terutamadalamkitaemmahamihakikatbangsa.
(Wibowo,2018)
telah disebutkan itu lebih dipengaruh oleh priinsip Wittgenstein, dapat ditegaskan bahwa prinsip
Wittgenstein memang lebih memiliki daya aksiologisnya, alias lebih membumi, terkait dengan
membuktikan bahwa Bahasa tidak mungkin bisa dilepaskan dari suatukonteks kehidupan
masyarakat penggunanya. Dengan demikian, bagi Wittgenstein, sebuah kata bebas digunakan
dalam kalimat-kalimatnya asalkan kita memahami konteksnya, seperti kata “palu” (hakim) dan
“palu” (tukangkayu). Pada titik ini kentarasekali Wittgenstein ingin menegaskan bahwa masalah
makna adalah sesuatu yang niscaya jika kita berbicara tentang hakikat Bahasa. Apalagi, masalah
salahpadaabadMilenialDewasainijustrukitasebagaibangsapenerimaemngunyahnyatanpamencerna
nyamelaluinilai-nilailuhurbangsa.
Kritisisme vs Strukturalisme
berbeda.
Menurut van Peursen (1990),
perkembanganilmumenyebabkanmanusiakitamemfokuskanhanyapdadirinyasendiridanberdampa
kpadakiankompleksnyapeneliianilmiah,
dalamkonteksbukuini, kesadaranberbahasatidakdapatdilepaskandaripersoalanmenafsirkanmakna.
pernahmenegaskanbahwapadadasarnyamasalahpenguasaan Bahasa
tidakditentukanlagiolehstrukturlogisnya,
tetapibagaimanapenggunaannyadalamkehidupanmanusiasehari-hari.
Biasalantasmengilhamikemunculanpelbagaipemikirankritistentanghakikatdanperanan Bahasa,
Amerika Serikatdankemudiansuksesmengembangkanpsikoanalisisberdasarkanpemikiran
Wittgenstein.
Topik yang akandigarisbawahiadalanperan Wittgenstein danaliranFilsafat Bahasa Biasa,
Hakikat Bahasa
karenamenganggapunsurbahaBahasaapentingnyadenganduniafenomena. Selainini,
darisudutpandangaksiologis, Fisafat Bahasa Biasaamatcenderungmencarihakikat Bahasa
DO NOT COPY