiliki daya aksiologisnya, alias lebih membumi, terkait dengan

nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalam konteks-konteks kehidupanl bagaimana syarakat


pengguna Bahasa merekasehari-hariuntukberpikirdanbertindak. Dalamkaitaninii,

berbedadarikonsep Saussure yang menggarisbawahibahwa Bahasa dapat dilepaskan dari

konteks-konteks kehidupan masyarakat penggunanya, sebaliknya Wittgenstein justru

membuktikan bahwa Bahasa tidak mungkin bisa dilepaskan dari suatukonteks kehidupan

masyarakat penggunanya. Dengan demikian, bagi Wittgenstein, sebuah kata bebas digunakan

dalam kalimat-kalimatnya asalkan kita memahami konteksnya, seperti kata “palu” (hakim) dan

“palu” (tukangkayu). Pada titik ini kentarasekali Wittgenstein ingin menegaskan bahwa masalah

makna adalah sesuatu yang niscaya jika kita berbicara tentang hakikat Bahasa. Apalagi, masalah

makna ini lekat pada masalah etika berbangsa dan bernegara.

Tanpamemahami hale tis dankritis,

apalagidewasainiketikakitaberadadalamkehidupanmilenial, yang diwarnaioleh “tsunami”

informasiakibatperkembanganteknologikomunikasidaninformasi yang gila-gilaan,

sudahpastijatidirikeindonesiaanbangsa Indonesia juga akanlenyapmelesapkedalamnilai-

nilaimondial. Sebagaicatatan, tidakada yang salah, memang, darimodialisasidanmondialismeitu,

apalagigerakantersebutsudahmenjaditrendunia. Olehkarenaitu yang

salahpadaabadMilenialDewasainijustrukitasebagaibangsapenerimaemngunyahnyatanpamencerna

nyamelaluinilai-nilailuhurbangsa.

Kritisisme vs Strukturalisme

Sudahdinyatakan, sebagaisesama ‘ilmuwan” yang meminatimasalahhakikat Bahasa

dalamkehidupan, pertarunganantara Saussure dan Wittgenstein dilatarbelakangioleh focus yang

berbeda.
Menurut van Peursen (1990),

perkembanganilmumenyebabkanmanusiakitamemfokuskanhanyapdadirinyasendiridanberdampa

kpadakiankompleksnyapeneliianilmiah,

sehinggatujuanilmupadaakhirnyamelahirkanpembagianobjek formal ilmu yang

menyesuaikandiridenganobjek material yang hendakdiungkapkanmelaluiilmu-ilmutersebut.

Dampak yang dikatakan van Perseun, dalamkonteksiniamatbertaliandenganeksistensi Bahasa

(Wibowo, 2011). Pasalnya, apa pun jenisaktivitasilmiah yang dilakukanilmuwandanbagaimana

pun kompleksnyapenelitian yang dilakukannya, tidakmungkindilepaskandaripenggunaan Bahasa.

Mengingatsemuapemahamanmanusiadilakukanlewat Bahasa, makamenguasai Bahasa

akanmeghasilkangambar yang jauhlebihakurattentangdunia. Olehkarenaitu,

dalamkonteksbukuini, kesadaranberbahasatidakdapatdilepaskandaripersoalanmenafsirkanmakna.

Hal inimemangbukansekedaromongkososng, karena Ludwig Wittgenstein, sang tokohkunci di

balikkelahranaliranFilsafat Bahasa Biasa,

pernahmenegaskanbahwapadadasarnyamasalahpenguasaan Bahasa

tidakditentukanlagiolehstrukturlogisnya,

tetapibagaimanapenggunaannyadalamkehidupanmanusiasehari-hari.

Hinggamenjelangakhirabad ke-20. PrinsipaliranFilsafat Bahasa

Biasalantasmengilhamikemunculanpelbagaipemikirankritistentanghakikatdanperanan Bahasa,

seperti yang dikembangkanoleh John Wisdom (1904-1993) yang berimigrasidariInggriske

Amerika Serikatdankemudiansuksesmengembangkanpsikoanalisisberdasarkanpemikiran

Wittgenstein.
Topik yang akandigarisbawahiadalanperan Wittgenstein danaliranFilsafat Bahasa Biasa,

mengingatprinsipnya yang unik, spesifik, dankritistentanghakikat Bahasa

dalampertaliannyadenganbahasa yang digunakanmanusiadalamkehidupannyasehari-hari.

Hakikat Bahasa

MenurutaliranFilsafat Bahasa Biasa, padahakikatnya Bahasa

adalahtindakanmanusiadalammemaknaisegalarealitas. Olehkarenaitu, makna kata-kata

dalamungkapan Bahasa selaluberbedaketikadigunakan di dalamkehidupan.

Hal tersebutmenurut Wittgenstein, dipicuolehkenyataanbahwa Bahasa lebihmerupakan

media pengembangpikiranmanusia, terutamadalammengungkapkansealitassegalasesuatu.

Sebagaimanatelahdisinggung, prinsipiniberbedatajamdariprinsipkaumSaussurian yang

menegaskanbahwa Bahasa harustunduk di bawah hokum lingustik yang berkembangsinkron,

yang terstruktur, danserempakdalampelbagaimasyarakat.

Olehkarenaitu, takheranjikaprinsipkritisdannetralaliranFilsafat Bahasa Biasadalammemahami

Bahasa secarahakikidapatdenganmudahditerima di lingkungsnUniversitas Oxford, Inggris.

Mungkinsudahdiketahui , Universitas Cambridge, Inggris, tempatkelahiranaliranFilsafat Bahasa

Biasa, memilikitradisikeilmuan yang amatsangatberbedadariUniversitas Oxford.

Apalagidarisudutontologis, aliranFisafat Bahasa Biasamemanglebihmemperhatikan Bahasa

biasa, Bahasa pergaulansehari-hari, atau Bahasa dalamsituasi yang konkret,

sehinggaprinsipatauteorinyatentanghakikat Bahasa juga tampakkhas,

karenamenganggapunsurbahaBahasaapentingnyadenganduniafenomena. Selainini,
darisudutpandangaksiologis, Fisafat Bahasa Biasaamatcenderungmencarihakikat Bahasa

biasabertaliandengantindakan Bahasa yang mencerminkanmakna-maknatertentu.

Berpijakdarisemuahal di atas, sadarberbahasa Indonesia bagimahasiswa, apa pun

bidangilmunya, bukanlahsesuatu yang mengada-ada.

Benarlah, Bahasa adalahmahkotakehidupan. Sebagaimahkota,

tentusajakitaharusmenjaganyabaik-baik agar kitaselalutegapdanberwibawa

DO NOT COPY

Anda mungkin juga menyukai