Anda di halaman 1dari 17

[Ketik di sini]

OMNIMBUS LAW

Presiden Jokowi di periode akan mengeluarkan wacana memangkas, menyederhanakan


dan menyelarasakan puluhan undang-undang yang kita sebut dengan Omnibus Law. Omnimbus
law saat menjadi isu yang saat ini sedang ramai diperbincangkan di Indonesia.hal itu menjadi
pertanda bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja dan menandakan bahwa kacamata
masyarakat Indonesia tidak segelap yang dulu.

Omnibus berasal dari Bahasa latin “omnis” yang berarti banyak, atau berarti untuk semua.
Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garner menjelaskan Omnibus Law sebagai RUU
yang berisi berbagai hal berbeda dan membahas semua proposal yang berkaitan dengan subjek
tertentu. Omnibus Law juga dapat dimaknai sebagai suatu konsep produk hukum yang berfungsi
untuk mengkonsolidasi berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada
setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik (Manan, 1997).
Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa Omnibus Law adalah satu undang-undang yang
bisa mengubah banyak undang-undang (Suriadinata, 2019). Pembentukan Omnibus Law
bertujuan untuk menghilangkan regulasi yang tumpah tindih dan sifat ego sektoral institusi
pembuat peraturan yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi (Bappenas, 2015).

Konsep Omnimbus Law

Konsep Omnibus Law atau yang dikenal sebagai Omnibus Bill merupakan metode yang
belum sering kita dengar dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Omnibus Law sebenarnya merupakan metode yang digunakan oleh negara dengan sistem hukum
Common Law. Pada negara yang menganut sistem common law, pada dasarnya sumber hukum
yang tertinggi ialah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan atau telah menjadi
keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian
menjadikan sistem hukum ini disebut common law system atau unwritten law (hukum tidak
tertulis) (Al-Fatih, 2017). Negara yang pernah menerapkan Omnibus Law diantaranya adalah
Amerika, Kanada, Filipina, Singapura, dan Belanda. Penerapan di omnimbus law.
[Ketik di sini]

KONSEP DIAJUKAN PEMERINTAH

Konsepsi omnimbus law : reformasi Regulasi

Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di berbagai
negara common law system, dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya
masing-masing dalam rangka meningkatkan iklim dan daya saing investasi.

Secara umum Omnibus Law belum populer di Indonesia namun terdapat beberapa UU
yang sudah menerapkan konsep tersebut, seperti UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
menjadi UU yang mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU. Omnibus law merupakan
metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam
berbagai UU.

Konsekuensi:

• UU existing masih tetap berlaku, kecuali sebagian pasal (materi hukum) yang telah diganti atau
dinyatakan tidak berlaku.
[Ketik di sini]

• UU existing tidak diberlakukan lagi, apabila pasal (materi hukum) yang diganti atau dinyatakan
tidak berlaku merupakan inti/ruh dari undang-undang tersebut.

1. UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


2. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisirdan Pulau Pulau Kecil
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun2014
[Ketik di sini]

3. UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial


4. UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
5. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
7. UU 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
8. UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
9. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
10. UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan
11. UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungandan Pemberdayaan Petani
12. UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakandan Kesehatan Hewan
13. UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang PerlindunganVarietasTanaman
14. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
15. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah terakhir dengan UU
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun2004 tentang Perikanan
16. UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungandan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Pertambak Garam
17. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
18. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyakdan Gas Bumi
19. UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
20. UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
21. UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
22. UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
23. UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
24. UU Nomor 2 Tahun 1981 tentang MetrologiLegal
25. UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
26. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
27. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
28. UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
29. UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
[Ketik di sini]

30. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang RumahSakit


31. UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
32. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
33. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SistemPendidikan Nasional
34. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
35. UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
36. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
37. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
38. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Kedokteran;
39. UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
40. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
41. UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerrbangan;
42. UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
43. UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
44. UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
45. UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahandan Kawasan Permukiman;
46. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
47. UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
48. UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber DayaAir;
49. UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
50. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
51. UU Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos;
52. UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan;
53. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian;
54. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang PenanamanModal;
55. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
56. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor
10 Tahun1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan;
57. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang PerbankanSyariah;
[Ketik di sini]

58. UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;


59. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
60. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
61. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran;
62. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
63. UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
64. UU Nomor3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
65. UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian;
66. UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten;
67. Staatblad Tahun1926 Nomor 226 jo. Staatblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang UU
Gangguan(Hinderordonnantie).
68. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
69. UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha MilikNegara;
70. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
71. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir
dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
72. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
73. UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian;
74. UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Ilmu Nasional Pengetahuan dan Teknologi;
75. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopolidan Persaingan TidakSehat
76. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
77. UU 41Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan;
78. UU Nomor39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus;
79. UU Nomor36 tahun 2000 tentang penetapan peraturan pemerintah Pengganti UU nomor 1
tahun 2000 tentang Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi UU
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 44 Tahun 2007
[Ketik di sini]

Berikut pembahasan tentang ESDM;

Regulasi ESDM seperti tentang UU no. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba) alias UU Minerba dilakukan secara bersama-sama dengan RUU Omnibus
Law Cipta kerja disebut sebagai bentuk kepentingan satu pihak tertentu. Direktur Eksekutif Pusat
Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bhaktiar menyoroti pembahasan RUU Minerba
yang masih dilanjutkan oleh DPR. Sebab, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menyatakan
bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus dijadikan prioritas, sehingga
seharusnya pembahasan RUU lain yang berhubungan harus ditunda.

Pertambangan dan Hilirisasi Minerba

1. Pemberian insentif untuk pengusahaan pertambangan minerba yang melakukan


hilirisasi.
2. Insentif hilirisasi batubara (termasuk gasifikasi): • tidak dikenai kewajiban
Domestic Market Obligation (DMO). • pengenaan royalti batubara 0%. • jangka
waktu izin selama umur tambang.
3. Insentif hilirisasi mineral berupa perpanjangan jangka waktu izin selama umur
tambang.
4. Luas wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi (OP)
Perpanjangan diberikan sesuai dengan rencana kegiatan pada seluruh wilayah
perjanjian yang telah disetujui.
5. Wilayah yang dilepaskan dari wilayah IUPK OP Perpanjangan ditetapkan menjadi
Wilayah Pencadangan Negara (WPN).
Minyak dan Gas Bumi

1. Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk BUMN Khusus


untuk melakukan kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi.
2. Pembentukan BUMN Khusus dapat dilakukan:
1) Dapat menugaskan PT Pertamina (Persero); atau
2) Dapat menugaskan BUMN lain.
[Ketik di sini]

3. Pemerintah tetap dapat menugaskan Badan usaha swasta untuk melaksanakan


kegiatan usaha hulu migas.
Sistem Hukum Indonesia dan Omnimbus Law

System hukum Indonesia yang menganut Civil Law System menjadi salah satu alasan belum
dikenal nya konsep Omnibus law dalam pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dikenal atau dicantumkan nya konsep
omnibus law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun sebagai kerangka
metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan, begitu pula di dalam
hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) UU
tersebut, Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law
belum diatur. John Henry Merryman menyatakan terdapat 3 (tiga) sumber hukum pada negara
bersistem hukum civil law, yaitu undang-undang, peraturan turunan, dan kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan hukum (Ramadhan, 2018; Merryman, 1985). Sekalipun bersumber pada
hukum yang tertulis dalam undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, dalam beberapa
Negara penganut sistem hukum ini, putusanputusan kadang juga dijadikan sebagai rujukan
sumber hukum meskipun hanya sebagai pelengkap dari apa yang telah ada dalam undang-undang
(Al-Fatih, 2017).

Penerapan omnimbus law sebenarnya biasa diadakan diindonesia namun tidak sejalan
dengan perjuangan berdarah-darah puluhan tahun yang lalu. Selain hal tersebut juga akan
berdampak pada otonom daerah. Dengan prinsip sentralisasi yang akan menjadi muara apabila
omnibus law ini diundangkan menjadi UU yang sah, maka jelas ini adalah bentuk penghianatan
terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan. Melihat konsep yang dibuat seolah-olah
pembuatan omnimbus law untuk kaum-kaum penguasa hal ini lebih cocok untuk system
pemerintahan oligarki, dan hal ini dinilai dibaut terlalu terburu-buru.
[Ketik di sini]

Dampak omnimbus law

Dengan dalih untuk regulasi yang lebih baik pemerintah mengiring masyarakat untuk
menyetujui konsep omnimbus law yang dinilai sebagi konsep kaum karpet merah oligarki.
beberapa hal yang berpotensi kuat memperbudak atau mencelakakan para pekerja antara lain :
a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Jika membandingan antara Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja sangat berbeda, walaupun UU Ketenagakerjaan yang saat ini dipakai dianggap jauh
dari kata baik untuk buruh, akan tetapi substansi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
ini akan jauh lebih buruk. dalam pasal 153 UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang
berlaku saat ini mengatur bahwa perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
apabila:
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
- Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
- Pekerja menikah
- Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
- Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
- Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja
melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan perusahaan, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
- Pekerja yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai perbuatan
perusahaan yang melakukan tindak pidana kejahatan
[Ketik di sini]

- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
- Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.

b. Upah pekerja dan Perempuan


Upah pekerja akan semakin kecil karena dihitung berdasarkan jam atau produktivitas
kerja nya, sehingga mau-tidak mau pekerja akan melakukan kerja dengan intensitas yang
Panjang demi mendapatkan upah yang dianggap layak. Jika dibandingkan dengan
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada beberapa hal yang
tidak terakomodir dalam muatan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini. Dalam pasal 93
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur mengenai pekerja yang tetap
menerima upah meskipun tidak bisa bekerja dengan ketentuan- ketentuan yang sudah diatur.
Contoh pemberian upah kepada buruh yang sedang sakit. Upah yang dibayarkan kepada
pekerja/buruh yang sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut : -
untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari upah; - untuk 4 (empat)
bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah; - untuk 4 (empat) bulan
ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari upah; dan - untuk bulan selanjutnya dibayar
25% (dua puluh lima persen) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh
pengusaha.
Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja tidak diatur mengenai upah buruh yang tetap
dibayarkan meski buruh tidak bekerja sesuai dengan ketentuanketentuan. Sehingga jika ada
buruh yang tidak bisa bekerja dengan alasanalasan yang diatur seperti dalam UU No 13
Tahun 2003, maka buruh berpotensi untuk tidak akan mendapat upah. Hal ini tentu
merugikan buruh apalagi jika buruh tersebut tidak memiliki pos-pos penghasilan lain atau
hanya mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh sebagai buruh. Beberapa kekhawatiran
seperti pekerja yang istirahat makan atau menjalankan ibadah akan dianggap sedang tidak
bekerja sehingga akan mengurangi upah yang didapatkan nya, kemudian potensi diskriminasi
[Ketik di sini]

terhadap perempuan juga sangat besar kemungkinan nya untuk terjadi, karena pekerja
perempuan yang mengajukan cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, akan dianggap
tidak bekerja dan imbas nya tidak akan mendapat upah sepeserpun.
c. Tenaga Kerja Asing yang mengancam: Pemerintah Indonesia yang memiliki obsesi
untuk mendatangkan investor
Pemerintah akan memuluskan syarat dari investor yang akan masuk, termasuk dari
investor asing/luar negeri yang akan menanamkan investasi nya di Indonesias, persyaratan
tersebut diantara nya terkait dengan diijinkan nya investor asing tersebut untuk
mengikutsertakan atau memboyong pekerja dari negara nya untuk bekerja di Indonesia
sebagai tempat yang menjadi tujuan investasi, dan dimaksutkan untuk menekan biaya
produksi serta menaikan laba yang diperoleh dari para investor tersebut, hal ini tentu saja
menjadi momok yang menakutkan, khusus nya bagi masyarakat Indonesia sendiri,
dikarenakan ada potensi besar Tenaga Kerja Asing tersebut dapat masuk ke Indonesia tanpa
sebuah kualifikasi atau persyaratan tertentu, yang menyebabkan posisi Tenaga Kerja asli
Indonesia terancam keberadaan nya, berdasarkan data yang dihimpun dari Kementrian
Ketenagakerjaan Republik Indonesia (2019) disebutkan bahwasanya hingga akhir tahun 2018
terdapat sekitar 95.335 pekerja Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Indonesia yang jika
diperinci dari TKA berjumlah 95.335 orang itu terdapat tenaga asing profesional yang
menyumbang sebesar 30.626 orang, manajer sebanyak 21.237 orang, dan
adviser/konsultan/direksi sebanyak 30.708 orang serta sebagian besar didominasi dari
Negara Republik Rakyat Tiongkok sebesar 32.000 orang. Jika Omnibus Law ini disahkan,
maka tidak menutup kemungkinan posisi masyarakat Indonesia akan tergusur dengan
kehadiran Tenaga Kerja Asing tersebut.
d. Kepastian Kerja Yang Sulit dan Jaminan Hak Pekerja dihilangkan
Para pekerja dalam system kontrak maupun pekerja outsourcing (pekerja alih daya) akan
berada pada posisi yang sulit karena ketidakpastian kerja yang didapat dikarenakan
Fleksibilitas system kerja yang diterapkan, hal ini berdampak juga pada pemberian jaminan
hak bagi para pekerja serta minim nya pesangon yang didapatkan jika kontrak kerja nya
habis atau jika dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, jaminan serta fasilitas
[Ketik di sini]

kesejahteraan bagi para buruh sendiri sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, yakni dalam Pasal 100 yaitu:
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah Muatan yang terkandung dalam Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja ini memiliki potensi besar untuk meminimalkan atau bahkan
menghilangkan kewajiban pengusaha akan hak berupa jaminan kerja bagi buruh, apabila hal
ini benar-benar terjadi maka jelaslah Negara tidak memperhatikan kesejahteraan para buruh
dan mewujudkan kemakmuran bagi warga negara nya.
e. Sanksi Pidana bagi pengusaha pelanggar hak pekerja akan dihapuskan
Jika dibandingkan, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003)
mencantumkan sanksi bagi korporasi apabila melanggar ketentuan yang terdapat dalam
Undang-undang tersebut, sanksi nya dibagi menjadi Sanksi Pidana (tercantum dalam pasal
183 sampai 189), serta sanksi Administratif (tercantum dalam pasal 190). Adapun sanksi
pidana dapat berupa pidana penjara (maksimal 5 tahun), kurungan, dan/atau denda
(maksimal 500 juta rupiah) serta tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap
membayarkan hak pekerja dan atau ganti rugi kepada karyawan yang bersangkutan. Dalam
muatan substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sanksi pidana pelanggaran hak
ketenagakerjaan akan dihilangkan dan difokuskan pada pemberian sanksi administrative,
sehingga pelanggaran hak ketenagakerjaan akan semakin massive, pengusaha dimungkinkan
bisa menghindari pemenuhan hak pekerja seperti BPJS (ketenagakerjaan dan kesehatan),
melakukan pemecatan terhadap pekerja yang mendirikan serikat atau ikut dalam serikat
buruh yang telah ada/terbentuk, membayar upah yang minim serta melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak tanpa takut denga nada nya saksi berupa pemidanaan.
[Ketik di sini]

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Mengenyampingkan KLHS


Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup menggunakan tata ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup. Di dalam Pasal 19 ayat (1) UU PPLH disebutkan: “Untuk menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah
wajib didasarkan pada KLHS.” Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian
analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. Instansi yang berwenang menyusun KLHS adalah
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan wilayah
administratifnya. Namun dalam kewenangan penyusunan harus saling berkaitan dan saling
mendukung agar terjadi keserasian dan keharmonisan kondisi dan wilayahnya. KLHS sebagai
rangkaian analisis yang sistematis tentang potensi lingkungan hidup berisi tentang:
1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
3. Kinerja layanan/jasa ekosistem;
4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Penyusunan KLHS didasarkan untuk pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam
menyusun program pembangunan. Apabila KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya
tampung sudah terlampaui, maka pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memperbaiki
sesuai dengan rekomendasi KLHS dan menghentikan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah
melampaui daya dukung dan daya tampung. Di dalam UU PPLH, pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota wajib menyusun KLHS sebagai bentuk pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang selama ini upaya pencegahan kerusakan
lingkungan akibat pembangunan hanya didasarkan pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Prof. Soedarto di dalam sidang pembahasan RUU PLH agenda RDPU pada tanggal
15 Juli 2009 menuturkan bahwa KLHS di luar negeri adalah sebuah kajian tahap awal kebijakan,
[Ketik di sini]

yaitu tahapan awal dari perencanaan. Tahapan ini merupakan tahap dimana desain proyek
pertama kali disusun. Berkaitan dengan itu, AMDAL sebagai instrumen pencegahan yang telah
lebih dahulu diberlakukan dirasa tidak dapat mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan pada tahapan perencanaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa AMDAL tidak dapat
mempengaruhi desain proyek, sehingga dalam konteks ini AMDAL adalah instrumen yang
“terlambat”. Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang menempatkan KLHS lebih dahulu
daripada AMDAL. Seperti yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat
KLHS yang bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan kata lain, dapat terlihat bahwa KLHS merupakan “dokumen kelayakan
lingkungan” yang disusun dan dimiliki oleh pemerintah, untuk selanjutnya menjadi pedoman
dalam pengelolaan lingkungan hidup.Terkait dengan perencanaan pembangunan yang sesuai
dengan peruntukan ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan, posisi KLHS yang strategis
tersebut mengharuskan perlunya integrasi dari KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), beserta rencana rincinya, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup. Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah keterkaitan antara
KLHS dengan penataan ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di dalam UndangUndang
Penataan Ruang sendiri telah ditegaskan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota wajib memperhatikan daya
dukung dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam UU PPLH sendiri
ditegaskan setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS, untuk
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat.
Ketersinggungan yang erat ini sekaligus menjadi dasar kebijakan saat ini, dimana posisi
produk RTRW dapat dijadikan substitusi produk KLHS, sehingga suatu daerah yang
[Ketik di sini]

sudah memiliki Perda RTRW tidak harus mengeluarkan Perda khusus tentang KLHS. Di
dalam Pasal 18 angka 9 mengenai penambahan Pasal 14A dalam UU Penataan Ruang
pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja diatur bahwa dalam penyusunan Tata Ruang,
KLHS hanya menjadi bahan pertimbangan dengan adanya kata “memperhatikan” dalam
pasal. Dengan redaksional pasal tersebut berpotensi KLHS dan RTRW disusun secara
paralel sehingga KLHS tidak menjadi dokumen acuan dalam penyusunan RTRW atau
bahkan tidak menjadi pertimbangan. Pasal 18 angka 9 di dalam Omnibus Law tersebut
telah bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh UU PPLH yang menjadikan tata
ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
dimana setiap perencanaan tata ruang wilayah harus didasarkan oleh KLHS yang
berisikan Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan. Daya dukung dan daya tampung lingkungan memiliki fungsi strategis
dalam mengkaji suatu ekosistem bahkan kawasan secara mikro. Hasil perhitungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan memegang peran penting seperti:
a. Memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan lingkungan dan memberi
gambaran kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan.
b. Evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
c. Alat perencanaan pembangunan. Hasil analisa daya dukung lingkungan merupakan
salah satu instrumen perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran terhadap
hubungan antara penduduk, lingkungan, dan penggunaan lahan. Dengan tidak lagi
menjadikan KLHS sebagai dasar acuan dalam perencanaan tata ruang wilayah maka
berpotensi untuk mereduksi integrasi KLHS dalam perencanaan tata ruang sehingga
dapat mengancam prinsip pembangunan berkelanjutan dalam penyusunan tata ruang dan
mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata
ruang.

Dampak Lingkungan Jika RUU Cipta Kerja Disahkan


Selain itu RUU Cipta Kerja juga memberikan dampak pada bidang
keanekaragaman hayati. Pasal 66 angka 8 RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 77 UU
[Ketik di sini]

tentang pangan. Pasal tersebut berubah menjadi “Setiap Orang dilarang memproduksi
Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Permasalahan yang ada pada perubahan ini adalah
produksi pangan yang dihasilkan dari rekayasa genetik hanya perlu memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sebelumnya pangan hasil rekayasa genetik perlu
persetujuan keamanan pangan dari pemerintah, perubahan ini melonggarkan pencegahan
masalah lingkungan yang disebabkan oleh organisme hasil rekayasa genetik. Dibalik
keunggulan yang diperoleh dari pemanfaatan Genetically Modified Organism (GMO),
terdapat konsekuensi negatif yang perlu diperhatikan. Pangan hasil rekayasa genetik
dapat mencemari lingkungan, kebocoran gen, dan hibridisasi liar dan karena itu
pemerintah perlu menjaga keamanan setiap produknya.

RUU Cipta Kerja juga menghilangkan batas minimum 30% luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau. Hal
itu tertuang pada Pasal 37 angka 3. Pada pasal tersebut hanya tertulis pemerintah pusat
[Ketik di sini]

lah yang berhak menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas. Pengaturan luas
kawasan yang harus dipertahankan akan disesuaikan kondisi fisik dan geografis DAS
dan/atau pulau. Kebijakan tersebut sudah tepat namun tidak ada kepastian bahwa
informasi kondisi fisik dan geografis yang diterima oleh pemerintah sudah sesuai dan
menyeluruh, mengingat DAS adalah sebuah sistem hidrologi yang dimulai dari turunnya
hujan dan prosesnya terjadi dari hulu ke hilir. DAS merupakan sistem terbuka, dalam
artian kondisi suatu DAS akan berdampak pada DAS sekitarnya. Melonggarnya
kehati-hatian dengan menetapkan batas minimum 30% sama saja menghilangkan
kehati-hatian akan masalah kekeringan hidrologis akibat penggundulan hutan. Dinamika
perubahan penggunaan dan tutupan lahan dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dan
kebijakan penggunaan lahan oleh pemerintah. Dinamika itu akan mengurangi
kelembaban tanah dan mendorong kekeringan sebab hasil air akan meningkat dan habis
dengan cepat. Akomodasi kawasan lindung sumber daya alam sebagai upaya konservasi
tertuang pada rencana tata ruang wilayah (RTRW). Konteks pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan pada proses perencanaannya membutuhkan kerangka jangka
panjang, mengintegrasikan lintas sektor, mengintegrasikan lintas batas, dan kelestarian
serta neraca sumber daya alam. Upaya pengelolaan ini akan dilemahkan dengan RUU
Cipta Kerja pasal 30 angka 1 yang tidak mempertimbangkan kesesuaian ruang,
ketersedian lahan, dan kondisi geografis;

Anda mungkin juga menyukai