Anda di halaman 1dari 8

ASPEK KEBAHASAAN SEBAGAI PEMBAWA IDEOLOGI

1. Pengantar
Menurut (Fowler, 1986; Birch, 1996) bahasa dalam penggunaannya yang nyata selalu
ditata atau disusun sedemikian rupa yang di dalamnya penuh dengan muatan-muatan
kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi di dalam struktur-struktur lingual atau
kebahasaan. Struktur kebahasaan itu digunakan pengguna teks untuk:
- Mensistematisasikan, menginformasikan, dan (bahkan sering) mengaburkan
realitas.
- Mengatur ide dan perilaku orang lain.
- Mengklasifikasikan, mengelompokkan, dan menggolongkan masyarakat,
peristiwa, serta objek-objek untuk menegaskan status institusional dan personal.

Dengan demikian, relasi kebahasaan pada hakikatnya adalah relasi bahasa dan relasi
ideologi.

2. Bahasa dan Ideologi


Ada 5 catatan terkait posisi ideologi dalam wacana publik, yaitu:
1. Kajian terhadap ideologi dalam wacana publik berarti kajian terhadap
pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh suatu
komunitas tertentu penghasil wacana publik itu.
2. Kajian terhadap ideologi dalam wacana publik berarti kajian tentang bagaimana
teks-teks dan praktik-praktik budaya tertentu menghadirkan berbagai citra tentang
realitas yang sudah didistorsi.
3. Kajian terhadap ideologi dalam suatu wacana publik berarti kajian terhadap teks
yang sering terjebak pada berbagai persoalan keberpihakan.
4. Kajian terhadap ideologi dalam suatu wacana publik berarti kajian tentang cara-
cara di mana ritual dan kebiasaan tertentu akan menghasilkan akibat-akibat yang
mengikat dan melekatkan kita pada tatanan sosial, sebuah tatanan yang ditandai
oleh adanya kesenjangan kesejahteraan, gap status, dan jurang kekuasaan yang
demikian menonjol.
5. Kajian terhadap ideologi dalam suatu wacana publik berarti kajian tentang usaha
untuk menjadikan apa yang faktanya parsial dan khusus menjadi universal dan
legitimate dan sekaligus juga suatu usaha untuk melewatkan hal-hal yang bersifat
kultural sebagai hal alamiah.

3. Fitur Lingual Pembawa Ideologi


Terdapat aspek atau fitur kebahasaan tempat penghasil teks akan meletakkan
ideologinya yang meliputi kosakata, gramatikalm dan struktur teks. Menurut Halliday
(1978; 1985) dan Fairclough (1989; 1995) setiap fitur formal linguistik memiliki tiga
nilai, yaitu:
1. Nilai pengalaman (experiential values), akan memberikan informasi tentang
bagaimana realitas alamiah dan sosial itu dipresentasikan;
2. Nilai rasional (relational values), akan memberikan informasi bagaimana jarak
sosial yang terbentuk antar subjek;
3. Nilai ekspresif (expressive values), akan memberikan informasi tentang bagaimana
sikap penghasil teks tehadap realitas.

Setiap fitur lingual tempat penghasil teks meletakkan dan menyembunyikan


ideologinya sebagai berikut:
a. Proses Leksikal: proses-proses yang terjadi dalam kosakata sebagai refleksi dan
ekspresi kepentingan kelompok atau komunitas. Hal yang perlu dianalisis dalam
proses-proses leksikal antara lain:
- Pola klasifikasi yang tergambar dalam teks, hal ini berkenaan dengan pilihan
kosakata tertentu yang dipergunakan untuk mengklasifikasikan realitas
tertentu.
- Kata-kata ideologis yang diperjuangkan, kajian ini berkenaan dengan kajian
terhadap kata-kata yang diusahakan ditanamkan atau dinaturalisasikan ke
dalam pikiran pada individu masyarakat sasaran melalui berbagai aktivitas
agar kata-kata tertentu itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan
masyarakat itu, serta sebagai bagian “yang penting” bagi kehidupannya.
- Leksikalisasi, hal ini berkaitan dengan keberadaan sebuah kata untuk sebuah
konsep.
- Kekurangan leksikal, berkenaan dengan suatu keadaan di mana terjadi
halangan pada istilah atau seperangkat istilah bagi konsep tertentu.
- Kelebihan leksikal, terjadi apabila terdapat penggunaan yang melimpah dari
istilah-istilah untuk objek atau konsep tertentu.

b. Relasi Makna yang Ideologis


Menurut pandangan Fairclough (1989:116) keberadaan kata-kata tertentu dalam
hubungannya dengan relasi maknanya sering memiliki makna ideologis. Relasi
makna yang sering memiliki makna ideologis adalah antomini (kata berlawanan
makna dengan kata lain, Richards, Platt, & Platt, 1992:18), sinonimi (kata yang
memiliki makna yang sama atau hampir sama dengan kata yang lainnya, Richards,
Platt, & Platt, 1992:368), dan hiponimi (hubungan antara dua kata di mana makna
satu kata meliputi makna kata yang lain, Richards, Platt, & Platt 1992:169).

c. Metafora
Metafora adalah ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau
secara langsung dari lambang yang dipakai karena makna yang dimaksud terdapat
pada prediksi ungkapan kebahasaan itu (Wahab, 1990:142). Pengertian lainnya
menurut Richards, Platt, & Platt, 1992:139), bahwa dalam metafora sesuatu yang
dideskripsikan diganti dengan uraian lain yang dapat dibandingkan.
Contoh penggunaan metafora yang pernah muncul dalam wacana politik
Indonesia:
Ekspresi Metafora Kesan yang Muncul
Banyak partai yang mencuri start Sarkasme
kampanye
Ini kesempatan emas bagi Golkar Hiperbolis
Rezim bercakar tajam Sarkasme
Kekayaan indonesia sudah dicak-cabik Hiperbolis

d. Ekspresi Eufemistik
Ekspresi eufemisme adalah ungkapan kebahasaan yang bertujuan untk
memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap oleh pendengar tidak
sama dengan keadaan aslinya. Contoh ekspresi eufimisme pada Era Orde Baru,
adalah:
Ekspresi Eufimisme Ekspresi Sebenarnya
Penyesuaian harga Kenaikan harga
Keluarga prasejahtera Keluarga miskin
Bantuan asing Pinjaman atau utang
Daerah belum berkembang Daerah tertinggal
Kurang pantas Tidak baik

e. Kata-kata “Formal” dan “Informal” yang Mencolok


Kata formal adalah kosakata yang dipergunakan untuk tujuan menciptakan
prsetise sosial tertentu dan menciptakan jarak sosial dengan pendengar. Kata
formal yang dipilih itu dalam pandangan studi bahasa kritis selain berperan
sebagai wadah informasi, juga berperan sebagai pengontrol terhadap mitra tutur
serta penonjol identitas bagi penuturnya.
Kata informal adalah kosakata yang digunakan untuk tujuan menciptakan
keakraban, solidaritas, dan ekspresi afektif dengan pendengar. Contoh kata
informal sebagai berikut:

Ekspresi Informal Kesan yang Muncul


Saya berpandangan Pak Harto perlu Santai, akrab
diajak rembukan
Saya tahu kalau saya dikatakan gombal Santai, akrab
dan mencla-mencle
Memang, ada tahap yang saya agak Santai, akrab
ngenes menghadapi kesalahmengertian
orang.

f. Evaluasi “Positif” dan “Negatif”


Evaluasi positif dan negatif merujuk pada sejumlah kosakata yang
mengekspresikan identitas subjek dan identitas sosial terhadap realitas sosial-
politi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.
Contoh kata-kata yang memberikan evaluasi positif pada era pasca-Orde Baru:
- Ekonomi kerakyatan
- Otonomi daerah
- Nilai demokrasi
- Memelihara kesatuan dan persatuan bangsa
- Pemerintah yang good governance
- Masyarakat bhinneka tunggal ika

Contoh kata-kata yang memberikan evaluasi negatif pada pasca-Orde Baru:


- Mafia peradilan
- Militerisme
- Serangan fajar
- Keluarga Soeharto
- Orde baru

g. Ketransitifan
Teori ketransitifan memiliki banyak versi: linguistik struktural (dikaitkan dengan
keberadaan verba yang dapat diikuti objek langsung atau komplemenatau tidak
dapat diikuti keduanya), linguistik fungsional-sistemik (dikaitkan dengan
pemahaman kita terhadap realitas terhadap apa yang sedang berlangsung, dan
teori wacana (dikaitkan dengan informasi lama dan informasi baru.

Menurut pandangan Halliday (1985; 1994) ketransitifan terbagi menjadi 3 macam,


yaitu:
1). Proses material atau tindakan (perbuatan, kejadian, perilaku),
2). Proses mental atau proyeksi (persepsi, afeksi, kognisi), dan
3). Proses relasi atau menjadi (atributif, identifikasi, eksistensial).

Sedangkan oleh Fowler (1986), ketransitifan dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:


- Tipe tindakan (action) adalah sebuah gerakan atau tindakan yang disengaja
dengan konsekuen di bawah kontrol nomina.
Contoh: Doni membanting pintu
Ayah menyiram bunga
- Tipe nontindakan, tipe terdiri atas 2 macam: keadaan (stres) dan proses. Tipe
keadaan adalah tipe ketransitifan yang secara sederhana mencirikan kepemilikan
objek. Contoh: Jalan itu lebar. Kata “lebar” mengandung makna
keadaan/nontindakan. Tipe proses adalah tipe ketransitifan di mana peristiwa
atau perubahan yang terjadi terhadap sesuatu tanpa kontrol mereka. Contoh:
Jalan itu diperlebar. Verba “diperlebar” mengandung makna proses.
- Tipe mental adalah ketransitifan yang berbentuk “proses mental” dan “keadaan
mental”. Contoh: Dina kecewa mendengarkan berita itu. Kata “kecewa”
mengandung makna keadaan mental.
h. Nominalisasi
Nominalisasi merujuk pada proses membentuk sebuah nomina dari kelas kata
yang lain (Crystal, 1991:233). Sedang Fairclough (1989) mengemukakan
pendapat bahwa pilihan terhadap nominalisasi tertentu mengandung siginifikan
atau makna ideologis tertentu pula.
Contoh:
1. Dalam demonstrasi di depan gedung KPK kemarin, polisi memukul 4 orang
mahasiswa.
2. Dalam demonstrasi di depan gedung KPK kemarin, 4 orang mahasiswa
mengalami pemukulan.
3. Dalam demonstrasi di depan gedung KPK kemarin terjadi pemukulan.
4. Pemukulan terjadi dalam demonstrasi di depan gedung KPK kemarin.

Pada contoh kalimat pertama di atas, kalimat 1 sangat jelas agen dan
penderitanya. Penggunaan verba “memukul” mempertegas posisi “polisi” sebagai
agen dan “4 orang mahasiswa” sebagai penderita. Hal ini berbeda dengan
kalimat 2, 3, dan 4. Pada ketiga kalimat tersebut terjadi rekayasa lingual dengan
nominalisasi, yakni perubahan verba “memukul” menjadi nomina “pemukulan”.
Pada kalimat 2 kata “pemukulan” berubah posisinya menjadi objek. Yang
menjadi masalah adalah siapakah yang melakukan pemukulan. Nominalisasi pada
kalimat 3 dan 4 telah menciptakan hilangnya korban dan pelaku pemukulan.

i. Piranti sintaksis
Ada tiga piranti sintaksis yang dapat memberikan informasi tentang ideologi
adalah:
- Penghilangan adalah piranti sintaksis yang menghilangkan bagian tertentu
dalam klausa karena alasan tertentu. Dalam kaidah pasif, penghilangan sering
dilakukan untuk menyembunyikan agen. Dalam nominalisasi, penghilangan
sering dilakukan untuk menghilangkan agen pelaku dan penderita.
- Pengurutan adalah modus penyampaian dengan urutan yang berbeda, terutama
pada pelaku (agen).
- Kompleksitas berkenaan dengan kerumitan susunan kalimat atau klausa.
Kekomplesan kalimat terjadi ketika beberapa klausa disusun dalam satu
rangkaian kalimat.

j. Pemasifan
Aktif dan pasif adalah persoalan voice, yakni bagaimana cara-cara sebuah bahasa
mengekspresikan hubungan antara fasa verba dan nomina, serta berbagai hal yang
diasosiasikan dengan hubungan itu. Penghasil teks mungkin saja menggunakan
kalimat pasif tanpa agen dan tidak memiliki klausa. Hal tersebut dapat digunakan
jika penghasil teks tidak mengetahui atau tidak menghendaki penyebab
dikemukakan, bahkan ketika penyebabnya terlalu jelas untuk dikemukakan.
k. Penegasian
Dalam suatu bahasa, negasi mendukung fungsi yang amat penting. Fungsi utama
negasi ialah menyangkal atau mengingkari pernyataan lawan bicara atau
pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu sendiri. Menurut Fairclough
(1989) penulis secara jelas menggunakan negatif sebagai sebuah cara untuk
mengambil isu secara implisit yang sesuai dengan asersi-asersi positif. Ada 3 jenis
negasi yang dapat digunanakan, yaitu negasi “sesungguhnya”, negasi
“manipulasi” dan negasi “ideologis”.

l. Modus Kalimat: Deklaratif, Interogatif, dan Impertif


Modus kalimat berkenaan dengan cara bagaimana kalimat itu diekspresikan
kepada mitra bicara. Terdapat 3 macam modus yang menempatkan subjek secara
berbeda: deklaratif, interogatif, dan imperatif. Deklaratif, posisi penutur adalah
pemberi informasi, dan mitra tuturnya sebagai penerima informasi. Interogatif,
penutur dalam posisi menanyakan sesuatu dan mitra tuturnya sebagai penye3 dia
informasi. Imperatif, penutur berposisi sebagai peminta dan pemerintah kepada
mitra tutur, dan mitra tutur berposisi sebagai pelaku yang tunduk melakukan
sesuatu.

m. Modalitas
Modalitas adalah fitur lingual yang menunjukkan tingkat komitmen atau sikap
penutur terhadap proposisi yang mereka tuturkan atau sikap terhadap pendengar.
Menurut hasil penelitian (Alwi: 1991) terhadap modalitas bahasa Indonesia, ada
empat macam modalitas.
- Pertama, modalitas intensional, yakni modalitas yang digunakan untuk
menyatakan sikap penutur sehubungan dengan peristiwa yang
diungkapkaannya.
- Kedua, modalitas epismetik, yakni modalitas yang merupakan penilaian
penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau
tidak demikian.
- Ketiga, modalitas deontik, yakni modalitas yang berhubungan dengan
kewajiban atas dasar kewenangan pribadi atau kewenangan resmi.
- Keempat, modalitas dinamik, yakni modalitas yang memoersoalkan sikap
pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh keadaan yang
bersifat empiris.

n. Pronomina Persona
Pronomina persona berkaitan dengan kehadiran diri, yakni bagaimana penutur
atau penghasil teks menghadirkan dirinya di hadapan mitra bicara. Dalam wacana
politi, para elite politik sering menggunakan pronomina persona “saya” atau
“kami”, bahkan “nama diri lembaga” apabila menyampaikan informasi
keberhasilan suatu program, dan sebalikanya menggunakan pronomina persona
“kia” apabila menyampaikan informasi tentang kegagalan program.
o. Tindak Ujaran
Sebuah ujaran tidak hanya mengkomunikasikan makna proposisi, tetapi juga
mencapai tindakan melalui ujaran, seperti berjanji, memerintah, meminta maaf,
dsb. Searle (1975) mengelompokkan tindak ujar menjadi lima jenis: representatif,
direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi. Setiap tindak ujar memiliki tujuan dan
jabaran wujud tindak sbb.:

Jenis tindak Tujuan Wujudnya


Representatif atau Asertif Mengikat penutur kepada Menyatakan, melaporkan,
kebenaran atas apa yang menunjukkan, dan
dikatakannya menyebutkan.

Direktif Agar mitra tutur Menyuruh, memohon,


melakukan tindakan yang menuntut, menantang,
disebutkan dalam ujaran dan menyarankan
Ekspresif Agar ujaran diartikan Memuji, mengucapkan
sebagai evaluasi tentang terima kasih, mengkritik,
hal yang disebutkan dan mengeluh
dalam ujaran itu
Komisif Mengikat penuturnya Berjanji, bersumpah, dan
untuk melaksanakan apa mengancam
yang disebut dalam
ujarannya.
Deklarasi Dilakukan penutur Memutuskan,
dengan maksud untuk membatalkan, melarang,
menciptakan hal tertentu mengizinkan, dan
yang baru memberi maaf.

p. Implikatur
Menurut Fowler (1985), implikatur dihasilkan sering melalui pelanggaran yang
nyata terhadap konvensi kerjasama yang membangun percakapan. Ada dua
catatan terhadap hal ini. Pertama, sebuah implikatur bukan sebuah kecelakaan,
tetapi produk tindakan yang bertujuan atau memiliki motivasi tertentu. Kedua,
melalui sebuah implikatur, seorang penutur memaksakan ideologinya kepada
orang lain, hingga akhirnya konsumen secara ikhlas menerima ideologi tanpa ada
sikap kritis.

q. Sapaan, Nama, dan Rujukan Pribadi


Kajian terhadap sapaan, nama, dan rujukan pribadi menunjukkan bahwa terdapat
dimensi kuasa dan solidaritas dari pilihan terhadap sapaan, nama, dan rujukan
pribadi itu.
r. Fonologi
Kajian terhadap fonologi menunjukkan bahwa bunyi dan pola-pola bunyi
berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas sosial dalam masyarakat. Contohnya
penggunaan akhiran –ken pada era Presiden Soeharto menunjukkan stratifikasi
sosial.

s. Gilir Tutur
Kajian terhadap gilir-tutur menunjukkan bahwa sebuah percakapan bukanlah
sesuatu yang bebas dan tanpa aturan, tetapi terdapat aturan untuk urutan
konstribusi yang bebas dan tanpa aturan, tetapi terdapat aturan untuk urutan
konstribusi peserta dan gilir tuturnya.

t. Pengontrolan Partisipan
Pengontrolan partisipan berkenaan dengan “bagaimana cara-cara seseorang
partisipan mengontrol kontribusi partisipan lainnya”. Partisipan yang memiliki
kekuasanaan yang besar akan memaksakan kontribusinya kepada partisipan yang
kurang atau tidak berkuasa.
Terdapat empat piranti yang umumnya dipilih, yaitu:
- Interupsi, tejadi jika seorang partisipan memulai suatu tuturan ketika penutur
lainnya sedang bertutur.
- Penegasan, terjadi jika seorang partisipan meminta orang lain untuk
memperjelas tuturannya.
- Pengontrolan topik, tejadi jika seorang penutur menggunakan cara tertentu
untuk mengarahkan jawaban penutur lainnya.
- Formulasi, terjadi jika seorang penutur meminta mitra tutur untuk
merumuskan atau merumuskan kembali apa yang sudah dikatakan.

u. Pengurutan Teks
Fariclough (1989:137) menyatakan bahwa sebuah teks memiliki struktur yang
mungkin saja dibentuk dari elemen-elemen yang dapat diramalkan dalam urutan
yang juga dapat diramalkan.

Anda mungkin juga menyukai