Anda di halaman 1dari 10

ATOMISME LOGIS LUDWIG WITTGEINSTEIN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Bahasa

Dosen Pengampu: M. Abdul Halim, M.Ag.

disusun oleh:

Rizki Maulana 1195020131

Rosyidah Khoirul 1195020133

Siti Amaliyah 1195020142

Siti Saadah 1195020144

Susilawati 1195020146

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Pemikirannya

Ludwig Josef Johann Witrgenstein lahir di Vienna pada tanggal 26 April 1988.
Witrgenstein merupakan anak termuda dari delapan bersaudara (lima laki-laki dan tiga
perempuan). Ayahnya berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan
dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya adalah seorang insinyur yang dalam jangka waktu
sepuluh tahun sudah menjadi pempinan suatu industri baja yang besar (Bertens, 1990:39).

Pada tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Pada
tahun 1908 ia melanjutkan studi teknik di Manchester (Inggris). Disana ia mengadakan riset
dalam bidang pesawat terbang, khususnya mesin jet dan baling-baling. Karena untuk teknik
baling-baling perlu banyak pengetahuan tentang matematika, perhatiannya semakin tertarik oleh
matematika dan filsafat matematika.

Sekitar tahun 1912 ia ke Cambridge, untuk studi pada Russell dalam filsafat ilmu pasti dan
logika. Pada permulaan perang (1914) ia menjadi tentara Austria, tapi selam perang itu ia sempat
menyelesaikan bukunya Tractatus Logico-Pholosophicus (dalam Bakker, 1984:121). Yang
diselesaikan pada tahun 1918. Ketika pada tahun yang sama ia dijadikan tahan perang oleh
tentara Italia, naskah bukunya terdapat dalam ranselnya. Masih dalam tahan ia dapat
mengirimkan sebuah kopi naskah ke Russell dan Greget. Dengan perantara Russell ia
dibebaskan pada tahun 1918.

Sejak tahun 1920 ia menjadi guru di Austria Samapi tahun 1926 lalu menjadi arsitek
selama dua tahun. Pada tahun 1929 ia kembali ke Cambridge dan menjadi dosen di Cambridge.
Berdasarkan bukunya Tractatus ia digelari doktor filsafat. Setelah itu ia tidak menerbitkan buku
lagi kecuali kalah untuk kuliah. Tahun 1947-1951 ia hidup di Irlandia, dalam suasana agak
depresi. Beberapa karyanya diterbitkan oleh pengikut-pengikutnyasesudahbia meninggal.
B. Pemikiran Ludwig Wittgenstein tertuang dalam karyanya yaitu:

Wittgenstein terutama dikenal karena paham filsafatnya semasa hidupnya berubah dan
menjadi berbeda secara total sehingga kadangkala orang menyebutnya sebagai Wittgenstein I
dan Wittgenstein II.

a. Tractacus Logico Philosophicus (1922) : Wittgenstein I

Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan secara


padat. Kendatipun untuk ukuran suatu karya filsafat, Tractatus bukanlah sebuah karya tulis yang
panjang, namun isinya memuat dasar-dasar pemikiran dari pengarangnya. Tractatus diterbitkan
tahun 1912 dalam bahasa Jerman; dan tahun 1922 dalam bahasa Inggris. Analisa bahasa telah
mendapat tempat di gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar Wittgenstein mulai
dikenal orang sebagai salah satu tokoh utama “Atomisme Logis” disamping Russel.

Dalam bukunya Tractatus atau lebih dikenal sebagai Wittgenstein I membahas tentang
konsep atomisme logis, bahasa logika, teori gambar, konsep nyata dan konsep formal, serta batas
filsafat. Dalam pengantar Tractatus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa
sebagai penyebab sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan
bahasa itu disebabkan oleh kesalah pahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang
mengakibatkan tidak adanya “tolok ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan
filsafat itu bermakna dan kosong belaka (Khoyin, 2013:79). Oleh karena itu agar terhindar dari
persoalan semacam itu, maka sangat perlu disusun suatu kerangka ideal bagi filsafat. Munculnya
pemikiran seperti ini, adalah sebagai akibat dari ketidak percayaan Wittgenstein terhadap
penggunaan bahasa sehari-hari bagi filsafat. Disini Wittgenstein menganggap bahwa bahasa
filsafat adalah bahasa logika bukan bahasa sehari-hari.

Sebagaimana halnya dengan Russel, Wittgenstein juga bertitik-tolak pada bahasa logika
untuk merumuskan persoalan filsafat (Muntasyir: 1988:52). Salah satu unsur penting sekali
dalam uraiannya adalah apa yang disebut picture theory atau “teori gambar” yang dapat
dianggap sebagai teori makna. Teori gambar yang dikembangkan Wittgenstein ini sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan teori isomorfi (kesepadanan) Russel.
Wittgenstein yang berkeyakinan bahwa bahasa yang digunakan oleh filsuf terdahulu terdapat
kerancuan sehingga sulit dipahami, maka ia mengembangkan filsafat analitik untuk
membenarkan bahasa dari filsuf terdahulu. Salah satu upaya yang dilakukan Wittgenstein untuk
menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat itu yaitu membedakan konsep nyata
dengan konsep formal. Wittgenstein melihat, kerancuan dalam bahasa filsafat timbul karena para
filsuf mencampuradukan pemakaian konsep nyata dengan konsep formal.

b. Philisophical Investigations (1953) : Wittgenstein II

Philosophical Invetigations merupakan karya dari Wittgenstein, buku ini muncul setelah
bukunya yang sangat fenomenal yaitu Tractatus Logico-Philosophicus. Buku ini diterbitkan
untuk pertama kali pada 1953 ( dua tahun setelah kematiannya) dalam teks bahasa Inggris
disamping teks aslinya bahasa Jerman, Philosophical Untersuchung. Berbeda dari karyanya yang
pertama (yang disuguhkan dalam bentuk dalil yang ketat dan rumit) Philosophical Investigation
ini disusun dalam bentuk section yang terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Ada kesan tersendiri yang tampak dalam Philosophical Investigation ini
yaitu, upaya menghindari penggunaan bahasa logika dalam merumuskan konsepsi filsafatnya.

Dalam karyanya yang kedua ada perbedaan yang bisa dikatakan sebagai bentuk penolakan
dari pemikiran yang tertuang dalam buku pertamanya. Penolakan itu terdapat dalam tiga hal
berikut :

a. Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan state of affairs
(keadaan faktual),
b. Bahwa kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu
kejadian faktual, dan
c. Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna,
biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.

Dalam periode keduanya ini Wittgenstein berfokus pada tata permainan bahasa atau
language games. Tata permainan bahasa ini adalah proses mengeluh penggunaan kata, termasuk
juga pemakaian bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan. Konon istilah
permainan tata bahasa timbul sebagai suatu gagasan filsafat ketika suatu hari Wittgenstein
melihat sebuah pertandingan sepak bola. Tiba-tiba melintas dalam benaknya bahwa
sesungguhnya dalam bahasa, kita pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata.

Bagi Wittgenstein, pada periode ini, kalimat akan mendapat maknanya dalam kerangka
acuan language games, yaitu pada banyaknya penggunaan kalimat dalam bahasa sehari-hari.
“Makna sebuah kata bergantung pada penggunaanya dalam kalimat, sedang makna kalimat
bergantung penggunaannya dalam bahasa”. Begitulah kata Wittgenstein. Dengan kata lain makna
kata-kata sangat bergantung pada situasi, tempat dan waktu. Hal ini karena kata-kata itu
memiliki fungsi masing-masingsesuai dengan pemakaiannya (Hidayat, 2009:76). Menurut
Wittgenstein bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan bahasa dan kita perlu
menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa sehari-
hari, yakni bahasa biasa bukan bahasa logika. Karena dalam sebuah permainan ada aturan, maka
dalam pemakaian bahasa pun juga ada aturannya.

Tata permainan bahasa meliputi : “memberi perintah serta mematuhinya, menggambarkan


suatu objek, menyesuaikan suatu objek melalui pemberian, menyusun dan menguji suatu
hipotesa, menuduh hasil suatu percobaan dalam bentuk tabel dan diagram ... .” (Philosophical
Investigation, sect. 23). Setiap permainan bahasa memiliki atauran yang berbeda-beda. Oleh
karena itu mustahil dapat ditentukan aturan umum yang dapat merangkum berbagai bentuk
permainan bahasa tersebut, di sini terlihat penyangkalan Wittgenstein terhadap teorinya sendiri
dalam periode pertama yang menganggap bahwa kata atau kalimat mendapat makna dengan satu
cara saja.

Ada dua aspek yang terkandung dalam analisa bahasa menurut Wittgenstein II, yaitu aspek
penyembuhan (therapeutics) dan cara berfilsafat yang sebaiknya ditempuh (aspek metodis).
Aspek penyembuhan yang diajukan Wittgenstein II serupa dengan pemikirannya pada periode
pertama, yaitu menghilangkan kekacauan dalam bahasa filsafat. Aspek metodis yang
diperlihatkan Wittgenstein II anatara lain ; bertitik tolak pada penggunaan bahasa sehari-hari
dengan meneliti dan membedakan aturan-aturandalam permainan bahasa, menampakkan
jalannya bahasa, analisa bahasa harus berfungsi sebagai metode netral dan tidak ikut “latah”
memberikan penafsiran tentang realitas.
C. Konsep Tractatus Wittgenstein

a. Atomisme Logis

Atom logis adalah relasi tertentu antara subyek dan predikat. Atomisme logis menurut
Rusell yaitu setiap ucapan yang diungkapkan meskipun itu susah bisa direduksikan kepada satu
atau beberapa preposisi atomis dan kebenaran ucapan seluruhnya tergantung pada kebenaran
unsur-unsurnya (Bertens, 2005:197).
Dalam buku Tractatus Logico Philosophicus, Wittgenstein melukiskan latar belakang
teoritis dari atomisme logis tersebut. Inti pemikirannya adalah bahwa realitas harus diselidiki,
bukan secara langsung melainkan lewat bahasa. Sebagaimana bahasa dapat didiasalkan kepada
unsur-unsur terakhir atau atom-atom logis, demikian pula realitas dapat direduksikan kepada
fakta-fakta atomi. Setiap atom logis dalam bahasa sesuai dengan suatu fakta atomis dalam
realitas. Suatu ucapan atomis atau atom logis melukiskan fakta logis, sama seperti suatu gambar
memperlihatkan relasi tertentu antara benda-benda atau objek yang digambarkan. Bahasa
seolah-olah mencerminkan dunia. Karena itu dapat dimengerti bila dikemudian hari pandangan
ini diberi nama picture theory (teori gambar).

b. Logika Bahasa

Di dalam karyanya (Tractatus), filsafat bertujuan untuk mendapatkan penjelasan logis dari
pikiran. Tugas utama filsafat adalah memberikan suatu analisis logis dengan disertai oleh sintesa
logis. Filsafat tidak menghasilkan keterangan-keterangan yang bersifat falsafi, akan tetapi lebih
cenderung kepada penjelasan-penjelasan tentang proposisi. Wittgenstein percaya bahwa bahasa
mencerminkan realitas dan makna merupakan pencerminan realitas melalui bahasa.
Bagi Wittgenstein, proposisi dan permasalahan yang terdapat dalam filsafat tidak bernilai
salah, melainkan tidak terpahami. Persoalan dan proposisi yang diajukan para filsuf terdahulu itu
tidak terfahami karena mereka tidak mengerti bahasa logika. Kita tidak dapat memikirkan
sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan membuat kita berfikir tidak logis.
Suatu logika bahasa yang sempurna mengandung aturan tertentu sehingga dapat menghindari
ungkapan yang tidak bermakna, dan hanya memiliki symbol tunggal yang selalu memiliki makna
tertentu dan terbatas (Wittgensten, 1963: 33-34).
Menurut Wittgenstein bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui akan ucapan-
ucapan di dalamnya tidak bermakna. Melalui bahasa, si pembaca dihantarkan ke suatu titik
dimana dia mengerti bahwa bahasa yang dihantarkannya tidak bermakna. Penolakan
Wittgenstein pada metafisika sebenarnya suatu sikap yang tidak konsisten dengan visi dasar
bahasa yang dilukiskannya sebagai gambaran dunia yang memiliki struktur logis.

