Anda di halaman 1dari 17

Linguistik adalah bidang ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiah.

Kajian
tentang bahasa sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno dengan
mempertanyakan apa itu bahasa dan apa hakikat bahasa. Seiring
perkembangan zaman, pada abad 19 sudut pandang kajiannya adalah
mengkaji asal bahasa sedangkan mulai abad 20, kajian linguistik muncul
sebagai kajian ilmu yang ilmiah dan mandiri dengan tokohnya De
Saussure yang memperkenalkan tiga istilah penting yaitu Langue, Parole
dan Langage.

Berdasarkan sifat kajiannya, ilmu linguistik meliputi kajian linguistik mikro


dan linguistik makro. Linguistik mikro mengarahkan kajiannya pada
struktur internal suatu bahasa tertentu atau struktur internal suatu
bahasa pada umumnya. Morfologi dan sintaksis dalam peristilahan tata
bahasa tradisional biasanya berada dalam satu bidang yaitu gramatika
atau tata bahasa. Semantik menyelidiki makna bahasa baik yang bersifat
leksikal, gramatikal, maupun kontekstual. Studi linguistik mikro ini
sesungguhnya merupakan studi dasar linguistik sebab yang dipelajari
adalah struktur internal bahasa itu.

Sedangkan linguistik makro, yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya


dengan faktor-faktor di luar bahasa.Kajian linguistik makro ini telah
berkembang karena fakta bahwa bahasa tidak dapat muncul dengan
sendirinya melainkan ada banyak faktor-faktor lain yang
memengaruhinya Subdisiplin linguistik makro bisa bersifat teoretis
maupun bersifat terapan salah satunya adalah ilmu sosiolinguistik. Ilmu
Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara sosiologi dan
linguistic yang mengkaji penggunaan bahasa dalam masyarakat
khususnya perbedaan-perbedaan variasi yang terdapat dalam bahasa
yang berkaitan dengan kemasyarakatan atau sosial.

Semua kajian disiplin ilmu linguistik baik mikro maupun makro memiliki
hakikat ilmu yang membedakan antara satu kajian dengan kajian lainnya.
Untuk menemukan sebuah hakikat suatu ilmu, perlu adanya pendekatan.
Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah dengan tinjauan filsafat
ilmu. kajian filsafat ilmu yang berfokus dalam pencarian hakikat, landasan
teori, dan nilai suatu ilmu, yang dalam hal ini adalah ilmu sosiolinguistik.
Maka, dari paparan tersebut, makalah ini akan membahas tentang “Ilmu
Sosiolinguistik sebagai salah satu cabang ilmu linguistik dari sudut
pandang filsafat ilmu”

Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan pendahuluan diatas, ilmu sosiolinguistik yang dikaji
dari pandangan filsafat ilmu terdiri dari beberapa rumusan masalah
antara lain:

1. Apa hakikat filsafat ilmu?


2. Apa hakikat sosiolingistik?
3. Bagaimana sosiolinguistik berdasarkan tinjauan filsafat?

PEMBAHASAN

A. Hakikat Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)


yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-
ciri tertentu. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan
ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia.
[1]

Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada


strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan
sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan
atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia .[2] Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara
mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga
implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman.

Filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha
untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek
sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah
satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha
untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.[3]

1. ONTOLOGI ILMU

Ontologi, dalam bahasa Inggris ‘ontology’ berakar dari bahasa Yunani ‘on’
berarti ada, dan ‘ontos’ berarti keberadaan . sedangkan ‘logos’ bearti
pemikiran. Jadi, ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan
keberadaannya. Dalam metafisika, pada dasarnya dipersoalkan mengenai
substansi atau hakikat alam semesta. Apakah alam semesta ini
berhakikat monistik atau pluralistik, bersifat tetap atau berubah-ubah,
dan apakah alam semesta ini merupakan kesungguhan atau
kemungkinan. [4]

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.


Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang
objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek
tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan
pengetahuan? [5]
Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuan hanya
pada daerah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Objek penelaahan yang berada dalam batas pra pengalaman dan pasca
pengalaman diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya
merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan
yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas ontologi tertentu.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini
adalah konsisten dengan asas epistimologi keilmuan yang mensyaratkan
adanya verifikasi secara empiris dalam proses penemuan dan penyusunan
pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah.[6]

Dalam kaitannya dengan kaidah moral bahwa dalam menetapkan objek


penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang
bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan
mencampuri permasalahan kehidupan. Di samping itu, secara ontologi
ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam
menafsirkan hakikat realitas sebab ilmu merupakan upaya manusia untuk
mempelajari alam sebagaimana adanya.

2. EPISTIMOLOGI ILMU

Secara etimologis, ‘epistemologi’ berakar dari bahasa Yunani ‘episteme’


yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, dan ‘logos’ yang juga
berarti pengetahuan. Jadi, epistemologi berarti pengetahuan mengenai
pengetahuan yang sering disebut ‘ teori pengetahuan’. Persoalan sentral
epistemologi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan
bagaimana cara mengetahuinya.[7]

Landasan epistimologi ilmu tercermin secara operasional dalam metode


ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh
dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan

Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat


konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun.
Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut.
Melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji
kebenaran pernyataannya secara faktual [8]

Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional


dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam.Verifikasi
secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu pernyataan
hipotesis terhadap kenyataan faktual.Verifikasi ini berarti bahwa ilmu
terbuka untuk kebenaran lain selain yang terkandung dalam
hipotesis.Demikian juga verifikasi faktual membuka diri terhadap kritik
terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis.
Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru
mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus)
berdasarkan cara berpikir kritis.[9]

Dalam kaitannya dengan moral, dalam proses kegiatan keilmuan setiap


upaya ilmiah harus ditujukan untuk menentukan kebenaran, yang
dlakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan
langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi
secara individual. Jadi, ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai
kebenaran dan membenci kebohongan.

3. AKSIOLOGI ILMU

Istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau
sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori
niali, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari
nilai. Dalam pemikiran filsafat Yunani, studi mengenai nilai ini
mengedepan dalam pemikiran Plato mengenai idea tentang kebaikan,
atau yang lebih dikenal dengan Kebaikan tertinggi.[10]

Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara


umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan
antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah–kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural, yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional?[11]

Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk


kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai
sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia, dan
kelestarian atau keseimbangan alam.

Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh


dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti
ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap orang
berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti
bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi ras, ideologi, atau agama.

4. PENERAPAN ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI , DAN AKSIOLOGI ILMU

a. Ontologi

Ontologi memberikan efek pada pikiran manusia yaitu suatu realitas.


Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk
memudahkan pemahaman manusia, kenyataan dibedakan menjadi dua
yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia (kenyataan materi) dan
yang tidak bisa diukur oleh manusia (kenyataan non materi). Materi
adalah kenyataan yang bisa ditangkap oleh indera dan nonmateri adalah
kenyataan yang tidak bisa ditangkap oleh indera.

Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan
lain sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari
materi. Contoh dari realitas nosnmateri adalah akal, jiwa, dan pikiran.

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian


kebenaran pikiran yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah
pengetahuan sesuai dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka
pengetahuan tersebut bernilai salah. Dengan mengetahui hakikat apa
yang kita bahas maka kita dapat menghukumi bahasan kita dengan
hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas tentang kursi misalnya,
maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat kursi itu,
misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain
sebagainya.

b. Epistimologi

Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia


mendapatkan pengetahuan. Dalam epistemologi cara mendapatkan
pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan tidak ilmiah

Pengetahuan secara ilmiah diperoleh melalui dua hal yaitu secara rasional
dan empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara
mendapatkan pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Tetapi
pengetahuan secara empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan
sesuai dengan kenyataan empirik. Semua manusia dapat melakukan
kedua hal tersebut karena semua manusia memiliki potensi akal sekaligus
potensi inderawi.

Pengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah dapat terjadi dengan


berbagai cara seperti wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang
yang dipercaya. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak
dapat dipelajari oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah
untuk meyakinkan orang-orang yang tidak mengalami hal yang sama
dengan orang yang mempercayainya.

c. Aksiologi

Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Pengetahuan yang


didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan
kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun
sebuah ilmu. Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika
antara satu pilihan dengan pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif.

Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah


jika dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter
akan relative panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif
pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir,
maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu
sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai
benar atau salah.

Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan


tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu
pengetahuan dengan pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai
relatif.

B. HAKIKAT SOSIOLINGISTIK

1. Pengertian Sosiolingusitik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan


linguistik. Chaer dan Agustina (2010: 2) menjelaskan bahwa untuk
memahami sosiolingusitik perlu dipahami terlebih dahulu sosiologi dan
linguistik itu. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia di
dalam masyarakat, menyangkut di dalamnya mengenai proses interaksi
sosial manusia di dalam masyarakat. Sementara itu, linguistik adalah
bidang ilmu yang mempelajarai bahasa. Linguistik mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajarai
bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam masyarakat.

Terkait dengan definisi sosiolinguistik, Soemarsono (2012: 1)


mendefinisikan sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang
dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Beberapa pakar (melalui Chaer
dan Agustina (2010: 3) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai berikut.

1. Sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari


ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara para
bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu
masyarakat (Kridalaksana, 1978).
2. Pengkajian bahasa dengan dimensi kemasyarakatan disebut
sosiolinguistik (Nababan, 1984).
3. Sociolinguistics is the study of characteristics of languange
varieties, the characteristics of their functions, and the
characteristics of their speakers as these three constantly interact,
change, ang change one another within a speech comunity (J.A.
Fishman, 1972).
4. Sociolinguistics is developing subfield of linguistics which takes
speech variation as it’s focus, viewing variation or it social content.
Sociolinguistics is concerned with the corelation between such social
factor and linguistics variation (Hickerson, 1980).

2. Objek Kajian Sosiolinguistik

Objek kajian sosiolinguistik, sebagaimana disimpulkan di atas, merupakan


bahasa dalam penggunaanya di dalam masyarakat. Chaer dan Agustina
(2010:3) menjelaskan bahwa dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat
sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melaikan
dilihat sebagai sarana interaksi sosial di dalam masyarakat. Soemarsono
(2012: 8) menjelaskan bahwa sosiolinguistik melihat bahasa sebagai
suatu sistem yang berkaitan dengan masyarakat, bahasa dilihat sebagai
sistem yang tidak terlepas dari ciri-ciri penutur dan dari nilai-nilai
sosiobudaya yang dipatuhi oleh penutur itu. Lebih lanjut, konferensi
sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of California, LA,
tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian
sosiolinguistik. Ketujuh dimensi tersebut yaitu (1) identitas sosial
penutur, (2) identitas sosial pendengar yang terlibat dalam proses
komunikasi, (3) lingkungan tenpat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis
sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang
berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan
variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis penelitian
sosiolingusitk (Dittmar, 1976).

3. Manfaat Sosiolinguistik

Kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis sangat banyak, sebab


bahasa merupakan alat komunikasi verbal manusia. Dalam
penggunaannya, sosiolinguistik memberi pengetahuan bagaimana
menggunakan bahasa di dalam masyarakat. Sosiolinguistik memberikan
pengetahuan tentang berbagai variasi bahasa yang ada di masyarakat.
Kita sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat, sosiolinguistik
memberikan pengetahuan tentang bagaimana kita dapat menempatkan
diri dalam penggunaan bahasa kita ketika berada pada masyrakat
tertentu. Sosiolinguistik juga meberikan deskripsi variasi bahasa dalam
kaitannya dengan pengguna maupun kegunaannya. Selain itu,
sosiolingusitik memungkinkan kita mengkaji fenomena dan gejala bahasa
yang ada di dalam masyarakt melalui “kaca mata” sosiolinguistik.
Sebagai ilmu yang mengkaji bahasa di dalam masyarakat, sosiolingusitik
mampu “mencair” dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Hal ini karena
bahasa merupakan alat verbal manusia yang ada di berbagai bidang ilmu
lain. Sebagai alat komunikasi, tentu bahasa tidak mungkin terlepas dari
ilmu-ilmu lain sebagai sarana untuk mengungkapkan hasil pemikiran.
Selain itu, objek kajian sosiolinguistik adalah bahasa di dalam
masyarakat. Tentu hal tersebut sangat memungkinkan sosiolinguitik
untuk saling terkait dengan bidang-bidang ilmu yang lain seperti politik,
budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

C. SOSIOLINGUISTIK DALAM TINJAUAN FILSAFAT

Pengkajian terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan harus dibangun dari


landasan filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan
norma-norma keilmuan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu
merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-
dasar ilmu.

Menurut Muhadjir (2011:63) filsafat ilmu dibagi menjadi tiga, yaitu:


ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Maka, dalam mengkaji atau
membahas persoalan kebenaran ilmu pengetahuan sosiolinguistik yang
merupakan salah satu cabang ilmu linguistik harus berlandaskan ketiga
aspek kajian filsafat (ontologi, epistemologi, dan aksiologi) tersebut.

1. Ontologi sosiolinguistik

Ontologi membahas tentang hakikat ilmu pengetahuan sosiolinguistik


yaitu membicarakan masalah ada (being) secara komprehensif. Apa yang
ingin diketahui oleh ilmu sosiolinguistik? atau dengan perkataan lain,
apakah yang menjadi bidang telaah ilmu tersebut.

Ontologi sosiolinguistik membahas mengenai hakikat sosiolinguistik


sebagai berikut:

a. Pengertian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan antara


bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian
kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam
sebuah komunikasi yang alami. Sosiolinguistik juga menyangkut individu
sebab unsur yang sering terlihat melibatkan individu sebagai akibat dari
fungsi individu sebagai makhluk sosial. Hal itu merupakan peluang bagi
linguistik yang bersifat sosial untuk melibatkan diri dengan pengaruh
masyarakat terhadap bahasa dan pengaruh bahasa pada fungsi dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat timbal-balik dari unsur-unsur
sosial dalam aspek-aspek yang berbeda, yaitu sinkronis, diakronis,
prospektif — yang dapat terjadi– dan perbandingan. Hal tersebut
memungkinkan sosiolinguistik membentuk landasan teoretis cabang-
cabang linguistik seperti: linguistik umum, sosiolinguistik bandingan,
antarlinguistik dan sosiolinguistik dalam arti sempit (sosiolinguistik yang
konkret) (Deseriev, 1977:341-363).

Istilah sosiolinguistik sendiri sudah digunakan oleh Haver C. Curie dalam


sebuah artikel yang terbit tahun 1952, judulnya “A Projection of
Sociolinguistics: the relationship of speech to social status” yang isinya
tentang masalah yang berhubungan dengan ragam bahasa seseorang
dengan status sosialnya dalam masyarakat. Kelompok-kelompok yang
berbeda profesi atau kedudukannya dalam masyarakat cenderung
menggunakan ragam bahasa yang berbeda pula.

Seiring perkembangan ilmunya, beberapa ahli telah merumuskan


beberapa pengertian sosiolinguistik, diantaranya:

1. Abdul Chaer (2004:2) berpendapat bahwa intinya sosiologi itu adalah


kajian yang objektif mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai
lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat,
sedangkan pengertian linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari
bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Sosiolinguistik
adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam
kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat.

2. Sumarsono (2007:2) mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai linguistik


institusional yang berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-
orang yang memakai bahasa itu.

3. Rafiek (2005:1) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi bahasa


dalam pelaksanaannya itu bermaksud/bertujuan untuk mempelajari
bagaimana konvensi-konvensi tcntang relasi penggunaan bahasa untuk
aspek-aspek lain tcntang perilaku social.

4. Booiji (Rafiek, 2005:2) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang


linguistik yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam
pemakaian bahasa dan yang berperan dalam pergaulan.

5. Wijana (2006:7) berpendapat bahwa sosiolinguistik merupakan cabang


linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam
hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat. Pendapat
tersebut pada intinya berpegang pada satu kenyalaan bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi
sebagai masyarakat sosial.
6. Fishman. Ia memberikan defini sosiolinguistik sebagai “the study of the
characteristics of language varities, the characteristics of their functions,
and the characteristics of their speakers as these three constantly
interact, change, and change one another within a speech community.”

7. Nababan, mengatakan bahwa sosiolinguistik merupakan pengkajian


bahasa dengan dimensi kemasyarakatan.

8. Wikipedia, Sosiolinguistik adalah kajian interdisipliner yang


mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan.
Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah
sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan
interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain.

9. Fasold (1993: ix) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung


dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan
bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan
sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari
seseorang kepada orang lain.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik


adalah adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa,
serta hubungan di antara para pengguna bahasa dengan fungsi variasi
bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.

b. Pokok Bahasan Ilmu Sosiolinguistik

Dalam kajian ilmu sosiolinguistik terdapat beberapa pokok bahasan


antara lain (1). Bahasa, Dialek dan Ragam Bahasa, (2). Masyarakat
Bahasa, (3). Bilingualisme dan Multilingualisme, (4). Penggunaan bahasa,
(5). Perencanaan Bahasa, (6). Bahasa dan Budaya. Penjelasan lebih
lanjut diuraikan di bawah ini:

Pertama, Bahasa, Dialek dan Ragam Bahasa. Setiap penutur bahasa akan
selalu berbahasa dengan satu aksen. Dengan demikian tidak bisa
dikatakan bahwa seorang penutur memilki aksen, sedangkan penutur lain
tidak memilki aksen. Aksen dibatasi pada deskripsi aspek-aspek ucapan
yang dapat menunujukkan dari mana penutur bahsa berasal, baik secara
regional ataupun sosial. (Chaika, 1982:132). Aksen berbeda dengan
dialek Dialek mengacu ke semua perbedaan antara variasi bahasa yang
satu dengan yang lain mencakup penggunaan tata bahasa, kosakata,
maupun aspek-aspek ucapan. Dialog juga dapat dibedakan menurut
wilayah (dialek regional), menurut faktor-faktor kemasyarakatan (dilek
sosial) dan waktu pemakaian dialek (dialek temporal). (Cahyono,
1995:387)
Kedua, Masyarakat Bahasa. Yang dimaksud dengan masyarakat bahasa
adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang yang
sama (Chaer, 1994:60). Karena titik berat pengertian masyarakat bahasa
pada merasa menggunakan bahasa yang sama, maka konsep masyarakat
bahasa dapat menjadi luas atau menjadi sempit. Masyarakat bahasa bisa
melewati batas propinsi, batas Negara bahkan juga batas benua.

Ketiga, Bilingualisme dan Multilingualisme. Kedwibahasaan (bilingualism)


mengacu ke pemakaian bahasa lebih dari satu bahasa oleh seseorang,
kelompok atau negara. Di dalam konsep kedwibahassan itu tercakup
konsep kemultibahasaan (multilingualism) dalam scala kecil (micro-level)
yang menyangkut individu atau kelompok kecil, dan dalam skala besar
(macro-level) yang menyangkut masyarakat atau negara. Dalam
kedwibahsaan berskala kecil terdapat seseorang yang menguasai dua
bahasa (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multilingual). Dalam
kedwibahasaan berskala besar terdapat masyarakat atau negara yang
memakai satu bahasa atau monoglosia (monoglossic), dua bahasa
(diglossic), dan lebih dari dua bahasa atau poliglosia (polyglossic),

Keempat, Penggunaan Bahasa (Etnografi Bahasa). Adanya berbagai


macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita
harus menggunakan bahasa itu dalam masyarakat. Seorang pakar
sosiolinguistik yang bernama Hmes mengatakan, bahwa suatu komunikasi
dengan menggunakan bahasa harus memperhatikan delapn unsure yang
diakronimkan menjadi SPEAKING. (Chaer, 1994: 63). Kedelapan hal
tersebut adalah: (1) Setting and Scene( berkenaan dengan tempat dan
waktu terjadinya percakapan), (2) Participants (orang yang terlibat dalam
percakapan), (3) Ends (maksud dan hasil percakapan), (4) Act Sequences
(bentuk dan isi percakapan), (5) Key (Cara dan semangat dalam
melakukan percakapan), (6) Instrumentalities (Jalur percakapan), (7)
Norms (norma prilaku peserta percakapan), dan (8) Genres (ragam bahsa
yang digunakan).

Kelima, Perencanaan Bahasa. Pembakuan bahasa merupakan salah satu


bentuk kerangka perencanaan bahasa yang bisa dilakukan oleh badan
pemerintah yang resmi atau organisasi swasta. Bahasa baku adalah
variasi bahasa yang menjadi dasar penulisan media masa dan buku-buku
dan merupakan variasi bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Bahasa
baku memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu: 1) fungsi pemersatu, 2) fungsi
kekhasan, 3) fungsi pembawa kewibawaan, dan 4) fungsi sebagai
kerangka acuan (Bambang, 1994:386)

Keenam, Bahasa dan Kebudayaan. Salah satu pertanyaan kebahasaan


yang menarik dan mengundang perhatian ahli bahasa adalah: ”Apakah
terdapat hubungan anatara kemampuan penalaran suatu suku bangsa
dengan bahasa asli yang dimiliki?”. Dengan kata lain, ”Apakah seorang
penutur bahasa dari suku bangsa yang memiliki bahasa tertentu
memandang dunia yang sama secara berbeda dengan penutur bahasa
dari suku bangsa yang lain?”.

C. Objek sosiolinguistik

Objek sosiolinguistik adalah aspek bahasa yang bersifat hiterogen (la


parole), yakni bahasa dalam wujudnya setelah terimplementasi dalam
tindak komunikasi. Butir-butir penelitian sosiolinguistik meliputi:

1. Fonem
2. Morfem
3. Kata (leksikon)
4. Frasa
5. Klausa
6. Kalimat
7. Paragraf
8. Wacana
9. Dialog
10. Ideolek
11. Dialek regional
12. Kronolek (dialek waktu)
13. Sosiolek (dialek sosial): 
      a. dialek umur
      b. dialek jenis kelamin
      c. dialek etnik
      d. dialek ideologi
      e. dialek kelas sosial
      f. dialek keterdidikan
14. unda usuk atau tingkat tutur (speech level)
15. ragam: a. formal (akrolek)
                 b. informal (basilek)
                 c. literer (sastra)
16. register
17. bahasa, yakni makna pemakain atau pemilihan bahasa sebagai salah
satu kode dalam masayarakat tutur yang multilingual.

2. Epistemologi sosiolinguistik

Epistemologi berupaya mencari kebenaran (truth) berdasarkan fakta.


Kebenaran dibangun dengan logika dan didahului oleh uji konfirmasi
tentang data yang dihimpun. Epistemologi membicarakan tentang
bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Landasan epistemologi
tercermin secara operasional dalam metode ilmiah. Pada dasarnya
metode ilmiah merupakan cara memperoleh dan menyusun kerangka
ilmu pengetahuan.

Metode yang digunakan adalah metode linguistik dan sosiologi. Metode-


metode linguistik dipakai untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk bahasa
serta unsur-unsurnya dengan notasi tanda-tanda fonetik/fonemik. Metode
sosiologi biasa dipakai dalam mengumpulkan data seperti, observasi,
kuesioner, dan wawancara. Analisisnya dapat menggunakan metode
statistik, yakni untuk mendapatkan pola-pola umun dalam tindak laku
berbahasa.

Objek kajian sosiolinguistik dapat diteliti berdasarkan pada tiga langkah,


yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Ada
prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu
bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan
oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah
konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah
mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (sosial budaya
masyarakat). Seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat
membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa
sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif).
Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana
adanya. Oleh karena itu, bahan atau data linguistik yang diperoleh harus
bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat
(contrived).

Ada dua metode penyediaan data yaitu metode observasi dan metode
wawancara Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian
linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode
wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). Metode
observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara
mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti
sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan
peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para
pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang
melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya.

Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut


penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi
dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian
lapangan (field research). Dalam praktik pelaksanaan observasi ini,
peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan
bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung
ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi
berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula
sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak
berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur
metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial
lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa
Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi
sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi
nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. Metode wawancara
adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti
dengan informan secara langsung.

Metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua
jenis, pertama,metode korelasi atau metode pemadanan, yakni metode
yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal
dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode operasi atau metode
distribusi, yakni metode yang berkaitan dengan pembedahan,
pengolahan, atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Metode
korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam
hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Metode
operasi atau metode distribusi adalah metode analisis yang menguraikan
unsur-unsur substansial objek kajian dan mendistribusikannya dengan
unsur-unsur verbal lainnya untuk mendapatkan pola, aturan atau kaidah
yang berhubungan dengan konteks situasi dan sosial budayanya.

3. Aksiologi sosiolinguistik

Kebenaran aksiologi adalah kebenaran the right dan membangun


kebenaran dalam makna the right or wrong. Landasan ini berkaitan
dengan bagaimana pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam kehidupan.
Pada dasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraan dengan menitikberatkan pada kodrat dan martabat
manusia. Untuk kepentingan tersebut, pengetahuan ilmiah yang diperoleh
disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.

Membahas persoalan aksiologi sosiolingustik, maka tak lepas dari


pembahasan mengenai tujuan Sosiolinguistik secara umum. Tujuan
umum sosiolinguistik adalah membahas tentang kaitan pengguna bahasa
dan perilaku dalam masyarakat/sosial. Dengan membahas pemakaian
bahasa, seseorang akan dapat mengetahui berbagai kondisi, nilai-nilai ,
kepercayaan, sistem etika, aturan, dan lainnya yang membentuk dan
memberikan ciri khusus kepada kelompok-kelompok masyarakat pemakai
bahasa itu. Sosiolinguistik mencatat dan menelaah bahasa yang
dipergunakan seseorang ketika berbicara dengan teman bicaranya. Selain
itu, sosiolinguistik juga menelaah bahasa yang dipergunakan seseorang
dengan segala cara penyampaiannya, seperti tanda-tanda berupa kata-
kata maupun isyarat yang menyatakan bahwa ia sedang mendengarkan
baik-baik, setuju atau tidak setuju.

Dampak dari pembahasan tentang penggunaan bahasa, kita bisa


mengetahui hal-hal berikut ini.

 beragam kondisi pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu


 kepercayaan pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
 ciri spesial pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
 aturan pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
 nilai-nilai yang ada pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu
 etika yang berlaku pada golongan/kelompok pengguna bahasa itu

Sosiolinguistik dapat berhasil sebagai pembelajaran untuk pencatatan dan


penelahaan yang digunakan oleh manusia ketia dia berbincang-bincang
dengan lawan tuturnya.

Di samping itu, sosiolinguistik pun menjadi penelaah bahasa yang


digunakan manusia termasuk cara penyampaiannya.

Sebagai contoh, adanya isyarat/tanda yang memberitahu lawan bicara


bahwa seseorang tengah sepakat, tidak sepakat, sedang ingin sendiri,
larangan untuk berisik, dan masih banyak lagi.

PENUTUP
A. Simpulan

Dari pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis menarik beberapa


kesimpulan, antara lain:

1. Filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang


berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan
objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan
salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang
berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Hakekat tersebut ditanjau dari segi ontologi, epistimologi, serta aksiologi.

2. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan


linguistik. Sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang
mempelajarai bahasa dalam kaitan penggunaan bahasa tersebut di dalam
masyarakat.

3. Pengkajian terhadap suatu bidang ilmu pengetahuan harus dibangun


dari landasan filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan
norma-norma keilmuan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu
terhadap sosiolinguistik merupakan kajian yang dilakukan secara
mendalam mengenai dasar-dasar ilmu sosiolinguistik ditinjau dari aspek
ontologi, epistimologi, serta aksiologi.
B. Saran

Demikianlah pembahasan mengenai sosiolinguistik dalam pandangan


filsafat ini. Pembahasan ini jauh dari kesempurnaan karena penulis
menyadari adanya keterbatasan ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu,
penulis menerima kritikan, saran ataupun masukan yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan penulisan tugas-tugas berikutnya yang
hampir serupa dengan ini.

SUMBER

[1] Menurut The Liang Gie (1999)


[2] Koento Wibisono dkk.,(1997)
[3] Menurut Koento Wibisono (1984)
[4] Suparlan Suhartono, Ph.D., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ar ruz, 2005,
hlm. 149.
[5] Jujun Suriasumantri, 1985, hlm.34
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.88
[7] Suparlan Suhartono, Ph.D., Filsafat Ilmu Pengetahuan, Ar ruz, 2005,
hlm 157.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.9
[9] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985, hlm.91
[10] Rizal Mustansyir, Filsafat ilmu, Pustaka Pelajar,2004,hlm. 26
[11] Jujun Suriasumantri, 1985, hlm.34-35
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya:
Airlangga University Press.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolingusitik: Perkenalan


Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaika, Elaine. 1982. Language The Social Mirror. Rowley Massachusetts:


Newbury House Published.

Fasold, Ralph. 1990. The Sociolinguistics of Language. Oxford: Basil


Blackwell.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistic – 2nd Edition.


England: Longman.

http://www.scribd.com/doc/36321509/pengertian-ontologi

Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. New York: Cambridge University


Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1985. “Fungsi bahasa dan sikap bahasa”. Flores:
Nusa Indah.

Mulyono. 2008. Pengantar Filsafat. Semarang: Fakultas Sastra Undip.

Nababan. 1993. Sosiolinguistik: Satu Pengantar. Jatakarta: PT Gramedia.

Noeng Muhadjir. (2011). Filsafat ilmu: ontologi, epistemologi,


aksiologifirst order, secod order& third 
orderof logicsdan mixingparadigms implementasi methodologik.
Yogyakarta: Rake Sarasin.

Noeng Muhadjir. (2011). Filsafat ilmu: ontologi, epistemologi,


aksiologifirst order, second order & third order of logics dan
mixingparadigms implementasi methodologik. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Pariawan I Wayan. 2008. Sikap Bahasa Dalam Kajian Sosiolinguistik.


http://sosiolinguistik. (diakses 10 Oktober 2014).

Soemarsono. 2012. Sosiolingusitik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.

Stockwell, Peter. 2002. Sociolinguistics – A Resource Book for Students.


London and New York: Routledge.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA

Surajiyo, dkk. 2006. Dasar-dasar Logika. Jakarta: Bumi Aksara.

Trudgill, Peter. 1974. Sociolinguistics: An Introduction. England: Penguin


Books.

Wardaugh, Ronald. 1992. An Introduction to Sociolinguistics – 2nd


Edition. Oxford and Massachusetts: Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai