Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN WACANA

Wacana Dan Ideologi

DOSEN PENGAMPU: Dr. SULIS TRIYONO, M.Pd

Dikumpulkan Sebagai Tugas Mata Kuliah Kajian Wacana

Oleh:
Ahmad Qusairy
NIM:16706251004

Eka Yunita Liambo


NIM: 16706251022

LINGUISTIK TERAPAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGRI YOGYAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang Masalah
Wacana sebagai fenomena kebahasaan merupakan hal yang selalu menarik
untuk dikaji karena tidak hanya berkaitan dengan unsur kebahasaan saja namun
wacana juga berhubungan dengan ideologi. Ideologi dalam sebuah wacana adalah
hal yang tidak secara jelas terpaparkan, seperti sebuah identitas sosial atau cultural
yang terkandung. Ideologi ini sangat erat dengan identitas sosial dan aspek kultural
yang membuat kita dapat menarik berbagai asumsi. Wacana muncul oleh karena
manusia memiliki bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tertulis.
Wacana adalah fenomena yang bersifat dinamis, artinya akan selalu berkembang
seiring berkembangnya pengetahuan manusia yang diekspresikan dengan bahasa.
Karena, bahasa adalah wacana itu sendiri, sementara bahasa bersifat dinamis; ada
perkembangan seiring bergeraknya zaman.
Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan
berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara
dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Pembahasan wacana berkaitan erat
dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang
bersifat produktif, yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan
berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Wacana sebagai wujud tindak komunikasi tidak lepas dari suatu pernyataan
yang dipikirkan oleh penyampai pesan (penutur). Suatu teks lisan maupun lisan
selain mengandung wacana juga terdapat muatan ideologi, yakni pemahaman tentang
suatu gagasan dari penutur. Oleh sebab itu, suatu teks dapat dianalisis muatan
ideologinya dengan mengkajinya secara sitematis dan ilmiah.
Suatu ideologi yang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur terkadang
tidak serta merta diterima. Van Dijk (2004) mengatakan bisa saja ideologi yang
disampaikan merupakan kebohongan atas suatu kebenaran atau upaya pendjajahan
atas kebenzaran. Lebih dalam lagi terkati dengan ideologi wacana menurut Van Dijk
bahwa ideologi suatu wacana lahir dari suatu kekuasaan dan keyakinan yang
seharunya dapat dibuktikan kebenaranya. Selanjutnya kebenaran tersebut harus dapat
diungkap dan akhirnya dapat diyakini oleh orang lain.
Dapat dicontohkan pada suatu buku, novel, maupun cerpen. Ideologi yang
berusaha disampaikan oleh penulis melalui bahasa yang ada bisa saja ditolak oleh
pembaca bahkan khalayak umum, walau demikian terkadang ideologinya masih akan
diterima oleh beberapa pemabaca karena sudut pandang yang dimiliki mungkin sama
dengan penulis.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas beberapa isu yang diangkat oleh
pendekatan analisis wacana untuk mempelajari ideologi. Karena orang memperoleh,
mengekspresikan dan mereproduksi ideologi mereka sebagian besar melalui teks
atau percakapan. Focus dalam makalah ini adalah hubungan wacana dan ideologi
dan implementasi ideologi dalam wacana. Oleh karena itu dalam makalah ini juga
akan membahas konsep dasar wacana dan ideologi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimankah konsep dasar wacana?
2. Bagaimanakah konsep dasar ideologi
3. Bagaimana hubungan wacana dan ideologi?
4. Bagaimana implementasi ideologi dalam wacana?
C. Tujuan
1. Menjelaskan konsep dasar wacana.
2. Menjelaskan konsep dasara ideologi.
3. Menjelaskan hubungan wacana dan ideologi.
4. Menjelaskan implementasi dalam wacana.
BAB II
PPEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Wacana


Wacana diartikan dengan berbagai macam pengertian, para ahli memiliki
perbedaan pendapat mengenai pengertian dari wacana. Ada yang mendefinisikan
wacana sebagai suatu unit Bahasa yang lebih besar, ada juga yang mendefinisikan
wacana sebagai pembicaraan atau diskursus. Dalam penjelasan yang lain, Kata
wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa,
psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya.
Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan
berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, yaitu berbicara
dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Wujud wacana sebagai media
komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi
wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan
penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud
sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
Geoffrey Leech and Michael Short berpendapat dalam Sara Mills (2004)
bahwa wacana merupakan komunikasi linguistik yang dipandangn sebagai sebuah
transaksi antara pembicara dan pendengar, sebagai aktivitas interpersonal dimana
bentuknya ditentukan oleh tujuan sosial.
Roger Fowler (1992) Juga berpendapat bahwa wacana merupakan ucapan
atau tulisan yang dilihat dari sudut pandang keyakinan, nilai dan kategori yang
mewujudkan; keyakinan dan lain-lainnya ini merupakan cara untuk melihat dunia,
sebuah organisasi atau representasi pengalaman - 'ideologi' dalam arti non-pejorative
(tidak merukan/bukan penghinaan) yang netral. Mode-mode wacana yang berbeda
menyediakan berbagai representasi pengalaman; dan sumber dari representasi ini
adalah konteks komunikatif dimana wacana tersebut disematkan.
Sedangkan, Kridalaksana (2011: 259) membahas bahwa wacana adalah
satuan bahasa terlengkap dalam hirearki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan
gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan
lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap.
Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.
Dalam konteks linguistic menjelaskan secara lengkap apa yang dimaksud
dengan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lainya, yang membentuk satu kesatuan,
sehingga terbentuklah makna yang sesuai diantara kalimat-kalimat itu. Seperti apa
yang disampaikan oleh beberapa pendapat para ahli diatas maka ditarik kesimpulan
bahwa wacana merupakan kesatuan Bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau
terbesar diatas kalimat atau klausa, dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang
berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata dan disampaikan
baik secara lisan maupun tulisan.
Secara ringkas wacana dapat dimaknai sebagai rangkaian ujaran atau tindak
tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara sistematis dalam satu
kesatuan yang koheren yang dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental
Bahasa (Sobur, 2001:11). Tentu saja, tindak tutur Bahasa bukan hanya aspek
sistematis, koherensi, dan kohesi yang ada yang mesti dilihat dalam sebuah wacana
tetapi yang tak kalah penting adalah Bahasa dalam wacana berkaitan dengan aspek
konteks situasi. Karena Bahasa hanya berarti manakala terkait dengan konteks
situasinya. Itu sebabnya, wacana juga berkaitan dengan pembahasan terhadap
hubungan antara konteks-konteks yang terdapat di dalam teks (Karomani, 2004).
Guy Cook menjelaskan tiga konsep terkait dengan wacana yaitu teks, konteks
dan wacana itu sendiri. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata
yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,
musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua
situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang
dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan
konteks bersamasama.
B. Konsep Dasar Ideologi
Secara epistemologi, ‘ideologi’ berasal dari bahasa yunani. Ideologi dibentuk
dari kata ideas yang berarti ide, konsep atau gagasan dan kata logos yang berarti
ilmu. Secara umum pengertian ideologi adalah ilmu tentang sekumpulan ide-ide atau
gagasan maupun keyakinan. (Setiardja, 1993)
Pendapat lain mengatakan bahwa ideologi adalah sebuah istilah yang lahir
pada akhir abad ke-18 atau tahun 1796 yang dikemukakan oleh filsuf Perancis
bernama Destutt de Tracy dan kemudian dipakai Napoleon. Istilah itu berasal dari
dua kata ideos yang berarti gagasan, dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian,
ideologi adalah sebuah ilmu tentang gagasan. Adapun gagasan yang dimaksud
adalah gagasan tentang masa depan, sehingga bisa disimpulkan bahwa ideologi
adalah sebuah ilmu tentang masa depan. Gagasan ini juga sebagai cita-cita atau
kombinasi dari keduanya, yaitu cita-cita masa depan. Ideologi ini tidak sekedar
gagasan, melainkan gagasan yang diikuti dan dianut sekelompok besar manusia atau
bangsa, sehingga karena itu ideologi bersifat mengerakkan manusia untuk
merealisasikan gagasan tersebut. Meskipun gagasan seseorang, betapapun ilmiah,
rasional atau luhurnya, belum bisa disebut ideologi, apabila belum dianut oleh
banyak orang dan diperjuangkan serta diwujudkan, dengan aksi-aksi yang
berkesinambungan (Sarbini 2005: 1).
C. Wacana dan Ideologi
Ideologi sering dianggap sebagai sesuatu yang sakral untuk suatu kelompok.
Bagi mereka ideologi yang mereka anut merupakan harga diri mereka. Bahkan tidak
jarang banyak kelompok yang rela berkorban untuk mempertahankan ideologi
mereka. Dalam memperluas suatu kelompok, maka ideologi perlu disebarkan untuk
upaya pemertahanan kelompok. Untuk menyebarkan sebuah ideologi dari suatu
kelompok, maka dibutuhkan sarana untuk menyampaikannya. Sarana tersebut adalah
wacana itu sendiri.
Teori-teori klasik tentang ideologi diantaranya mengatakan bahwa ideologi
dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan
melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat
kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara sukarela. Wacana
dalam hal semacam ini dipandang sebagai medium di mana kelompok yang dominan
mempersuasi dan mengkonsumsikan kepada khalayak produksi produksi kekuasaan
dan dominan yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar sesuai dengan
apa yang dikatakan Van Djik (1998: 25). “Discourse in this approach essentially
serves as the medium by which ideologies are permasive communicated in societies,
and there by helps reproduce power and domination of specific group or classes”
Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan
bahwa anggota komunikasi termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut
sebagai kebenaran dan kewajaran.
Wacana bagi ideologi adalah meduim melalui mana kelompok dominan
mempersuasai dan mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka
miliki sehingga absah dan benar. Dengan kata lain, bahasa adalah aspek sentral dari
penggambaran subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya. Dengan
pandangan semacam ini, wacana dipahami sebagai sesuatu yang tidak netral dan
berlangsung secara tidak alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung
ideologi dan bersifat objektif untuk mendominasi (Threadgold dalam Johnstone
2008:45).
Faircloug (dikutip dalam Philips dan Jorgensen, 2002: 75) menjelaskan
bahwa ideologi merupakan makna yang melayani kekuasaan. Lebih tepatnya, dia
memahami bahwa ideologi sebagai pengkonstruksian makna yang memberikan
kontribusi bagi pemproduksian, pereproduksian, dan transformasi hubungan-
hubungan dominasi.
Menurut Barbara Johnstone (2008), ideologi seseorang dapat tercermin dalam
wacana dimana wacana tersebut mengandung unsur-unsur linguistik. Johnstone
berpendapat bahwa cara seseorang dalam berpikir dan berbicara dapat dimainkan
melalui pemilihan tata bahasa, gaya, hingga pemilihan kata dalam wacana yang
dihasilkannya. Menurutnya, apa dan bagaimana pemilihan unsur-unsur linguistik
tersebut dalam sebuah wacana adalah penggambaran seseorang yang sedang
menjelaskan dunia dan pengalaman menurut pandangannya. Berikut pemilihan
linguistik yang dapat menjelaskan bagaimana seseorang memandang dunia dan
pengalamannya:
1. Penggambaran aksi, pelaku dan kejadian
Dalam hal ini seseorang dapat dijelaskan berdasarkan pemilihan
bagaimana pelaku dalam wacananya digambarkan dan apa yang
dilakukannya. Dalam hal ini, bahasa Inggris memiliki perbedaan yang
jelas dalam pemilihan antara kalimat aktif dan pasif. Contohnya ada
pada kalimat-kalimat di bawah ini:
In the US a man rapes a woman every six minutes
In the US a woman is raped by a man every six minutes
In the US a woman is raped every six minutes
Kalimat pasif seringkali digunakan untuk menggambarkan posisi
pelaku yang tidak diketahui, tidak penting dan kenyataan.
2. Pemilihan kata untuk penggambaran pengetahuan seseorang
Beberapa bahasa punya cara tersendiri untuk menggambarkan posisi
seseorang dalam berpendapat yang dapat menggambarkan
pengetahuan seseorang. Contohnya dalam bahasa inggris, kata-kata
seperti clearly dan without a doubt menggambarkan pembuktian. Kata
kerja seperti know, suspect, claim dan bahkan think menggambarkan
tingkat keyakinan seseorang dari sebuah kebenaran. Dalam present
tense, be yang digunakan dapat menggambarkan suatu hal yang
mutlak. Itulah sebabnya salah satu fungsi dari present tense adalah
untuk menggambarkan kebenaran seperti (Allah is great).
3. Penamaan sesuatu atau susunan kata
Dari cara seseorang memanggil atau memberi nama kepada sesuatu
atau seseorang dapat menggambarkan seseorang pula. Dalam bahasa
Indonesia, kata say, kakak, sis dan gan digunakan untuk pembeli
online agar terlihat ramah. Sedangkan yang berkembang saat ini, kata
kakak pun digunakan dalam jual beli yang bertatap muka dengan
tujuan tertentu.
Sedangkan susunan kata mencerminkan seseorang terhadap apa yang
menjadi fokusnya. Contohnya kalimat “I go to the market” dala
bahasa Inggris jika diujarkan dalam bahasa Indonesia dapat diubah
susunannya tergantung pada aspek apa yang ingin ditekankan.
Sedangkan dalam bahasa Inggris, susunan yang berterima hanya
seperti itu. Dalam bahasa Indonesia, hal yang ingin ditekankan
diletakkan pada posisi pertama. Contohnya “Ke pasar, saya tadi.”
(ke pasar saya pergi, tadi, ke pasar saya)
4. Cara menceritakan kembali kata-kata seseorang
Wacana dipercaya terbentuk dari kumpulan pemilihan kata-kata dan
gaya hingga bentuk kalimat menurut kepribadian seseorang. Dalam
hal ini, cara seseorang mungkin saja berbeda dalam menyampaikan
sesuatu. Begitu pula dengan penyampaian suatu ekspresi atau wacana
dari seseorang dapat menggambarkan tendensi dari sang penyampai
berita.
Apa yang disampaikan oleh Johnstore di atas merupakan sebagian kecil dari
penggambaran seseorang melalui faktor linguistiknya. Tentu saja penjelasan lebih
lanjut dapat ditelaah di luar faktor kebahasaan seperti faktor konteks dan sosial.
Namun dari beberapa penjelasan di atas, hubungan antara wacana dengan ideologi
sangat erat. Bagaimana seseorang menyampaikan sebuah wacana adalah
penggambaran dirinya secara tidak langsung yang dimaksudkan agar para pendengar
maupun pembaca dapat membenarkan apa yang disampaikannya sehingga ideologi
yang disampaikannya dapat diterima atau bahkan diikuti.
D. Implementasi Ideologi Dalam Wacana
Wacana bagi ideologi merupakan alat yang digunakan oleh kelompok
dominan untuk mempengaruhi dan mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan
yang mereka miliki sehingga absah dan benar. Dengan kata lain, bahasa adalah aspek
sentral dari penggambaran subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya.
Wacana dan ideologi saling mempengaruhi satu sama lain. Ideologi merupakan suatu
pemahaman, konsep, atau asas yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu teks.
Wacana dianggap sebagai pra ideologi, jadi sebelum memiliki ideologi seseorang
terlebih dahulu harus memahami muatan wacana dengan baik dan maksimal.
Ideologi suatu teks dapat disampaikan kepada penerima jika penerima
memahami wacana tersebut. Akan tetapi jika penerima atau pembaca sudah memiliki
ideologi sendiri yang justru meragukan suatu teks atau tulisan maka ideologi dari
penyampai pesan tidak sampai. Hal ini dipengaruhi oleh unsur internal pembaca
yakni bagaimana dia menyakapinya dan unsur eksternal bagaimana latar belakang
sosialnya.
Ideologi juga merupakan bagian dari karakteristik analisis wacana kritis yang
dipandang penting seperti halnya kekuasaan, tindakan, konteks, historis. Erianto,
(2011) dalam (Suharyo, Surono, Mujid F. Amin, 2014) menjelaskan bahwa ideologi
merupakan konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini
karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau
pencerminan dari ideologi tertentu. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya
mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan
untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya
adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima
secara taken for granted.
Implementasi dari ideologi dalam wacana diangkat dari jurnal Suharyo,
Surono, Mujid F. Amin “Bahasa dan ideologi: mengungkap ideologi dan kekuasaan
simbolik di balik penggunaan bahasa (kajian teks media melalui analisis wacana
kritis)” HUMANIKA Vol. 19 No. 1 (2014) ISSN 1412-9418. Dalam makalah ini
penulis akan mengambil implementasi dari ideologi dalam wacana yaitu “Ideologi
dan Kekuasaan Simbolik di Balik Teks Berita di Harian Suara Merdeka dan
Kompas” Ideologi dalam penelitain ini bukan merujuk seperti pada ideologi Marxis,
komunis, liberal; tetapi, misalnya (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
azas pendapat/kejadian yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup,
(2) cara berpikir seseorang/suatu golongan, (3) paham, teori, tujuan yang merupakan
pegangan dalam kehidupan social politik yang ekspresinya adalah untuk membentuk
pendapat umum, mengarahkan, dan membenarkan pihak sendiri dan
mengecilkan/memarginalkan pihak lain. Ekspresi ideologi dan kekuasaan simbolik
tampak pada pilihan kata (misalnya pada judul berita) dan kalimat, seperti
dicontohkan berikut ini.
Contoh data di atas dari jurnal Suharyo, Surono, Mujid F. Amin “Bahasa dan
ideologi: mengungkap ideologi dan kekuasaan simbolik di balik penggunaan bahasa
(kajian teks media melalui analisis wacana kritis)” HUMANIKA Vol. 19 No. 1
(2014) ISSN 1412-9418 menunjukkan betapa antara harian SM dan K berbeda dalam
mengekspresikan ideologinya. SM cenderung kasar, emosional, provokatif dan
membangun opini untuk melakukan “perlawanan” terhadap pemerintah (khususnya
untuk masalah Anas dan Century). Sebaliknya, harian K cenderung tidak provokatif,
objektif, dan mengedepankan supremasi hukum, dan informasi yang berimbang. Dari
aspek ideologi, harian K cenderung berideologi idealisme pers yang objektif, netral,
dan berimbang. Dari dimensi kekuasaan (simbolik), harian SM cenderung menjadi
“oposisi” sebagai pihak yang di-dominan-kan, sedang pihak pemerintah sebagi pihak
yang “dimarginalkan” (kasus Anas, Century). Sementara, harian K menempatkan
pihak yang dominan/marginal lebih didasarkan pada kondisi objektif di lapangan
yang berbasis data dan keterangan yang dari narasumber yang cenderung netral,
seperti pengamat, warga, dan akademisi; tidak didasarkan pada keterangan yang
cenderung subjektif, seperti dari para politisi.
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Wacana bagi ideologi merupakan alat yang digunakan oleh kelompok
dominan untuk mempengaruhi dan mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan
yang mereka miliki sehingga absah dan benar. Dengan kata lain, bahasa adalah aspek
sentral dari penggambaran subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya.
Wacana dan ideologi saling mempengaruhi satu sama lain. Ideologi merupakan suatu
pemahaman, konsep, atau asas yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu teks.
Wacana dianggap sebagai pra ideologi, jadi sebelum memiliki ideologi seseorang
terlebih dahulu harus memahami muatan wacana dengan baik dan maksimal.
Dari beberapa penjelasan di atas, hubungan antara wacana dengan ideologi
sangat erat. Bagaimana seseorang menyampaikan sebuah wacana adalah
penggambaran dirinya secara tidak langsung yang dimaksudkan agar para pendengar
maupun pembaca dapat membenarkan apa yang disampaikannya sehingga ideologi
yang disampaikannya dapat diterima atau bahkan diikuti.
Daftar Pustaka
Harmoni, K. (2004). Pengaruh Ideologi Terhadap Wacana Berita Dalam Media
Massa. Mediator, Vol.5. No. 1 2004.
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Mills, Sara. 2004. Discourse. London: Routledge.
Setiardja, Gunawan. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila. Yogyakarta: Kanisius.
Sarbini. (2005). Islam di tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran dan Gerakan.
Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Suharyo, Surono, Mujid F. Amin (2014). “Bahasa dan ideologi: mengungkap
ideologi dan kekuasaan simbolik di balik penggunaan bahasa (kajian teks
media melalui analisis wacana kritis)” HUMANIKA Vol. 19 No. 1 (2014)
ISSN 1412-9418
Van Dijk, T. (1998). Ideology: A Multidisciplinary Approach, London: Sage.
___________ (2006) Ideology and discourse analysis, Journal of Political Ideologies,
11:2, 115-140, DOI: 10.1080/13569310600687908
Philips, Lourse & Jorgensen, Naranne (2002). Discource Analysis as Theory and
Method. London: Sage Publications
Johnstone, Barbara. (2008). Discourse Analysis Second Edition. USA: Blackwell
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai