Anda di halaman 1dari 58

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TUBAN, Menimbang : a. bahwa mineral merupakan potensi sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan, maka pemerintah daerah berwenang untuk melakukan pengelolaan pertambangan yang meliputi kebijakan perencanaan, pengaturan, pengurusan, pembinaan, pengawasan dan pengembangan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Izin Usaha Pertambangan; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. UndangUndang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2730); 3. UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3817); 5. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);

-2-

6. UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4724); 7. UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 8. UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 1006, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4756); 9. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4866); 10. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4959); 11. UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 12. UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5145); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4833); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5110);

-3-

18. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5111); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5142); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang; 21. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum; 22. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Rencana Jenis Usaha/Kegiatan Yang Wajib AMDAL; 23. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan, Mineral dan Batubara; 24. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup; 25. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 10 Tahun 2007 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tuban (Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2007 Seri E Nomor 25); 26. Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 03 Tahun 2008 tentang Organisasi Dinas Daerah Kabupaten Tuban (Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2008 Seri D Nomor 2). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN TUBAN DAN BUPATI TUBAN MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Tuban. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Tuban. 3. Bupati adalah Bupati Tuban.

-4-

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tuban. 5. Dinas Pertambangan dan Energi adalah Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban. 6. Inspektur Tambang adalah Aparat Pengawas Pelaksanaan Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Pertambangan Mineral. 7. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 8. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 10. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 11. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batuan yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang. 12. Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut IUP, adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 13. IUP Eksplorasi adalah Izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan. 14. IUP Operasi Produksi adalah Izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. 15. Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut IPR, adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. 16. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. 17. Studi kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pasca tambang.

-5-

18. Operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. 19. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan usaha pertambangan. 20. Usaha Jasa Pertambangan adalah usaha jasa yang kegiatannya berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian kegiatan usaha pertambangan. 21. Usaha jasa pertambangan non inti adalah usaha jasa selain usaha jasa pertambangan yang memberikan pelayanan jasa dalam mendukung kegiatan usaha pertambangan. 22. Izin Usaha Jasa Pertambangan yang selanjutnya disebut IUJP adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha jasa pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha jasa pertambangan. 23. Perusahaan Jasa Pertambangan Lokal adalah perusahaan jasa yang berbadan hukum Indonesia atau bukan berbadan hukum, yang didirikan di Kabupaten Tuban yang seluruh modalnya berasal dari dalam negeri dan beroperasi di wilayah Kabupaten Tuban. 24. Perusahaan Jasa Pertambangan Lain adalah perusahaan yang didirikan dan berbadan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. 25. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 26. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 27. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL dan UKL-UPL. 28. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 29. Kegiatan Pasca Tambang yang selanjutnya disebut pasca tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 30. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

-6-

31. Wilayah Pertambangan yang selanjutnya disebut WP adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang Nasional. 32. Wilayah Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WUP adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi dan/atau informasi geologi. 33. Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disebut WIUP adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. 34. Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disebut WPR adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 35. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 36. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 37. Penambangan adalah Bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan mineral ikutannya. 38. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan memanfaatkan serta memperoleh mineral ikutan. 39. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 40. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral. 41. Pertambangan perorangan adalah suatu usaha di bidang pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat berkewarganegaraan Indonesia dan berdomisili di Indonesia. 42. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Asas dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral adalah: a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; dan d. Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

-7-

Pasal 3 Tujuan pengelolaan pertambangan mineral adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna,berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan daerah; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan daerah agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat daerah serta menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral. BAB III KEWENANGAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN Pasal 4 Kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan mineral antara lain, adalah : a. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah daerah dan/ atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; b. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah daerah dan/atau atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil; c. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral; d. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral, serta informasi pertambangan pada wilayah daerah; e. penyusunan neraca sumber daya mineral pada wilayah daerah; f. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan; g. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal; h. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri dan Gubernur; i. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan Gubernur; j. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan k. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

-8-

BAB IV WILAYAH PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Wilayah Usaha Pertambangan Pasal 5 (1) WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada 1 (satu) wilayah daerah. (2) Penetapan luas dan batas WIUP mineral bukan logam dan batuan oleh pemerintah daerah. (3) Kriteria untuk menetapkan luas dan batas WIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagai berikut : a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lindungan lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral; e. tingkat kepadatan penduduk; dan f. kesesuaian tata ruang wilayah. Bagian Kedua Wilayah Pertambangan Rakyat Pasal 6 (1) Kegiatan pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR. (2) WPR ditetapkan oleh Bupati setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan berkonsultasi dengan DPRD. (3) Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Bupati mengumumkan rencana WPR secara terbuka. Pasal 7 (1) Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut : a. mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; b. mempunyai cadangan mineral yang terdapat di dataran tinggi ataupun di dataran rendah; c. mempunyai cadangan mineral dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; d. endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai; e. luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua puluh lima) hektar; f. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; g. merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurangkurangnya 15 (lima belas) tahun; dan h. merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

-9-

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur dan penetapan WPR diatur dalam Peraturan Bupati. BAB V JENIS MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN Pasal 8 (1) Jenis mineral bukan logam dan batuan yang dimaksud dalam Peraturan Daerah ini adalah bahan tambang yang telah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. (2) Jenis mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a mineral bukan logam meliputi : pasir kuarsa, phospat, ball clay, zeolit, kaolin, gipsum, dolomit, kalsit, clay, dan batu gamping untuk semen; dan b. batuan meliputi : trass, napal, oker, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir alami (sirtu), tanah merah (laterit), batu gamping, bahan timbunan pilihan (tanah), urugan tanah setempat, pasir laut, dan pasir yang tidak ada unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. (3) Mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. BAB VI KETENTUAN PERIZINAN Pasal 9 (1) Setiap usaha pertambangan di Daerah wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan dari Bupati. (2) Setiap Izin hanya berlaku untuk 1 (satu) jenis mineral yang terdapat dalam 1(satu) lokasi WIUP. (3) Apabila ditemukan mineral lain yang tidak tercantum dalam Izin dan pemegang IUP berminat untuk mengusahakan mineral tersebut yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bupati. (4) Izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan : a. eksplorasi; dan b. operasi produksi. Pasal 10 Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat diberikan kepada : a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Badan Hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;

- 10 -

d. Koperasi; dan e. Perorangan. BAB VII IZIN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 11 Izin usaha pertambangan diberikan dalam bentuk : a. IUP; b. IPR. Bagian Kesatu Izin Usaha Pertambangan Pasal 12 (1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a diberikan dalam dua tahap : a. IUP Eksplorasi; dan b. IUP Operasi Produksi. (2) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. (3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Paragraf 1 IUP Eksplorasi Pasal 13 (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral yang tergali wajib melaporkan kepada Bupati. (2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Pasal 14 Izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) diberikan oleh Bupati. Pasal 15 (1) Pemegang IUP eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektar. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda.

- 11 -

(3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Pasal 16 (1) Pemegang IUP eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar dan paling banyak 1.000 (seribu) hektar. (2) Pada wilayah yang telah diberikan IUP eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. (3) Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. Paragraf 2 IUP Operasi Produksi Pasal 17 (1) Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi. (2) IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. Pasal 18 IUP operasi produksi dapat diberikan kepada perseorangan dengan luas wilayah paling banyak 10 (sepuluh) hektar dalam 1 (satu) IUP. Pasal 19 (1) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya : a. nama perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. rencana umum tata ruang; d. jaminan kesungguhan; e. modal investasi; f. perpanjangan waktu tahap kegiatan; g. hak dan kewajiban pemegang IUP; h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; i. jenis usaha yang diberikan; j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; k. perpajakan; l. penyelesaian perselisihan; m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan n. AMDAL.

- 12 -

(2) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya : a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu berlakunya IUP; h. jangka waktu tahap kegiatan; i. penyelesaian masalah pertanahan; j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang; k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang; l. perpanjangan IUP; m. hak dan kewajiban pemegang IUP; n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan; o. perpajakan; p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi; q. penyelesaian perselisihan; r. keselamatan dan kesehatan kerja; s. konservasi mineral bukan logam dan batuan; t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri; u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik; v. pengembangan tenaga kerja Indonesia; w. pengelolaan data mineral bukan logam dan batuan; dan x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan mineral bukan logam dan batuan. Pasal 20 IUP Operasi Produksi diberikan oleh Bupati apabila lokasi penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten. Pasal 21 (1) Pemegang IUP operasi produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 500 (lima ratus) hektar.

- 13 -

Pasal 22 WIUP mineral bukan logam dan batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perorangan dengan cara permohonan wilayah kepada Bupati. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP bagi pemegang IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi akan diatur dalam Peraturan Bupati. Bagian Kedua Izin Pertambangan Rakyat Pasal 24 (1) Bupati memberikan IPR kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. (2) Bupati dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR pada Camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada Bupati. Pasal 25 Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR dapat diberikan kepada : a. perseorangan paling banyak 1 (satu) hektar; b. kelompok masyarakat paling banyak 5 (lima) hektar; dan/atau c. koperasi paling banyak 10 (sepuluh) hektar. Pasal 26 Pemegang IPR berhak : a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah Daerah; dan b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Pemegang IPR wajib : a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup bersama Pemerintah Daerah; d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada Bupati.

- 14 -

Pasal 28 (1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat wajib mentaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. Pasal 29 (1) Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. (2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. pengelolaan lingkungan hidup; dan c. pascatambang. (3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pejabat inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah Daerah wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala. BAB VIII PERSYARATAN IUP DAN IPR Pasal 30 IUP Eksplorasi diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan dilengkapi : a. Persyaratan administratif sebagai berikut : 1) Untuk badan usaha dan koperasi meliputi : - surat permohonan; - profil badan usaha/koperasi; - akte pendirian badan usaha/koperasi yang bergerak dibidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; - persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan; - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); - susunan direksi dan daftar pemegang saham; - surat keterangan domisili. 2) Untuk orang perseorangan meliputi : - surat permohonan; - persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan;

- 15 -

- kartu tanda penduduk; - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); - surat keterangan domisili. b. Persyaratan teknis sebagai berikut : 1) pernyataan tenaga teknik tambang disertai daftar riwayat hidup, photo copy KTP dan ijazah terakhir tenaga teknik tambang; 2) peta WIUP yang dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional. c. Persyaratan lingkungan sebagai berikut : - pernyataan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; - persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. d. Persyaratan finansial : - bukti penempatan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegiatan eksplorasi; - bukti pembayaran pencetakan peta WIUP mineral bukan logam atau batuan atas permohonan wilayah. e. Ketentuan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada huruf d akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 31 IUP Operasi Produksi diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan dilengkapi : a. Persyaratan administratif sebagai berikut : 1) Untuk badan usaha dan koperasi meliputi: - surat permohonan; - profil badan usaha/koperasi; - akte pendirian badan usaha yang bergerak dibidang usaha pertambangan yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; - pernyataan pemilik atau penguasaan atas tanah areal yang bersangkutan; - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); - susunan direksi dan daftar pemegang saham; - surat keterangan domisili. 2) Untuk orang perseorangan meliputi: - surat permohonan; - kartu tanda penduduk; - pernyataan pemilik atau penguasaan atas tanah areal yang bersangkutan; - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); - surat keterangan domisili.

- 16 -

b. Persyaratan teknis sebagai berikut : - peta wilayah dilengkapi dengan batas koordinat geografis lintang dan bujur sesuai dengan ketentuan sistem informasi geografi yang berlaku secara nasional; - laporan lengkap eksplorasi; - laporan studi kelayakan; - rencana reklamasi dan pasca tambang; - rencana kerja dan anggaran biaya; - rencana pembangunan sarana dan prasarana penunjang kegiatan operasi produksi; - tersedianya tenaga teknik tambang. c. Persyaratan lingkungan sebagai berikut : - pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; - persetujuan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. d. Persyaratan finansial sebagai berikut : - laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; - bukti pembayaran iuran tetap 3 (tiga) tahun terakhir. Pasal 32 IPR diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan dilengkapi : a. Persyaratan administratif sebagai berikut : 1) Untuk orang perseorangan meliputi : - surat permohonan; - kartu tanda penduduk; - komoditas tambang yang dimohon; - surat keterangan domisili dari kelurahan/desa setempat. 2) Untuk kelompok masyarakat meliputi : - surat permohonan; - berita acara musyawarah pembentukan kelompok dengan mengetahui Kepala Desa dan Camat disertai susunan kepengurusan; - komoditas tambang yang dimohon; - surat keterangan domisili dari kelurahan/desa setempat. 3) Untuk koperasi meliputi : - surat permohonan; - Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); - akte pendirian koperasi yang telah disahkan oleh pejabat yang berwenang; - komoditas tambang yang dimohon;

- 17 -

- surat keterangan domisili dari kelurahan/desa setempat. b. Persyaratan teknis membuat surat pernyataan minimal memuat : - sumuran paling dalam 25 (dua puluh lima) meter; - menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga maksimal 25 (dua puluh lima) horse power; - tidak menggunakan alat berat dan bahan peledak. c. Persyaratan finansial sebagai berikut : Laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir dan hanya dipersyaratkan bagi koperasi setempat. BAB IX JANGKA WAKTU Pasal 33 (1) IUP Eksplorasi dapat diberikan untuk : a. pertambangan mineral bukan logam paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun; b. pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun; dan c. pertambangan mineral batuan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. (2) IUP Operasi Produksi diberikan untuk : a. pertambangan mineral bukan logam paling lama dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun; b. pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu paling lama dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun; c. pertambangan batuan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun; dan d. IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Jangka waktu untuk IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan deposit dan daya dukung lingkungan. Pasal 34 IUP dinyatakan tidak berlaku apabila : a. masa berlakunya telah berakhir dan tidak diperpanjang oleh pemegang izin; b. dikembalikan oleh pemegang izin; c. dipindahtangankan kepada pihak lain; d. melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan; e. pemegang IUP tidak memenuhi kewajiban dan ketentuan yang tercantum dalam IUP; f. pemegang IUP tidak melaksanakan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah diterbitkan IUP atau selama-lamanya 2 (dua) tahun menghentikan usaha pertambangan mineral bukan logam dan batuan tanpa memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

- 18 -

g. digunakan untuk kepentingan umum; dan h. pemegang IUP meninggal dunia. BAB X PERPANJANGAN IZIN Pasal 35 (1) Perpanjangan IUP operasi produksi diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan dilampiri : a. surat permohonan perpanjangan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Pertambangan dan Energi dan Camat setempat; b. fotokopi KTP pemohon yang masih berlaku; c. IUP asli yang dimohonkan perpanjangan; d. peta kemajuan tambang : - skala 1 : 1.000 untuk luas kurang dari 50 (lima puluh) hektar; - skala 1 : 10.000 untuk luas lebih dari 50 (lima puluh) hektar; e. laporan produksi 3 (tiga) bulan terakhir; f. tanda bukti pelunasan pembayaran pajak mineral 3 (tiga) bulan terakhir; dan g. laporan kegiatan tambang. (2) Perpanjangan IPR diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan dilampiri : a. surat permohonan perpanjangan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Pertambangan dan Energi dan Camat setempat; b. fotokopi KTP pemohon yang masih berlaku (perorangan); c. susunan Kepengurusan yang terbaru mengetahui Kepala Desa dan Camat (Kelompok dan Koperasi); d. IPR asli yang dimohonkan perpanjangan; e. laporan produksi 3 (tiga) bulan terakhir; f. tanda bukti pelunasan pembayaran pajak mineral 3 (tiga) bulan terakhir; dan g. laporan kegiatan tambang. Pasal 36 Permohonan perpanjangan IUP dan IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diajukan kepada Bupati selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya IUP dan IPR. Pasal 37 Bagi pemegang IUP dan IPR perorangan yang meninggal dunia maka ahli waris dapat melanjutkan izin usaha pertambangan tersebut setelah mendapat persetujuan dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk dengan melampirkan keterangan ahli waris.

- 19 -

BAB XI PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 38 (1) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan apabila terjadi : a. keadaan kahar; b. keadaan yang menghalangi sehingga menyebabkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; dan c. apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral yang dilakukan di wilayahnya. (2) Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP dan IPR. (3) Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Bupati. (4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Bupati. (5) Bupati sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. Pasal 39 (1) Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. (2) Apabila belum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IPR sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (3) Keputusan penghentian sementara dicabut setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 40 (1) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar kewajiban pemegang IUP dan IPR terhadap Pemerintah Daerah tidak berlaku. (2) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan, kewajiban pemegang IUP dan IPR terhadap Pemerintah Daerah tetap berlaku. (3) Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah, kewajiban pemegang IUP dan IPR terhadap Pemerintah Daerah tetap berlaku.

- 20 -

BAB XII BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 41 IUP dan IPR berakhir karena : a. Dikembalikan; b. Dicabut; atau c. Habis masa berlakunya. Pasal 42 (1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau IPR-nya dengan pernyataan tertulis kepada Bupati disertai dengan alasan yang jelas. (2) Pengembalian IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah memenuhi kewajibannya dan disetujui oleh Bupati. Pasal 43 IUP dan IPR dapat dicabut oleh Bupati apabila : a. Pemegang IUP dan IPR tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP dan IPR serta peraturan perundang- undangan; b. Pemegang IUP dan IPR melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah; dan c. Pemegang IUP dan IPR dinyatakan pailit. Pasal 44 Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP dan IPR telah habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi tidak memenuhi persyaratan IUP dan IPR tersebut berakhir. Pasal 45 (1) Pemegang IUP dan IPR yang IUP-nya atau IPR-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kewajiban pemegang IUP dan IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Bupati. Pasal 46 (1) IUP dan IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya dikembalikan kepada Bupati. (2) WIUP atau WPR yang IUP-nya atau IPR-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

- 21 -

Pasal 47 Apabila IUP dan IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Bupati. BAB XIII USAHA JASA PERTAMBANGAN Pasal 48 (1) Pemegang IUP wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/ atau nasional. (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemegang IUP dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. (3) Jenis usaha jasa pertambangan meliputi: a. konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1) penyelidikan umum; 2) eksplorasi; 3) studi kelayakan; 4) konstruksi pertambangan; 5) pengangkutan; 6) lingkungan pertambangan; 7) pascatambang dan reklamasi; dan/atau 8) keselamatan dan kesehatan kerja. b. konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang : 1) penambangan; atau 2) pengolahan dan pemurnian. Pasal 49 (1) Dalam hal pemegang IUP menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP. (2) Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal. Pasal 50 Pemegang IUP dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan. Pasal 51 (1) Pelaku usaha jasa pertambangan dapat melakukan kegiatannya setelah mendapatkan IUJP.

- 22 -

(2) IUJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada : a. perusahaan jasa pertambangan lokal; dan b. perusahaan jasa pertambangan lain. (3) Perusahaan jasa pertambangan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, meliputi : a. badan usaha milik daerah; b. badan usaha swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); c. koperasi; d. perusahaan komanditer (CV); e. perusahaan firma; dan f. orang perseorangan. Yang beroperasi terbatas di wilayah Daerah. (4) Ketentuan lebih lanjut atas usaha jasa pertambangan diatur dalam Peraturan Bupati. BAB XIV PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Pasal 52 (1) Hak atas WIUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. (2) Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari Dinas Teknis yang menerbitkan izin. (4) Pemegang IUP Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Pasal 53 (1) Pemegang IUP sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP. Pasal 54 Pemegang IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53 yang telah melaksanakan penyelesaian terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 23 -

Pasal 55 Hak atas IUP dan IPR bukan merupakan pemilikan hak atas tanah. BAB XV PEMBINAAN, PENGAWASAN, DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT Bagian Kesatu Pembinaan dan Pengawasan Pasal 56 (1) Bupati melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP atau IPR. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan; b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi; c. pendidikan dan pelatihan; serta d. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan. Pasal 57 (1) Bupati melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemegang IUP dan IPR sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teknis pertambangan; b. pemasaran; c. keuangan; d. pengolahan data mineral dan batuan; e. konservasi sumber daya mineral dan batuan; f. keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; g. keselamatan operasi pertambangan; h. pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi, dan pascatambang; i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; j . pengembangan tenaga kerja teknis pertambangan; k. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; l. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan; m. kegiatan-kegiatan lain di bidang kegiatan usaha pertambangan yang menyangkut kepentingan umum; n. pengelolaan IUP dan IPR; dan

- 24 -

o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha pertambangan. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, e, f, g, h, dan l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Perlindungan Masyarakat Pasal 58 Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak : a. memperoleh ganti rugi yang layak; dan b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. BAB XVI PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR WIUP Pasal 59 (1) Pemegang IUP wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar WIUP. (2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan usulan program kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kepada Bupati untuk diteruskan kepada pemegang IUP. (4) Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk masyarakat di sekitar WIUP yang terkena dampak langsung akibat aktivitas pertambangan. (5) Prioritas masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan masyarakat yang berada dekat kegiatan operasional penambangan dengan tidak melihat batas administrasi wilayah kecamatan/kabupaten. (6) Program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pada anggaran dan biaya pemegang IUP setiap tahun. (7) Alokasi biaya program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikelola oleh pemegang IUP. Pasal 60 Pemegang IUP setiap tahun wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari rencana kerja dan anggaran biaya tahunan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya untuk mendapat persetujuan.

- 25 -

Pasal 61 Setiap pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 62 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan Peraturan Bupati. BAB XVII PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Pasal 63 Pemerintah Daerah mendorong, melaksanakan, dan/atau memfasilitasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan mineral. BAB XVIII DIVESTASI SAHAM PEMEGANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN YANG SAHAMNYA DIMILIKI OLEH ASING Pasal 64 (1) Modal asing pemegang IUP setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan Divestasi Sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. (2) Divestasi Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada Peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. (3) Dalam hal Pemerintah tidak bersedia membeli saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditawarkan kepada Pemerintah Daerah. (4) Apabila Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dilaksanakan dengan cara lelang. (5) Apabila BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dilaksanakan dengan cara lelang. (6) Penawaran saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak 5 (lima) tahun dikeluarkannya izin Operasi Produksi tahap penambangan. (7) Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran.

- 26 -

(8) Dalam hal Pemerintah dan Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD tidak berminat untuk membeli Divestasi Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (7), saham ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender. (9) Badan usaha swasta nasional harus menyatakan minatnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal penawaran. (10) Pembayaran dan penyerahan saham yang dibeli oleh peserta Indonesia dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal pernyataan minat atau penetapan pemenang lelang. (11) Apabila Divestasi Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penawaran saham akan dilakukan pada tahun berikutnya berdasarkan mekanisme ketentuan pada ayat (2) sampai dengan ayat (9). Pasal 65 Dalam hal terjadi peningkatan jumlah modal perseroan, peserta Indonesia sahamnya tidak boleh terdilusi menjadi lebih kecil dari 20% (dua puluh persen). BAB XIX HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu HAK Pasal 66 (1) Pemegang IUP dan IPR dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Pemegang IUP dan IPR dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan. (2) Pemegang IUP dan IPR berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya setelah memenuhi kewajibannya. Pasal 67 (1) Pemegang IUP dan IPR tidak boleh memindahtangankan IUP dan IPR -nya kepada pihak lain. (2) Untuk pengalihan kepemilikan dan atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. (3) Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. harus memberitahukan kepada Bupati; dan b. sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 27 -

Bagian Kedua Kewajiban Pasal 68 Pemegang IUP dan IPR wajib: a. menerapkan kaidah teknik pertambangan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; d. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan. Pasal 69 Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a, pemegang IUP dan IPR wajib melaksanakan : a. ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan; b. keselamatan operasi pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral; dan e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan. Pasal 70 Pemegang IUP dan IPR wajib menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan kondisi daerah. Pasal 71 Pemegang IUP dan IPR wajib menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 (1) Setiap pemegang IUP dan IPR wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IPR. (2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. (3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IPR dan pemegang hak atas tanah.

- 28 -

Pasal 73 (1) Pemegang IUP wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. (2) Bupati menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang. (4) Ketentuan mengenai reklamasi dan pascatambang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. BAB XX PRINSIP REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Pasal 74 (1) Pemegang IUP Eksplorasi wajib melaksanakan reklamasi. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang. (3) Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan eksplorasi. (4) Reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem dan metode: a. penambangan terbuka; dan b. penambangan bawah tanah. Pasal 75 (1) Pelaksanaan reklamasi oleh pemegang IUP Eksplorasi wajib memenuhi prinsip: a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan; dan b. keselamatan dan kesehatan kerja. (2) Pelaksanaan reklamasi dan pascatambang oleh pemegang IUP Operasi Produksi wajib memenuhi prinsip: a. perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan; b. keselamatan dan kesehatan kerja; dan c. konservasi mineral. Pasal 76 (1) Prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, paling sedikit meliputi: a. perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati; c. penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya; d. pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;

- 29 -

e. memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan f. perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Prinsip keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, meliputi: a. perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja/buruh; dan b. perlindungan setiap pekerja/buruh dari penyakit akibat kerja. (3) Prinsip konservasi mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf c, meliputi: a. penambangan yang optimum; b. penggunaan metode dan teknologi pengolahan dan pemurnian yang efektif dan efisien; c. pengelolaan dan/atau pemanfaatan cadangan marjinal, mineral kadar rendah, dan mineral ikutan kualitas rendah; dan d. pendataan sumber daya serta cadangan mineral yang tidak tertambang serta sisa pengolahan dan pemurnian. BAB XXI TATA LAKSANA REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu Umum Pasal 77 (1) Pemegang IUP Eksplorasi sebelum melakukan kegiatan eksplorasi wajib menyusun rencana reklamasi berdasarkan dokumen lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi. Pasal 78 (1) Pemegang IUP Eksplorasi yang telah menyelesaikan kegiatan studi kelayakan harus mengajukan permohonan persetujuan rencana reklamasi dan rencana pascatambang kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan IUP Operasi Produksi. (3) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (4) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus sesuai dengan: a. prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75; b. sistem dan metode penambangan berdasarkan studi kelayakan; c. kondisi spesifik wilayah izin usaha pertambangan; dan d. ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 30 -

Bagian Kedua Rencana Reklamasi Pasal 79 (1) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (2) Dalam rencana reklarnasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat rencana reklamasi untuk masing-masing tahun. (3) Dalam hal umur tambang kurang dari 5 (lima) tahun, rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan umur tambang. (4) Rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) paling sedikit memuat: a. tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang; b. rencana pembukaan lahan; c. program reklamasi terhadap lahan terganggu yang meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang bersifat sementara dan/atau permanen; d. kriteria keberhasilan meliputi standar keberhasilan penataan lahan, revegetasi, pekerjaan sipil, dan penyelesaian akhir; dan e. rencana biaya reklamasi terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. (5) Lahan di luar bekas tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi: a. tempat penimbunan tanah penutup; b. tempat penimbunan sementara dan tempat penimbunan bahan tambang; c. jalan; d. pabrik/instalasi pengolahan dan pemurnian; e. bangunan/ instalasi sarana penunjang; f. kantor dan perumahan; g. pelabuhan khusus; dan/atau h. lahan penimbunan dan/atau pengendapan tailing. Pasal 80 Dalam hal reklamasi berada di dalam kawasan hutan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil, perencanaan reklamasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Rencana Pascatambang Pasal 81 Rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 memuat: a. profil wilayah, meliputi lokasi dan aksesibilitas wilayah, kepemilikan dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, dan kegiatan usaha lain di sekitar tambang; b. deskripsi kegiatan pertambangan, meliputi keadaan cadangan awal, sistem dan metode penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang;

- 31 -

c. rona lingkungan akhir lahan pascatambang, meliputi keadaan cadangan tersisa, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air tanah, serta biologi akuatik dan teresterial; d. program pascatambang, meliputi: 1. reklamasi pada lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang; 2. pemeliharaan hasil reklamasi; 3. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan 4. pemantauan; e. organisasi termasuk jadwal pelaksanaan pascatambang; f. kriteria keberhasilan pascatambang; dan g. rencana biaya pascatambang meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Pasal 82 Pemegang IUP Eksplorasi dalam menyusun rencana pascatambang harus berkonsultasi dengan instansi Pemerintah Daerah yang membidangi pertambangan mineral, instansi terkait lainnya, dan masyarakat. BAB XXII PERSETUJUAN RENCANA REKLAMASI DAN RENCANA PASCATAMBANG Bagian Kesatu Persetujuan Rencana Reklamasi Pasal 83 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan. (2) Dalam hal rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80, Bupati sesuai dengan kewenangannya mengembalikan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi Produksi. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 84 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana reklamasi yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 apabila terjadi perubahan atas: a. sistem dan metode penambangan yang telah disetujui; b. kapasitas produksi; c. umur tambang; d. tata guna lahan; dan/atau

- 32 -

e. dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dalam jangka waktu paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan reklamasi tahun berikutnya kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (3) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas perubahan rencana reklamasi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak menerima pengajuan perubahan rencana reklamasi. (4) Dalam hal perubahan rencana reklamasi belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80, Bupati sesuai dengan kewenangannya mengembalikan pengajuan perubahan rencana reklamasi kepada pemegang IUP Operasi Produksi. (5) Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali perubahan rencana reklamasi yang telah disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Bagian Kedua Persetujuan Rencana Pascatambang Pasal 85 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas rencana pascatambang yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 81, dan Pasal 82 dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender sejak IUP Operasi Produksi diterbitkan. (2) Dalam hal rencana pascatambang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 81, dan Pasal 82, Bupati sesuai dengan kewenangannya mengembalikan rencana pascatambang kepada pemegang IUP Operasi Produksi. (3) Pemegang IUP Operasi Produksi harus menyampaikan kembali rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disempurnakan dalarn jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 86 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melakukan perubahan rencana pascatambang apabila terjadi perubahan rencana reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84. (2) Perubahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (3) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas perubahan rencana pascatambang yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, Pasal 81, dan Pasal 82 dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak menerima pengajuan perubahan rencana pascatambang. (4) Perubahan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sebelum akhir kegiatan penambangan.

- 33 -

BAB XXIII PELAKSANAAN DAN PELAPORAN Bagian Kesatu Reklamasi Tahap Eksplorasi Pasal 87 (1) Pelaksanaan reklamasi pada lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi dilakukan pada lahan yang tidak digunakan pada tahap operasi produksi. (2) Lahan terganggu akibat kegiatan eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lubang pengeboran, sumur uji, parit uji, dan/ atau sarana penunjang. (3) Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai memenuhi kriteria keberhasilan. Bagian Kedua Reklamasi dan Pascatambang Tahap Operasi Produksi Pasal 88 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sampai memenuhi kriteria keberhasilan. (2) Dalam melaksanakan reklamasi dan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP Operasi Produksi harus menunjuk pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang. Pasal 89 Pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88 wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu. Bagian Ketiga Pelaporan dan Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pasal 90 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan reklamasi setiap 1 (satu) tahun kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. Pasal 91 Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan reklamasi secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi.

- 34 -

Pasal 92 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan pascatambang setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. (2) Dalam hal seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi wajib melaksanakan pascatambang. (3) Pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. Pasal 93 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pascatambang setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi terhadap laporan pelaksanaan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalarn jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterimanya laporan. Pasal 94 Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) Bupati sesuai dengan kewenangannya memberitahukan tingkat keberhasilan pascatambang secara tertulis kepada pemegang IUP Operasi Produksi. BAB XXIV JAMINAN REKLAMASI DAN PASCATAMBANG Bagian Kesatu Umum Pasal 95 (1) Pemegang IUP wajib menyediakan: a. jaminan reklamasi; dan b. jaminan pascatambang. (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. jaminan reklamasi tahap eksplorasi; dan b. jaminan reklamasi tahap operasi produksi. Bagian Kedua Jaminan Reklamasi Pasal 96 (1) Jaminan reklamasi tahap eksplorasi sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 95 ayat (2) huruf a ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi yang disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup dan dimuat dalam rencana kerja dan anggaran biaya eksplorasi.

- 35 -

(2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka. (3) Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana kerja dan anggaran biaya tahap eksplorasi disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. (4) Jaminan reklamasi akan dievaluasi secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali. Pasal 97 (1) Jaminan reklamasi tahap operasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi. (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. rekening bersama pada bank pemerintah; b. deposito berjangka pada bank pemerintah; c. bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional; atau d. cadangan akuntansi. (3) Penempatan jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana reklamasi disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 98 Penempatan Jaminan Reklamasi tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP untuk melaksanakan reklamasi. Pasal 99 Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan pelaksanaan reklamasi menunjukkan pelaksanaan reklamasi tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan reklamasi sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan reklamasi. Pasal 100 (1) Dalam hal jaminan reklamasi tidak menutupi untuk menyelesaikan reklamasi, kekurangan biaya untuk penyelesaian reklamasi menjadi tanggung jawab pemegang IUP. (2) Dalam hal terdapat kelebihan jaminan dari biaya yang diperlukan untuk penyelesaian reklamasi, kelebihan biaya dapat dicairkan oleh pemegang IUP setelah mendapat persetujuan dari Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 101 Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan pencairan atau pelepasan jaminan reklamasi kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya berdasarkan tingkat keberhasilan reklamasi.

- 36 -

Bagian Ketiga Jaminan Pascatambang Pasal 102 (1) Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) huruf b ditetapkan sesuai dengan rencana pascatambang. (2) Jaminan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan setiap tahun dalam bentuk deposito berjangka pada bank pemerintah. (3) Penempatan jarninan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak rencana pascatambang disetujui oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Pasal 103 Penempatan jaminan pascatambang tidak menghilangkan kewajiban pemegang IUP Operasi Produksi untuk melaksanakan pascatambang. Pasal 104 Apabila berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan pascatambang menunjukkan pascatambang tidak memenuhi kriteria keberhasilan, Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melaksanakan kegiatan pascatambang sebagian atau seluruhnya dengan menggunakan jaminan pascatambang. Pasal 105 Dalam hal jaminan pascatambang tidak menutupi untuk menyelesaikan pascatambang, kekurangan biaya untuk penyelesaian pascatambang menjadi tanggung jawab pemegang IUP Operasi Produksi. Pasal 106 Dalam hal kegiatan usaha pertambangan berakhir sebelum jangka waktu yang telah ditentukan dalam rencana pascatambang, pemegang IUP Operasi Produksi wajib menyediakan jaminan pascatambang sesuai dengan yang telah ditetapkan. Pasal 107 Pemegang IUP Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan pencairan jaminan pascatambang kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya dengan melampirkan program dan rencana biaya pascatambang. BAB XXV REKLAMASI DAN PASCATAMBANG BAGI PEMEGANG IPR Pasal 108 (1) Pemerintah kabupaten sebelum menerbitkan IPR pada wilayah pertambangan rakyat, wajib menyusun rencana reklamasi dan rencana pascatambang untuk setiap wilayah pertambangan rakyat.

- 37 -

(2) Rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 109 (1) Bupati menetapkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 untuk pemegang IPR. (2) Pemegang IPR bersama dengan Bupati wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana reklamasi dan rencana pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XXVI PENYERAHAN LAHAN REKLAMASI DAN LAHAN PASCATAMBANG Pasal 110 (1) Pemegang IUP wajib menyerahkan lahan yang telah direklamasi kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui Bupati sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP dapat mengajukan permohonan penundaan penyerahan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik sebagian atau seluruhnya kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya apabila lahan yang telah direklamasi masih diperlukan untuk pertambangan. Pasal 111 Pemegang IUP Operasi Produksi yang telah selesai melaksanakan pascatambang wajib menyerahkan lahan pascatambang kepada pihak yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui Bupati sesuai dengan kewenangannya. BAB XXVII PENYIDIKAN Pasal 112 (1) Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pertambangan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tuban (3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah : a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pertambangan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pertambangan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pertambangan;

- 38 -

d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pertambangan; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pertambangan; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Pertambangan; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; dan/atau k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menangkap pelaku tindak pidana pada kegiatan usaha pertambangan. (4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana. BAB XXVIII SANKSI ADMINISTRASTIF Pasal 113 (1) Bupati sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP dan IPR atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) , Pasal 13, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (2) dan (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 50, Pasal 67 ayat (3), Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 75 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 77 ayat (1), Pasal 84 ayat (1), Pasal 86 ayat (1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 89, Pasal 90 ayat (1), Pasal 92 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 93 ayat (1), Pasal 95 ayat (1), Pasal 106, Pasal 109 ayat (2), Pasal 110 ayat (1), atau Pasal 111. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau c. pencabutan IUP dan IPR.

- 39 -

Pemegang IUP atau IPR yang dikenai sanksi administratif berupa pencabutan IUP atau IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, tidak menghilangkan kewajibannya untuk melakukan reklarnasi dan pascatambang. BAB XXIX KETENTUAN PIDANA Pasal 114 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP dan IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (3), Pasal 50, Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (1) dipidana dengan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 115 (1) Pemegang IUP yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Setiap orang, badan usaha dan koperasi yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (3) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 116 (1) Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral yang bukan dari pemegang IUP dan IPR atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (3), Pasal 13 ayat (2), dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 117 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

- 40 -

Pasal 118 Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 , Pasal 115 dan Pasal 116 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Pasal 119 Pejabat yang mengeluarkan IUP, IPR, yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan me nyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. BAB XXX KETENTUAN PENUTUP Pasal 120 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Tuban Nomor 23 Tahun 2001 tentang Ijin Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C (Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2001 seri B No.10) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 121 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tuban.

Ditetapkan di Tuban pada tanggal 30 Desember 2011 BUPATI TUBAN, ttd FATHUL HUDA

- 41 -

Diundangkan di Tuban pada tanggal 30 Januari 2012 SEKRETARIS DAERAH, ttd HERI SISWORO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TUBAN TAHUN 2012 SERI E NOMOR 07
UNTUK SALINAN YANG SAH An. SEKRETARIS DAERAH KEPALA BAGIAN HUKUM Setda Kabupaten Tuban ttd. ARIF HANDOYO, SH Pembina NIP. 19661102 199603 1 003

- 42 -

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN I. PENJELASAN UMUM Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar- besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tuban nomor 23 Tahun 2001 Ijin Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C (Lembaran Daerah Kabupaten Tuban Tahun 2001 Seri B nomor 10) perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dimaksud. Undang-Undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai beriikut: 1. Mineral sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah Daerah memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral berdasarkan izin. 3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat. 5. Usaha pertambangan harus dapat mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

2--43

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan WPR didasarkan pada perencanaan dengan rnelakukan sinkronisasi data dan informasi melalui sistem informasi WP. Ayat (3) Yang dimaksud Mengumumkan rencana WPR secara terbuka adalah mengumumkan rencana WPR yang dilaksanakan melalui kantor desa/kelurahan dan kecamatan setempat serta kantor/instansi terkait, dan dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, batas dan daftar koordinat serta daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalarn WPR. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan tepi dan tepi sungai adalah daerah akumulasi pengayaan mineral sekunder (pay streak) dalam suatu meander sungai. Huruf b Yang dimaksud dengan dataran rendah adalah daerah yang mempunyai ketinggian 0 50 meter di atas muka laut dan yang dimaksud dataran tinggi adalah daerah yang mempunyai ketinggian di atas 50 meter di atas muka laut.

3--44

Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud Mineral bukan logam dan batuan lainnya sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan adalah jenis mineral bukan logam dan batuan yang tidak diatur pada ayat (2) berdasarkan hasil penelitian di lapangan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas.

4 -- -45

Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektar adalah pemberian WIUP bagi pemegang IUP eksplorasi mineral bukan logam diberikan dengan luasan mulai dari 500 (lima ratus) hektar sampai dengan 15.000 (lima belas ribu) hektar, sedangkan untuk luasan kurang atau di bawah 500 (lima ratus) hektar diberikan Arahan Wilayah Kegiatan Eksplorasi atau bentuk lainnya setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektar dan paling banyak 1.000 (seribu) hektar adalah pemberian WIUP bagi pemegang IUP eksplorasi batuan diberikan dengan luasan mulai dari 5 (lima) hektar sampai dengan 1.000 (seribu) hektar, sedangkan untuk luasan kurang atau di bawah 5 (lima) hektar diberikan Arahan Wilayah Kegiatan Eksplorasi atau bentuk lainnya setelah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku. Ayat (2) Apabila dalam WIUP terdapat mineral lain yang berbeda keterdapatannya secara vertikal maupun horizontal, pihak lain dapat mengusahakan mineral tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan data hasil kajian studi kelayakan merupakan sinkronisasi data milik pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

5 -- -46

Huruf d Jaminan kesungguhan dalam ketentuan ini termasuk biaya pengelolaan lingkungan akibat kegiatan eksplorasi. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.

6 -- -47

Ayat (3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disertai dengan meterai cukup dan dilampiri rekomendasi dari kepala desa/ lurah mengenai kebenaran riwayat pemohon untuk memperoleh prioritas dalam mendapatkan IPR. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dokumen lingkungan hidup antara lain Amdal, UKL-UPL, dan SPPL. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud sumuran adalah lubang bukaan vertikal yang digunakan untuk keluar masuknya aktifitas kegiatan pertambangan. Huruf c Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan (satu) tahun.

7 -- -48

Huruf b Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah batu gamping untuk industri semen. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun; eksplorasi 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun; serta studi kelayakan 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali 1 (satu) tahun. Huruf c Jangka waktu 3 (tiga) tahun meliputi penyelidikan umum 1 (satu) tahun, eksplorasi 1 (satu) tahun, dan studi kelayakan 1 (satu) tahun. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan mineral bukan logam jenis tertentu adalah batu gamping untuk industri semen. Dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam ketentuan ini termasuk jangka waktu untuk konstruksi selama 2 (dua) tahun. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 34 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Huruf h Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas.

8 -- -49

Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud keadaan kahar (force majeure) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia. Huruf b Yang dimaksud keadaan yang menghalangi dalam ayat ini, antara lain, blokade, pemogokan, dan perselisihan perburuhan di luar kesalahan pemegang IUP dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah yang menghambat kegiatan usaha pertambangan yang sedang berjalan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Permohonan menjelaskan kondisi keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sehingga mengakibatkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan. Ayat (4) Permohonan masyarakat memuat penjelasan keadaan kondisi daya dukung lingkungan wilayah yang dikaitkan dengan aktivitas kegiatan penambangan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas.

9 -- -50

Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas.

- 51 10- -

Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Yang dimaksud dengan modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud eksplorasi tahapan tertentu dalam ketentuan ini yaitu telah ditemukan 2 (dua) wilayah prospek dalam kegiatan eksplorasi. Ayat (3) Cukup jelas.

- 11 - 52--

Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ketentuan ini dimaksudkan mengingat usaha pertambangan pada sumber air dapat mengakibatkan perubahan morfologi sumber air, baik pada kawasan hulu maupun hilir. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.

- 53 12- -

Ayat (4) Huruf a Tata guna lahan sebelum dan sesudah ditambang disesuaikan dengan status lahan dan tata ruang saat dokumen lingkungan hidup disusun. Tata guna lahan sesudah ditambang disesuaikan dengan peruntukan lahan pascatambang sesuai dengan kesepakatan dengan pemilik lahan dan tata ruang. Huruf b Pembukaan lahan dalam ketentuan ini antara lain kegiatan pembersihan lahan (land clearing) dan penggalian untuk keperluan tambang, timbunan, jalan, kolam sedimen, dan sarana penunjang. Huruf c Program reklamasi terhadap lahan terganggu mencakup program pemulihan untuk kurun waktu 5 (lima) tahun yang dirinci setiap tahun meliputi : lokasi lahan yang akan direklamasi, teknik dan peralatan yang akan digunakan dalam reklamasi, sumber material pengisi untuk back filling, revegetasi, pekerjaan sipil sesuai peruntukan lahan bekas tambang, pemeliharaan, pemantauan dan rincian biaya reklamasi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, pekerjaan sipil sesuai peruntukkan lahan pascatambang. Biaya tidak langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan reklamasi, administrasi, dan supervisi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.

- 13 - 54 -

Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Biaya langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya pascatambang pada tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, fasilitas penunjang, pemeliharaan dan peralatan, sosial dan ekonomi, serta pemantauan. Biaya tidak langsung dalam ketentuan ini meliputi biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan pascatambang, administrasi, dan supervisi. Pasal 82 Konsultasi dalam ketentuan ini adalah dalam rangka tukar pikiran untuk mendapatkan saran terhadap penyusunan program rencana pascatambang. Instansi terkait lainnya dalam ketentuan ini antara lain instansi pemerintah kabupaten yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, kehutanan, atau tata ruang. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah warga masyarakat yang terkena dampak langsung kegiatan usaha pertambangan. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Batas waktu 2 (dua) tahun dimaksudkan untuk memberikan waktu yang mencukupi bagi pemegang IUP Operasi Produksi untuk mempersiapkan pelaksanaan pascatambang, seperti lelang pelaksana kegiatan, pengaturan peralatan dan karyawan, dan lain-lainnya.

- 55 14- -

Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pejabat yang bertanggungjawab atas pelaksanaan reklamasi dan pascatambang yaitu Kepala Teknik Tambang. Pasal 89 Pelaksanaan reklamasi wajib dilaksanakan secepatnya untuk menghindari kerusakan lahan yang lebih parah untuk efisiensi penggunaan peralatan, bahan, dan sumber daya manusia. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1) Pelaksanaan pascatambang dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan pengakhiran kegiatan usaha pertambangan atau secara sekaligus dan menyeluruh setelah seluruh kegiatan usaha pertambangan berakhir. Ayat (2) Berakhirnya kegiatan usaha pertambangan sebelum jangka waktu yang ditentukan dalam rencana pascatambang, dapat terjadi karena ketidaklayakan usaha pertambangan secara permanen. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan reklamasi. Biaya pelaksanaan reklamasi dalam pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga. ketentuan ini dihitung berdasarkan

- 15 - 56 -

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 97 Ayat (1) Jaminan reklamasi dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan reklamasi. Biaya pelaksanaan reklamasi dalam pelaksanaan reklamasi oleh pihak ketiga. ketentuan ini dihitung berdasarkan

Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud rekening bersama (escrow account) dalam ketentuan ini merupakan rekening antara pemegang IUP dengan Bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan reklamasi. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Ayat (1) Jaminan Pascatambang dalam ketentuan ini harus menutupi seluruh biaya pelaksanaan pekerjaan pascatambang. Biaya pelaksanaan pascatambang dalam ketentuan ini dihitung berdasarkan pascatambang yang dilakukan oleh pihak ketiga. Ayat (2) Cukup jelas.

- 57 16- -

Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Pihak ketiga dalam ketentuan ini adalah kontraktor pelaksanaan pascatambang. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Lahan yang telah direklamasi adalah lahan yang telah memenuhi kriteria keberhasilan reklamasi berdasarkan evaluasi oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya. Ayat (2) Bupati dapat memberikan penundaan penyerahan lahan sepanjang sesuai dengan perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP dengan pemegang hak atas tanah atau izin pinjam pakai kawasan hutan. Pasal 111 Dinyatakan selesai melaksanakan pascatambang apabila telah memenuhi kriteria keberhasilan pascatambang berdasarkan evaluasi oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas.

- 58 17- -

Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai