Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH ANTROPOLOGI LINGUISTIK

Kelompok 1:

Husni Mardhiatul Rahmi (1810721001), Khofifah Aisah Amini (18107201002), Muhammad Alfis
(181072 ), Muhammad Ikhwandi (181072 ), Yori Leo Saputra (1810721003)

Pendahuluan

Bahasa bukan saja merupakan mode berpikir, akan tetapi pengembang budaya, bahasa
juga harus dipahami sebagai bagian kebudayaan. Sama seperti bahasa, kebudayaan dipelajari,
ditransmisikan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui perbuatan-
perbuatan dalam bentuk tatap muka, dan tetnu saja melalui komunikasi linguistis.

Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali. Mereka saling


mempengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Yang paling endasari hubungan
bahasa dengan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari dalam konteks kebudayaan dan
kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa.

Kajian atau pembicaraan hubungan keduanya pada umumnya dilihat dari ilmu yang
mempelajarinya yakni antropologi sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistic
sebagai ilmu yang mengkaji bahasa. Linguistik (ilmu bahasa) dan antropologi kultural (ilmu
budaya) bekerja sama dalam mempelajari hubungan bahasa aspek-aspek budaya.

Pembahasan

1. Sejarah Perkembangan

Antropologi linguistik pertama kali diperkenalkan di Amerika pada tahun 1940-an yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Dell Hymes dan Alessandro Duranti yang mereka sebut
dengan istilah “antropologi linguistik”, kemudian Palmer dengan istilah “Terminologi
Fonologi Budaya, Semantik Budaya”.

Antropologi linguistic sampai ke Indonesia pada tahun 1997-an yang diperkenalkan oleh
tokoh-tokoh, seperti Sutan Takdir Alishahbana, dan Suharno yang mereka sebut dengan
“Linguistik Budaya”.
Menurut pengamatan Alessandro Duranti, tiga paradigma yang muncul selama sejarah
perkembangan subdisiplin ini, antara lain

1) "linguistik antropologis" yang berfokus pada dokumentasi dari bahasa;


2) "antropologi linguistik" yang terlibat dalam studi teoretis dari penggunaan bahasa;
3) Berkembang selama dua atau tiga dekade terakhir, mempelajari pertanyaan-pertanyaan
yang berhubungan dengan cabang antropologi lainnya menggunakan alat-alat wawancara
linguistik.

Meskipun muncul secara berurutan, ketiga paradigma ini masih aktif digunakan hingga
hari ini.

1) Linguistik Antropologi

Paradigma pertama awalnya disebut linguistik, namun seiring dengan matangnya ilmu ini
dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan, ilmu ini lebih dikenap sebagai linguistik antropologis.
Disiplin ini berfokus pada tema-tema yang khas seperti dokumentasi linguistik dari bahasa-
bahasa yang terancam punah (seperti, bahasa-bahasa suku asli Amerika Utara). Tema-tema
tersebut antara lain:

1. Deskripsi tata bahasa,


2. Klasifikasi tipologis (lihat tipologi), dan
3. Permasalahan-permasalah antropologis yang dipelajari melalui metode dan data ilmu
linguistik.

Masalah yang belum terselesaikan dari relativitas linguistik (terkait dengan Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf, tapi sesungguhnya dibawa ke penelitian linguistik di
Amerika oleh Franz Boas yang bekerja menggunakan kerangka teoretis dari para pemikir
Eropa--mulai dari Vico hingga Herder hingga Humboldt). Konsep yang disebut
"Hipotesis Sapir–Whorf" bisa jadi sesungguhnya sebuah salah penyebutan--sejauh
pendekatan ilmu yang diambil oleh kedua peneliti tersebut berbeda dari model
pengetahuan yang positivis dan berbasis hipotesis. Mulanya, mahasiswa Sapir bernama
Harry Hoijer lah yang mempopulerkan istilah itu.
Pemikiran Humboldt memegang peranan penting dalam penelitian-penelitian
kontemporer Jerman, Prancis, dan Eropa pada umumnya.

2) Antropologi linguistik

Dell Hymes adalah orang yang bertanggung jawab di balik munculnya paradigma kedua
bernama antropologi linguistik di tahun 1960-an. Ia juga menciptakan istilah etnografi
percakapan (atau etnografi komunikasi) untuk mendeskripsikan visi yang diusungnya untuk
bidang ilmu ini. Disiplin ini melibatkan pemanfaatan perkembangan-perkembangan
teknologi mutakhir, termasuk bentuk-betuk terbaru dari perekam mekanik.

Hymes juga memperkenalkan unit analisis baru. Ketika paradigma pertama berfokus
pada "bahasa" secara khusus, unit analisis pada paradigma kedua adalah "situasi
percakapan". Dalam paradigma kedua dengan unit analisis baru ini, perhatian penelitian
banyak diberikan untuk situasi-situasi percakapan yang memungkinkan penampil
bertanggung jawab atas bentuk penampilan linguistik mereka.

Hymes juga menjadi pelopor pendekatan antropologi linguistik terhadap ethnopoetics


("puisi-etnis"). Hymes berharap untuk mendekatkan antropologi linguistik dengan disiplin
ibunya. Nama "antropologi linguistik" jelas menyatakan bidang ilmu antropologi sebagai
disiplin ibu, sedangkan "linguistik antropologis" menyiratkan kesan bahwa identitas utama
para praktisinya adalah ilmu linguistik. Kedua disiplin ilmu ini merupakan disiplin akademis
yang terpisah di sebagian besar kampus hari ini (tidak demikian pada zaman Boas dan Sapir).
Meskipun begitu, ambisi Hymes malah menjadi bumerang. Paradigma kedua tersebut malah
semakin menjauhkan subdisiplin ini dari bidang-bidang antropologi lainnya.

3) Permasalahan-permasalah antropologis yang dipelajari melalui metode dan data ilmu


linguistic

Paradigma ketiga muncul sejak akhir tahun 1980-an. Bukannya melanjutkan agenda-
agenda yang datang dari disiplin yang asing bagi antropologi, para peneliti antropologi
linguistik malah mengejar permasalahan-permasalahan disiplin antropologi yang lebih luas
namun dengan menggunakan data dan metode ilmu linguistik. Area-area penelitian yang
populer dalam paradigma ketiga ini mencakup investigasi identitas sosial, ideologi bersama,
dan konstruksi serta penggunaan narasi dalam interaksi antar individu dan kelompok.
Penutup
Daftar Pustaka

Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.

Aditya, Albertus. “Antropologi Linguistik. id.m.wikipedia.org. Diakses 7 Februari 2019.

Anda mungkin juga menyukai