- Struktur Bahasa Dan Logika


Sebuah gambaran logis dari suatu fenomena kenyataan adalah sebuah pikiran. Di dalam
sebuah proses, sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat diamati oleh
indra kita. Di dalam sebuah proposisi, sebuah pikiran dapat diungkapkan sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur dari tanda proposisi berkesesuaian dengan objek pikiran. Sebuah
proposisi hanya memiliki satu analisis yang lengkap. Dan proposisi yang memiliki makna
adalah proposisi yang berhubungan dengan sebuah nama, dan nama itu memliki makna
apabila dalam hubungannya dengan sebuah proposisi.. maka dari itu, sebuah pikiran
adalah sebuah proposisi yang bermakna. Dan dari apa yang terjumlah dari berbagai
proposisi adalah bahasa. Sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas (kenyataan
objektif).

c. Teori Gambar

Prinsip isomorfi atau yang biasa disebut dengan teori gambar pertama kali dikemukakan
oleh Betran Rusell yang kemudian dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein. Teori gambar
Wittgenstein pad dasarnya melihat hubungan antara bahasa dan semesta seperti hubungan
lukisan dengan kenyataan luar (realitas dunia). Gambar adalah gambaran semesta dimana
elemen-elemen dalam gambar atau lukisan adalah representasi objek-objek. Gambar yang
dimaksud bukan seperti peta atau foto melainkan logis. Yaitu kesesuaian sebuah gambar dan apa
yang digambarkan lebih dari sekedar visual tetapi juga struktural (Adian & Lubis, 2011:67).
Contoh pemikiran Wittgenatein, pernyataan “Anjimg kepunyaan ibu berbaring di atas
karpet”. Kalimat tersebut mempresentasikan kenyataan luar bahwa memang ada seekor anjing
kepunyaan ibu yang sedang tidur di atas karpet. Rekonfigurasi elemen-elemen linguistic dalam
pernyataan tersebut sama artinya dengan menyusun suatu kenyataan luar yang berbeda.
Rekonfigurasi pernyataan seperti “Karpet kepunyaan ibu berbaring di atas anjing itu” pernyataan
ini berarti mengubah konfigurasi kenyataan luar. Hal tersebut membuktikan bahwasanya bahasa
representasi kenyataan luar yang bukan sekadar visual melinkan juga relasi logis antara objek-
objek tersebut. Untuk menyeleksi penryataan yang bermakna dan yang tidak bermakna
positivism logis mengajukan dua kriteria yaitu pernyataan harus bisa dibenarkan secara definisi
atau tautologis (pernyataan analitik) dan pernyataan harus dapat dibenarkan secara empiris
(pernyataan sintetik)
Terdapat dua unsur utama mengenai teori gambar ini, pertama bahwa proposisi merupakan
sebuah alat dalam bahasa filsafat. Kedua, fakta merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
realitas. Jenis proposisi yang paling sederhana disebut elementer yang menjelaskan suatu bentuk
keberadaan suatu peristiwa atas objek-objek. Unsur-unsur gambar adalah sarana dalam bahasa.
Proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa. Keberadaan peristiwa itu tidak
dapat dinilai benar ataupun salah. Sedangkan proposisi sebagai sarana bahasa yang merupakan
suatu ungkapan menghadirkan peristiwa realitas yang dapat dinilai benar ataupun salah.

