Anda di halaman 1dari 31

BAB III B

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA

OLEH : 1. AMELIA SARI ( 180701040 )


2. MEIRANDA AYU NADAPDAP ( 180701044 )
3. NURFITRIANA SIREGAR ( 180701058 )
4. LENNY AUDINA BR SILABAN ( 180701062 )
5. KURNIA ( 180701078 )

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
PRAKATA

Kami dari kelompok BAB III B mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
kami telah menyelesaikan makalah kami dengan tepat waktu. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada Dosen Filsafat Bahasa Prodi Sastra Indonesia yang sudah membimbing kami untuk
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami
menerima segala saran dan kritik yang membangun.

Sabtu, 22 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

PRAKATA.................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................. ii

PEMBAHASAN
H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein........................................ 1
1. Peranan Logika Bahasa........................................................................ 1
2. Pemikiran Filosofis Tractatus............................................................... 1
3. Struktur Logika Bahasa........................................................................ 2
4. Teori Gambar ( Picture Theory)........................................................... 2
5. Tipe-tipe Kata ( Words Thype )............................................................ 3
6. Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika......................................... 4
I. Positivisme Logis..................................................................................... 5
1. Analisis Logis terhadap Bahasa............................................................ 6
2. Prinsip Verifikasi.................................................................................. 7
3. Konsep Proposisi.................................................................................. 8
4. Peranan Logika dan Matematika.......................................................... 9
5. Konsep Positivisme Logis tentang Filsafat........................................... 11
6. Bahasa Universal bagi Seluruh Ilmu Pengetahuan............................... 12
J. Positivisme Logis Alfred Jules Ayer........................................................ 13
K Filsafat Bahasa Biasa ( The Ordinary Language Phylosophy )................. 14
Pemikiran Filsafat Wittgenstein Periode II Phylosophical Investigations. 15
1. Tata Permainan Bahasa ( Language Games )....................................... 15
2. Kritik Wittgenstein atas Bahasa Filsafat............................................... 16
3. Tugas Filsafat....................................................................................... 16
L. Beberapa Filsuf dari Oxford..................................................................... 16
1. Gilbert Ryle.......................................................................................... 16
2. John Langshaw Austin......................................................................... 21
3. Peter Strawson...................................................................................... 26

SIMPULAN.................................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 28

ii
BAB III

FILSAFAT ANALITIKA BAHASA

H. Filsafat Atomisme Logis Ludwig Wittgenstein


Filsuf kelahiran Wina Austria ini memiliki reputasi karya filsafat yang spesifik, karena karya
yang besar yang pernah dihasilkannya yaitu pada periode I dan II memiliki visi yang berbeda bahkan
bertolak belakang. Karya pertamanya terbit dalam majalah ‘Annalen der Naturphilosophie’ pada tahun
1912 dengan judul ‘Logisch Philosophische Abhandlungen’ (ulasan-ulasan logis dan filosofis).
Karya besar Wittgenstein yang merupakan ulasan filosofis yang ketat tentang filsafat
atomisme logis berjudul “Tractatus Logico Philosophicus”’ ( Bertens. 1981:39). Pada karyanya yang
kedua ini ia murtad dari doktrin atomisme logis, konsepnya tidak lagi setia terhadap pemikirannya
yang pertama bahkan bertolak belakang, karena ia menemukan prinsip-prinsip kebenaran baru. Uraian
dalam buku ini berupa uraian-uraian singkat yang merupakan suatu proposisi, yang secara sistematis
diberi nomor.
 Peranan Logika Bahasa
Dalam Tractatus ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dan
pikiran. Tugas filsafat ialah membuat jelas dan batas-batas pengertian yang jelas.
Pemikiran Wittgenstein dalam bukunya itu telah menggunakan suatu logika bahasa
yang sempurna. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian unsur-unsur bahasa seperti kata
dan kalimat dilakukan secara tepat, sehingga setiap kata hanya memiliki suatu fungsi tertentu
saja, dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual ( fakta ) tertentu saja. Suatu
logika bahasa yang sempurna mengandung aturan sintaksis tertentu sehingga dapat
menghindari ungkapan yang tidak bermakna, dan memiliki simbol tunggal yang selalu
memiliki makna tertentu dan terbatas.
Wittgenstein juga menegaskan bahwa tugas filsafat adalah melakukan analisis tentang
ungkapan-ungkapan, problema-problema serta konsep-konsep dengan menggunakan bahasa
yang memiliki struktur logika.
 Pemikiran Filosofis Tractatus
Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus terdiri atas pernyataan-
pernyataan yang secara logis memiliki hubungan yaitu:
1) Dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan
akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik
( khas ).
2) Setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi suatu fungsi
kebenaran yang tertentu secara unik ( khas ) dari sebuah proposisi elemensial yaitu
setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.

1
Menurut Wittgenstein sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan peristiwa yaitu
bagaimana objek-objek itu memiliki interrelasi, hubungan kausalitas, kualitas, aksi, kuantitas,
ruang, waktu dan keadaan. Misalnya suatu ruang kuliah itu bukanlah hanya objek-objek saja
seperti empat dinding, dua pintu, sepuluh jendela dan plavon, melainkan suatu keberadaaan
peristiwa yaitu bagaimana kedudukan pintu di antara dinding-dinding, letak jendela di depan
pintu pertama, enam jendela terletak disebelah kiri ruang dan empat jendela terletak di sebelah
kanan ruangan dan lain sebagainya.
 Struktur Logika Bahasa
Sebuah proposisi dasar ( elementer ) itu adalah sebuah proposisi yang tidak dapat
dianalisis lagi menjadi proposisi-proposisi lebih lanjut dan lebih asasi ( basic ), sebagaimana
halnya sebuah fakta atomis adalah sebuah fakta yang tidak terdiri atas fakta-fakta lebih lanjut
dan lebih asasi. Menurut Witgenstein bahwa bagian terakhir dari segala sesuatu itu terpancang
di dalam hakikat sesuatu itu. Wittgenstein kemudian berpendapat bahwa setiap proposisi itu
harus dapat dianalisis menjadi proposisi-proposisi dasar, karena masuk akal bilamana kita
menganggap bahwa hanya proposisi dasarlah yang bebas dari segala macam makna ganda dari
segala kemungkinan salah paham atau salah arti.
Proposisi-proposisi dasar adalah bangunan akhir dari bahasa karena jumlah dari
keseluruhan proposisi itu adalah bahasa. Jikalau tidak ada objek maka fungsi dari proposisi-
proposisi dasar hanya akan terdiri atas istilah-istilah yang tidak mempunyai arti, dan dengan
demikian menjadi tidak berarti atau tidak bermakna.
Sebuah proposisi dasar membenarkan suatu fakta-fakta karena sebuah fakta itu adalah
keberadaan suatu peristiwa . Oleh karena proposisi dasar itu adalah bagian akhir dari
proposisi-proposisi, dan keseluruhan proposisi adalah bahasa. Dunia adalah keseluruhan dari
fakta-fakta, maka suatu kesimpulan logis yang dapat ditarik adalah bahwa kebenaran dari
dunia ini hanya dapat dinyatakan dalam bahasa.
Dengan demikian struktur logis dunia terungkapkan melalui bahasa yang memiliki
kesesuaian dengan struktur logis dunia.
 Teori Gambar ( Picture Theory )
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia. Hal itu diungkapkan
Wittgenstein dalam “Tractatus” sebagai berikut:
“ Sebuah proposisi itu adalah gambaran realitas ( kenyataan ) dunia. Sebuah proposisi
itu adalah sebuah contoh dari kenyataan yang kita bayangkan ”.
“Proposisi itu adalah gambaran realitas dunia maka jika saya memahami proposisi itu
berarti saya memahami keadaan suatu peristiwa secara faktual yang dihadirkan
melalui suatu proposisi tersebut. Demikian juga dengan mudah saya dapat memahami
propposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi suatu pengertian yang terkandung
didalamnya “.

2
Struktur logika bahasa yang digunakan Wittgenstein dalam mengungkapkan suatu
realitas dimaksudkan untuk mengatasi kekaburan-kekaburan, sehingga dalam memahami
realitas dunia manusia hanya akan memberikan suatu keputusan benar atau salah, bermakna
atau tidak bermakna ungkapan yang menjelaskan dunia.
Unsur-unsur gambar adalah sarana dalam bahasa, sebagaimana unsur-unsur bahasa
misalnya kata, frasa, klausaa, maupun kalimat. Adapun unsur-unsur realitas yaitu suatu
keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian
terdapat dua unsur utama yang mendukung teori gambar tersebut, yaitu :
 Proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat
 Fakta yang ada dalam realitas.
Proposisi merupakan suatu gambaran keadaan suatu peristiwa, maka keberadaan suatu
peristiwa itu tidak dapat benar atau salah, adapun proposisi sebagai sarana yang dapat berupa
suatu ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yang dapat
dikenakan kualifikasi benar atau salah ( Bertens, 1981 : 44). Maka sebuah proposisi memiliki
dua macam kutub yaitu suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau berkesesuaian dengan
suatu keberadaan peristiwa, dan sebaliknya sebuah proposisi mengandung suatu kesalahan
manakala tidak berkesesuaian dengan keberadaan suatu peristiwa ( Wittgenstein, 1969 : 94 ).
Konsep Wittgenstein tentang teori gambar yang menjelaskan tentang hubungan antara
proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu peristiwa,
selanjutnya akan nampak sikap pandangannya tentang realitas fakta dengan unsur metafisik
yang hal itu ditolak oleh Wittgenstein.
 Tipe-tipe Kata ( Words Types )
Dalam upaya penerapan metode analisis bahasa Wittgenstein menerapkan beberapa
teknik untuk menganalisis makna bahasa, antara lain dengan menganalisis tipe-tipe kata. Pada
tingkatan reduktif Wittgeinstein sependapat dengan Russell dengan cara menganalisis unit-
unit bahasa sampai pada unsurnya yang terkecil atau sampai unit yang terkecil yang memiliki
susunan logis. Suatu satuan ungkapan bahasa yang memiliki struktur sintaksis yang sama,
dapat berbeda susunan logisnya.
Perbedaan itu dapat terjadi karena memiliki susunan satuan kata yang menyusun
kalimat tersebut. Dalam penentuan tipe-tipe kata inilah perlu dibedakan pengertian konsep
nyata, yaitu tipe kata yang termasuk memiliki acuan kongkrit seperti : meja, kursi, mobil,
tongkat, bola, dan sebagainya. Kedua tipe kata yang termasuk pengertian konsep formal, yaitu
termasuk tipe-tipe kata yang mengacu pada suatu konsep yang bersifat formal dan hal ini
sebenarnya menurut Wittgenstein bukanlah merupakan suatu konsep, hal tersebut termasuk
pengertian nama variabel, yaitu yang harus diisi oleh konsep nyata ( Charlesworth, 1959 : 81).
Problema-problema filsafat timbul karena kekacauan para filsuf dalam penggunaan
bahasa, yaitu mencampuradukkan pemakaian ungkapan konsep nyata dengan konsep formal.

3
Menurut Wittgenstein struktur bahasa yang terdapat dalam konsep formal itu digunakan
secara paksa untuk mengikuti struktur bahasa yang serupa dengan konsep nyata.
Pengembangan lebih lanjut tentang tipe-tipe kata tersebut dilakukan oleh Wittgenstein
pada filsafatnya pada periode kedua yaitu pada teori language game, yang dalam
kenyataannya visi dasar filosofinya sangat berbeda bahkan dapat dikatakan berlawanan.
Demikianlah kiranya upaya Wittgenstein dalam mengembangkan bahasa ideal dalam konsep
filsafatnya yang dalam kenyataannya bertolak dari dasar-dasar yang berbeda pada konsep
filosofinya pada periode pertama yang mendasarkan pada struktur logis bahasa, adapun pada
konsep filosofinya pada periode kedua Wittgenstein mendasarkan pada language game.
 Pandangan Wittgenstein tentang Metafisika
Berdasarkan pada pandangannya tentang struktur hakikat realitas dunia yang
diungkapkan melalui ungkapan bahasa yang disebut proposisi, maka menurut Wittgenstein
proposisi yang bermakna adalah proposisi yang menggambarkan suatu realitas dunia yang
memiliki struktur logis. Sehingga struktur logis dunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa
dan proposisi yang melukiskan suatu realitas dunia inilah yang merupakan suatu propposisi
yang sejati.
Berdasarkan pandangan filosofinya maka teori gambar memiliki konsekuensi logis
menolak proposisi-proposisi metafisis karena menurut Wittgenstein proposisi tersebut tidak
bermakna. Ketidakbermaknaan proposisi metafisis tersebut didasarkan atas teorinya bahwa
proposisi tersebut tidak mengungkapkan apa-apa atau dengan kata lain bersifat “ omong-
kosong “.
Menurut Wittgenstein metafisika melampaui batas-batas bahasa. Metafisika
mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan, namun demikian Wittgenstein menyatakan
bahwa memang terdapat hal-hal yang tidak dapat dikatakan yaitu hal-hal yang bersifat mistis.
Hal-hal yang melampaui batas-batas bahasa tersebut menurut Wittgenstein adalah subjek,
kematian, Allah dan bahasa sendiri.
1) Karena bahasa merupakan gambar dunia, subjek yang menggunakan bahasa tidak
termasuk dunia, sebagaimana mata tidak dapat diarahkan pada diri sendiri. Demikian
juga subjek yang menggunakan bahasa tidak mungkin diarahkan pada dirinya sendiri.
2) Demikian juga kematian tidak mungkin juga berbicara tentang kematiannya sendiri,
karena kematian tidak merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan di antara
kejadian-kejadian lain. Kematian manusia seakan-akan memagari dunia manusia
tetapi tidak termasuk di dalamnya.
3) Juga Allah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu di dalam dunia. Tidak dapat
dikatakan pula bahwa Allah menyatakan dirinya dalam dunia. Wittgenstein
bermaksud bahwa tidak pernah suatu kejadian dalam dunia dapat dipandang sebagai “
campur tangan “ Allah. Sebab kalau demikian, maka Allah bekerja sebagai sesuatu

4
dalam dunia. Akibatnya kita tidak dapat berbicara tentang Allah dengan cara yang
bermakna.
4) Yang paling paradoksal adalah pendapat Wittgenstein bahwa bahasa tidak dapat
bicara tentang dirinya sendiri. Bahasa menggambarkan dunia, akan tetapi suatu
gambar tidak memantulkan dirinya sendiri. Oleh karena itu Wittgenstein
berkesimpulan bahwa orang yang mengerti Tractatus akan mengakui bahwa ucapan-
ucapan di dalamnya tidak bermakna.
Penolakan Wittgenstein pada metafisika sebenarnya merupakan suatu sikap yang
tidak konsisten dengan visi dasar bahasa yang dilukiskannya sebagai gambaran dunia yang
memiliki struktur logis. Hal ini sebenarnya sudah merupakan suatu keyakinan metafisik
ontologik tentang hakikat dunia. Selain itu pendapatnya tentang hakikat bahasa bahwa seakan-
akan hanya merupakan suatu struktur fisis dan logis, dan dalam masalah ini ia lupa bahwa
dalam berbagai hal ia menunjukkan bahasa yang bermakna, yang berarti mengakui bahwa
terdapat unsur metafisik dari bahasa yaitu makna.

I. Positivisme Logis
Positivisme merupakan perkembangan lanjut dari aliran empirisme. Seperti yang kita ketahui
bahwa empirisme telah menjadi sumber filosofis bagi positivisme, terutama pada masalah pandangan
objektiv mereka terhadap ilmu pengetahuan. Empirisme yang didukung filsuf Inggris ini (Locke,
Hume, Berkeley) meyakini bahwa realitas adalah segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh indera.
Lebih dari itu, seiring dengan perkembangan zaman, positivisme mengembangkan paham empiris ini
lebih ekstrim lagi, yakni menyatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif
atau sains yang berangkat dari fakta-fakta empiris.
Dalam perkembangannya, pada abad ke-20 M muncullah sebuah aliran filsafat ilmu
pengetahuan yakni positivisme logis, dimana positivisme logis (neopositivisme) ini berkembang di
Lingkungan Wina, Austria. Diantara tokoh positivisme logis yang akan penulis bahas pada paper ini
adalah Alfred Jules Ayer. Penulis rasa perlu untuk mengemas pemikiran A.J Ayer dalam makalah ini
karena beliaulah yang berperan besar dalam perkembangan positivisme logis. A.J. Ayer-lah yang
memperkenalkan positivisme logis yang berkembang di Lingkungan Wina untuk dikenalkan di
negara-negara lain yang berbahasa Inggris.
Munculnya Neo-Positivisme atau Positivisme Logis, berhubungan erat dengan Lingkungan
Wina, yakni suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ahli Matematika,
Logika dan Sains. Gerakan filsafat ini dirintis oleh Moritz Schlik (1882-1936) pada tahun 1924 yang
berpusat di Wina, suatu kota sekaligus sebagai pusat kelompok yang terkenal dengan nama Vienna
Circle atau disebut dengan Mazhab Wina (Kring Wina). Anggotanya antara lain: Kurt Goedel, Hans
Hahn, Karl Menger (ketiga-tiganya ahli matematika), Victor Craft seorang filofos, Rudolf Carnap
seorang ahli matematika dan fisika serta beberapa mahasiswa antara lain: Friedrich Wismann Herbert

5
Feigl (Bertens: 1983). Aliran ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ludwig Wittgenstein, sekalipun
Wittgenstein tidak ikut aktif dalam kelompok tersebut. Pendirian filosofis kelompok lingkungan Wina
ini sangat diwarnai oleh ilmuilmu pengetahuan positif, terutama pemikiran Auguste Comte tentang
kritiknya atas agama dan metafisika sebagai sumber kebenaran (Patterson; 1971) dan dipengaruhi pula
oleh tradisi empirisme David Hume dan analisis logis Russell.
Verhaark menegaskan bahwa adanya pengaruh tiga arah dalam tubuh positivisme logis, yakni:
pertama, dari empirisempirisme dan positivisme, terutama Hume, Mill dan Mach. Kedua, dari
metodelogi empiris yang dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, misalnya
Helmholrz, Mach, Poincare, Einstein dan lain-lain. Ketiga, perkembangan logika simbolik yang
dikembangkan terutama oleh Frege Whithead, Russell dan Wittgenstein (Wittgenstein; 1997). Salah
satu tujuan dari gerakan ini adalah ingin memperbaharui positivisme klasik Auguste Comte, sekaligus
memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dari sekian banyak pengikut aliran ini, Ayer dipandang
paling memiliki momentum dalam menyatakan gagasannya. Lambat laut mengalami serangkaian
modifikasi sebagai jalan menutupi kelemahan-kelemahan yang ada. Verifikasi sebagai kriteria
keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam verifikasi prinsip, komfirmabilitas yang
akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam
penerimaan suatu pernyataan ilmiah. Pada saat yang sama basis faktual diperluas, dari pencerapan dan
kelaporan serta pengamatan ke bahasa empiris. Positivisme dewasa ini pembicaraannya berkenaan
dengan 3 (tiga) komponen bahasa, yakni bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah
korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggaris bawahi penegasannya
bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataanpernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-
pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Ayer mencoba mengintrodusir pemikiran positivisme logis yang berkembang di lingkungan Wina dan
mensintesakan dengan metode yang dipakai oleh Moore dan Russell. Kelihatannya Ayer memiliki
corak tersendiri dalam menciptakan klarifikasi dan ketelitian dalam bidang filsafat. Ia juga
meneruskan tradisi empiris Inggris terutama Hume dan titik tekannya pada analisis logis versi
Bertrand Russell.
 Analisis Logis terhadap Bahasa
Secara prinsip positivisme logis menerima konsep-konsep atomisme logis terutama dalam
hal analisis logis melalui bahasa, walaupun mereka menolak visi dasar metafisisnya.
positivisme logis terutama memperhatikan dua masalah yaitu : (1) analisis pengetahuan dan
(2) pendasaran matematika dan ilmu pengetahuan alam demikian juga terhadap psikologi dan
sisiologi.
Menurut positivisme logis filsafat tidak memiliki satu wilayah ilmiah tersendiri yang
terletak disamping wilayah-wilayah lain yang menjadi objek ilmu pengetahuan. Filsafat tidak
menyoroti problema-problema yang berbeda dari problema-problema ilmu pengetahuan.

6
Tugas filsafat adalah analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. oleh karena itu tidak dapat
diharapkan bahwa filsafat akan memecahkan problema-problema ilmu pengetahuan ilmiah,
kecuali hanya menganalisis masalah-masalah dan disusul dengan menjelaskannya. Dengan
demikian sebenarnya banyak problema tradisional yang dibicarakan dalam filsafat sebenarnya
hanya problema yang semu saja yang dinampakkan seolah-olah merupakan suatu problema
yang amat penting pada hal penjelasan analitis menunjukkan suatu kepalsuan. Demikian pula
terdapat problema-problema lain yang karena penjelasan yang sama dinyatakan termasuk
kompetensi ilmu pengetahuan
Atas dasar pemikiran tersebut maka kaum positivisme logis menentukan sikap bahwa
agar tidak terjadi kekacauan maka analisis terhadap bahasa yang digunakan dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat merupakan langkah yang paling tepat.
 Prinsip Verifikasi
Sebagaimana kita ketahui bahwa konsep-konsep dasar dari pemikiran positivisme
logis sangat diwarnai oleh logika, matematika serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat
positif dan empiris, maka sudah dapat dipastikan bahwa analisis logis tentang pernyataan-
pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat ditentukan oleh metode ilmu
pengetahuan positif dan empiris tersebut. Dalam pengertian inilah maka positivisme logis
mengembangkan prinsip verifikasi. Di dalam bukunya, Ayer merumuskan prinsip verifikasi
sebagai berikut:
“We say that a sentence is factually significant to any given person, if, and only if, he
knows what observations would lead him, under certain conditions, to accept the propotition
as being true, or reject it as being false. If, on the other hand the putative proposition is of such
a character that assumption whatsoever concering the nature of his future experience, then, as
far as he is concerned it is, if not a tautology, a mere pseudo-proposition. The sentence
expressing it may be emotionally significant to him, but it is not literary significant” (Ayer,
1952 : 48).
Berdasarkan pernyataan Ayer di atas dapat dijelaskan bahwa pada hakikatnya prinsip
verifikasi bermaksud untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dan bukan
untuk menentukan suatu kriteria kebenarannya. Sebuah ungkapan kadangkala dapat benar dan
kadangkala dapat juga salah, namun ungkapan tersebut tetap bermakna. Suatu ungkapan itu
bermakna menurut Ayer, bilamana ungkapan tersebut merupakan pernyataan observasi yang
menyangkut dengan realitas inderawi. Dengan kata lain bermakna apabila dilakukan dengan
observasi atau verifikasi. Oleh karena itu, dalam hal ini membutuhkan fakta atau data empiris
(Stumpf; 1982).
Berbeda dengan tokoh-tokoh lingkungan Wina, Ayer menekankan dua bentuk
verifikasi, yakni verifikasi dalam arti ketat (strong variable) dan verifikasi dalam arti lunak.
Verifikasi dalam arti ketat memberi arti kebenaran suatu proposisi didukung oleh pengalaman

7
secara meyakinkan. Sedangkan, verifikasi dalam arti lunak, suatu proposisi yang hanya
mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau pengalaman yang memungkinkan. Kaum
positivisme logis menganggap bahwa sesuatu itu bermakna apabila dapat diuji kebenarannya.
Pengujian ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni proposisi analitik (analisis logis) dan
proposisi empirik.
Proposisi analitik, kebenaran atau ketidak benaran tidak didasarkan pada pengalaman,
melainkan pada pengujian proposisi-proposisinya. Proposisi analitik yakni; pertama, proposisi
yang benar melalui pembatasan, semata-mata berdasarkan susunan simbol-simbolnya, yang
sering dijumpai dalam matematika. Kedua, proposisi yang tidak didasarkan pada pengalaman,
melainkan pada “apriori” (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis). Ketiga,
proposisi yang mengandung kepastian dan keniscayaan “tautologi” (suatu pernyataan yang
secara logis mesti benar). Keempat, proposisi yang mengandung makna sejauh didasarkan
pada penggunaan istilah yang pasti, maknanya terletak pada bahasa dan ungkapan verbal.
Observasi empirik, proporsisi ini ini lebih mudah dipahami, karena ia dikaitkan langsung
dengan pengalaman yang pasti atau yang mungkin. Menurut Ayer, “proporsisi empirik adalah
seluruh hipotesa yang mengandung kemungkinan untuk disahkan atau ditolak (confirmated or
discredited) dalam pengertian pengalaman yang sebenarnya” (Hudson; 1976).
 Konsep Proposisi
Doktrin yang telah dipegang teguh oleh kalangan positivisme logis adalah bahwa
tugas filsafat adalah untuk menentukan dan membuat jelas pernyataan-pernyataan atau
proposisi-proposisi dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Oleh karena itu filsafat harus
melakukan analisis logis terhadap pernyataan-pernyataan dan proposisi-proposisi dalam ilmu
pengetahuan dan filsafat. Oleh karena ungkapan yang dikemukan dalam ilmu pengetahuan dan
filssafat merupakan proposisi-proposisi maka penentuan macam dan jenis proposisi tersebut
menjadi sangat penting.
Terdapat dua macam proposisi menurut positivisme logis yang pengertiannya sebagai
berikut :
 Proposisi empiris, yaitu proposisi faktual yang harus dapat diverifikasi secara
empiris. menurut ayer proposisi empiris manakala mengandung suatu kemungkinan
untuk disahkan atau ditolak dalam pengertian pengalaman yang sebenarnya.
 Proposisi formal (proposisi analitis), yaitu proposisi yang kebenarannya tidak
memerlukan verifikasi secara empiris. proposisi formal ini meliputi proposisi logika
dan matematika yang memiliki kebenaran secara pasti (kebenarannya bersifat
tautologis) sehingga tidak memerlukan verifikasi pengalaman empiris.

8
Dalam pembahasannya tentang proposisi Ayer memberikan bebeapa ciri-ciri yang
diuraikan sebagai berikut :
 Proposisi analitis memiliki ciri benar berdasarkan pembatasan semata-mata
berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan simbolnya.
 Proposisi analitis tidak berdasarkan pada pengalaman, melainkan berdasarkan pada
pengetahuan a priori (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis tanpa melalui
pengalaman empiris),sehingga tidak memerlukan verifikasi empiris.
 Proposisi analitis mengandung kepastian dan keniscayaan yaitu memiliki sifat
kebenaran tautologi, yaitu suatu pernyataan yang mesti benar Berdasarkan hukum-
hukum logika.
 Proposisi analitis mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didasarkan
pada penggunaan istilah yang pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau
ungkapan-ungkapan berbal (Charlesworth, dalam mustansyir 1987 : 73).
Proposisi analitis yang semata-mata benar berdasarkan simbolnya adalah dalam
matematika, misalnya "9+8=17" adalah proposisi matematika yang kebenarannya berdasarkan
simbol yaitu "9+8" adalah sama dengan "17".
Kebenaran preposisi analitis yang didasarkan pada pengetahuan a priori, berarti
penjelasan yang sama merupakan pegangan bagi setiap kebenaran a priori lainnya.
Pengetahuan yang kita peroleh berdasarkan suatu refleksi logis (a priori) mengenai pengertian
bahwa "setiap spesialis mata adalah seorang dokter mata", hal itu tergantung pada fakta bahwa
simbol "dolter mata" itu secara logis sama artinya dengan "spesialis mata"
Proposisi analitis mengandung kepastian dan keniscayaan yang bersifat tautologis,
berarti terdapat suatu hubungan yang memang sudah semestinya. "misalnya semua manusia
pasti mati". Pernyataan semacam ini merupakan tautologi, Karena "mati" itu merupakan sifat
yang sudah semestinya ada pada setiap manusia.
Proposisi yang didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti artinya, proposisi
tersebut tidak memiliki kandungan yang faktual. Dan hal itu berarti tidak ada pengalaman
yang akan membuktikan ketidakbenarannya (Ayer, 1952 : 85)
Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan moder dewasa ini konsep proposisi
menurut positivisme logis ini menjadi kata kunci untuk mendapatkan suatu kebenaran ilmiah
yang objektif. Persoalannya adalah ilmu pengetahuan itu beraneka ragam corak dan sifatnya
baik berdasarkan objek forma mauoun objek materianya. Oleh karena itu akan timbul suatu
persoalan yang semakin rumit bagi ilmu-ilmu pengetahun yang memiliki sifat kualitatif.
 Peranan logika dan matematika
Peranan positivisme logis yang tokoh-tokohnya terdiri atas pakar-pakar pada bidang
ilmu pengetahuan alam dan matematika maka sudah dapat dipastikan mereka menaruh
perhatian yang khusus terhadap logika dan matematika dalam pemikiran filsafatnya. Sejak

9
pertengahan abad ke-19 logika mengalami suatu pembaharuan yang radikal. Perbedaan antara
logika modern dengan logika tradisional (logika klasik) ialah (1) penggunaan simbol-simbol
menurut analogi dengan matematika, dan (2) bertambahnya wilayah-wilayah pembahasan
yang sama sekali baru. pembaharuan logika ini dirintis oleh ahli-ahli matematika. Mereka
mengalami jalan buntu dalam mengkostruksikan matematika secara rigorus atas dasar logika
tradisional. Relasi-relasi dalam matematika tidak dapat ditangani dengan menggunakan
sistem logika tua,yaitu subjek, kopula dan predikat. Oleh karena itu ia harus mengembangkan
suatu teori logis yang baru, yang menyoroti relasi-relasi lain. Suatu usaha yang
mengkonstruksikan matematika dengan memakai logika baru yaitu karya Bertrand Russel dan
A. Whitehead yang sangat penting yaitu Principia mathematica. Logika baru dan
hubungannya dengan matematika memainkan peranan yang amat penting bagi pendukung
positivisme logis yaitu mazhab lingkungan wina, sebab dengan demikian mereka menjadi
lebih memahami dengan baik kedudukan khusus logika dan matematika dalam ilmu
pengetahuan.
Dalam abad ke-19 John Stuart Mill dan Herbert Spencer melontarkan suatu
percobaan untuk mendasarkan logika dan matematika atas pengalaman. percobaan itu
dimaksudkan untuk mensintesakan prinsip logika dan matematika dengan tradisi empirisme,
dan dalam kenyataannya pada saat itu mendapat sambutan yang sangat positif. Namun
walaupun demikian bagi pengikut lingkungan Wina nampaknya masih belum merasa
memuaskan karena mereka terbiasa dengan logika baru dan karena matematika dapat
diasalkan kepada logika itu. Maka menurut mereka tidak mungkin logika dan matematika
mempunyai dasar empiris, melainkan harus bersifat lain. Logika dan matematika tidak dapat
diubah oleh pengalaman-pengalaman baru. Prinsip-prinsipnya berupa a priori tidak tergantung
pada pengetahuan empiris.
Logika dan matematika yang bersifat a priori, tentu tidak merupakan pendirian baru
(rasionalisme dan kritisisme misalnya telah lama memperkenalkan hal itu). sesuatu yang baru
dilihat oleh positivisme yaitu hubungannya dengan empirisme. mereka melihat jalan keluar
dari dilema palsu atau meninggalkan empirisme (karena logika dan matematika tidak dapat
diasalkan kepada pengalaman), atau menyalahtafsirkan logika dan matematika karena orang
mau mengasalkan kepada pengalaman. Logika dan matematika tidak mengatakan apapun
tentang realitas empiris. Dua ilmu ini hanya menyatakan relasi-reasi pikiran. Ungkapan-
ungkapan logika dan matematika bersifat analitis belaka dan bukan sintetis, atau menurut
istilah Wittgenstein bahwa ungkapan-ungkapan logika dan matematika bersifat tautologi.
Tetapi semua ungkapan realitas empiris bersifat sintetis, berarti dilakukan atas dasar
pengalaman. Dengan demikian empirisme dibatasi pada pengetahuan tentang fakta-fakta saja
dan tidak berlaku bagi setiap macam pengetahuan (Bertens,1981 : 170).

10
 Konsepsi positivisme logis tentang filsafat
Bertolak dari prinsip-prinsip dasar yang dikembangkannya dalam filsafat yang tidak
dapat dilepaskannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam, matematika dan logika, maka
kaum positivisme logis memiliki pandangan sendiri tentang filsafat. Semula kaum positivisme
logis sepakat untuk mencita-citakan membangun filsafat yang bersifat ilmiah. Namun dalam
kenyataannya mereka menentukan bahwa filsafat tidak memiliki wilayah penelitian sendiri.
Realitas empiris menurut segala aspeknya dipelajari oleh ilmu-ilmu pengetahuan empiris yang
khusus, adapun realitas nonempiris tidak mungkin menjadi wilayah penelitian atau menjadi
objek ilmu pengetahuan ilmiah. Objek-objek metafisika yang tradisional misalnya 'ada yang
absolut', 'nilai yang tidak absolut' tidak mungkin menjadi wilayah penelitian ilmiah.
Persoalan-persoalan dan ungkapan-ungkapan yang menyangkut objek-objek yang metafisis
tidak lain hanyalah merupakan persoalan yang semu belaka. Metafisika tidak mungkin
mencapai status filsafat yang dapat dioertanggung jawabkan secara ilmiah.
Pada tingkatan tersebut semua anggota lingkungan Wina sependapat, namun mereka
tidak selalu sepakat dalam menentukan tugas-tugas filsafat secara kongkrit. Menurut Sclick
filsafat tidak memiliki tugas lain kecuali menjelaskan kata-kata serta ucapan-ucapan dan
dengan demikian menyingkirkan ucapan-ucapan yang tidak bermakna. Ilmu pengetahuan
memverifikasi ucapan-ucapan sedangkan filsafat menelaah ucapan-ucapan tersebut.
Menurut carnap dalam salah satu karyanya yang berjudul 'sintaksis logis dari bahasa'
ia menyatakan bahwa filsafat harus menyelidiki sintaksis logis dari ucapan-ucapan
ilmiah,artinya struktur logis ucapan-ucapan tersebut. Filsafat tidak boleh dimengerti sebagai
filsafat alam, filsafat kehidupan organis, filsafat manusia, filsafat sejarah dan lain sebagainya,
akan tetapi sebagai analisis logis tentang ilmu pengetahuan alam, biologi, psikologi, ilmu
sejarah, dan lain sebagainya. Menurut Carnap sintaksis logis itu harus disusun secara formal
belaka tanpa mencari makna dan dengan hanya memperhatikan relasi antara satu dan lainnya.
Di kemudian hari Carnap menyadari bahwa analisis logis tidak dapat dilepas dari masalah
bermakna atau tidaknya bahasa yang diselidiki. Pendekatan formalitis belaka tidak mungkin
dapat dilaksanakan. Hal itu berarti bahwa filsafat tidak boleh melewati masalah teori
pengetahuan, juga dalam menyelidiki pendasaran ilmu pengetahuan (Bertens, 1981 : 176).
Sebagai suatu kesimpulan dapat dikatakan bahwa lingkungan Wina yang berpaham
positivisme logis mempunyai konsepsi yang jelas tentang cara membatasi tugas filsafat
terhadap usaha-usaha intelektual yang lain. Sepanjang sejarah filsafat dapat kita lihat bahwa
filsafat telah menyibukkan diri dengan tiga hal yaitu :
 Pertama-tama terdapat masalah-masalah yang menyangkut fakta-fakta empiris. Akan
tetapi dengan masalah-masalah semacam itu dewasa ini filsafat tidak mempunyai
urusan lagi. Seluruh wilayah empiris termasuk wewenang ilmu pengetahuan empiris.

11
 Berikutnya terdapat masalah-masalah yang menyangkut pengekspresian pengetahuan
kita atau dengan lain perkataan melalui ungkapan bahasa. Masalah-masalah ini
ditangani dengan menjelaskan konsep-konsep dan ungkapan-ungkapan yang kita
pakai. dalam pengertian inilah menurut positivisme logis justru merupakan letak tugas
filsafat dewasa ini.
 Akhirnya masih terdapat masalah-masalah metafisis. Dahulu masalah-masalah ini
marak dibicarakan dalam dunia filsafat. Akan tetapi menurut positivisme logis bahwa
dalam metafisika dioersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab, dan
masalah ini tidak dirumuskan melalui bahasa-bahasa ilmiah. Oleh karena itu masalah-
masalah metafisis tidak memiliki tempat dalam filsafat dan tidak bermakna. Akan
tetapi dengan masalah itu filsafat tidak mengalami kerugian, bahkan sebaliknya
lingkuo gerak filsafat justru dibersihkan dari persoalan-persoalan yang menyesatkan,
karena pada hakikatnya metafisika itu memformulasikan bahasa yang sifatnya hanya
omong-kosong belaka.
 Bahasa universal bagi seluruh ilmu pengetahuan
Upaya untuk memperlihatkan bahwa ungkapan-ungkapan semua ilmu pengetahuan
dapat dipersatukan melalui bahasa universal yang sama, adalah merupakan suatu usaha yang
banyak mendapat perhatian dari para anggota-anggota lingkungan Wina. Kalau cita-cita ini
dapat terwujudkan, maka sudah barang tentu tidak akan terdapat banyak ilmu pengetahuan
melainkan hanya satu ilmu pengetahuan saja yang membahas objek-objek yang termasuk
perlabagai taraf.
Konstruksi Logis Dunia, karya Carnap merupakan suatu proyek ambisius untuk
mewujudkan cita-cita tadi. Dalam buku ini Carnap mencoba membuktikan bahwa objek ilmu
pengetahuan dapat diasalkan pada pengalaman-pengalaman elementer subjek. Untuk itu
Carnap menyusun suatu hierarki atau tingkatan bahasa. Setiap tingkatan bahasa sesuai dengan
tingkatan objek-objek. Urutan tingkatan-tingkatan sesuai dengan urutan dalam srruktur
pengenalan. Yang merupakan dasar seluruh konstruksi ini ialah tingkatan 'auto psikologis'
(misalnya pengalaman seseorang tentang "merah"). Atas fondamen ini dapat disusun berturut-
turut tingkatan fisis,biologis,psikologis,sosial,dan kultural. Objek-objek dari tingktan lebih
rendah. Maka dari itu bahasa yang dikontruksikan Carnap mempunyai basis dan susunan
sedemikian rupa sehingga setiap ungkapan yang termasuk ilmu pengetahuan yang khusus,
dapat diterjemahkan melalui tahap-tahap tertentu ke dalam ucapan yang termasuk ilmu
pengetahuan yang khusus, dapat diterjemahkan melalui tahap-tahap tertentu ke dalam ucapan
yang termasuk ilmu pengetahuan yang lain. Dengan demikian kalau tingkatan sosio kultural
dapat diasalkan kepada tingkatan ilmu-ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu orang yang
dapat merumuskan semua ungkapan ilmu pengetahuan dalam bahasa dasariah yang
mengungkapkan pengalaman-pengalaman elementer kita. Maka bahasa inilah yang menjadi

12
bahasa universal bagi semua ilmu pengetahuan dan tidak ada lagi banyak ilmu pengetahuan
yang berbeda-beda, akan tetapi hanya satu ilmu pengetahuan yang diungkapkan dengan
bahasa universal.
Namun demikian terdapat banyak kesulitan yang menghadang proyek spektakuler dari
Carnap tersebut. Salah satu kesulitan yang tampak adalah 'dispositional terms'. Dengan
'dispositional terms' dimaksudkan suatu istilah yang mengungkapkan suatu ciri yang harus
disifatkan kepada suatu objek bukan berdasarkan fakta-fakta aktual, melainkan karena objek
tersebut mempunyai semacam "kemampuan" (disposition) untuk menimbulkan fakta tertentu.

J. Positivisme Logis Alfred Jules Ayer


Alfred Jules Ayer (1910-...) sebagai salah seorang filsuf mengembangkan konsep filosofis
positivisme logis secara lebih radikal. Ia pernah berkunjung pada Universitas di Wina dan
sekembalinya ke Inggris ia diangkat sebagai dosen di Oxford dan merupakan salah seorang profesor
logika di Universitas tersebut. Bukunya Language, Truth and Logic merupakan salah satu karya yang
sangat dikagumi oleh peminat filsafat Inggris pada abad ke-20. Pendirian yang dikemukakan dalam
buku ini agak radikal. Tulisan kedua Ayer yang dapat dianggap penting adalah The Problem of
Knowledge (1956), yang di dalamnya berisikan problem-problem yang menyangkut skeptisisme
filosofis. Buah karyanya yang lain adalah: The Foundation of Emperical Knowledge (1940); The
Origins of Pragmatism (1968); Russell and Moore, The Analytical Heritage (1971); Russell (1972);
Probability and Evidence (1972); The Central Problems of Philosophy (1973) (Bertens; 1983).
Sebenarnya pandangan Ayer dalam bukunya Language, Truth and Logic, bukan sesuatu yang baru
dalam filsafat abad ke-20. Sebagian isinya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lingkungan
Wina.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk beberapa waktu Ayer menetap di Wina. Tujuan
kunjungannya justru ingin berkenalan secara langsung dengan pemikiran para anggota Lingkungan
Wina dan melalui bukunya ia mengintrodusir cara berfikir positivisme logis di Inggris. Ajarannya
disambut hangat dan dijadikan sebagai suatu pandangan filosofis yang penting. Pendekatan Ayer
dianggap cocok dan sesuai dengan usaha yang telah dilakukan sebelumnya oleh Moore dan Russell
untuk menciptakan kejelasan dan ketelitian di bidang filsafat. Positivisme logis Ayer sebenarnya
merupakan percobaan untuk mengaitkan analisis logis Russell dan tradisi empiristis Inggris, terutama
Hume. Dan Ayer yakin bahwa apa yang dicarinya sudah dihasilkan dengan baik oleh Lingkungan
Wina. Positivisme logis juga merupakan aliran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Menurut positivisme logis, filsfat ilmu murni mungkin hanya merupakan analisis logis tentang
bahasa ilmu. Fungsi analisis ini di satu pihak mengurangi metafisika (filsafat dalam arti tradisional)
dan di lain pihak meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah dan bertujuan untuk menentukan isi
konsep-konsep dan pernyataan ilmiah yang diferifikasi secara empiris. Sebagaimana dijelaskan bahwa

13
kelompok lingkungan Wina di satu pihak menaruh antusiasme besar bagi ilmu pengetahuan dan
matematika, di lain pihak mengambil sikap negatif terhadap metafisika. Yang penting bagi mereka
menentukan bermakna atau tidaknya suatu ungkapan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, tidak
mempersoalkan benar tidaknya suatu ungkapan, sehingga pada gilirannya mereka ingin mewujudkan
“bagaimana dapat ditentukan suatu norma yang jelas yang dapat membedakan ungkapan-ungkapan
yang bermakna dari ungkapan yang tidak bermakna”. Untuk itulah kemudian mereka menentukan apa
yang dikenal dengan “Prinsip Verifikasi”.
Corak pemikiran positivisme logis ini, kelihatannya bertujuan membatasi penyelidikannya
dengan menghindari diskusi panjang yang mereka pandang tidak ada buahnya. Menurutnya dengan
metode baru yang diterapkan mereka, manusia akan terbebas dari perbincangan yang sia-sia, dimana
keadaan ini telah diyakini para filsuf sejak berabad-abad, sehingga menghilangkan kekacauan-
kekacauan dalam berfikir. Pemikiran-pemikiran filsafat pada zaman Yunani, dinilai oleh para aktivis
positivisme logis ini telah memakan waktu lama dan telah banyak membuang-buang tenaga dengan
mengesampingkan pembahasan ini dari kehidupan ini, sehingga manusia pada hakikatnya telah tertipu
oleh jalan pikirannya sendiri.
Melalui tahap perkembangannya, positivisme logis memandang ahli filsafat dahulu
menyelidiki tentang penyebab pertama, hakikat manusia, jiwa, keadilan dan lain-lain, kesemuanya
tidak memberikan sumbangan yang berarti kepada manusia dalam memahami realitas kehidupan dan
semua perbincangan tersebut tidak akan terlepas dari pembuktian inderawi. Pernyataan “Tuhan itu
ada” atau “Tuhan itu tidak ada” tidak dapat dibuktikan secara empiris, maka omong kosong belaka,
artinya tidak benar dan tidak pula dusta (Peursen; 1980).

K. Filsafat Bahasa Biasa (The Ordinary Language Philosphy )


Filsafat Bahasa Biasa melihat bahasa bukan sekadar alat komunikasi tetapi juga merupakan
persoalan penggunaanya yang terkonteks dalam kehidupan masyarakat pemakai bahasa.
Berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik sebagai reaksi ketidakpuasan dunia pemikiran
filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme terutama kalangan teolog yang sangat
mengagungkan pentingnya metafisika. Bahasa merupakan pusat perhatian kalangan filsuf analitik.
Para tokoh filsaf at analitika bahasa menyadari bahwa dalam kenyatanya banyak problema-problema
filsafat dapat diselesaikan melalui analisis bahasa. Para tokoh filsafat analitika bahasa memusatkan
perhatian pada aspek semantik bahasa sehingga melalui kategori-kategori logika mereka menentukan
bahasa yang bermakna atau bahasa yang tidak bermakna. Mereka dengan keyakinan yang kuat
menyatakan bahwa berdasarkan logika bahasa ungkapan-ugkapan metafisik dar kalangan penganut
idealisme terutama bidang teologi, etika aksiologi, estetika, dan terutama ontologi pada hakikatnya
tidak bermakna.

14
 Pemikiran filsafat Wittgenstein Periode I (tractatus logico philosophicus)
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan
bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan
filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa
logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu
ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus
dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
 Pemikiran filsafat Wittgenstein periode II (philosophical investigation)
Konsep pemikiran filsafat Weittgenstein periode I I tertuang dalam suatu karyanya
yang berjudul PHILOSPHICAL INVESIGATION memiliki corak yang berlainan bahkan
bertolak belakang enan tractatus yang mendasarkan pada semantik dan memiliki formasi
logika. Pada karyanya yang kedua ini ia menyadari bahwa bahasa yang diformulasikan
melalui logika sebenarnya sangat tidak mungkin untuk dikembangkan dalam filsafat, bahkan
dalam berbagai kehidupan manusia terdapat berbagai macam konteks yang tidak mungkin
hanya mengungkapkan melalui formulasi logika bahasa. Segi pragmatik bahasa daklam
kehidupan sehari-hari semakin di sadari oleh wittgenstein sehingga terdapat sejumlah bahasa
yang digunakan dalam berbagai macam konteks kehidupan.
Menurut waittgenstein bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan
proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara yang berbeda untuk
mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan perintah, pengumuman, dan banyak lagi
gejala-gejala yang dapat di ungkapkan dengan kata-kata.
 Tata Permainan Bahasa ( Language Games )
Philosophical Investigation adalah merupakan suatu bentuk filsafat bahasa biasa yang
paling kuat , sekaligus sebagai penunjuk jalan atas terbukanya pemikiran filsafat yang
menaruh perhatian terhadap bahasa biasa. Istilah Language Games (tata permainan bahasa)
dipakai oleh Witgenistein dalam arti bahwa menurut kenyataan penggunaannya sebagian dari
suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan.
Setiap ragam permainan bahasa mengandung aturan permainan tertentu yang
mencerminkan ciri atau corak khas dari permainan bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu
perhatian kita dalam masalah ini diarahkan untuk membandingkan keanekaragaman alat-alat
dalam bahasa dan cara penggunaannya yang meliputi jenis-jenis kata dan kalimat.
Setiap bentuk permainan bahasa memiliki aturan permainan sendiri-sendiri yang tidak
dapat yang tidak dapat dicampuradukan dengan tata aturan permainan da satu lainnya .
penggunaan bahasa dalam kontek (ragam) ilmiah misalnya, memiliki aturan permainan
sendiri dalam arti ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh masyarakat ilmiah.
Penggunaan bahasa dalam konteks lmiah tidak dapat dicampuradukan dengan penguunaan
bahasa dalam ragam santai, sebab ragam santai memilikin aturan sendiri demikian

15
sebaliknya.kekacauanakan timbul apabila bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan
bahasa lainnya.maka dari itu kita tidak boleh menentukan suatu aturan permainan bahasa yang
bersifat umum yang berlaku berbagaimacam konteks kehidupan manusia.
 Kritik Wittgenstein Atas Bahasa Filsafat
Banyak filsuf yang mengunakan bahasa yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. 3
hal yang dikemukakan witgenstein yaitu :
 Pertama : kekacauan bahasa fisafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan
dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
 Kedua : adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan
merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
 Ketiga : penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak
dapat di pahami misalnya”keberadaan”, “ketiadaan” dan lain sebagainya.
 Tugas Filsafat
Dua macam cara untuk meletakkan filsafat sebagai analisisn yaitu :
 aspek penyembuhan yaitu cara berfilsafat dengan menghilangkan kekacauan-
kekacauan yang terjadi dalam bahasa filsafat.
 aspek metodis yaitu cara berfilsafat yang seharusnya di tempuh yang hal aspeknya
berikut:
 Dalam berfilsafat harusah meletakka landasannya pada penggunaan bahasa
sehari-hari dengan memperhatikan sacara teliti aturan-aturan permainan
bahasa
 Upaya untul keluar dari kemelut kekacauan filsafat yang diakibatkan oleh
kekacauan penggunaa bahasa, yang diibaratkan wittgenstein seperti seekor
lalat yang terjebak dalam sebuah botol yang bening sehingga seakan-akan
berad di dunia luar akan tetapi sebenarnya terperangka
 Metode analisis bahasa harus diletakkan dalam posisi yang netral artinya
untuk tidak turut campur dalam memberikan interpetasi filosofis yaitu
memberikan penafsiran tentang reaitas.

Filsafat tidak turut campur dalam penggunaan bahasa yang aktual, filsafat ada
prinsipnya hanya memberikan atau memaparkan secara objektif, sebab filsafat tidak dapat
memberikan dasar apapun. Filsafat membiarkan segala sesuatu sesuai dengan apa adanya.

L. Beberapa Filsuf dari Oxford


 Gilbert Ryle
Ryle adalah seorang filsuf Inggris yang mewakili generasi pemikir Inggris yang
menggunakan pendekatan Wittgenstein untuk masalah filsafat, ia juga dikenal karena

16
kritiknya terhadap dualisme Cartesian. Ryle dilahirkan di Brighten, Sussex, Inggris pada 19
Agustus 1900. Ryle (1900-1976) belajar filologi klasik dan filsafat di Oxford dan pada tahun
1945 menjadi profesor di sana. Pada tahun 1947 ia menggantikan Moore sebagai pemimpin
majalah Mind dan memegang jabatan ini sampai tahun 1971.
Karir akademiknya dihabiskan di Oxford sampai dengan masa pensiun di tahun 1968.
Sementara itu karyanya yang terkenal adalah The Concept of Mind (1949). Beberapa ceramah
yang dibawakan di Cambridge diterbitkan dengan judul Dilemmas (1954). Ia juga menulis
buku yang menyangkut salah satu masalah sejarah filsafat Yunani: Plato’s Progress (1966).
Sejumlah karangan yang sudah diterbitkan dalam majalah-majalah dikumpulkan dalam
Collected Papers (1971), dua jilid. Sesudah meninggalnya masih terbit On Thinking (1979).
Tidak jarang dikatakan bahwa The Concept of Mind merupakan salah satu buku terpenting di
bidang filsafat Inggris dalam periode sesudah Perang Dunia II.
Konsep Ryle bertitik-tolak pada penggunaan bahasa biasa bagi tujuan-tujuan filsafat.
Warna filsafat Ryle dipengaruh oleh pemikiran Witgenstein dalam titik tolaknya pada bahasa
biasa. Sedangkan prinsip analisisnya menunjukkan garis lurus dari prinsip analisis Moore
(tokoh filsafat analitik (penguraian)). Ryle memang mendasarkan pada prinsip filsafat bahasa
biasa, namun demikian nampak unsur logika juga mempengaruhi pemikirannya. Hal ini
nampak pada bukunya “The Concept Of Mind”. Ia membahas dan menganalisis berbagai
macam penggunaan bahasa sehari-hari terutama dalam filsafat, dimana seringkali terjadi
kekeliruan kategori atau yang dikenal dengan istilah category mistake.
 Filsafat Bahasa Ryle
Pokok pikiran filsafat Bahasa Ryle sebagian besar terdapat dalam bukunya
yang berjudul The Concept of Mind. Buku ini salah satunya membahas dan
menyelidiki konsep yang berkaitan dengan hidup psikis, seperti misalnya penyerapan
(sensation), persepsi, fantasi, pengingatan, pengertian, kehendak, motif, dan lain
sebagainya.[4]Kata–kata yang demikian tentu tidak asing bagi pembaca. Ryle
menganalisis kata-kata ini dengan cara terperinci dan mendalam, sebab ia meyakini
bahwa dengan demikian banyak salah paham yang timbul dalam filsafat dapat
diminimalisirkan.
 Ryle dan Category Mistake
Menurut Ryle kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah apa
yang disebutnya sebagai category-mistake, kekeliruan mengenai kategori. Mereka
yang mengadakan kekeliruan ini akan melukiskan fakta-fakta yang termaksud
kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori lain. Hal ini
tentu memiliki arti dan tujuan yang berbeda dengan pengertian yang sesungguhnya.
Berikut adalah contoh yang sederhana untuk memahami kekeliruan ini: Seorang
mahasiswa yang baru masuk di STFT Widya Sasana, karena ingin tahu lebih

17
mendalam tentang sekolah tersebut, maka ia berkeliling kampus. Ia melihat genung A,
gedung B, gedung C dan Gedung D. Setelah selesai berkeliling, mahasiswa tersebut
bertanya: “Dimanakah letak kampus STFT Widya Sasana?”. Bentuk pertanyaan
seperti ini adalah termasuk category mistake. Sebab, STFT Widya Sasana bukanlah
gedung-gedung, disamping yang lainnya. Suatu perguruan tinggi, seperti kasus STFT
Widya Sasana tidak lain adalah satu kesatuan yang terdiri dari gedung-gedung.
Category mistake yang diungkapkan Ryle menegaskan bahwa peran logika
menjadi sangat sentral. Tujuan yang ingin dicapai namun menggunakan logika yang
keliru tentu tidak akan sampai pada tujuan semula. Ungkapan dari kata-kata yang
ingin disampaikan perlu diperhatikan kembali apakah mengandung makna yang keliru
atau tidak.
 Kritik terhadap Pandangan Descartes tentang Manusia Dualistik
Melalui category mistake, Ryle telah membantu pembaca dengan
memperlihatkan kekeliruan pandangan Descartes (1596-1650) tentang manusia yang
dualistik. Menurut Descartes, manusia terdiri dari dua substansi, yaitu roh dan materi.
Keduanya berlainan satu sama lain. Inilah “category mistake” kata Ryle. Sebab
sangatlah aneh dua substansi berlawanan, yang memiliki perbedaan kategori bisa
harmonis bersatu dalam satu wadah. Pandangan dualisme Descartes tentang manusia
ini oleh Ryle disebutnya sebagai “suatu hantu dalam sebuah mesin”.
Kekeliruan kategori yang diungkapkan Descartes adalah bahwa manusia
mempunyai pikiran, dengan cara yang sama ia juga mempunyai tubuh (fisik). Yang
dimaksudkan oleh Descartes di sini adalah bahwa apa yang dipikirkan itulah yang
dilakukan. Dengan kata lain pikiran manusia menentukan tindakan fisiknya. Gilbert
menentang pendapat ini. Menurutnya tidak semua yang dipikirkan adalah itu yang
dilakukan oleh fisik. Ia mengacu pada behaviorisme dimana alam bawah sadar juga
dapat mempengaruhi tindakan fisik. Berjalannya waktu ia juga meyangkal
pendapatnya tentang behaviorisme. Sebab prinsip tersebut juga mengandaikan proses
dari satu sebab ke sebab yang lain. Ryle menyimpulkan bahwa baik teori Cartesian
maupun teori behaviorisme mungkin terlalu kaku dan mekanistik untuk memberi
pembaca pemahaman yang memadai tentang konsep pikiran. Roh dianggap sebagai
suatu hal yang dapat dibandingkan dengan tubuh tetapi berbeda dengannya, karena
tidak bersifat spasial, tidak terbuka untuk orang lain, dan hanya dikenal melalui
intropeksi. Untuk memperjelas pandangannya, Ryle menggunakan analogi berikut:
[…] Jadi seorang pembeli boleh saja mengatakan ia membeli sebuah sarung
tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat mengatakan telah
membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan dan sepasang
sarung tangan.

18
Ryle melalui analogi di atas ingin menegaskan bahwa dogma tentang hantu
dalam sebuah mesin harus memiliki konsep yang serupa. Konsep Descartes tentang
manusia yang dualistik tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Apa yang
dimaksudkan oleh Ryle adalah bahwa manusia dalam tindakannya harus serentak
antara proses fisik dan mental. Para filsuf mengakui bahwa inteligensi misalnya
merupakan suatu hal yang dikuasai oleh hukum-hukum yang lain. Tetapi mereka
keliru dalam mengandaikan bahwa kata “inteligensi” menunjuk kepada suatu entitas.
Fungsi kata inteligensi hanyalah melukis tingkah laku seorang manusia.

 Bahasa Biasa (The Ordinary Language)


Penggunaan bahasa biasa bagi Ryle adalah penekanan terhadap penggunaan
yang biasa dari bahasa atau penggunaan bahasa yang baku, yang standar dan
bukannya pengunaan bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Untuk lebih
memahami penggunaan bahasa biasa dalam meyelesaikan masalah filsafat, Ryle
membedakan pelbagai jenis kata. Misalnya, menurut dia perlu dibedakan kata-kata
yang menunjukan kepada suatu disposisi (sifat, kebiasaan) dengan kata-kata yang
menunjuk kepada suatu pengertian peristiwa. Ungkapan seperti “ia mengerti bahasa
Indonesia” (pernyataan disposisi) dengan “ia mendengarkan siaran berita bahasa
Indonesia” (pernyataan yang menunjukkan peristiwa). Dalam contoh ini konteks
menyeluruh tentu akan mengizinkan untuk memastikan arti mana yang dimaksudkan.
Seringkali yang terjadi dalam uraian filosofis, sang filsuf beralih dari arti jenis
satu ke arti jenis kedua tidak diperhatikannya. Contoh lain adalah perbedaan antara
kata kerja yang mengacu ke suatu tugas dan kata kerja yang mengacu ke suatu hasil.
Dua jenis kata kerja ini seringkali digabung sebagai pasangan. Jika demikian, aktivitas
yang sama diucapkan dengan cara yang berlainan oleh dua jenis kata kerja tersebut.
Jadi, pembaca tidak perlu mengandaikan dua aktivitas. Satu-satunya perbedaan ialah
bahwa aktivitas yang tadinya suatu percobaan saja, pada saat tertentu mencapai
keberhasilannya. Contoh yang kiranya dapat membantu pembaca untuk mengerti hal
ini: jika pembaca mengatakan umpamanya bahwa seorang atlet renang, jika ia
berenang seratus meter dan menang, pembaca memakai dua jenis kata kerja itu,
karena berenang adalah suatu kata kerja yang mengacu pada suatu tugas sedangkan
menang adalah suatu kata kerja yang mengacu pada suatu hasil.
Perlu diperhatikan bahwa kata kerja yang mengacu pada suatu hasil tidak
menunjukan aktivitas di samping berenang, tetapi suatu hasil yang diperoleh dengan
berenang. Atlet ini tidak melakukan dua hal, pertama berenang dan kedua menang; ia
hanya melakukan satu hal saja, yaitu berenang dengan sekuat tenaga. Hal ini perlu

19
pembaca ketahui untuk mengerti banyak kata yang menyangkut hidup psikis
pembaca.

 Relevansi
Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan manusia pada umumnya dibagi
menjadi tiga bagian yaitu komunikasi lisan, tertulis dan isyarat (bahasa tubuh).
Komunikasi lisan adalah berupa bahasa percakapan langsung maupun tidak langsung.
Sedangkan komunikasi tertulis adalah komunikasi berupa bahasa tulisan dan
komunikasi bahasa tubuh adalah komunikasi berupa gerak tubuh. Relevansi yang
dibahas dalam tulisan ini adalah berupa komunikasi tertulis. Penulis lebih menyoroti
bagaimana komunikasi yang terjadi melalui tulisan seringkali mengandung makna
ganda. Hal ini dapat dikatakan sebagai kekeliruan ketegori yang menjadi sorotan
Ryle.
Di Indonesia misalnya, pembuatan poster atau spanduk kerap kali mendapat
perhatian, sehingga tidak jarang berbagai penilaian pun bermunculan. Penilaian atau
bahkan kritik diberikan bukan semata-mata karena mencemari pandangan tentang
keindahan suatu kota, tetapi lebih dari pada itu. Masyarakat yang memiliki pandangan
kritis terutama pada zaman ini, menilai sesuatu tidak berdasarkan bagian perbagian
tetapi mulai melihat secara keseluruhan (bentuk fisik, isi dari tujuan pembuatan, letak
tempat dan sebagainya).
Tujuan pembuatan poster, spanduk, dan jenis informasi lainnya adalah untuk
memikat orang lain agar melihat dan membaca. Apakah orang tertarik dengan
informasi tersebut adalah bagaimana bahasa yang ditulis dapat membuat orang lain
mengerti secara logis. Seringkali yang terjadi dalam penyampain suatu informasi
berupa poster dan lain sebagainya, kata atau frasa yang dipilih mengandung banyak
penafsiran. Akibatnya maksud dan tujuannya tidak tercapai. Kekeliruan kategori yang
merujuk pada penggunaan bahasa biasa tidak hanya terjadi dalam lingkungan filsafat.
Kekeliruan kategori juga seringkali terdapat dalam kehidupan masyarakat luas dewasa
ini.
Filsafat bahasa Ryle mengajak pembaca untuk mampu menempatkan suatu
bahasa dalam konteksnya masing-masing. Ryle tidak mendasarkan pada struktur
logika bahasa yang memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari
berdasakan prinsip-prinsip logika, yaitu sering terjadi dalam penggunaan bahasa
sehari-hari menyalahi prinsip-prinsip logika. Salah satu analisisnya category mistake
yaitu kekeliruan mengenai kategori (kegalatan kategori). Kekeliruan kategori ini,
menurut Ryle terjadi tatkala pembaca menuliskan fakta-fakta yang termasuk satu
kategori dengan menggunakan ciri-ciri yang logis yang menandai kategori yang lain.

20
Oleh karena itu tugas filsafat adalah berkaitan dengan analisis penggunaan bahasa
yang biasa dari ungkapan-ungkapan tertentu dan bukannya menganalisis bahasa yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

 John Langshaw Austin


John Langshaw Austin lahir di Lancaster pada 26 Maret 1911 dan meninggal pada 8
Februari 1960 dalam usia 48 tahun. Ia adalah ahli filsafat bahasa berkebangsaan Britania
Raya.
Biarpun Austin menerbitkan sedikit sekali tulisan tentang pemikirannya, namun
dengan kuliah-kuliah dan diskusi-diskusinya yang berkala, ia mempunyai pengaruh besar
dalam kalangan filosofis Oxford. Sesudah ia meninggal, tiga buku tentangnya diterbitkan oleh
J.O. Urssin dan G.J. Warnock. Mereka mengumpulkan paper yang pernah dibawakan Austin
pada pelbagai kesempatan; bahkan memuat bahan kuliah yang diberikannya di Oxford dan
dalam How to do thing with words (1962) dicantumkan The William Jame Lecturs yang
pernah ia bawakan di Universitas Harvard pada tahun 1955.
 Titik Tolak Pemikiran John Langshaw Austin
Telah disinggung bahwa Austin meneruskan filsfat bahasa biasa Wittgenstein
memiliki perhatian yang sangat kuat terhadap bahasa biasa dalam arti penggunaannya
dalam pergaulan sehari-hari. Menurutnya kita akan mendapat pelajaran yang sangat
banyak dari perhatian kita terhadap bahasa sehari-hari yang digunakan dalam
pergaulan hidup. Bahkan menurutnya tidak jarang masalah-masalah filosofis akan
nampak dalam bentuk yang baru jikalau didekati dengan menggunakan unsur-unsur
yang dalam bahasa sehari-hari.
Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan
dengan situasi kongkrit dimana ungkapan-ungkapan kita kemukakan dan dari
fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Ungkapan
yang sering Austin lontarkan adalah What to say when, yang berarti unsur bahasa
(what), dianggap sama pentingnya dengan dunia fenomena-fenomena (When). Oleh
karena itu Austin sendiri menamakan konsepnya itu dengan linguistic
phenomenology, sebab nama itu dinyatakan percobaannya untuk menjelaskan
fenomena-fenomena dengan melalui penyelidikan bahasa.
Sebagai seorang filsuf bahasa biasa Austin memiliki perhatian yang khas
terhadap penggunaan bahasa biasa, sehingga ia memiliki ciri khas dibandingkan
dengan Wittgenstein dan Gilbert Ryle. Wittgenstein mendasarkan pada makna bahasa
sehari-hari dalam kaitannya dengan konteks penggunaannya dalam pelbagai bidang
kehidupan, sehingga dikembangkannya dalam teorinya yang dikenal dengan language
games. Ryle lebih mendekatkan pada aspek pragmatis dalam kaitannya dengan

21
aturan-aturan logika, sehingga Ryle sering menemukan persoalan filsafat timbul
karena kekacauan dalam penggunaan bahasa yang melanggar norma logika atau yang
tidak sesuai dengan kategori logika, yang dikenal dengan category mistake. Namun
Austin dalam pemikiran filsafat bahasa biasanya menaruh perhatian dan menekuni
tentang pembedaan jenis-jenis ucapan dan pembedaan tentang tindakan-tindakan
bahasa.
 Pemikiran John Langshaw Austin tentang Bahasa
Sebelum Austin, kebanyakan filsuf hanya menaruh perhatian terhadap
ungkapan yang bermakna dan tidak bermakna dan hanya ditentukan atas dasar
fomulasi tertentu; misalnya menurut atomisme logis atau filsafat biasa Wittgenstein.
Setelah samapai ditangan Austin perhatian tersebut mengalami pengfokusan mengenai
pembedaan tentang jenis-jenis ucapan dan tentang tindakan-tindakan bahasa.
Adapun penjelasan tentang kedua pembedaan itu sebagai berikut:
 Jenis Ucapan (Utterances), Austin membedakan jenis ucapan yang acapkali kita
jumpai dalam bahasa pergaulan sehari-hari menjadi dua. Yaitu, Ucapan Konstatif
(Constative Utterance) dan ucapan Performatif (Performative Utterance).
 Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Adalah ucapan atau tuturan yang digunakan manakala kita
menggambarkan suatu keadaan yang faktual, yang menyatakan sesuatu atau
terdapat sesuatu yang dikonstatir dalam ucapan tersebut. Dalam pengertian ini
ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau
salahnya, dan alam batas ini pandangan Austin masih sejalan dengan faham
atomisme logik dan positivisme logik. Jadi dalam setiap ucapan konstatif ini
terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan situasi pendengar untuk
menguji kebenarannya secara empiris atau berdasarkan pengalaman; baik
secara langsug maupun tidak langsung. Istilah “konstatif” ini dipergunakan
Austin untuk menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai benar atau
salahnya. Untuk menjelaskan hal di atas dapat kita ajukan beberapa contoh
seperti yang tertera di bawah ini:
1. Banyak pedagang mainan anak-anak di pasar sekaten.
2. Saya melihat banyak pengendara sepeda motor tertangkap operasi zebra di
jalan Malioboro Jogyakarta.
3. Saya melihat seekor kuda nil di kebun binatang di lokal Yogyakarta.
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab
menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar
atau salahnya. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan
melihat, menyelidiki, ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan

22
si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menandaskan bahwa pada
hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya
mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.

 Ucapan Performatif (Perfortative utterance)


Berbeda dengan ucapan yang dapat diperiksa benar atau salahnya,
oleh karena itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan tersebut
maka ucapan performatif tidak dapat diperlakukan seperti itu. Karena itulah
Austin menegaskan ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau salah
seperti halnya ucapan konstatif melainkan baik atau tidak (happy or anhappy)
untuk diucapkan seseorang. Di dalam ucapan performatif ini peranan si
penutur dengan berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi ucapannya
sangat diutamakan. Untuk memperoleh penjelasan yang rinci kita dapat
melihat contoh yang diajukan Austin ini:
1. “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai yang istri yang sah”, tentunya
laik apabila diucapkan dalam sebuah upacara perkawinan.
2. Saya namakan kapal ini Ratu Elisabeth.
3. Saya memberikan dan mewariskan jam kepunyaan saya ini kepada saudara
saya.
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya)
bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang
terkandung dalam ucapan performatif adalah apakah si penutur mempunyai
wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk melontarkan ucapan seperti itu.
Menurut pendapat Austin, kita dapat mengetahui bentuk ucapan performatif
ini melalui ciri-ciri berikut:
1.Diucapkan oleh orang pertama (persona pertama).
2. Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu.
3. Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu).
4. Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan
tersebut.
Keempat ciri bisa saja dikenakan pada ucapan konstatif, namun
penekanan utama dalam ucapan konstatif tidak terletak pada si penutur
(subjek), melainkan pada objek tuturan-dalam hal ini peristiwa faktual.
Sedangkan dalam ucapan performatif, penekanan utama tetap diletakkan pada
si penutur dengan kelaikan pengucapannya. Akan tetapi keempat ciri tersebut
belumlah menjamin kelaikan ucapan performatif. Ada beberapa prasyarat
yang dibutuhkan agar ucapan performatif laik untuk diucapkan yakni:

23
1.Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam suatu lingkungan
tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula. Ini meliputi pengucapan kata
yang pasti oleh orang-orang tertentu dalam keadaan yang pasti.

2.Mereka yang terlibat dalam situasi yang melingkupinya (seperti: janji,


sumpah, penganugerahan, dll) Memang sudah selaiknya atau penting untuk
mengucapkannya sesuai dengan prosedur yang ditempuhnya.
3. Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat
(menuntut kejujuran dalam isi ucapan).
4. Harus dilaksanakan dengan sempurna (menuntut pertanggungjawaban
dalam pelaksanaan isi ucapan) Apabila salah satu dari prasyarat tersebut di
atas tidak dipatuhi, maka Austin tidak mengatakan ucapan performatif itu
salah,melainkan tidak laik (anhappy). Ucapan performatif yang tidak laik itu
oleh Austin dianggap sia-sia (void).
 Tindakan Bahasa (Speech Acts)
Dalam usahanya mempelajari speech acts, Austin membedakan tiga macam
Acts atau perbuatan yang dapat memainkan peranan jika kita mengucapakan satu
kalimat, yakni:
 Tindakan Lokusi (Lukusionari Acts)
Menurut pandangan Austin, tindakan lokusi lebih umum sifatnya
dibandingkan jenis bahasa yang lain. Dalam tindakan lokusi, si penutur melakukan
tindakan bahasa dengan sesuatu yang pasti. Artinya, gaya bahasa si penutur
dihubungkan dengan sesuatu yang diutarakan dalam isi tuturnya. Jadi yang
diutamakan isi tuturan yang diungkapkan itu dimaksukan untuk memperjelas tindakan
bahasa yang dilakukan itu sendiri. Contoh “Ia mengatakan kepada saya: “Tembaklah
dia!” berarti melalui ucapan “tembaklah” mengarah dan mengacu pada orang ketiga.
Di sini tidak ada keharusan bagi “saya” (si penutur) untuk melaksanakan isi ucapan
itu. Artinya, tindakan lokusi tidak mencerminkan tanggungjawab si penutur untuk
melaksanakan isi tuturannya. Bagi Austin tindakan lokusi itu merupakn dasar untuk
melaksanakan tindakan bahasa lainnya, terutama tindakan lokusi.
 Tindakan Illokusi (Illokusionary Acts)
Dalam pembahasan tindakan illokusi ini, Austin lebih menitikberatkan pada
“tindakan dalam pengetahuan sesuatu” sebab di situ terkandung sesuatu daya atau
kekuatan (force) yang mengharuskan si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
Contoh:
1. Saya berjanji akan menghadiri pesta perkawinannya.
2. Saya menyarankan kepadnya untuk bertingkah laku yang baik.

24
3. Saya menduga pencuri memasuki rumah saya melalui jendela.
Contoh di atas merupakan tindakan illokusi sebab dalam berjanji,
menyarankan, menduga terkandung suatu daya yang menuntut tanggungjawab si
penutur untuk melaksanakan isi tuturannya. Namun tindakan illokusi itu terlebih
dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi yang melingkupi memang sesuai
dengan ini tuturannya. Misalnya kita ambil contoh: “Saya berjanji akan menghadiri
pesta perkawinannya”. Padahal tidak ada pesta perkawinan yang akan dilaksanakan
atau sudah selesai acaranya. Ini berarti tindakan illokusi itu tidak akan mencerminkan
tanggungjwab si penutur terhadap isi tuturannya. Akibatnya timbul kejanggalan-tidak
semestinya-dalam pengungkapan isi tuturan itu.
Perlu diketahui juga bahwa “Situasi atau keadaan yang dikemukakan di atas
bukanlah merupakan syarat yang mutlak bagi suatu tindakan illokusi karena mungkin
saja dalam kasus tertentu si penutur tidak mengeetahui berlakunya keaddaan yang
demikian. Misalnya saja dalam tuturan “saya berjanji akan mengadiri pesta
perkawinannya”, mungkin si penutur memang benar-benar tidak mengetahui bahwa
pesta perkawinan yang akan dihadirinya itu telah selesai. Jadi kita tidak dapat
menyalahkannya sebagai orang yang tidak bertanggungjaawab terhadap isi
tuturannya. Di sini hanya diandaikan bahwa seseorang yang melakukan tindakan
illokusi itu telah mengetahui terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yanng
berkenaan dengan isi tuturanya.
 Tindakan Perlokusi (Perlocutionary Acts)
Dalam tindakan illokusi kita melihat isi tuturan lebih mengena diri si penutur
jadi tindakan perlokusi ini adalah akibat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh isi
tuturan, baik nyata maupun tidak. Di sini terkandung unsur kesengajaan dari si
penutur untuk mempengaruhi pendengarnya melalui isi tuturan yang dilontarkannya.
Menurut Austin mengatakan sesuatu acapkali menimbulkan pengaruh yang
pasti terhadap perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu
sendiri, ataupun bagi orang lain. hal ini dapat dilakukan dengan cara merancang,
mengaarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita
ungkapkan. Inilah yang dinamakan tindakan perlokusi.Contoh:
1. Saya telah membuat temanku mampu mengatasi kesedihannya.
2.Saya meyakinkan dia bahwa belajar secara rutin akan memberikan hasil yang lebih
baik.
3.Saya membujuk adik agar menghentikan tangisannya.
Jenis-jenis kata kerja lainnya yang merupakan ciri khas tindakan perlokusi ini
adalah: “membimbing dan mempelajari sesuatu, memperdayakan, mengajak,
merangsang, mengejutkan, menggembirakan, menyebabkan dan melakukan sesuatu,

25
membangkitkan, membingungkan, menyebabkan dan memikirkan tentang sesuatu,
meredakan ketegangan, mempermalukan, menarik perhatian, mengemukakan, dan
lain-lain.
Dalam tindakan perlokusi, akibat yang timbul memang dirancang dan
diarahkan sedemikian rupa, sehingga ada upaya untuk mempengaruhi pendengar
secara maksimal. Apabila dikatakan “saya membutuhkannya agar ia mau meminjami
saya uang”, maka di sini terkandung upaya si penutur (saya) untuk memperoleh
pinjaman uang dari seseorang melalui cara-cara tertentu. Artinya, sesuatu tindakan
perlokusi merupakan hasil yang diinginkan atau telah diperhitungkan sebelumnya
oleh si penutur. Jadi, tujuan si penutur untuk mempengaruhi pendengarnya itulah yang
paling menonjol dalam tindakan perlokusi ini.
 Peter Strawson
Konsep Strawson yang menarik secara khusus adalah tentang persona. Konteksnya
adalah kesulitan yang dialami para filsuf mengidentifikasikan keadaan sadar dengan menunjuk
objek material. Konsep persona tidak dibentuk oleh konsep tubuh dan konsep roh, tetapi
merupakan suatu individu yang tunggal.

26
SIMPULAN

Analitika bahasa adalah metode yang khas dalam filsafat untuk menjelaskan, menguraikan dan
menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Menguraikan dan menguji kebenaran hanya
mungkin dilakukan lewat bahasa karene bahsa memiliki fungsi kognitif. Secara historis tradisi ini
sebenarnya telah berkembang sejak lama bahkan berkembang sejak zaman pra Sokrates. Namun
istilah ini mulai dikenal dan berkembang pada abad XX hususnya di Ingris dan di Eropa umunya.
Para ahli membagi filsafatanalitika ini kedalam tiga aliran yaitu:
1) Atomisme logis
Aliran ini mulai berkembang pada awal abad XX di Inggris dan aliran ini sangat dipengaruhi
oleh aliran-aliran sebelumnya yaitu rasionalisme dan empirisme. Selain itu aliran ini
berkembang sebagai reaksi ketidak puasan adas aliran idealisme yang pada saat itu menguasai
tradisi pemikiran di Inggris. Tokoh dari atomisme logis adalah Russel dan Wittgenstein.
2) Positivisme logis atau empirisme logis
Aliran ini menyetujui tentang konsep-konsep atomisme logis, faham ini lazimnya
dikemangkan oleh para ilmuan bidang fisika, matematika, kimia, ilmu-ilmu alam dan lain
sebagainya, faham ini berpusat di Wina. Madzhab positivisme logis sangat besar pengaruhnya
di dunia terutama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan moderen bahkan saat ini
terutama di Indonesia sendiri.
3) Filsafat bahasa biasa
Aliran ini muncul setelah perang dunia ke II, yang dipelopori oleh Wittgenstein. Filsafat
bahasa ini memiliki bentuk yang paling kuat bilamana dibandingkan dengan aliran lainya dan
mempunyai pengaruh yang sangat luas baik di Inggris, Jerman, Prancis maupun di Amerika.
Walaupun pengaruh tersebut tidak secara langsung namun aliran filsafat tersebut secara
ontologis memiliki kesamaan.
4) Konsep Ryle bertitik-tolak pada penggunaan bahasa biasa bagi tujuan-tujuan filsafat. Warna
filsafat Ryle dipengaruh oleh pemikiran Witgenstein dalam titik tolaknya pada bahasa biasa.
Sedangkan prinsip analisisnya menunjukkan garis lurus dari prinsip analisis Moore (tokoh
filsafat analitik (penguraian).
5) Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dengan situasi
kongkrit dimana ungkapan-ungkapan kita kemukakan dan dari fenomena-fenomena yang
berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut.
6) Konsep Strawson yang menarik secara khusus adalah tentang persona. Konteksnya adalah
kesulitan yang dialami para filsuf mengidentifikasikan keadaan sadar dengan menunjuk objek
material. Konsep persona tidak dibentuk oleh konsep tubuh dan konsep roh, tetapi merupakan
suatu individu yang tunggal.

27
DAFTAR PUSTAKA

Joko. 1997. Filsafat Bahasa Biasa dan Tokohnya. Yogyakarta: Liberty

Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma

Rizal Mustansyir. 1987. Filsafat Analitik. Jakarta: Rajawali Pers

jurnal.utu.ac.id

https://lsfdiscourse.org/kekeliruan-kategori-bahasa-dalam-komunikasi-menurut-gilbert-ryle/

http://elisa.ugm.ac.id/community/show/filsafatkomunikasiolehprofdrlasiyomamm/#!/section
9402/1384948504/diaskespada/19/04/2015/20:53

https://kasdiharyanta-kasdih.blogspot.com/2015/01/filsafat-bahasa-filsafat-analitik.html?m=1

https://www.academia.edu/12077229/Prinsip_Verifikasi_Pokok_Pikiran_Alfred_Jules_Ayer_dalam_K
hasanah_Filsafat_Bahasa

http://ediakhiles.blogspot.com/2011/12/filsafat-bahasa-biasa-dan-tata.html?m=1

28

Anda mungkin juga menyukai