Anda di halaman 1dari 117

UNIVERSITAS INDONESIA

Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan


Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di
Universitas Harvard

SKRIPSI

PANDU WICAKSONO
0806356143

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI INGGRIS
DEPOK
JULI, 2012

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenamya menyatakan bahwa
skripsi ini saya susun tenpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari temyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.

Depok, 13 Juli 2012

Pandu Wicaksono

I
I
,I
,I

,I

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


h
I
,

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah basil karya saya sendtrt,

dan semua sumber balk yang dikutip maupun dirujuk

teIah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Pandu Wicaksono

NPM : 0806356143

~
Tanda Tangan

Tanggal : 13 Juli 2012

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi yang diajukan oleh


Nama : Pandu Wicaksono
NPM : 0806356143
Program Studi : Inggris
Judul : Analisis Wacana Kriris terhadap Retorika
Hubungan Islam dan Amerika Serikat dalam Pidato
Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

ioi telah berhasil dipcrtahankan di hadapao Dewan Peoguji dan ditertma


sebagai persayaratan yang diperlukan uotuk memperoleh gelar Sarjana
Humaulora pada Program Studi Inggris, Fakultas Pengetabuan Umu
Budaya, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Diding Fachrudin, M. A. ( ......... . : )

Penguji : Junaidi, M. A. ( .......... ... . )

Penguji : Marti Fauziah, M. Hum. ( .......... . ... . )

Ditetapkan di : \)e.~"lL

Tanggal : 13 Juli 2012

oleh

Dekan

~
.'"?' las Ilmu P@lletahuanBudaya

Un :rsl:::o~~a/ '

,
_"
. .-
~
­
c>..

- .- .
.- ~'}I' 'I)i';~a~liang Wibawarta
8rf!~~ \'~"
NIP. 196510231990031002

iv

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil alamin. Kalimat tersebutlah yang patut diucapkan


terlebih dahulu setelah menyelesaikan penelitian ini karena tanpa ridha Allah
SWT, saya tidak akan bisa sampai pada tahap ini. Tentunya dengan segala
kekurangan saya, penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penelitian yang saya
lakukan ini melalui lima tahapan. Tiga tahapan pertama adalah tahap ditolak.
Tahap selanjutnya merupakan tahap disetujui dan tahap terakhir adalah tahap
pengerjaan. Saya memutuskan untuk menyusun skripsi dengan didasari oleh dua
hal. Pertama, keinginan saya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Dasar kedua
adalah saya tergelitik melihat pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 3 Januari 2011. Pada pidato tersebut, SBY
menggunakan banyak campur kode yang bagi saya justru membuat alur pidato
menjadi kurang halus dan pesan yang ingin disampaikan menjadi sedikit kabur.
Dari sana saya terinspirasi untuk menelaah pidato kepala negara Indonesia,
terutama SBY. Awalnya tentu saya ingin mengkaji pidato SBY tersebut, namun
karena bukan pidato berbahasa Inggris, saya tidak dapat melanjutkan. Akhirnya,
pidato SBY di Universitas Harvard lah yang saya pilih.

Skripsi ini telah melewati tahapan yang mudah dan susah. Dengan adanya
penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis memberikan kemudahan bagi saya
untuk menyelesaikan skripsi ini. Perasaan takut yang dominan bercampur sedikit
rasa malas menggelayuti saya ketika mencoba untuk menerapkan analisis wacana
kritis terhadap data yang saya miliki. Ketakutan itu cukup beralasan bagi saya
mengingat minimnya pengetahuan tentang teori pendamping untuk mengupas
pidato ini. Oleh karena itu, saya terus berusaha untuk menelaah data dengan
pendekatan analisis wacana. Akan tetapi, dosen pembimbing beberapa kali
menyarankan saya untuk menggunakan analisis wacana kritis dan membaca
penelitian-penelitian sejenis yang dilakukan oleh senior-senior saya. Alhasil, saya
menemukan suatu pencerahan bahwa ada suatu metode yang cukup sederhana


 
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
untuk melengkapi kekurangan dalam analisis wacana kritis yang saya gunakan,
yaitu dengan menggunakan teori struktur retorika.

Sudut pandang yang berbeda merupakan hal yang coba ditawarkan oleh
penelitian ini. Tentunya menarik untuk menelaah gagasan yang ditawarkan oleh
kepala negara dari sebuah negara yang berpengaruh, seperti Amerika, dan
dampaknya terhadap Indonesia atau negara lain. Di sisi lain, saya melihat hal
sebaliknya tidak akan kalah menarik. Oleh karenanya, saya bersikeras untuk
melanjutkan penelitian dengan data yang ada.

Manusia adalah makhluk sosial (walaupun belakangan cenderung menjadi


makhluk kapital). Oleh karena itu, segala dukungan dari berbagai pihak, mulai
dari yang terlihat sampai yang tidak terlihat, merupakan faktor penentu selesainya
penulisan skripsi ini. Dengan alasan tersebut, saya merasa perlu untuk
menyampaikan terima kasih kepada:

1. Pak presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tim penyusun pidato


karena sudah membentuk pidato sedemikian rupa, sehingga bisa
ditelaah dengan analisis wacana kritis.
2. Pak rektor UI karena sudah membuat berbagai kebijakan yang
membuat mahasiswanya “terdorong untuk cepat lulus”.
3. Pak Diding Fachrudin sebagai dosen pembimbing yang bersedia sering
direpotkan di tengah kesibukannya oleh mahasiswanya yang kurang
mawas diri ini.
4. Pak Junaidi dan Bu Marti Fauziah sebagai dosen penguji yang bersedia
memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Para dosen program studi Inggris yang menginspirasi saya untuk selalu
berbuat yang terbaik walaupun masih berstatus mahasiswa.
6. Bapak dan Ibu saya yang tidak pernah saya kabari tentang skripsi ini
tapi, saya yakin, tetap mendoakan saya agar penelitian ini lancar dan
tuntas dengan baik.
7. Kakak saya yang mengingatkan untuk cepat menyelesaikan skripsi
karena saya harus membantu pekerjaannya. Tidak lupa, adik saya yang
beberapa kali menemani mengerjakan skripsi sampai pagi.

vi 
 
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
8. Keluarga besar mahasiswa program studi Inggris UI, baik yang masuk
ke dalam Ikatan Mahasiswa Inggris (IKMI) maupun tidak karena telah
menjadi bagian dari keluarga saya selama 4 tahun terakhir. Mereka
adalah tempat saya belajar, berbagi, bermain, berkelahi, dan berjuang.
9. Keluarga besar Sekolah Dasar Negeri Bojong 5, Pameungpeuk, Garut
beserta masyarakat kampung Cikangkung, Cikuya, dan Cipalahlar,
khususnya keluarga Pak Endang dan siswa-siswi kelas 5 SDN Bojong
5 karena telah menjadi alasan terbesar saya untuk menyelesaikan
skripsi ini. Setiap saya kurang bersemangat, hanya dengan mengingat
merekalah saya ingin segera menuntaskan penelitian ini. Hadiah
terbesar bagi saya adalah bisa bertemu dengan mereka lagi. Oleh
karena itu, saya tidak bisa berlarut-larut dalam pengerjaan skripsi ini.
10. Geng Ular (Alfi, Adel, Seto, Ririn, dan Wirda) karena selalu membuat
saya malu dengan jiwa-jiwa muda mereka yang selalu bersemangat.
Perasaan itulah yang sudah mengembalikan jiwa muda saya dan
memberikan saya dorongan moral di manapun mereka berada.
11. Pak Cecep dan Istri selaku pengurus Rumah Singgah Bina Tulus Hati
di Kampung Lio serta siswa-siswi di sana yang berbaik hati
mendoakan saya ketika saya bepergian jauh dan menjalani ujian.
Anak-anak di rumah singgah turut menjadi alasan untuk menuntaskan
skripsi ini karena mereka mungkin akan kekurangan tambahan
pelajaran jika saya terlalu lama berurusan dengan tugas akhir.
12. Geng Shuffle (Ade Linna, Beta Golda Nisa, Faries Muchlisin, dan
Sekar Sejati serta Chintya, sebagai penasihat) atas kebersamaannya di
masa-masa galau mengerjakan skripsi dan atmosfer unik yang telah
diciptakan. Untuk inisial A, B, F, dan S diharapkan dapat sesegera
mungkin menyusul lulus.
13. Pembina Teater Sastra (Tesas), Mas Yudi, dan teman-teman di Tesas
karena tanpa mereka saya mungkin hanya akan menjadi robot dan
menjadi naif, atau robot naif.
14. Keluarga besar panitia dan pengajar Gerakan UI Mengajar batch 1
karena telah menjadi keluarga dalam pengalaman yang tak terlupakan,

vii 
 
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
memberikan semangat untuk saya, dan memberikan kesempatan yang
sangat berharga sebelum saya lulus kuliah.
15. Teman-teman kepanitiaan Desa Mandiri BEM UI 2012 yang membe-
rikan semangat di kala saya kewalahan mengerjakan tugas-tugas
sebagai Public Relation dan skripsi. Terutama Viola Almira yang
walaupun tidak banyak membantu saya, meminta untuk dimasukkan
namanya ke sini. Sayangnya dia sudah punya pacar, kalau belum
mungkin namanya minta dimasukkan ke hati saya.
16. Teman-teman FLAC (Future Leaders for Anti-Corruption) yang telah
memberikan saya kesempatan untuk tergabung dan ikut merasakan
kegiatan yang luar biasa di akhir-akhir masa perkuliahan saya.
17. Terakhir, namun bukan berarti paling tidak penting, para mantan
karena mereka telah menjadi faktor pembentuk karakter saya seperti
sekarang ini. Walaupun mereka mantan, mereka masih bersedia untuk
saya hubungi dan beberapa kali menanyakan perkembangan skripsi
saya. Terutama Imeh yang beberapa kali menemani saya mengerjakan
skripsi serta brain-storming ide dan konsep.

viii 
 
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUANl'qBLlKASI

TUGAS AKIIIR UNTIJK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama : Pandu Wicaksnno


NPM : 0806356143
Program Studi : Inggris
Departemen : Lingnistik
FakuItas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujni untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclustve Royalty
Free Right) atas karya i1miah saya yang beIjudul:

Analisis Wacana Kritis terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika Serikat
dalam Pidato Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas Harvard

beserte perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, menga1ilunedial
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selema tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hat Cipta.

Demikian pemyataan ini sayabuat dengan sebenamya,

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 13 Juli 2012
Yang menyatakan

~b5Jb

du Wicaksono)

ix

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


ABSTRAK

Nama : Pandu Wicaksono


Program Studi : Inggris
Judul : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan
Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di
Universitas Harvard

Sebagai rangkaian kunjungannya ke Amerika Serikat, setelah menghadiri forum


G-20, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpidato di
Universitas Harvard. Salah satu tujuannya adalah merespons pidato pidato
Barrack Obama di Kairo. Dalam pidato yang berjudul “Toward Harmony among
Civilizations” tersebut, SBY menyampaikan sembilan langkah yang dapat
diterapkan untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Selain penjabaran
langkah-langkah tersebut, SBY juga membangun retorika hubungan komunitas
Muslim, terutama Indonesia, dengan Amerika. Penelitian ini mencoba
menjabarkan formasi retorika, strategi, serta motivasi yang dibangun oleh SBY.
Dengan pendekatan analisis wacana kritis dengan didukung oleh teori benturan
peradaban, penelitian ini menemukan adanya kecenderungan untuk memperkuat
citra Indonesia di mata dunia alih-alih memposisikan Islam sebagai rekan
Amerika dalam mencapai perdamaian dunia.
Kata kunci:
Retorika, wacana, analisis wacana kritis, pidato


Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


ABSTRACT

Name : Pandu Wicaksono


Study Program: English
Title : Analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam dan
Amerika Serikat dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono di
Universitas Harvard

After attending the G-20 forum, the president of Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) gave a speech in Harvard University as one of his activities in
the United States of America. It is also a response to Barrack Obama’s speech in
Cairo. Through his speech, which titled “Toward Harmony among Civilizations”,
SBY presented nine imperatives to achieve harmony. Besides, he also built
rhetoric of relationship between Muslim community, especially Indonesia, and
America. This study aims to elaborate rhetoric formation, strategy, and motivation
which are built by SBY. By using critical discourse analysis approach and clash of
civilization theory, it discovers that there is a tendency to strengthen the image of
Indonesia instead of arranging Islam as a partner of America to attain world’s
peace.
Keywords:
Rhetoric, discourse, critical discourse analysis, speech
 

xi 
Universitas Indonesia
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………………...ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………………iii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…………………..ix
ABSTRAK………………………………………………………………………...x
ABSTRACT………………………………………………………………………xi
DAFTAR ISI………………………......................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………...……………...1
1.1 Latar Belakang...……………..……………………… ……………….1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………..9
1.3 Tujuan Penelitian…………….….……………………………….........9
1.4 Pembatasan Masalah……………….…………………………….......10
1.5 Hipotesis Penelitian…………….…………………………………….10
1.6 Metodologi Penelitian……………….……………………………….10
1.7 Manfaat Penelitian……………………..…………………………….11
1.8 Sistematika Penyajian……………………………..…………………12
BAB II LANDASAN TEORI……………………………….............................13
2. 1 Wacana………………………………………………………………13
2. 2 Analisis Wacana Versus Analisis Wacana Kritis……………………15
2. 2. 1 Analisis Wacana………………………………………………15
2. 2. 2 Analisis Wacana Kritis………………………………………..16
2. 2. 2. 1 Analisis Wacana Peristiwa Komunikatif…………..19
2. 2. 2. 2 Analisis Urutan Wacana……………………………22
2. 3 Fungsi Wacana………………………………………………………23
2. 4 Teori Struktur Retorika……………………………………………...28
2. 4. 1 Jenis-Jenis Relasi……………………………………………..30
2. 4. 2 Jenis-Jenis Skema…………………………………………….32
2. 4. 3 Nuklearitas……………………………………………………36
2. 4. 4 Klasifikasi Relasi……………………………………………..36
2. 4. 5 Aplikasi Skema……………………………………………….38
2. 4. 6 Teori Struktur Retorika Analisis Berganda…………………..39
2. 5 Benturan Peradaban…………………………………………………40
BAB III ANALISIS…………………………………………………………….42
3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono………………………42
3. 2 Analisis Bagian Pembuka…………………………………………...46
3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka……………………………….46
3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..49
3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi
Klausa………………………………………………………………..52
3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...55
3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………56

xii 
Universitas Indonesia
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
3. 2. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………57
3. 3 Analisis Bagian Isi…………………………………………………..58
3. 3. 1 Analisis TSR Bagian Isi………………………………………58
3. 3. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……..62
3. 3. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi
Klausa………………………………………………………………..64
3. 3. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...67
3. 3. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………67
3. 3. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………68
3. 4 Analisis Bagian Penutup…………………………………………….69
3. 4. 1 Analisis TSR Bagian Penutup………………………………...69
3. 4. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa……...71
3. 4. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi
Klausa………………………………………………………………...73
3. 4. 4 Analisis Praktik Wacana……………………………………...74
3. 4. 5 Analisis Urutan Wacana………………………………………74
3. 4. 6 Analisis Fungsi Wacana………………………………………75
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN……………………………………76
4. 1 Temuan Analisis Wacana Kritis……………………………………..76
4. 2 Temuan Analisis Fungsi Wacana…………………………………...81
4. 3 Temuan Analisis Teori Struktur Retorika…………………………...83
4. 4 Pembahasan dan Keputusan Hipotesis………………………………88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………..91
5. 1 Kesimpulan…………………………………………………….........91
5. 2 Saran…………………………………………………………………93

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii 
Universitas Indonesia
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012
Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh
Semua mata mendelik ke atas, semua lidah semakin nyeleneh
Aku adalah kumpulan kertas, lahir di masa yang aneh
Semut sering menyantap ampas, lalat bergunjing sambil minum teh

Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas


Angka harus selalu menunjuk ke atas, angka selalu menjadi rating teratas
Aku adalah kumpulan kertas, lahir saat dunia memuja kertas
Dua menangis karena kertas, dua tertawa karena kertas, dua takut kelipatannya
kekurangan kertas

Kertas merajai dunia!


Batu hancur karenanya!
Kerajaan runtuh olehnya!
Tapi, aku kertas.
Kenapa sedikit yang mencintaiku?
Apa karena aku kertas?

Untuk Eyang

xiv 
Universitas Indonesia
Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Komunikasi adalah aktivitas harian yang biasa dilakukan manusia


untuk bertukar informasi. Selain untuk bertukar informasi, komunikasi
memiliki bentuk dan jenis tersendiri. Bentuk komunikasi bermacam-
macam, tergantung dari penerima pesan, arah pesan, dan medianya.
Dainty, Moore, dan Mooray (2006) membagi komunikasi ke dalam tiga
kategori berdasarkan penerima pesannya, yaitu komunikasi massa,
komunikasi kelompok, dan komunikasi perorangan.

1. Komunikasi massa merupakan komunikasi yang memiliki


sasaran pendengar atau penerima pesan dalam jumlah besar dan
umumnya tidak dikenal atau tidak saling mengenal. Contoh
komunikasi massa, yaitu media massa, radio, iklan, dan
sebagainya.
2. Komunikasi kelompok, yaitu komunikasi yang sasarannya
adalah sekelompok orang yang umumnya dapat dihitung atau
dalam jumlah yang dibatasi dan dikenal. Contoh komunikasi
kelompok, antara lain penyuluhan ibu-ibu PKK di Posyandu,
rapat koordinasi siskamling suatu kompleks perumahan,
sambutan ketua panitia dalam pembukaan pertemuan perdana,
kegiatan belajar mengajar di kelas, dan sebagainya.
3. Komunikasi perorangan adalah komunikasi yang melibatkan
dua individu. Contoh komunikasi perorangan, yaitu interaksi
antara dokter dan pasiennya di ruang periksa, dua orang yang
berbicara melalui telepon, dan sebagainya.

Di samping itu, menurut Dainty, Moore, dan Mooray (2006),


bentuk komunikasi juga dapat dikelompokkan berdasarkan arah pesan,

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah atau timbal balik.
Komunikasi satu arah, sesuai namanya, hanya memberikan kesempatan
pada pengirim pesan untuk menyampaikan pesannya kepada penerima
pesan tanpa memberi kesempatan adanya timbal balik dari penerima
pesan. Berita di media cetak dan televisi, iklan di spanduk dan baliho, dan
pidato di acara pemakaman merupakan beberapa contoh dari komunikasi
satu arah. Komunikasi dua arah, di sisi lain, memberikan kesempatan
adanya timbal balik dari pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi
dua arah biasa terjadi di beberapa kesempatan, misalnya obrolan santai
pegawai kantor di jam istirahat, komunikasi melalui telepon, chatting, dan
sebagainya.

Bentuk komunikasi selanjutnya, menurut Dainty, Moore, dan


Mooray (2006), berdasarkan medianya terbagi menjadi dua: komunikasi
langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung dapat dikatakan
sebagai komunikasi yang tidak menggunakan alat atau perantara. Dengan
kata lain, pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan langsung diterima
oleh penerima pesan saat itu juga tanpa perantara apa pun. Komunikasi ini
biasa ditemui pada percakapan sehari-hari antara individu atau kelompok
di tempat dan waktu yang sama, seperti di sekolah, pasar, dan kantor.
Sebaliknya, komunikasi tidak langsung membutuhkan perantara untuk
menyampaikan pesan. Iklan, media cetak, pengumuman, dan buku
petunjuk adalah beberapa contoh dari komunikasi tidak langsung.

Selain pengelompokan di atas, mengacu pada Dainty, Moore, dan


Mooray (2006) komunikasi juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu
komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal menggunakan lisan
atau verbal sebagai media utama komunikasi, sedangkan komunikasi
nonverbal menggunakan media utama selain verbal untuk berkomunikasi.
Contoh komunikasi nonverbal adalah spanduk, poster, bahasa tubuh
manusia atau bahasa isyarat, dan sebagainya.

Komunikasi merupakan salah satu bentuk dari wacana. Oleh


karenanya, komunikasi tidak terlepas dari konteks situasi terjadinya
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


peristiwa komunikasi tersebut. Adapun wacana menurut Zaimar dan


Harahap (2009) merupakan kesatuan pesan yang mandiri dan
pemahamannya dipengaruhi konteks situasi. Di samping itu, Yuwono
(2005) memahami wacana sebagai kesatuan makna (semantis) antarbagian
di dalam sebuah bangun bahasa. Sebagai kesatuan pesan dan makna,
wacana memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan terpadu. Oleh
karena itu, sebuah teks, seperti pidato, iklan, dan prosa baru dapat dikaji
secara wacana ketika memiliki bangun bahasa.

Adapun pidato, sebagai teks wacana, merupakan sebuah contoh


komunikasi yang cukup kompleks. Hal ini dikarenakan pidato adalah
komunikasi verbal yang jumlah sasaran penerima pesannya bisa sangat
banyak, sedangkan pengirim pesan hanya, satu orang. Dengan demikian,
pengirim pesan perlu memiliki strategi dan kemampuan berkomunikasi
yang matang untuk memastikan bahwa pesan diterima dengan baik oleh
penerima pesan. Terlebih lagi, media perantara dan arah pesan pidato
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk memberikan dampak yang besar,
pidato dapat berbentuk komunikasi langsung dan tidak langsung. Sebagai
contoh, dalam mengklarifikasi sebuah permasalahan, presiden Republik
Indonesia berpidato di istana negara. Pidato tersebut disaksikan secara
langsung oleh wartawan (komunikasi langsung) dan dapat diikuti pula
oleh rakyat Indonesia melalui layar kaca, radio, atau internet (komunikasi
tidak langsung). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pidato sebagai
komunikasi adalah arah pesannya, yaitu satu arah. Arah yang terbatas ini
membuat pengirim pesan seolah mendapatkan kebebasan untuk mengatur
jalannya pidato dan mengatur isi pidatonya sendiri. Terlebih lagi, tujuan
pidato pada umumnya, selain untuk memberi informasi, adalah
mempengaruhi penerima pesan.

Pidato, menurut Yuwono (2005) termasuk ke dalam jenis wacana


ekspresif, yaitu wacana yang sarana ekspresinya berasal dari ide penutur
atau penulis. Akan tetapi, bila sebuah pidato bertujuan untuk
mempengaruhi penerima pesan atau mitra tutur, maka pidato tersebut

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


berjenis wacana direktif. Penggolongan jenis wacana ini berdasarkan


fungsi-fungsi yang ditunjukkannya.

Fungsi wacana atau fungsi bahasa, meminjam istilah Zaimar dan


Harahap (2009), merupakan sistem klasifikasi wacana yang dikemukakan
oleh Jakobson (1985). Jakobson membagi fungsi wacana berdasarkan
elemen-elemen dalam komunikasi, yaitu: addressee, addresser, context,
message, code, dan contact. Dari keenam elemen tersebut, wacana
memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan fokusnya. Fungsi wacana yang
dikemukakan oleh Jakobson ada enam:

a. Fungsi referensial (referential function).


b. Fungsi puitis (poetic function).
c. Fungsi ekspresif (self-expressive function).
d. Fungsi konatif (conative function), Johnstone (2002)
menggunakan istilah fungsi retorik (rhetoric function).
e. Fungsi fatik (phatic function).
f. Fungsi metalinguistik (metalingual function).
Johnstone (2002) dan Zaimar dan Harahap (2009) sependapat
bahwa klarifikasi ini tidak dapat secara kaku diterapkan pada sebuah teks
karena teks tersebut berkemungkinan besar menggunakan beberapa fungsi
wacana. Tentunya penggunaan beberapa fungsi wacana ini secara sadar
dilakukan oleh pengirim pesan untuk mencapai tujuan tertentu.

Berkaitan dengan tujuan pidato untuk mempengaruhi pendengar-


nya dan mencapai tujuan tertentu, dikenal istilah retorika. Disiplin ilmu
seperti linguistik dan komunikasi politik cukup akrab dengan istilah ini.
Menurut Lauren (1981) sebagaimana dikutip oleh Syahriyani (2011) dari
Annisa (2010), keterlibatan konteks tempat dibacakannnya pidato, konteks
pendengar pidato, dan konteks tujuan yang diinginkan pembaca pidato
merupakan suatu kesatuan linguistik yang ditelaah dalam kajian linguistik.
Syahriyani (2011) menambahkan bahwa retorika berfungsi sebagai sebuah
strategi untuk memengaruhi pendengar melalui sebuah pidato yang
bersifat persuasif atau digunakan sebagai alat untuk membangun wacana
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


dan meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan yang disampaikan


dalam ranah ilmu komunikasi kontemporer.

Dalam retorika, masalah yang kerap kali menjadi fokus utama


adalah kekuasaan dan pembagiannya. Terkait dengan kekuasaan, retorika
memiliki tiga level atau tingkat. Tingkat yang pertama adalah kekuatan
pribadi (personal power), yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan
kekuatan yang membuka jalan untuk mencapai tujuan (cita-cita,
kesuksesan, dan lain-lain) bagi diri sendiri. Tingkat kedua adalah kekuatan
psikologis (psychological power), yaitu segala yang berkaitan dengan
kekuatan atau kemampuan untuk membentuk cara berpikir orang lain.
Tingkat retorika yang terakhir adalah kekuatan politis (political power),
yaitu segala yang berhubungan dengan pengaruh dalam pengambilan
keputusan dan aturan dalam menentukan orang yang berpendapat serta
pesan yang ingin disampaikan. Dengan kata lain, retorika, ideologi, dan
kekuasaan sangat erat hubungannya. Oleh karena itu, ketika satu ideologi
berperan dominan di dalam masyarakat, suatu kelompok tertentu dapat
diperkuat posisinya oleh konsepsi retorika yang terbentuk. (Herrick, 2000:
19-20)

Berdasarkan hubungan antara wacana, ideologi, dan kekuasaan,


Norman Fairclough mengembangkan sebuah teori bernama Analisis
Wacana Kritis (AWK). Fairclough membangun kerangka pemikiran
berdasarkan analisis wacana sebagai praktik sosial. Konsep Fairclough
bermula dari pemikiran Foucault yang melihat wacana sebagai
representasi pengetahuan dan kekuasaan. Lebih lanjut Fairclough menilai
bahwa wacana tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang terbentuk, tapi
juga dibentuk. Bagi Fairclough, wacana merupakan bentuk praktik sosial
yang mengubah dan mereproduksi identitas, relasi sosial, dan relasi kuasa
(power relation). Selain itu, wacana turut dibentuk oleh praktik dan
struktur sosial yang lain. Oleh karena itu, wacana dan unsur-unsur atau
dimensi sosial memiliki hubungan yang bersifat dialektis. (Jorgensen dan
Philips 2002: 65)

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


Dalam Analisis Wacana Fairclough, aspek koherensi dan kohesi


sebuah teks diperhitungkan untuk menelaah pengertian yang terbentuk dari
susunan kata dan kalimat. Selain itu, teks tersebut dianalisis dengan
melihat pilihan kata, tatanan semantik, dan tata kalimat. Dimensi yang
dibahas dalam Analisis Wacana Fairclough mencakup teks, praktik
wacana, dan praktik sosial. (Eriyanto, 2001)

Penelitian mengenai retorika menggunakan AWK pernah


dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Inggris FIB UI , yaitu
Febriannisa Mutiara dengan judul skripsi “Analisis Wacana Kritis
Terhadap Retorika Hubungan Islam dan Amerika dalam Pidato Obama di
Kairo, Mesir” pada tahun 2010 dan Alfi Syahriyani dengan judul skripsi
“Retorika Hubungan Amerika Serikat dan Indonesia dalam Pidato Obama
di UI: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis ” pada 2011. Mutiara
melihat bahwa retorika Obama di Kairo, Mesir, memiliki sejumlah wacana
mengenai hubungan antara Amerika dan komunitas muslim. Dengan
menggunakan teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough sebagai
teori utama, juga Teori Struktur Retorika (TSR) dan Benturan Peradaban
sebagai teori pendukung, Mutiara menemukan bahwa retorika Obama
memiliki indikasi pengalihfungsian relasi dialogis antara posisi pihak
penutur (AS) dengan audiens sasaran (komunitas Muslim). Penyajian
relasi dialogis tersebut sebaliknya memperkuat hegemoni pihak penutur
(AS) atas audiens sasarannya (komunitas Muslim). Namun demikian,
dalam studi yang dilakukan, Mutiara hanya membatasi penelitiannya pada
tiga wacana, yaitu isu ekstrimisme, isu konflik Israel dan Palestina, serta
isu pembangunan ekonomi, namun belum menjangkau semua wacana
yang disampaikan.

Tidak berbeda jauh dengan Mutiara, Syahriyani melihat adanya


tujuan untuk menguatkan hegemoni Amerika Serikat terhadap Indonesia
melalui pidato Obama di UI. Teori-teori yang digunakan Syahriyani
sebagai pendekatan dalam penelitiannya adalah teori AWK Fairclough
yang dikembangkan dari teori analisis wacana Foucault dan teori

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


hegemoni Gramsci yang bermula dari teori Marxisme Karl Marx. Dalam
penelitiannya, Syahriyani menemukan adanya strategi retorika oleh
Amerika Serikat yang terwujud dalam aspek kebahasaan, praktik wacana,
serta urutan wacana pidato yang mencerminkan relasi kuasa dan hegemoni
Amerika. Syahriyani juga tidak membahas keseluruhan wacana di dalam
pidato tersebut tetapi hanya tiga wacana yang memiliki episode yang
dominan.

Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang


sejenis, penelitian ini menawarkan sudut pandang yang berbeda.
Penelitian-penelitian sebelumnya menitikberatkan pada retorika yang
dibangun oleh pemimpin negara lain, terutama dari peradaban Barat, dan
efeknya terhadap komunitas Muslim dunia dan Indonesia. Di sisi lain,
penelitian ini mencoba menjabarkan retorika yang dibangun dari sisi
Indonesia, termasuk perannya sebagai salah satu negara dalam komunitas
Muslim dunia, dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh retorika yang
dibangun terhadap peradaban Barat. Di samping itu, penelitian ini
menggabungkan dua pendekatan telaah, yaitu AWK dan TSR, untuk
menganalisis data. TSR yang digunakan berfungsi untuk menjabarkan
organisasi teks secara makro. Kemudian organisasi retorika dalam teks
yang ditemukan akan memberikan gambaran umum pola retorika yang
dibangun dan kecenderungan penggunaan strategi oleh penutur atau
penyusun pidato. Pada akhirnya, TSR akan memperkaya dan memperinci
analisis data. Dengan demikian, penelitian ini dapat menunjukkan
dinamika retorika dari sudut pandang yang berbeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya yang sejenis dan menemukan adanya perbedaan-
perbedaan serta kesamaan-kesamaan dari pidato SBY dan Obama.

Retorika berperan penting dalam dunia perpolitikan modern, yaitu


untuk membangun wacana demi keberhasilan agenda politik. Karena
fungsi retorika yang persuasif, para pendengar seringkali tidak sadar
bahwa pola pikirnya sedang dikonstruksi. Dengan demikian, keutuhan teks

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


pidato sebagai wacana perlu diteliti karena melibatkan pemahaman dan


tujuan pengirim pesan dengan pemahaman penerima pesan.

Pidato SBY di Universitas Harvard merupakan rangkaian aktivitas


di Amerika setelah menghadiri pertemuan G-20 di Pittsburgh. Pidato yang
dihadiri oleh ratusan tamu undangan ini merupakan tanggapan kepada
pidato Obama di Kairo pada bulan Juni 2009. Pada kunjungannya tersebut,
Obama menyampaikan sebuah pernyataan politik melalui pidatonya.
Pernyataan ini tentunya menarik perhatian internasional karena Obama
mencoba meyakinkan dunia, terutama komunitas Muslim, bahwa Amerika
Serikat ingin memperbaiki hubungan dengan komunitas Muslim dunia dan
bekerja sama dengan semua pihak. Di samping itu, Obama juga
menegaskan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah Islam, melainkan
para teroris. Hal ini menjadi penting mengingat citra Amerika di mata
dunia internasional, terutama komunitas Muslim dunia, tidak terlalu baik,
seperti adanya invasi Amerika ke negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim dan kecenderungan untuk mendukung Israel dalam berbagai
konflik di Gaza. Sebagai tanggapan dari gagasan yang dikemukakan
Obama, SBY membicarakan tentang keharmonisan antar peradaban dalam
pidatonya. Berbeda dari pidato Obama, pidato SBY menjabarkan langkah-
langkah yang menurutnya bisa mengantar pada keharmonisan peradaban.
Selain itu, SBY juga menekankan peran penting Indonesia sebagai
jembatan antara dunia Islam dengan Barat. Hal ini didukung oleh kekuatan
Indonesia sebagai negara yang multikultural sekaligus memiliki banyak
penduduk beragama Islam. SBY berharap Indonesia dan Amerika dapat
menjadi rekan dalam membangun keharmonisan dunia internasional.
Kedua pidato kepala negara ini oleh Richard Greene, seorang ahli strategi
komunikasi Beverly Hills dan penasihat pidato, dianggap sebagai pidato
yang berpengaruh pada abad ini dan diangkat ke dalam bukunya yang
berjudul “Words that Shook the World: Addendum: The first decade of the
21st century.”

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


Pidato ini dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal.


Pertama, tema yang diangkat oleh pidato ini menarik, mengingat
keharmonisan antar peradaban dunia tidak jarang merenggang belakangan
ini. Kedua, pidato ini menawarkan sudut pandang lain dari hubungan
antara Islam dan Barat, khususnya Amerika Serikat. Kali ini, pihak Islam
yang mengajukan sebuah gagasan dan tawaran. Tentunya dengan alasan
bahwa Indonesia termasuk ke dalam bagian dari komunitas Muslim dunia.
Ketiga, terlihatnya dinamika retorika pada pidato ini. Tidak seperti
beberapa pidato SBY di beberapa kesempatan lain yang lebih terkesan
kaku dan kurang berwarna, pidato di Universitas Harvard ini memberikan
gambaran berbeda dari SBY ketika berpidato di negara lain.

1. 2 Rumusan Masalah

Penelitian ini mengkaji tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimana formasi retorika Susilo Bambang Yudhoyono di


Harvard University dibangun?

2. Bagaimana wacana retorika hubungan komunitas Muslim


(terutama Indonesia) dengan Amerika Serikat dipraktikkan?

3. Di manakah posisi Islam dan Amerika Serikat dalam konteks


pidato Susilo Bambang Yudhoyono?

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, antara lain:

1. Menjabarkan formasi retorika SBY di Harvard University.

2. Menggambarkan strategi retorika yang dilakukan SBY melalui


pidatonya di Harvard University.

3. Menjabarkan motivasi kontekstual dan relasi dialogis yang


dibangun dalam pidato SBY di Harvard University.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


10 

4. Mengetahui sasaran pendengar dari pidato SBY di Harvard


University.

1. 4 Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal. Pertama, penelitian ini


merupakan penelitian tekstual yang berbasis pada transkripsi resmi yang
dikeluarkan oleh Biro Publikasi dan Media Kepresidenan Republik
Indonesia. Teks pidato yang akan dianalisis, yaitu pidato Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) di John F. Kennedy School of Government, Harvard
University, Boston tertanggal 30 September 2009. Elemen-elemen
suprasegmental seperti intonasi tidak akan dianalisis secara spesifik dalam
penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian.

1. 5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dapat dibuat dalam penelitian ini, antara lain:

1. Wacana yang dibangun dalam pidato SBY memposisikan Islam


dan komunitas Muslim sebagai pihak yang patut
diperhitungkan oleh Amerika Serikat.
2. Terdapat kombinasi sejumlah fungsi wacana yang membangun
retorika hubungan Islam dan Amerika.
3. Retorika yang dibangun oleh SBY dipengaruhi oleh konteks
tempat dibacakannya pidato.
4. Retorika Islam pada pidato SBY berusaha memperbaiki citra
Indonesia sebagai salah satu negara komunitas Muslim terbesar
di dunia.

1. 6 Metodologi Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode


penelitian kualitatif deskriptif. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan
untuk menjabarkan fenomena atau gejala sosial, dalam kasus ini linguistik,
yang ada atau pernah ada. Penelitian ini melalui empat tahap, yaitu tahap
pengumpulan data, analisis data, temuan, dan kesimpulan.
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


11 

Tahap  Analisis 
Pengum Data  Temuan  Kesimpulan  
pulan 
Data 

A
Alur tahap analisis data

Pertama, dalam tahap pengumpulan data, penulis menggunakan


transkripsi resmi pidato SBY yang dipublikasikan oleh Biro Publikasi dan
Media Kepresidenan RI di presidenri.go.id. Sebagai data pendukung,
terutama dalam analisis praktik wacana (discourse practice) nantinya,
penulis mengambil rangkaian video dibacakannya pidato dari youtube.com
yang diunggah oleh Voice of America (VOA) Indonesia. Tahap kedua
adalah analisis data. Pada tahap ini, pidato tersebut akan dianalisis dengan
pendekatan analisis wacana kritis Norman Fairclough yang bermula dari
teori analisis wacana Foucault. Sebagai teori pendamping, penulis
menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dari William Mann dan
Sandra Thompson, serta teori benturan peradaban (clash of civilization)
dari Samuel Huntington. Setelah melakukan analisis terhadap pidato
secara keseluruhan, penulis akan menyampaikan hasil penelitian atau
temuan analisis. Terakhir, penulis akan menarik kesimpulan untuk
mendapatkan tinjauan umum penelitian.

1. 7 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan implikasi yang


bersifat teoritis, tetapi juga bersifat praktis. Implikasi teoritis yang
diharapkan dari penelitian ini adalah penambahan pemahaman dalam
analisis wacana terutama analisis fungsi wacana dalam sebuah pidato. Di
samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat mendorong penelitian-
penelitian linguistik lainnya yang menggunakan tuturan atau fenomena
komunikasi dan sosial dari pihak otoritas, seperti pemerintah, sebagai
korpus penelitiannya.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


12 

Di sisi lain, secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat


menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari suatu teks, terutama pidato
kenegaraan, sehingga masyarakat mengetahui salah satu faktor yang perlu
diperhatikan dalam membuat teks pidato dan dapat mengambil pelajaran
dalam mempersiapkannya.

1. 8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang
berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan,
hipotesis penelitian, metode yang digunakan, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian. Bab 2 akan membahas kerangka teori yang
melandasi penelitian. Bab 3 adalah analisis teks pidato SBY di Harvard
University, Boston dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana
Kritis (AWK). Analisis mencakup dua tahapan. Pertama, analisis teks
pidato secara tekstual menggunakan pendekatan TSR untuk mengetahui
struktur wacana dan retorika yang dibangun secara umum. Kemudian data
dianalisis menggunakan pendekatan AWK dengan menganalisis peristiwa
komunikatif dan praktik wacana yang ada di dalamnya. Setelah melalui
analisis tekstual, data akan dianalisis dengan melihat aspek-aspek
kontekstual dan sosiokulturalnya. Kemudian, pada bab 4, akan dibahas
mengenai temuan dari analisis pada bab 3, juga keputusan terhadap
hipotesis. Terakhir, kesimpulan dan saran akan disampaikan pada bab 5.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


13 
 

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan pendekatan yang digunakan peneliti dalam
menganalisis data penelitian. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Fairclough yang didasari teori wacana
Foucault. Di samping itu, penulis akan menggunakan teori fungsi wacana Roman
Jakobson dan pendapat-pendapat lain, seperti Zaimar dan Harahap (2009) dan
Johnstone (2002) yang berkaitan dengan fungsi wacana untuk memperkaya
pembahasan dalam penelitian ini. Sebagai teori pendukung lain, penulis akan
menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan teori benturan peradaban.
Sebelumnya, penulis akan menguraikan wacana dan analisis wacana berdasarkan
pendapat para ahli.

2. 1 Wacana

Di samping pengertian wacana dari beberapa ahli pada bab


sebelumnya, beragam definisi wacana dikemukakan oleh ahli-ahli lainnya.
Beberapa definisi wacana dari para ahli telah dirangkum secara rapi dan
padat oleh Baker dan Ellece (2011: 30-31) sebagai berikut:

a. Brown dan Yule (1983) memberikan definisi wacana dalam


bentuk paling umum. Mereka mengartikan wacana sebagai
‘language in use’ dalam keseharian.

b. Stubbs (1983) mengajukan definisi lain dari wacana, yaitu


‘language above the sentence or above the clause’. Stubbs juga
membedakan wacana dengan teks. Menurutnya, wacana bersifat
interaktif, sedangkan teks tidak interaktif atau monolog.

c. Foucault (1972) mengaitkan wacana dengan ideologi dan


mengartikannya sebagai ‘practices which systematically form
the objects of which they speak’

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


14 
 

d. Burr (1995) mengembangkan pengertian wacana yang diajukan


oleh Foucault sebagai berikut:
a set of meanings, metaphors, representations, images, stories,
statements and so on that in some way together produce a
particular version of events . . . Surrounding any one object, event,
person etc., there may be a variety of different discourses, each
with a different story to tell about the world, a different way of
representing it to the world. (Burr, 1995: 48 dalam Baker dan
Ellece, 2011: 31)

Selain para ahli yang telah dikutip oleh Baker dan Ellece, beberapa
ahli lain juga memiliki definisi sendiri tentang wacana, antara lain:

a. Yuwono (2005) mendefiniskan wacana sebagai “kesatuan makna


(semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa.”

b. Johnstone (2002) menganggap wacana sebagai sebuah contoh


realisasi komunikasi. Wacana juga diartikan oleh Johnstone
sebagai sumber pengetahuan umum tentang bahasa sekaligus
akibat-akibat yang dihasilkannya.
c. Zaimar dan Harahap (2009) memberikan definisi lain mengenai
wacana, yaitu satuan bahasa komunikatif yang sedang
menjalankan fungsinya, bersifat otonom, memiliki pesan yang
jelas, dan pemahamannya didukung oleh konteks situasinya.
d. Gee (2005) merumuskan wacana sebagai “bahasa +
pelengkapnya”. Pelengkap yang dimaksud oleh Gee di sini
adalah semua aspek yang terkait dengan bahasa itu, seperti nilai,
kepercayaan, simbol, tempat, interaksi, waktu, dan identitas.

e. Jorgensen dan Philips (2002) mendefinisikan wacana sebagai “a


particular way of talking about and understanding the world (or
an aspect of the world).”

Dari berbagai definisi wacana tersebut, empat hal yang mendasar


membuat sebuah aktivitas berbahasa tergolong dalam sebuah wacana

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


15 
 

adalah komunikasi, ide, bahasa atau simbol, dan konteks. Oleh karena itu,
wacana menjadi kesatuan bahasa yang lebih besar dari sebuah struktur
kalimat maupun paragraf karena sifatnya yang terikat pada faktor-faktor
eksternal tetapi tidak terikat pada batasan struktur.

2. 2 Analisis Wacana versus Analisis Wacana Kritis


Baik analisis wacana maupun Analisis Wacana Kritis (AWK)
merupakan pendekatan untuk menelaah sebuah teks. Akan tetapi, masing-
masing pendekatan memiliki cakupan, paradigma, dan tujuan tersendiri.

2. 2. 1 Analisis Wacana

Awalnya, analisis wacana secara sederhana didefinisikan sebagai


studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. (Eriyanto, 2001). Hikam
(1996) sebagaimana dikutip oleh Eriyanto (2001: 4), membahas paradigma
yang terkandung dalam analisis wacana. Setidaknya ada tiga paradigma
dalam analisis wacana menurut Hikam, yaitu positivisme-empiris,
konstruktivisme, dan pandangan kritis. Pandangan pertama melihat bahasa
sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Penilaian
yang ditekankan oleh pandangan ini adalah kesesuaian dan
ketidaksesuaian suatu wacana dengan kaidah-kaidah semantik dan
sintaksis. Hal ini didasari pemisahan antara gagasan dan realitas dalam
berbahasa sehingga seseorang tidak terdorong untuk mengetahui ideologi-
ideologi yang mendasari suatu wacana atau pernyataan dan tidak terdorong
untuk mengetahui makna-makna tersirat yang mungkin ada di baliknya.

Dalam praktiknya, peneliti, yang menggunakan pendekatan analisis


wacana, menelaah sebuah teks dengan melihat aspek kohesi dan
koherensinya. Tentunya penelitian tersebut didasari oleh pandangan bahwa
wacana yang baik memiliki unsur-unsur yang kohesif dan koheren.
Koherensi atau keutuhan wacana menurut Zaimar dan Harahap (2009: 17)
merupakan

“keterkaitan antara unsur-unsur dunia teks… dan berkat hubungan-


hubungan yang menggarisbawahi tersebut, isi teks dapat dipahami dan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


16 
 

relevan.” Sedangkan kohesi atau kepaduan wacana didefinisikan sebagai


keadaan di saat pemahaman suatu unsur dalam teks bergantung pada
unsur lain, sehingga dengan ketidakhadiran hubungan tersebut, teks tidak
dapat dipahami secara menyeluruh. (Halliday dan Hasan, 1976: 4)

Pandangan kedua dalam analisis wacana menurut Hikam adalah


konstruktivisme. Berbeda dari pemikiran pertama yang memisahkan antara
aspek-aspek yang mendasari sebuah wacana dengan wacana itu sendiri,
konstruktivisme menganggap bahasa dan subjeknya sebagai sebuah
kesatuan. Pandangan ini percaya bahwa penggunaan bahasa tidak terlepas
dari alasan-alasan dan gagasan-gagasan yang melatarbelakanginya.
Tentunya alasan dan gagasan tersebut tergantung dari penutur atau
pembuat wacana. Dengan demikian, menurut pemikiran ini, analisis
wacana selayaknya dapat menjabarkan maksud, tujuan, dan makna tertentu
dari sebuah wacana. Pemikiran kedua dapat dikatakan sudah mulai
mengaitkan wacana dengan aspek-aspek sosial, namun belum sedalam
AWK. Pemikiran yang ketiga, yaitu pandangan kritis merupakan
pandangan pada AWK. Oleh karena itu, penjabaran mengenai pemikiran
ini akan diberikan pada subbab selanjutnya.

2. 2. 2 Analisis Wacana Kritis

Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan pendekatan dalam


menganalisis teks dan hubungannya dengan praktik sosio-kultural
(Fairclough, 1995:7). Baker dan Ellece (2011: 26) mendefinisikan AWK
sebagai sebuah pendekatan dalam analisis wacana yang melihat bahasa
sebagai praktik sosial dan fokus pada hubungan ideologi dan kekuasaan
yang diekspresikan melalui bahasa. Bila AWK dihubungkan kembali
dengan pendapat dari Hikam di subbab sebelumnya, maka AWK berkaitan
dengan prinsip pandangan kritis. Fokus telaah AWK tidak terbatas pada
keberadaan aspek kohesi dan koherensi dalam wacana maupun tahap
penafsirannya. Bahasa dalam pandangan AWK tidak lagi menjadi
kesatuan yang dapat dilepaskan dari segala macam aspek yang

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


17 
 

menggunakannya, melainkan menjadi perwujudan ideologi dan gagasan


untuk mencapai tujuan penutur atau pembuat wacana.

Dalam praktiknya, AWK menggunakan bahasa dalam suatu teks


untuk dianalisis. Akan tetapi, adanya kata ‘kritis’ menunjukkan bahwa
analisis yang diterapkan tidak terbatas pada aspek-aspek kebahasaan,
melainkan juga mengaitkannya dengan konteks. Definisi konteks di sini
yaitu semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi
pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam teks, situasi tempat teks
diproduksi, dan fungsi yang dimaksudkan. Lebih jauh, konteks juga
berkaitan dengan aspek-aspek historis, sosial, budaya, politik, dan
ekonomi yang memengaruhi proses produksi serta penafsiran suatu teks.

Berkaitan dengan konteks, John Fiske1 menyatakan bahwa makna


tidak intrinsik di dalam teks, melainkan diproduksi lewat proses yang aktif
dan dinamis, baik dari sisi pembuat maupun khalayak pembaca. Teks dan
pembaca memiliki andil yang sama dalam mereproduksi pemaknaan.
Hubungan ini kemudian memposisikan seseorang dalam sistem nilai yang
lebih besar di kehidupan bermasyarakat. Pada titik inilah ideologi bekerja
(Eriyanto, 2001: 87).

Fairclough mempertegas hal ini dengan berpendapat bahwa bahasa


adalah bentuk material dari ideologi dan bahasa mengandung ideologi di
dalamnya (Fairclough, 1995:73). Dari pengertian tersebut, dapat dilihat
bahwa tujuan pembuat teks tersirat dalam bahasa. Bukan tidak mungkin,
hal yang disampaikan oleh pembuat teks mengandung ideologi tertentu
yang tidak disadari oleh pembaca. Dengan demikian, AWK bertujuan
untuk mengejawantahkan ideologi yang terkandung dalam suatu teks.
Ideologi dalam konteks ini dapat berupa pandangan, pernyataan sikap, atau
keberpihakan pembuat teks.

                                                            
1
Seorang pakar media dan Profesor Communication Arts di University of Wisconsin–Madison.
Area studinya meliputi budaya populer, budaya massa, dan kajian televisi.  

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


18 
 

Pendekatan Fairclough adalah bentuk analisis wacana berorientasi


teks yang menggabungkan tiga tradisi berikut:

1. Analisis tekstual yang terperinci dalam bidang linguistik


(termasuk teori functional grammar Michael Halliday)
2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori
Foucault yang tidak menyertakan metodologi untuk analisis
teks spesifik)
3. Analisis mikro-sosiologis (analisis mikro-sosiologis, tradisi
interpretatif dalam ilmu sosiologi, yang memandang kehidupan
sehari-hari merupakan produk dari tingkah laku manusia yang
mengikuti norma-norma dan prosedur yang secara umum
dianggap ”masuk akal”)

Selain model analisis Norman Fairclough, terdapat model AWK


lainnya yang dicetuskan oleh beberapa ahli, seperti Van Dijk serta Wodak
dan Van Leeuwen. Teun van Dijk melihat ideologi pada wacana secara
sosiokognitif, yaitu lebih menekankan pada bagaimana nilai-nilai yang ada
di masyarakat menyebar dan diserap oleh kognisi pembuat teks hingga
akhirnya digunakan untuk memroduksi sebuah teks (Eriyanto, 2001: 222).
Belakangan, kajian Van Dijk lebih fokus pada isu rasisme dan ideologi
(Van Dijk, 1998). Kemudian, model analisis wacana kritis lainnya digagas
oleh Wodak dan Van Leuwen. Dalam model analisisnya, Wodak
mengaitkan wacana dan aspek konteks historis dalam menafsirkan wacana.
Sementara itu, Van Leuweun berfokus pada cara aktor, baik individu
maupun kelompok, ditampilkan dalam sebuah pemberitaan.

Analisis Wacana Kritis memang bersifat subjektif. Akan tetapi,


subjektivitas dapat diminimalisir dengan bukti-bukti linguistik yang ada.
Teori AWK biasa diaplikasikan untuk menganalisis media, tetapi beberapa
poinnya relevan untuk menganalisis retorika. Dalam analisis retorika,
fokus AWK adalah bahasa sebagai praktik kekuasaan. Ada atau tidaknya
relasi kuasa antara penyusun teks, penutur teks, dan audiens. Pidato

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


19 
 

presiden juga bisa menjadi sarana dalam menampilkan ideologi secara


tersembunyi. Oleh karena itu, penulis memilih Analisis Wacana Kritis
Norman Fairclough untuk melihat praktik dan hubungan kekuasaan antara
pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan wacana. Secara umum,
tahapan analisis Fairclough terbagi dalam dua dimensi besar, yaitu
peristiwa komunikatif dan urutan wacana.

2. 2. 2. 1 Analisis Peristiwa Komunikatif

Dalam model analisis Fairclough, setiap contoh penggunaaan


bahasa adalah peristiwa komunikatif yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu
teks (text) contohnya teks pidato, tulisan, citra visual atau kombinasi
kesemuanya; praktik wacana (discourse practice) yang meliputi produksi
dan konsumsi teks; dan praktik sosiokultural (sociocultural practice).
Selain itu, terdapat juga unsur-unsur lain seperti gambar, warna, dan
bentuk tulisan atau ortografi yang memengaruhi rancangan sebuah teks
tertulis.
Berdasarkan kerangka analisis Fairclough, teks dianalisis dengan
memperhatikan kosakata, semantik, tata kalimat, koherensi, dan
kohesivitas. Analisis linguistik dilakukan dengan melihat tiga unsur yang
terdapat di dalam teks, yaitu identitas sosial, relasi sosial, dan representasi.
Ketiga unsur tersebut didasarkan pada teori Halliday mengenai tiga fungsi
bahasa, yaitu fungsi ideasional (ideational) yang merepresentasikan dunia,
fungsi interpersonal (interpersonal) yang melahirkan relasi sosial, dan
fungsi tekstual (textual) yang mengorganisasikan pesan (Fairclough, 1995:
131; Halliday, 1994: 39). Dimensi teks dalam analisis bahasa juga
memperhatikan beberapa poin, yaitu:

1. Pilihan dan pola kosakata (contohnya kata dan metafora)


2. Tata Bahasa (contohnya penggunaan kalimat aktif dan pasif
dalam laporan pemberitaan; dan penggunaan kata kerja)

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


20 
 

3. Kohesi (contohnya yaitu konjungsi, penggunaan sinonim dan


antonim) dan struktur teks (contohnya pengambilalihan dalam
interaksi pembicaraan) (Simpson dan Mayr, 2010:54)

Selanjutnya, dimensi kedua adalah praktik wacana (discourse


practice) yang berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Fokus
dari analisis ini adalah proses dari sebuah wacana diproduksi. Tentu saja,
baik pembuat teks, yang memproduksi, dan pembacanya, yang meng-
konsumsi, memiliki nilai-nilai ideologis yang mendasari teks tersebut.
Faktor pembentuk wacana dalam teks dapat berupa latar belakang
pengetahuan, interpretasi, dan konteks. Dalam penelitian retorika, yang
berperan dalam produksi teks adalah penyusun dan pembaca pidato,
sedangkan konsumennya adalah audiens. Terakhir, dimensi ketiga dari
model analisis Fairclough adalah praktik sosiokultural (sociocultural
practice), yaitu melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap
wacana. Dalam penelitian kali ini, konteks yang dimaksud dapat berupa
praktik institusi pembuat teks, yaitu Presiden dan para pembantunya, yang
dipengaruhi oleh politik, budaya, dan kondisi sosial masyarakat.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


21 
 

Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dapat


digambarkan sebagai berikut:

LAYER 3

Social Conditions of production

LAYER 2

Process of production

LAYER 1
LLLL
Text
 
 
Process of Interpretation
Interaction (ideology)

Social Conditions of Interpretation


Context (situational, institutional, societal)

Bagan 2. 1
Model Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Sumber: Language and Power (Fairclough 1989:25)

Kerangka analisis Fairclough di atas merupakan langkah awal


dalam menganalisis bahasa dan kekuasaan pada setiap jenis teks yang
berbeda. Model di atas menggambarkan wacana sebagai teks, baik yang
ditulis maupun di dituturkan, sebagai praktik wacana dan praktik sosial.
Lapisan terluar (layer 3) dari model Fairclough tersebut membedakan
pendekatannya dengan pendekatan yang lain dalam melihat bahasa.
Konteks sosial yang dimaksud tidak hanya meliputi kondisi lokal di mana
orang berkomunikasi, tetapi juga meliputi iklim sosial, kultural, dan
politik. Hal yang perlu digarisbawahi dari model tersebut adalah relasi
kuasa yang berada di dalamnya. Kepentingan, nilai, dan kepercayaan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


22 
 

mempertahankan adanya relasi tersebut (Lihat Clark dan Ivanic, 1997:


10—11).

Lapisan kedua (layer 2) pada model tersebut merupakan


interpretasi yang merepresentasikan praktik dan proses produksi, serta
penerimaan bahasa. Lapisan ini terdiri dari praktik penulisan otentik
(‘actual’ literacy practices) tempat pembuat teks berpegang terhadap
gagasan-gagasan yang ditulisnya. Lapisan ini juga menunjukkan adanya
proses kognitif dalam kepala pembuat teks, yaitu keputusannya tentang
bagaimana ia menyampaikan pesan dan menginterpretasi. Ideologi
pembuat teks dapat dilihat pada lapisan kedua karena fokus lapisan ini
adalah bagaimana proses produksi dan konsumsi teks. Bagian sentral
(layer 1) merupakan teks yang merujuk pada bidang sebenarnya dari
bahasa tertulis atau lisan yang muncul secara utuh. Relasi antara layer 1
dan layer 3 yaitu bahwa pembuat teks menghubungkannya dengan praktik
penulisan dan tipe wacana untuk memroduksi teks. Sementara itu, tanda
panah pada model di atas berarti bagaimana teks tersebut dibentuk dan
secara bersamaan membentuk interaksi sosial dan konteks sosial (ibid.).
Dengan demikian, Fairclough tidak hanya mengeksplor teksnya sendiri,
tetapi juga produksi dan interpretasi dalam konteks sosial yang lebih luas
(Simpson dan Mayr, 2010: 53).

2.2.2.2 Analisis Urutan Wacana

Istilah urutan wacana (order of discourse) berasal dari Michel


Foucault (Fairclough 1989:28). Urutan wacana adalah aspek semiotik dari
urutan sosial (social order) (Fairclough, 2001: 124). Fairclough melihat
bahwa ada kaitan antara persitiwa komunikatif dengan urutan wacana.
Keduanya bersifat dialektis. Peristiwa komunikatif tidak hanya
mereproduksi urutan wacana, melainkan mengubahnya melalui
penggunaan bahasa secara kreatif (Philips dan Jorgensen, 2002: 72)

Dalam analisis urutan wacana, Fairclough melihat bahwa ada dua


hal yang perlu diperhatikan, yaitu analisis hubungan pilihan (choice

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


23 
 

relations) dan analisis hubungan rantai (chain relations). Dua hal ini
memiliki dasar teori systemic functional grammar Halliday. Pilihan rantai
berhubungan dengan struktur kalimat, sedangkan pilihan kelas
berhubungan dengan sistem.

Berkaitan dengan analisis urutan wacana kritis, dalam menganalisis


urutan wacana di tingkat hubungan rantai, akan dilihat hubungan
antarwacana, alasan wacana tersebut diurutkan sedemikian rupa, serta
tujuan wacana tersebut digabungkan. Sementara itu, analisis hubungan
pilihan akan melihat pilihan wacana yang menempati slot. Kemudian,
setelah wacana-wacana tersebut dipilih dan diurutkan secara logis, pada
akhirnya pikiran pembaca teks akan terpengaruh dengan wacana yang
sudah disusun sedemikian rupa.

2. 3 Fungsi Wacana

Fungsi wacana merupakan warisan Roman Jakobson sebagai buah


dari penelitiannya mengenai komunikasi verbal. Dalam bukunya, “Verbal
Art, Verbal Sign, Verbal Time” Jakobson (1985: 143) mengklasifikasikan
faktor-faktor mendasar dalam komunikasi verbal, yaitu:

a. Addresser (speaker, encoder, emitter; poet, author; narrator).


b. Addressee (decoder, hearer, listener; reader; interpreter).
c. Code (system, langue).
d. Message (semelfactive parole, the given discourse, the text).
e. Context (referent).
f. Contact (“a physical channel and psychological connection
between speaker and addressee”)
Setiap faktor saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa berperan sebagai pembicara
(addresser) dalam sebuah seminar yang dihadiri oleh beberapa profesor
dan doktor (addressee), mahasiswa tersebut menggunakan tata bahasa

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


24 
 

(code) yang cenderung baku. Begitu pula dengan pesan dan cerita
(message) di dalam buku anak-anak, tentunya akan dibuat sesederhana dan
semenarik mungkin bagi anak-anak (addressee), berbeda dari cerita dalam
novel remaja. Jakobson menambahkan bahwa ketidakhadiran atau
ambiguitas dari salah satu faktor tersebut dapat memberikan dampak yang
beragam pada komunikasi. Jakobson memberikan contoh bahwa tidak
dapat dikatakan sebagai tindakan berkomunikasi ketika tidak ada pesan di
dalamnya.
Terkait dengan enam faktor komunikasi sebelumnya, penulis akan
menguraikan fungsi wacana yang dikemukakan Jakobson (1985) dengan
mengacu pada Zaimar dan Harahap (2009). Adapun fungsi-fungsi wacana
tersebut:

a. Fungsi referensial (referential function). Fungsi wacana ini


mengutamakan hal yang dibicarakan (context; Johnstone (2002)
menggunakan istilah content). Menurut Zaimar dan Harahap
(2009: 56), “dalam komunikasi, semua unsur bahasa yang
mengacu pada acuan tekstual maupun situasional menunjukkan
fungsi referensial.”

Contoh: “Angelina Sondakh hari ini resmi menjadi tahanan KPK.


Meskipun demikian, wanita yang pernah mendapatkan gelar putri
Indonesia ini tidak menunjukkan perasaan bersalah ketika
ditemui oleh para wartawan.”

b. Fungsi puitis (poetic function). Unsur pesan (message) dalam


komunikasi menjadi fokus utama fungsi ini. Unsur bahasa yang
termasuk dalam fungsi puitis adalah semua yang memberikan
nilai keindahan tertentu pada pesan, misalnya struktur teks, ritme,
permainan bunyi, intonasi, dan tekanan (Zaimar dan Harahap,
2009).

Contoh: “Lika-liku laki-laki”

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


25 
 

c. Fungsi ekspresif (self-expressive function). Fungsi wacana ini


menonjolkan faktor pengirim pesan (addresser). Dengan kata
lain, di dalam komunikasi tersebut, banyak mengandung
pendapat pemberi pesan tentang pesan yang disampaikan atau
justru pesan yang disampaikan berisi tentang pemberi pesan.
Zaimar dan Harahap (2009) berpendapat bahwa “dalam
komunikasi, semua unsur bahasa yang menunjukkan pribadi si
pengirim, mengandung fungsi ekspresif, termasuk kata seru yang
mengemukakan perasaan, komentar yang subjektif, intonasi
tertentu, dan lain-lain.”

Contoh: Seruan “Asyik, saya lulus ujian!” menggambarkan


kegembiraan atau sebuah ujaran saat wawancara, seperti “Saya
lahir di Bangka, tahun 1976. Pengalaman kerja saya belum
banyak.”

d. Fungsi konatif (conative function), Johnstone (2002)


menggunakan istilah fungsi retoris (rhetoric function). Penerima
pesan (addressee) menjadi fokus utama komunikasi yang
menunjukkan fungsi wacana ini. Fungsi ini biasanya terlihat
dalam komunikasi-komunikasi yang bertujuan untuk
mempengaruhi penerima pesan, seperti kampanye politik.
“Realisasi paling nyata dari fungsi konatif adalah bentuk
imperatif.” (Zaimar dan Harahap, 2009).

Contoh: “Cobloslah nomor 3!” atau “Keputusan terakhir


terserah Anda karena saya yakin Anda cukup bijak dan sangat
berpengaruh soal kebijakan perbankan.”

e. Fungsi fatik (phatic function). Fungsi wacana ini berpusat pada


saluran komunikasinya (contact). Menurut Zaimar dan Harahap
(2009) semua unsur bahasa dalam teks yang digunakan untuk
menjalin, mempertahankan, atau memutuskan hubungan antara

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


26 
 

pengirim dan penerima pesan (baik secara fisik maupun


psikologis), termasuk dalam fungsi fatik.

Contoh: Dalam obrolan sehari-hari, pertanyaan “Hai, ada waktu


sebentar tidak?” dapat digunakan untuk menjalin hubungan
komunikasi. Ujaran “Maaf, aku terima telepon dulu ya.”
berperan untuk mempertahankan komunikasi dan ujaran “Wah,
sudah jam 1, saya harus segera ke kelas. Nanti saya hubungi
lagi.” menjadi pemutus komunikasi.

f. Fungsi metalinguistik (metalingual function). Kode (code) atau


meminjam istilah dari Johnstone (2002), kaidah linguistik dan
wacana (linguistic and discourse conventions) adalah pusat dari
fungsi wacana ini. Zaimar dan Harahap (2009) berpendapat
bahwa “semua unsur bahasa yang di dalam teks, digunakan
untuk memberi penjelasan atau keterangan tentang kode yang
digunakan oleh pengirim, termasuk ke dalam fungsi
metalinguistik.” Di samping itu, menurut Johnstone (2002),
fungsi wacana ditunjukkan oleh teks yang menjelaskan tentang
sebuah teks lain atau bahkan menjelaskan teks itu sendiri.
Johnstone memberi contoh kamus dan cara seseorang
mengartikan ucapan orang lain sebagai bentuk teks yang
menunjukkan fungsi metalinguistik. Di sisi lain, Zaimar dan
Harahap memberi contoh tanya-jawab antara pengirim dan
penerima pesan dalam pelajaran bahasa dan ujaran untuk
memperjelas pesan, seperti “… yang saya maksud …” atau “…
artinya…” sebagai wacana yang memiliki fungsi metalinguistik.

Zaimar dan Harahap (2009: 57-58) memiliki catatan tersendiri


mengenai fungsi-fungsi wacana tersebut:

a. Keenam fungsi bahasa ini tidak dapat dikotak-kotakkan.


Bisa saja fungsi bahasa yang berbeda terdapat dalam teks

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


27 
 

yang sama, bahkan jarang sekali dalam satu teks hanya ada
satu fungsi bahasa saja.

b. Namun, harus diakui bahwa dalam suatu teks, salah satu


fungsi dominan, lebih penting dari yang lain, dan menjadi
kerangka dasar teks itu. Dengan demikian dapat disusun
suatu klasifikasi teks menurut fungsi bahasa.

c. Klasifikasi fungsi bahasa yang dikemukakan oleh


Jakobson ini diperdebatkan oleh para ahli bahasa. Ia dikritik
karena tak ada karakteristik linguistik yang menandai
masing-masing fungsi. Misalnya, kalimat: “Panas benar
udara hari ini”, bisa merupakan pernyataan perasaan, bisa
juga merupakan permintaan agar pembicara diberi minum.
Semua tergantung dari konteksnya.

d. Meskipun demikian, asalkan kita sadar bahwa berbagai


fungsi bahasa bisa bertumpang tindih dan saling berjalin
dalam satu teks, tampaknya klasifikasi ini banyak gunanya
untuk pembentukan dan analisis ujaran. Klasifikasi ini
memberikan cara yang relatif sederhana dan ketat untuk
menonjolkan unsur-unsur komunikasi yang hadir di dalam
teks, menentukan situasi komunikasi, dan dengan bantuan
pengetahuan tentang fungsi bahasa yang dominan, dapat
menentukan jenis pesannya.

Sebagai perangkum, Johnstone (2002) membuat sebuah diagram


berdasarkan klasifikasi Jakobson tentang fungsi-fungsi wacana yang
mencakup seluruh uraian dari fungsi-fungsi tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


28 
 

CONTENT
(Referential function)
MESSAGE
(Poetic function)

ADDRESSER…………………………………………….ADDRESSEE
(Self-expressive function) (Rhetorical function)

CONTACT
(Phatic function)
LINGUISTIC AND DISCOURSE CONVENTIONS
(Metalingual function)

Bagan 2. 2
Diagram Fungsi Wacana Barbara Johnstone
Sumber: Discourse Analysis (Johnstone, 2002:220)

2. 4 Teori Struktur Retorika


Teori Struktur Retorika (TSR) adalah sebuah pendekatan telaah
deskriptif tentang organisasi teks (Mutiara, 2010). Teori yang merupakan
hasil pemikiran Mann dan Thompson (1993) ditujukan untuk mengkaji
struktur relasi antar bagian teks. Analisis TSR menunjukkan asumsi bahwa
setiap teks memiliki elemen-elemen yang terhubung satu sama lain dalam
struktur hirarkis yang beroperasi dan fungsi tersebut menjadi sebuah
kesatuan untuk dimaknai oleh audiensnya. Struktur hierarkis tersebut
dibangun tidak hanya oleh elemen leksikal, tetapi juga elemen gramatikal,
seperti artikel, penanda transisi, modalitas, dan preposisi. Selain itu, TSR
juga mengidentifikasi relasi struktural teks berdasarkan logika bahasa saat
elemen gramatikal tidak secara eksplisit hadir dalam teks. Oleh karena itu,
analisis TSR menghasilkan deskripsi umum yang bersifat komprehensif
dan tidak parsial. Analisis TSR berupaya untuk mendeskripsikan
keterlibatan aspek literal dan non-literal yang melatarbelakangi produksi
komposisi struktur sebuah teks.
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


29 
 

Secara umum, TSR bermanfaat untuk mengkaji permasalahan dan


fenomena linguistik dalam sebuah teks tertulis. Fungsi TSR menurut Mann
dan Thompson (1987), antara lain adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan hubungan antar klausa untuk pemaknaan


konjungsi, kombinasi klausa, dan elemen parataksis tanpa
tanda.
2. Mendeskripsikan analisis karakter sebuah teks.
3. Menjadi analisis dasar dalam pengembangan kajian
perbandingan retorika dan kreasi wacana sebuah narasi,
termasuk untuk teks antar bahasa.
4. Alat untuk mengkaji struktur wacana naratif.
5. Alat untuk menganalisis motivasi atau proposisi di balik
produksi dan koherensi dari penulis atau penutur sebuah teks.

Analisis deskriptif TSR berawal dari identifikasi komposisi


struktur yang diproduksi oleh penulis atau penutur teks. Dari struktur yang
telah didapatkan tersebut, TSR akan menginterpretasi teks untuk
mengungkap relasi proposisi antara penulis dan atau penutur teks dengan
teks itu sendiri.

TSR berdasarkan Mann dan Thompson (1987) tidak menyebutkan


bahwa latar belakang penulis atau penutur teks mempengaruhi hasil
analisis, tetapi TSR menitikberatkan aspek konstekstual yang secara
implisit dimiliki struktur sebuah teks. Ini artinya TSR melihat aspek non-
literal seperti pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis atau
penutur teks dan sasaran audiens menjadi bagian yang terintegrasi dalam
struktur retorika teks. Struktur gramatika bahasa, sebagaimana dijelaskan
Francis dan Kramer Dahl, bahwa fungsionalisasi dan kreativitas dalam
produksi bahasa tidak bertumpu pada aspek leksikogramar (Francis dan
Kramer-Dahl dalam Toolan, 1992: 56-90). Lebih lanjut, Halliday
mendefinisikan penggunaan 3 klasifikasi bahasa, yaitu ide/konseptual,
tekstual, dan interaksional yang tersusun dalam struktur teks. Klasifikasi
tersebut dinamakan juga sebagai Systemic (meta) Functional Grammar.
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


30 
 

Pertama, bahasa mengkomunikasikan ide/konsep melalui suatu struktur


dalam kondisi tertentu (Halliday dan Hasan (1976) dalam Toolan, 1992:
66-80). Selanjutnya, struktur teks tersebut menggunakan pilihan kata
tertentu yang bersifat tematis sesuai ide/konsep yang diinginkan penulis
atau penutur. Ketiga, interaksional menentukan tingkat kepastian dan
modus tertentu saat teks dikomunikasikan kepada sasaran audiensnya.

Sasaran audiens diklasifikasikan secara kontekstual (Fowler dkk,


1979: 196). Audiens sasaran lebih lanjut diklasifikasikan dalam dua
kelompok. Kategori pertama adalah Esoteris, yaitu yang mengacu pada
audiens yang memahami dan terlibat dalam kontekstualisasi kaidah teks.
Eksoteris, sebaliknya, mengacu pada audiens yang tidak terlibat dalam
kotekstualisasi kaidah struktur teks tetapi memahaminya (Myers (1989)
dalam Toolan, 1992: 39). TSR menjabarkan antisipasi penulis atau penutur
menghadapi berbagai jenis audiens melalui struktur teks. Hal tersebut
mencakup antisipasi baik secara eksplisit tercantum maupun indikasi
implisit dalam struktur retorika sebuah teks. Maka sebuah retorika dapat
disampaikan dalam struktur yang bervariasi antara satu teks dengan teks
yang lain tergantung pada relasi yang ingin dibangun berdasarkan agenda
penulis atau penutur kepada sasaran audiensnya.

Rangkaian struktur hierarkis menurut Mann dan Thompson (1987)


dibangun secara komprehensif dari kombinasi berbagai rangkaian dalam
sebuah teks. Relasi paling dasar diawali dengan menelusuri hubungan dua
rangkaian umum dari suatu teks. Penelusuran kemudian dilanjutkan
hingga tersisa pasangan minimal saja. TSR meyakini bahwa setiap skema
relasi secara umum terdiri dari dua bagian berjenjang, yaitu Nucleus dan
Satelit. Nucleus adalah tumpuan bagi satelit.

2. 4.1 Jenis-Jenis Relasi

TSR memiliki empat jenis penekanan skema relasi. Jenis pertama


menekankan pada Nucleus. Jenis relasi rangkaian kedua menekankan pada
satelit. Jenis rangkaian berikutnya menekankan pada kombinasi Nucleus

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


31 
 

dan Satelis. Jenis terakhir menekankan pada efek struktur teks dan
audiensnya. Penentuan proporsi Nucleus dan Satelit tidak diatur dalam
suatu kaidah yang tegas. Suatu waktu bisa dilakukan pembagian
berdasarkan klausa dan di waktu yang lain dapat dilakukan pada tataran
kalimat, atau tataran paragraf sejauh hal tersebut memungkinkan dan ide
dapat dipahami audiensnya secara utuh di tiap kategorinya dengan
mempertimbangkan koherensi struktur teks. Crothers mengklasifikasi
proporsi Nucleus dan Satelit dengan berpengang pada prinsip Plausible
Judgements yang sifatnya kontekstual (Crothers dalam Mann dan
Thompson, 1993: 246).

Circumstance Antithesis and Concession


Solutionhood ~ Antithesis
Elaboration ~ Concession
Background
Condition and Otherwise
Enablement and Motivation ~ Condition
~ Enablement ~ Otherwise
~ Motivation
Interpretation and
Evidence and Justify Evaluation
~ Evidence ~ Interpretation
~ Justify ~ Evaluation
Relation of Cause
~ Volitional Cause Restatement and Summary
~ Non-Volitional Cause ~ Restatement
~ Volitional Result ~ Summary
~ Non-Volitional Result
~ Purpose Other Relations
~ Sequence
~ Contrast
Tabel 2. 1
Klasifikasi proporsi nucleus dan satelit

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


32 
 

2. 4. 2 Jenis-Jenis Skema

TSR mendefinisikan skema sebagai abstraksi pola-pola relasi antar


rangkaian yang menyusun struktur keseluruhan teks. Skema memiliki fitur
yang kurang lebih sama dengan aturan tata bahasa. Penentuan pemilihan
jenis skema bersifat kontekstual yang dibangun oleh skema sebelum dan
kemungkinan skema setelahnya. Secara umum, terdapat dua kategori jenis
skema, yaitu skema multi Nucleus dan Nucleus tunggal. Lebih lanjut,
Mann dan Thompson (1987) menyatakan bahwa indikator suatu skema
relasi ditentukan ciri-ciri semantis dalam makna keseluruhan ide yang
dihadirkan dan ciri-ciri sintaksis yang terkait dengan format susunan
komponen-komponennya. Sebagian ide skema relasi yang bertumpu pada
Nucleus saja. Sebagian skema relasi lainnya merupakan hasil kombinasi
ide dari Nucleus-satelit. Kedua ciri-ciri ini adalah elemen wajib dari tiap
skema relasi TSR. Di samping itu, sejumlah skema relasi memperlihatkan
tingginya tingkat kepentingan/motivasi penulis/penutur terhadap audiens
sasarannya terlepas dari komposisi makna keseluruhan yang dimiliki
skema relasi tersebut.

Pertama, skema berpola Multi nuclear yang memiliki lebih dari


satu Nucleus. Ciri sintaksisnya adalah formula kombinasi yang dapat
ditukar satu sama lain tanpa terjadi perubahan makna (substansi semantis).
Ciri-ciri tersebut hadir dalam skema relasi Sequence, Joints, dan Contrast.
Sedikit berbeda, perubahan urutan sintaksis Nucleus tidak merubah makna
yang disampaikan dalam skema relasi Sequence. Akan tetapi, audiens
memiliki pengandaian untuk berpegang pada sistemtika yang dipaparkan
dalam rangka keberhasilan aksi yang diharapkan dari kombinasi makna
tersebut. (Mann dan Thompson, 1987: 6)

Nucleus tunggal adalah pola berikutnya dengan komposisi


rangkaian sederhana dengan satu Nucleus dan satu atau beberapa satelit.
Urutan Nucleus dan satelitnya menentukan kategorisasi skema relasi
secara sintaktis. Pertama adalah Nucleus yang memiliki urutan sintaksis
didahului oleh satelitnya. Urutan sintaktis tersebut bertujuan untuk
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


33 
 

mempersiapkan audiens pada ide atau substansi makna yang dipaparkan


penutur kemudian. Bentuk-bentuk ciri-ciri sintaksis demikian dapat
ditemukan pada skema relasi Circumstance, Condition, Solutionhood,
Antithesis, Background, Consession, dan Justify. Tiga skema relasi
pertama yang disebutkan terlebih dahulu memiliki satelit yang hadir untuk
memperkuat kelogisan paparan Nucleus. Skema relasi Circumstance
memiliki satelit yang memuat situasi tertentu. Situasi yang disampaikan
adalah situasi-situasi yang diketahui secara luas atau lazim. Dengan
pemahaman tersebut, audiens dapat mengungkap makna sebenarnya yang
diandaikan sebagaimana harapan penutur. Sebaliknya, skema relasi
Condition memiliki satelit dengan pemaparan situasi tertentu yang tidak
disadari oleh para audiensnya. Situasi tersebut adalah sebatas penyampaian
hipotesis penutur sehingga memiliki nilai subjektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan skema relasi Circumstance. Dengan pemahaman tersebut,
audiens dapat mengungkap makna yang dipaparkan penutur dalam
Nucleus. Makna tersebut sifatnya mengantisipasi situasi yang ingin
disampaikan dalam satelit sebelumnya. Skema relasi Solutionhood sendiri
memiliki satelit yang memuat pernyataan bermakna permasalahan.
Nucleus dari skema relasi ini kemudian memuat pernyataan dengan makna
yang berupa tawaran solusi. Pemahaman audiens, pada masalah yang
disampaikan terlebih dahulu, dalam satelit menstimulasi mereka untuk
menerima bahkan mewujudkan tawaran solusi tersebut. Makna
keseluruhan dari ketiga skema relasi tersebut adalah hasil kombinasi
hubungan satelit dengan Nucleus. Ciri-ciri sintaksis serupa hadir pula
dalam skema relasi Consession. Akan tetapi, penekanan kombinasi satelit-
Nucleus skema relasi ini bukan pada makna keseluruhan tetapi kesan
positif secara keseluruhan dari audiens sasarannya. (Mutiara, 2010: 18-19)

Kehadiran satelit mendahului Nucleus dalam skema relasi


Antithesis, Background dan Justify tidak mengubah atau menambah makna
keseluruhan yang disampaikan dalam skema relasi tersebut. Satelit
sebaliknya malah memperkuat makna Nucleus. Skema relasi Antithesis
memiliki substansi semantis (ide) yang mempertentangkannya dengan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


34 
 

Nucleus setelahnya. Pertentangan tersebut meningkatkan kesan positif


pada Nucleus. Skema relasi Background pun memposisikan satelit untuk
mendukung tersampaikannya makna Nucleus secara sempurna. Makna
Nucleus hadir cukup jelas dan semakin jelas dengan kehadiran satelit yang
mendahuluinya sehingga menutup kesempatan audiens menginterpretasi
sebagaimana dimungkinkan dalam skema relasi Circumstance. Skema
relasi Justify memberikan keterbatasan bagi audiens yang kurang lebih
serupa dengan skema relasi Background karena audiens hanya
diperkenankan untuk memberi penutur restu atas makna Nucleus yang
disampaikan. Akan tetapi, skema relasi Justify dan Circumstance
cenderung memiliki formasi sintaksis yang lebih fleksibel karena posisi
satelit memungkinkan untuk hadir baik sebelum atau sesudah Nucleus.
(Mutiara, 2010: 19)

Model kedua adalah skema relasi dengan formasi sintaksis Nucleus


yang diikuti oleh satelit atau multi satelit. Model demikian meliputi skema
relasi Elaboration, Enablement, Motivation, Evidence, Volitional Cause,
Non-Volitional Cause, Volitional Result, Non-Volitional Result, Purpose,
Otherwise, Interpretation, Evaluation, Restatement, dan Summary.
Keutuhan makna bagi skema-skema relasi tersebut ditentukan oleh
kombinasi makna Nucleus dan satelitnya. Skema relasi Elaboration terdiri
dari satu atau serangkaian satelit yang memuat pernyataan lanjutan yang
lebih detil dari Nucleus-nya. Pernyataan lanjutan tersebut dapat berupa
contoh, pemaparan bagian per bagian, pemaparan proses, atau pemaparan
secara spesifik. Kesesuaian/kompatibilitas Nucleus dengan satelitnya
menentukan kelogisan ide secara keseluruhan dari skema relasi ini.
Kesesuaian ini pun menjadi aspek penting dalam skema relasi Restatement
dan Summary. Kedua relasi tersebut berbeda secara sintaksis. Skema relasi
Summary dapa mengakomodasi rangkaian multisatelit yang tidak ada
dalam skema relasi Restatement. Strategi sintaksis serupa berlaku dalam
skema relasi Evidence. Walaupun demikian, skema relasi Evidence tidak
menekankan pada kelogisan ide tetapi lebih lanjut pada tingkat
keyakinan/kepercayaan audiens pada kebenaran kombinasi Nucleus-satelit

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


35 
 

yang disampaikan oleh penutur. Skema relasi Volitional dan Non-


Volitional cause/Result dibangun oleh hubungan sebab-akibat antara
Nucleus dengan satelitnya. Apabila kombinasi makna menunjukkan
adanya hubungan kausalitas pada makna keseluruhan, skema tersebut
merupakan bentuk aksi Volitional/berhubungan. Skema relasi Volitional
Cause adalah saat Nucleus yang memiliki ide sebagai akibat dari sebab
yang terdapat dalam satelit. Formasi akibat-sebab menandakannya sebagai
Skema Relasi Volitional Result. Suatu rangkaian subordiantif
diklalsifikasikan sebagai aksi Non-Volitional apabila kombinasi makna
tidak memperlihatkan hubungan kausalitas pada aspek semantis
keseluruhan. Kombinasi tersebut adalah bentuk upaya aktif
penutur/penulis mengkamuflase/merekayasa pemahaman audiens sasaran
seakan-akan ada hubungan dalam kombinasi keduanya. (Mutiara, 2010:
19)

Untuk skema relasi Purpose, secara sintaksis serupa dengan skema


relasi Enablement. Walaupun demikian, skema relasi Purpose
menekankan makna keseluruhan yang bertumpu pada kombinasi Nucleus-
satelit. Audiens sasaran melalui skema relasi tersebut diberi ruang untuk
mengolah keseluruhan aspek semantis yang ditampilkan sebagai kesatuan
aksi. Hal ini berbeda dengan ide skema relasi Enablement yang hanya
bertumpu pada Nucleus saja dengan satelit yang dapat meningkatkan
kemungkinan audiens sasaran mewujudkan ide tersebut. Serupa dengan
skema tersebut baik secara semantis maupun sintaksis adalah skema relasi
Motivation. Hanya saja tingkat kemungkinan audiens melakukan ide
dalam Nucleus lebih rendah karena kehadiran satelit hanya sebatas
meningkatkan keinginan audiens sasaran saja untuk melakukan ide
Nucleus saja. Skema relasi Otherwise bentuk kontras dari sinergi sintaksis
skema relasi Condition. Bentuk kontras lainnya hadir dalam skema relasi
Interpretation yang memiliki ciri-ciri semantis skema relasi Circumstance
tetapi merupakan formasi model kedua (Nucleus diikuti satelit). Skema
relasi Evaluation semantis serupa dengan skema relasi Volitional Cause

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


36 
 

yang kali ini memperlihatkan subjektivitas penilaian penutur melalui


Nucleus-nya. (Mutiara, 2010: 20-21)

2. 4. 3 Nuklearitas

TSR lebih lanjut mengenal fenomena struktur skematis teks baik di


tataran makro maupun mikro bernama Nuklearitas. Menurut Mann dan
Thompson (1987), Skema-skema tersebut membentuk relasi hierarki
asimetrik atau searah yang berpusat pada Nucleus. Rangkaian satelit atau
multi satelit tanpa kehadiran Nucleus bersifat Non-Sequintur atau tidak
memuat presuposisi untuk memenuhi kelogisan bahasa. Rangkaian
demikian tidak dapat berfungsi/sulit dipahami maknanya. Sebaliknya, hal
tersebut tidak berlaku pada rangkaian yang terdiri atas Nucleus tunggal
atau multi Nucleus. Kehadiran Nucleus saja setidaknya mampu
menjelaskan makna dalam pemahaman sederhana. Konsep Nuklearitas
menurut Mann dan Thompson, dapat diidentifikasi kehadirannya dalam
rangkaian teks melalui atau tanpa penanda gramatikal (tanda baca) yang
memisahkan satu klausa dengan klausa yang lain. Matthiesen dan
Thompson (1988) melakukannya dengan mengkaji kompatibilitas struktur
kombinasi hipotaksis atau aspek sintaksis umum antar klausa dalam teks
tersebut dengan logika bahasa audiens sasarannya (Matthiesen dan
Thompson, 1988 dalam Mann dan Thompson, 1993, 269-270).

Dengan memahami adanya fenomena Nuklearitas dalam


operasionalisasi bahasa, analis TSR dapat mengenali anomali yang terjadi
dan cara teks dikomunikasikan dalam rangka membangun memori ide
dengan audiensnya. Variasi posisi Nucleus dan Satelit antar level
tergantung kepentingan dan paradigm penulis dan atau penutur teks.
Sejauh ini TSR melihat Nuklearitas hanya sebagai fenomena-fenomena
dalam rangkaian struktur teks multi Nucleus seperti fenomena struktur
Genre dan fenomena paralelisme. (Mann dan Thompson, 1987: 31-32)

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


37 
 

2. 4. 4 Klasifikasi Relasi

Sebagaimana karakter berbagai skema relasi TSR telah dijelaskan


sebelumnya, semua skema relasi dapat diklasifikasikan lebih lanjut. Tipe
skema dan fungsi relasional dalam kategorisasi jenis-jenis relasi dalam
TSR secara umum dibagi dalam dua divisi besar. Pembagian ini
dipengaruhi elemen semantik dan pragmatik dari teks agar dapat dipahami
para audiens sesuai agenda penulis dan atau penutur (Van Dijk, 1997
dalam Mann dan Thompson, 1993: 257). Divisi pertama mencakup relasi-
relasi yang berfungsi untuk membentuk keutuhan ide/konsep yang logis
(subject matter) pada pemahaman audiens. Divisi kedua mencakup relasi-
relasi yang berfungsi untuk presentasi (Presentational) dan membangun
afeksi dengan audiens agar mereka bersepakat dengan penulis dan atau
penutur. Kategorisasi labih lanjut dapat dilihat pada bagan berikut

Subject Matter Presentational


Elaboration Motivation
Circumstance (meningkatkan keinginan)
Solutionhood Antithesis
Volitional Cause (meningkatkan kesan positif)
Volitional Result Background
Non-Volitional Cause (meningkatkan kemampuan)
Non-Volitional Result Enablement
(meningkatkan kemampuan)
Purpose Evidence
Condition (menambah keyakinan)
Otherwise Justify
Interpelation (meningkatkan pengertian)
Evaluation Concession
Restatement (meningkatkan kesan positif)
Summary

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


38 
 

Sequence
Contrast

Tabel 2. 2
Klasifikasi Skema Relasi Berdasarkan Fungsi Semantik dan Pragmatik

Umumnya jenis skema relasi dalam divisi yang berfungsi semantis


diawali oleh Nucleus dan dilanjutkan oleh satelit, sedangkan untuk divisi
yang berfungsi untuk kepentingan pragmatis terdapat dua modus. Pertama,
diawali Nucleus kemudian satelit, seperti dalam skema relasi Motivation,
Enablement, dan Evidence. Modus yang kedua adalah satelit kemudian
Nucleus seperti dalam skema relasi Antithesis, Background dan Justify.
Lebih lanjut, relasi berbasis aspek semantis sebagian besar menekankan
pada Nucleus sedangkan relasi berbasis aspek pragmatis sebagian besar
menekankan pada satelit. Dari kedua divisi tersebut, sejumlah relasi
menekankan pada kombinasi Nucleus dan satelit seperti Solutionhood,
Circumstance, dan Concession. Aplikasi basis relasi skematis ini
bagaimanapun juga sekali lagi bergantung pada analisis konteks yang
komprehensif dengan mempertimbangkan keseluruhan teks. Demikian,
klasisfikasi ini dapat diaplikasikan secara bervariasi dan tidak mengikat
dalam memformulasikan struktur. (Mann dan Thompson, 2010: 8-9)

2. 4. 5 Aplikasi Skema
Mengacu pada Mann dan Thompson (1987: 6), TSR memiliki
variasi rangkaian skema yang terbagi dalam tiga kategori, yaitu:
1. Rangkaian acak: skema tidak memiliki batasan urutan Nucleus
atau satelit dalam rangkaian teks sehingga aplikasinya variatif.
2. Relasi tambahan: hal ini terjadi dalam skema multi relasi dengan
satu relasi utama.
3. Relasi berulang: relasi skema yang memiliki urutan rangkaian
cukup stabil dan khas untuk diidentifikasi

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


39 
 

Kehadiran indikator gramatikal secara eksplisit menentukan


proporsi dan aplikasi struktur skema sebuah teks karena dibutuhkan
pemahaman teks secara komprehensif dengan mempertimbangkan posisi
penulis atau penutur sebelum penentuan dilakukan agar tiap rangkaian
skema menjadi unik, koheren, dan utuh untuk dipahami sebagai sebuah
kesatuan struktur teks. (Mutiara, 2010: 23)

2. 4. 6 Teori Struktur Retorika Analisis Berganda

TSR mengakui fenomena ambiguitas tata bahasa yang


memungkinkan adanya perbedaan pemahaman teks dari analis satu dengan
analis lainnya walaupun menggunakan metode sejenis. TSR demikian
menegaskan bahwa hasil analisisnya adalah sebuah penafsiran struktur
deskriptif umum. Dengan melihat cara penentuan skema relasi dalam TSR,
sejumlah kemungkinan interpretasi tidak dapat dihindari. Diferensiasi ini
menjadi semakin kompleks apabila teks tersebut secara alamiah dibangun
dalam struktur yang ambigu. (Mutiara, 2010: 24)

Analisis berganda dapat pula terjadi dikarenakan faktor kesalahan


analis. Di satu sisi, beragam kategorisasi jenis-jenis skema relasi dalam
TSR mempengaruhi kecenderungan untuk melakukan kategorisasi sesuai
kategori yang ada. Terkadang suatu teks memiliki struktur teks yang
mereproduksi sejumlah jenis skema relasi dalam satu rangkaian dan
meningkatkan kompleksitas jenis rangkaian skema dalam TSR. Faktor
lainnya adalah murni kesalahan analisis yang kurang akurat. TSR ini
hampir dapat diaplikasikan pada semua jenis teks yang kita temukan
dalam kehidupan sehari-hari. Panjang atau pendeknya sebuah teks tidak
membatasi aplikasi TSR. Namun, di banyak kesempatan sejauh ini
diterapkan hanya dalam teks monolog. Untuk aplikasi di dalam teks
dialog/percakapan, Mann dan Thompson belum pernah melakukan hal
tersebut dan tidak menjelaskan kemungkinan tersebut lebih lanjut. (Mann
dan Thompson, 1987: 26-29)

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


40 
 

2. 5 Benturan Peradaban
Seorang analis politik bernama Samuel P. Huntington melalui
essaynya dalam jurnal Foreign Affair berjudul Clash of Civilization (1993)
dan dibukukan dengan judul Clash of Civilization and the Remaking of
World Order (1996) menawarkan sebuah argumen dan prediksi tentang
kondisi yang selama ini terjadi, terutama kondisi geopolitik dan sosial
dunia di abad 21. Dalam pandangannya, konflik yang selama ini terjadi
dan yang berpotensi terjadi dilatarbelakangi tidak lagi oleh kepentingan
kompetisi ideologis atau kepentingan ekonomi, tetapi benturan peradaban
dan identitas budaya satu bangsa dengan bangsa lainnya.

Huntington mengemukakan argumentasinya tentang kondisi


geososiopolitik dunia sebagai konstelasi multipolar yang dibangun oleh
sejumlah peradaban dominan. Perkembangan peradaban bangsa-bangsa di
dunia cenderung ditentukan oleh faktor kesamaan budaya dan pengalaman
historis yang semakin lama semakin menggeser tesis peradaban universal
(Huntington, 1996: 114-118). Dari kebangkitan peradaban budaya bangsa-
bangsa di dunia, China dan komunitas Muslim adalah peradaban yang
paling rentan untuk mengalami benturan peradaban dengan peradaban
Barat karena praktik peradaban Muslim, khususnya Islam di Timur
Tengah, dan China yang menganut nilai-nilai yang antagonistik
(Chomsky, 2003). Nilai-nilai tersebut antara lain terkait hak asasi manusia
(HAM), demokrasi, pemakaian senjata militer, dan imigrasi. Hubungan
masyarakat Barat dan non-Barat memiliki tingkat interaksi intensif yang
baru dimulai di sekitar abad 19. Salah satunya didukung karakter diaspora
masyarakat dari kedua peradaban tersebut. Dalam sejarah
perkembangannya, menurut Huntington, baik peradaban Islam maupun
China memiliki tingkat kerentanan konflik yang tinggi. Masing-masing
memiliki riwayat perang sekterian dan perang saudara selama berabad-
abad. Di samping itu, kedua peradaban ini dahulu memiliki pengaruh
kekuatan Komunisme semasa perang dingin.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


41 
 

Interaksi antara Peradaban Islam dan Barat seringkali berbenturan


selama berabad-abad (Huntington, 2008). Sepanjang abad ke-9 hingga ke-
15, Peradaban Islam unggul dari Peradaban Kristen. Sebaliknya,
Peradaban Kristen di akhir abad ke-15 kembali unggul. Di abad ke-19,
Peradaban Islam di kawasan Timur Tengah kembali dikolonisasi oleh
sejumlah kerajaan di Eropa. Benturan peradaban antara Islam khususnya
dari komunitas Muslim fundamentalis dan Barat (AS dan Sekutu) secara
kontemporer berkisar isu sekularisme dan teokratis otoritarian. Hal yang
sama melatarbelakangi terorisme dan menyebarkan Islamophobia di AS
dan negara-negara sekutunya pasca serangan 9/11 di tahun 2001 yang
menghasilkan invasi Afghanistan di tahun 2003 dan Iraq di tahun 2005.
Interaksi AS dan Islam di banyak kesempatan berbasis kekerasan
seperti melalui peperangan, terorisme, dan tanpa agenda bersama.
Keduanya mempertahankan identitas kultural dan tegas pada sikap politik
masing-masing. Crockartt (2007) sebagaimana dikutip oleh Huntington
(1993) menilai tanpa hubungan dialogis antara keduanya, peradaban Islam
dan AS senantiasa berbenturan karena komunikasi di antara keduanya
selama ini dan akan terus dibangung melalui budaya kekerasan. Tentunya
hal ini ambivalen dengan karakter kultural peradaban Barat yang
mendukung perlindungan hak asasi manusia sedangkan kepemimpinan
peradaban Barat kontemporer dipegang oleh AS (Huntington, 1993).

Demi menjaga kelangsungan pengaruh peradaban Barat di dunia


dan menghadapi tantangan kebangkitan peradaban bangsa-bangsa non-
Barat, Barat dinilai perlu untuk meredefinisi ulang konteks peradaban di
dunia (Huntington, 1993). Peradaban dunia bukanlah sesuatu yang
universal, tetapi kesatuan peradaban bangsa-bangsa di dunia dengan
keunikannya masing-masing. Relasi antar multi peradaban bergantung
pada kebijakan para pemimpin dalam mengelola keanekaragaman yang
ada. Kebijakan tanpa mempertimbangkan kerja sama multi budaya
memicu instabilitas geopolitik berupa peperangan peradaban global.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


42 
 

BAB III

ANALISIS

Dalam bab ini penulis ini akan melakukan analisis pada data penelitian
berupa transkrip pidato presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di
Universitas Harvard, Amerika Serikat yang secara resmi dikeluarkan oleh Biro
Publikasi dan Media Kepresidenan Republik Indonesia dan didukung dengan
video yang diunggah oleh VOA Indonesia ke situs youtube.com. Proses analisis
dilakukan dengan menggunakan Teori Struktur Retorika (TSR) dan Analisis
Wacana Kritis (AWK) yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya.

3. 1 Struktur Pidato Susilo Bambang Yudhoyono

Mengingat tidak adanya kaidah resmi yang menentukan cara untuk


mengelompokkan data dalam teks asal yang mencakup aspek yang
membuatnya signifikan dengan data lainnya, penulis memilih untuk
mengelompokkan data berdasarkan episode. Episode adalah istilah yang
digunakan oleh van Dijk (1981) untuk menjabarkan dan mengidentifikasi
unit semantis di tingkat makro dalam sebuah teks (Johnstone, 2002: 78).
Sebuah episode memiliki rangkaian gagasan yang secara internal koheren
dan membentuk sebuah gagasan semantis pada tingkat makro dan dalam
wacana tertulis, permulaan sebuah episode dapat ditandai dengan baris
atau jarak spasi (Johnstone, 2002).

Keseluruhan teks pidato ini terdiri dari 82 episode. Teks ini terdiri
dari bagian pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Pada bagian
pembuka, penutur atau penyusun teks pidato ini menyampaikan apresiasi
atas kesempatan untuk berbicara di Universitas Harvard. Sebelum
menyampaikan agenda utamanya secara lebih serius, penutur memasukkan
beberapa gurauan dalam bagian pembuka untuk mencairkan suasana.
Gurauan yang diujarkan hanya seputar Universitas Harvard. Di samping
itu, penutur juga menyampaikan kejadian yang melatarbelakangi

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


43 
 

pidatonya di Universitas Harvard dan tujuan serta tema besar dari pidato
tersebut. Terakhir, penutur mengajukan sebuah pendapat dengan
menggunakan istilah “civilizational powerhouse” dan “multi-civilizational
global community” yang dipercaya sebagai salah satu kunci untuk
mencapai keharmonisan peradaban. Bagian pembuka ini disampaikan
dalam teks sebanyak sebelas episode.

Pada bagian isi, teks pidato terdiri dari 59 episode. Isu utama yang
disampaikan secara eksplisit adalah sembilan langkah penting dan
mendesak untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Bagian terakhir,
yaitu penutup, disampaikan sebanyak dua belas episode. Bagian ini berisi
tentang pendapat penutur mengenai peran Amerika dan Indonesia sebagai
rekan dalam menciptakan keharmonisan peradaban serta harapan-harapan
penutur terhadap kondisi dunia di masa depan.

Analisis teks pada data ini mencakup keseluruhan episode karena


sembilan langkah yang diajukan sudah mencakup isu-isu lainnya. Penulis
akan menganalisis lebih jauh retorika yang diwacanakan dalam bagian
pembuka, bagian isi, dan bagian penutup. Walaupun data akan dianalisis
berdasakan bagiannya, penulis akan mencoba untuk melakukan analisis
secara komprehensif agar tidak timbul kesan data tersebut berdiri sendiri-
sendiri. Tahap pertama analisis adalah analisis tekstual. Tahap ini
mencakup analisis struktur retorika, analisis fungsi wacana, dan analisis
pilihan kata, tata kalimat, koherensi, dan kohesi. Tahap kedua adalah
praktik wacana (discourse practice). Pada tahap ini, akan dilihat
kandungan nilai ideologis yang mendasari produksi dan konsumsi teks
tersebut. Pembentuk wacananya dapat berupa latar belakang pengetahuan,
interpretasi, dan konteks. Secara teknis, dari segi praktik wacana, penulis
akan menganalisis strategi retorika SBY berdasarkan tempat dibacakannya
pidato dan reaksi audiens yang terekam dalam video sebagai data
pendukung. Tahap terakhir berupa praktik sosiokultural. Analisis ini akan
melihat pengaruh konteks sosial di luar teks terhadap wacana.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


44 
 

Bagan di bawah ini merupakan representasi analisis retorika SBY


di Universitas Harvard berdasarkan Analisis Wacana Kritis Norman
Fairclough:

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


45 
 

LAYER 3

Social conditions of production

Perubahan ideologi dan kebijakan pembangunan Indonesia di era global


Perubahan sikap Amerika dan Indonesia terhadap demokrasi
Perubahan sikap Amerika pada dunia muslim

LAYER 2
Process of production
Produksi teks: kandungan paham
multikulturalisme, postmodernisme,
pluralisme, dan liberalisme dalam teks

LAYER 1 Text:

Pidato SBY
Package:

Hubungan
Amerika-Indonesia

Process of interpretation
Interaction

Konsumsi teks: reaksi audiens yang terekam


dalam video

Social conditions of interpretation


Context (situational, institutional, societal)

Bagan 3.1
Kerangka analisis Retorika SBY berdasarkan
model analisis Norman Fairclough

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


46 
 

Analisis tekstual dapat diaplikasikan terhadap lapisan atau tingkat


pertama. Lapisan selanjutnya, yaitu lapisan kedua akan secara lebih
mendalam dikaji melalui analisis praktik wacana. Terakhir, analisis
sosiokultural akan mencakup lapisan ketiga.

3. 2 Analisis Bagian Pembuka

3. 2. 1 Analisis TSR Bagian Pembuka

Berdasarkan TSR, bagian ini memiliki empat tingkat analisis.


Secara umum, relasi yang terbangun antar episode di bagian pertama ini
memperlihatkan skema relasi Concession. Hal tersebut diindikasikan oleh
episode 1 hingga 6. Rangkaian episode awal tersebut membawa pesan
yang selanjutnya dijabarkan melalui episode 7 hingga 11. Dalam skema
keseluruhan bagian pembuka, episode 1-6 berkedudukan sebagai satelit,
sedangkan episode 7-11 berkedudukan sebagai kesatuan nucleus. Satelit
yang disampaikan dalam konteks ini tidak memberikan penjelasan tentang
nucleus. Tanpa kehadiran episode 1-6, audiens tetap mampu memahami
konteks episode 7-11. Episode 1-6 memiliki peran pragmatis untuk
meningkatkan kesan positif terhadap nucleus, alih-alih memperkuat
pemahaman konseptual dari bagian pembuka pidato. Kesan positif menjadi
penting karena ide yang terdapat dalam nucleus dapat ditolak oleh
audiensnya dan menggagalkan tujuan yang ingin disampaikan melalui
pidato tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


47 
 

Bagan 3.2
3
Skem
ma relasi bagiian pembuka

Kesann positif peertama yang


g terlihat dalam
d bagian pembuk
ka ini
berrada pada episode 1, yaitu den
ngan menyeebut nama Profesor David
D
Elllwood, selaaku Dekan, Profesor Jo
ohn Thomass, dan menyyapa para haadirin
mpilkan melalui
seccara keseluuruhan. Seelanjutnya, kesan poositif ditam
sejjumlah kalim
mat, antaraa lain “I am
m honored too be here tooday, to ad
ddress
thee distinguished facultyy and students of Harvvard Univerrsity” pada awal
epiisode 2, “I am impresssed with thee turn-out thhis evening…” pada kaalimat
keddua episodee 2, dan “I must admitt, I have waanted to vissit Harvard for a
lonng time” dii kalimat keetiga episod
de kedua. Ini
I memperrlihatkan ad
danya
keiinginan peenyusun piddato agar audiensnyaa menerim
ma maksud baik
pennyusun piddato. Kesan positif dalaam bagian pembuka ddiperkuat deengan
pennyisipan guurauan-guraauan di dalaamnya, antara lain “… ffor the stud
dents,
I hope
h you arre NOT herre today as an excuse to
t skip classs.” pada kaalimat

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


48 
 

kedua di episode 2, “Don’t take this the wrong way: but I find it
interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard;
it’s actually people who went to Harvard who ended-up working for me!”
di kalimat ketiga episode 3, “So now other than being a loyal soldier in the
Indonesian army, he is also another Harvard student working for me!”
pada kalimat kedua di episode 4, dan “I speak today at Harvard, the oldest
and most prestigious University in America. (And please do not tell people
in Princeton and Yale I said this.)” pada kalimat kedua di episode 6.

Kesan positif yang dibangun, terutama dengan menggunakan


gurauan, menjadi pengantar sebelum memasuki agenda yang lebih serius
pada bagian isi yang menyinggung tentang hubungan komunitas Muslim
dengan komunitas non-Muslim dan isu keharmonisan antar peradaban. Di
samping itu, penyampaian gurauan dalam pidato tersebut dapat menjaga
citra Indonesia sebagai bangsa yang ramah dan terbuka.

Skema relasi pada tingkat berikutnya mencakup episode 5-11 yang


menunjukkan skema relasi Background. Skema relasi Background tersebut
memiliki episode 5-6 sebagai satelitnya dan episode 7-11 berfungsi
sebagai nucleus. Rangkaian episode tersebut menjelaskan latar belakang
SBY untuk berpidato di tempat tersebut. Salah satunya sebagai respons
terhadap pidato Obama di Kairo. Bagian ini memang tidak secara
signifikan mempengaruhi pemahaman audiens tentang ide yang akan
disampaikan, namun latar belakang ini memberikan gambaran luas tentang
tema maupun topik yang akan dibicarakan, yaitu keharmonisan antar
peradaban khususnya antar umat beragama dan isu-isu mengenai Islam.

Kemudian, skema relasi yang dibentuk selanjutnya adalah


Elaboration. Pada skema relasi ini, episode 8-11 yang berfungsi sebagai
satelit memperjelas dan mempertegas maksud dari episode 7 yang
berfungsi sebagai nucleus. Menurut penutur atau penyusun pidato, G-20
merupakan contoh nyata dari keharmonisan antar peradaban. Dengan
demikian, secara tersirat penutur atau penyusun pidato menginginkan
keharmonisan antar peradaban yang seperti demikian, yaitu dapat

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


49 
 

berkomunikasi dengan baik tanpa mempermasalahkan isu-isu ras dan


agama. Pada tingkat terakhir, rangkaian episode 8-10 membentuk skema
relasi Justify. Pada episode 10, yang berfungsi sebagai nucleus, penutur
atau penyusun pidato mengemukakan sebuah gagasan atas peran G-20
dalam mempertahankan kondisi global. Di samping itu, peran episode 8-9
sebagai satelit turut memberikan alasan atau argumen untuk meyakinkan
audiens bahwa gagasan yang dikemukakan tersebut dapat diterima dan
memiliki dasar pemikiran yang jelas. Rangkaian-rangkaian episode
sisanya, yaitu episode 1-4, episode 5-6, episode 7-8, episode 8-9, dan
episode 10-11 tidak memiliki hubungan retorik. Oleh karena itu, skema
relasi yang dibangun hanya sebatas Joint, yaitu memberikan detil kepada
keseluruhan wacana tapi tidak menimbulkan dampak tertentu pada
penerima pesan.

3. 2. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Pada tahapan ini, akan dianalisis pilihan-pilihan kata dan frase


yang digunakan oleh penutur dan atau penyusun teks pidato. Karena kata
dan frase memiliki hubungan sintaksis dan semantis, analisis keduanya
akan dilakukan secara bersamaan. Pilihan kata dan frase tersebut tentunya
akan memengaruhi penerimaan audiens terhadap informasi yang telah
disusun. Pilihan-pilihan tersebut mungkin saja mengindikasikan
representasi baik atau buruk, atau malah bersifat netral.

Pada bagian pembuka, penutur atau penyusun pidato cenderung


langsung kepada pokok pembicaraan tanpa banyak berbasa-basi. Dalam
bagian ini pula tidak ditemukan keinginan penutur atau penyusun pidato
menjadikan audiens atau Amerika Serikat sebagai bagian dari Indonesia.
Terkadang, penggunaan kata “we” yang mengikutsertakan audiens dapat
memberikan kesan yang demikian, namun hal ini tidak ditunjukkan pada
bagian pembuka. Di samping itu, ketiadaan pengikutsertaan audiens dalam
ide yang diajukan, menunjukkan sikap penyusun atau penutur pidato dari

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


50 
 

awal pidato yang memposisikan diri sebagai pembicara dan audiensnya


sebagai pendengar.

Akan tetapi, strategi “politeness” tetap digunakan oleh penutur atau


penyusun pidato tersebut. Politeness, menurut Johnstone (2002),
merupakan strategi seorang penutur untuk membuat nyaman lawan bicara.
Lakoff (1973) membuat tiga “rules of politeness” sebagaimana dikutip
oleh Johnstone (2002) sebagai berikut:

1. Formality (Distance): Do not impose on others; be sufficiently aloof.


2. Hesitancy (Deference): Allow the addressee options about whether
or not to respond and about how to respond.
3. Equality (Camaraderie): Act as if you and the addressee are equal;
make the addressee feel good

Beberapa frase atau kata yang menunjukkan politeness di bagian


ini berupa pujian maupun sanjungan, antara lain penggunaan frase “the
distinguished faculty and students of Harvard University” pada kalimat
pertama episode 2. Kemudian, penutur atau penyusun pidato juga
menggunakan klausa lain yang menunjukkan pujian seperti “fortunate to
study here” dalam kalimat kedua episode 3, “the prestigious Harvard
program” pada kalimat pertama di episode 4. Dengan menggunakan
strategi politeness ini, penutur atau penyusun pidato berusaha
memposisikan audiens dan tuan rumah di tempat yang terhormat walaupun
tidak berusaha menjadikan audiens bagian dari penutur atau penyusun
pidato dan tetap memposisikannya sebagai hubungan “pembicara” dan
“pendengar.”

Untuk memperkuat kesan positif audiens terhadap penutur atau


penyusun pidato, pujian juga ditujukan untuk presiden Amerika Serikat,
Barrack Obama. Hal ini terlihat dari penggunaan frase “a historic speech”
untuk merujuk pada pidato Obama di Kairo. Selain menunjukkan rasa
hormat penutur atau penyusun pidato terhadap Obama dan Amerika,
penggunaan frase tersebut juga menunjukkan sikap Indonesia terhadap

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


51 
 

pidato Obama, terutama gagasan-gagasan yang diajukan olehnya. Dengan


kata lain, Indonesia bersikap terbuka atas ajakan Obama untuk bekerja
sama dan menjalin hubungan baik antara dunia Islam dan dunia Barat.

Pada pidato ini, sebuah istilah baru juga diajukan, yaitu


“civilizational”. Secara kaidah bahasa, penggunaan istilah tersebut tidaklah
lazim. Akan tetapi, penggunaan istilah itu tentunya memiliki maksud dan
tujuan tersendiri. Secara morfologi, kata “civilizational” berasal dari kata
“civil” yang diberi akhiran (suffix) “-ization” dan “-al”. Akhiran “-ization”
berfungsi untuk membentuk kata benda, sehingga bentuk pertama yang
didapat adalah “civilization”. Arti kata civilization dalam bahasa Indonesia
secara umum diartikan sebagai peradaban. Ketika kata “civilization”
diberikan akhiran “-al” maka kata yang terbentuk merupakan kata sifat.
Kata “civilizational” secara umum dan singkat dapat diartikan “beradab”,
“berhubungan dengan rakyat atau peradaban”, atau “memiliki peradaban”.
Bila arti “civilizational” tidak jauh dari dari pengertian tersebut, maka
penutur atau penyusun pidato melakukan tindakan yang sia-sia atau
melakukan pemborosan dalam menggunakan kata-kata karena penutur
atau penyusun pidato dapat menggunakan kata “civil” atau “civilized”.
Akan tetapi, bila ditilik lebih jauh lagi, maka ada makna yang lebih luas
dari penggunaan kata tersebut.

Pertama, penutur atau penyusun pidato ingin menekankan


pentingnya kekuatan sumber daya manusia atau kekuatan sipil dalam
membangun sebuah negara. Bahkan, kekuatan tersebut dapat digunakan
untuk mencapai keharmonisan dan menjaga hubungan baik antar negara.
Oleh karena itu, kata “civilizational” disandingkan dengan kata
“powerhouse” yang memiliki arti “sebuah kelompok atau sebuah
organisasi yang kuat dan berpengaruh”. Kelompok atau organisasi yang
dimaksud adalah G-20. Dengan demikian, penutur atau penyusun pidato
bermaksud untuk menunjukkan bahwa kekuatan G-20 tidak hanya berasal
dari kekuatan ekonominya, tetapi juga dari kekuatan keberagaman budaya,
penduduknya, dan tentunya peradabannya. Kedua, penggunaan kata

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


52 
 

“civilizational” memberi kesan bahwa penutur atau penyusun pidato


sedang mengingatikan audiens dan dunia, pada umumnya, bahwa sebagai
bangsa yang beradab tidak sepantasnya hidup berdampingan secara tidak
harmonis. Terakhir, istilah ini dipakai sebagai sinyal bahwa selanjutnya,
isu yang dibicarakan terkait dengan peradaban (civilization).

3. 2. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Dalam analisis ini, penulis akan menganalisis hubungan antara


klausa dan kalimat yang membuat beberapa ide di dalam wacana menjadi
saling berkaitan dan menghasilkan sebuah pengertian. Ide dan wacana
tersebut, sebagai kesatuan, tentunya dapat memperlihatkan tujuan atau
maksud penutur dalam menyampaikan pesan. Hal ini dikarenakan penutur
atau penyusun sebuah teks pidato dapat membentuk idealisme di dalam
teks sesuai dengan pandangannya sendiri.

Secara tata bahasa, analisisi di bagian ini terpusat pada kombinasi


klausa dalam kalimat, antar kalimat, dan antar episode. Keberadaan
koherensi, kohensi, dan tanda baca dalam teks juga diperhitungkan dalam
analisis ini. Secara spesifik, koherensi terdiri dari elaborasi (penjelasan),
ekstensi (penambahan), dan hubungan perluasan. Sementara itu, kohesi
terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.
Bentuk-bentuk kohesi yang termasuk ke dalam kohesi gramatikal menurut
Zaimar dan Harahap (2009) adalah referensi (terbagi menjadi eksofora dan
endofora), substitusi, ellipsis, dan konjungsi. Begitu pula dengan kohesi
leksikal, keduanya memasukkan repetisi, sinonim, hiponim dan hiperonim,
leksem generik, dan isotopi. Akan tetapi, pada bagian analisis ini dan
bagian analisis selanjutnya, tidak semua bentuk kohesi akan disajikan. Hal
ini tergantung pada fenomena-fenomena yang terlihat pada teks. Pada
analisis bagian pembuka, akan dilihat penggunaan koherensi dan kohesi
oleh penutur atau penyusun pidato dalam membentuk idealisme menurut

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


53 
 

pandangannya sendiri. Penggunaan koherensi dan kohesi secara tersirat


dapat mengungkap ideologi penutur atau penyusun pidato.

Pada bagian ini, strategi campur kode (code mixing) digunakan


untuk memulai pidato. Code mixing atau campur kode menurut Holmes
(2001) adalah perubahan dari satu bahasa ke bahasa lain dalam ujaran
yang sama. Holmes menambahkan, penggunaan campur kode oleh seorang
penutur dapat didasari oleh latar belakang, sikap penutur terhadap bahasa
tertentu, dan keterbatasan bahasa. Kata yang menunjukkan campur kode
adalah “Bismillahirrahmanirrahim” pada kalimat pertama di episode 1
yang artinya “dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.” Kalimat ini biasa digunakan oleh umat Islam untuk memulai
kegiatan, misalnya makan, masuk kendaraan, dan pidato sebagaimana
yang dipraktikkan oleh SBY. Adanya campur kode di bagian awal dapat
menjadi petunjuk bahwa penutur atau penyusun pidato ingin
memperlihatkan identitas diri sebagai seseorang yang memeluk agama
Islam. Selain itu, penggunaan campur kode dapat digunakan sebagai
penegasan bahwa Indonesia merupakan salah satu komunitas Muslim
terbesar di dunia. Tidak adanya campur kode bahasa Arab, terutama yang
berhubungan dengan ritual keagamaan, tidak mengurangi pengetahuan
audiens mengenai Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk
terbanyak yang memeluk agama Islam. Akan tetapi, penggunaan campur
kode di awal tetap penting untuk menunjukkan identitas ke-Islaman
Indonesia.

Penutur atau penyusun pidato menggunakan beberapa sinyal dalam


teks pidato tersebut. Sinyal yang pertama adalah kata “NOT” dalam
kalimat kedua episode 2. Huruf kapital tersebut menjadi tanda bagi
penutur untuk memberi penekanan pada kata tersebut. Hal ini juga
dikarenakan tujuan penyusun pidato untuk menyisipkan humor di awal
pidato. Kemudian, adanya tanda baca berupa tanda seru juga menjadi
sinyal pada bagian pembuka ini. Tanda seru ditemukan pada kalimat
terakhir episode 3 dan 4. Tujuan keduanya tidak jauh berbeda dengan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


54 
 

sinyal sebelumnya yaitu untuk memberikan penekanan pada topik atau


kata tertentu. Di samping itu, episode 3 dan 4 juga berfungsi untuk
membangun kesan positif. Oleh karena itu, kedua tanda seru pada episode
tersebut membantu penutur pidato dalam menyampaikan humor kepada
audiens. Selain menjadi penanda penekanan dalam kata atau kalimat, tanda
seru tersebut menjadi penanda bagi penutur untuk berhenti sejenak. Bila
kesan positif yang dibangun sesuai dengan ekspektasi, maka melalui
gurauan tadi, audiens akan memberikan respons, bisa jadi tepuk tangan
atau tawa. Ketika audiens memberikan respons terhadap atmosfer yang
dibangun, seorang penutur disarankan berhenti sejenak agar pesan yang
disampaikan selanjutnya dapat diterima secara optimal.

Pada bagian pembuka ini, penutur atau penyusun pidato terlihat


hanya sekali menggunakan substitusi untuk menyebut G-20, yaitu pada
kalimat terakhir pada episode 8: “The G-20 grouping, comprising some 85
per cent of the world's GNP and 80 per cent of world trade, is not just an
economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse.”. Dengan
demikian, kata “G-20” mengalami pengulangan atau repetisi. Repetisi
menurut Zaimar dan Harahap (2009) tidak hanya memberi penekanan pada
suatu teks atau gagasan atau memperkuat kohesi teks, tetapi juga
memberikan memberikan konotasi pada gagasan tersebut. Hal ini, dengan
kata lain, menunjukkan keinginan penutur atau penyusun pidato untuk
menonjolkan peran G-20. Tentu saja tindakan penutur atau penyusun
pidato tidak lepas dari isu yang sedang berkembang mengenai G-20.
Sebelum diadakannya pertemuan dan di hari diadakannya pertemuan G-20
di Pittsburgh, terjadi aksi protes dari berbagai kalangan, terutama
kelompok yang tidak setuju dengan praktik kapitalisme dan pasar bebas.
Dengan demikian, secara tidak langsung citra yang kurang baik dari G-20
turut mengurangi citra Indonesia. Oleh karena itu, repetisi yang
ditunjukkan pada bagian pembuka ini menekankan peran dan pentingnya
keberadaan G-20 sebagai wadah pemersatu berbagai negara sekaligus
memperbaiki citra Indonesia sebagai salah satu anggota G-20. Pencitraan
Indonesia melalui G-20 ini bersifat dua arah. Pertama, dukungan Indonesia
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


55 
 

terhadap G-20 yang erat hubungannya dengan negara-negara kapitalis


mengindikasikan hubungan Indonesia yang condong kepada negara-negara
tersebut. Dengan demikian, Indonesia secara tidak langsung menunjukkan
dukungannya terhadap Amerika. Kedua, penutur atau penyusun pidato
berusaha mengalihkan isu terhadap G-20. Isu yang hangat
diperbincangkan mengenai G-20 adalah isu ekonomi dan geopolitik. Akan
tetapi, penutur atau penyusun pidato menunjukkan sisi lain dari G-20,
yaitu sisi multikultural. Sisi yang menurutnya positif. Hal ini menjadi
strategi untuk mengaajak audiens dan warga dunia untuk mendukung G-20
dengan cara mengesampingkan kekurangannya dan mendahulukan
kelebihannya.

3. 2. 4 Analisis Praktik Wacana

Mengingat teks ini merupakan transkrip pidato, praktik wacana


yang berlangsung cenderung monolog. Akan tetapi, tetap memungkinkan
adanya dialog, yaitu berupa respons dari audiesn. Transkrip resmi dari
presidenri.go.id tidak mencantumkan respons dari audiens. Oleh karena
itu, data dilengkapi oleh rekaman video pidato dari Voice of America
Indonesia. Respons yang terekam dalam video pidato merupakan respons
yang bersifat paralinguistik, yaitu tepukan tangan dan tawa. Secara garis
besar, respons bagian pembuka yang terekam adalah tepukan tangan dan
tawa. Respons tersebut hadir di akhir tuturan tertentu. Jumlah respons
yang terekam pada bagian pembuka adalah dua kali tawa yang diiringi
oleh tepukan tangan dan dua kali tawa tanpa iringan tepukan tangan.
Audiens hanya merespons saat penutur melontarkan gurauannya. Pada
bagian ini, tidak terlihat keinginan penutur atau penyusun pidato untuk
memancing respons dari audiens selain tepuk tangan dan tawa saat
dilontarkannya gurauan. Respons yang ditunjukkan oleh audiens menjadi
indikasi bahwa strategi mencairkan suasana dan membangun kesan positif
oleh penutur atau penyusun pidato berjalan cukup baik.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


56 
 

3. 2. 5 Analisis Urutan Wacana

Analisis urutan wacana pada bagian pembuka ini dimulai dengan


menjabarkan terlebih dahulu jenis-jenis wacana yang tersurat. Selanjutnya,
dari penjabaran tersebut, hubungan dan koherensi satu wacana dengan
wacana yang lain akan dianalisis.

Pidato diawali dengan wacana pembukaan. Wacana ini berisikan


ucapan salam dan penghormatan yang ditujukan kepada tuan rumah
tempat pidato ini dibacakan dan audiens yang menyaksikan pembacaam
pidato ini. Kemudian, terdapat wacana historis yang menjelaskan sedikit
hubungan antara pidato SBY di Universitas Harvard dengan pidato Obama
di Kairo. Wacana terakhir yang dibangun oleh penutur atau penyusun
pidato pada bagian ini adalah wacana kekuatan. Wacana kekuatan
menjelaskan kekuatan dan peran yang dimiliki G-20 dalam konteks
keharmonisan.

Kehadiran wacana pembukaan di awal pidato dapat dikatakan


sebagai suatu keharusan untuk menunjukkan penghormatan penutur.
Wacana pembukaan dalam konteks pidato ini memperlihatkan bahwa
penghormatan yang disampaikan mencoba menempatkan audiens,
khususnya Amerika, pada tempat yang ideal, walaupun hanya sebatas
audiens. Tanpa kehadiran wacana pembukaan, kesan tidak tulus dan tidak
perduli akan timbul dari penutur. Dampaknya adalah berkurangnya citra
penutur (pemerintahan Indonesia) di hadapan audiensnya dan memicu
penolakan terhadap gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh penutur
kemudian.

Kehadiran wacana historis selanjutnya menekankan penghormatan


penutur kepada audiensnya, terutama pemerintahan Amerika, dengan
mengaitkan pidato Obama di Kairo. Wacana ini juga berusaha
menunjukkan keinginan Indonesia dalam menjembatani kerja sama yang
ditawarkan oleh Amerika kepada komunitas Muslim dunia. Terakhir,
wacana kekuatan yang mengangkat kelebihan G-20 dalam hubungannya

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


57 
 

dengan keharmonisan antar peradaban, sangat terbantu dengan kehadiran


wacana-wacana sebelumnya. Ini dikarenakan kesan positif dan atmosfer
bersahabat yang ditunjukkan sebelumnya. Untuk menghindari timbulnya
resistensi dari golongan yang kurang setuju dengan G-20, audiens digiring
kepada atmosfer keterbukaan dan disuguhkan sebuah topik yang
seminimal mungkin memancing reaksi penolakan, yaitu keharmonisan.
Dengan demikian, walaupun timbul reaksi penolakan dari audiens yang
kontra terhadap G-20, mereka tidak akan membangun resistensi lebih jauh
karena wacana yang dibangun tidak banyak menyinggung masalah
perekonomian.

3. 2. 6 Analisis Fungsi Wacana

Pada bagian ini, episode-episode akan dianalisis untuk melihat


fungsi wacana yang digunakan. Pertama, pembatasan analisis berdasarkan
hubungan semantis dan koherensi antar episode. Dengan demikian, fungsi
wacana yang terlihat dapat dianalisis secara lebih mendetil dan tidak
secara umum saja. Walaupun suatu teks memang tidak harus memiliki satu
fungsi wacana, keberadaan fungsi-fungsi wacana yang berada dalam suatu
teks saling memperkuat dan mendukung satu fungsi wacana yang
dominan.

Fungsi wacana pertama yang ditunjukkan adalah fungsi wacana


retorik atau konatif pada episode 1. Bentuk penghormatan yang menjadi
ciri khas Indonesia tersebut berfungsi untuk mempengaruhi audiens.
Pengaruh yang diharapkan oleh penutur atau penyusun pidato tidak, atau
setidaknya belum, dalam bentuk mempengaruhi audiens untuk melakukan
sebuah tindakan, melainkan berupa usaha untuk mempengaruhi audiens
agar memperlakukan pembicara dengan seimbang dan mau mendengarkan
kelanjutan pidatonya. Selanjutnya, penutur atau penyusun pidato
menggunakan fungsi wacana ekspresif, yaitu yang berpusat pada pengirim
pesan. Fungsi wacana ini menunjukkan keinginan penutur untuk
memperkecil jarak antara audiens dan dirinya. Dengan kata lain, penutur
mencoba untuk meningkatkan kesan positif dengan menyampaikan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


58 
 

penndapat-penddapat personalnya teentang tuann rumah. Fungsi waacana


terrakhir yang ditunjukkaan pada bagian pembukka ini adalaah fungsi waacana
refferensial. Paada bagian ini penutur atau penyuusun pidato menitikberratkan
pem
mbicaraan pada hal-hal tertentu, dalam konnteks ini, ppidato Obam
ma di
Kaairo dan G-220.

3. 3 Analisis Bagian Isi


I

3. 3. 1 Analisis TSR Bagian


B Isi

Bagiann isi berisiikan tentan


ng sembilann langkah untuk men
ncapai
kehharmonisann antar perradaban. Seecara garis besar, skeema relasi yang
dibbangun padda bagian ini adalah
h Elaboration menginngat tujuan
n dari
pennutur atau penyusun
p p
pidato secara umum addalah menjaabarkan sem
mbilan

lanngkah tersebbut.

Baggan 3.3
Skeema relasi bagian
b isi baagian 1

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


59 
 

Bagan skema relasi bagian isi dibuat dalam dua bagan agar skema
relasi yang ada dapat terlihat secara efektif. Secara garis besar, skema
relasi yang dibangun pada bagian isi terdiri dari dua tingkat, yaitu umum
dan khusus. Skema relasi bersifat umum yang pertama adalah Background,
ditunjukkan pada rangkaian episode 12-24 sebagai satelit dan 25-70
sebagai nucleus. Skema relasi umum kedua adalah Concession. Episode
25-27 berfungsi sebagai satelit pada skema relasi Concession yang
memiliki episode 28-70 sebagai nucleus-nya. Terakhir, episode 28-70
merupakan satelit dari skema relasi bersifat umum Elaboration yang
bertugas untuk menjabarkan ide nucleus, yaitu episode 26 (lihat bagan
3.4). Tiga skema relasi di awal bagian isi ini memberikan gambaran umum
dan membangun kesan positif terhadap gagasan-gagasan yang akan
dikemukakan selanjutnya.

Selanjutnya, rangkaian episode 12-24 terdiri dari episode 15-24


sebagai satelit dan episode 12-14 sebagai nucleus yang menunjukkan
skema relasi Justify. Skema relasi ini bertujuan untuk mendukung ide yang
dikemukakan pada nucleus, yaitu ketidakyakinan penutur terhadap adanya
benturan antar peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Samuel
Huntington. Untuk memperjelas ide yang ingin disampaikan, penutur atau
penyusun pidato mengkontraskan episode 12 dengan episode 13. Selain
itu, episode 15 dan episode 16 juga dikontraskan. Hal ini bertujuan untuk
menunjukkan kekuatan Indonesia sebagai negara yang berhasil
mempertahankan keharmonisannya dan menunjukkan bahwa Indonesia
bisa dijadikan contoh dalam hal keharmonisan dalam keberagaman.

Skema relasi yang dibangun oleh episode 13 dan 14 adalah


Enablement. Hubungan ini mengindikasikan adanya ajakan atau tujuan
persuasi dari penutur atau penyusun pidato untuk melakukan sesuatu.
Persuasi yang ditunjukkan berupa ajakan untuk mencegah benturan
peradaban, terutama bagi para pembuat kebijakan. Di samping
memberikan kesan positif terhadap teks dan ide yang diajukan, penutur
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


60 
 

ataau penyusuun pidato juga


j memb
berikan kessan positif pada Indo
onesia
sebbagaimana terlihat di episode 15--16 sebelum
mnya. Skem
ma relasi lainnya
yanng memberrikan kesann positif pada
p Indoneesia adalahh Non-Volittional
Caause. Rangkkaian episoode 16-18 berfungsi sebagai saatelit, sedan
ngkan
epiisode 19 sebagai
s nuccleus. Skem
ma relasi ini
i memberi kesan bahwa
b
kekkuatan Inddonesia saaat ini dipen
ngaruhi oleeh keadaann Indonesiaa dan
keaadaan dunnia yang cukup
c kond
dusif. Selannjutnya, skeema relasi yang
meemberikan kesan
k posittif terhadap
p Indonesiaa adalah Juustify. Rang
gkaian
epiisode 20-255 berperan sebagai saatelit, sedanngkan episode 19 meenjadi
nucleus bagi relasi skema ini. Ep
pisode 20-225 memberrikan penjeelasan
bahhwa penuttur, mewakkili Indoneesia, tidak bermaksudd sombong
g dan
meenutup matta bahwa pernah
p adaa konflik antara
a Islam
m, Yahudi,, dan
Krristen. Tanppa mengessampingkan
n konflik tersebut, ppenyusun pidato
p
berrusaha meyyakinkan auudiensnya baahwa Indonnesia mamppu berdiri seetelah
dihhantam gelombang koonflik interrnal dan paantas menjaadi contoh bagi
neggara-negaraa yang muultikultural lainnya. Fungsi
F Justiify di sini juga
sebbagai pembbelaan diri agar
a ide ten
ntang Indonnesia yang bberhasil meenjadi
conntoh negaraa demokrassi dan multtikultural, dapat
d diterim
ma dengan
n baik
oleeh audiens. Di sisi laiin, rangkaiaan episode 1-4, 5-6, 77-11, dan 20-25
2
tiddak memiliiki hubunggan retorik
ka antar episode.
e Olleh karenaa itu,
ranngkaian-ranngkaian episode terseb
but hanya menunjukk
m kan skema relasi
Joint atau saliing berhubuungan, namu
un hanya menambah deetil wacana.

Bagan 3.4
3

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


61 
 

Skema relasi bagian isi bagian 2

Pada tingkatan yang sama, rangkaian episode 28-70 membentuk


beberapa skema relasi. Skema relasi Summary dibangun oleh rangkaian
episode 28-32 yang berfungsi sebagai nucleus dan episode 33 yang
berfungsi sebagai satelit. Kemudian, episode 34 menjadi satelit bagi
skema relasi Restatement dengan episode 33 sebagai nucleus. Skema relasi
Elaboration dibangun oleh rangkaian episode 35-36, dengan episode 35
sebagai nucleus dan episode 36 sebagai satelit, dan episode 46-47, dengan
. 46 sebagai nucleus dan episode 47 sebagai satelit. Skema relasi Summary
ditunjukkan oleh rangkaian episode 41-44 dan 50-54. Pada rangkaian
pertama, episode 41-43 berfungsi sebagai nucleus, sedangkan episode 44
berfungsi sebagai satelit. Pada rangkaian, di sisi lain, kedua, episode 50-53
berfungsi sebagai nucleus, sedangkan episode 54 berfungsi sebagai satelit.
Skema relasi Concession cukup sering terlihat pada bagian ini. Hal ini
mengindikasikan keraguan penutur atau penyusun pidato atas diterima
atau tidaknya gagasan yang diberikan. Selain itu, ada kecenderungan
penutur atau penyusun pidato dalam membangun citra Indonesia dan
pemerintahannya. Skema relasi Concession dibangun oleh rangkaian
episode 59-62, rangkaian episode 63-65, dan rangkaian episode 66-68.
Skema realsi Concession yang pertama memiliki episode 59 sebagai
nucleus dan episode 60-62 sebagai satelitnya. Di samping itu, skema relasi
Concession yang kedua dibangun oleh episode 63-64 yang berfungsi
sebagai nucleus dan episode 65 yang berfungsi sebagai satelit. Skema
relasi lainnya yang terbentuk adalah skema relasi Motivation. Skema ini
dibangun oleh episode 44 sebagai nucleus dan episode 45 sebagai
satelitnya. Rangkaian episode lain yang juga membentuk skema relasi
Motivation adalah episode 54 yang berfungsi sebagai nucleus dan episode
55 yang berfungsi sebagai satelit. Di samping itu, episode 42-43
membangun skema relasi Antithesis dengan episode 42 sebagai nucleus
dan episode 43 sebagai satelitnya. Terakhir, episode 52-53 bersama
membangun skema relasi Enablement. Episode 52 berfungsi sebagai
nucleus, sedangkan episode 53 berfungsi sebagai satelit.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


62 
 

Dapat dilihat bahwa skema relasi yang banyak dibangun pada


bagian isi adalah Elaboration dan Summary. Dari segi kuantitas, terlihat
bahwa strategi penutur atau penyusun pidato dalam mengajak audiens
menyetujui gagasannya adalah dengan pendekatan logika, yaitu dengan
menjabarkan alasan-alasan, sebab-sebab, atau akibat-akibat yang masuk
akal. Strategi ini juga diperkuat dengan formasi nucleus dan satelit. Secara
keseluruhan, posisi nucleus lebih banyak mendahului satelit. Dengan kata
lain, penutur atau penyusun pidato mengutarakan gagasannya terlebih
dahulu, lalu didukung dengan alasan atau penjelasan perlunya gagasan
tersebut disetujui atau setidaknya diberi respons positif. Selain itu,
keberadaan skema relasi Restatement, Antithesis, Enablement, Motivation,
dan, Concession lebih kepada pendukung dan pemberi tekanan terhadap
pesan yang disampaikan. Terutama Antithesis dan Concession yang
memang memiliki fungsi untuk meningkatkan pesan positif terhadap
nucleus atau pesan.

3. 3. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Pada bagian ini, penutur atau penyusun pidato sering merujuk


kepada dirinya sendiri menggunakan kata ”I” dan “me”. Penggunaan ini
menekankan bahwa gagasan yang dikemukakan berasal dari penutur atau
penyusun pidato. Di samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa penutur
atau penyususn pidato bersikap terbuka, sehingga memberi kesan pujian
dan kritik siap diterima olehnya. Akan tetapi, banyaknya penggunaan kata
ganti orang pertama tersebut turut memberi kesan bahwa saat
menyampaikan sembilan langkah tersebut, penutur tidak sedang mewakili
Indonesia, tetapi sebatas mengemukakan ide dengan Indonesia sebagai
contohnya. Kemudian, terdapat penggunaan majas metafora pada bagian
ini, sebagaimana ditunjukkan pada episode 15. Penutur atau penyusun
pidato mengibaratkan isu-isu yang menantang kestabilan Indonesia
sebagai roller coaster. Dengan kata lain, Indonesia pernah berada di dalam
kondisi yang sangat menegangkan dan tidak stabil, terkadang naik,
terkadang turun. Penutur atau penyusun pidato tidak sering menggunakan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


63 
 

majas metafota, bahkan tercatat hanya sekali menggunakannya. Hal ini


turut menguatkan kesan bahwa fokus penutur atau penyusun pidato adalah
menjabarkan suatu gagasan dan memberikan penjelasan atas gagasan
tersebut. Tentunya berbeda bila penutur atau penyusun pidato ingin lebih
memukau atau menarik perhatian audiens, maka penggunaan majas dan
gaya bahasa lain dapat ditingkatkan.

Untuk menekankan pentingnya langkah-langkah yang


dikemukakan, penutur atau penyusun pidato menggunakan kata
“imperative”. Berdasarkan segi bahasanya, “imperative” dapat diartikan
sebagai “sesuatu yang sangat penting dan butuh perhatian atau penanganan
segera” atau “perintah”. Dengan kata lain, penggunaan kata ini untuk
menguatkan posisi penutur dan sembilan langkah yang ditawarkan. Jika
penutur atau penyusun pidato hanya menggunakan kata “steps” atau
“ways” atau kata-kata lain yang tidak menunjukkan kesan mendesak, maka
audiens punya hak yang lebih besar untuk tidak memperdulikan gagasan
yang ditawarkan. Akan tetapi, dengan penggunaan kata “imperative”,
penutur atau penyusun pidato menempatkan gagasannya pada hierarki
yang lebih tinggi daripada kata-kata netral seperti “steps” dan “ways”.
Dengan demikian, audiens diharapkan akan memiliki kecenderungan lebih
besar untuk menerima gagasan yang diberikan. Di samping itu, secara
tidak langsung, dengan merujuk pada arti kata “imperative” yang lain,
yaitu “perintah”, penutur atau penyusun pidato secara tersirat memberikan
perintah kepada audiensnya untuk menerima, menyetujui, dan
melaksanakan langkah-langkah yang diberikan. Tentunya perintah secara
tersirat ini termasuk strategi politeness yang dipraktikkan. Efek yang
dihasilkan akan berbeda bila penutur atau penyusun pidato menggunakan
kata-kata yang memberi kesan memerintah secara langsung, misalnya “you
had better” atau “you must”. Sangat mungkin, respons dari audiens berupa
respons negatif dan bahkan dapat menimbulkan resistensi mengingat
penutur atau penyusun pidato tidak berhasil membuat dirinya atau
Indonesia berada pada level yang sama dengan Amerika.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


64 
 

3. 3. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Bagian isi dimulai dengan memberikan pertanyaan sebagai penarik


perhatian audiens dan fokus dari pembicaraan selanjutnya. Pertanyaan
yang diajukan merupakan pertanyaan retoris atau pertanyaan yang tidak
mengharapkan jawaban dari audiens. Pada pidato ini, pertanyaan retoris
yang berisikan masalah dilanjutkan dengan menawarkan solusi atas
masalah tersebut.

Dalam isu konflik Barat dan Islam, penutur atau penyusun pidato
berusaha untuk mengambil posisi netral walaupun ada kecenderungan
untuk lebih membela Barat, terutama Amerika. Berikut adalah rangkaian
episode yang membahas isu konflik antara Barat dengan Islam dengan
mengambil contoh konflik Israel-Palestina.

41. Today, some two out of three Muslim countries are in conflict
or face a significant threat of conflict. In contrast, only one out of
four non-Muslim countries face similar challenges. But despite
these very complex conflict situations, Muslims must be able to
differentiate between a conflict involving Muslims, and a “war
against Islam”. I do not believe that any of the civilizations –
Western, Hindu, Sinic, Buddhist, Japanese - are systematically and
simplistically engaged in a “war against Islam”.
42. Of all the world's conflicts, none has captured the passion of
Muslims more than the plight of the Palestinians. But this is not a
religious issue – there are Christians and Jews in Palestine, and
Muslims and Christians in Israel. Nonetheless, the establishment of
the much-awaited Palestinian state, in the framework of a two-
state solution where Palestine and Israel live side by side in peace,
would be widely hailed by Muslims worldwide. It would remove a
major mental barrier in their perception of the West, especially of
the United States. Currently, many Muslims fail to notice the
constructive role of the West in producing peace in Bosnia, and in

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


65 
 

Kosovo, but they would sure notice, and rejoice in, the resolution
of the Palestine dilemma.
43. But the Palestinians too have a moral and political
responsibility. It is difficult to attain and sustain statehood unless
there is unity among the Palestinian factions. In my meeting with
Palestinian leaders, I always told them very clearly that
Indonesian freedom fighters would have never won the war for
independence, if they had not united in spirit.
44. The bottom line is : we desperately need to end the vicious
cycle of conflict and violence.
45. The timely withdrawal of Western forces from Iraq and
Afghanistan would also alleviate Muslim fears of a Western
hegemony. And all these political solutions would help reduce
terrorism, as a crime that deviates from the true teaching of Islam
as a religion of peace. It would also turn the feelings of fear and
humiliation among some Muslims into hope and self-esteem.

Bagian ini dimulai dengan memberikan gambaran umum konflik


yang terjadi di dalam komunitas Muslim. Kemudian, penutur atau
penyusun pidato menunjukkan sikapnya terhadap adanya “war against
Islam”. Menurutnya, hal tersebut tidaklah ada. Dengan demikian citra
dunia Barat dan Amerika terangkat mengingat Barat, terutama Amerika
sering dituding sebagai pihak yang mendeklarasikan perang terhadap
Islam. Kesan netral juga ditunjukkan oleh penutur atau penyusun pidato
pada episode 42 dengan mendukung kedua belah pihak, yaitu Palestina
dan Barat. Penutur atau penyusun pidato menawakan sebuah kondisi
sebab-akibat, yaitu apabila konflik antara Israel dan Palestina dapat
diselesaikan dengan damai, besar kemungkinannya komunitas Muslim
dunia akan menunjukkan sikap positif terhadap Barat, terutama Amerika.
Hal ini juga secara tidak langsung mengimbau Amerika untuk berperan
aktif dalam mendamaikan keduanya, karena ada kecenderungan dukungan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


66 
 

Amerika kepada Israel. Untuk menghindari adanya penolakan maupun


resistensi dari audiens dan pemerintah Amerika sekaligus menjadi
pendukung agar solusi yang ditawarkan dapat diterima, penutur atau
penyusun pidato menunjukkan peran dunia Barat, yang turut melibatkan
Amerika, dalam mendukung terciptanya perdamaian konflik, terutama
yang berhubungan dengan komunitas Muslim, seperti di Bosnia dan
Kosovo. Namun demikian, penutur atau penyusun sendiri menunjukkan
adanya keraguan dalam mengutarakan gagasannya. Keraguan ini
ditunjukkan dengan penggunaan modal “would” pada episode 42 kalimat 4
dan 5. Kesan ragu akan hilang bila penutur atau penyusun pidato
menggunakan kata “will”.

Selain itu, kesan membela Barat, terutama Amerika ditunjukkan


dengan dikontraskannya ide pada episode 42 dan episode 43. Dengan
mengontraskan antara gagasan ‘Amerika dapat berperan aktif dalam
terciptanya kedamaian antara Israel dan Palestina’ dan gagasan ‘Palestina,
terutama pemerintahnya, memiliki peran yang besar dalam menciptakan
perdamaian di negaranya sendiri’, timbul kesan bahwa kunci perdamaian
konflik antara Palestina dan Israel dipegang oleh Palestina sendiri. Dengan
kata lain, penutur atau penyusun pidato seolah mengesampingkan perlunya
peran Israel dalam mencapai perdamaian dan intervensi negara-negara
lain. Dalam isu ini, penutur atau penyusun pidato menolak untuk
menunjukkan alasan atau latar belakang konflik Islam dan Barat. Penutur
atau penyusun pidato hanya mengutarakan pendapatnya tentang tidak
adanya perang terhadap Islam dari peradaban manapun. Akan tetapi,
penyebab dari konflik antara Islam dan Barat tidak dikemukakan untuk
menjaga sikap netral.

Penekanan yang digunakan oleh penutur atau penyusun pidato


pada bagian isi terlihat dari penggunaan huruf besar dalam satu kata,
sebagaimana terlihat pada kata “NOT” di episode 26 dan kata “CAN” di
episode 53. Kata pertama, yaitu “NOT” berada di awal penjelasan
mengenai sembilan langkah menuju keharmonisan antar peradaban dan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


67 
 

berdampingan dengan kata “utopia”. Kesan yang ditampilkan adalah


keseriusan dan optimisme dari penutur atau penyusun pidato. Kalimat
kedua pada episode 26, yaitu “It is a pragmatic vision.” tidak diberi kata
penghubung untuk menghubungkan ide pada kalimat pertama. Namun,
tidak adanya kata penghubung antara kedua klausa, tidak merubah makna
yang disampaikan. Sebaliknya, tidak adanya kata penghubung menguatkan
penegasan pada kedua ide.

3. 3. 4 Analisis Praktik Wacana

Berbeda dari bagian pidato yang lain, pada bagian isi tidak terekam
adanya respons audiens, baik itu berupa tepukan tangan, tawa, atau
respons paralinguistik lain. Hal ini tidak semata-mata menunjukkan sikap
negatif audiens terhadap gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh
penutur. Salah satu penyebab tidak adanya respons dari audiens adalah
bagian isi pidato secara garis besar bersifat netral atau tidak memancing
emosi dari audiens. Dengan demikian, audiens tidak terpancing untuk
menanggapi dan hanya mendengarkan saja. Selain itu, bagian isi hanya
mengemukakan langkah-langkah atau cara-cara yang dapat digunakan
untuk mencapai keharmonisan antar peradaban. Dengan kata lain, teks
pidato bagian isi ini bersifat elaboratif, yaitu menjabarkan atau merinci,
sehingga hanya sedikit atau justru tidak ada wacana yang dapat
diperdebatkan atau memancing perdebatan.

3. 3. 5. Analisis Urutan Wacana

Secara garis besar, wacana yang ditawarkan dalam bagian isi


adalah wacana solusi dan wacana tersebut terdiri dari wacana-wacana yang
lebih spesifik. Wacana yang dikemukakan terlebih dahulu pada bagian isi
merupakan wacana kehamonisan. Kemudian dilanjutkan dengan wacana
keyakinan dan wacana demokrasi. Dalam penjabaran sembilan langkah
untuk mencapai keharmonisan, penutur atau penyusun pidato membangun
wacana soft power, wacana dialog, wacana hubungan Barat dan Muslim,
wacana moderat, wacana multikulturalisme dan toleransi, wacana

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


68 
 

globalisasi, wacana pengaturan global, wacana pendidikan, dan wacana


moral. Wacana terakhir yang dibangun merupakan wacana testimonial
yang berisikan pendapat-pendapat penutur terhadap sembilan langkah
yang diajukan.

Secara struktur dan urutan, wacana-wacana yang dibangun dimulai


dari wacana yang berisikan gagasan yang lebih luas terlebih dahulu dan
dilanjutkan oleh wacana-wacana dengan cakupan gagasan yang lebih
spesifik. Oleh karena itu, wacana-wacana yang bersifat spesifik tidak
digabungkan ke dalam kategori wacana yang lebih luas. Wacana
keharmonisan yang pertama dibangun merupakan gambaran luas
mengenai hal yang akan dijabarkan selanjutnya. Wacana yang dibicarakan
lebih merinci oleh penutur atau penyusun pidato dibandingkan yang lain
adalah wacana soft power, wacana hubungan Barat dan Muslim, dan
wacana globalisasi. Wacana soft power membicarakan kelebihan dari soft
power dan keuntungan dalam menerapkannya. Di samping itu, pada
wacana ini turut dijabarkan praktik soft power oleh Indonesia, khususnya
oleh pemerintahan SBY dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Pada
wacana hubungan Barat dengan Islam, penutur atau penyusun pidato
mengambil sikap netral dengan tidak menganggap konflik Palestina-Israel
sebagai isu agama. Penutur atau penyusun pidato juga menyampaikan
harapannya terhadap Amerika untuk menarik mundur pasukannya di Irak
dan Afganistan agar ketegangan antara Amerika dan komunitas Muslim
dapat berkurang. Terakhir, wacana globalisasi diberikan penekanan untuk
membangun kepercayaan diri komunitas Muslim dunia.

3. 3. 6 Analisis Fungsi Wacana

Fungsi wacana yang dominan digunakan pada bagian ini adalah


fungsi wacana referensial mengingat penutur atau penyusun pidato
berusaha menjabarkan sembilan langkah yang telah disebutkan
sebelumnya. Akan tetapi, ada beberapa fungsi wacana lain yang terlihat,
seperti fungsi wacana ekspresif dan puitis. Episode 16-18 menunjukkan
kombinasi dari fungsi wacana ekspresif dan puitis. Fungsi wacana

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


69 
 

ekspresif yang menitikberatkan pada pembicara, dalam hal ini Indonesia


yang diwakilkan oleh SBY, digunakan untuk menunjukkan kekuatan
Indonesia dalam menghadapi tantangan konflik global. Selain itu, tentunya
untuk menunjukkan bahwa penutur, SBY, sebagai kepala pemerintahan
berhasil membangun dan menjaga kestabilan Indonesia. Kemudian, fungsi
wacana puitis dikombinasikan dengan fungsi wacana ekspresif untuk
memberi penekanan pada pesan yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat
dari penggunaan kata “today we are not” di awal kalimat rangkaian
episode tersebut. Pengulangan yang membentuk pola di awal kalimat
tersebut memberi penekanan pada gambaran kondisi Indonesia saat ini.
Kata “today” juga dapat diartikan sebagai penekanan bahwa kondisi
Indonesia yang aman dan tentram, sebagaimana yang digambarkan oleh
penutur atau penyusun pidato, merupakan hasil jerih payah pemerintah
Indonesia saat ini, yaitu pemerintahan SBY. Dengan kata lain, ada
kecenderungan penutur atau penyusun pidato untuk membuat audiens
fokus pada saat ini dan mengesampingkan proses panjang pembangunan
Indonesia.

Selanjutnya, fungsi wacana ekspresif digunakan pada episode 62


pada saat penutur atau penyusun pidato menjabarkan langkah kedelapan,
yaitu mengenai pendidikan. Melalui fungsi wacana ini, pnutur atau
penyusun pidato berusaha membangun citra pendidikan Indonesia yang
multikultural bahkan plural. Dengan menunjukkan bahwa Indonesia
memiliki hari libur nasional berdasarkan hari raya tiap agama di Indonesia,
citra Indonesia yang terbentuk adalah Indonesia yang toleransinya tinggi
terhadap agama apa pun, walaupun mayoritas penduduknya beragama
Islam.

3. 4 Analisis Bagian Penutup

3. 4. 1 Analisis TSR Bagian Penutup

Analisis TSR pada bagian ini memiliki empat tingkat analisis.


Secara keseluruhan, bagian penutup menjadi perangkum wacana dalam

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


70 
 

tekks. Akan tettapi, hal yanng paling teerlihat pada bagian ini aadalah keinginan
Inddonesia untuuk bekerjassama dengan
n Amerika sebagai
s parttner. Di sam
mping
ituu, ada kecennderungan untuk mem
mbuat Indonnesia dipandang oleh dunia
karrena perannnya dalam menjembatan
m ni komunitaas Muslim ddan Barat.

Bagan 3.5
3
Skeema relasi bagian penutup

Pada tingkat peertama, sk


kema relassi yang ddibangun adalah
a
Baackground dengan epiisode 71-73
3 yang berrfungsi sebbagai satelitt dan
epiisode 73-82 sebagai nucleus. Tidak
T jauh berbeda ddari sebelum
mnya,
ranngkaian epiisode 73-822 tidak mem
mpengaruhi audiens daalam memaahami
idee yang disampaikan
d n. Akan tetapi,
t kebberadaannyaa memperrhalus
perrpindahan topik
t atau bagian.
b Seccara internaal, episode 71 dan 72 tidak
meemiliki hubbungan retorika. Oleh karena itu,, keduanya hanya mem
miliki
skeema relasi Joint. Padaa tingkat keedua, episodde 75-76 berfungsi seebagai
nucleus, sedaangkan epissode 77 seebagai sateelitnya. Skeema relasi yang
Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


71 
 

dibangun dari rangkaian episode ini adalah Summary. Peran episode 77 di


sini adalah memperkuat ide bahwa Amerika dan Indonesia memiliki
persamaan, yaitu keduanya memiliki peran yang penting dalam
menciptakan persatuan dan kedamaian dunia. Episode 75-76 tidak
memiliki relasi retorika, sehingga keduanya hanya memiliki hubungan
Joint. Kemudian skema relasi Background kembali ditunjukkan oleh
rangkaian episode 78-82. Episode 78 berfungsi sebagai satelit, sedangkan
episode 79-82 berfungsi sebagai nucleus. Skema relasi ini memberikan
gambaran perbedaan ide yang diajukan oleh Obama dan SBY. Obama
yakin bahwa abad 21 akan menjadi abad bagi Amerika, sedangkan SBY
percaya bahwa abad 21 mungkin saja menjadi abad bagi Asia. Tujuan
dibandingkannya gagasan kedua kepala negara ini bukan untuk
mengkontraskan keduanya, namun memperkuat pesan yang akan
disampaikan berikutnya pada nucleus, yaitu siapa pun dapat menjadi
pemilik abad 21.

Kemudian, dengan episode 77 yang berperan sebagai nucleus dan


episode 78-80 sebagai satelit, skema relasi yang terbangun berupa
Enablement. Skema relasi ini bertujuan untuk meningkatkan keinginan
audiens untuk melakukan suatu tindakan. Tindakan dalam bagian ini tidak
secara eksplisit disebutkan. Akan tetapi, kita dapat melihat bahwa tindakan
yang diinginkan oleh penutur atau penyusun pidato dari audiens adalah
berusaha untuk menjadikan abad ini sebagai abad bagi bangsanya dan
berusaha untuk membangun dan menjaga keharmonisan antar peradaban.
Tidak adanya relasi retorika pada rangkaian episode 77-78 dan 80-82
menyebabkan rangkaian-rangkaian episode tersebut hanya memiliki relasi
skema Joint. Dengan kata lain, secara TSR, rangkaian-rangkaian episode
tersebut hanya menambah detil.

3. 4. 2 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Klausa

Kesan atau nuansa yang kuat dihadirkan oleh penutur atau


penyusun pidato pada bagian ini adalah optimisme. Nuansa ini dibangun
dengan mengontraskan antara kata-kata berkonotasi positif dengan negatif,

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


72 
 

seperti “conquest” versus “connectivity”, “clash” versus “confluence”,


“plenty” versus “poverty”, “hope” versus “fear”, “brotherhood” versus
“supreme”, dan “human progress” versus “ignorance”. Kata-kata tersebut
digunakan untuk membangun kesadaran audiens atas pilihan dalam sebuah
peradaban. Dengan penyajian secara paradoks, penutur atau penyusun
pidato berekspektasi dapat mengajak audiens untuk memilih yang positif
dan menyetujui ide yang ditawarkan.

Pada episode 75, berbicara tentang Amerika dan perannya dalam


membangun keharmonisan dunia, penutur atau penyusun pidato
menggunakan majas personifikasi. Penggunaan majas ini terlihat pada
perlakuan penutur atau penyusun pidato terhadap Amerika, yaitu
menganggap Amerika sebagai seseorang. Kemudian, penutur atau
penyusun pidato menggunakan substitusi yang juga untuk perorangan.
Amerika, di bagian ini, disubstitusi dengan kata ganti kepemilikan
feminim, yaitu “her”. Penggunaan kata ganti ini memiliki beberapa
maksud tersendiri. Pertama, penutur atau penyusun pidato ingin
membangun kesan berkerabat dengan Amerika. Penggunaan ini seolah
menjadikan Amerika seorang kawan bagi Indonesia. Kedua, maksud
digunakannya personifikasi tersebut adalah memberi penghormatan lebih
kepada Amerika. Audiens, terutama Amerika, diajak berimajinasi dan
memainkan logikanya. Posisi dan status manusia sebagai makhluk hidup
tentu lebih tinggi daripada benda mati. Ketiga, penutur atau penyusun
pidato berusaha menghindari penolakan dari kalangan wanita terutama
feminis bila menggunakan kata ganti kepemilikan “his”. Oleh karena itu,
kesan netral tetap dijaga dalam penggunaan kata ganti tersebut. Terakhir,
erat dengan adat dan kebiasaan Indonesia, wanita, terutama ibu, memiliki
peran penting dan posisi yang tinggi. Di samping menjadikan Amerika
sebagai kerabat, penggunaan personifikasi dengan kata ganti kepemilikan
feminim juga menunjukkan hubungan yang lebih erat lagi, yaitu seperti
ibu dan anak. Secara tersirat penutur atau penyusun pidato
mengungkapkan rasa hormatnya yang tinggi dan ketergantungannya
terhadap Amerika. Akan tetapi penutur atau penyusun pidato menunjukkan
Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


73 
 

inkonsistensi dalam penggunaan kata ganti kepemilikan ini, sebagaimana


terlihat pada kalimat ke-4 di episode yang sama.

3. 4. 3 Analisis Wacana Kritis Representasi di Tingkat Kombinasi Klausa

Pada bagian penutup terlihat lagi adanya sinyal pada kata kunci,
yaitu “REINVENT A NEW WORLD” pada episode 73. Penulisan dengan
huruf kapital ini menjadi sinyal bahwa hal ini penting untuk diperhatikan
dan diberi penekanan. Di samping itu, gagasan “new world” ini didukung
dengan penjabaran kondisi dunia yang ideal menurut penutur atau
penyusun pidato. Untuk meyakinkan audiens agar mendukung gagasan
yang diutarakan, peranan dan posisi Amerika ikut dilibatkan. Pelibatan
Amerika dilakukan secara tidak langsung. Strategi tersebut terbagi menjadi
dua bagian penting. Pertama, penutur atau penyusun pidato menguraikan
kekuatan-kekuatan dan kelebihan-kelebihan Amerika dalam konteks
keharmonisan dunia. Uraian ini bertujuan untuk mengambil hati Amerika.
Dengan demikian, ketika audiens dan pemerintah Amerika ditawari bagian
kedua, yaitu gambaran dan saran tentang hal-hal yang dapat dilakukan
oleh Amerika, Amerika memiliki posisi yang sulit untuk menolak.

Pada akhir bagian penutup, penutur atau penyusun pidato kembali


menggunakan campur kode dengan bahasa Arab. Frase “insya Allah”
memiliki arti “seijin Allah”, “dengan restu Allah”, atau “bila Allah
mengijinkan”. Penggunaan campur kode tersebut di akhir bagian memiliki
beberapa fungsi tersendiri. Pertama, campur kode ini kembali menguatkan
identitas penutur sebagai seseorang yang beragama Islam. Tanpa
kehadiran frase ini, audiens tetap akan mengingat penutur sebagai seorang
Muslim dan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia. Akan tetapi, alasan di balik penggunaannya kuat
kemungkinannya terkait dengan fungsinya yang lain. Oleh karena itu, poin
yang akan dibahas berikutnya adalah fungsi kedua dari campur kode yang
digunakan, yaitu sebagai doa. Masyarakat Indonesia yang beragama Islam
terkadang menggunakan “insya Allah” setelah mengucapkan harapan-
harapan atau rencana yang akan dibangun ke depannya. Bagi umat Islam,

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


74 
 

dan mungkin juga bagi penutur atau penyusun pidato, segala yang telah
direncanakan manusia ditentukan berhasil atau tidaknya oleh Allah. Oleh
karena itu, penutur atau penyusun pidato bersikap rendah hati dengan tetap
mengingat kuasa yang tidak terlihat melalui praktik campur kode tersebut.

3. 4. 4 Analisis Praktik Wacana

Pada bagian penutup, hanya terdapat satu kali tepuk tangan yang
dilakukan dengan berdiri. Respons audiens tersebut terekam pada saat
penutur mengakhiri pidatonya. Respons tersebut merupakan sebuah
apresiasi dan penghormatan audiens terhadap penutur. Di samping itu,
respons tersebut juga dapat diartikan sebagai berhasilnya kesan positif
yang dibangun oleh penutur atau penyusun pidato dari awal pidato hingga
akhir. Tentunya, respons tersebut juga menunjukkan adanya kemungkinan
audiens mendukung gagasan yang dikemukakan penutur atau penyusun
pidato. Pada rekaman video tidak terlihat adanya respons negatif dari
audiens pada saat penutur menutup pidatonya, misalnya dengan cemoohan
atau menolak untuk memberikan apresiasi dengan berdiri.

3. 4. 5 Analisis Urutan Wacana

Dalam bagian penutup, terdapat dua wacana yang terbentuk.


Wacana yang pertama adalah kebersamaan. Wacana ini menampilkan
kesetaraan semua peradaban di dunia dalam kesempatan untuk menjadi
maju dan berpengaruh. Selain itu, persamaan lain yang coba dibangun
adalah peran Indonesia dan Amerika dalam membentuk keharmonisan
dunia. Kedua, wacana yang dibangun adalah wacana personal yang
berisikan harapan-harapan penutur atau penyusun pidato terhadap upaya
peningkatan keharmonisan antar peradaban, terutama antara dunia Islam
dengan dunia Barat.

Formasi wacana yang dibangun tentunya tidak terlepas dari


membentuk kesan positif terhadap penutur dan mengajak audiens untuk
mendukung gagasan yang dikemukakan penutur atau penyusun pidato.
Wacana personal ditempatkan setelah wacana kebersamaan agar

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


75 
 

optimisme yang ditunjukkan oleh penutur dapat mendukung gagasan


tentang persamaan peran dan kesempatan bagi tiap negara. Dengan kata
lain, penutur atau penyusun pidato berusaha untuk meyakinkan audiens
bahwa gagasan-gagasannya tentang keharmonisan antar peradaban
bukanlah sesuatu yang mustahil.

3. 4. 6 Analisis Fungsi Wacana

Fungsi wacana yang digunakan pada bagian ini, sesuai urutan


kehadirannya, adalah fungsi wacana referensial, retorik, dan ekspresif.
Fungsi wacana ekspresif di sini terlihat dominan mengingat bagian
penutup sebagian besar berisikan harapan dan pendapat personal penutur
atau penyusun pidato. Episode 71-74 menggunakan fungsi wacana
referensial. Hal ini terlihat dari fokus penutur atau penyusun pidato dalam
membicarakan kondisi dunia di abad 21. Episode 75 secara umum
menunjukkan penggunaan fungsi wacana referensial, karena
membicarakan tentang kekuatan dan peran Amerika dalam membangun
keharmonisan dunia. Akan tetapi, episode ini lebih tepat bila dikatakan
menggunakan fungsi wacana retorik. Alasannya adalah audiens di tempat
dibacakannya pidato mayoritas merupakan penduduk Amerika. Oleh
karena itu, maksud dari kata “Amerika” dalam episode itu tidak hanya
Amerika sebagai negara atau pemerintahan Amerika saja, tetapi juga
rakyat Amerika. Dengan dasar demikian, penyebutan kata Amerika di sini
menitikberatkan pada audiens, termasuk pemerintah Amerika Serikat.
Begitu pula dengan episode 76, tanpa melihat motif yang mungkin
mendasarinya, episode tersebut menggunakan fungsi wacana referensial.
Namun, mengingat penutur adalah seorang pemimpin pemerintahan
Indonesia, maka kata “Indonesia” pada episode tersebut mewakili penutur
pribadi dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, episode 76 lebih tepat
dikatakan menggunakan fungsi wacana ekspresif. Episode-episode
setelahnya menggunakan fungsi wacana ekspresif karena fokus kepada
pendapat penutur atau penyusun pidato.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


76 
 

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menjabarkan hasil-hasil temuan setelah proses analisis data
yang dilakukan pada bab III. Hasil-hasil temuan tersebut kemudian akan dibahas
labih lanjut untuk mendapatkan gambaran umum dan keabsahan hipotesis yang
telah penulis buat sebelumnya.

Pidato SBY di Universitas Harvard merupakan rangkaian kunjungannya di


Amerika Serikat. Sebelum berpidato, SBY menghadiri forum G-20 di Pittsburgh.
Pidatonya tersebut merupakan sebuah respons atas pidato Obama di Kairo,
sekaligus menawarkan sembilan langkah penting untuk mencapai keharmonisan
antar peradaban. Dalam sembilan langkah yang ditawarkan, berbagai isu
disinggung dan diajukan penyelesaiannya, mulai dari politik, agama, pendidikan,
ekonomi, hingga budaya. Dari proses analisis yang telah dilakukan, tampak bahwa
tujuan lain dari pidato ini adalah meningkatkan citra Indonesia di mata dunia dan
mempererat hubungan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan tersebut
didukung dengan formasi struktur dalam teks pidato yang disusun sedemikian
rupa untuk mengarahkan audiens agar mau bersikap terbuka dan menerima
gagasan yang ditawarkan.

4.1 Temuan Analisis Wacana Kritis

Berikut ini akan dijabarkan hasil temuan dari Analisis Wacana


Kritis (AWK) dalam tiga bagian teks SBY di Universitas Harvard. Pada
tiga bagian pidato Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Universitas
Harvard, dilakukan tiga tingkat analisis. Tingkat pertama adalah analisis
tingkat tekstual yang mencakup analisis struktur teks, analisis tingkat
klausa (pemilihan diksi, frase, dan tata bahasa), dan analisis kombinasi
klausa (praktik kohesi, koherensi, penggunaan kata ganti, modal, dan
susunan gramatikal). Kecenderungan struktur teks didasarkan pada temuan
umum Teori Struktur Retorika (TSR) dan fungsi wacana dalam tiap

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


77 
 

episode dalam teks. Tingkat kedua adalah praktik wacana. Temuan praktik
wacana berupa respons tepukan tangan dan tawa dari audiens. Tingkat
ketiga mencakup kondisi sosiokultural. Pembahasan tingkat ketiga
didasarkan pada keseluruhan temuan umum dalam pidato ini.

Berdasarkan hasil analisis, pilihan kata dan frase yang digunakan


dalam pidato SBY cenderung lugas, netral, dan berimbang. Pada dasarnya,
pilihan kata dan frase membangun pengandaian yang merepresentasikan
Indonesia secara tersirat dan tersurat. Pertama, pilhan kata dan frase yang
digunakan bertujuan untuk membangun nuansa keterbukaan, dan
persahabatan. Kedua, terdapat pilihan kata dan frase yang
merepresentasikan ketidaksetujuan terhadap suatu gagasan maupun
tindakan. Ketiga, terdapat pilihan kata dan frase mengindikasikan adanya
upaya validasi.

Dalam pidato, hanya tercatat dua kali penggunaan campur kode,


yaitu penggunaan “Bismillahirrahmanirrahim” pada bagian pembuka,
episode 1 dan “Insya Allah” pada bagian penutup, episode 82. Secara
kuantitas, sedikitnya penggunaan bahasa Arab, khususnya do’a, dalam
pidato mengindikasikan usaha penutur atau penyusun pidato untuk
bersikap netral atau tidak terlalu mengedepankan ke-Islamannya. Selain
itu, untuk menghindari resistensi dan penolakan dari audiens sekaligus
membangun posisi yang berimbang dengan audiens, tidak dengan
Amerika, penutur atau penyusun pidato merepresentasikan Indonesia
secara positif. Berikut daftar kata yang mengindikasikan adanya tujuan
tersebut.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


78 
 

Pilihan Kata
Episode ke- Tujuan
dan Frase
Honored 2 Membangun keterbukaan
Distinguished 2 Memberikan pujian
Prestigious 4/6 Memberikan pujian
Historic 5 Memberikan pujian
Tabel 4.1
Daftar kata dan frase yang berfungsi untuk membangun komunikasi dialogis

Di bagian lain, untuk merepresentasikan ketidaksetujuan terhadap


suatu gagasan atau tindakan, penutur atau penyusun pidato menggunakan
kata atau frase secara langsung. Berikut daftar kata yang menunjukkan
representasi tersebut.

Pilihan Kata
Episode ke- Kalimat ke-
dan Frase
Counter-productive 13 1
Vicious 44 1
Terrorism 45 2
Extremists 47 2
Xenophobic fear 47 2
Confrontation and exclusion 47 2
Tabel 4.2
Daftar kata dan frase yang menunjukkan sikap kontra

Frase “counter-productive” pada episode 13 untuk menunjukkan


perbedaan pendapat terhadap gagasan Samuel Huntington. Kata lain
adalah “vicious” untuk menunjukkan sikap sangat tidak setuju atau
penolakan keras terhadap konflik dan kekerasan. Selain itu, untuk
menunjukkan sikap tidak sependapat dengan tindakan terorisme, penutur
atau penyusun pidato melekatkan kata-kata berkonotasi negatif pada

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


79 
 

tindakan terorisme, seperti extremists, extremism, xenophobic,


confrontation, dan exclusion.

Pada tingkatan kombinasi klausa dan rangkaian antarkalimat yang


disusun terdapat indikasi upaya Indonesia untuk memposisikan diri
sebagai negara yang berperan penting dalam menciptakan keharmonisan
antar peradaban. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan kohesi yang
banyak menunjukkan hubungan penambahan. Kombinasi klausa tersebut
membangun gambaran bahwa Indonesia berhasil dan mampu melakukan
gagasan-gagasan yang disampaikan penutur. Konjungsi pertentangan juga
dimuat untuk menegaskan argumentasi penutur yang kontra terhadap
pendapat pihak-pihak yang tidak sejalan.

Kemudian, terdapat praktik strategi paralelisme yang dilakukan


oleh penutur, yaitu ekspresi yang dilakukan dengan memuat serangkaian
struktur gramatika yang sama. Strategi unu digunakan untuk menekankan
ide yang disampaikan dan meyakinkan audiens terhadap kebenaran
gagasan yang disampaikan. Ekspresi tersebut juga menyiratkan upaya
penutur dalam mengkonstruksi pola pikir audiens.

Modality turut memberikan signifikansi dalam membangun


keyakinan audiens terhadap gagasan yang dikemukakan penutur sekaligus
menampilkan karakter penutur. Penggunaan modality tidak menunjukkan
konsistensi optimisme penutur atau penyusun pidato terhadap gagasan
yang dikemukakan. Optimisme terlihat dalam mengemukakan
argumentasinya dan dilanjutkan dengan penggunaan modal keyakinan
‘can’ tetapi terlihat tidak yakin dengan penggunaan modal ‘would’.

Berikut akan dibahasa temuan-temuan analisis praktik wacana.


Terdapat tiga tepuk tangan dan empat reaksi tawa yang terekam dalam
video pidato SBY. Respons audiens yang paling reaktif terdapat dalam
bagian pembuka, yaitu dua tepuk tangan dan empat reaksi tawa. Faktor
yang menyebabkan adanya reaksi positif tersebut adalah penyisipan
gurauan pada bagian pembuka. Respons berupa tepuk tangan terakhir

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


80 
 

terekam pada saat penutur menutup pidatonya. Respons audiens yang


terekam dalam pidato kurang bisa merepresentasikan keberhasilan agenda
Indonesia dalam meningkatkan citra di mata dunia. Hal ini dikarenakan
letak respons hanya terdapat pada bagian pembuka dan penutup.

Berikut merupakan temuan dari hasil analisis wacana-wacana


dalam teks dan fungsi urutan wacana yang disusun:

Bagian Wacana-wacana Fungsi


dalam Teks
Pembuka  Wacana pembukaan  Melakukan penghormatan
dan menarik afeksi pendengar
 Wacana historis  Meyakinkan audiens dengan
fakta di masa lalu
 Wacana argumentasi  Meyakinkan audiens terhadap
peran positif G-20 dan Indonesia
Isi  Wacana historis  Meyakinkan audiens dengan
fakta di masa lalu dan gambaran
umum di masa ini
 Wacana solusi  Menawarkan langkah-langkah
yang dapat dipraktikkan untuk
mencapai keharmonisan antar
peradaban melalui soft power,
dialog, perbaikan hubungan
Barat dan Muslim, penguatan
nilai-nilai moderat, penguatan
multikulturalisme dan toleransi,
globalisasi, keteraturan global,
pendidikan, dan moral.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


81 
 

Penutup  Wacana kebersamaan  Menampilkan kesetaraan semua


peradaban di dunia
 Wacana personal  Memberikan kesan optimisme
penutur terhadap gagasan yang
dikemukakan
Tabel 4.3
Temuan wacana-wacana dalam teks dan fungsi urutan wacana

Urutan wacana pada setiap bagian pada dasarnya berupaya


merepresentasikan Amerika secara positif di hadapan audiens. Susunan
tersebut secara keseluruhan memberikan gambaran karakter penutur dalam
beretorika. Pertama, argumentasi penutur atau penyusun pidato disusun
dengan fakta historis untuk mendukung kebenaran pendapat. Kedua,
penutur tidak berargumentasi atau memberikan arahan tanpa memuat
wacana-wacana lain terlebih dahulu.

Akan tetapi, secara substansial, formasi wacana yang disusun


menunjukkan ketidakkonsistenan penutur atau penyusun pidato. Pada
bagian pembuka, penutur atau penyusun pidato menempatkan audiens
sasaran pada posisi yang seimbang, tetapi tidak menunjukkan upaya untuk
menyeimbangkan posisi dengan Amerika. Kemudian, pada bagian isi,
penutur atau penyusun pidato cenderung membela Amerika dalam hal
konflik dunia Barat dengan dunia Islam. Pada bagian penutup, penutur
atau penyusun pidato berupaya untuk menyamakan posisi Indonesia dan
Amerika dalam hal peran menciptakan kedamaian antar peradaban,
khususnya antara Barat dan Muslim.

4. 2 Temuan Analisis Fungsi Wacana

Berikut merupakan temuan analisis fungsi wacana yang terdapat


pada bagian-bagian teks pidato SBY di Universitas Harvard.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


82 
 

Bagian Fungsi-fungsi wacana


dalam Teks
Pembuka  Fungsi wacana retorik atau konatif
 Fungsi wacana ekspresif
 Fungsi wacana referensial
Isi  Fungsi wacana referensial
 Fungsi wacana ekspresif
 Fungsi wacana puitis
Penutup  Fungsi wacana referensial
 Fungsi wacana retorik
 Fungsi wacana ekspresif

Tabel 4.4
Fungsi Wacana dalam Pidato SBY di Universitas Harvard

Secara struktural, fungsi wacana yang terdapat dalam pidato ini


terbagi secara merata namun tidak menunjukkan suatu konsistensi. Dengan
kata lain, pola penggunaan fungsi wacana tidak dapat ditentukan secara
pasti. Fungsi wacana yang paling banyak digunakan adalah fungsi wacana
referensial, ekspresif, dan retorik. Akan tetapi, secara proporsi, pada
bagian isi, fungsi wacana referensial lebih banyak digunakan.
Kecenderungan ini mendukung upaya penutur atau penyusun pidato dalam
mengeksplorasi logika audiens sasaran. Bagian pembuka dan penutup
berperan sebagai penyokong fungsi wacana pada bagian isi. Kedua bagian
ini juga memperkuat kesan positif audiens terhadap pihak penutur.
Penggunaan fungsi-fungsi wacana tersebut juga menunjukkan jenis pidato
yang ingin disampaikan, yaitu pidato yang bersifat elaboratif. Teks
semacam ini umumnya tidak memiliki agenda yang besar. Dengan
demikian, tidak diperlukan lebih banyak fungsi wacana dalam teks pidato
ini.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


83 
 

4. 3 Temuuan Analisiss TSR

Berikuut adalah peemaparan sk


kema relasi yang terdaapat pada baagian-
baggian teks pidato SBY
S di Universitas
U Harvard. Analisis TSR
meemasangkann suatu ranngkaian episode denggan rangkaiian lainnyaa dan
berrakhir padaa level denggan pasangaan minimal atau strukttur retorika yang
berrsifat multiinucleus. Temuan-tem
muan skemaa relasi di ssini berdasarkan
klaasifikasi TS
SR pada Baab II. Kelom ma adalah substansi materi
mpok pertam m
yanng mencakkup skema--skema relaasi yang menekankan
m unsur sem
mantis
(peembentukann makna). Kelompok kedua adalah presenttasi materi yang
meencakup skkema-skem
ma relasi yang
y meneekankan uunsur prag
gmatis
(peembentukann persepsi) pada pendeengar atau pembacany
p a terhadap suatu
perrnyataan.

Bagan 4.1
4
Skem
ma relasi bagiian pembuka

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


84 
 

Bagan 4.2
4
Skem
ma relasi bagiaan isi bagian 1

Bagan 4.3
4
Skem
ma relasi bagiaan isi bagian 2

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


85 
 

Bagan 4.4
4
Skeema relasi bagian penutup

Klasifikassi Relasi
Bagiann Pidato
Suubstansi Maateri Presenntasi Materii
 Conncession
 E
Elaboration
n
Bagian Peembuka  Bacckground
 J
Joints
 Justtify
 C
Contrast  Bacckground
 V
Volitional cause
c  Conncession
 C
Contrast  Justtify
Bagian Isii
 E
Elaboration
n  Enaablement
 S
Summary  Justtify
 E
Elaboration
n  Conncession

Unive
ersitas Indo
onesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


86 
 

 Restatement  Concession
 Summary  Antithesis
 Elaboration  Motivation
 Summary  Enablement
 Elaboration  Motivation
 Joints
 Background
 Summary
Bagian Penutup  Background
 Joints
 Enablement

Tabel 4.5
Rekapitulasi Skema Relasi Pidato SBY di Universitas Harvard

Dalam tabel 4.2, proporsi klasifikasi relasi dalam pidato ini


cenderung terbagi secara berimbang. Dari tiga bagian yang diteliti, jumlah
skema relasi di masing-masing basis materi cenderung sama banyak.
Ketiga bagian tersebut memiliki struktur yang dibangun melalui kedua
basis skema relasi tersebut. Akan tetapi, presentasi materi menjadi fokus
bagi dua bagian pidato, yaitu bagian pembuka dan penutup. Artinya, pada
bagian awal dan akhir, penutur atau penyusun pidato menitikberatkan pada
sikap audiens, baik peningkatan kesan positif, peningkatan keinginan
untuk melakukan gagasan yang diajukan, atau menyetujui gagasan pada
nucleus. Di sisi lain, bagian isi menunjukkan basis substansi materi yang
sedikit lebih banyak daripada basis presentasi materi.

Temuan ini dapat diinterpretasi sebagai motif penutur atau


penyusun pidato untuk menghindari kesan bahwa langkah-langkah untuk
mencapai keharmonisan antar peradaban yang diajukan hanyalah sebatas
impian dan cita-cita penutur atau penyusun pidato. Langkah-langkah ini
justru dikonstruksi dengan mengeksplorasi logika ide-ide dan fakta-fakta
tentang alasan dan hasil dari langkah-langkah yang diutarakan. Hal ini

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


87 
 

menguatkan alasan struktur skema relasi umum bagian pembuka dan


penutup sama-sama berbasis presentasi materi.

Selain membangun citra Indonesia dan pemerintahan SBY, pidato


ini juga berupaya untuk mengalihkan wacana penolakan G-20. Dari G-20
yang dituding tidak transparan dan sarat dengan nilai-nilai kapitalisme
menjadi G-20 yang berperan dalam keharmonisan antar peradaban dan
menjadi contoh yang patut ditiru. Bagian pembuka dan penutup pidato ini
lebih berfungsi untuk menambah kesan positif pada keseluruhan pidato
dan meningkatkan kehendak audiens untuk melakukan gagasan yang
diajukan. Secara formasi struktur, pidato ini cukup mengakomodasi logika
audiens sasaran. Meskipun demikian, logika audiens dalam retorika pidato
ini diarahkan agar bias ke arah yang memperkuat pencitraan pihak
penutur.

Penggambaran positif Indonesia dalam pidato ini menjadi modus


yang hadir di setiap bagian dalam pidato ini. Pada bagian pembuka,
penggambaran tersebut tidak mendapat proporsi yang terlalu banyak, yaitu
pada saat memperkenalkan diri sebagai negara dengan penduduk
beragama Islam terbanyak. Tentunya dengan anggapan adanya
kemungkinan audiens tidak atau belum mengenal Indonesia. Pada bagian
isi, penggambaran positif Indonesia semakin terlihat. Terdapat beberapa
penggambaran Indonesia oleh penutur atau penyusun pidato, yaitu
Indonesia sebagai negara yang memiliki daya tahan terhadap konflik,
Indonesia sebagai negara yang plural dan toleran, Indonesia sebagai
negara yang sukses mempraktikkan soft power, dan Indonesia sebagai
negara yang menanamkan toleransi sejak dini. Pada bagian penutup pidato,
Indonesia digambarkan sebagai negara yang memiliki peran dalam
menjembatani dunia Islam dengan dunia Barat sekaligus kembali
digambarkan sebagai negara yang toleran dan mampu menyatukan nilai-
nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Melalui penggambaran positif
Indonesia yang secara konsisten disuguhkan oleh penutur atau penyusun
pidato ini, audiens sasaran dipaksa untuk mempercayai dan menyetujui

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


88 
 

kepentingan dan gagasan pihak penutur yang telah disampaikan dalam


pidato. Terlebih lagi dalam situasi audiens yang memiliki keterbatasan
ruang untuk merespons. Keterbatasan ini memberikan kuasa pada pihak
penutur untuk semakin mengedepankan penggambaran positif Indonesia.
Sikap diam pihak audiens sasaran dapat dilihat sebagai konfirmasi atas
penggambaran tersebut.

Meskipun berupaya untuk bersikap netral, keberpihakan penutur


atau penyusun pidato terhadap Amerika belum mampu dipisahkan dalam
pidato ini, baik secara tersurat maupun tersirat. Dengan kata lain, pihak
penutur masih memiliki bias pada pihak audiens sasaran. Dari skema relasi
yang ditunjukkan dan struktur yang dibangun, penutur atau penyusun lebih
cenderung menawarkan posisi Indonesia sebagai negara yang patut
diperhitungkan oleh dunia dan Amerika daripada menempatkan Indonesia
pada posisi yang sejajar dengan Amerika Serikat.

4.4 Pembahasan dan Keputusan Hipotesis

Ada empat hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama,


wacana yang dibangun dalam pidato SBY memposisikan Islam dan
komunitas Muslim sebagai pihak yang patut diperhitungkan oleh Amerika
Serikat. Hipotesis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya terbukti benar.
Posisi komunitas Muslim sebagai pihak yang patut diperhitungkan
memang terbukti melalui penggambaran Indonesia sebagai negara dengan
penduduk beragama Islam terbanyak dan perannya dalam mewakili
komunitas Muslim sekaligus menjembatani dunia Islam dengan Barat.
Selain itu, dalam beberapa bagian, penutur atau penyusun pidato secara
lugas menyatakan kemampuan peradaban Islam untuk mencapai
kemakmuran dan menyaingi Amerika dan peradaban lain. Akan tetapi,
pernyataan Islam sebagai pihak yang patut diperhitungkan oleh Amerika
tidaklah sepenuhnya terbukti. Hal ini dikarenakan kecenderungan pihak
penutur untuk menunjukkan keberpihakan terhadap Amerika.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


89 
 

Hipotesis kedua menyatakan bahwa terdapat kombinasi sejumlah


fungsi wacana yang membangun retorika hubungan Islam dan Amerika.
Hal ini terbukti benar. Tiap-tiap bagian pidato menggunakan tiga fungsi
wacana dan setiap fungsi wacana saling menguatkan dan mendukung satu
sama lain. Namun demikian, karena ketidakkonsistenan penutur atau
penyusun pidato dalam penggunaan fungsi wacana, pola penggunaannya
tidak dapat ditentukan.

Ketiga, Retorika yang dibangun oleh SBY dipengaruhi oleh


konteks tempat dibacakannya pidato. Hal ini terbukti benar. Pertama,
Universitas Harvard dipilih penutur karena merupakan wadah intelektual
yang memiliki signifikansi dalam pembangunan Amerika dan memiliki
hubungan personal dengan SBY karena salah satu anaknya sedang
mengenyam pendidikan di sana dan beberapa menteri dalam pemerintahan
SBY pernah kuliah di Universitas Harvard. Kedua, pujian-pujian yang
ditujukan kepada tuan rumah, Universitas Harvard dan Amerika Serikat,
memperlihatkan bahwa penutur berupaya sebisa mungkin menarik afeksi
audiens dengan pengetahuan yang dimilikinya. Hubungan Amerika dan
Indonesia dalam perekonomian global juga memengaruhi formasi pidato
yang ada.

Hipotesis terakhir menyatakan bahwa retorika Islam pada pidato


SBY berusaha memperbaiki citra Indonesia sebagai salah satu negara
komunitas Muslim terbesar di dunia. Hipotesis ini terbukti benar dilihat
dari adanya konsistensi penggambaran positif Indonesia yang dibangun
dalam susunan wacana pidato ini. Pada awalnya, penutur berupaya untuk
memposisikan audiens dan tuan rumah di posisi yang seimbang, namun
penutur atau penyusun pidato tetap memisahkan diri dengan memberi
kesan hubungan pembicara dan pendengar. Kemudian, dalam bagian isi
pidato, penggambaran Indonesia secara positif semakin padat. Bahkan
memberi kesan Indonesia memisahkan diri dengan komunitas Muslim
dunia dan cenderung lebih moderat, sehingga bisa menjadi jembatan
antara dunia Islam dengan Barat. Akan tetapi, retorika yang hadir

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


90 
 

sesungguhnya juga menguatkan posisi Amerika. Artinya relasi yang


dibangun masih menampilkan Amerika sebagai negara dominan alih-alih
memposisikan Indonesia sebagai negara yang sama kuat dengan Amerika.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


91 
 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan proses analisis yang telah dilakukan, serta temuan yang


berhasil didapatkan, diperoleh enam poin kesimpulan. Pertama, audiens sasaran
pidato ini adalah masyarakat Amerika, terutama pemerintah Amerika Serikat. Hal
ini terlihat dari konsistensi penyebutan dalam transkrip pidato. Kedua, formasi
struktur retorika pidato ini tersusun atas tiga bagian. Bagian pertama adalah
pembukaan yang memuat wacana pembukaan, untuk menunjukkan penghormatan
dan menarik afeksi pendengar; wacana historis, untuk meyakinkan audiens
dengan fakta di masa lalu; wacana argumentasi untuk meyakinkan audiens
terhadap peran G-20 dan Indonesia. Bagian kedua merupakan bagian isi yang
lebih dominan memuat wacana solusi untuk mencapai keharmonisan antar
peradaban. Bagian ketiga adalah penutup yang memuat wacana kebersamaan dan
wacana personal untuk menampilkan solidaritas dan kesan optimisme. Bagian
pertama dan bagian ketiga berfungsi membangun afeksi audiens dalam penyajian
dialogis di antara kedua belah pihak.

Ketiga, kesimpulan yang didapat adalah konsistensi representasi positif


Indonesia yang hadir dalam setiap bagian pidato menjadi formula strategis yang
berusaha menanamkan konsep keunggulan Indonesia. Keempat, formasi tersebut
secara umum dibangun oleh pernyataan-pernyataan yang menstimulasi logika
audiens sasaran. Pernyataan-pernyataan yang dituturkan dalam pidato ini
cenderung didominasi oleh pilihan kata yang lugas, netral, dan denotatif.
Pernyataan ini didukung pula dengan urutan retorika yang dibangun, yaitu
menawarkan gagasan terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan memberikan alasan-
alasan yang dibangun dari fakta-fakta aktual untuk mengeksplorasi logika
audiens. Formasi dan kehadiran pernyataan-pernyataan demikian mengarahkan

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


92 
 

audiens sasaran untuk fokus pada aksi dan menyetujui gagasan yang diajukan
penutur atau penyusun pidato.

Kelima, pihak penutur secara eksplisit memperlihatkan kesiapan dan


kesamaan pemahaman serta keterbukaannya pada beragam nilai-nilai peradaban
Barat. Salah satu caranya adalah dengan menekankan bahwa pihak penutur
memiliki toleransi beragama yang tinggi dan mendukung berkembangnya sikap
moderat. Dengan demikian pihak penutur memiliki daya tawar yang lebih besar
untuk bekerja sama dengan pihak audiens dalam berbagai hal, terutama dalam
terciptanya perdamaian dunia.

Terakhir, di saat yang bersamaan, penutur atau penyusun pidato


menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menunjukkan optimisme. Penggunaan
modal dalam pidato ini menunjukkan hal tersebut. Meskipun begitu, ketidak-
konsistenan ini tidak memancing respons negatif dari audiens. Salah satu
penyebabnya adalah retorika hubungan kedua belah pihak tidak mengakomodasi
adanya pertukaran ide. Retorika yang mewacanakan hubungan dialogis antara
komunitas Muslim dengan Amerika Serikat dalam pidato ini tidak benar-benar
menawarkan terjadinya kerja sama antara kedua belah pihak. Posisi pihak penutur
pada wacana ini kurang kuat sehingga tawaran yang dapat diajukan belum mampu
melebihi kerja sama dengan pihak sendiri.

Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa retorika


hubungan Islam dan Amerika tercermin dari formasi yang disusun, strategi
retorika yang diwujudkan melalui aspek kebahasaan, praktik wacana, dan urutan
wacana yang dihadirkan. Dalam aspek representasi wacana-wacana yang hadir
dalam teks pidato ini, Amerika masih memiliki jarak terhadap komunitas Muslim.
Oleh karena itu, pihak penutur menawarkan diri sebagai jembatan antar
peradaban. Retorika hubungan Islam dan Amerika lebih cenderung hanya
mengakomodasi kepentingan pencitraan Indonesia untuk mendapatkan peran dan
posisi penting di tingkat dunia.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


93 
 

5. 2 Saran

Setelah penelitian analisis wacana kritis terhadap retorika hubungan Islam


dengan Amerika Serikat dalam pidato SBY di Universitas Harvard dilakukan,
beberapa hal dapat dilakukan sebagai tindak lanjut. Salah satunya adalah
penelitian yang menganalisis respons audiens terhadap retorika yang ditawarkan
dalam pidato ini. Selain itu, penelitian yang menganalisis perbedaan-perbedaan
yang terjadi antara teks pidato dengan rekamannya juga dapat dilakukan.
Tentunya analisis suprasegmental seperti intonasi dapat dikaji lebih jauh. Harus
diakui, penelitian ini menitikberatkan pada aspek tekstual, sehingga aspek non-
tekstual tidak tersampaikan dalam penelitian ini.

Sebagai masukan kepada pidato SBY di Universitas Harvard, penting


untuk memberikan posisi seimbang terhadap kedua belah pihak dalam pidato ini,
yaitu komunitas Muslim dunia dan Amerika Serikat. Tentunya hal ini mengingat
Indonesia yang menawarkan diri sebagai jembatan antara keduanya. Selain
adanya sikap kurang seimbang dari pihak penutur, akan jauh lebih baik ketika
penutur atau penyusun pidato dapat meningkatkan kesan optimisme dalam pidato
yang menawarkan sebuah jalan keluar dari merengangnya keharmonisan dunia.
Akan tetapi, secara struktur dan padanan kata pidato ini sudah cukup baik.
Penyisipan gurauan di awal pidato merupakan strategi yang baik untuk
mencairkan suasana. Di samping itu, penekanan terhadap hal-hal yang dapat
dilakukan oleh pihak audiens dalam hal stabilitas keamanan dunia menjadi sisi
positif dari pidato ini untuk mengajak audiens mengikuti langkah-langkah yang
diajukan oleh penutur atau penyusun pidato.

Di samping itu, diharapkan semakin banyak penelitian linguistik terapan,


khusunya di bidang analisis wacana yang menggunakan pendekatan analisis
wacana kritis untuk menganalisis retorika pidato dalam bidang komunikasi
politik. Selain melatih daya kritis, penelitian semacam ini juga berguna bagi
pihak-pihak yang memiliki konsentrasi dalam bidang diplomasi, pertahanan
negara, maupun komunikasi publik.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 
 

Daftar Pustaka

Baker, P. & Ellece, S. (2011). Key Terms in Discourse Analysis. London:


Continuum International Publishing Group.

Chomsky, N. (2003). Hegemony or Survival: America’s quest for global


dominance. New York: Metropolitan Books.

Clark, R. & Ivanic, R. (1997). The Politics of Writing. New York: Routledge.

Dainty, A., Moore, D., & Murray, M. (2006). Communication in Construction:


Theory and practice. New York: Taylor & Francis.

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta:


PT Lkis Pelangi Aksara.

Fairclough, N. (1989). Language and Power. London: Longman.

. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of


Language. London: Longman.

Gee, J. P. (2005). An Introduction to Discourse Analysis: Theory and method. (2nd


ed.). New York: Routledge.

Greene, R. (2010). Words that Shook the World: Addendum, the first decade of
the 21st century. Jakarta: Red & White.

Halliday, M. (1994). An introduction to Functional Grammar 2nd Ed. London:


Edward and Arnold.

Herrick, J. A. (2001). The History and Theory of Rhetoric. Massachussets: Allyn


and Bacon.

Holmes, J. (2001). An Introduction to Sociolinguistics. Edinburgh: Pearson


Education Limited.

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

Huntington, S. P. (1991). The Third Wave: Democratization in the late twentieth


century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

. (1996). The Clash of Civilization and the Remaking of World


Order. New York: Simon & Schuster.

Jakobson, R. (1985). VerbalArt, Verbal Sign, Verbal Time. Pomorska, K. & Rudy,
S. (eds). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Johnstone, B. (2002). Discourse Analysis. Massachucetts: Blackwell Publishers


Inc.

Mann, W. C. & Thompson, S. A. (1987). Rhetorical Structure Theory: A theory of


text organization. Dicetak ulang dari The Structure of Discourse. Marina
del Rey: Information Sciences Institute.

Mutiara, F. (2010). Analisis Wacana Kritis Terhadap Retorika Hubungan


Amerika dan Indonesia dalam Pidato Obama di Kairo, Mesir. Skripsi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Philips, L. & Jorgensen, M. W. (2002). Discouse Analysis as Theory and Method


(1st Edition ed.). London: Sage Publication Ltd.

Simpson, P. & Mayr, A. (2010). Language and Power. New York: Routledge.

Syahriyani, A. (2011). Retorika Hubungan Amerika Serikat dan Indonesia dalam


Pidato Obama di UI: Sebuah tinjauan analisis wacana kritis. Skripsi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.

Yuwono, U. (2005). Wacana. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami


Linguistik. (pp.91-103). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Zaimar O. K. S. & Harahap A. B. (2009). Telaah Wacana: Teori dan


penerapannya. Depok: Komodo Books.

Universitas Indonesia
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


DAFTAR LAMPIRAN

1. Transkripsi Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Universitas


Harvard

Universitas Indonesia

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

Speech
Boston, 30-9-2009

"Towards Harmony Among Civilizations," Speech by SBY At


The John F. Kennedy School Of Government, Harvard
University

“TOWARDS HARMONY AMONG CIVILIZATIONS”


SPEECH BY DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

AT THE JOHN F. KENNEDY SCHOOL OF GOVERNMENT HARVARD UNIVERSITY

BOSTON, 29 September 2009

1<i>Bismillahirrahmanirrahim</i>
Professor David Ellwood, Dean of the John F. Kennedy School of Government,
Professor John Thomas,
Faculty members,
Students,
Dear friends,

2. I am honored to be here today, to address the distinguished faculty and students of Harvard
University. I am impressed with the turn-out this evening, and, for the students, I hope you are NOT
here today as an excuse to skip class. (laughter)

3. I must admit, I have wanted to visit Harvard for a long time. Several of my Ministers, successful
businessmen and military generals were fortunate to study here. Don’t take this the wrong way : but
I find it interesting that I did not end-up working for people who went to Harvard; it’s actually people
who went to Harvard who ended-up working for me ! (applause & laughter)

4. I am proud that my son, Captain Agus, was able to join this prestigious Harvard program - I think
he is somewhere in this room. So now other than being a loyal soldier in the Indonesian army, he is
also another Harvard student working for me ! (laughter)

5. Several months ago, President Barack Obama made a historic speech in Cairo, seeking to
redefine relations between America and the Muslim world. As President of the country with the
world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest Muslim population, I would like today to respond to that
speech.

6. President Obama delivered his speech at Al Azhar University, one of the oldest and best
Universities in the Islamic world. I speak today at Harvard, the oldest and most prestigious
University in America. (And please do not tell people in Princeton and Yale I said this..) (applause &
laughter) But our objective is the same: to take a hard look at relations between the West and the
Islamic worlds, and to chart a new course forward.

7. It is fitting that I come here after the G-20 Summit in Pittsburgh.

8. For to me, the G-20 is one manifestation of the change taking place in global politics. The G-20
grouping, comprising some 85 per cent of the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s GNP and 80 per
cent of world trade, is not just an economic powerhouse -- it is also a civilizational powerhouse.

9. The G-20 for the first time accommodates all the major civilizations -- not just Western countries,
but also China, South Korea, India, South Africa, and others, including significantly, three countries
with large Muslim populations: Saudi Arabia, Turkey, and Indonesia. The G-7, the G-8, or even the

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

United Nations Security Council, does not boast this distinction. The G-20 is representative of a
multi-civilizational global community.

10. Perhaps this is why the G-20 has been successful in arresting a global meltdown. The swift and
coordinated actions of G-20 economies have started the stabilization of our financial systems and
restored confidence, prompting today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s early signs of modest economic
recovery.

11. We are very pleased that at the close of Pittsburgh, the G-20 has been institutionalized, and
looks set to be the premier forum for international economic cooperation. This comes not a moment
too soon, for the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s civilizations should be properly represented in
one defining forum. Civilizations. They at once define us, and divide us.

12. Is harmony between our civilizations truly elusive, so out of reach? can we just not get along?
Sixteen years ago, the late Samuel Huntington, a son of this university, published an essay
proposing that after the Cold War, civilizations, religions and cultures would become the defining
feature of international relations and would constitute the primary cause of conflicts between and
within nations.

13. To me, the term “clash of civilizations” itself is counter-productive. If they hear it often enough,
some people may think that the world is such and accept it as reality. I
don''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t believe that civilizations are inherently incompatible and prone to
conflict when they interact. This is what I saw firsthand at the G20, where nations of diverse cultural
backgrounds joined hands to address a common challenge. We spoke different languages through
our headphones, but we understood one another.

14. Huntington sought to understand post-Cold-War fault lines and warned us of potential
turbulence. This is not a trivial reminder. Civilizational issues are rife in modern politics. As policy-
makers, our job is to prevent such prognosis from becoming reality.

15. Indeed, Huntington’s warning has been relevant to Indonesia’s experience. In the roller coaster
years following independence, Indonesia has suffered separatist threats, ethnic and religious
conflicts, and Islamic insurgencies.

16 But we overcame these challenges. We adapted. And instead of failing, we have thrived.
Today we are not a hotbed of communal violence; we are by and large an archipelago of peace.
Today we are not at the brink of
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''Balkanization''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''; we have instead fortified our
national identity through three successful, peaceful national elections.

17. Today we are not a victim of past authoritarian, centralized governments, but a model of
democracy and decentralization.

18. Today we are not paralyzed by financial crisis but forging ahead with sweeping reforms of our
financial and industrial structure. And Indonesia today is a dynamic emerging economy, enjoying
one of the highest growth rates in Asia after China and India.

19. Thus, no matter how deep and seemingly divisive the civilizational forces facing Indonesia -- the
ethnic differences and religious conflicts -- we overcame them. This is despite the enormous
challenges of democracy and development that still confront us.

20. Please do not misunderstand me. I am aware of the painful realities of our world. I am aware of
the 4000 years of painful relations between Judaism, Islam and Christianity.

21. I am aware of a traumatic collective memory that is not easy to erase.

22. When dealing with matters of faith, we face basic human emotions that predated modern states.
These emotions are complicated, stubborn, and will likely become more problematic as religiosity
intensifies worldwide. According to some estimate, Islam will be the
world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s largest religion by 2025, accounting for some 30 % of the world
population, and indeed Islam is currently the fastest growing religion in the United States.

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

23. As religiosity increases, so will the politics of identity. And aided by globalization and
technology, extremism and radicalism can only grow. As we transition from G8 to G20 and perhaps
beyond, mutual exposure between civilizations will become the most intense humanity has ever
seen. Perhaps we will even see the emergence of a "global civilization".

24. And democracy has gained immense ground, spreading in the Islamic world, including in
Indonesia. There were only a handful of democracies at the turn of the 20th century. At the turn of
the 21st century, there are some 89 full democracies. Even the Organization of Islamic Conference
has adopted the historic Mecca Charter committing its members to the principles of democracy,
human rights and governance. Indeed, more people now live under open pluralist societies, and
under religious freedom, than at any other time in history. This trend can have only a positive
impact on the global community.

25. It may be naive to expect that the world can be rid of conflict and hatred. But I believe that we
can fundamentally change and evolve the way civilizations, religions and cultures interact.

26. This is NOT utopia. It is a pragmatic vision. I have seen it work in Indonesia. I have seen it work
in many countries. The question is : can we make it work globally? As Robert F. Kennedy once
said, quoting George Bernard Shaw, ‘I dream of things that never were, and ask, why not?” To
highlight how I think this can possibly be achieved, let me outline 9 (nine) imperatives to achieve
harmony among civilizations.

27. If you ask me “why 9 ?”, well, it is a bit personal, because 9 is always my lucky number. Let me
now outline these imperatives.

28. The first imperative is to make the 21st century the century of soft power. Remember : The 20th
century was the century of hard power. We saw two World Wars, several major wars and proxy
wars, and a long Cold War which risked nuclear holocaust. One estimate suggests that some 180
million people died in the wars and conflicts of the last century. It is no wonder that the 20th century
has been called the “age of conflict”. It has been the bloodiest Century in memory.

29. In contrast, the 21st century should and must be the century of soft power.

30. But there exists a large of “soft power deficit” that the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s
civilizations must fill. I believe that this ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''clash of
civilizations'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''' is actually a clash of ignorance. We are weakest when we
are alone. We are strongest when we join forces with one another.
There are many examples of this power of exchange and connectivity.

31. In the 13th century, the Islamic civilization was the most sophisticated in the world because it
had an enormous and indiscriminate thirst for knowledge and science, learning from all corners of
the world. And this body of scientific knowledge from the Muslim world was later utilized by the
Western Renaissance. Civilizations have built on each other''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s
knowledge and become enriched by them.

32. We have done the same in Indonesia, where we have built on our exposure to Eastern, Islamic,
and Western influences, culminating in the open, pluralistic and tolerant society that we are today.

33. In short : the cross-fertilization of cultures can produce something wonderful, something good.

34. The more we exchange cultures and share ideas, the more we learn from one another, the
more we cooperate and spread goodwill, the more we project soft power and place it right at the
heart of international relations, the closer we are to world peace.

35. Experience has taught me that soft power is an effective weapon against conflict. Just ask the
people of Aceh, Indonesia.

36. For 30 years, Aceh was rife with violence. Successive Indonesian governments opted for a rigid
military solution, because a settlement seemed so elusive. When I assumed the Presidency, I
pursued a new approach, one defined by goodwill and trust-building. I offered the separatists a win-
win formula, promising them peace with dignity. Remarkably, we reached a permanent peace
settlement in just 5 short rounds of negotiations. The peace agreement was fully in line with my

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

objective to defend our sovereignty and territorial integrity but in a civilized and democratic way.
That was when my faith in soft power multiplied, and why I believe it holds the key to resolving
many global problems.

37. The second imperative is to intensify the process of dialogue and outreach that now seems to
be proliferating.
We have seen many good initiatives. In 2001, the United Nations began the Dialogue among
Civilizations. Spain and Turkey later launched the Alliance of Civilizations. The Asia Europe
Meeting (ASEM) also took-up Inter-faith Dialogue. Recently, Saudi Arabia convened the Interfaith
Conference at the UN. Indonesia and Norway also launched, since 2006, the Global Inter-Media
Dialogue in the aftermath of the cartoon crisis. All this represents a fresh approach to link
civilizations and religions.

38. We must deepen the quality of these dialogues, so that they produce specific actions that, as
UN Secretary-General Ban Ki-moon points out, (and I quote) "change what people see, what they
say and ultimately how they act” (end of quote).

39. These initiatives should not always be a meeting of like-minded moderates, although surely this
is also important. They should also include disbelievers, for a dialogue should not be a
reaffirmation, but an honest attempt to understand the concerns of the other side. The point is to
listen, and not just talk.

40. A true dialogue must address age-old grievances and confront false stereotypes, without
presumptions and preconditions. Indeed, the best dialogues are often respectful and honest, open-
ended and constructive, intense, and solution-oriented. These were the quality of dialogues held in
Indonesia between Muslims and Christians in conflict-zones in Poso and Maluku, which culminated
in a commitment to peaceful reconciliation. The third imperative is the need to find a solution to
burning political conflicts that have driven a wide wedge, specifically between the western and
Muslim worlds.

41. Today, some two out of three Muslim countries are in conflict or face a significant threat of
conflict. In contrast, only one out of four non-Muslim countries face similar challenges. But despite
these very complex conflict situations, Muslims must be able to differentiate between a conflict
involving Muslims, and a “war against Islam”. I do not believe that any of the civilizations – Western,
Hindu, Sinic, Buddhist, Japanese - are systematically and simplistically engaged in a “war against
Islam”.

42. Of all the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s conflicts, none has captured the passion of
Muslims more than the plight of the Palestinians. But this is not a religious issue – there are
Christians and Jews in Palestine, and Muslims and Christians in Israel. Nonetheless, the
establishment of the much-awaited Palestinian state, in the framework of a two-state solution where
Palestine and Israel live side by side in peace, would be widely hailed by Muslims worldwide. It
would remove a major mental barrier in their perception of the West, especially of the United
States. Currently, many Muslims fail to notice the constructive role of the West in producing peace
in Bosnia, and in Kosovo, but they would sure notice, and rejoice in, the resolution of the Palestine
dilemma.

43. But the Palestinians too have a moral and political responsibility. It is difficult to attain and
sustain statehood unless there is unity among the Palestinian factions. In my meeting with
Palestinian leaders, I always told them very clearly that Indonesian freedom fighters would have
never won the war for independence, if they had not united in spirit.

44. The bottom line is : we desperately need to end the vicious cycle of conflict and violence.

45. The timely withdrawal of Western forces from Iraq and Afghanistan would also alleviate Muslim
fears of a Western hegemony. And all these political solutions would help reduce terrorism, as a
crime that deviates from the true teaching of Islam as a religion of peace. It would also turn the
feelings of fear and humiliation among some Muslims into hope and self-esteem.

46. The fourth imperative is to strengthen the voice of moderation in our communities.

47. By nature, moderates are open-minded, flexible and prone to an inclusive approach through

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

outreach and partnership. In contrast, extremists are driven by xenophobic fear, and bent on
confrontation and exclusion.
Because both moderation and extremism will grow in the 21st century, we must make sure the
moderates are empowered, and take center stage in society. The moderates should no longer be a
silent majority. They must speak up and defend their mainstream values in the face of opposition
from the louder and more media-genic extremists. In this vein, I find it very encouraging that
Western media have unanimously refused to show the very offensive film Fitna by provocative
Dutch politician Geert Wilders. This shows the media''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s improved
sensitivity towards Islam.

48. The moderates also have to be more proactive and less reactive. And they must show, with
reason and results, that being a moderate brings real success, peace and progress. Extremists will
always capitalize on hopelessness and desperation. We must present a better alternative. The fifth
imperative is multiculturalism and tolerance. The most welcome trend in the 21st century is
multiculturalism and tolerance. You can not say this of America and many Western nations several
decades ago. But today, racism is in serious decline, apartheid is gone, inter-racial marriages are
common, and the market place picks talents without regard for color, religion or ethnicity. Even the
family portrait of President Barack Obama reflects this healthy multiculturalism, with his Kenyan and
Indonesian roots.

49. We must all work together to ensure that multiculturalism and tolerance become a truly global
norm. And when we speak tolerance, it should be more than just to “tolerate” others. Tolerance
implies a deeper meaning. Tolerance means a full respect for others, sincerely accepting their
differences, and thriving on our mutual diversity. Only this type of tolerance can heal deeply seated
hatred and resentment. The sixth imperative is to make globalization work for all.

50. I do not accept the precept that, as a rule, globalization produces winners and losers. Like
peace, like development, globalization can be harnessed to make winners for all. Let us be clear on
this. There can be no genuine harmony among civilizations as long as the majority of the world’s
1,3 billion Muslims feel left out, marginalized and insecure about their place in the world. They are
part of the 2.7 billion people worldwide who live under two dollars a day.

51. These are the sad, hard facts. Out of 57 Muslim populated countries, 25 are classified as low-
income countries, 18 lower middle-income, and 14 as upper middle income or high income. And
even though 1 out of every 4 people in the world are Muslims, their economies constitute one tenth
of the world economy. One in four people in Muslim countries live in extreme poverty. Almost 300
million Muslims aged 15 and above are illiterate.
These statistics are, of course, unacceptable.

52. Muslims must take ownership in their destiny. Many Muslims reminisce too much about the
glory days of centuries past, when Islam was on top of the world: politically, militarily, scientifically,
economically. Muslims today must be convinced that Islam’s best years are ahead of us, not behind
us.

53. The 21st Century CAN be the era of the second Islamic renaissance. A confident, empowered
and resurgent Muslim world can partner with the West and other civilizations in building sustainable
peace and prosperity. But to do this, Muslims must change their mind-set. Like the remarkable 13th
century Muslims before them, they must be open-minded, innovative, and take risks. There are
inspirational Muslims everywhere: Nobel laureate Muhammad Yunus, Orhan Pamuk, Muhammad
Ali, Zidane, Hakeem Olajuwon, Fareed Zakaria and rapper: Akon. Countries like United Arab
Emirates and Qatar have shown that with good governance, self esteem and a progressive
worldview, they can change their nation’s fortune in one generation. And Indonesia has shown that
Islam, modernity and democracy – plus economic growth and national unity - can be a powerful
partnership.

54. In short, the world’s citizens, and children of all civilizations, must be equal partners and
benefactors of globalization.

55. A recent survey in The Economist found that, for the first time, more than half of the world
population can be loosely considered middle-class. If this is true, then we have a reasonable
chance to reach “zero poverty” worldwide by the end of this century. With the emerging economic
order that is now unfolding, getting from here to there would require intense inter-cultural and inter-

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

religious harmony. This should be the shared goal of all our nations.

56. The seventh imperative is to reform global governance.

57. Earlier, I talked about how the G20 Summit is more representative of
today''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s global dynamics. Unfortunately, this is the exception rather than
the rule.

58. For example, the UN Security Council today still reflects the power balance of 1945 rather than
2009, with exclusive veto powers reserved for four Western nations and China. It is unfortunate that
recent efforts to reform the UN Security Council have not been successful. This situation is
unsustainable. The UN Security Council will need to be restructured to keep up with 21st century
geopolitical realities.

59. Imperative number eight is education.

60. Politicians often overlook educational opportunities in both our homes and our classrooms. But
the answers to the world''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s problems are there, for it is also there that
hatred and prejudice breeds. These are the real battlegrounds for the hearts and minds of future
generations.

61. It is at these places that we must turn ignorance into compassion, and intolerance into respect.
The foot soldiers here are parents, teachers and community leaders. We must inculcate in our
school curriculum the culture of moderation, tolerance, and peace. We must help our children and
our students develop a sense of common humanity which allows them to see a world of amity, not a
world of enmity.

62. In Indonesia, elementary students are taught about respecting religious traditions. Exam
questions ask Muslim students what they should do if their Christian neighbors invite them to
celebrate Christmas. We are probably the only country in the world where each religious holidays –
Islamic, Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist - are designated as national holidays, even though
Hindus and Buddhists account only 2.4 per cent of our population. Through education, we have
sought to ensure that tolerance and respect for religious freedom becomes part of our trans-
generational DNA.

63. Finally, the ninth imperative : global conscience.

64. It is not easy to describe this, but this is what I saw in Aceh during the tsunami tragedy. On 26
December 2004, giant tsunami waves crashed Aceh and Nias, and 200,000 people perished in half
an hour. The whole nation was in grief.

65. But in this tragedy, we also found humanity. The whole world wept, and offered helping hands.
Americans, Australians, Singaporeans, Chinese, Mexicans, Indians, Turks and other international
volunteers worked hand in hand to help the Acehnese. I realized then … there exists a “powerful
global conscience”.

66 One would think, that the enormous pain of World War 2 would usher in a new dawn of world
peace. That is why the United Nations was formed. But the human race ended up with many more
wars.

67 One would think the threat of the nuclear holocaust was enough to trigger nuclear disarmament,
but the world saw more countries developing nuclear weapons. The question now is whether
climate change would be able to foster a new global conscience. We are still not sure that it will.

68. But a “global conscience” could well help transcend whatever civilization, religious and cultural
divides that has faced humanity.

69. So these are my NINE imperatives for harmony among civilizations that I offer to you today.

70. They will require a great deal of hard work. It will take the work of generations and decades.
And it will require patience, perseverance, partnership and lots of thinking outside the box.

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012


 

71. Eighteen years after the end of the Cold War ended, ten years into the 21st Century, we find
ourselves at a crucial crossroads. In front of us may be the most progressive century mankind has
ever known, a century where, as Fareed Zakaria says, more things will change in the next 10 years
than in the past 100 years.

72. It can be the century of possibility and opportunity.

73 President Barack Obama spoke in Cairo of a “new beginning” between America and the Muslim
world. Today, I say that we can “REINVENT A NEW WORLD”.

74 It will be a world not of conquest, but of connectivity. It will be a world defined not by a clash of
civilizations, but by the confluence of civilizations. It will be a world marked by plenty, not by
poverty. And it will be a vast empire of global minds breaking down centuries of civilizational
collisions and hostilities.

75 America, with all the economic, social and technological resources at her disposal, has much to
contribute to this new world. America’s role in helping to reform the international system, spread
prosperity, empower the world’s poor, resolve conflicts, and share knowledge is a critical asset to a
transforming world. Now is a golden opportunity for America to inundate the world with her soft
power, not hard power. America should not worry about retaining its superpower status. America
can help make the world anew -- what could be more powerful and definitive than that?

76 Indonesia too has a significant role to play. We can bridge between the Islamic and the western
worlds. We can project the virtue of moderate Islam throughout the Muslim world. We can be the
bastion of freedom, tolerance and harmony. We can be a powerful example that Islam, democracy
and modernity can go hand in hand. And we will continue to advance Indonesia’s transformation
through democracy, development and harmony.

77 This is why Indonesia and America are now evolving a strategic partnership. The world’s second
and the third largest democracies. The most powerful Western country and the country with the
largest Muslim population. Calibrated for the challenges of the 21st century, this partnership can
strengthen regional stability, inter-civilizational unity and world peace.

78. In the final analysis, vast oceans separate our countries but our common search unites. We are
both trying to redefine our place in the world. President Obama insists the 21st century can still be
the American Century. I am convinced that this could well be Asia''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s
Century.

79 Then I thought, why can''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''t it be


everybody''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''s century? It can be the American Century. It can be the
Asian Century. It can be the European Century. It can be the African Century. And it can be the
Islamic Century.

80 This can be an amazing century where hope prevails over fear, where brotherhood of man
reigns supreme, where human progress conquers ignorance.

81 It can be a Century that not only brings us into a new millennium, but also elevates the bonds of
humanity to greater heights.

82 In this Century, no one loses. And everybody wins.


<i>Insya Allah!</i> I thank you. (applause)

                                   Universitas Indonesia 
 

Analisis wacana..., Pandu Wicaksono, FIB UI, 2012

Anda mungkin juga menyukai