d. Konsep Nyata Dan Konsep Formal

Problem filsafat terdahulu adalah adanya campur-aduk dalam penggunaan bahasa, yaitu
antara ungkapan yang mengandung konsep nyata (proper concept) dengan konsep formal
(formal concept). Struktur bahasa yang bermuatan konsep formal dipaksakan untuk masuk ke
dalam pengertian bahasa konsep nyata.
Konsep nyata adalah sebuah tipe yang termasuk memiliki acuan kongkrit. Seperti contoh
meja, spidol, gelas, bangku, kursi, domba dan sebagainya. Sedangkan konsep formal adalah tipe
kata yang mengacu kepada suatu konsep yang bersipat formal yang harus diisi oleh konsep
nyata. Seperti adalah, objek, sesuatu, arti, nama, alamat, makna dan lain sebagainya.
Konsep formal tidak sama dengan konsep nyata, yang hadir melalui suatu fungsi yang
dimilikinya. Keduanya memiliki cirri yang berbeda. Sebab, sifat-sifat formal tidak dapat
menghadirkan fungsinya secara jelas, ia hanya dapat diungkapkan dalam suatu bentuk simbol
yang bersipat pasti (Wittgenstein, 1969: 162).

e. Batas Filsafat

Filsafat tidak menghasilkan keterangan-keterangan filosofis, tetapi lebih cenderung pada


penjelasan tentang proposisi, pernyataan atau ungkapan. Filsafat bertugas untuk memperjelas
atau memberikan batas-batas pengertian yang jelas, karena tanpa filsafat pikiran akan kacau dan
tidak jelas. Dalam penegasan lain, Wittgenstein berupaya keras hendak menentukan kesesuaian
antara struktur bahasa dan struktur realitas (Wibowo, 2021:42). Batas bahasa merupakan
pengetahuan dan bahkan batas realitas yang nyata di dunia ini. Batas filsafat antara lain:
a. Subjek, Karena bahasa merupakan gambaran dunia, subjek yang menggunakan bahasa
tidak termasuk dunia. Sebagaimana mata yang tidak bisa mengarahkan kepada dirinya
sendiri. Demikian juga dengan subjek yang menggunakan bahasa yang tidak mungkin
dapat mengarahkan kepada dirinya sendiri.
b. Kematian, kematian tidak mungkin berbicara tentang kematiannya sendiri, karena
kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan di antara kejadian-
kejadian lain. Kematian manusia seakan memagari dunia manusia tetapi tidak termasuk
di dalamnya.
c. Allah, tidak dipandang sebagai sesuatu yang berada di dalam dunia.
DAFTAR PUSTAKA

Adian, G.D & Lubis, Y.A. 2011. Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan. Penerbit Koekoesan.

Bakker, Anton. 1984. Metode-Metode Filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia

Bertens, K. 1990. Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman. Jakarta : PT Gramedia Pustaka


Utama.

Bertens, K. 2005. Panorama Filsafat Modern. Jakarta Selatan: Teraju

Hidayat, Asep Ahmad. 2009. Filsaat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Tanda, dan Makna.
Bandung : PT Remaja Rossa karya Offset.

Khoyin Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa. Jawa Barat : CV Pustaka Setia.

Malcoml, Norman. 2001. LUDWIG WITTGENSTEIN A MEMOIR. OXFORD :CLARENDON


PRESS (Online)

https://books.google.co.id/books?
hl=en&lr=&id=JfnyUT7Oo_wC&oi=fnd&pg=PP9&dq=Ludwig+Wittgenstein&ots=g_Y8cAGn
Jh&sig=o5uIQge2bF5tfiITTUoopNDUFOE&redir_esc=y#v=onepage&q=Ludwig
%20Wittgenstein&f=false

Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Wibowo, W. 2021. Komunikasi Kontekstual. Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai