OMNIMBUS LAW
Omnibus berasal dari Bahasa latin “omnis” yang berarti banyak, atau berarti untuk semua.
Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Garner menjelaskan Omnibus Law sebagai RUU
yang berisi berbagai hal berbeda dan membahas semua proposal yang berkaitan dengan subjek
tertentu. Omnibus Law juga dapat dimaknai sebagai suatu konsep produk hukum yang berfungsi
untuk mengkonsolidasi berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada
setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik (Manan, 1997).
Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa Omnibus Law adalah satu undang-undang yang
bisa mengubah banyak undang-undang (Suriadinata, 2019). Pembentukan Omnibus Law
bertujuan untuk menghilangkan regulasi yang tumpah tindih dan sifat ego sektoral institusi
pembuat peraturan yang menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi (Bappenas, 2015).
Konsep Omnibus Law atau yang dikenal sebagai Omnibus Bill merupakan metode yang
belum sering kita dengar dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan
Omnibus Law sebenarnya merupakan metode yang digunakan oleh negara dengan sistem hukum
Common Law. Pada negara yang menganut sistem common law, pada dasarnya sumber hukum
yang tertinggi ialah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan atau telah menjadi
keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian
menjadikan sistem hukum ini disebut common law system atau unwritten law (hukum tidak
tertulis) (Al-Fatih, 2017). Negara yang pernah menerapkan Omnibus Law diantaranya adalah
Amerika, Kanada, Filipina, Singapura, dan Belanda. Penerapan di omnimbus law.
[Ketik di sini]
Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di berbagai
negara common law system, dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya
masing-masing dalam rangka meningkatkan iklim dan daya saing investasi.
Secara umum Omnibus Law belum populer di Indonesia namun terdapat beberapa UU
yang sudah menerapkan konsep tersebut, seperti UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan
Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan
menjadi UU yang mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU. Omnibus law merupakan
metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam
berbagai UU.
Konsekuensi:
• UU existing masih tetap berlaku, kecuali sebagian pasal (materi hukum) yang telah diganti atau
dinyatakan tidak berlaku.
[Ketik di sini]
• UU existing tidak diberlakukan lagi, apabila pasal (materi hukum) yang diganti atau dinyatakan
tidak berlaku merupakan inti/ruh dari undang-undang tersebut.
Regulasi ESDM seperti tentang UU no. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba) alias UU Minerba dilakukan secara bersama-sama dengan RUU Omnibus
Law Cipta kerja disebut sebagai bentuk kepentingan satu pihak tertentu. Direktur Eksekutif Pusat
Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bhaktiar menyoroti pembahasan RUU Minerba
yang masih dilanjutkan oleh DPR. Sebab, sebelumnya Presiden Joko Widodo telah menyatakan
bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja harus dijadikan prioritas, sehingga
seharusnya pembahasan RUU lain yang berhubungan harus ditunda.
System hukum Indonesia yang menganut Civil Law System menjadi salah satu alasan belum
dikenal nya konsep Omnibus law dalam pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dikenal atau dicantumkan nya konsep
omnibus law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun sebagai kerangka
metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan, begitu pula di dalam
hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) UU
tersebut, Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law
belum diatur. John Henry Merryman menyatakan terdapat 3 (tiga) sumber hukum pada negara
bersistem hukum civil law, yaitu undang-undang, peraturan turunan, dan kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan hukum (Ramadhan, 2018; Merryman, 1985). Sekalipun bersumber pada
hukum yang tertulis dalam undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif, dalam beberapa
Negara penganut sistem hukum ini, putusanputusan kadang juga dijadikan sebagai rujukan
sumber hukum meskipun hanya sebagai pelengkap dari apa yang telah ada dalam undang-undang
(Al-Fatih, 2017).
Penerapan omnimbus law sebenarnya biasa diadakan diindonesia namun tidak sejalan
dengan perjuangan berdarah-darah puluhan tahun yang lalu. Selain hal tersebut juga akan
berdampak pada otonom daerah. Dengan prinsip sentralisasi yang akan menjadi muara apabila
omnibus law ini diundangkan menjadi UU yang sah, maka jelas ini adalah bentuk penghianatan
terhadap agenda Reformasi yang telah diperjuangkan. Melihat konsep yang dibuat seolah-olah
pembuatan omnimbus law untuk kaum-kaum penguasa hal ini lebih cocok untuk system
pemerintahan oligarki, dan hal ini dinilai dibaut terlalu terburu-buru.
[Ketik di sini]
Dengan dalih untuk regulasi yang lebih baik pemerintah mengiring masyarakat untuk
menyetujui konsep omnimbus law yang dinilai sebagi konsep kaum karpet merah oligarki.
beberapa hal yang berpotensi kuat memperbudak atau mencelakakan para pekerja antara lain :
a. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Jika membandingan antara Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dengan muatan yang terkandung dalam Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja sangat berbeda, walaupun UU Ketenagakerjaan yang saat ini dipakai dianggap jauh
dari kata baik untuk buruh, akan tetapi substansi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
ini akan jauh lebih buruk. dalam pasal 153 UU 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang
berlaku saat ini mengatur bahwa perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja
apabila:
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
- Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
- Pekerja menikah
- Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
- Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja
lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
- Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja
melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan perusahaan, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
- Pekerja yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai perbuatan
perusahaan yang melakukan tindak pidana kejahatan
[Ketik di sini]
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
- Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
terhadap perempuan juga sangat besar kemungkinan nya untuk terjadi, karena pekerja
perempuan yang mengajukan cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, akan dianggap
tidak bekerja dan imbas nya tidak akan mendapat upah sepeserpun.
c. Tenaga Kerja Asing yang mengancam: Pemerintah Indonesia yang memiliki obsesi
untuk mendatangkan investor
Pemerintah akan memuluskan syarat dari investor yang akan masuk, termasuk dari
investor asing/luar negeri yang akan menanamkan investasi nya di Indonesias, persyaratan
tersebut diantara nya terkait dengan diijinkan nya investor asing tersebut untuk
mengikutsertakan atau memboyong pekerja dari negara nya untuk bekerja di Indonesia
sebagai tempat yang menjadi tujuan investasi, dan dimaksutkan untuk menekan biaya
produksi serta menaikan laba yang diperoleh dari para investor tersebut, hal ini tentu saja
menjadi momok yang menakutkan, khusus nya bagi masyarakat Indonesia sendiri,
dikarenakan ada potensi besar Tenaga Kerja Asing tersebut dapat masuk ke Indonesia tanpa
sebuah kualifikasi atau persyaratan tertentu, yang menyebabkan posisi Tenaga Kerja asli
Indonesia terancam keberadaan nya, berdasarkan data yang dihimpun dari Kementrian
Ketenagakerjaan Republik Indonesia (2019) disebutkan bahwasanya hingga akhir tahun 2018
terdapat sekitar 95.335 pekerja Tenaga Kerja Asing yang bekerja di Indonesia yang jika
diperinci dari TKA berjumlah 95.335 orang itu terdapat tenaga asing profesional yang
menyumbang sebesar 30.626 orang, manajer sebanyak 21.237 orang, dan
adviser/konsultan/direksi sebanyak 30.708 orang serta sebagian besar didominasi dari
Negara Republik Rakyat Tiongkok sebesar 32.000 orang. Jika Omnibus Law ini disahkan,
maka tidak menutup kemungkinan posisi masyarakat Indonesia akan tergusur dengan
kehadiran Tenaga Kerja Asing tersebut.
d. Kepastian Kerja Yang Sulit dan Jaminan Hak Pekerja dihilangkan
Para pekerja dalam system kontrak maupun pekerja outsourcing (pekerja alih daya) akan
berada pada posisi yang sulit karena ketidakpastian kerja yang didapat dikarenakan
Fleksibilitas system kerja yang diterapkan, hal ini berdampak juga pada pemberian jaminan
hak bagi para pekerja serta minim nya pesangon yang didapatkan jika kontrak kerja nya
habis atau jika dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, jaminan serta fasilitas
[Ketik di sini]
kesejahteraan bagi para buruh sendiri sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, yakni dalam Pasal 100 yaitu:
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah Muatan yang terkandung dalam Omnibus Law
Cipta Lapangan Kerja ini memiliki potensi besar untuk meminimalkan atau bahkan
menghilangkan kewajiban pengusaha akan hak berupa jaminan kerja bagi buruh, apabila hal
ini benar-benar terjadi maka jelaslah Negara tidak memperhatikan kesejahteraan para buruh
dan mewujudkan kemakmuran bagi warga negara nya.
e. Sanksi Pidana bagi pengusaha pelanggar hak pekerja akan dihapuskan
Jika dibandingkan, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003)
mencantumkan sanksi bagi korporasi apabila melanggar ketentuan yang terdapat dalam
Undang-undang tersebut, sanksi nya dibagi menjadi Sanksi Pidana (tercantum dalam pasal
183 sampai 189), serta sanksi Administratif (tercantum dalam pasal 190). Adapun sanksi
pidana dapat berupa pidana penjara (maksimal 5 tahun), kurungan, dan/atau denda
(maksimal 500 juta rupiah) serta tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap
membayarkan hak pekerja dan atau ganti rugi kepada karyawan yang bersangkutan. Dalam
muatan substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sanksi pidana pelanggaran hak
ketenagakerjaan akan dihilangkan dan difokuskan pada pemberian sanksi administrative,
sehingga pelanggaran hak ketenagakerjaan akan semakin massive, pengusaha dimungkinkan
bisa menghindari pemenuhan hak pekerja seperti BPJS (ketenagakerjaan dan kesehatan),
melakukan pemecatan terhadap pekerja yang mendirikan serikat atau ikut dalam serikat
buruh yang telah ada/terbentuk, membayar upah yang minim serta melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak tanpa takut denga nada nya saksi berupa pemidanaan.
[Ketik di sini]
yaitu tahapan awal dari perencanaan. Tahapan ini merupakan tahap dimana desain proyek
pertama kali disusun. Berkaitan dengan itu, AMDAL sebagai instrumen pencegahan yang telah
lebih dahulu diberlakukan dirasa tidak dapat mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan
lingkungan pada tahapan perencanaan tersebut. Beliau berpendapat bahwa AMDAL tidak dapat
mempengaruhi desain proyek, sehingga dalam konteks ini AMDAL adalah instrumen yang
“terlambat”. Oleh karena itu, diperlukan instrumen baru yang menempatkan KLHS lebih dahulu
daripada AMDAL. Seperti yang telah disebutkan di atas, Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat
KLHS yang bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. Dengan kata lain, dapat terlihat bahwa KLHS merupakan “dokumen kelayakan
lingkungan” yang disusun dan dimiliki oleh pemerintah, untuk selanjutnya menjadi pedoman
dalam pengelolaan lingkungan hidup.Terkait dengan perencanaan pembangunan yang sesuai
dengan peruntukan ruang dan wilayah yang sudah ditetapkan, posisi KLHS yang strategis
tersebut mengharuskan perlunya integrasi dari KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), beserta rencana rincinya, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. Kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau
risiko lingkungan hidup. Dari penjelasan di atas dapat ditarik sebuah keterkaitan antara
KLHS dengan penataan ruang sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Di dalam UndangUndang
Penataan Ruang sendiri telah ditegaskan bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota wajib memperhatikan daya
dukung dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam UU PPLH sendiri
ditegaskan setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS, untuk
menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat.
Ketersinggungan yang erat ini sekaligus menjadi dasar kebijakan saat ini, dimana posisi
produk RTRW dapat dijadikan substitusi produk KLHS, sehingga suatu daerah yang
[Ketik di sini]
sudah memiliki Perda RTRW tidak harus mengeluarkan Perda khusus tentang KLHS. Di
dalam Pasal 18 angka 9 mengenai penambahan Pasal 14A dalam UU Penataan Ruang
pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja diatur bahwa dalam penyusunan Tata Ruang,
KLHS hanya menjadi bahan pertimbangan dengan adanya kata “memperhatikan” dalam
pasal. Dengan redaksional pasal tersebut berpotensi KLHS dan RTRW disusun secara
paralel sehingga KLHS tidak menjadi dokumen acuan dalam penyusunan RTRW atau
bahkan tidak menjadi pertimbangan. Pasal 18 angka 9 di dalam Omnibus Law tersebut
telah bertentangan dengan semangat yang dibawa oleh UU PPLH yang menjadikan tata
ruang sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
dimana setiap perencanaan tata ruang wilayah harus didasarkan oleh KLHS yang
berisikan Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan. Daya dukung dan daya tampung lingkungan memiliki fungsi strategis
dalam mengkaji suatu ekosistem bahkan kawasan secara mikro. Hasil perhitungan daya
dukung dan daya tampung lingkungan memegang peran penting seperti:
a. Memberikan rekomendasi dalam rangka perbaikan lingkungan dan memberi
gambaran kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan.
b. Evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
c. Alat perencanaan pembangunan. Hasil analisa daya dukung lingkungan merupakan
salah satu instrumen perencanaan pembangunan yang memberikan gambaran terhadap
hubungan antara penduduk, lingkungan, dan penggunaan lahan. Dengan tidak lagi
menjadikan KLHS sebagai dasar acuan dalam perencanaan tata ruang wilayah maka
berpotensi untuk mereduksi integrasi KLHS dalam perencanaan tata ruang sehingga
dapat mengancam prinsip pembangunan berkelanjutan dalam penyusunan tata ruang dan
mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam perencanaan tata
ruang.
tentang pangan. Pasal tersebut berubah menjadi “Setiap Orang dilarang memproduksi
Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Permasalahan yang ada pada perubahan ini adalah
produksi pangan yang dihasilkan dari rekayasa genetik hanya perlu memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat. Sebelumnya pangan hasil rekayasa genetik perlu
persetujuan keamanan pangan dari pemerintah, perubahan ini melonggarkan pencegahan
masalah lingkungan yang disebabkan oleh organisme hasil rekayasa genetik. Dibalik
keunggulan yang diperoleh dari pemanfaatan Genetically Modified Organism (GMO),
terdapat konsekuensi negatif yang perlu diperhatikan. Pangan hasil rekayasa genetik
dapat mencemari lingkungan, kebocoran gen, dan hibridisasi liar dan karena itu
pemerintah perlu menjaga keamanan setiap produknya.
RUU Cipta Kerja juga menghilangkan batas minimum 30% luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan/atau pulau. Hal
itu tertuang pada Pasal 37 angka 3. Pada pasal tersebut hanya tertulis pemerintah pusat
[Ketik di sini]
lah yang berhak menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas. Pengaturan luas
kawasan yang harus dipertahankan akan disesuaikan kondisi fisik dan geografis DAS
dan/atau pulau. Kebijakan tersebut sudah tepat namun tidak ada kepastian bahwa
informasi kondisi fisik dan geografis yang diterima oleh pemerintah sudah sesuai dan
menyeluruh, mengingat DAS adalah sebuah sistem hidrologi yang dimulai dari turunnya
hujan dan prosesnya terjadi dari hulu ke hilir. DAS merupakan sistem terbuka, dalam
artian kondisi suatu DAS akan berdampak pada DAS sekitarnya. Melonggarnya
kehati-hatian dengan menetapkan batas minimum 30% sama saja menghilangkan
kehati-hatian akan masalah kekeringan hidrologis akibat penggundulan hutan. Dinamika
perubahan penggunaan dan tutupan lahan dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi dan
kebijakan penggunaan lahan oleh pemerintah. Dinamika itu akan mengurangi
kelembaban tanah dan mendorong kekeringan sebab hasil air akan meningkat dan habis
dengan cepat. Akomodasi kawasan lindung sumber daya alam sebagai upaya konservasi
tertuang pada rencana tata ruang wilayah (RTRW). Konteks pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan pada proses perencanaannya membutuhkan kerangka jangka
panjang, mengintegrasikan lintas sektor, mengintegrasikan lintas batas, dan kelestarian
serta neraca sumber daya alam. Upaya pengelolaan ini akan dilemahkan dengan RUU
Cipta Kerja pasal 30 angka 1 yang tidak mempertimbangkan kesesuaian ruang,
ketersedian lahan, dan kondisi geografis;