Anda di halaman 1dari 32

A.

Pendahuluan
Analisis wacana kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk
memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji
oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai
tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Analisis wacana kritis
memandang wacana –penggunaan bahasa dalam tuturan dan tulisan– sebagai
bentuk ‘praktik sosial’. Menjelaskan wacana sebagai praktik sosial menyiratkan
seuatu hubungan dialektik antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi-
situasinya, institusi-institusi, dan struktur sosial yang mewadahinya. Suatu
hubungan dialektik merupakan sebuah hubungan dua jalur; peristiwa diskursif
dibentuk oleh situasi, institusi dan struktur sosial, namun juga membentuk
ketiganya.

Menurut Fairclough, wacana harus dipandang secara simultan, yaitu


sebagai (1) teks-teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) praksis kewacanaan,
yaitu produksi teks dan interpretasi, (3) praksis sosiokultural, yaitu perubahan-
perubahan masyarakat institusi budaya yang menentukan bentuk dan makna
sebuah wacana. Ketiga unsur itu, oleh Fairclough disebut “dimensi wacana”,
menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menaganalisis tiga
dimensi wacana secara integral dan ketiga dimensi tersebut merupakan satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan anatara satu dengan yang lainnya (Darma,
2009:69―70).

B. Pembahasan
1. Wacana Kritis

Istilah wacana menjadi hal yang umum untuk berbagai disiplin ilmu,
misalnya dalam teori kritik, sosiologi, linguistik, filsafat, dan psikologi sosial.
Banyaknya disiplin ilmu yang menggunakan istilah wacana menjadikan istilah ini
memiliki berbagai macam pengertian. Setidaknya berbagai istilah yang muncul
seperti wacana media massa, wacana politik, wacana rasisme merupakan bukti
adanya berbagai makna istilah wacana. Salah satu cara untuk mengetahui makna
istilah wacana adalah dengan melihat kamus. Namun, kamus hanya akan memberi
pengertian umum dari istilah wacana. Dalam kamus Collins Consice Engkish
Dictionary disebutkan bahwa wacana memiliki makna utama sebagai komunikasi
verbal atau percakapan. David Cristal (1985) mengkonsepsi wacana sebagai
rangkaian bahasa, khususnya dalam bentuk lisan yang lebih luas dari kalimat.
Michael Stubbs (1983) mengatakan bahwa wacana merupakan organisasi
bahasa di atas kalimat. Kridalaksana (1984) menyatakan bahwa wacana
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Pengertian wacana di atas
bial diperhatikan dengan cermat memiliki kesamaan, yaitu wacana sebagai satuan
linguistik yang lebih besar dari kalimat. Pengertian wacana seperti ini bukanlah
pengertian wacana kritis, tetapi lebih merupakan pengertian wacana dengan dari
sudut pandang deskriptif. Fowler memiliki pandangang yang berbeda, menurutnya
wacana merupakan turutan atau tulisan yang dilihat dari sudut pandang
kepercayaan , nilai, dan berbagai kategori yang melingkupinya.
Berkaitan dengan istilah wacana deskriptif, pada awalnya oleh Fairloch (1995)
digunakan untuk mengacu pada karakteristik pendekatan analisis wacana yang
bertujuan memberi eksplanasi (explanatory) dalam konteks lokal atau tidak
memberi eksplanasi atau non-eksplanasi (non-explanatory). Dalam hal ini konsep
lokal dipertentangkan dengan konsep penjelasan global dalam analisis wacana.
Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh Fairloch (1995) bahwa tujuan analisis non-
eksplanasi dimaksudkan untuk mendeskripsikan tanpa diikuti dengan
penjelasannya yang rinci. Inilah kerja wacana deskriptif yang ada sebelum wacana
kritis muncul.
Fairloch (1995) mengemukakan dua hal yang berkaitan dengan kelemahan
wacana deskriptif. Pertama, wacana deskriptif terbatas pada penjelasan dalam
konteks lokal. Padahal wacana akan selalu dibangun dari aspek situasi, sosial, dan
budaya determinatif. Dengan kata lain wacana tidak hanya dipengaruhi oleh
konteks lokal tetapi juga konteks global. Kedua, prinsip interpretasi yang hanya
menggunakan prinsip lokalitas tidak lagi memadai bagi penjelasan wacana yang
sutuhnya. Hal itu disebabkan prinsip lokalitas hanya bergantung pada tiga hal
yaitu pendengar, penerima, dan latar belakang. Pengaruh budaya dan sistem
sosial, politik, serta idiologi yang menentukan pembentukan wacana tidak
menjadi pertimbangan dalam menginterpretasi wacana. Dengan kata lain prinsip
lokalitas dipandang kurang akurat dan tidak komprehensif dalam menafsirkan
wacana yang dipandang sebagai praksis sosial. Fairloch mengusulkan suatu
pendekatan baru dalam menginterpretasi wacana, yaitu pendekatan kritis. Dlam
konteks ini wacana dikonsepsi sebagai penggunaan bahasa sebagai praksis sosial.
Wacana akan dipandang secara sinergi sebagai (1) teks bahasa, baik lisan maupun
tulis; (2) praksis kewacanaan, yaitu produksi dan makna sebuah wacana; (3)
praksis sosiokultural, yaitu berbagai perubahan masyarakat, kebudayaan, ideologi,
kepercayaan yang menentukan bentuk dan makna wacana. Ketiga aspek tersebuk
disebut sebagai dimensi wacana.
Wacana berkaitan dengan dengan penggunaan bahasa yang ditentukan
secara sosial, sedangkan teks adalah bahasa tulis atau lisan yang diproduksi dalam
sebuah perisiwa diskursif. Dimensi wacana secara simultan dalam AWK dapat
digambarkan sebagai berikut :

Teks

deskripsi
(Analisis teks)
Prose Produksi

interpretasi
(analisis pemrosesan)
Prose Interpretasi
Praksis Wacana

eksplanasi
Praksis sosiokultural (analisis sosial)
(situasio, institusi, masyarakat)
dimensi wacana
dimensi analisis wacana

Fairloch (1989) mengatakan mengenai tentang prosedur analisis wacana


kritis yang tahapannya terdiri atas tiga, yaitu deskripsi, interpretasi dan eksplanasi.
Analisis teks pada tahap deskripsi mengacu pada tingkatan yang berhubungan
dengan sifat formal teks, kajiannya meliputi aspek kosakata dan gramatikal yang
mencakup pada aspek makna eksperensial (ideasional), interpersonal serta makna
tekstual teks, sedangkan aspek struktur teks ada pada analisis genre. Atau secara
global bisa dikatakan bahwa tahapan deskripsi adalah tahapan yang mengacu pada
fitur-fitur linguistik.
Tahap interpretasi berkaitan dengan hubungan antara teks dan interaksi
dalam teks yaitu denga melihat teks sebagai suatu produk proses produksi, dan
sebagai sumber dalam proses interpretasi. Tahap ini merupakan tahap yang
mengikutkan faktor-faktor sosial (interpretasi konteks) dari suatu teks, misalnya
saja tentang siapa yang terlibat, apa yang sedang terjadi, dalam hubungan apa,
serta apa peran bahasa pada teks tersebut, selanjutnya baru ditentukan interpretasi
teksnya berdasarkan hubungannya dengan interpretasi konteks tersebut.
Interpretasi adalah penggeneralisasian melalui apa yang ada dalam teks dan apa
yang ada dalam benak si interpreter serta dalam kerangka berpikir members of
resourses.
Tahap selanjutnya adalah eksplanasi. Tahap ini berkaitan dengan
hubungan antara konteks interaksi dan sosial. Tahapannya berhubungan dengan
penentuan sosial proses produksi dan interpretasi serta efek-efek sosial pada
terwujudnya sebuah teks. Pertanyaan yang muncul pada tahap ini biasanya adalah
apa yang membantu terbentuknya sebuah wacana yang berhubungan wacana yang
berhubungan dengan penentuan sosial yang meliputi level situasional ,
institusional dan kemasyarakatan. Sedangakn pada level ideologi, pertanyaan
yang muncul adalah elemen apa yang digambarkan memiliki muatan ideologis.
2. Pandangan Halliday
Analisis wacana kritis tidak dapat dipisahkan dari aliran fungsional yang
dikemukakan oleh Halliday. Konsep dan prinsip-prinsip analisis wacana kritis
banyak diturunkan dari pendapat Halliday melalui tata bahasa fungsional
(functional grammar). Berikut ini dijabarkan konsep yang berkaitan dengan
analisis wacana kritis, khususnya fungsi makna gramatikal. Pada awalnya fungsi
makna gramatikal yang dinyatakan oleh Halliday ada empat yaitu eksperiensial,
logikal, wacana, dan dan ujaran atau interpersonal. (Sutjaja, 1990). Dalam
perkembangannya keempat fungsi itu diperas menjadi tiga fungsi makna, yaitu
makna ideasional, makna interpersonal, dan maknaitektual. Fungsi-fungsi itu
sebenarnya diilhami oleh pemikiran Malinowski yang membedakan menjadi tiga
fungsi bahasa.
a. Makna Ideasional
Makna ideasional bertugas sebagai pengungkapan pengalaman lahir atau batin
penutur atau penulis. Bagian ini mencakup fungsi eksperensial dan fungsi logikal.
Fungsi eksperensial bertugas mengindera aspek proses dan partisipan, sedangkan
fungsi logika bertugas menjelaskan hubungan berdasarkan logika misalnya
hubungan subjek dan predikator dan hubungan yang terdapat dalam kelompok
kata. Representasi makna ideasional ini diwujudkan dalam bentuk klausa. Dalam
hal ini klausa dikonsepsi sebagai representasi makna yang salah satu fungsinya
sebagai representasi pengalaman. Selanjutnya klausa ini direalisasikan oleh sistem
ketransitifan, (Sutjaja, 1990); (Sinar, 2002). Namun, Halliday menambah tiga
subkategori, yaitu behavior, verbal, dan eksistensial (Sinar, 2002).
1) Proses matrial melibatkan proses perbuatan ( what did X do) dan kejadian
(what happened to X), dan partisipan yang terlibat dalam proses ini adalah
aktor dan goal.
Contoh :
(a) Ani mencium Anton
part proses part
aktor perbuatan goal

(b) Gunung Merapi meletus kemarin


part proses keterangan
aktor kejadian waktu

2) Proses mental atau proses proyeksi merupakan proses yang melibatkan proses
perasaan, pemikiran, dan penglihatan. Partisipan adalah proses ini dapat
berupa pengindera dan fenomena. Contoh :

(c) Anak itu takut tikus


part proses part
pengindera perasaan fenomena

(d) Mereka memahami kesulitan Anda


part proses part
pengindera pemikiran fenomena

(e) Mereka melihat tabrakan itu


part proses part
pengindera penglihatan fenomena

3) Proses relasional merupakan proses yang dicirikan dengan keterkaitan antara


partisipan dengan identitasnya dan periannya. Secara sederhana partisipan
dalam proses ini dapat berupa penyandang dan atribut atau teridentifikasi.
Contoh :

(f) Dia adalah guru


part proses
penyandang atribut

4) Proses perilaku merupakan proses yang berkaitan dengan proses fisiologis dan
psikologis. Menurut Halliday proses ini berada di antara proses material dan
proses mental. Partisipan dalam proses ini pemerilaku dan satuan-satuannya.
Contoh :

(g) Anak itu melamun setiap hari


part proses keterangan
pemerilaku perilaku waktu

5) Proses verbal merupakan proses yang mengacu pada apa-apa yang dikatakan.
Dalam proses ini partisipan dapat berupa pelapor. Contoh :
(h) Dia mengatakan bahwa saudaranya sedang sakit keras
part proses
pengucap verbal
pelapor yang dilaporkan

6) Proses eksistensial, yaitu proses yang mencakup keberadaan dan kejadian.


Contoh :
(i) Di rumahku ada tamu
keterangan proses part
tempat keberadaan

Makna logikal sebagai bagian dari ideasional diwujudkan dalam komponen


hubungan mkna antarklausa. Hubungan ini dapat berwujud parataksis dan
hipotaksi. Hubungan parataksis menandai hubungan antarklausa bersifat setara.
Sebaliknya hubungan hipotaksis menandai hubungan antarklausa yang tidak
setara. Contoh :
(j) Kemarin dia membeli sepeda dan sekarang dia membeli sepatu baru.
(k) Beberapa siswa tidak dapat mengikuti ujian karena mereka belum
membayar biaya ujian.
Kalimat (j) merupakan contoh hubungan parataksis, sedangkan kalimat (k)
merupakan contoh hubungan hipotaksis.
b. Makna Interpersonal
Makna interpersonal bertugas sebagai pembentuk dan pemelihara hubungan
sosial, seperti pengungkapan peran sosial dalam komunikasi yang diciptakan oleh
bahasa, misalnya peran penanya dan penjawab, peran pesuruh dan penyuruh,
termasuk tanggapan atau sikap pembicara atas suatu pesan. Makna ini
direalisasikan dalam bentuk (1) modus-modus kalimat (Sinar, 2002). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa modus kalimat diekspresikan dengan tiga cara, yaitu deklaratif,
inetrogatif, dan imperatif. Dalam Halliday kalimat deklaratif dan interogatif
dikelompokkan dalam indikatif. Dalam kalimat deklaratif, penutur sebagai sumber
informasi sedangkan penutur sebagai penerima informasi. Dalam imperatif,
penutur sebagai pemberi perintah, sedangkan penutur sebagai pelaksana perintah.
Struktur modus kalimat (mood) terdiri atas dua aspek, yaitu modus dan residu.
Dalam klausa bahasa inggris elemen modus kalimat (mood) terdiri atas dua aspek,
yaitu subjek dan finite, sedangkan residu mencakup unsur predikator, komplemen,
adjungtion (Sinar, 2002). Contoh :
(l) I am talking about functional and notional concepts
subject finite predicator Adjunction
mood residu

c. Makna Tekstual
Makna tekstual berkaitan dengan kemungkinan penulis atau penutur
menghasilkan teks yang runtut berdasarkan konteks situasi. Halliday dalam Sinar
(2003) menyatakan bahwa makna tekstual klausa dalam fungsinya sebagai sebuah
pesan direalisasikan dalam sua sistem tema yang mencakup tema (theme) dan
rema (rheme). Tema dikonsepsi sebagai pangkal pesan, sedangkan rema
dikonsepsi sebagai informasi baru yang dikembangkan dari tema.
Contoh :
(m) Hari ini mereka akan pergi ke Bali
Tema rema

Berkaitan dengan dimensi situasi, Halliday menawarkan tiga aspek yang


menonjol berkaitan dengan situasi sebagai dasar pemahaman makna di luar aspek
kebahasaan. Ketiga aspek itu adalah, medan wacana (field of discourse), pelibat
wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse). Medan
wacana dikonsepsi sebagai konteks situasi yang mengacu pada aktivitas sosial
yang sedaang terjadi, utamanya berkaitan dengan “apa yang sedang terjadi”.
Pelibat wacana mengacu pada konsep who is taking part yang mencakup jarak
sosial partisipan, peran partisipan, dan status partisipan. Ketiganya dapat bersifat
sementara atar permanen. Sarana wacana berkaitan dengan konsep what role
language is playing, peran bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi. Ada lima
hal yang berkaitan dengan peran itu, yaitu (1) peran bahasa, (2) tipe interkasi, (3)
medium, (4) saluran, dan (5) modus retoris.
Contoh :
(n) Ikan dipotong menjadi empat bagian kemudian masukkan dalam tepung
didihkan minyak dalam wajan kemudian masukan ikan jika sudah berwarna
coklat angkat ikan dari wajan
Teks resep makanan ini dapat dianalisis sebagai berikut :
Field : makanan
Tenor : penulis resep dengan pembaca resep
Mode : bahasa tulis resmi
Bntuk Gramatikal : pasif, perintah, orientasi pada proses.

3. Dimensi Wacana
Dimensi wacana mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi teks yang berada
pada tataran deskripstif, dimensi praksis wacana yang berada pada tataran
interpretasi, dan dimensi sosiokultural yang berada pada tataran eksplanasi.
a) Dimensi Teks
Dimensi teks yang merupakan dimensi awal berkaitan dengan analisis
deskripsi yang merupakan langkah awal dalam analisis wacana kritis. Dalam
pandangan Fairclough (1989) tahap analisis deskripsi mencakup tiga aspek
analisis, yaitu kosa kata, gramatika, dan struktur teks. Aspek kosakata dan
gramatika terdiri atas
tiga nilai, yaitu (1) pengalaman, (2) relasional, dan (3) ekspresif.

Analisis Deskriptif

Kosakata Gramatika Struktur


Teks

1) Kosakata
Kajian kosakata akan dilihat dari tiga nilai, yaitu nilai pengalaman,
relasional, dan ekspresif. Dari sisi nilai pengalaman, kosakata dapat dilihat dari
lima aspek, yaitu (a) pola klasifikasi, (b) kata-kata ideologis, (c) proses leksikal,
(d) relasi makna, dan (e) metafora (Santoso, 2003). Pola klasifikasi dapat dilihat
dari kosakata yang berada dalam ideologis “kanan” dan kosakata yang berada
dalam ideologis “kiri”. Kata-kata ideologi berkaitan dengan penggunaan kata-kata
tertentu yang diperjuangkan. Kata-kata ini akan selalu diulang dan dominan dalam
sebuah teks. Kata-kata yang diperjuangkan ini umumnya simbol dari institusi
tertentu. Leksikalisasi berkaitan dengan tersedianya kosakata dalam wacana sosial
tertentu yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok itu.
Ada tiga proses leksikal, yaitu (1) leksikalisasi atau wording, proses ini
terjadi jika kata yang dipilih telah merefleksikan konsep yang tepat; (2) kelebihan
leksikal (overlexicalization) , proses ini terjadi jika terlalu banyak kata yang dapat
merefleksikan satu konsep; (3) kekurangan leksikal (underlexicalization), proses
ini terjadi jika terdapat halangan memilih kata yang tepat yang dapat mewakili
satu konsep. Relasi makna yang diwujudkan dakam bentuk sinonimi, homonimi,
dan hiponimi. Pilihan metofora yang mengaadung ideologis tertentu. Ada tiga
jenis metafora, yaitu metafora nominatif, metafora prediktif, dan metafora
kalimat.
Kosakata dilihat dari sisi nilai relasional mencakup tiga hal, yaitu (1)
ekspresi eufemistik, bentuk ini sering digunakan untuk menutupi kekrungan, (2)
pilihan kata-kata “formal, pilihan ini dilakukan dengan penggunaan istilah asing
untuk memperlihatkan keformalan dan menciptakan kesan kekuasaan, posisi, dan
status (3) pilihan kata-kata “informal” dilakukan dengan memilih kata-kata yang
mudah dipahami oleh petutur denga tujuan untuk menciptakan solidaritas,
kesantunan. Kosakata yang dilihat dari sisi nilai ekspresif mencakup dua hal, yaitu
evaluasi positif dan negatif. Penutur menggunakan kosa kata ini secara implisit
untuk mengevaluasi realitas yang dihadapi melalui penggambaran atau pola
klasifikasi. Secara ringkas paparan kosa kata dapat dibuat skema berikut ini :

Kosakata

Nilai Nilai Nilai


Pengalaman Relasional Ekspresi

Pola klasifikasi Ekspresi Evaluasi positif


eufemistik
Kata-kata ideologis Evaluasi Negatif
Pilihan kata
Proses Leksikal formal
Relasi Makna Pilihan kata
Metafor informal
2) Gramatika
Kajian gramatika seperti halnya kosakata, juga dikaitakan dengan tiga nilai,
yaitu nilai pengalaman, relasional, dan ekspresif. Dari sisi pengalaman gramatika
ada empat aspek yang dikaji, yaitu sistem ketransitifan, nominalisasi, kalimat
aktif-pasif, dan kalimat positif-negatif. Pertama, sistem ketransitifan mencakup
tiga hal utama, yaitu proses mental, material dan proses relasi. Hal ini sudah
dijelaskan pada bagian atas. Kedua, nominalisasi merupakan proses gramatikal
dalam pembentukan nomina dari kelas kata lain, misalnya kedatangan,
kecantikan, pembacaan, koruptor. Pemilihan nomina tertentu mengandung
signifikansi ideologi tertentu. Ketiga kalimat aktif-pasif merupakan persoalan
bagaimana cara sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frasa verbal dan
frasa nomina. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan cara penutur memilih
bentuk aktif atau pasif, bentuk pasif dengan agen atau tanpa agen. Keempat,
kalimat positif-negatif. Nilai pengalaman terkadang diekspresikan dengan kalimat
negasi. Fungsi utama kalimat ini adalah penyangkalan atau pengingkaran
pernyataan lawan bicara atau pembicara yang dianggap keliru oleh pembicara itu
sendiri. Untuk itu perlu kiranya diselidiki mengapa seseorang menggunakan
bentuk negasi, padahal dia bisa menggunakan bentuk positif. Negasi ini memiliki
tiga fungsi, yaitu negasi yang sesungguhnya, negasi yang manipulatif, dan negasi
yang ideologis (Santoso, 2003).

Nilai kedua yang dimiliki gramatika adalah nilai relasional. Nilai ini berhubungan
dengan cara gramatika mengodekan isyarat relasi hubungan sosial timbal balik
yang diperankan penghasil teks. Dalam kaitan ini ada tiga aspek yang menjadi
kajiannya, yaitu (1) modus modus kalimat, (2) modalitas, (3) pronomina persona.
Modus-modus kalimat secara spesifik telah dijelaskan di atas.

Modalitas sebagai aspek kedua dari nilai relasional merupakan persoalan autoritas
satu partisipan dalam hubungan dengan partisipan lainnya (Santoso, 2003). Lebih
lanjut dipaparkan oleh Alwi (1999) bahwa modalitas dapat dibagi menjadi empat
kelompok, yaitu (1) modalitas intesionalitas, (2) modalitas epistemik,(3)
modalitas deontik, dan (4) modalitas dinamik. Modalitas intensional berkaitan
dengan fungsi instrumen. Dalam hal ini bahasa digunakan untuk menyatakan
sikap pembicara sehubungan dengan peristiwa nonaktual yang diungkapkan.
Modalitas jenis ini mencakup penyatakan yang menyatakan keinginan, harapan,
ajakan, pembiaran, permintahan. Misalnya modalitas ingin, mohon, mari, biarkan
Modalitas epistemik mengandung makna epistemik. Makna ini muncul jika suatu
bentuk menyatakan pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, atau pendapat
pembicara tentang proposisi yang diungkapkan. Sikap itu dapat digambarkan
sebagai kemungkinan, keteramalan, keharusan, kepastian. Modalitas yang
menggambarkan itu adalah akan, harus, barangkali, kira. Modalitas deontik
berkaitan dengan sikap pembicara terhadap peristiwa, baik yang berupa
kewenangan pribadi atau kewenangan resmi. Modalitas ini mengandung makna
perintah, izin, dan larangan. Misalnya izin (boleh, bisa, dapat) perintah (harus,
mesti wajib). Modalitas dinamik berkaitan dengan sikap pembicara terhadap
aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh perikeadaan yang bersifat empiris.
Dalam modalitas dinamik terkandung makna mampu dan sanggup, misalnya
modalitas mampu, bisa.

Ketiga, pronomina persona berkenaan dengan kehadiran diri penutur di depan


mitra tutur dengan pronomina persona, termasuk di dalamnya adalah pengunaan
pronomina persona untuk menyapa mitra tutur. Penngunaan pronomina dapat
mencerminkan hubungan antara kekuasaan dan solidaritas. Misalnya penggunaan
kata kamu, anda, saudara, bapak, memiliki tingkatan yang berbeda. Nilai ketiga
yang dimiliki oleh gramatika adalah nilai ekspresif. Nilai ini ditunjukkan oleh
modalitas ekspresif. Dalam modalitas ini terkandung makna kemungkinan, izin,
kepastian, dan kewajiban.

3) Struktur Teks
Dalam struktur teks ada dua persoalan yang harus dianalisis, yaitu
konvensi interaksional yang digunakan dan penataan serta pengurutan teks. Pada
aspek konvensi interaksional ada dua hal yang dikaji, yaitu pengelolaan gilir-tutur
dan pengontrolan antarpartisipan. Gilir-tutur mencerminkan ideologi tertentu.
Pengelolaan gilir-tutur ini bergantung pada hakikat sistem gilir-tutur yang berjalan
dan hubungan kekusaan antarpartisipan. Jika hubungan antarpartisipan sejajar,
setiap partisipan memiliki halk dan kewajiban yang sama. Sebaliknya jika
hubungan antarpartisipan tidak sejajar hak dan kewajiban gilir-tutur pun tidak
sejajar. Pengotrolan partisipan juga dapat mencerminkan asumsi ideologi tertentu.
Partisipan yang berkuasa akan memiliki kekuatan untuk memaksakan
kontribusinya kepada pihak lain yang kekuasaannya lebih kecil. Ada empat piranti
yang dapat digunakan untuk pengontrol partisipan, yaitu (1) interupsi, piranti ini
terjadi jika seorang partisipan memulai suatu tuturan selama penutur lainnya
sedang bertutur (misalnya interupsi yang terjasi dalam persidangan di DPR).
Dengan cara ini seorang partisipan dapat menghentikan atau mengotrol
konstirbusi partisipan lain. (2) penegasan, hal ini terjadi jika seorang meminta
orang lain untuk memperjelas tuturannya. Cara ini dapat digunakan oleh
partisipan yang kurang berkuasa dalam menghadapi kekuasaan. Cara lain adalah
dengan diam; (3) pengotrol topik, hal ini terjadi jika seorang penutur
menggunakan cara tertentu untuk mengarahkan jawaban penutur lain. Seringkali
partisipan yang lebih berkuasa akan menentukan topik pembicaraan; dan (4)
formulasi, piranti ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu perumusan kembali:
merumuskan kembali apa yang sudah dikatakan; dan perumusan merumusakan
apa yang mungkin dianggap kelanjutan dari apa yang sudah dikatakan. Formulasi
ini bertujuan untuk mengecek pemahaman, mengontrol cara pemahaman, dan
membatasi pilihan partisipan.

Persoalan kedua dalam struktur teks adalah pengurutan teks. Aspek ini
berkaitan erat dengan pengurutan elemen yang harus disajikan dalam sebuah teks,
jika urutan-urutan elemen itu memang dapat diramalkan. Misalnya laporan
kecelakaan akan melibatkan urutan elemen : apa yang terjadi, siapa yang
mengalami, apa penyebabnya, apa yang sudah dilakukan. Namun, belum tentu
elemen yang diharapkan pembaca akan muncul. Secara ringkas struktur teks dapat
digambarkan sebagai berikut :

Struktur Teks

Penataan Teks
Konvensi Interaksional

Penataan dan
Penguruan
Elemen Teks

Pengontrolan
Sistem Gilir-Tutur
Antarpartisipan

Interupsi,
Penegasan,
Pengontrol Topik
Formulasi
Dari jabaran unsur-unusur analisis deskripsi di atas kita dapat mengajukan
pertanyaan inti yang berkaitan dengan kosakata, gramatika, dan struktur teks
(Fairclough, 2003). Pertanyaan aspek kosakata terdiri atas empat pertanyaan
utama. Berikut ini adalah keempat pertanyaan utama itu :
1. nilai-nilai pengalaman apa yang terkandung dalam kata-kata:
a. pengelompokkan apakah yang tergambar dalam kata-kata?
b. Adakah kata-kata yang secara ideologis tidak pantas atau tidak sesuai
c. Adakah penyusunan kata kembali atau kelebihan penyusunan kata
d. Hubungan makna secara ideologis apakan yang ada dalam kata-kata?

2. Nilai-nilai relasional apakah yang termuat dalam kata-kata?


a. Adakah ungkapan-umgkapan eufemisme?
b. Adakah kata-kata formal dan informal dalam kata-kata?

3. Nilai-nilai ekspresif apakah yang terkandung dalam kata-kata?


4. Metafor-metafor apa yang digunakan?
Pertanyaan aspek gramatika terdiri atas empat pertanyaan utama.
1. Nilai-nilai pengalaman apa yang terkandung pada aspek-aspek gramatikal ?
2. Nilai-nilai relasional apa yang terdapat pada aspek gramatikal
a. Model-model (deklaratif, imperatif, introgratif) apakah yang digunakan?
b. Adakah aspek-aspek penting modalitas relasional?
c. Apakah digunakan kata ganti kita atau anda, kalau ada bagaimana?
3. Nilai-nilai ekpsresif apa yang ada pada aspek gramatikal?
4. Bagaimana kalimat-kalimat saling berkaitan?
a. kata penghubung logis apa yang digunakan ?
b. Apakah kalimat kompleks ditandai dengan koordinasi atau subordinasi ?

Pertanyaan pada aspek struktur tekstual mencakup dua pertanyaan.


1. kaidah-kaidah interaksional apa yang digunakan?
2. Adakah cara-cara seorang partisipan mengendalikan gilir tutur dengan
partispan lainnya?
3. Struktur berskala besar apakah yang dimiliki teks

b) Dimensi Praksis Wacana


Dimensi praksis wacana yang berada pada level interpretasi atau
penafsiran digunakan untuk menguak hubungan antara produksi dan interpretasi
proses-proses diskursif. Pertanyaan pokok pada tahap analisis ini adalah
bagaimana berbagai sumber yang tersedia yang membangun urutan wacana
digunakan oleh penghasildan penafsir teks bahasa (Fairloch, 1995). Pada tahap
interpretasi teks ada empat level (1) bentuk lahir tuturan, (2) makna ujaran, (3)
koherensi lokal, (4) struktur teks serta poin. Dalam tahap interpretasi konteks, ada
dua level interpretasi, yaitu (1) konteks situasional, (2) konteks antartekstual.
Dalam kaitan dengan tahap interpretasi konteks, ada tiga hal yang menjadi fokus
kajian dan interpretasi konteks, yaitu (1) hubungan konteks situasi dengan tipe
wacana, (2) hubungan konteks antartektuas dengan presuposisi, dan (3) tindak
ujaran (Santoso, 2003)
c) Dimensi Sosiokultural
Berbagai dimensi sosiokultural yang mencakup kepercayaan, kebudayaan,
ideologi menjadi dasar dalam membuat suatu eksplanasi. Tahap eksplanasi atau
penjelasan bertujuan untuk memotret wacan sebagai bagian proses sosial, sebagai
praksis sosial yang menunjukkan bagaimana wacana itu ditentukan oleh struktur
sosial dan reproduksi apa saja yang mempengaruhi wacana. Dalam konteks ini
struktur sosial adalah fokus hubungan kekuasaan. Dalam tahap eksplanasi
memiliki dua dimensi, yaitu (1) proses perebutan yang berkaitan dengan wacana
sebagai bagian perebutan sosial, perebutan nonkewacanaan yang lebih luas dan
pengaruh perebutan dalam struktur hubungan kekuasaan, (2) struktur hubungan
kekuasaan yang berkaitan dengan penjelasan kita atas penunjukkan hubungan
kekuasaan dalam menentukan wacana.
5. Contoh Analisis Judul Berita
Analisis wacana kritis mencakup tiga level, yaitu analisis deskripsi,
interpretasi, dan eksplanasi. Ketiganya dilakukan secara simultan. Namun untuk
dapat sampai pada tahapan interpretasi dan eksplanasi harus terlebih dahulu
dilakukan analisis deskripsi, yang mencakup analisis kosakata, gramatikal, dan
struktur teks. Analisis berikut ini didasarkan pada judul-judul yang termuat di
media masa dan media elektronik yang berkaitan dengan peristiwa penyerbuan
kapal aktivis kemanusiaan oleh tentara Israel.

REPUBLIKA TV ONE METRO TV


Israel Israel Israel bakal
Menyerobot Menggiring Menjegal MV
Kapal Rachel Kapal Rachel Rachel Corrie
Corrie
Israel kembali Rachel Corrie Kapal Rachel
tahan kapal Telah Dicegat Corrie dicegat
bantuan Israel di Lepas Tentara Israel
Pantai Gaza
Dari tabel di atas ada beberapa kata yang ingin dimunculkan sebagai wakil dua
kelompok yang berbeda, yaitu kata Rachel Corrie yang mewakili kelompok
kemanusiaan dan kata Israel yang dicirikan dengan kata serobot, tahan, menjegal,
menggiring, dicegat. Kata Rachek Corrie merupakan nama kapal yang dimabil
dari nama seorang gadis yang dibunuh oleh Israel ketika ikut mempertahankan
rumah warga Palestina yang akan dibongkar oleh Israel. Sejak itu nama itu
menjadi simbol gerakan kemanusiaan. Dengan kata lian ketiga media itu ingin
menujukkan bahwa mereka sangat penduli dengan tragedi kemanusiaan yang
terjadi di Gaza. Mereka secara langsung juga menunjukkan ketidaksetujuaannya
dengan tindakan Israel bahkan cenderung berseberangan dengan paham yang
dianut Israel. Pilihan kata verba yang menyatakan tindakan seperti serobot, tahan
(emenahan), menjegal, menggiring, cegat (mencegat) merupakan kata
berkatageori verba yang secara sementik memiliki makna tindakan yang kurang
baik atau kasar. Katakata itu sengaja dipilih untuk menujukkan rasa kesal
sekaligus menunjukkan tindakan Israel yang kasar. secara semenatik memiliki
makna tindakan yang kurang baik atau kasar.

Dari sisi gramatika, ada pola yang hampir sama dari sisi ketansitifan, yaitu berupa
proses matrial melibatkan proses perbuatan (what did X do) dan kejadian (what
happened to X), dan partisipan yang terlibat dalam proses ini adalah aktor dan
goal. Dalam tabel itu kita dapatkan pola demikian.

Israel Menyerobot Kapal Rachel


Israel Menggiring Kapal Rachel Corrie
Israel Menjegal Mv Rachel Corrie
Part Proses matrial Part

Aktor Tindakan Goal

Dari analisis di atas dapat kita katakan bahwa ketiga kalimat di atas
merupakan kalimat aktif dengan proses matrial yang menginformasikan bahwa
ada yang melakukan tindakan, yaitu Israel, ada tindakan yang dilakukan, yatiu
menyerobot, menggiring, dan menjegal, dan ada yang menjadi sasaran, yaitu
Kapal Rachel Corrie. Data ini menujukkan adanya kesamaan pendapat ketiga
media informasi itu, yaitu mengakui bahwa Israel menganggap bantuan
kemanusia yang diusung oleh lembaga kemanusiaan merupakan musuh bagi Israel
sehingga perlu diserobot, digiring dan dijegal. Sementara dari sisi pembuat judul
di atas, pihak yang menjadi sasaran, yaitu Kapal Rachel Corrie adalah pihak yang
seharusnya dibela dan dilindingi. Penggunaan ketiga verba pada judul di atas,
menunjukkan kemarahan ketiga media terhadap tindakan Israel. Penggunaan
bentuk aktif dan pasif menyertakan aktor dan goal secara jelas. Pada bentuk aktif
ketiga media informasi itu ingin menojolkan adanya aksi yang berutal yang
dilakukan atas kapal Rachel Corrie, sedangkan bentuk pasif dipilih untuk
menonjolkan pihak Kapal Rachel Corrie sebagai pihak yang harus dilindungi,
diselamatkan dan dibela oleh semua pihak.

6. Analisis Wacana Kritis Berdasarkan Posisi Analisis


Wacana mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konteks sosial. Fairclough
(1989:22) menyebut wacana sebagai bentuk “praktik sosial” yang berhubungan
dengan adanya dialektika antara bahasa dan kondisi sosial. Wacana dan kondisi
sosial saling memperngaruhi satu sama lain. Fenomena linguistik bersifat sosial
yang terpengaruh oleh lingkungan sosialnya, sementara fenomena sosial juga
memiliki sifat linguistik karena aktivitas berbahasa dalam konteks sosial tidak
hanya menjadi wujud ekspresi atau refleksi dari proses dan praktik sosial, namun
juga merupakan bagian dari proses dan praktik sosial tersebut. Dalam analisis
wacana kritis, menurut Fairclough dan Wodak (dalam Van Dijk, 1997:258)
praktik wacana bisa menampilkan ideologi. Perbedaan dalam posisi yang ada
dalam wacana, sebagai contoh, dalam sebuah wacana keadaan yang rasis, seksis,
atau ketimpangan kehidupan sosial, digambarkan secara wajar/alamiah, dan sesuai
seperti pada kenyataannya. Contohnya kelas sosial, laki-laki dan perempuan,
kelompok mayoritas dan minoritas
Analisis wacana kritis melihat bagaimana bahasa digunakan untuk melihat
masalah kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis wacana kritis menyelidiki
dan berusaha mengejawatahkan bagaimana penggunaan bahasa oleh kelompok
sosial saling bertarung dan berusaha memenangkan pertarungan ideologi tersebut.
Berikut ini disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang
disarikan dari tulisan Van Dijk (1997), Fairclough (1989,1998), dan Fairclough &
Wodak (1997), dan Eriyanto (2001).
1. Tindakan
Karakter penting pertama dalam analisis wacana kritis yaitu wacana
dipahami sebagai tindakan. Dengan pemahaman ini, wacana disosialisasikan
sebagai bentuk interaksi. Ketika seseorang berbicara, maka dia menggunakan
bahasa untuk tujuan berinteraksi dengan orang lain melalui komunikasi bahasa
verbal. Dia berbicara bisa jadi untuk meminta atau memberi informasi, melarang
seseorang untuk tidak melakukan sesuatu, mempengaruhi orang lain agar
mengikuti jalan pikirannya, membujuk seseorang untuk menyetujui dan
melaksanakan apa yang menjadi keinginannya, dan sebagainya.
Ketika seseorang menulis, dia juga sedang berusaha berinteraksi dengan
orang lain melalui bahasa tulisan. Seseorang ketika membuat tulisan deskriptif,
dia menggambarkan sesuatu secara rinci dan lengkap dengan tujuan agar pembaca
dapat memiliki gambaran terhadap objek yang sedang dideskripsikan. Seorang
atasan menulis surat teguran kepada bawahannya dengan tujuan agar bawahannya
tidak mengulangi perbuatan atau kesalahan yang sama seperti yang sudah
dilakukan. Dari beberapa contoh tersebut dapat diketahui bahwa baik melalui
bahasa lisan maupun tulisan, ada pesan yang ingin disampaikan. Pesan tidak
hanya berlaku searah antara pembawa pesan dengan penerima pesan semata,
namun berlaku secara timbal balik dimana ada pesan dari si penerima pesan yang
kemudian menyampaikan pesan sehingga memposisikan dirinya menjadi
pembawa pesan.
Dengan pemahaman seperti di atas, maka analisis wacana kritis
memandang bahwa wacana memiliki beberapa konsekuensi. Konsekuensi
pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan; apakah untuk
mempengaruhi orang lain, mendebat, membujuk, menyanggah, memotivasi,
bereaksi, melarang, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu
yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali
atau diekspresikan di luar kesadaran.
2. Konteks
Memahami analisis wacana tidak hanya memahami bahasa sebagai
mekanisme internal dari linguistik semata, melainkan juga hendaknya melihat
unsur di luar bahasa. Guy Cook (dalam Sobur,2009:56) mengatakan bahwa
wacana meliputi teks dan konteks. Teks merupakan semua bentuk bahasa, bukan
hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi
komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks
merupakan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi
pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks
diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan lain sebagainya. Adapun wacana
disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks.
Bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi
tanpa partisipasi, interaksi, situasi, dan sebagainya. Berdasarkan konsep wacana
merupakan perwujudan teks dan konteks secara bersama-sama, maka dapat
disimpulkan bahwa wacana dapat dibentuk berdasarkan konteks tertentu. Menurut
Eriyanto (2001:8) wacana bisa ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus.
Dalam kondisi inilah, maka analisis wacana kritis menempatkan teks pada situasi
tertentu dan wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian,
tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan
berpengaruh atas produksi dan penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam
analisis.
Salah satu karakteristik yang sangat penting dari analisis wacana kritis
adalah pelibatan konteks dalam melihat penggunaan bahasa. Eriyanto (2001:8)
dan Badara (2012,29) berpendapat analisis wacana kritis mempertimbangkan
konteks wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini
diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut
mereka lebih lanjut bahwa analisis wacana juga memeriksa konteks dari
komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam
jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe
dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak.
Dalam hal konteks historis, pemahaman atas wacana hanya akan diperoleh
jika memperhitungkan konteks historis saat wacana itu diciptakan. Sementara
konteks kekuasaan menurut analisis wacana kritis menjadi kontrol atas produksi
wacana, dan ideologi menjadi penentu proses reproduksi wacana. Contoh menarik
mengenai konteks dalam analisis wacana kritis disuguhkan oleh Subagyo (2009),
yaitu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyidikan
rekaman pembicaraan telepon para tersangka (Urip Tri Gunawan, Artalita
Suryani, dll). Menurut Subagyo dengan pemahaman konteks dalam AWK, para
linguis dapat berperan mengurai makna atau maksud di balik percakapan yang
penuh fenomena suprasegmental itu. Jeda, intonasi, tekanan, juga nama panggilan
(term of address) dan nama acuan (term of reference) yang digunakan para
tersangka merupakan ungkapan polos yang mencuatkan apa makna atau maksud
sesungguhnya dari segala yang mereka katakan. Tugas para linguis adalah
membongkar dan menganalisis aneka gejala bahasa dalam bingkai peristiwa
sosial, politik, kebudayaan dan peradaban manusia yang nyata di sekitarnya.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konteks adalah
segala sesuatu di luar bahasa itu sendiri. Wacana harus dipahami dan ditafsirkan
dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya. Analisis wacana kritis
melibatkan konteks dalam lingkup latar, situasi, historis, kekuasaan, dan ideologi.
3. Historis
Aspek lain yang penting dalam analisis wacana kritis adalah aspek
historis. Ketika analisis wacana kritis menempatkan wacana dalam konteks sosial
tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat
dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya.
Analisis wacana kritis tidak hanya mencari tahu kapan tentang sesuatu hal
terjadi, namun menggunakannya untuk mengetahui lebih lanjut tentang mengapa
wacana tersebut dibangun. Aspek historis ini menjadi salah satu penuntun untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Eriyanto (2001:9) menyebut bahwa salah satu
aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks ialah dengan menempatkan
wacana tersebut dalam konteks historis tertentu. Eriyanto memberi contoh
melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa yang menentang Suharto.
Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat diperoleh apabila kita
dapat memberikan konteks historis di mana teks tersebut dibuat, misalnya: situasi
sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan
analisis diperlukan suatu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang
berkembang atau di kembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang di gunakan
seperti itu, dan seterusnya.
4. Kekuasaan
Konteks kekuasaan menjadi salah satu ciri pembeda utama antara analis
wacana dengan analisis wacana kritis. Menurut Eriyanto (2001:9) setiap wacana
yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang
sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk
pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan
antara wacana dan masyarakat, misalnya: kekuasaan laki-laki dalam wacana
mengenai seksisme, kekuasaan kaum kulit putih atas kulit hitam, atau kekuasaan
perusahaan yang berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan
sebagainya.
Pemakai bahasa bukan hanya pembicara, penulis, pendengar, atau
pembaca, namun ia juga bagian dari anggota kategori sosial tertentu, bagian dari
kelompok profesional, agama, komunitas atau masyarakat tertentu. Fakta di atas
mendorong analisis wacana kritis untuk tidak membatasi diri pada detail teks atau
struktur wacana saja, tetapi juga menghubungkannya dengan kekuatan dan
kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya tertentu.
Dalam konteks kelas, percakapan antara guru dan murid juga hampir
selalu didominasi oleh guru yang mengimplikasikan adanya unsur kekuasaan
yang dipraktekkan di ruang kelas. Percakapan guru dan murid, bukanlah
percakapan yang alamiah, karena disitu terdapat dominasi kekuasaan guru dan
murid. Aspek kekuasaan tersebut perlu dikritisi untuk mengamati hal-hal yang
tersembunyi; bisa jadi murid menjawab karena takut kepada gurunya. Wacana
memandang kekuasaan ialah sebagai suatu kontrol. Eriyanto (2001:12) dan
Badara (2012:31) berpendapat bahwa seseorang atau suatu kelompok tertentu
mengontrol orang lain atau kelompok lain melalui wacana. Kontrol dalam konteks
ini tidak selalu harus dalam bentuk fisik secara langsung, namun juga kontrol
yang dilakukan secara mental atau praktis.
Kelompok yang dominan mungkin membuat kelompok lain bertindak
sesuai dengan apa yang diinginkannya. Kontrol ini bisa terjadi karena menurut
Van Dijk (dalam Eriyanto,2001:12) mereka lebih memiliki akses dibandingkan
dengan kelompok yang tidak dominan. Kelompok dominan lebih mempunyai
akses seperti pengetahuan dan pendidikan dibandingkan dengan kelompok yang
tidak dominan. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat bermacam-macam,
dapat berupa kontrol atas konteks yang secara mudah dapat dilihat dari siapakah
yang boleh dan harus berbicara, sementara siapa pula yang hanya bisa mendengar
dan mengiyakan.
5. Ideologi
Ideologi merupakan kajian sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini
menurut Eriyanto (2001:13) karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk
dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Teoriteori klasik
menyatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan
tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Wacana dalam
pendekatan semacam itu dipandang sebagai medium oleh kelompok yang
dominan untuk mempengaruhi dan mengomunikasikan kepada khalayak
kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga kekuasaan dan dominasi
tersebut tampak sah dan benar.
Menurut Badara (2012:31) ideologi memiliki dua pengertian yang bertolak
belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia
(worldview) yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan
memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Adapun secara negatif, ideologi
dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan
penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas
sosial. Van Dijk (1991:118) menyatakan apabila kognisi sosial dalam kelompok
sosial kegiatan sosial yang seharusnya berbeda, namun ternyata memiliki
kesamaan, maka hal itu sudah ada dalam kerangka fundamental yang sama, yaitu
ideologi. Ideologi berbentuk norma dasar, nilai, dan prinsip-prinsip lain
digerakkan oleh realisasi minat dan tujuan dari sebuah kelompok, melalui
reproduksi dan usaha legitimasi kekuasaannya.
Dalam perspektif seperti itu, beberapa implikasi yang berkaitan dengan
ideologi seperti yang dijelaskan berikut. Pertama, ideologi secara inheren bersifat
sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota
kelompok organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang di-share-
kan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan
kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Kedua, ideologi bersifat sosial, ia
digunakan secara internal di antara anggota kelompok. Oleh karena itu, ideologi
tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk
identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain. Ideologi di sini
bersifat umum, abstrak, dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok
menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat.
Dengan pandangan semacam itu, wacana tidak dipahami sebagai sesuatu
yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu
terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu,
analisis wacana tidak dapat menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus
melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada
tersebut berperan dalam membentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat
dianalisis apakah teks yang muncul tersebut merupakan pencerminan dari ideologi
seseorang, apakah dia feminis, anti feminis, kapitalis, sosialis dan sebagainya.
Analisis wacana kritis berusaha menyingkap ideologi berdasarkan strategi
penggambaran positif terhadap diri sendiri (positive self-representation) dan
penggambaran negatif terhadap pihak lain (negative other-representation). Ada
beberapa pendekatan analisis wacana kritis yang disampaikan para ahli, antara
lain sebagai berikut:
1. AWK Norman Fairclough (Dialectical-Relational Approach / DRA)
Norman Fairclough melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai
praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan
hubungan yang saling berkaitan antara struktur sosial dan proses produksi
wacana. Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari
konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks diperlukan penelusuran
atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang
mempengaruhi pembuatan teks.
Fairclough (1989:22-23) berpendapat ada dialektik antara sosial dan
wacana. Wacana mempengaruhi tatanan sosial, demikian juga tatanan sosial
mempengaruhi wacana. Pertama, wacana membentuk dan dibentuk oleh
masyarakat. Kedua, wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan
beserta objek-objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial. Ketiga, wacana
dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi. Keempat,
pembentukan wacana menandai adanya tarik ulur kekuasaan. Dengan demikian,
model analisis wacana yang dikembangkan oleh Fairclough disebut dengan
Pendekatan Relasi Dialektik (Dialectical-Relational Approach / DRA) atau biasa
juga disebut dengan pendekatan perubahan sosial.
Konsep yang dibentuk oleh Fairclough (1989 dan 1995) menitikberatkan
pada tiga level. Pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para
pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri
selaku personal, sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media
lainnya, pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis
berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya
menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu
kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan
identitas) yang juga mempengaruhi institusi media dan wacananya. Pembahasan
praktik sosial budaya meliputi tiga level, yaitu: level situasional, institusional, dan
sosial. Level situasional berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya. Level
institusional berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal.
Level sosial berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik,
sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.
2. AWK Teun A. Van Dijk (Socio-cognitive Approach / SCA)
Model van Dijk ini sering disebut sebagai ”kognisi sosial”. Menurutnya
penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata,
karena teks hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
Dalam hal ini harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh
suatu pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Model van Dijk lebih
menekankan pada kognisi sosial individu yang memproduksi teks tersebut.
Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial. Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke
dalam suatu kesatuan analisis. Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur
teks dan strategi wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi
sosial mempelajari proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individu
dari wartawan. Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Dalam kerangka analisis wacana kritis model Van Dijk, struktur wacana
tersusun atas tiga bangunan struktur yang membentuk satu kesatuan. Masing-
masing adalah struktur makro, super struktur, dan struktur mikro (macro structure,
superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada makna
keseluruhan (global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang
diangkat oleh suatu wacana. Super-struktur menunjuk pada kerangka suatu
wacana atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai
dari pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan
diakhiri dengan penutup.
Van Dijk (1985) dalam tulisannya berjudul Structures of news in the press,
menyimpulkan bahwa bangunan wacana harus mempertimbangkan aspek makna
global (global meaning) yang ditunjukkan lewat analisis struktur makro dan super
struktur yang posisinya jauh di atas analisis kata dan kalimat, meskipun analisis
struktur mikro juga patut diperhitungkan. Selain struktur makro dan super struktur
di atas, Van Dijk juga melihat struktur mikro ketika melihat wacana. Struktur
mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana dapat digali
dari aspek semantik, sintaksis, stilistika, dan retorika.
Aspek semantik suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud pra-
anggapan, serta nominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan dengan
bagaimana frasa dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup
bentuk kalimat, koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Aspek stilistika
suatu wacana berkenaan dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh
pelaku wacana. Dalam kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan dalam suatu
kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis. Aspek retorika
suatu wacana menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana
untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini
mencakup penampilan grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang
digunakan. Dengan menganalisis keseluruhan komponen struktural wacana, dapat
diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teori, pernyataan ini didasarkan
pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu kenyataan akan
menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan.
3. AWK Ruth Wodak (Discourse-Historical Approaches / DHA)
Wodak dan Martin Reisigl (2001) dengan dipengaruhi oleh pemikiran dari
sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas, mengembangkan analisis dengan
melihat faktor historis dalam suatu wacana. Penelitiannya terutama ditujukan
untuk meneliti seksisme, antisemit, dan rasialisme dalam media dan masyarakat.
Analisis wacana yang dikembangkan disebut wacana historis karena menurut
mereka, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah bagaimana wacana
suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Dalam artikel berjudul “The Discourse-Historical Approach”, dimuat di
Wodak and Meyer (2001:63-94), Wodak memaparkan prosedur analisisnya.
Rumusan prosedur analisis wacana kritis model Wodak (DHA) dilakukan secara
tiga dimensi: setelah (1) menentukan konten atau topik yang spesifik dari sebuah
wacana yang spesifik, (2) menelaah/ menginvestigasi strategi-strategi diskursif
(termasuk strategi argumentasi). Lalu (3), menganalisis realisasi makna-makna
kebahasaan yang tertulis dan spesifik, juga makna-makna kebahasaan dalam
konteks tertentu.
Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 72-73) mengajukan beberapa
elemen dan strategi diskursif yang harus mendapatkan perhatian, yang dirangkum
menjadi lima (5) pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana nama orang dan secara linguistik mengacu kepada siapa?
2. Apa sifat, karakter, kualitas, dan bentuk penggambaran kepada mereka?
3. Dengan argumen dan argumentasi seperti apa orang atau sekelompok
orang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?
4. Dari perspektif mana pelabelan, penggambaran, dan argumentasi
disampaikan?
5. Apakah pengungkapan disampaikan secara jelas, apakah diintensifkan,
atau apakah malah dikurangi?
Dari pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak tertarik dengan 5 tipe/jenis
strategi diskursif, yang semuanya masuk ke dalam menghadirkan citra diri sendiri
yang positif dan orang lain yang negatif. Konstruksi diskursif dari “SAYA” dan
“MEREKA” adalah landasan dasar wacana identitas dan perbedaan. “Strategi”
tersebut digunakan untuk meraih tujuan wacana bidang sosial, politik, psikologi,
atau kebahasaan. Ketika strategi diskursif tersebut disampaikan dengan
penggunaan bahasa, Wodak memetakannya ke dalam level organisasi linguistik
dan kompleksitas yang berbeda. Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 69)
menyebutkan analisis linguistik yang harus dilakukan dalam analisis wacana yang
dikembangkannya meliputi 4 area; perspektivasi, strategi representasi diri, strategi
argumentasi, dan strategi mitigasi. Dengan demikian akan diketahui
pengembangan wacana yang dilakukan dalam bidang seksisme, antisemit, ataupun
rasisme.
4. AWK Sara Mills (Feminist Stylistics Approach / FSA)
Model analisis wacana Mills menekankan pada bagaimana wanita
ditampilkan dalam teks. Mills melihat bahwa selama ini wanita selalu di posisikan
dalam teks dan selalu berada dalam posisi yang salah. Pada teks, mereka tidak
diberikan kesempatan untuk membela diri. Oleh karena itu, model wacana ini
sering disebut sebagai analisis wacana perspektif feminis. Sara Mill menyebut
analisisnya dengan Feminist Stylistics. Sara Mills (1995:13) mengatakan Feminist
Stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional
menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik gender ke daftar
elemen yang dianalisa, namun menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru
dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam
analisis bahasa, tidak lagi bahwa bahasa itu sekedar ada, atau memang harus ada
dan dimunculkan.
Sara Mills mengembangkan analisis untuk melihat bagaimana posisi-
posisi aktor ditampilkan dalam teks. Dalam arti siapa yang menjadi subjek
penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan. Dengan demikian akan
didapatkan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam
teks secara keseluruhan. Sara Mills juga melihat bagaimana pembaca dan penulis
diperlakukan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi dan
menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan
menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks
itu ditampilkan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang
ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi
terlegitimasi dan pihak lain menjadi tak terlegitimasi.
Menurut Sara Mills konsep posisi pembaca yang ditempatkan dalam berita
dibentuk oleh penulis tidak secara langsung, namun sebaliknya. Ini terjadi melalui
penyapaan dalam dua cara. Pertama, suatu teks memunculkan wacana secara
bertingkat dengan mengetengahkan kebenaran secara hirarkis dan sistematis,
sehingga pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan karakter atau apa yang
terjadi di dalam teks (Eriyanto, 2001). Kedua, kode budaya. Ini mengacu pada
kode atau nilai budaya yang berlaku di benak pembaca ketika menafsirkan suatu
teks. Penulis menggunakan kondisi ini ketika menulis. Untuk melakukan analisis
wacana, Sara Mills (1995:62-156) membagi ke dalam tiga level analisis, yaitu:
a) Analisis pada Level Kata
 Seksisme dalam Bahasa
 Seksisme dan Maknanya
b) Analisis pada Level Frasa/Kalimat
 Penamaan
 Pelecehan pada wanita
 Belas kasihan / pengkerdilan
 Penghalusan / tabu
c) Analisis Pada Level Wacana
 Karakter/peran
 Fragmentasi
 Fokalisasi
 Skemata

Sara Mills (1995:157) mengatakan Feminist Stylistics memberikan jalan


bagi mereka yang peduli dengan representasi hubungan gender, yang mana para
ahli bahasa dapat mengembangkan sendiri satu set alat yang dapat mengekspos
cara kerja gender pada berbagai tingkat yang berbeda dalam teks. Karena sifat
analisis feminis diperlukan untuk melihat batas-batas teks itu sendiri secara jelas,
dengan alasan bahwa teks disusupi oleh wacana dan ideologi, dan bahwa
perbedaan antara tekstual dan extratextual jangan selalu dianggap ada. Teks
diserang oleh normanorma sosial budaya, oleh ideologi, oleh sejarah, oleh
kekuatan ekonomi, oleh gender, rasisme, dan sebagainya. Bukan berarti penulis
tidak memiliki kontrol apapun tentang apa yang mereka tulis, tetapi penulis
sendiri juga tunduk pada interpelasi dan interaksi dengan kekuatan-kekuatan
diskursif.
Dibawah ini adalah contoh analisis kajian wacana kritis pada ideologi.
Karena wacana sangat kompleks, dan karena struktur ideologis dapat dinyatakan
dalam berbagai cara, sangat berguna untuk memiliki metode praktis ‘heuristic’
untuk menemukan ideologi dalam teks dan pembicaraan. Dengan kata lain,
wacana memiliki banyak cara dalam menekankan/menentukan arti dan setelah
memiliki ideologi dasar, kita dapat menganalisis ekspresi ideologi pada tingkat
banyak wacana, seperti :
1. Arti. Konten ideologis yang paling langsung disajikan dalam wacana
adalah makna.  Karena arti kata-kata, kalimat dan wacana
seluruhnya  luar biasa kompleks. Makna biasanya tersirat dalam
topik, tingkat deskripsi ; tingkat detail, implikasi dan pengandaian,
koherensi lokal, sinonim dan parafrase, kontras, contoh dan ilustrasi
serta penyangkalan.
2. Struktur proposisional. Makna wacana diungkapkan dalam bentuk
proposisi. Satu kalimat menyatakan satu atau lebih proposisi yang
mungkin benar atau salah. Struktur proposisional wacana ideologi
meliputi : aktor, modalitas, Bukti, perlindungan dan ketidakjelasan
nilai, topik baik dalam mendefinisikan teks rasis maupun anti-rasis.
3. Struktur Formal.  Secara tidak langsung ideologi yang mendasari
suatu wacana dapat mempengaruhi struktur formal teks dan
pembicaraan : bentuk klausa atau kalimat, bentuk argumen, urutan
sebuah berita, ukuran informasi utama dan seterusnya.
4. Struktur kalimat. Dengan menggunakan kalimat yang berbeda
bentuk, urutan kata-kata memiliki implikasi ideologis.
5. Bentuk wacana. Secara umum, seperti dalam kalimat, informasi 
yang diungkapkan pada awal teks sehingga menerima penekanan
ekstra: itu harus dibaca secara keseluruhan terlebih dahulu agar
memiliki kontrol yang lebih atas interpretasi dari sisa teks dari
informasi yang dinyatakan di akhir teks.
6. Argumentasi.  Dalam wacana argumentatif setiap peserta mencoba
untuk membuat sudut pandangnya lebih dapat diterima, dengan
merumuskan ‘argumen’ yang konon untuk mempertahankan sudut
pandang yang dipilih.
7. Retorika. Biasanya  struktur digambarkan dalam bentuk retorika
klasik dalam hal gaya bahasa seperti aliterasi, metafora, simile, ironi,
litotes dan eufemisme. Contoh, wacana rasis akan menampilkan
banyak eufemisme ketika mengacu pada ketimpangan etnis, rasisme
atau diskriminasi.
8. Aksi dan interaksi.  Salah satu komponen penentu sebuah wacana
adalah aksi dan interaksi. Wacana yang diucapkan dalam situasi
tertentu mungkin menyelesaikan tindak tutur dari pernyataan,
tuduhan janji pertanyaan, atau ancaman.

Ideologi merupakan konsep sentral dalam AWK, misalnya wacana sastra


adalah bentuk ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Ideologi ini
dikontruksikan oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi
dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strateginya adalah membuat
kesadaran khalayak, bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted.
Ideologi dalam hal ini secara inheren bersifat sosial dan AWK melihat wacana
sebagai bentuk dari praktik sosial.
Studi kritis terhadap bahasa menyoroti bagaimana konvensi dan praktik
berbahasa terkait dengan hubungan kekuasaan dan proses ideologis yang sering
tidak disadari oleh masyarakat. Beberapa pokok pikiran tentang studi kritis
terhadap bahasa adalah:
a) Wacana dibentuk oleh masyarakat
b) Wacana membantu membentuk dan mengubah pengetahuan serta objek-
objeknya, hubungan sosial, dan identitas sosial
c) Wacana dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan terkait dengan ideologi
d) Pembentukan wacana menandai adanya tarik-ulur kekuasaan (power
struggles)
e) Wacana mengkaji bagaimana masyarakat dan wacana saling membentuk
satu sama lain

7. Analisis Wacana Kritis: Tekstual Dan Kontekstual

Menurut Sumarlam dkk dalam bukunya yang berjudul Analisis


Wacana, jenis-jenis analisis wacana ada dua yaitu :
a. Analisis Wacana Tekstual yaitu analisis yang memandang bahwa sebuah
wacana terdiri atas bentuk dan makna, maka hubungan antarbagian wacana
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut
kohesi dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut
koherensi.
Teks dapat dipahami sebagai suatu rangkaian pernyataan bahasa
secara terstruktur. Lirik lagu merupakan sebuah teks karena di dalam lagu
tersebut terdapat rangkaian pernyataan bahasa, secara konkret berupa
untaian kata-kata dan baris-baris kalimat yang disusun oleh pencipta lgu
tersebut. Dengan demikian yang dimaksud dengan analisis tekstual adalah
analisis wacana yang bertumpu secara internal pada teks yang dikaji, yaitu
berupa lirik lagu tersebut (Sumarlam, 2004 : 87).

Analisis tekstual lirik lagu meliputi analisis aspek gramatikal dan


aspek leksikal. Analisis aspek gramatikal terdiri dari :

a. Pengacuan (referensi)

Pengacuan atau referensi merupakan salah satu jenis kohesi


gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan
lingual lain (atau suatu referen) yang mendahului atau mengikutinya.
Jenis-jenis pengacuan antara lain persona, demonstratif, dan komparatif.
Pengacuan demonstratif meliputi pengacuan demonstratif waktu
(temporal) dan pengacuan demonstratif tempat (lokasional).

b. Penyulihan (Substitusi)

Penyulihan atau substitusi merupakan salah satu jenis kohesi


gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah
disebutkan) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk
memperoleh unsur pembeda. Substitusi semacam itu dalam wacana
(lirik lagu) dapat berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk,
artinya antara unsur terganti dengan unsur penggantinya berbeda bentuk
satuan lingualnya tetapi tetap mengacu pada referen yang sama; dan
karena bentuknya berbeda maka substitusi juga berfungsi untuk (2)
menciptakan dinamisasi narasi dan (3) menghilangkan kemonotonan.

c. Pelesapan (Elipsis)

Pelesapan atau elipsis merupakan penghilangan satuan lingual


tertentu, sering terdapat dalam lirik lagu. Pelesapan dalam lirik lagu
tentu bukan tanpa tujuan. Dalam hal ini, pencipta melakukan pelesapan
beberapa unsur dalam lirik lagu itu dengan tujuan untuk menghasilkan
kalimat (baris lagu) yang efektif; atau dengan kata lain demi efektivitas
kalimat maka pelesapan itu dilakukan. Dengan kalimat yang efektif
maka akan terjadi efisiensi dalam pemakaian bahasa pada lagu, artinya
dengan kata-kata yang terbatas namun dapat mengungkapkan makna
dan maksud yang diinginkan.

Kepaduan wacana lirik lagu selain didukung oleh aspek gramatikal


atau kohesi gramatikal juga didukung oleh aspek leksikal atau kohesi
leksikal. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam
macam, yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi ( padan kata), kolokasi
(sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata,
oposisi kata), dan ekuivalensi ( kesepadanan bentuk). Dari keenam
piranti kohesi leksikal itu, tentu tidak semuanya dimanfaatkan oleh
pencipta lagu dalam lagu ciptaannya.

b. Analisis Wacana Kontekstual yaitu analisis wacana yang mengkaji tentang


aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal
melingkupi sebuah wacana.
Analisis kontekstual adalah analisis wacana dengan bertumpu pada
teks yang dikaji berdasarkan konteks eksternal yang melingkupinya, baik
konteks situasi maupun konteks kultural. Pemahaman konteks situasi dan
konteks kultural dalam wacana dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi.
Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah :

 Prinsip penafsiran personal


Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa yang
menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa
penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah
tuturan. Halliday dan Hasan (dalam Sumarlam, 2004: 98)
menyebut penutur dan mitra tutur atau partisipan dengan istilah
“pelibat wacana”. Pelibat wacana biasanya menunjuk pada orang-
orang yang berperan dalam wacana, kedudukannya, jenis
hubungan perannya, ciri fisik dan non-fisik, serta emosi penutur
dan mitra tutur.
 Prinsip penafsiran lokasional
Prinsip ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi
terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam
rangka memahami wacana.
 Prinsip penafsiran temporal
Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman
mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya dapat menafsirkan
kapan atau berapa lama waktu terjadinya situasi (peristiwa,
keadaan, proses).
 Prinsip analogi
Pemahaman wacana lirik lagu melalui berbagai prinsip
penafsiran dan analogi tentu saja perlu mempertimbangkan faktor-
faktor penting yang melatarbelakangi terciptanya lagu tersebut,
baik faktor sosial, situasional, kultural, maupun faktor pengetahuan
tentang dunia (knowledge of world).

C. Kesimpulan
Analisis wacana kritis (AWK) merupakan pendekatan yang relatif baru dalam
mengupas wacana sebagai praksis sosial. Dalam membedah wacana, penafsir
tidak boleh lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan wacana,
yaitu budaya, politik, ideologi, intiutusi, dan semua faktor sosoial yang
melingkupinya. Dalam melakukan interpretasi wacana, seorang interperatan harus
secara simultan melibatkan tiga dimensi, yaitu dimensi teks, dimensi praksis
kewacanaan, dan dimensi praksis sosiokultural. Ketiga dimenasi itu terjabar dalam
tiga tahap analisis, yaitu tahap deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi.
Posisi analisis pada analisis kajian wacana dapat di lihat dari 5 karakteristik
yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi. Berdasarkan
pendekatan-pendekatan analisis kajian wacana kritis pada setiap ahli mempunyai
perbedaan dan kesamaan, hal ini tergantung dari penganalisis memakai salah satu
model pendekatan para ahli untuk AWK.
Fairclough menghasilkan kerangka kerja tiga dimensi dalam memahami dan
menganalisis wacana, yaitu dimensi wacana sebagai teks, wacana sebagai praktik
diskursif, dan wacana sebagai praktik sosial dengan memanfaatkan semiotik-
sosial yang dilancarkan oleh Halliday. Wodak mengajukan ancangan historis-
wacana, yang selalu mengintegrasikan analisis konteks historis ke dalam
penafsiran atas wacanaSementara Sara Mills menekankan pada bagaimana wanita
yang selalu dimarjinalkan ditampilkan dalam teks.
Menurut Sumarlam dkk dalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana, jenis-
jenis analisis wacana ada dua yaitu analisis wacana tekstual dan kontekstual. Pada
analisis wacana tekstual terdapat tiga aspek analisis yaitu Pengacuan (referensi),
Penyulihan (Substitusi) dan Pelesapan (Elipsis). Sedangkan pada analisis wacana
kontekstual terdapat prinsip penafsiran dan prinsip analogi, yaitu Prinsip
penafsiran personal, Prinsip penafsiran lokasional, Prinsip penafsiran temporal
dan prinsip analogi.
Daftar Pustaka

Darma, Y.C. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.


Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. LkiS.
Yogyakarta
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York : Longman
Group.UK Limited.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study
of language. Harlow-Essex: Longman Group Limited
Fauzan, Umar. 2014. Analisis wacana kritis dari model Faiclough hingga
Mills. STAIN Samarinda
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde baru. Jakarta:Wedamata
Widya Sastra
Sinar, Tengku Silvana. 2002. An Introduction to A Systemic Fuctional
Linguistic-Oriented Discourse Analysis. Singapore: Deezed Cousult
Stubbs, Michael. 1983. Discouse Analysis : The Sociolinguistic Analysis of
Natural Language. New York : Basil Blackwell
Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta :
Pustaka Cakra.
Sutjaja, I Gusti Made. 1990. “Perkembangan Teori M.A.K. Halliday” dalam
PELBA 3. Jakarta Unika Atma Jaya.

Anda mungkin juga menyukai