Anda di halaman 1dari 23

UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI JURUSAN BROADCASTING PROGRAM KELAS KARYAWAN

MODUL KULIAH MK. STUDI MEDIA


Modul 11 & 12 Analisa Wacana (Discourse Analisis)
Secara ringkas dan sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Oleh karena itulah, ia dinamakan analisis wacana (Heryanto, dalam Sukandi, 1999:115). Sebuah kalimat bisa terungkap bukan hanya karena ada orang yang membentuknya denagn motivasi atau kepentingan subjektif tertentu (rasional atau irasional). Terlepas dari apa pun motivasi atau kepentingan orang ini, kalimat yang dituturkannya tidaklah dapat dimanipulasi semau-maunya oleh yang bersangkutan. Kalimat itu hanya dibentuk, hanya akan bermakna, selama ia tunduk pada sejumlah aturan gramatika yang berada di luar kemauan, atau kendali si pembuat kalimat. Aturan-aturan kebahasaan tidak dibentuk secara individual oleh penutur yang bagaimanapun pintarnya. Bahasa selalu menjadi milik bersama di ruang publik. Sebenarnya, analisis wacana tidaklah berhenti disitu saja. Uraian diatas masih terlelu memisahkan motivasi/maksud/niat seorang penutur di satu pihak, dan kalimat yang tunduk pada pagar-pagar gramatika di pihak lain. Seakan-akan ada pemisahan yang tegas antara isi dan bentuk. Menurut pemahaman teori wacana lebih jauh, motivasi/maksud/niat manusia sangat ditentukan oleh bahasa yang dikenalnya. Hal yang berada di luar bahasa orang itu tidak dapat dipikirkan olehnya, maka juga tidak dapat diperjuangkannya. Dengan kata lain, ada kesatuan yang organic antara isi dan bentuk. Hingga di sini, teori wacana ini tampaknya sangat strukturalis dan fatalis. Seakan-akan tak ada tempat bagi otonomi kesadaran manusia dan kemandirian

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

kreatif yang bebas dari pagar-pagar bahasa. Sebetulnya, pandangan teori wacana tidak sesuran itu. Ada kemungkinan bagi manusia bergulat dalam jarring-jaring bahasa. Misalnya, dalam pandangan Heryanto (2000a:344), sedikitnya ada dua sumber harapan terjadinya gejolak perlawanan dan perubahan sosial. Pertama, manusia berkenalan dengan lebih dari satu bahasa, dengan demikian berkenalan lebih dari satu tata-dunia. Ini memungkinkan terjadinya serangkain bentrok antar tata dunia. Kedua, setiap bahasa mengandung berbagai celah kebocoran dan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Tanpa pertemuan dengan bahasa lain pun, setiap bahasa tidak pernah sepenuhnya stabil dan statis. Sebenarnya, teori wacana dalam tradisi filsafat sudah sangat tua. Arsitoteles pernah membahasnya secara teliti dalam karyanya De Interpretatione (Kleden, 1997:34). Teori wacana menjadi actual lagi dalam diskusi filsafat kontemporer dengan munculnya strukturalisme yang berpendapat bahwa arti bahasa tidak bergantung dari maksud pembicara atau pendengar ataupun dari referensinya pada kenyataan tertentu; arti bergantung pada struktur bahasa itu sendiri. Yang dimaksud struktur di sini ialah jaringan hubungan intern elemen-elemen terkecil bahasa yang membentuk suatu kesatuan otonom yang tertutup (Hjelmslev, dalam Kleden, 1997). A. Pendekatan Analisis Wacana Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistic selama ini membatasi penganalisisannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis, 1993:12). Memang, penganalisisan bahasa atau teori-teori bahasa dan penganalisisan kalimat sudah berjalan lama dan tulisan-tulisan yang demikian pun sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, maka penganalisisan wacana beru saja dilakukan dan pelbagai tulisan tentang wacana ini pun masih sedikit jumlahnya. Hal ini diakui oleh beberapa pakar bahasa. Syamsudin, misalnya, menyatakan, pembahasan dan analisis wacana merupakan suatu bidang yang relative baru dan masih kurang mendapat perhatian para ahli bahasa (linguis) pada umumnya (Syamsudin, 1992:4). Pernyataan senada dikatakan Harris (dalam Syamsudin,

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

1992:4) bahwa discourse analysis is a fact disappointing. Ungkapan seperti itu didukung oleh kenyataan bahwa pada mulanya pembahasan wacana itu dilakukan oleh para ahli sosiologi, antropologi, serta filsafat, bukan oleh ahli bahasa. Coulthard (1978), seperti dikutip Syamsudin, mengemukakan : the serious study of spoken discourse is only just beginning and currently mush of the work is being undertaken not by linguis but by sociologist, anthropologist, and philosophers. Oleh karena itu dapat dimaklumi jika hingga sekarang pembahasan dan rujukan tentang wacana dan analisisnya masih jarang, lebihlebih dalam bahasa Indonesia. Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada how the ideological significance of news is part and parcel of the methods used process news (bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan untuk memproses media) (Tuchman,dalam Jensen dan Jankowski, ed., 1991:83). Lantas, apakah yang disebut analisis wacana itu? Jika kita coba rumuskan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih nyata lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar kalimat dna suprakalimat maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain (Tarigan. 1993:24). Analisis wacana lahir dari kesadaranbahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana (Littlejohn, 1996:84). Dengan upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wawancara bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, mortologi, dan fonologi. Tingkatan-tingkatan keilmubahasaan menurut kaum strukturakis terdapat pada studi bahasa yang mesti dipisah-pisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tingkatan-tingkatan itu ialah fonetik dengan satuan terkecilnya yang berupa bunyi (bahasa), fonologi dengan satuan terkecilnya yang berupa fonem, morfologi dengan satuan terkecilnya yang berwujud morferm, dan sintaksis dengan satuan kecil yang berupa kata atau frase (Samsuri, dalam Amirudin, ed., 1990:33).

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Dalam pandangan Littlejohn, meski menulis dan bahkan bentuk-bentuk nonverbal dapat dianggap wacana, kebanyakan analisis wacana berkonsentrasi pada percakapan yang muncul secara wajar. Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn, 1996:84-85). Pertama, seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pecan lainnya. Ahli analisis wacana melihat pada pembicaraan nyata dna btnuk-bentuk nonverbal seperti mendengar dan melihat, dna mereka melakukan studi makna dari bentuk-bentuk yang teramati di dalam konteks. Beberapa teori melihat bagaimana pesan tinggal terstruktur untuk membuat pernyataan koheren. Teori yang lainnya melihat pola bercakap-cakap di antara orang-orang dalam suatu percakapan. Kedua, wacana dipandang sebagai aksi; ia adalah cara melakukan segala hal, biasanya denagn kata-kata. Ahli analisis wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-tujuan pragmatic dalam situasi sosial. Bahasa digunakan denagn suatu strategis guna mencapai tujuan yang diinginkan seperti memuat suatu permohonan, mendapat giliran, bersikap sopan, atau memperoleh kerjasama. Ahli analisis wacana tertarik dalam hal bagaimana sesungguhnya cara pembicara menyusun pesan-pesan mereka untuk menyelesaikan hal-hal tersebut. Menurut Littlejohn. Discourse analysis does not treat organization as an end in itself, but aims to uncover its function, analisis wacana tidak memperlakukan penyusunan sebagai suatu tujuan itu sendiri, namun bertujuan menemukan fungsi-fungsinya. Ketiga, analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator actual dari perspektif mereka; ia tidak mempedulikan cirri/sifat psikologis tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap proplem percakapan sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan. Contohnya, kita menanggapi pesan-pesan dari orang lain denagn cara-cara yang kelihatan logis dan alami serta tidak mengacaukan arus percakapan. Littlejohn melihat, banyak tujuan-tujuan komunikasi kita diselesaikan bersama-sama dengan cara ulang-alik. Linguistik berurusan dengan aturanaturan bahasa, analisis wacana tertarik pada aturan-aturan transaksi pesan.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Dari segi analisisnya, cirri dna sifat wacana itu dapat dikemukakan sebagai berikut (Syamsuddin, 1992:6) :

a. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa di dalam


masyarakat (rule of use - menurut Widdowson); b. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth); c. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interprestasi semantic (Beller); d. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa daalam tindak berbahasa (What is said from what is done - menurut Labov); e. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language - menurut Coulthard). B. 1. Wacana Tulis, Teks, dan Konteks Wacana Tulis

Wacana tulis, dalam pandangan Ricoeur (1976:28), lebih dari sekadar fiksasi yang material sifatnya. Filsuf Prancis ini memberi contoh menarik. Melalui tulisan, tercipta kemungkinan penerusan tata aturan ke ruang dan waktu yang berbeda tanpa distorsi yang berarti. Ini menciptakan peluang bagi sebuah negara untuk melaksanakan penataan politis jarak jauh yang pada gilirannya memungkinkan lahirnya negara-negara jajahan. Dari fiksasi pelbagai aturan juga dapat tercipta hubungan-hubungan pasar yang kemudian melahirkan ekonomi. Sejarah lahir dari adanya arsip. Sementara fiksasi hukum untuk standar pengambilan keputusan yang bebas dari pendapat subjektif hakim memungkinkan lahirnya lembaga hukum dengan kode-kodenya. Dampak yang begitu luas menunjukkan bahwa wacana manusia bukan hanya terselamatkan dari kelenyapan dan keterlupaan dengan cara menuangkannya ke dalam bentuk teks tertulis, tetapi bahwa kemanusiaan itu sendiri terpengaruh dan tertransformasikan secara mendalam bahkan sampai ke tahap eksistensial. Transformasi eksistensial ini menjadi mungkin karena kebebasan yang dimiliki pembaca ketika ia membaca sebuah teks tertulis.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Persoalan tulisan sebenarnya sudah dibicarakan oleh para ilmuwan sejak dahulu kala. Sebagai ilustrasi, menarik untuk diketahui bahwa Plato tampaknya tidak meyetujui adanya tulisan, tetapi ironisnya Plato sendiri melahirkan cukup banyak tulisan. Penolakannya terhadap tulisan berangkat dari pemikiran tentang adanya hubungan antara jiwa dengan pengetahuan yang pada gilirannya akan melibatkan tulisan. Ia mengkaji mite yang menceritakan kisah raja Mesir yang menerima kedatangan Dewa Toth, yaitu dewa yang meperkenalkan pengetahuan pada manusia, misalnya bilangan, geometri, astronomi, dan ia pula yang memperkenalkan grammata, yaitu karakter tulisan. Toth menganggap bahwa pengetahuan grammata dapat menjadikan orang Mesir lebih bijaksana dan lebih mampu untuk mengingat sesuatu. Tetapi Raja Mesir menolak kalau rakyatnya diajari menulis, karena tulisan dianggap dapat memperlemah kemampuan jiwa untuk mengingat. Jadi, di dalam pendangan Plato ini tersimpan kekhawatiran logosentris. Kekhawatiran ini muncul bersama asumsi adanya sumber pengetahuan yang otentik, murni, benar, serta ada cara untuk menyampaikan kebenaran itu. Melalui tulisan, penyampaian logos dapat dilangsungkan oleh siapa pun, bahkan juga oleh mereka yang tidak mempunyai wewenang. Mengulang Plato dalam percakapan antara Raja Mesir Thamus dan Dewa Toth yang dikutip Derrida (dalam Leksono, 1999), Terima kasih kepadamu dan untuk temuanmu, muridmuridmu akan leluasa membaca tanpa keuntungan memperoleh pengajaran seorang guru. Kesan yang sama dapat kita temukan pada Socrates. Pandangan Socrates dalam hal tulisan tidak lebih menarik daripada Plato (Kleden-Probonegoro, 1998). Bagi Socrates, tulisan seperti halnya lukisan yang menggeneralisasikan makhluk hidup menjadi makhlik-makhluk yang tidak hidup, karena mereka akan tetap diam kalau kita Tanya. Demikain pula halnya dengan tulisan, yang tetap diam meskipun kita ingin mengetahui sesuatu yang tertulis itu. Aristoteles menganggap bahwa tulisan mempunyai status yang kurang penting, karena secara umum tulisan adalah jiplakan dari bahasa. Ia menganggap bicara adalah simbol jiwa dan tulisan adalah ciri simbol dari simbol dalam bicara. Baginya, katakata dalam ucapan lebih dianggap penting daripada tulisan, karena suara manusia mempunyai gubungan yang langsung dengan pikiran. Dengan demikian tulisan dianggap menjadi sesuatu yang kurang penting.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Pernyataan atau penjelasan di atas memperlihatkan adanya kecenderungan logosentris, yaitu gerakan yang berpusat pada pemikiran yang mendukung fonosentris yang menganggap pentingnya suara. Derrida (1984, dalam KledenProbonegoro, 1998) adalah orang yang boleh dianggap mempunyai andil cukup besar, yang menganggap bahwa tulisan itu penting. Baginya, tulisan bukan Cuma sekedar literal pictographic atau sekedar inskripsi yang bersifat ideografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-padang rumput itu. Apa yang terjadi sekarang adalah, tulisan telah menjadi apa yang oleh Derrida sebut sebagai cybernetic program yang mencakup konsep jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan, dan memori. Kini, tulisan telah mempunyai ciri historis metafisiknya yang berbeda dari masa fonologosentris, dan orang dapat langsung bahasa lain. 2.Teks Apa yang dimaksud teks itu? Bagi Barthes, teks adalah sebuah objek kenikmatan, sebagaimana diproklamasikannya dalam buku Sadel Fourier / Loyola : The text is an object of pleasure. (Teks adalah objek kenikmatan) (Culler, 1963, dalam Kurniawan, 2001:101). Sebuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan tercipta yang hanya dirasakan oleh si pembaca sendiri. Kenikmatan pembacaan itu bersifat individual. Kita tak akan bisa merasakan betapa asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak meperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan, 2001:202). Imajinasi itu sendiri merupakan suatu daya yang muncul dari dalam diri manusia, yang antara lain, memiliki ciri personal (Tedjoworo, 2001:59). Kenikmatan dalam membaca itu dilukiskan Barthes (1975, dalam Kurniawan 2001:102), seperti ini : What I enjoy in a strory, is not directly its content, nor

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

even its structure, but the abrasion I impose on the fine surface : I speed ahead, I skip, I look up, I dip in again (Apa yang aku senangi dalam sebuah cerita, bukan secara langsung isinya, bahkan bukan pula strukturnya, tetapi pengikiran yang aku terapkan pada permukaan dasarnya : aku ngebut ke depan, aku lewatkan, aku perhatikan, aku cari, aku masuk ke dalam lagi). Tampaknya, kenikmatan yang dimaksudkan Barthes, seperti dilukiskan Kurniawan (2001:103), bukanlah pembacan biasa. Kenikmatan itu adalah kenikmatan atas teks atau naskah. Barthes secara konsisten masih bergerak di lapangan strukturalisme yang mengunggulkan bahasa di atas apa pun. Demikian pula dengan kenikmatan yang dimaksudkannya, terkait dengan bahasa itu sendiri. Kenikmatan yang dimaksud Barthes, selain pada ranah bahasa (teks), juga terkait dengan tubuh. Dalam The Pleasure of the Text, Barthes menunjukkan bahwa konsep kenikmatan yang dianutnya menyangkut atau berada dalam rangka aktivitas semiolog maupun analisis tekstual. Dengan membaca kembali dan berulang-ulang sebuah teks dengan memotong-motongnya dan menyusunnya kembali, yang merupakan rekonstruksi utama dalam semiologi dan analisis tekstual atau analisis structural itulah Barthes menemukan kenikmatan yang dimaksudnya, Ricoeur mengajukan suatu definisi yang mengatakan bahwa teks adalah wacana (berarti lisan) yang difiksikan ke dalam bentuk tulisan (KledenProbonegoro, 1998:119). Dengan demikian jelas bahwa teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan (Hidayat, 1996:129-130). Dalam definisi tersebut secara implicit sebenarnya telah diperlihatkan adanya hubungan antara tulisan denagn teks. Apabila tulisan adalah bahasa lisan yang difiksikan (ke dalam bentuk tulisan), maka teks adalah wacana (lisan) yang difiksikan ke dalam bentuk teks. Teks juga bisa kita artikan sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu (Budiman, 1999b:115-116). Pihak penerima yang menerima tanda-tanda tersebut sebagai teks segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Dalam upaya mendekati tuturan kesastraan (literary ulterance) sebagai teks, kita dapat memperlakukan tuturan tersebut sebagai sesuatu yang terbuka bagi interprestasi, walaupun tetap

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

dikaitkan dengan norma-norma generik tertentu. Sementara itu, teks pun kadang kala secara sengaja dipertentangkan dengan karya (work). Dalam hal ini sebuah karya dianggap berkebalikan dengan sifat-sifatnya yang menyederhanakan suatu entitas, tertutup, dan mencukupi diri sendiri. Walaupun demikian, pembedaan antara teks dan karya ini bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan sekedar soal penekanan dna nuansa. Sebuah teks pada dasarnya tidka dapat dilepaskan sama sekali dari teks lain. Sebuah karya sastra, misalnya, baru mendapatkan maknanya yang hakiki dalam kontrasnya dengan karya sebelumnya. Teks dalam pengertian umum adalah dunia semesta ini, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan. Adapt istiadat, kebudayaan, film, drama secara pengertian umum adalah teks. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat lepas dari hal-hal yang menjadi latar penciptaan tersebut, baik secara umum maupun khusus (Ratih, dalam Jabrohim, 2001:137). Suatu karya sastra yang berwujud teks dan tertulis dengan bahasa yang khas itu tidak akan berfungsi jika tidak ada pembacanya yang menjadi penyambut, penafsir, dan pemberi makna. Suatu teks itu penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu suatu kerangka yang menentukan dan mendukung bentuk tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Sebuah teks lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam kawasan tekstual. Inilah yang disebut intertekstual, yaitu pengertian bahwa suatu teks tidak dapat dipengaruhi oleh teks baru, baik perbedaannya maupun persamaannya (Partini 1991, dalam Ratih, 2001:135). Dalam teori bahasa, apa yang dinamakan teks tak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai denagn system tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, dari sudut pandang mahzab transendentalisme hermeneutic, kebenaran yang lebih konsisten justru ketika tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarangnya yang kadangkala labil dan situasional. Dalam jajaran ini, Immanuel Kant dan Rene Descartes sangat berjasa dalam meletakkan dasar teori. Namun, dari sudut pandang psikologi dan sosiologi, bahasa lisan jelas lebih utama ketimbang bahasa tulis, karena perasaan yang jauh lebih kompleks. Lebih dari itu, masyarakat bisa berkembang dan bertahan tanpa tulisan, tetapi tidak mungkin

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

bisa bertahan tanpa bahasa lisan (Hidayat, 1996). Memang sulit dibayangkan mengandalkan bahasa tulis. Dalam pandangan Recoeur, pengertian teks sebatas bentuk tulisan masih bisa didiskusikan lagi. Jika teks adalah rekaman dari sebuah wacana, misalnya saja transkip sebuah seminar, bukankah hal itu sesungguhnya masih berupa wacana yang diabadikan dalam format tulisan? Artinya, dalam pengertian yang lebih ketat, teks dikatakan teks hanya ketika sebuah gagasan secara sadar dan sengaja dituliskan oleh pengarangnya, bukannya transkip dari sebuah wacana. Jika pengertian kedua diambil, maka sebuah teks pidato tidak memenuhi syarat sebagai sebuah teks, karena tujuannya untuk dibacakan di depan pendengar, di mana antara pembicara dan pendengar terjadi kontak langsung. Artinya, naskah pidato baru menjadi teks ketika jatuh ke tangan orang yang tidak hadir dalam peristiwa pembacaannya. Dalam membaca, seseorang diharapkan untuk melakukan dialog imajinatif dengan pengarangnya, meskipun antara keduanya hidup dalam kurun waktu serta tempat yang berbeda. Maka, disinilah kita dihadapkan pada sebuah prasangka hermeneutik. Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa-bisa kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks (Hidayat, 1996:132). Meski demikian, merupakan hal yang tidak mudah bagi seseorang untuk memperoleh data yang akurat mengenai asal-usul sebuah teks dan juga pengarangnya. Karenanya benar apa yang dikatana Gadamer, seseorang sudah terlahir dalam kebub prasangka dan cenderung untuk menerima sumber otoritas tanpa argumentasi kritis (Hidayat, 1996:133). Jika kita amati pada masyarakat tradisional, tokoh-tokoh agama dan para dukun kerapkali dipandang sebagai sumber otoritas dalam menafsirkan realitas sosial. Pelbagai prasangka yang sudah mengendap dari seseorang tanpa disadari berperan aktif ketika menafsirkan sebuah teks, terlebih lagi ketika dalam membaca tidak terjadi perjumpaan langsung antara kedua belah pihak. Pihak pembaca tidak hadir sewaktu pembaca menelaah bukunya. Di sinilah jelas terbentang tabir yang menutupi proses komunikasi timbale balik secara langsung, sementara instruksi bawah sadarnya (sub-conscious) pembaca ikut menafsikran dan mengarahkan kesimpulan yang hendak diambil, apakah mau diterima atau ditolak. Dengan terpisahnya teks dari pengarangnya dan dari situasi sosial yang melahirkannya, maka implikasinya lebih jauh, sebuah teks

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

bisa tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pihak pembaca; sebab, sebuah karya tulis pada umumnya merupakan respons terhadap situasi yang dihadapi oleh penulis dalam waktu dan ruang tertentu. Betuk apa yang disarankan oleh Komaruddin Hidayat, agar pembaca tidak terbawa oleh subjektivitas pengarangnya dalam menelaah teks, diperlukan counter-prejudice. Artinya, pembaca perlu curiga atau kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks, agar terjadi wacana yang cerdas dan seobjektif mungkin antara pihak pembaca dna penulis (Hidayat, 1996:134). Kata curiga di sini sengaja diberi tanda kutip, karena dimaksudkan untuk tujuan positif. 3.Konteks Sebetulnya, antara teksm konteks, dan wacana merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Gus Cook, misalnya, menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:9). Berkaitan dengan konteks, ini menarik untuk kita singgung, sebab dahulu, para ahli bahasa menganalisis kalimat di luar konteks. Arti atau makna dari sebuah kalimat sebenarnya barulah dapat dikatakan benar bila kita ketahui siapa pembicaranya, siapa pendengarnya bila diucapkan dan lain-lain. Oleh sebab itulah maka ahli wacana menagalisis kalimat-kalimat itu dengan menganalisis konteksnya lebih dahulu. Ahli analisis wacana memeprlakukan datanya sebagai teks yang berada dalam satu konteks.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Dalam salah satu tulisannya, Topics ini Lexical Semantics, Fillmore (1997:19) mengemukakan : The task is to determine what we can know about the meaning and context of an utterance given only the knowledge that the unterance has occurredI find that whenever I notice some sentences in context, immediately find myself asking what the effect would have been in the context had been slightly different. Berdasarkan pernyataan Fillmore di atas kita ketahui betapa pentingnya konteks itu untuk menentukan makna suatu ujaran. Dan bila konteks berubah maka berubah pulalah makna itu. Pada dasarnya, konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu : (1) konteks fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu, dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu; (2) konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengae; (3) konteks linguistik (linguistics context) yang terdiri atas kalimatkalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi; dan (4) konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar (Syafiie, 1990, dalam Lubis, 1993:58). Keempat konteks tersebut jelas mempengaruhi kelancaran komunikasi. Untuk memperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan konteks, kita bisa perhatikan contoh berikut : 2. Dengan pemogokan kami yang hanya tiga jam itu, telah

menyebabkan majikan menyetujui tuntutan butuh, dengan mengeluarkan ketua cabang dari perusahaan. Kurasa majikan tidak rugi apa-apa. 3. Ketua berhenti atau tidak, tak ada arti apa-apa bagi majikan. Itulah dampaknya yang kulihat. Tinggal sekarang organisasi harus mencari ketua baru yang tak dapatb disuap. Siap yang akan dicalonkan dan bagaimana caranya aku belum tahu.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

4.

Hanya kata Otong, anggota-anggota mencalonkan ketua ranting,

Masrun menjadi ketua cabang, sebab dia benar-benar akan membela kepentingan buruh. Dan Otong akan menggantikan sebagai ketua ranting. Dalam teks kedua, banyak yang tidak kita pahami jika tidak ada teks pertama. Kata ketua pada teks itu tidak jelas. Begitu pula kata majikan, organisasi. Makna dan apa yang jadi referensi dari kata-kata itu kita ketahui apabila kita baca teks pertama. Ketua yang dimaksud adalah ketua cabang, majikan adalah majikan buruh-buruh itu, dan organisasi tentulah organisasi buruh-buruh itu juga. Demikian pula di teks ketiga. Kata-kata anggota, ketua ranting, ketua cabang, buruh, akan jelas referensinya kalau kit abaca teks sebelumnya. Kata anggota pada teks ini adalah anggota organisasi buruh itu; ketua ranting adalah ketua ranting organisasi mereka; dan demikian pula ketua cabang ketua cabang organisasi buruh itu. C. Pokok-Pokok Pikiran Roger Fowler tentang Wacana Pikiran-pikiran Roger Fowler dalam analisis wacana ditandai dengan diterbitkannya buku Language and Control (1979) yang menjadi tonggak munculnya pendekatan critical linguistic yang memandang bahasa sebagai praktik social, yang dengannya sebuah kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologynya. Fowler dan teman-temannya (Robert Hodge, Gunter Kress, dan Tony Trew) melihat tata bahasa atau grammar tertentu dalam pilihan kosakata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu pula. Analisis yang dibangun oleh Fowler dkk berpijak pada penjelasan Halliday mengenai srtruktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa ini menjadi dasar struktur bahasa, di mana tata bahasa menyediakan alat untuk dikomunikasikan kepada khalayak. Fowler dkk meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannya untuk mengetahui prektik ideologi. Elemen-elemen yang Dipelajari Fowler A. Kosakata Roger Fowler mamandang bahasa sebagai system klasifikasi. Bahasa menggambarkan bagaimana dunia dilihat, memberikan kemungkinan kepada

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pada realitis sosial. Namun, system klarifikasi ini berbeda-beda antara seseorang atau satu kelompok dan kelompok lain, sebab masing-masing kelompok memiliki pengalaman budaya, sosial, dan polkitik yang berbeda-beda. Keberbedaan pengalaman itu dapat dilihat dari bahasa yang dipakai, yang menggambarkan pertarungan sosial yang terjadi. Arti penting klarifikasi ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Misalnya, perkosaan dapat dikatakan sebagai memperkosa, meniduri, menggagahi, memerawani, dan sebagainya. Di sini peryang sama dibahasakan secara berbeda. Kata-kata yang berbeda itu tidak dipandang secara teknis, tetapi sebagai sebuah praktik ideology tertentu. Tentu saja, ketika diterima khalayak, bahasa yang berbeda itu akan menghasilkan realitas yang berbeda pula. Intinya : bahasa menyediakan alat bagaimana realitas itu harus dipahami oleh khalayak. 1. Kosakata : membuat Kalsifikasi Klasifikasi terjadi karena realitias begitu komplek, sehingga orang membuat penyederhanaan dan abstraksi dari realitas. Realitas tersebut bukan hanya dapat dikenali, melainkan pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan yang lain. Klasifikasi menyediakan asrena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Contoh : tindakan pasukan Interfet ketika berada di Timor Timur yang memborgol, menodong, dan menggeledah penduduk yang dicurigai sebagai milisi. Jika diklarifikasikan, maka contoh ini akan menjelaskan bagaimana bahasa menghasilkan realitas yang dipahami. Klasifikasi (Anti-Interfet) Masalah dalam negeri Intervensi, konspirasi internasional Menambah kekerasaan Nasionalisme Klasifikasi (Pro-Interfet) Masalah internasional Bantuan kemanusiaan Menghentikan kekerasan Hak asasi manusia, hukum internasional, nilai kemanusiaan

2. Kosakata : Membatasi Pandangan Menurut Fowler dkk bahasa pada dasarnya bersifat membatasi kita diajak untuk memehami yang seperti itu, bukan yang lain. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Kosakat berpengaruh terhadap bagaimana kita memahani dan memaknai sebuah peristiwa. Hal ini

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti sebuah peristiwa secara langsung. Oleh karena nitu, ketika membaca sebuah kosakata tertentu, kita akan dihubungkan dengan realitas tertentu. Cont\oh : kasus Tobelo, Galela, dan Jailolo (Maluku). Sekitar 20 ribu warga Kristen menyerang 3 kecamatan : Tobelo, Galela dan Jailolo yang dihuni oleh 7.000 jiwa. Total korban dari peristiwa ini konon mencapai 3.000 jiwa. Klarifikasi oleh media (Republika, Suara Pembaruan, dan Kompas) atas kasus itu terlihat dalam tabel berikut ini : Kosakata Perang (Republika) Perang, pembunuhan, pembantaian, pembasmian, pertempuran, pembumihangusan, pembersihan Perang antara Islam dan Kristen, pertempuran antara laskar Islam dan Kristen, pembantaian pasukan Kristen terhadap mujahidin Islam Kosakata Penghalusan (Suara Pembaruan dan Kompas) Tragedi, insiden, masalah Kerusuhan berbau SARA, konflik berbau SARA, pertikaian bernuansa SARA, pertikaian antar agama

3. Kosakata : Pertarungan Wacana Menurut Fowler, kosakata juga dapat

dipahami

dalam

konteks

pertarungan wacana. Dalam sebuah pemberitahuan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas sebuah masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenaran, dan penjelas mengenai sebuah masalah. Mereka bukan hanya mempunyai versi yang berdeda, tetapi juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam mempengaruhi opini publik. Untuk itu, masing-masing pihak menggunakan kosakata sendiri dan berusaha memaskakan agar kosakata itulah yang lebih diterima oleh publik. Contoh : konflik antara TNI dan GAM yang terjadi selama 3 bulan, dari 1 Mei sampai 31 Juli 1999. masing-masing pihak memiliki gambaran yang berbeda mengenai kasus tersebut. Berikut ini tabelnya :

PERISTIWA Kreung Geukuh

VERSI MILITER Militer terpaksa melakukan penembakan karena massa yang telah diprovokasi GAM hendak menyerang Detasemen Rudal 001. Akibat bentrok antara massa dan militer,

VERSI GAM Tidak ada konrak dalam peristiwa tersebut. Mliliter secara membabibuta melakukan penembakana ke arah massa. Akibatnya, sebanyak 31 masyarakat

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Pulo Rungkem

31 orang tewas. Kelompok tak dikenal, yang diidentifikasikan sebagai GAM, secara membabibuta menyerang dan melemparkan granat ke Detasemen Rudal 001 Kelompok GAM menyerang dan mengabisi bukan saja tentara tapi juga tenaga medis yang mengemban misi kemanusiaan Truk TNI yang beriringan diserang kelompok GAM. Militer membalas tembakan tetapi yang tertembak justru 5 masyarakat yang kebetulan berada di lokasi kejadian Truk militer yang sedang dalam perjalanan pulang ke markas, diberondong tembakan GAM, akibatnya 5 orang anggotanya tewas. Militer menyerbu markas Bantaqiah karena di sana tersimpan ratusan senjata, salah satu markas GAM, dan terdapat usaha penanaman ganja. Dalam sebuah pertempuran, 51 orang tewas.

Peudada

tewas. Pelemparan granat itu dilakukan sendiri oleh militer untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus Kreung Geukuh. Terbukti tidak ada kerusakan serius Militer secara sengaja melakukan tenaga medis sdebagai tameng dan pelindung kalau-kalau diserang kelompok GAM. Truk yang ditumpangi TNI benyak meletus. Anggota TNI mengira ada serangan mendadak, secara reflek melepaskan tembakan. Akibat salah sasaran tembak menyebabkan 5 masyarakat tewas. Granat yang di pakai militer meledak sendiri, mengakibatkan 5 orang militer tewas. Kelompok Bantaqiah hanya perkumpulan pengajian biasa, dan tidak ada senjata. Ketika menewaskan 51 orang pengikut Bantaqiah, tidak terjadi pertempuran atau perlawanan dari kelompok Bantaqiah.

Alue Nireh

Rheung Kreung

Bantaqiah

Media memaknai peristiwa-peristiwa tersebut secara berbeda, seperti dalam tabel berikut ini: KOSAKATA MILITER kontak senjata baku tembak Bentrok Kerusuhan KOSAKATA GAM pembantaian pembunuhan kekerasan

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

4. Kosakata: marjinalisasi Roger Fowler dkk mendasari argumennya pada pilihan linguistik tertentu kata, kalimat, proposisi membawa nilai ideologis tertentu. Kata dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Di sini, pemakaian kata, kalimat, susuna, dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak dipandang semata-mata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi dari ideologi: upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. Contoh: berita mengenai perkosaan dapat digambarkan dengan pilihan kosakata berikut: AKTOR Seorang gadis Seorang wanita Gadis kecil Gadis SMA Seorang anak Aktor (korban) PERISTIWA Diperkosa Digagahi Dinodai Diperawani Disetubuhi Peristiwa AKTOR Oleh pemuda Pemuda Pemuda Seorang pengangguran Ayah kandungnya Aktor (pelaku) Keterangan Aktor (pelaku) Pengangguran Yang sedang mabuk Dari keluarga broken home Tak dikenal Yang bare bercerai

Keterangan Aktor (korban) Gadis Cantik Seorang wanita Yang bekerja di bar Gadis kecil Yang masih ingusan Gadis SMA Yang sering keluar malam Seroang anak Yang montok

Diperkosa Digagahi Dinodai

Pemuda Pemuda Pemuda

Diperawani Laki-laki Disetubuhi Ayahnya sendiri

Peristiwa, pemerkosaan dapat dibahasakan dengan pilihan kosakata yang beraneka, baik dari korban (wanita), pelaku (laki-laki) maupun dari peristiwa pemerkosaan (event). Pilihan kosakata itu sangat berkaitan dengan ideologi, dalam arti bagaimana laki-laki dan wanita direpresentasikan dalam teks. Dengan memberikan penamaan wanita dengan sebutan seperti "gadis penjaga bar", kalimat secara tidak langsung mengasosiasikan bahwa wanita tersebut bukan wanita baik-baik, sehingga tidak aneh jika diperkosa. Penamaan semacam itu

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

bukan hanya "membenarkan" tindak pemerkosaan tetapi juga memberi asosiasi yang buruk. Apakah kalau ia penjaga bar maka ia pasti wanita tidak baik? Kalau ya, apakah karena itu ia bisa diperkosa?pemakaian kata inisecara tidak langsung menunjukkan bagaimana penggambaran itu menyudutkan wanita sebagai korban kekerasan. B. Tata Bahasa Roger fowler memandang bahwa bahasa sebagai salah satu set kategori dan proses. Kategori yang penting disebut sebagai "model" yang menggambarkan hubungan antara objek dan peristiwa. Secara umum ada tidak model yang diperkenalkan oleh Fowler. Pertama, model transitif Model ini berhubungan dengan proses, yakni melihat bagian mana yang dianggap sebagai penyebab sebuah tindakan, dan bagian lain sebagai akibat dari sebuah tindakan. Model transitif dipakai untuk menunjukkan tindakan yang dilihat sebagai dilakukan oleh aktor melalu sebuah proses yang ditunjukkan oleh kata kerja (verba). Misalnya kalimat "Polisi memukul mahasiswa". Model kedua, intransitif. Dalam model ini seorang aktor dihubungkan dengan sebuah proses tetapi tanpa menjelaskan atau menggambarkan akibat atau objek yang dikenai. Misalnya: "polisi berlari" atau "polisi menembak". Ketiga, model relasional. Model ini menggambarkan hubungan dua entitas/bagian. Hubungan tersebut bisa berupa ekuatif, yakni hubungan antara sama-sama kata benda. Misalnya dalam kalimat "korban polisi tersebut adalah seorang ayah dari 1 anak". Hubungan itu bisa juga atributif, yakni kata benda dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan sebuah kualitas atau penilaian tertentu. Misalnya kalimat "polisi itu sangat garang". Fowler menyebut ketiga model tersebut sebagai model sintagmatik. Model ini digambarkan sebagai berikut: Aksional Relasional Transitif Intransitif Ekuatif Atributif

Salah satu aspek penting dan khas dari pemikiran Roger Fowler dkk adalah tranformasi. Tata kalimat tersebut bukan sesuatu yang baku, tetapi dapat diubah susunannya, dipertukarkan, dihilangkan, ditambah, dan dikombinasikan dengan kalimat lain dan disusun ulang. Perubahan-perubahan itu bukan hanya

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

mengubah struktur kalimat tetapi juga bisa mengubah makna dari bahasa yang digunakan secara keseluruhan. Salah satu tipe transformasi itu adalah pasivasi, yakni mengubah tata susunan kalimat dari bentuk aktif menjadi pasif. Aktif Pasif Seorang ayah memerkosa anak gadisnya sendiri yang baru berusia 12 tahun. Seorang anak gadis yang baru berusia 12 tahun diperkosa oleh ayahnya sendiri. Tipe transformasi lainnya adalah nominalisasi, yaitu ketika kalimat atau bagian dari kalimat, gambaran dari sebuah tindakan atau partisipan dibentuk dalam kata benda, umumnya mengubah kata kerja (verba) ke dalam kata benda (nomina). Verba Seorang ayah memerkosa anak gadisnya sendiri yang baru berusia 12 Nominalisasi Tahun Pemerkosaan menimpa anak gadis yang baru berusia 12 tahun.

1. Efek bentuk kalimat pasif: penghilangan pelaku


Tata bahasa bukan hanya berhubungan dengan persoalan teknis kebahasaan, juga bukan melulu persoalan cara menulis, karena bentuk kalimat menentukan makna yang dihasilkan oleh susunan kalimat tersebut. Ada dua bentuk kalimat: kalimat aktif dan kalimat pasif. Dalam kalimat aktif yang ditekankan adalah subjek pelaku, sedangkan dalam kalimat pasif yang ditekankan adalah sasaran pelaku atau tindakan. Contoh: peristiwa demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR, polisi menembak 5 orang mahasiswa. Dalam kalimat aktif, peristiwa itu dibahasan sebagai berikut: polisi menembak 5 orang mahasiswa Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin Keterangan

Subjek (Pelaku)

Predikat

Objek (Sasaran)

Dalam kalimat pasif, peristiwa itu dapat dibahasakan sebagai berikut: Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin 5 orang mahasiswa Ditembak ...

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Keterangan (sasaran) Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin Keterangan Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin Keterangan (sasaran)

Subjek 5 orang mahasiwa

Predikat Tertembak

Pelaku ...

Subjek (sasaran) 5 orang mahasiwa

Predikat Kena tembak

Pelaku

Subjek

Predikat

Pelaku

1. Efek nominalisasi: penghilangan pelaku


Nominalisasi dapat menghilangkan subjek pelaku karena dalam bentuk nominal bukan lagi kegiatan/tindakan yang ditekankan, tetapi sebuah peristiwa. Kalimat kasus di atas hanya menunjukkan bahwa ada peristiwa penembakan dalam demonstrasi di depan gedung DPR. Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin Keterangan Subjek (sasaran) Predikat Objek (pelaku) polisi menembak 4 orang mahasiswa

Dalam demonstrasi di 4 orang depan gedung mahasiswa DPR kemarin Keterangan (sasaran)

mengalami

penembakan

...

Subjek

Predikat

Keterangan

Pelaku

Titik perhatian utama Roger Fowler dkk adalah representasi, yaitu bagaiman kelompok, seseorang, kegiatan, atau peristiwa tertentu ditampilkan dalam wacana publik. Proses representasi selalu melalui medium (umumnya bahasa) yang terutama digunakan untuk melakukan representasi. Yang menjadi fokus utama di sini bukan bias atau distorsi dari pemakaian bahasa, tetapi bagaimana pemakaian bahasa tertentu tidak objektif dan membawa nilai ideologis tertentu.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

C. Kerangka Analisis Dalam memakai model analisis Roger Fowler dkk, yang harus diperhatikan pertama kali adalah bahasa yang digunakan oleh media bukanlah sesuatu yang netral, tetapi mempunyai aspek atau nilai ideologis tertentu. Permasalahan pentingnya adalah bagaimana realitas itu dibahasakan oleh media. Realitas itu bisa berarti bagaimana peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa itu direpresentasikan dalam pemberitaan melalui bahasa yang dipakai. Roger Fowler dkk ingin menggambarkan teks berita dalam rangkaian bagaimana dia ditampilkan dalam bahasa, dan bagaimana bahasa yang dipakai itu membawa konsekuensi tertentu ketika diterima oleh khalayak. Fowler memperhatikan konteks sejarah teks. Bahasa dipahami sebagai perangkat sistem abstrak menuju interaksi antara bahasa dan konteks.

D. Analisis Wacana Model van Dijk Menurut Teun A. van Dijk, penelitian atas wacana tidak hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Model van Dijk, melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung dan membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu: 1. Struktur makro, merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. 2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam teks secara utuh. 3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya. Jadi fokus penelitian wacana analisis yang dilakukan penulis adalah menelaah mengenai aneka fungsi ( pragmatik ) bahasa yang juga mencakup struktur pesan yang terdapat pada pemberitaan kasus suap Irawady Joenoes dalam program berita seputar Indonesia.

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Struktur pesan atau wacana dengan menggunakan model van Dijk antara lain, yaitu: 1. Tematik Secara harafiah tema berarti " sesuatu yang telah diuraikan ", tetapi jika dilihat dari sudut sebuah tulisan yang telah selesai, tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya. 2. Skematik Menggambarkan bentuk umum dari suatu teks. Skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung tema atau topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian - bagian dengan urut urutan tertentu, mana yang harus didahulukan dan bagian mana yang bisa kemudian dengan maksud untuk menyembunyikan informasi penting. 3. Semantik Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal ( local meaning ), yakni makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang menbangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks. Dengan kata lain semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang terpenting dari struktur wacana tetapi juga menggiring kearah sisi tertentu dari sebuah peristiwa. 4. Sintaksis Strategi untuk menampilkan salah satu hal secara positif dan hal lain secara negatif dengan menggunakan pemakaian kata, aturan tata kata, penggunaan kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat kompleks dan sebagainya. 5. Stilistik Cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana atau gaga bahasa. Gaya bahasa mencakup diksi atau pemilihan leksikal, struktur kalimat, majas, dan citraan. 6. Retoris

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan maknanya (hiperbolik) atau bertele - tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana peran itu ingin disampaikan kepada khalayak. Struktur pesan/wacana yang dikemukakan van Dijk dapat digambarkan seperti berikut: Tabel Pendekatan Model van Dijk Struktur Wacana. Struktur Makro Superstruktur Hal yang Diamati TEMATIK ( Apa yang dikatakan? ) SKEMATIK ( Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai? ) SEMANTIK ( Makna apa yang ingin ditekankan dalam teks berita? ) SfNTAKSIS ( Bagaimana pendapat disampaikan? ) STILISTIK ( Pilihan kata apa yang dipakai? ) Elemen Topik Skema

Struktur Mikro

Latar, detail, maksud, praangapan

Struktur Mikro

Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti

Struktur Mikro

Leksikon

Struktur Mikro

RETORIS ( Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan?

Metafora, gaya bahasa

Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

Afdal Makkuraga PutraI STUDI MEDIA

Anda mungkin juga menyukai