1. Pengantar
Menurut (Fowler, 1986; Birch, 1996) bahasa dalam penggunaannya yang nyata selalu
ditata atau disusun sedemikian rupa yang di dalamnya penuh dengan muatan-muatan
kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi di dalam struktur-struktur lingual atau
kebahasaan. Struktur kebahasaan itu digunakan pengguna teks untuk:
- Mensistematisasikan, menginformasikan, dan (bahkan sering) mengaburkan
realitas.
- Mengatur ide dan perilaku orang lain.
- Mengklasifikasikan, mengelompokkan, dan menggolongkan masyarakat,
peristiwa, serta objek-objek untuk menegaskan status institusional dan personal.
Dengan demikian, relasi kebahasaan pada hakikatnya adalah relasi bahasa dan relasi
ideologi.
c. Metafora
Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau
secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat
pada prediksi ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1990:142). Pengertian lainnya
menurut Richards, Platt, & Platt, 1992:139), bahwa dalam metafora sesuatu yang
dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan.
Contoh penggunaan metafora yang pernah muncul dalam wacana politik
Indonesia:
Ekspresi Metafora Kesan yang Muncul
Banyak partai yang mencuri start Sarkasme
kampanye
Ini kesempatan emas bagi Golkar Hiperbolis
Rezim bercakar tajam Sarkasme
Kekayaan indonesia sudah dicak-cabik Hiperbolis
d. Ekspresi Eufemistik
Ekspresi eufemisme adalah ungkapan kebahasaan yang bertujuan untk
memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap oleh pendengar tidak
sama dengan keadaan aslinya. Contoh ekspresi eufimisme pada Era Orde Baru,
adalah:
Ekspresi Eufimisme Ekspresi Sebenarnya
Penyesuaian harga Kenaikan harga
Keluarga prasejahtera Keluarga miskin
Bantuan asing Pinjaman atau utang
Daerah belum berkembang Daerah tertinggal
Kurang pantas Tidak baik
g. Ketransitifan
Teori ketransitifan memiliki banyak versi: linguistik struktural (dikaitkan dengan
keberadaan verba yang dapat diikuti objek langsung atau komplemenatau tidak
dapat diikuti keduanya), linguistik fungsional-sistemik (dikaitkan dengan
pemahaman kita terhadap realitas terhadap apa yang sedang berlangsung, dan
teori wacana (dikaitkan dengan informasi lama dan informasi baru.
Pada contoh kalimat pertama di atas, kalimat 1 sangat jelas agen dan
penderitanya. Penggunaan verba “memukul” mempertegas posisi “polisi” sebagai
agen dan “4 orang mahasiswa” sebagai penderita. Hal ini berbeda dengan
kalimat 2, 3, dan 4. Pada ketiga kalimat tersebut terjadi rekayasa lingual dengan
nominalisasi, yakni perubahan verba “memukul” menjadi nomina “pemukulan”.
Pada kalimat 2 kata “pemukulan” berubah posisinya menjadi objek. Yang
menjadi masalah adalah siapakah yang melakukan pemukulan. Nominalisasi pada
kalimat 3 dan 4 telah menciptakan hilangnya korban dan pelaku pemukulan.
i. Piranti sintaksis
Ada tiga piranti sintaksis yang dapat memberikan informasi tentang ideologi
adalah:
- Penghilangan adalah piranti sintaksis yang menghilangkan bagian tertentu
dalam klausa karena alasan tertentu. Dalam kaidah pasif, penghilangan sering
dilakukan untuk menyembunyikan agen. Dalam nominalisasi, penghilangan
sering dilakukan untuk menghilangkan agen pelaku dan penderita.
- Pengurutan adalah modus penyampaian dengan urutan yang berbeda, terutama
pada pelaku (agen).
- Kompleksitas berkenaan dengan kerumitan susunan kalimat atau klausa.
Kekomplesan kalimat terjadi ketika beberapa klausa disusun dalam satu
rangkaian kalimat.
j. Pemasifan
Aktif dan pasif adalah persoalan voice, yakni bagaimana cara-cara sebuah bahasa
mengekspresikan hubungan antara fasa verba dan nomina, serta berbagai hal yang
diasosiasikan dengan hubungan itu. Penghasil teks mungkin saja menggunakan
kalimat pasif tanpa agen dan tidak memiliki klausa. Hal tersebut dapat digunakan
jika penghasil teks tidak mengetahui atau tidak menghendaki penyebab
dikemukakan, bahkan ketika penyebabnya terlalu jelas untuk dikemukakan.
k. Penegasian
Dalam suatu bahasa, negasi mendukung fungsi yang amat penting. Fungsi utama
negasi ialah menyangkal atau mengingkari pernyataan lawan bicara atau
pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu sendiri. Menurut Fairclough
(1989) penulis secara jelas menggunakan negatif sebagai sebuah cara untuk
mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi-asersi positif. Ada 3 jenis
negasi yang dapat digunanakan, yaitu negasi “sesungguhnya”, negasi
“manipulasi” dan negasi “ideologis”.
m. Modalitas
Modalitas adalah fitur lingual yang menunjukkan tingkat komitmen atau sikap
penutur terhadap proposisi yang mereka tuturkan atau sikap terhadap pendengar.
Menurut hasil penelitian (Alwi: 1991) terhadap modalitas bahasa Indonesia, ada
empat macam modalitas.
- Pertama, modalitas intensional, yakni modalitas yang digunakan untuk
menyatakan sikap penutur sehubungan dengan peristiwa yang
diungkapkaannya.
- Kedua, modalitas epismetik, yakni modalitas yang merupakan penilaian
penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau
tidak demikian.
- Ketiga, modalitas deontik, yakni modalitas yang berhubungan dengan
kewajiban atas dasar kewenangan pribadi atau kewenangan resmi.
- Keempat, modalitas dinamik, yakni modalitas yang memoersoalkan sikap
pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh keadaan yang
bersifat empiris.
n. Pronomina Persona
Pronomina persona berkaitan dengan kehadiran diri, yakni bagaimana penutur
atau penghasil teks menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicara. Dalam wacana
politi, para elite politik sering menggunakan pronomina persona “saya” atau
“kami”, bahkan “nama diri lembaga” apabila menyampaikan informasi
keberhasilan suatu program, dan sebalikanya menggunakan pronomina persona
“kia” apabila menyampaikan informasi tentang kegagalan program.
o. Tindak Ujaran
Sebuah ujaran tidak hanya mengkomunikasikan makna proposisi, tetapi juga
mencapai tindakan melalui ujaran, seperti berjanji, memerintah, meminta maaf,
dsb. Searle (1975) mengelompokkan tindak ujar menjadi lima jenis: representatif,
direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Setiap tindak ujar memiliki tujuan dan
jabaran wujud tindak sbb.:
p. Implikatur
Menurut Fowler (1985), implikatur dihasilkan sering melalui pelanggaran yang
nyata terhadap konvensi kerjasama yang membangun percakapan. Ada dua
catatan terhadap hal ini. Pertama, sebuah implikatur bukan sebuah kecelakaan,
tetapi produk tindakan yang bertujuan atau memiliki motivasi tertentu. Kedua,
melalui sebuah implikatur, seorang penutur memaksakan ideologinya kepada
orang lain, hingga akhirnya konsumen secara ikhlas menerima ideologi tanpa ada
sikap kritis.
s. Gilir Tutur
Kajian terhadap gilir-tutur menunjukkan bahwa sebuah percakapan bukanlah
sesuatu yang bebas dan tanpa aturan, tetapi terdapat aturan untuk urutan
konstribusi yang bebas dan tanpa aturan, tetapi terdapat aturan untuk urutan
konstribusi peserta dan gilir tuturnya.
t. Pengontrolan Partisipan
Pengontrolan partisipan berkenaan dengan “bagaimana cara-cara seseorang
partisipan mengontrol kontribusi partisipan lainnya”. Partisipan yang memiliki
kekuasanaan yang besar akan memaksakan kontribusinya kepada partisipan yang
kurang atau tidak berkuasa.
Terdapat empat piranti yang umumnya dipilih, yaitu:
- Interupsi, tejadi jika seorang partisipan memulai suatu tuturan ketika penutur
lainnya sedang bertutur.
- Penegasan, terjadi jika seorang partisipan meminta orang lain untuk
memperjelas tuturannya.
- Pengontrolan topik, tejadi jika seorang penutur menggunakan cara tertentu
untuk mengarahkan jawaban penutur lainnya.
- Formulasi, terjadi jika seorang penutur meminta mitra tutur untuk
merumuskan atau merumuskan kembali apa yang sudah dikatakan.
u. Pengurutan Teks
Fariclough (1989:137) menyatakan bahwa sebuah teks memiliki struktur yang
mungkin saja dibentuk dari elemen-elemen yang dapat diramalkan dalam urutan
yang juga dapat diramalkan.