Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwi Ide Rahayu

NIM : 16706251007

Fenomenologi Kualitatif
Terdapat beberapa paradigma atau perspektif yang mendasari penelitian kualitatif. Salah
satu diantaranya adalah yang dinamakan paradigma fenomenologi. Ditilik dari sejarah
perkembangannya, paradigma fenomenologi sesungguhnya merupakan jawaban atas
kelemahan dari paradigma positivisme yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan
ilmiah.

Pendekatan fenomenologi merupakan tradisi penelitian kualitatif yang berakar pada filosofi
dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan
fenomenologi menggunakan pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih
baik tentang sosial budaya, politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
Penelitian kualitatif akan berdiskusi tentang suatu objek kajian dangan memahami inti
pengalaman dari suatu fenomena. Peneliti akan mengkaji secara mendalam isu sentral dari
struktur utama suatu objek kajian dan selalu bertanya "apa pengalaman utama yang akan
dijelaskan informan tentang subjek kajian penelitian". Peneliti memulai kajiannya dengan
ide filosofikal yang menggambarkan tema utama. Translasi dilakukan dengan memasuki
wawasan persepsi informan, melihat bagaimana mereka melalui suatu pengalaman,
kehidupan dan memperlihatkan fenomena serta mencari makna dari pengalaman informan.
Salah satu gagasan terpenting dari paradigma fenomenologi yang menjadi landasan
pemikiran dalam penelitian kualitatiif adalah gagasan tentang bagaimana seharusnya
peneliti didalam memandang realitas sosial, fakta sosial atau fenomena sosial yang menjadi
masalah didalam penelitian. Menurut paradigma fenomenologi bahwa realitas itu tidak
semata-mata bersifat tunggal, objektif, terukur ( measurable ), dan dapat ditangkap oleh
pancaindera sebagaimana pandangan dari paradigma positivisme. Namun berbeda dengan
itu bahwa menurut paradigma fenomenologi realitas itu bersifat ganda atau dualisme dan
subyektif interpretatif atau hasil penafsiran subyektif.
Penelitian fenomenologi kualitatif melibatkan pengujian yang teliti dan seksama pada
kesadaran pengalaman manusia. Konsep utama dalam fenomenologi adalah makna. Makna
merupakan isi penting yang muncul dari pengalaman kesadaran manusia untuk
mengidentifikasi kualitas yang essensial dari pengalaman kesadaran dilakukan dengan
mendalam dan teliti (Smith dalam Hidayat, 2011). Prinsip-prinsip penelitian fenomenologis
ini pertama kali diperkenalkan oleh Husserl. Husserl mengenalkan cara mengekspos makna
dengan mengeksplisitkan struktur pengalaman yang masih implisit. Konsep lain
fenomenologis yaitu Intensionalitas dan Intersubyektifitas.

Penelitian fenomenologis fokus pada sesuatu yang dialami dalam kesadaran individu, yang
disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas (intentionality), menggambarkan hubungan
antara proses yang terjadi dalam kesadaran dengan obyek yang menjadi perhatian pada
proses itu. Dalam term fenomenologi, pengalaman atau kesadaran selalu kesadaran pada
sesuatu, melihat adalah melihat sesuatu, mengingat adalah mengingat sesuatu, menilai
adalah menilai sesuatu. Sesuatu itu adalah obyek dari kesadaran yang telah distimulasi oleh
persepsi dari sebuah obyek yang “real” atau melalui tindakan mengingat atau daya cipta
(Smith dalam Hidayat, 2011). Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan
manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah
pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki
obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesa-
daran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan
tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek.

Salah satu gagasan terpenting dari paradigma fenomenologi yang menjadi landasan
pemikiran dalam penelitian kualitatiif adalah gagasan tentang bagaimana seharusnya
peneliti didalam memandang realitas sosial, fakta sosial atau fenomena sosial yang menjadi
masalah didalam penelitian. Menurut paradigma fenomenologi bahwa realitas itu tidak
semata-mata bersifat tunggal, objektif, terukur ( measurable ), dan dapat ditangkap oleh
pancaindera sebagaimana pandangan dari paradigma positivisme. Namun berbeda dengan
itu bahwa menurut paradigma fenomenologi realitas itu bersifat ganda atau dualisme dan
subyektif interpretatif atau hasil penafsiran subyektif.
Dualisme dalam pengertian bahwa dibalik sesuatu yang nampak yang dapat ditangkap oleh
pancaindera sesungguhnya memiliki dimensi yang tidak nampak ( beyond the text ) yang
“hidup di kepala “ manusia si pelaku. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi peneliti untuk
dapat mengungkap sesuatu yang tidak nampak tersebut manakala kita akan meneliti.
Melalui kemampuan dalam mengungkap sesuatu yang tidak nampak tersebut peneliti akan
lebih dapat memahami makna subyektif dari setiap perilaku yang ditunjukkan oleh si pelaku
sehingga akan menghasilkan penafsiran yang intersubyektif terhadap suatu peristiwa yang
akan diteliti. Inilah yang dimaksud dengan subyektif interpretatif atau penafsiran subyektif.
Dengan cara demikian maka peneliti dituntut untuk dapat menghindarkan diri dari
kebiasaan mengembangkan asumsi-asumsi atau hipotesis yang seringkali dimiliki. Dalam
kaitan ini Weber menawarkan sebuah metode atau cara yang disebut sebagai metode
“verstehen” yang dalam bahasa Jerman berarti memahami atau “pemahaman subyektif”
(Johnson dalam Hidayat, 2011). Atau yang oleh Craib disebutnya sebagai “reduksi
fenomenologis” atau “pengurungan” yakni mengesampingkan atau mengurungkan apa yang
sudah kita asumsikan kita tahu, lalu menelusuri proses untuk memahaminya. Hal inilah yang
menjadi prinsip dari paradigma fenomenologi dalam penelitian kualitatif.

Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009) dimulai dari serangkaian
reduksi-reduksi.Reduksi dibutuhkan supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat
obyek-obyek. Reduksi-reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang mengganggu.
Reduksi pertama, menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif,
terbuka untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Ketiga,
menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh
orang lain harus untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri
dapat menjadi fenomin (memperlihatkan diri). Sementara data dari fenemena sosial yang
diteliti dapat dikumpulkan dengan berbagai cara, diantaranya observasi dan interview, baik
interview mendalam (in-depth interview).
Prosedur penelitian Fenomenologi menurut Moustakas (1994)
 Merumuskan topik dan pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang berakar pada
makna-makna biografis dan nilai-nilai
 Melakukan peninjauan yang komprehensif literatur-literatur (telaah dokumen)
secara profesional
 Membuat seperangkat kriteria untuk menentukan lokasi dan peran yang sesuai bagi
peserta penelitian (asisten peneliti dan informan)
 Membekali asisten penelitian dengan serangkaian instruksi mengenai sifat alamiah
dan tujuan dari penelitian
 Mengembangkan serangkaian pertanyaan dan topik, sebagai panduan dalam proses
wawancara (formal dan informal)
 Memimpin dan merekam proses wawacara perorangan, terutama yang
berhubungan langsung dengan tujuan penelitian, serta menentukan perlu tidaknya
wawancara tambahan
 Mengorganisasikan dan menganalisis data, memfasilitasi pengembangan deskripsi
tekstural dan struktural individu, menggabungkan deskripsi tekstural masing-masing
informan, menggabungkan deskripsi struktural masin-masing informan, dan
mensintesiskan makna/esensi dari rangkuman deskripsi tekstural maupun struktural

Analisis dalam penelitian kualitatif fenomenologis menurut Creswell.


 Peneliti memulai dengan mendeskripsikan secara menyeluruh pengalamannya
 Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara) tentang bagaimana
orang-orang memahami topik, rinci pernyataan-pernyataan tersebut (horisonalisasi
data) dan perlakukan setiap pernyataan memiliki nilai yang setara, serta
kembangkan rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang
tindih.
 Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam unit-unit
bermakna (meaning unit), peneliti merinci unit-unit tersebut dan menuliskan sebuah
penjelasan teks (textual description) tentang pengalamannya, termasuk contoh-
contohnya secara seksama
 Peneliti kemudian merefleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi imajinatif
(imaginative variation) atau deskripsi struktural (structural description), mencari
keseluruhan makna yang memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen
(divergent perspectives), mempertimbangkan kerangka rujukan atas gejala
(phenomenon), dan mengkonstruksikan bagaimana gejala tersebut dialami
 Peneliti kemudian mengkonstruksikan seluruh penjelasannya tentang makna dan
esensi (essence) pengalamannya.
 Proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan pengalamannya,
dan kemudian diikuti pengalaman seluruh partisipan. Setelah semua itu dilakukan,
kemudian tulislah deskripsi gabungannya (composite description)

Interpretatif Deduktif
Teori deduktif mengatakan suatu teori dikembangkan melalui proses deduksi. Deduksi
merupakan bentuk inferensi yang menurunkan sebuah kesimpulan yang didapatkan melalui
penggunaan logika pikiran dengan disertai premis-premis sebagai bukti. Teori deduktif
merupakan suatu teori yang menekankan pada struktur konseptual dan validitas
substansialnya. Teori ini juga berfokus pada pembangunan konsep sebelum pengujian
empiris (Utama, 2013).
Dalam penelitian kualitatif, interpretative deduktif digunakan sebagai logika atau cara
penarikan kesimpulan. Yang dimaksud dengan logika sebagaimana didefinisikan oleh
William S.S ialah “pengkajian untuk berpikir secara sahih (valid). Pada teori deduktif
rancangan hubungan konspetualnya diformulasikan dan pengujian dilakukan pada tahap
akhir pengembangan teori. Contoh menggunakan logika ini ialah model berpikir dengan
silogisma, seperti contoh sederhana dibawah ini.
Silogisma
Premis mayor : semua manusia akhirnya mati
Premis minor : Amir manusia
Kesimpulan : Amir akhirnya akan mati
Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan kepada premis-
premis yang kebenarannya telah ditentukan. Dalam logika deduktif, menarik suatu
kesimpulan dimulai dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus dengan
menggunakan penalaran atau rasio. (Nana Sudjana dalam Utama, 2013)

Daftar referensi.
Hidayat, Zaenal. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Fenomenologi: Sebuah Pokok Pikiran.
Dipublikasi dalam filsafatilmu/fisipuniversitasdiponegoro.htm. Diakses pada 15 Oktober 2016.
Moeryadi, Deni. 2009. Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund Husserl. Dipublikasi dalam
jurnalstudi.blogspot.com. Diakses pada 15 Oktober 2016.

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Method. California: Sage Publication.

Utama, I Gusti Bagus Rai. 2013. Filsafat Ilmu dan Logika. Badung: Universitas Dhyana Pura Badung.

Anda mungkin juga menyukai