Anda di halaman 1dari 108

Perjuangan Menghadapi Disintegrasi Bangsa

Pasca Indonesia merdeka di tahun 1945, tidak serta merta kehidupan bangsa Indonesia
menjadi baik. Pemerintahan baru tersebut dihadapkan pada banyak persoalan yang ada di
Indonesia sejak masa kolonial, baik itu bidang sosial, politik dan ekonomi. Sikap pemerintah
yang dianggap “lemah” terhadap tekanan Belanda dan sekutunya di awal kemerdekaan ini
memengaruhi kondisi politik ketika itu. Muncul kelompok-kelompok yang ingin melepaskan
diri dari NKRI. Konflik-konflik di dalam negeri ini menambah beban pemerintah yang di
masa tersebut masih memperjuangkan kedaulatan republik ini dihadapan dunia internasional.
Dalam kurun waktu antara 1948 hingga 1965, gerakan-gerakan separatisme terjadi di
berbagai wilayah Indonesia.
Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-main. Bukan
hanya merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak
mungkin terjadi. Karena itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahayanya
proses disintegrasi bangsa bila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah
menunjukkan hal tersebut.
Para sejarawan membagi peristiwa-peristiwa tersebut atas tiga macam yakni;

a.       Konflik yang berkaitan dengan ideologi


Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII dan
peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme, sedangkan
pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama. Perlu kalian ketahui
bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi Australia, aliran politik besar yang terdapat
di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan (terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955)
terbagi dalam lima kelompok : nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam
(NU dan Masyumi), komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis
Indonesia/kebatinan, dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu
kelompokkelompok tersebut nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi
masing-masing.

b.      Konflik yang berkaitan dengan kepentingan (vested interest)


Termasuk dalam kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz. Vested
Interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok
ini biasanya berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan
sendiri. Mereka juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering
menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz, semuanya
berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia Belanda,
yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya
mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflik pun terjadi.

c.       Konflik yang berkaitan dengan sistem pemerintahan


Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO (Bijeenkomst Federal
Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan dengan
negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati, Indonesia disepakati
akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). RI
menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya misalnya adalah negara Pasundan, negara
Madura atau Negara Indonesia Timur. 

BFO sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk oleh
Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama badan ini
makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra tentang negara-
negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan. Sedangkan pemberontakan
PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan
beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.

1.       Berbagai Pergolakan Didalam Negeri (1948 – 1965 )

a.     Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948

Selain Partai Nasional Indonesia (PNI), PKI merupakan partai politik pertama yang didirikan
sesudah proklamasi. Meski demikian, PKI bukanlah partai baru, karena telah ada sejak jaman
pergerakan nasional sebelum dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat
memberontak pada tahun 1926. Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap
mendukung pemerintah, yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun
ketika golongan kiri terlempar dari pemerintahan, PKI menjadi partai oposisi dan bergabung
dengan partai serta organisasi kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
didirikan Amir Syarifuddin pada bulan Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan
PKI dipegang Muso. Ia membawa PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan
di Madiun pada tanggal 18 September 1948.

Mengapa PKI memberontak? Alasan utamanya tentu bersifat ideologis, dimana mereka
memiliki cita-cita ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Berbagai upaya
dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan Musso, PKI berhasil
menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI. Partai ini lalu
mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh dan petani.
Sebagian kekuatan-kekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh mereka.

Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah dan


membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi Amerika
Serikat (AS).

Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Sovyet yang komunis.
Padahal saat itu AS dan Uni Sovyet tengah mengalami Perang Dingin. Pemerintah Indonesia 
telah  melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan sampai mengikutsertakan
tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak ofensif PKI Muso.
Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan September
1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI dengan TNI 
mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di Madiun.
Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik Soviet
Indonesia.

Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta :

“…Saudara-saudara ! camkan benar apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang kita
tjintai, hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup,
mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan
Sovyet, di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan
untuk merebut seluruh Pemerintahan Republik Indonesia. …Saudara-saudara, camkanlah
benar-benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik Indonesia hendak direbut
oleh PKI Muso! Rakjat jang kutjinta! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku

berseru kepadamu : “Pada saat jang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian
mengalami percobaan jang sebesar-besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu
adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan PKInja jang akan membawa bangkrutnja cita-
cita Indonesia Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan bantuan Tuhan
akan memimpin Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah oleh negeri apa
pun djuga.…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang djudjur, rakyat jang
djudjur,djanganlah memberikan bantuan kepada kaum pengatjau itu. Djangan tertarik
siulan mereka ! …Dengarlah, betapa djahatnja rentjana mereka itu! (Daud Sinyal, 1996).

Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para pemimpin partai
yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan pemerintah yang
dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur pemberontak. Puncaknya
adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi
hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri.
Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan PKI kembali menjadi partai besar
di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ribuan orang tewas
dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan Madiun ini. PKI gagal mengambil alih
kekuasaan. Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di
Madiun ini bagi sejarah Indonesia kemudian?

Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak
pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar” berhasil
didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi, simpati Belanda perlahan
berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga bisa dilepaskan
dari strategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.

Tetapi hal terpenting lain juga perlu dicatat, bahwasanya konflik yang terjadi berdampak pula
pada banyaknya korban yang timbul. Ketidakbersatuan bangsa Indonesia yang tampak dalam
peristiwa ini juga dimanfaatkan oleh Belanda yang mengira Indonesia lemah, untuk
kemudian melancarkan agresi militernya yang kedua pada Desember 1948.

b.      Pemberontakan DI/TII

Pemberontakan DI/TII Di Jawa Barat

Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia bermula dari
sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu adalah salah
seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville yang
membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk
mendirikan negara Islam. Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI
dari daerahdaerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa
Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena
Jawa Barat dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata
Hizbullah dan Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia
pindah dan malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII).

Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski


awalnya ia memimpin perjuangan melawan Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI,
namun akhirnya perjuangan tersebut beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-
citanya. Ia lalu menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan
TII, di Jawa Barat pada Agustus 1948. Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali
balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka
mau bergabung dengan DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau
mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintahpun bersikap tegas. Meski upaya
menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah,
namun sejak tahun 1959, pemerintah mulai melakukan operasi militer.

Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga
masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah
untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu
diadakan pula operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui
operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman
mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo. Di Jawa
Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-
Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional

Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah
beserta pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih. Saat pasukan
TNI kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melakukan agresi
militernya yang kedua, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan
pasukannya dengan pasukan TNI.

Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan
Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan antara pasukan Amir Fatah dengan
TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan
Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya sebagai Panglima TII Jawa Tengah.
Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak
itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI.
Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu lama.
Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir. Desember
1951, ia menyerah.

Pemberontakan DI/TII Di Jawa Tengah

Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin oleh Kiai
Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar
bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan
menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski
demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu
membahu dengan tentara republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI
berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah. Namun kerjasama
antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah hendak melakukan
demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai Sumolangu. Pada akhir
Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. 

Sesudah sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini. Ratusan


pemberontak dinyatakan tewas dan sebagianbesar berhasil ditawan. Sebagian lainnya
melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat
pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat
mengungsi dan ratusan orang ikut terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan
berat.
Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon 426 dari
Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-anggotanya
berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam pun jadinya
tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah gerakan
Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga
Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan
saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.

Pemberontakan DI/TII Di Sulawesi Selatan

Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di Sulawesi
Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. 

Pada tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas
pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara
Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun
kemudian pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII
Kartosuwiryo. Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah
berjuang di Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang
bermarkas di Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke
daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya
Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan
berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi. 
Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-
organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Namun anggota
KGSS menolaknya. Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia
Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar
Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan
minta agar seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin.
Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota
KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi. 

Kahar Muzakkar tidak menerima kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan
pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953
menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo. Pemberontakan
yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk menumpasnya.
Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar tewas
tertembak dalam suatu penyergapan. 

Pemberontakan DI/TII Di Kalimantan Selatan

Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan. Namun
dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang relatif kecil,
dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang besar.
Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 saat
Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap. 
Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa ditelusuri
hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai
pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah tumbuh
menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika penataan
ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak
sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang harus
didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-
penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah
karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk
memberontak. Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua
Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia berhasil mengumpulkan
pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa terhadap pemerintah.
Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang
Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai coba
dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun
pecah.

Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan pemerintahan DI/TII
Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam pemerintahan DI/TII sekaligus
Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung
bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu Hajar menyerah. Ia berharap mendapat
pengampunan. Namun pengadilan militer menjatuhinya hukuman mati. Daerah
pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada sebab dan akhir yang berbeda antara
pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/TII lainnya.
Pemberontakan DI/TII Di Aceh

Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950
pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para
ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini.
Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang
membela republik. Mereka menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam
akan bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah
Daud Beureuh.

Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil Presiden M. Hatta
(1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953?) menyempatkan diri ke
Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami kegagalan. Akhirnya pada tahun
1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh
sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo.

Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu
selama beberapa tahun, sebelum akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh
sebagai daerah istimewa pada tahun 1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari
pertempuran yang telah selesai. Ia mendapat pengampunan.
Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)

Inilah peristiwa yang hingga kini masih menyimpan kontroversi. Utamanya adalah yang
berhubungan dengan pertanyaan “Siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya?”
Setidaknya terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965 ini :

1)      Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).


Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini
menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di
kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu
Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup
bermewahmewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat
seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya,
Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

2)      Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Teori ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut
teori ini AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang
tengah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian
bekerjasama dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar
melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario
CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno.
3)      Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.
Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap
konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan
Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu,
Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang
dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg
Poulgrain.

4)      Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September.


Teori yang dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari
asumsi bahwa Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang
berasal dari sebagian perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun
terseret. Dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal
India yang menjadi sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan
bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan
Jakarta sebelum subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup
lapangan terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok
harinya.

Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian
menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di
Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

5)      Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September
(teori chaos).
Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan bahwa tidak ada dalang
tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya merupakan hasil dari
perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno : “unsur-unsur Nekolim (negara Barat),
pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar”. Semuanya pecah
dalam improvisasi di lapangan.
6)      Dalang Gerakan 30 September adalah PKI
Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara
memperalat unsur-unsur tentara. Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah
dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S,
beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC
PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan, dan Klaten. Teori yang dikemukakan antara
lain oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum
didengar mengenai kudeta tanggal 30 September 1965. 
Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti sejak
Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang diwarnai
dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia
juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing
dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu : AD dengan PKI.

Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan tentara. Ketika
tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini sementara selesai. Hal ini
kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI kian dekat (Crouch, 1999 dan
Ricklefs, 2010 ).

Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan partai
pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi massa
untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti NU dan
PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di kota maupun di desa. PKI berusaha
mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi ofensif
yang dipilih untuk memenuhi harapannya.

Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam kabinet.
Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah
cukup kuat. Pada tahun-tahun sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik
terhadap pemerintah khususnya para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda
dengan mereka.

Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI memproklamasikan


Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh
suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah. 

Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik lagi
karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini sebagian merupakan akibat
dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang agraria (landreform/UU
Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang disebut sebagai kampanye
aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah milik pihak-pihak mapan di
desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama. “Tujuh Setan Desa”
karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon,
tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa. “Setan
Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para pemilik
tanah (Tornquist, 2011).

Adegan-adegan protespun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya


menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan
tanah –terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera Utara–
massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan tanah,
juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara.

Para tuan tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan
pendukung PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur,
segera saja berhadapan muka dengan para santri NU. Di kota-kota tindakan liar juga bukan
tidak terjadi. Ini misalnya tergambar dalam cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di
Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia, yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul
besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh ratusan tukang becak di tengah terik matahari ke
kantor polisi untuk menyelesaikan pertikaian harga becak. Adegan serupa pernah juga terjadi
di berbagai kota. Ada pula para kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan
rakyat (Ong Hok Ham,1999).

Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat.
Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak balasan anti PKI dipelopori
oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor. Hubungan angkatan darat dengan PKI sendiri pada
masa itu juga kian memanas. Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI
terhadap AD.

Pada bulan-bulan awal tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI dengan
menuduhnya sebagai kapitalis birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan
untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan
tahun 1965 atau sebelum pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota
tampaknya sudah semakin bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan
partai yang semakin intensif.

Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AUAL-Polisi yang dikemukakan oleh PKI pada
Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam hubungan
antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan buruh
bersenjata, bebas dari pengawasan mereka.

Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa berarti pengukuhan aksi politik yang matang,
bermuara pada dominasi PKI yang hendak mendirikan pemerintahan komunis yang pro RRC
(Republik Rakyat Cina yang komunis) di Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan
ini akhirnya memang gagal direalisasikan. PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan
Jenderal di tubuh AD yang tengah mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan
“Dokumen Gilchrist” yang ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen
ditafsirkan sebagai isyarat adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local
army friend (kawan-kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta.

Meski kebenaran isi dokumen ini diragukan danJenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah
keberadaan Dewan Jenderal ini saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun
pertentangan PKI dengan angkatan darat kini tampaknya telah mencapai level yang akut.
Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha menghentikan penyerobotan tanah perkebunan
tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara.
Jenderal Yani segera menuntut agar mereka yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy
diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh organisasi-organisasi Islam, Protestan dan
Katolik.

Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok Modern
Gontor seluas 160 hektar (Ambarwulan dan Kasdi dalam Taufik Abdullah, ed., 2012: 139).
Sebuah tindakan yang tentu saja semakin membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat
bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau
peserta mental Training Pelajar Islam Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh
tanpa melepas alas kaki yang penuh lumpur lalu melecehkan Al Quran.

Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah
sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi  pada bulan Juli
sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit
untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan
meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965,
pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak. Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira
yang dekat dengan PKI, pasukan pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September”
dengan menculik dan membunuh para jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober
1965. Jenazah para korban lalu dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya
Jakarta. Mereka adalah : Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor
Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir
Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre
Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari upaya
penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30
September juga melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI,
yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono.

Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan
Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak
menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal
Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal
Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil
menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30
September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di
daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan
September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung
PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh
masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas,
menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.

Pemberontakan APRA

Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada tahun
1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara Belanda:
KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian Pasundan. Basis
pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di Jawa
Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS. Ultimatum
ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan terhadap
Westerling.
APRA malah bergerak menyerbu kota Bandung secara mendadak dan melakukan tindakan
teror. Puluhan anggota APRIS gugur. Diketahui pula kemudian kalau APRA bermaksud
menyerang Jakarta dan ingin membunuh antara lain Menteri Pertahanan Sultan
Hamengkubuwono IX dan Kepala APRIS Kolonel T.B. Simatupang. Namun semua itu
akhirnya dapat digagalkan oleh pemerintah. Westerling kemudian melarikan diri ke Belanda.

Peristiwa Andi Aziz

Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal dari tuntutan
Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di Indonesia)
terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan APRIS di Negara
Indonesia Timur (NIT). Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke
Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di
kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka
akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.

Pasukan KNIL di bawah pimpinan Andi Aziz ini kemudian bereaksi dengan menduduki
beberapa tempat penting, bahkan menawan Panglima Teritorium (wilayah) Indonesia Timur, 
Pemerintahpun bertindak tegas dengan mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Kolonel
Alex Kawilarang.
April 1950, pemerintah memerintahkan Andi Aziz agar melapor ke Jakarta akibat peristiwa
tersebut, dan menarik pasukannya dari tempat-tempat yang telah diduduki, menyerahkan
senjata serta membebaskan tawanan yang telah mereka tangkap. Tenggat waktu melapor
adalah 4 x 24 jam. Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya
telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap di Jakarta setibanya ia ke sana dari Makasar.
Ia juga kemudian mengakui bahwa aksi yang dilakukannya berawal dari rasa tidak puas
terhadap APRIS. Pasukannya yang memberontak akhirnya berhasil ditumpas oleh tentara
Indonesia di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.

Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Sesuai dengan namanya, pemberontakan RMS dilakukan dengan tujuan memisahkan diri dari
Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara sendiri. Diproklamasikan oleh mantan
Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Dr. Ch.R.S. Soumokil pada April 1950, RMS
didukung oleh mantan pasukan KNIL.

Upaya penyelesaian secara damai awalnya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yang
mengutus dr. Leimena untuk berunding. Namun upaya ini mengalami kegagalan.
Pemerintahpun langsung mengambil tindakan tegas, dengan melakukan operasi militer di
bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.
Kelebihan pasukan KNIL RMS adalah mereka memiliki kualifikasi sebagai pasukan
komando. Konsentrasi kekuatan mereka berada di pulau

Ambon dengan medan perbentengan alam yang kokoh. Bekas benteng pertahanan Jepang
juga dimanfaatkan oleh pasukan RMS. Oleh karena medan yang berat ini, selama peristiwa
perebutan pulau Ambon oleh TNI, terjadi pertempuran frontal dan dahsyat dengan saling
bertahan dan menyerang. Meski kota Ambon sebagai ibukota RMS berhasil direbut dan
pemberontakan ini akhirnya ditumpas, namun TNI kehilangan komandan Letnan Kolonel
Slamet Riyadi dan Letnan Kolonel Soediarto yang gugur tertembak. Soumokil sendiri
awalnya berhasil melarikan diri ke pulau Seram, namun ia akhirnya ditangkap tahun 1963
dan dijatuhi hukuman mati.

Pemberontakan PRRI dan Permesta

Munculnya pemberontakan PRRI dan Permesta bermula dari adanya persoalan di dalam
tubuh Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera
dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang Kepala Staf
Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi
daerah. Ada ketidakadilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap
pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan
tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan
tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957, seperti :

1)      Dewan Banteng di Sumatra Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
2)      Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
3)      Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
4)      Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Dewan-dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah di
wilayahnya masing-masing. Beberapa tokoh sipil dari pusatpun mendukung mereka bahkan
bergabung ke dalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan
Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha
mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal. Ahmad Husein lalu
mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dan
menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat.
Krisis pun akhirnya memuncak ketika pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein
memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di
Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti
pemerintahan ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Bagi Syafruddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara
Indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di
pusat. Tokoh-tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai
Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias
pula oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara.  

Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI,


mendeklarasikan Permesta sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat
(kabinet Juanda). Pemerintah pusat tanpa ragu-ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer
dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam-diam ternyata didukung Amerika Serikat.
AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap
pemerintah pusat Indonesia yang bisa saja semakin dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga
pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan.
Persoalan Negara Federal dan BFO

Konsep Negara Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/Bijeenkomst Federal


Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia
sendiri setelah kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan
federalis yang ingin bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang
ingin Indonesia menjadi negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada
24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh
wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI
yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil
konferensi.

Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau
tidak oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan
dalam konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan
negara federal ini (1947).

Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung
pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak
kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk
Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta
R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). 

Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur).
Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan
BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini
kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak
Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama
dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah
Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris
makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis. Salah
satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI,
sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS
berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL
menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang
masuknya anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.).

Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas
sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini. Namun selain pergolakan yang mengarah
pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini
terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB,
harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara bagian tersebut
bergabung ke RI.

2. Perjuangan Tokoh Nasional dan Daerah dalam Mempertahankan Keutuhan Negara


dan Bangsa Indonesia
Perjuangan bangsa indonesia dalam menegakkan keutuhan wilayah dan bangsa dibagi
menjadi dua yaitu perjuangan melawan ancaman dari luar dan perjuangan melawan ancaman
dari dalam. Peranan tokoh yang berjuangan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara
pada masa 1948-1965 yaitu sebagai berikut.

a. Frans Kaisiepo
Pahlawan berikutnya adalah pahlawan yang berasal dari Irian. Namanya diabadikan menjadi
nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak serta diabadikan di salah satu kapal yaitu KRI
Frans Kaisiepo dan wajahnya diabadikan dalam mata uang Rp.10.000,00.

Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921. Pada usia 24 tahun, ia
mengikuti kursus Pamong Praja di Jayapura yang salah satu pengajarnya adalah, Sugoro
Atmoprasodjo, yang merupakan mantan guru Taman Siswa. Sejak bertemu dengan beliau,
jiwa kebangsaan Frans Kaisiepo semakin tumbuh dan kian bersemangat untuk
mempersatukan wilayah Irian ke dalam NKRI.

Frans Kaisiepo wafat tanggal 10 April 1979. Atas jasa dan perjuangannya selama
mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional.

b. Silas Papare
Silas Papare adalah keturunan asli Papua  yang lahir di Serui tahun 1918. Silas Papare
mengenyam pendidikan sekolah zending dan pendidikan juru rawat. Silas papare bekerja di
rumah sakit di Serui selama 3 tahun, kemudian bekerja pada perusahaan minyak di Sorong
sampai Jepang masuk pada awal 1942. Setelah itu Silas kembali ke Serui dan menjadi petani.
Pada tahun 1944 Silas Papare direkrut oleh Amerika untuk menjadi mata-mata  membantu
Amerika mengusir Jepang dari Irian. Pasca Jepang kalah pada  Perang dunia ke-2, Belanda
kembali mendirikan pemerintahan kolonialnya di Irian. Karena tidak menyukai Belanda,
Silas kembali lagi ke Serui dan bekerja di rumah sakit.
Pada Desember 1945, Silas bersama teman-temannya berusaha mempengaruhi pemuda-
pemuda Irian Barat yang tergabung dalam Batalyon Papua untuk melancarkan
pemberontakan. Rencana tersebut gagal karena bocornya informasi. Ia kemudian ditangkap
dan dipenjarakan di Jayapura. Saat menjalani masa tahanan di Jayapura, Silas Papare
berkenalan dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur sulawesi yang diasingkan oleh Belanda di
tempat tersebut. Perkenalannya dengan Sam Ratulangi membuatnya semakin yakin bahwa
Papua harus bebas dan bergabung dengan Negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan
keyakinanya tersebut akhirnya pada November 1946 Silas Papare mendirikan Partai
Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). 
PKII  berperan penting dalam menumbuhkan dan membesarkan benih nasionalisme
keindonesiaan di Tanah Papua (Irian). Di bawah ancaman penjajah Belanda, aktivitas PKII
dinyatakan ilegal. Namun Papare dan kawan-kawannya terus berjuang di bawah tanah.
Dalam tekanan Belanda yang ketat itu anggota PKII terus bertambah. Pada tahun 1949 PKII
tercatat memiliki anggota 4000 orang. Keberanian Silas Papare dalam mendirikan PKII
membuatnya kembali ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun kemudian ia
berhasil melarikan diri menuju Yogyakarta.
Pada Oktober 1949 di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian dalam rangka
membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam
wilayah NKRI. Pada tahun 1951 Silas Papare membentuk Kompi Irian 17 di Markas Besar
Angkatan Darat untuk mendukung politik Pemerintah di forum Internasional dalam usaha
pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia. Konfrontasi yang berlarut-larut
antara Indonesia dan Belanda mengenai Irian Barat mendorong Papare terus aktif dalam
perjuangan membebaskan tanah kelahirannya dari penjajah Belanda. Papare kemudian aktif
dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB). Dengan dibawanya masalah Irian ke
PBB, Pemerintah Sukarno lalu membentuk Biro Irian yang diresmikan pada bulan Agustus
1954. 
Pada 15 Agustus 1962 Papare diminta Presiden Sukarno menjadi salah seorang anggota
delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat, yang mengakhiri
konfrontasi Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Barat. Pada 1 Mei 1963, Irian Barat
pun resmi menjadi wilayah Republik Indonesia. Sesuai dengan isi persetujuan New York,
nama Irian Barat diganti menjadi Irian Jaya. Papare kemudian diangkat menjadi angota
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mewakili Irian Barat. Bergabungnya
Irian Jaya dipertegas oleh Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang
dimenangkan oleh pihak yang pro Republik Indonesia. Kemenangan tersebut sesuai dengan
cita-cita perjuangan Papare dalam mewujudkan keinginan sebagian besar rakyat Irian untuk
bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada tahun 1970an Silas Papare kembali ke tanah kelahirannya di Serui. Papare meninggal di
pulau kelahirannya pada 7 Maret 1978 dalam usia 60 tahun. Namanya diabadikan menjadi
salah satu korvet Angkatan Laut  Republik Indonesia (ALRI) dengan nomor lambung 386.
Selain itu, di pelabuhan laut Serui, didirikan pula Monumen Silas Papare. Sementara di
Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi yaitu Sekolah Tinggi
Ilmu Politik (STISIPOL) Silas Papare. Oleh Pemerintah Indonesia Silas Papare dianugerahi
gelar pahlawan Nasional, pada tanggal 14 September 1993 dengan dikeluarkannya Keppres
No. 77/TK/1993.

c. Marthen Indey
Marthen Indey lahir pada 14 Maret 1912 di Doromena, Jayapura, Irian Jaya. Ia mendapat
pendidikan setingkat Sekolah Dasar, serta Sekolah Pelayaran.

Usai Sekolah Pelayaran, Marthen Indey Kemudian Sekolah Kapolri (1968-1971) polisi di
Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya ia berprofesi sebagai anggota Kapolri (1968-1971) polisi
Hindia Belanda, namun kemudian berganti haluan.

Tahun 1941 Marthen Indey bertugas mengawasi pejuang-pejuang Indonesia yang diasingkan
Belanda di Digul.  Pada masa penjajahan Belanda, Digul memang dikenal sebagai tempat
pembuangan dan pengasingan para pejuang Tanah Air yang melawan kebijakan penjajah
kolonial.  Di sana, ia berkenalan dengan beberapa orang tahanan politik, antara lain Sugoro
Atmoprasojo, bekas guru Taman Siswa.

Perkenalan itu menumbuhkan rasa nasionalisme dalam jiwa Marthen Indey. Sejak saat itulah,
paham nasionalisme mulai mempengaruhi Marthen. Bersama 30 orang temannya ia
merencanakan untuk menangkap aparat pemerintah Hindia Belanda.

Akan tetapi, rencananya tersebut tak berjalan semestinya sehingga mengalami kegagalan.
Marthen Indey pun dipindahkan ke tempat terpencil di hulu Sungai Digul.

Saat Jepang menginjakkan kakinya di wilayah Irian Barat, Marthen Indey dipindahkan ke
Australia untuk mengikuti pemerintahan Hindia Belanda dalam pelarian.

Ia baru kembali ke tanah kelahirannya pada tahun 1944. Saat itu, kedatangannya bersama
tentara Sekutu. Pada masa Perang Dunia II Marthen Indey ikut bertempur bersama pasukan
sekutu menghadapi Jepang di Irian. Pemerintah Belanda kemudian mengangkatnya sebagai
pelatih dalam Batalyon Papua. Jabatan sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris juga
pernah diembannya selama 2 tahun, yakni dari tahun 1945 hingga 1947. 

Namun secara diam-diam, ia berkomunikasi dengan para mantan tahanan politik kolonial
Digul yang bekerja sebagai guru Sekolah Pamong Praja di kota Nica (sekarang Kampung
Harapan).  Mereka dipersiapkan mengadakan suatu pemberontakan guna mengusir Belanda
dari bumi Irian Barat. Sayangnya rencana itu terbongkar sebelum sempat dilaksanakan.
Marthen juga melakukan perjuangan melalui jalur politik. Pada bulan Oktober 1946, ia
menjadi anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM). Pada perkembangan berikutnya, KIM
berganti nama menjadi PIM (Partai Indonesia Merdeka) dan Marthen Indey sebagai
ketuanya. 

Pada saat kepemimpinannya di PIM, Marthen bersama 12 kepala suku lainnya


menyampaikan protes kepada pemerintah Belanda yang berusaha memisahkan Irian Barat
dari Republik Indonesia. Tak pelak, protes yang dilancarkannya itu menimbulkan kecurigaan
di kubu pemerintah Belanda. Dalam kesempatan cuti di Ambon bulan Januari 1946, ia
menghubungi tokoh-tokoh mantan sersan militer Inggris Maluku yang pro-RI. 

Sampai pada akhirnya Belanda pun mengetahui bahwa Marthen sering mengadakan
komunikasi dengan kelompok pro-Indonesia di Ambon. Ia pun ditangkap pemerintah
Belanda dan harus mendekam di penjara selama tiga tahun. Seakan tak kenal lelah, peran
serta Marthen Indey dalam membebaskan Irian Barat dari belenggu penjajahan terus
berlanjut. Pada bulan Januari 1962, di masa Tri Komando Rakyat (Trikora), ia menyusun
kekuatan gerilya dan membantu menyelamatkan beberapa anggota RPKAD yang didaratkan
di Irian Jaya selama Trikora, banyak di antaranya yang dilindungi Marthen Indey di
rumahnya.

Di tahun yang sama, ia menyampaikan Piagam Kota Baru kepada Proklamator, Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno. Piagam tersebut berisi
penegasan tekad rakyat Irian Jaya untuk tetap setia kepada NKRI. 
Pada bulan Desember 1962, guna melakukan perundingan dengan utusan Belanda mengenai
pengembalian Irian Barat ke dalam wilayah RI, bersama E. Y. Bonay, Marthen
diberangkatkan ke New York sebagai anggota delegasi Indonesia mewakili Irian Jaya untuk
menyampaikan tuntutan kepada PBB agar masa pemerintahan sementara dipersingkat dan
Irian Barat segera dimasukkan ke dalam wilayah RI.

Trikora diakhiri dengan perjanjian antara RI dan Belanda. Untuk sementara, Irian Barat
ditempatkan di bawah pemerintahan sementara PBB. Sesudah Irian Barat resmi menjadi
wilayah RI dan namanya diganti menjadi Irian Jaya, Marthen Indey menyumbangkan
tenaganya untuk membangun daerah itu.  Atas jasa-jasanya, Marthen Indey kemudian
diangkat menjadi anggota MPRS (Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara) mewakili
Irian Jaya, terhitung dari tahun 1963 hingga 1968. 

Selain sebagai anggota MPRS, jabatan sebagai kontrolir berpangkat mayor tituler
diperbantukan pada Residen Jayapura juga dipercayakan padanya.

Marthen Indey meninggal dunia pada 17 Juli 1986 di usianya yang ke 74 tahun. Atas jasa-
jasanya kepada negara, Marthen Indey dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

d. Sultan Hamengkubowono IX

Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912 dengan


nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono
VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara.
Pada tanggal 2 Oktober 1988, Sultan Hamengkubuwono IX meninggal dunia di George
Washington University Medical Centre, Amerika Serikat. Atas jasa dan berbagai perannya
bagi bangsa dan negara Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional.

e. K. H. Hasyim Asy’ari

Ternyata, Squad, mereka yang mempertahankan kemerdekaan tidak hanya datang dari
kalangan sipil dan tentara saja, lho. Salah satu tokoh yang berjuang mempertahankan
kemerdekaan NKRI adalah K.H. Hasyim Asy’ari. Beliau merupakan salah satu ulama yang
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa
Tengah tanggal 10 April 1875. Pondok Pesantren Tebuireng didirikan pada tahun 1899 serta
memelopori pendirian organisasi massa Islam Nahdhatul Ulama (NU) tanggal 31 Januari
1926. K.H. Hasyim Asy’ari memiliki peran dalam upaya memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara lain:

K.H. Hasyim Asy’ari wafat tanggal 25 Juli 1947. Wafatnya beliau terjadi ketika utusan Bung
Tomo serta pemimpin Hizbullah Surabaya Kyai Gufron bertamu ke pesantren Tebuireng.
Kedatangan dua tamu tersebut berupaya memberitahu K.H. Hasyim Asy’ari bahwa pasukan
Belanda melakukan Agresi Militer 1 dan menduduki kota Malang yang sebelumnya dikuasai
pasukan Hizbullah.

Berita itu mengejutkan K.H. Hasyim Asy’ari dan membuat beliau jatuh pingsan di atas
kursinya. Dokter segera didatangkan namun sayangnya ia sudah wafat akibat pendarahan
otak. Pemerintah RI lantas menghargai jasa-jasanya dan pengabdiannya dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964,
yang menyatakan bahwa Pemerintah RI menganugerahi K.H. Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.

f. Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914 – meninggal di Kampung
Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah salah
seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni
di Jakartayaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.

Ismail Marzuki lahir dan besar di Jakarta dari keluarga Betawi. Nama sebenarnya adalah
Ismail, sedangkan ayahnya bernama Marzuki, sehingga nama lengkap beliau menjadi Ismail
bin Marzuki. Namun, kebanyakan orang memanggil nama lengkapnya Ismail Marzuki,
bahkan di lingkungan teman-temannya kerap dipanggil Mail, Maing atau bang Maing. Ia
dilahirkan di kampung Kwitang, tepatnya di kecamatan Senen, wilayah Jakarta Pusat, pada
tanggal 11 Mei 1914. Tiga bulan setelah Ismail dilahirkan, ibunya meninggal dunia.
Sebelumnya Ismail Marzuki juga telah kehilangan 2 orang kakaknya bernama Yusuf dan
Yakup yang telah mendahului saat dilahirkan. Kemudian beliau tinggal bersama ayah dan
seorang kakaknya yang masih hidup bernama Hamidah, yang umurnya lebih tua 12 tahun
dari Ismail

Ismail Marzuki memulai debutnya di bidang musik pada usia 17 tahun, ketika untuk pertama
kalinya ia berhasil mengarang lagu "O Sarinah” pada tahun 1931. Ismail mempunyai
kepribadian yang luhur di bidang seni. Tahun 1936, Mail memasuki perkumpulan orkes
musik Lief Java sebagai pemain gitar, saxophone dan harmonium pompa.

Pada tahun 1940 Ismail Marzuki pun menikah dengan Eulis Zuraidah, seorang primadona
dari klub musik yang ada di Bandung dimana Ismail Marzuki juga tergabung didalamnya.
Pasangan ini kemudian mengadopsi seorang anak bernama Rachmi, yang sebenarnya masih
keponakan Eulis.

Pada masa penjajahan Jepang, Ismail Marzuki turut aktif dalam orkes radio pada Hozo Kanri
Keyku Radio Militer Jepang. Dan ketika masa kependudukan Jepang berakhir, Ismail
Marzuki tetap meneruskan siaran musiknya di RRI. Selanjutnya ketika RRI kembali dikuasia
Belanda pada tahun 1947, Ismail Marzuki yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan
memutuskan untuk keluar dari RRI. Ismail Marzuki baru kembali bekerja di radio setelah
RRI berhasil diambil alih. Ia kemudian mendapat kehormatan menjadi pemimpin Orkes
Studio Jakarta. Pada saat itu ia menciptakan lagu Pemilihan Umum dan diperdengarkan
pertama kali dalam Pemilu 1955.

Beberapa karya Ismail Marzuki yang cukup dikenal antara lain:

- Tahun 1931, untuk pertama kalinya Ismail menciptakan lagu yang berjudul “Oh Sarinah”
yang syairnya dibuat dalam bahasa Belanda.

- Tahun 1935, sewaktu berusia 21 tahun muncul karyanya dalam bentuk keroncong yang
berjudul Keroncong Serenata.

- Tahun 1936, mencipta Roselani, judul ini membawa kita ke suasana romantis alam Hawaii
di Samudra Pasifik.

- Tahun 1937, muncul lagu-lagu yang mengambil latar belakang “Hikayat 1001 Malam”
berjudul Kasim Baba saat Ismail berusia 23 tahun; dan mencipta gubahan keroncong yang
berjudul keroncong sejati bermodus minor bernafaskan melodi yang melankolis.

- Tahun 1938, mengisi ilustrasi musik film berjudul “Terang Bulan”. Di dalamnya ada 3 buah
lagu, antara lain: Pulau Saweba, Di Tepi Laut, Duduk Termenung. Film ini dibintangi oleh
Miss Rukiah, Kartolo, Raden Mochtar dan lain-lain. Pemuda Ismail turut berperan dalam film
tersebut yakni bermain musik dengan rekan-rekannya sebagai pelengkap skenario. Film ini
diputar di Malaya. Ismail bernyanyi untuk adegan Raden Mochtar sewaktu menyanyi.

- Tahun 1939, keluar ciptaan sebanyak 8 buah lagu, 2 lagu diantaranya berbahasa Belanda,
yaitu: Als de Ovehedeen dan Als’t Meis is in de tropen. Sedang lagu-lagu Indonesianya
adalah Bapak Kromo, Bandaneira, Olee lee di Kutaraja, Rindu Malam, Lenggang Bandung,
Melancong ke Bali. Dalam periode ini Ismail belum menciptakan lagu-lagu perjuangan.

Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki yang paling populer adalah Rayuan Pulau Kelapa yang
digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran oleh stasiun TVRI pada masa
pemerintahan Orde Baru.
Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan dibukanya Taman
Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di Salemba, Jakarta Pusat. Pada
tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia.

Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan. Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi


musik dalam film Terang Bulan.

Ismail Marzuki tutup usia pada umur 44 tahun 25 Mei 1958 di kediamannya, kawasan Tanah
Abang, Jakarta Pusat, karena penyakit paru-paru yang dideritanya.

g. Opu Daeng Risaju

Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk
pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo
(sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh
orang-orang PSII. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII
pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu
Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju.
Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju. Opu Daeng Risaju
dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua. Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu
Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia
lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam
merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu
anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu
tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut
(menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII
yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari
rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai
seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat. Opu Daeng Risaju ketika
berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA.
Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan
kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk
menangkapnya.

h. Abdul Haris Nasution

Peran Jenderal Abdul Haris Nasution adalah berjuang mempertahankan kemerdekaan


bersama Divisi Siliwangi dan dengan memberantas pemberontakan KI di Madiun pada tahun
1948.  

Jenderal Abdul Haris Nasution (Lahir 3 Desember 1918, di  Mandailing Natal, Sumatera
Utara, meninggal 5 September 2000, di Jakarta) adalah seorang pahlawan Indonesia dan
tokoh TNI.

Nasution awalnya bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selepas proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
Nasution menjadi perwira di Divisi Siliwangi, dan memimpin pasukannya mempertahankan
Indonesia.

Nasution dan Divisi Siliwangi berperan besar menumpas pemberontakan PKI di Madiun yng
meletus di tahun 1948.  
Setelah pengakuan kemerdekaan oleh Belanda, Nasution menjadi perwira dan pernah
menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Jenderal Abdul Haris Nasution menjadi target penculikan oleh Gerombolan G30S/PKI karena
merupakan Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang
dikenal sangat menentang PKI.   Posisi ini menjadikannya orang kedua di TNI setelah
Jenderal Ahmad Yani, yang menjabat sebagai Panglima TNI.

Penculikan ini dilakukan pada malam 30 September dan menewaskan para jenderal Angkatan
Darat, termasuk Ahmad Yani. Gerakan 30 September mencoba menguasai Jakarta dan
mengumumkan dibentuknya "Dewan Revolusi". Namun Jenderal AH Nasution berhasil lolos.
Setelah lolos, bersama Jenderal Suharto, Nasution memimpin penumpasan Gerombolan
G30S/PKI.

i. Jendral Ahmad Yani

Pada masa awal setelah kemerdekaan, Ahmad Yani bergabung dengan tentara republik yang
berjuang melawan Belanda. Ahmad Yani kemudian membentuk batalion untuk
membebaskan dan mempertahankan Magelang. Awal 1949, Ahmad Yani menginisiasi
serangan gerilya untuk mengalihkan fokus Belanda agar serangan ke Yogyakarta oleh Letkol
Soeharto pada 1 Maret berjalan mulus. Pada 1952, Ahmad Yani ditugaskan untuk
menghadapi kelompok pemberontak Darul Islam di Jawa Tengah yang ingin membangun
negara teokrasi. Ahmad Yani membentuk pasukan khusus The Banteng Raiders untuk
memukul mundur kelompok separatis tersebut. Kemudian pada Agustus 1958, ia
memerintahkan serangan terhadap pemberontak di Sumatera Barat. Keberhasilannya ini
membuatnya dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat kedua pada 1 September
1962. 
INDONESIA PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN SAMPAI MASA DEMOKRASI
LIBERAL

UPAYA MEMPESIAPKAN KEMERDEKAAN INDONESIA


Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesian (BPUPKI)
Pada 7 September 1944, dalam sidang parlemen istimewa di Tokyo, Perdana Menteri Jepang,
Koiso mengumumkan pendirian pemerintah Jepang terhadap bangsa-bangsa yang
dikuasainya, termasuk Indonesia. Koiso mengatakan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia)
akan diperkenankan merdeka kelak.
Tujuan BPUPKI ialah mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan
dengan pembentukan negara Indonesia merdeka.
Gagasan mengenai rumusan dasar negara dikemukakan oleh 3 orang, yaitu Moh. Yamin,
Supomo, Soekarno. Soekarno memberi nama Pancasila pada gagasannya tanggal 1 juni 1945
oleh sebab itu, 1 Juni dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila
Untuk menampung saran dan usul dari anggota BPUPKI, maka dibentuk sebuah panitia kecil
yang disebut Panitia Sembilan. Kesembilan orang tersebut menghasilkan rumusan yang
diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

A. KEADAAN POLITIK INDONESIA PADA AWAL KEMERDEKAAN

Maklumat Politik 3 November 1945 yang dikeluarkan wakil presiden Moh.Hatta


hadir sebagai sebuah peraturan dari pemerintah Indonesia yang bertujuan mengakomodasi
suara rakyat yang majemuk.
Kemunculan partai-partai yang berhaluan sosialis-komunis pada awalnya merupakan
bentuk pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Namun, seiring pekembangannya, parta ini
menerapkan cara-cara revolusioner yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Dilatarbelakangi oleh keadaan Jakarta di awal 1946 yang sanagt rawan oleh teror dan
intimidasi pihak asing, mengharuskan para petinggi bangsa memindahkan ibukota negara ke
Yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk sementara waktu.

A. Perjuangan Diplomasi
Perjuangan diplomasi adalah perjuangan yang dilakukan dengan cara melakukan perundingan
dengan sekutu (Belanda) untuk mendapatkan hak dan kewajiban (hukum-hukum).
Contohnya Indonesia juga mengadakan perundingan langsung dengan Belanda. Berbagai
perundingan yang pernah dilakukan untuk menyelesaikan konflik Indonesia- Belanda
misalnya: Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Persetujuan Roem-Royen,
Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar. Nah dari perundingan itu
muncullah salah satu kebijakan yaitu terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
masih banyak lainnya.

B. Berbagai Perjuangan Diplomasi Indonesia dalam Mempertahankan


Kemerdekaan

Pasca Poklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami berbagai tantangan


dan ujian sebagai sebuah negara baru. Perang dan diplomasi adalah dua jalan yang dilakukan
dalam upaya pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan RI. Berbagai perundingan dan
perjanjian untuk mencapai cita-cita tersebut dilakukan terus menerus tidak pernah menyerah
dan putus asa. Kondisi dalam negeri juga mempengaruhi upaya yang dilakukan.

Dimulai dengan kedatangan pasukan sekutu/Inggris pada tanggal 29 September 1945. Pada
awalnya, kedatangan pasukan tersebut disambut dengan baik dan netral oleh pihak Indonesia.
Tetapi, akhirnya diketahui bahwa pasukan itu juga membawa orang-orang NICA sehingga
menimbulkan kecurigaan akan upaya Belanda untuk menjajah/mengambil kekuasaan mereka
kembali. Namun hal tersebut juga sudah diantisipasi oleh pasukan sekutu, karena walau
bagaimanapun mereka tidak bisa melakukan tugasnya dengan baik tanpa bantuan pemerintah
Indonesia. Oleh karena itu, pihak sekutu melakukan perundingan dengan pihak Indonesia
yang mengahasilkan keputusan mengenai pengakuan Republik Indonesia secara de facto pada
tanggal 1 Oktober 1945.

Berbagai perjuangan diplomasi yang dilakukan Indonesia antara lain:

a. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, dekat
Cirebon. Dalam Perjanjian ini, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan
tiga anngota lainnya yaitu, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK GANI ,
sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Scermerhorn yang beranggotakan Max Van Poll, Fde
Boer, dan H.J.Van Mook. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat
Inggris.
Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk
(sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut:
a)  Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
b)  Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
c) Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik
Indonesia.
d) Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

b. Agresi Militer 1
Perjanjian Linggarjati yang telah disepakati tanggal 25 Maret 1947 hanya berlangsung sekitar
4 bulan. Karena Belanda melanggarnya dan mulai melancarkan serangan serentak di
beberapa daerah di Indonesia dengan nama “ Operatie Product”. Terjadi perbedaan
penafsiran pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan militer yang disebut sebagai
Agresi Militer Belanda I. TNI melawan serangan agresi Belanda tersebut menggunakan
taktik gerilya. TNI berhasil membatasi gerakan Belanda hanya di kota-kota besar saja dan di
jalan raya.
Untuk menyelesaikan masalah Indonesia-Belanda, pihak PBB membentuk Komisi yang
dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN). Tugas KTN adalah menghentikan
sengketa RI-Belanda. Indonesia diwakili oleh Australia, Belanda diwakili oleh Belgia, dan
Amerika Serikat sebagai penengah. Adapun delegasinya adalah sebagai berikut:
1) Australia (tunjukkan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
2) Belgia (tunjukkan Belanda), diwakili oleh Paul Van Zeland.
3) Amerika Serikat (netral), diwakili oleh Dr. Frank Graham.

c. Perjanjian Renville
Atas usul KTN maka pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan Perjanjian antara
Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville milik AS yang sedang berlabuh di Jakarta.
1) Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin.
2) Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
3) Delegasi Australia dipimpin oleh Richard C. Kirby.
4) Delegasi Belgia dipimpin oleh Paul van Zeeland.
5) Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17
Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai
berikut.
1) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS).
2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintah federal.
3)   RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.
4)   Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.

d. Agresi Militer II
Pada 18 Desember 1948, Belanda di bawah pimpinan Dr. Bell mengumumkan bahwa
Belanda tidak terikat lagi oleh Persetujuan Renville. Pada 19 Desember 1948 Belanda
mengadakan Agresi Militer II ke ibu kota Yogyakarta. Dalam agresi itu Belanda dapat
menguasai Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan
dan diasingkan ke Pulau Bangka. Beliau lalu mengirimkan mandat lewat radio kepada Mr.
Syaffruddin Prawiranegara. Isinya agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI), di Bukit Tinggi Sumatra Barat.
Pada 1 Maret 1949 Brigadir X mengadakan serangan umum ke Yogyakarta. Penyerangan ini
dipimpin Letkol. Soeharto. Serangan ini memakai sandi "Janur Kuning". Serangan ini dikenal
juga dengan "Serangan Umum 1 Maret". Dalam penyerangan ini Tentara Republik Indonesia
dalam serangan ini berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.

e. Serangam Umum 1 Maret di Yogyakarta


Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada bulan Desember 1948 ibu
kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta beserta sejumlah menteri ditawan oleh Belanda. Belanda menyatakan bahwa RI telah
runtuh. Namun di luar perhitungan Belanda pada saat yang krisis ini terbentuklah Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Buktitinggi, Sumatera Barat. Di samping itu Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI
sehingga masyarakat Yogyakarta juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI di
bawah Jenderal Sudirman yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua komandan
TNI melalui surat Perintah Siasat No.1 bulan November 1948 isinya antara lain:
1) Memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap
posisi militer Belanda.
2) Memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan
(wehrkreise.)
3)  Memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk
segera meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi
Siliwangi harus kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta.

Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan
TNI setempat yakni Brigadir X di bawah Letkol Soeharto. Dengan adanya agresi Militer
Belanda maka dalam beberapa minggu kesatuan TNI dan kekuatan bersenjata lainnya
terpencar-pencar dan tidak terkoordinasi. Namun para pejuang mampu melakukan
komunikasi melalui jaringan radio, telegram maupun para kurir. Bersamaan dengan upaya
konsolidasi di bawah PDRI, TNI melakukan serangan secara besar-besaran terhadap posisi
Belanda di Yogyakarta. Serangan ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh
Letkol Soeharto. Sebelum serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta persetujuan kepada
Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Serangan Umum ini dilakukan dengan mengkonsentrasikan pasukan dari sektor Barat (Mayor
Ventje Samual), Selatan dan Timur (Mayor Sarjono) dan Sektor Kota (Letnan Amir Murtono
dan Letnan Masduki). Serangan umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para
pejuang dapat menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam 12.00.
Berita Serangan Umum ini disiarkan RRI yang sedang bergerilya di daerah Gunung Kidul,
yang dapat ditangkap RRI di Sumatera, selanjutnya dari Sumatera berita itu disiarkan ke
Yangoon dan India. Keesokan harinya peristiwa itu juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke PDRI
di Buktitinggi melalui radiogram dan juga disampaikan pula kepada Maramis. (diplomat RI
di New Delhi, India) dan L.N. Palar (Diplomat RI di New York, Amerika Serikat).

f.  Perjanjian Roem-Royen


Perjanjian ini merupakan perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan
yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den
Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang
bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan federal
(BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar
dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI
berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang
dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia :
1) Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
2) Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik.
3) Menyetujui kedaulatan RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
4) Menyelenggarakan KMB segera sesudah pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta.

g. Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen.
Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan
Permusyawaratan Federal). Pertemuan ini dikenal dengan dengan Konferensi Inter-Indonesia
(KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia dalam
menghadapi KMB.
Konferensi Inter-Indonesia diadakan pada tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan
tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949 di Jakarta. Pembicaraan difokuskan pada
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Keputusan yang cukup penting adalah akan
dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa ikatan politik dan ekonomi.
KMB merupakan langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian sengketa
Indonesia – Belanda. Kegiatan KMB dilaksanakan di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus
sampai 2 November 1949. Dalam KMB tersebut dihadiri delegasi Indonesia, BFO, Belanda,
dan perwakilan UNCI. Berikut ini para delegasi yang hadir dalam KMB:
1) Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo
2) BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
3) Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
4) UNCI diwakili oleh Chritchley.

B. PERKEMBANGAN EKONOMI PADA AWAL KEMERDEKAAN

Kebijakan Ekonomi-Keuangan Domestik


Kebijakan pemerintah Republik Indonesia untuk mengeluarkan ORI memiliki dua
signifikansi utama. Pertama, menekan inflasi yang disebabkan oleh beredarnya mata uang
asing di Indonesia. Kedua, untuk menstabilkan harga-harga barang yang tidak tergapai oleh
daya beli masyarakat.

Kebijakan Ekonomi-Keuangan Internasional


Melalui jalur politik, strategi diplomasi yang digunakan oleh pemerintah Indonesia adalah
dengan cara memberikan bantuan kepada India yang dilanda bencana kelaparan yang
berkepanjangan.
Melalui jalur ekonomi pemerintah Indonesia menerapkan strategi untuk membuat
sebuah kontak dagang langsung dengan negara asing.
Kebijakan Birokrasi Pemerintahan
Susunan birokrasi yang baik dan efisien di dalam suatu pemerintahan merupakan syarat
mutlak untuk mencapainya kinerja pemerintahan yang optimal atau terciptanya sebuah good
governance.
Pada sidang pertama, 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945, mengangkat
Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakilnya dan membentuk Komite Nasional
Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pada sidang kedua, 19 Agustus 1945, PPKI membentuk 12 departemen dan 4 menteri
negara tanpa portofolio sebagai badan eksekutif, serta membagi wilayah administrasi menjadi
8 provinsi.

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Bidang Militer


Dalam rangka memelihara keselamatan negara dan bangsa, pemerintah membentuk
Badan Keamanan Rakyat (BKR) senagai bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban
Perang (BPKKP). Anggota BKR adalah mantan anggota pasukan rekrutan Jepang seperti
Heiho, Peta, Keibodan, dan Seinendan
Pada 5 Oktober 1945 dikeluarkan maklumat berdirinya Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Pada Januari 1946, TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Pada 3
Juni 1947, TRI diubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jenderal Sudirman
diangkat sebagai panglima TNI dan dilantik pada 28 Juni 1947 di Yogyakarta

Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Bidang Hubungan antara Pusat dan Daerah
Para pendiri negara membuat struktur pemerintahan yang terdiri atas pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat terhubung dengan pemerintah daerah dalam hal
birokrasi, sekaligus berperan sebagai pengontrol pemerintahan dan pengawasan pemerataan
pembangunan
C. Perkembangan Politik pada Masa Demokrasi Liberal

Pasca kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Indonesia berusaha mencari sistem


pemerintahan yang dirasakan sesuai dengan kehidupan berbangsa Indonesia. Pada saat itu
baik sebelum atau sesudah kemerdekaan, terdapat usul mengenai sistem negara yang
dipergunakan, anatara lain: Federasi, Monarki, Republik-Parlementer, dan Republik-
Presidensil.

Pada bulan Oktober 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil
Presiden No.X bulan Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR melakukan tugas legisltif. Dengan demikian
KNIP dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang sederajat dengan lembaga
kepresidenan.

Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Pemerintah yaitu, Wakil
Presiden Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang
pendirian partai-partai politik dan Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang
pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan maklumat tersebut Indonesia menjalankan
sistem parlementer dalam menjalankan pemerintahan. Presiden hanya sebagai kepala negara
dan simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada perdana menteri. Sjahrir
terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama.
Demokrasi Liberal

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan demokrasi parlementer-


liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat dan masa ini disebut Masa Demokrasi
Liberal. Indonesia sendiri pada tahun 1950an terbagi menjadi 10 Provinsi yang mempunyai
otonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang juga
bernafaskan liberal.

Secara umum, demokrasi liberal adalah salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berkiblat
pada demokrasi. Demokrasi liberal berarti demokrasi yang liberal. Liberal disini dalam artian
perwakilan atau representatif.

Dengan pelaksanaan konstitusi tersebut, pemerintahan Republik Indonesia dijalankan oleh


suatu dewan menteri (kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung
jawab kepada parlemen (DPR). Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal mendorong
untuk lahirnya banyak partai-partai politik dengan ragam ideologi dan tujuan politik.

Demokrasi Liberal sendiri berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam kenyataanya bahwa
UUDS 1950 dengan sisten Demokrasi Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan kehidupan
politik bangsa Indonesia yang majemuk.

Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan dekrit presiden mengenai
pembubaran Dewan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya
UUDS 1950 karena dianggap tidak cocok dengan keadaan ketatanegaraan Indonesia.

Pelaksanaan Pemerintahan

Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan


Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil
alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen).
Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang
hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya
sebagai berikut;
1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Formasi Kabinet Natsir. Foto: Wikipedia

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai
Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh
partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh –
tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat,
Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

 Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.


 Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
 Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
 Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
 Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu
proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala
yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan
Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Kabinet Natsit memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda


untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.

Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng  yang
direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk
mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan
ekonomi Indonesia). Programnya adalah:

Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

 Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
 Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.
 Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan
Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini.
Tujuan program ini sendiri tidak dapat tercapai dengan baik meskipun anggaran yang
digelontorkan pemerintah cukup besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

 Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.
 Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
 Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
 Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
 Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.
 Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat
dari kredit yang mereka peroleh.

Kabinet Natsir sendiri kemudian berakhir disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari
PNI di Parlemen Indonesia menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD
dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari
1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Formasi Kabinet Sukiman. Foto: Pinterest

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono
(Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada
presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno
kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari
Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet
ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

1. Menjamin keamanan dan ketentraman

2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai


dengan kepentingan petani.

3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.

4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke
dalam wilayah RI secepatnya.

5. Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja


sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.

Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman
negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah
parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu
Amerika Serikat.
Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar
Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai
pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia
karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan
Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia
ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan
kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman
kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Formasi Kabinet Wilopo. Foto: Wikipedia

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah
bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana
Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari
PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:


1. Program dalam negeri: 

1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante,


DPR, dan DPRD 

2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, 

3. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan 

4. Pemulihan stabilitas keamanan negara

2. Program luar negeri: 

1. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,

2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta 

3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara,
dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis
yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan
di daerah yang memperparah kondisi politik nasional.

Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI
sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam
usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera


Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya
dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Formasi Kabinet Ali Sastro I. Foto: Wikipedia

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat
yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak
partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali
Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:

1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran

2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera

3. Pembebasan Irian Barat secepatnya

4. Pelaksanaan politik bebas-aktif

5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.

6. Penyelesaian pertikaian politik.

Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:

 Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955


 Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas
dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang
lain, seperti :

 Berkurangnya ketegangan dunia


 Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di
negaranya.
 Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha
penyatuan Irian Barat di PBB

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba.
Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha
pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan
Baba.

Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba
digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba digambarkan
sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.

Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk


memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini kemudian
didukung dengan :

 Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha  swasta nasional 
 Pemerintah memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing
dengan pengusaha asing

Pelaksanaan sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk
mendapatkan kredit dari pemerintah.

Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi
pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam
tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini
keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang
mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya  pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh
partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus
mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Sumpah Jabatan PM Burhanuddin Harahap. Foto: Pinterest

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin


Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:

1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.

2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan


mempercepat terbentuknya parlemen baru
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi

4. Perjuangan pengembalian Irian Barat

5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan


fungsinya, seperti:

1. Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih


anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.

2. Membubarkan Uni Indonesia-Belanda

3. Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat

4. Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang
terlibat korupsi

Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI,
NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami ganggung ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota
Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet.

Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Formasi Kabinet Ali Sastro II. Foto: Pinterest


Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan
Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet.

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini
disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang,
sebagai berikut:

1. Perjuangan pengembalian Irian Barat

2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-


anggota DPRD.

3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.

4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.

5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan


kepentingan rakyat.

6. Pembatalan KMB

7. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik


luar negeri bebas aktif

8. Melaksanakan keputusan KAA.

Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil
melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan
dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme
dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan


daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan.
Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha
Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan
mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan
menyerahkan mandatnya pada presiden.
Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)

Djuanda Kartawidjaja bersama Presiden Soekarno. Foto: Pinterest

Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang
terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket
Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai
politik di dalamnya.

Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:

 Membentuk Dewan Nasional


 Normalisasi keadaan RI
 Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
 Perjuangan pengembalian Irian Jaya
 Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai
langkah awal demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat


hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional
atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September
1957.

Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah,
pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas
selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan
November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di


Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah
yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan
PRRI/Permesta.

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan


dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia.
Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp.
Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia
bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.

Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie
1939(TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari
laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan
sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah
dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru,
sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan
konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya
saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar


kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan
dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok
partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya
menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada
Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik. Oleh karena
itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai
berikut;

1. Pembubaran Konstituante.

2. Berlakunya kembali UUD 1945.

3. Tidak berlakunya UUDS 1950.

4. Pembentukan MPRS dan DPAS.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950,
maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia
dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.
SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK-EKONOMI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

1. DEKRIT PRESIDEN

Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :

Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat
sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan
demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.

Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa


Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang
mantap.

Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam
negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. Konflik
antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional Banyaknya partai dalam parlemen
yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya. Masing-
masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya
tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan
Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5
Juli 1959.

Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak
menentu dan untuk menyelamatkan negara.

Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.

a.      Pembubaran konstituante


b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c.       Pembentukan MPRS dan DPAS

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:

Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang
telah goyah selama masa Liberal.

Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.

KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit
Presiden.

DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk
melakanakan UUD 1945.

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara
berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya
menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya
menjadi slogan-slogan kosong belaka.

Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu
terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat
pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.

A. PERKEMBANGAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN

Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari


dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.

Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada


kepemimpinan Presiden Sukarno.

Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu
presiden.

Tugas Demokrasi terpimpin :

Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil
sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.

Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini


disebabkan karena:

Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara.
Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.

Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi


(menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan
di tangan presiden).

Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :

Kebebasan partai dibatasi


Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945. Dibentuk lembaga-
lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional.
Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945
adalah sebagai berikut.

1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS  tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai
besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak
memimpin departemen.

2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk
di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat  :

Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan
Setuju pada manifesto Politik.

Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200
orang wakil golongan.

Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak
RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan
DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta
kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab
berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.


 Melaksanakan manifesto politik
 Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
 Melaksanakan Demokrasi Terpimpin

4. Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara


Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas
satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang
wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan
mengajukan usul kepada pemerintah.

Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden


adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat
agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul
”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik
Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti
Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal
dengan MANIPOL USDEK.

5. Pembentukan Front Nasional


Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional
merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita
yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi
nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh
Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut.
 Menyelesaikan Revolusi Nasional
 Melaksanakan Pembangunan
 Mengembalikan Irian Barat

6. Pembentukan Kabinet Kerja


Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.

 Mencukupi kebutuhan sandang pangan


 Menciptakan keamanan negara
 Mengembalikan Irian Barat.

 7. Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom


Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer
menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama,
dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.

Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam


masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka
persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada
masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat
kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.

Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan
bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara
serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI
mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan
presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

8. Adanya ajaran RESOPIM


Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional)
adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.

Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus
dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.

Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi
negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat
menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai
pembantu presiden.

 9. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia


TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara,
dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu
golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
10. Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa.
Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan
presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota
yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.

Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian. Pembatasan gerak-gerik


partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden
yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang
pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
(PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai
tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi
dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.

 11. Arah Politik Luar Negeri

a. Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo


Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong
pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih
mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces)
dan Oldefo (Old Established Forces)

Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif


revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti
imperialisme dan kolonialisme.

Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang
neokolonialis dan imperialis (Nekolim).

Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong


Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya
berpedoman ke negara-negara komunis.

b. Politik Konfrontasi Malaysia


Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara
blok Nefo.

Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat


(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.

 Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.


 Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
 Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan
Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

c. Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia
merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.

Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang


diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan
Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran
rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging
Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya
perjalanan bagi delegasi asing.

Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

d. Politik Gerakan Non-Blok


Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.

Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-


bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.

Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia
sudah cukup maju.

GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi
RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan
internasional.

Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:

a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan
wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang
masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

b. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17
Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)
ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih
dikenal dengan MANIPOL USDEK.

d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai
presiden seumur hidup.

e. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan
politik luar negeri.

f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara


TNI dengan Parpol.

g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk


Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).

B. PEMBEBASAN IRIAN BARAT

Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi
Politik dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer.
1. Perjuangan Diplomasi
Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam
menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan
diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan program
oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih menguasai
Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Kerajaan
Belanda.

Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu

a. Secara bilateral, melalui perundingan dengan belanda.

Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui perundingan,
setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap bahwa Belanda akan
menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan. Sementara Belanda mengartikan
perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan dibicarakan sebatas perundingan saja,
bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap
menguasai Indonesia. Akhirnya perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.

b. Diplomasi dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah Indonesia-Belanda


ke sidang PBB. Dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin Harahap, hingga
Ali Sastroamijoyo II.

Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya


pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954 melibatkan
PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan bahwa masalah Irian Barat perlu
mendapatkan perhatian Internasional. Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian Barat
menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain.

Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian
Barat merupakan masalah intern antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih tetap
mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-negara peserta
KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Negara Kesatuan
republik Indonesia.

2. Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer

Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan
hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi.
Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB.
Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan
Indonesia.

a. Konfrontasi Politik dan Ekonomi


Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut
sebagai berikut.

1)     Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan pembatalan


utang-utang RI kepada Belanda.

2)     Selama tahun 1957 dilakukan :


 Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda
 Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda
 Melarang penerbangan kapal-kapal Belanda
 Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia

3)     Selama tahun 1958-1959 dilakukan :


Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia

Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan sebagai berikut.

1)     Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda
merupakan hubungan bilateral biasa, bukan hubungan Unie-Statuut.
2)     Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan pembatalan
semua hasil KMB.
3)     Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya kotanya
di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai gubernurnya yang
dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda,
Patani, dan Wasile.
4)     18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta.
5)     Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda di
Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia
6)     Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
7)     Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan
Belanda.
b. Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam
Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat.

Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi penengah
dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda.

Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :

1. Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.


2. Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk menentukan
pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau memisahkan diri.
3. Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu dua
tahun.
4. Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan
pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.

Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek.

Pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk


menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk negara
Papua dalam jangka waktu 16 tahun.

Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan Belanda
tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan negara Papua,
lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan.

Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia


menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).

 Perjuangan melalui jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk:

Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang memang


menjadi haknya.

Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.

Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.


Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan militer adalah :

Pada Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan
perlengkapan perang lainnya.

KSAD mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina, Australia,
Selandia Baru, Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap negara-negara tersebut
bila terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda.

Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk
melaklukan Agresi. Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan
perangnya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Dorman.

Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando
Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional.
Peristiwa ini menandai dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap Belanda dalam
rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.

Isi Trikora adalah sebagai berikut.

1)     Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda


2)     Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3)     Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan
tanah air dan bangsa.
Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta
Komamndo Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut adalah
sebagai berikut.

Dibentuk Provinsi Irian Barat gaya baru yang beribu kota di Jayapura(zaman Belanda
bernama Hollandia) dengan putra Irian sebagai gubernurnya.

Tanggal 11 Januari 1962 dibentuk Komando Tertinggi dan Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat yang berkedudukan di Makassar yang langsung di bawah ABRI dengan tugas
merebut Irian Barat. Tugas Komando Mandala adalah sebagai berikut.

Menyelenggarakan operasi Militer untuk membebaskan Irian Barat. Operasi militer tersebut
terdiri dari tiga tahap, yaitu penyusupan (infiltrasi), serangan besar-besaran (eksploitasi), dan
penegakan kekuasaan Republik Indonesia (Konsolidasi).

Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia untuk membebaskan


Irian Barat. Kekuatan itu terdiri atas tentara regulerdan suka relawan maupun berbagai
potensi perlawanan rakyat lainnya
Tanggal 13 Januari 1962, Brigadir Jendral Suharto dilantik sebagai Panglima Mandala
dengan pangkat Mayor Jendral, beliau juga merangkap sebagai Deputi KSAD untuk wilayah
Indonesia bagian timur.

Sebelum konsolidasi yang dilakukan oleh Komando Mandala selesai, Tanggal 15 Januari
1962 terjadi pertempuran di Laut Aru. Dalam pertempuran tersebut Deputi KSAL Komodor
Yos Sudarso gugur.

c. Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima Besar
Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala yang isinya
sebagai berikut.

Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer dengan tujuan


mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia.

Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di bidang


diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat dapat secara de
facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/ pemerintah daerah Republik
Indonesia.

Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi tersebut.

a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),

yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan


daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan
pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.

b. Tahap Eksploitasi (awal 1963),

yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-
pos pertahanan musuh yang penting.

c. Tahap Konsolidasi (awal 1964),

yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia


secara mutlak di seluruh Irian Barat.

Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan operasi


Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah dari
presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
d. Akhir Konfrontasi

Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara pemerintah RI


dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di New York pada
tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian New York. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda dipimpin oleh Van Royen
dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.

1)     Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan


pada UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)

2)     Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum tahun


1969.

Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian PBB
yang disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir Jendral
Said Udin Khan dari Pakistan.

Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh melalui
beberapa tahap, yaitu :

1. Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama


Kerajaan Belanda.
2. Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA bersama RI.
3. Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan RI.
4. Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat (Perpera).

Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih tetap
bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka.

Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4 Agustus
1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalahmayoritas rakyat Irian Barat menyatakan
tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan setiap
tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.

Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.

C. PERKEMBANGAN EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN


Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti
ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi
terpimpin. Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan
sementara daerah merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah
untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.

1. Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)


Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah
Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh.
Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.

Tugas Depernas :

 Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana


 Menilai Penyelenggaraan Pembangunan
 Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan
Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-
1969 yang disetujui oleh MPRS.

Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek


besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan.

1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.

Tugas Bappenas adalah

 Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun
daerah.
 Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan.
 Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.

2. Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)

Tujuan dilakukan Devaluasi :

 Guna membendung inflasi yang tetap tinggi


 Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat
 Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
mengenai penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.

a.      Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50


b.      Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c.       Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di seluruh
Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.

Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :

 Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat pergolakan


daerah yang menyebabkan ekspor menurun.
 Pengambilalihan perusahaan  Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi oleh
tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.
 Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI sedang
mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.
3. Kenaikan laju inflasi

Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :

 Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami kemerosotan.


 Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.
 Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.
 Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.
 Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.
 Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh.
 Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.

 Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:


Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam melakukan
pengeluaran.

Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the


New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang
memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.

 Dampaknya :

 Inflasi semakin bertambah tinggi


 Harga-harga semakin bertambah tinggi
 Kehidupan masyarakat semakin terjerpit
 Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan
neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa.
 Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.

1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar US$
3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.

Kebijakan pemerintah :

Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan pencetakan
uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi.

13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan uang senilai
Rp. 1000 menjadi Rp. 1.

 Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :

Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan tetapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah
baru.

Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan


meningkatnya angka inflasi.

4. Deklarasi Ekonomi (Dekon)


Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:
Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export drive)
mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (BE)

Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri sehingga pembangunan yang
direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik.

Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi
secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON)dengan 14 peraturan pokoknya.

Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian
dari strategi umum revolusi Indonesia.

Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang


polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960.

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi


Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri.

Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional,
demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin.

 Pelaksanaannya,

Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi

Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia

Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga


barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962.

Beban hidup rakyat semakin berat.

Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena:

 Tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar US$


400 juta.
 Adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan
Singapura dan Malaysia dalam rangka kasi Dwikora.
 Politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah
kemerosotan ekonomi Indonesia.
5. Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80%
penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk
memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/
barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.

Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa
kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di
dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport
tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan
dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan dari negara
yang memeberikan pinjaman kepada Indonesia.

6. Kebijakan lain pemerintah

a. Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan


Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi
Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.

b. Peleburan bank-bank negara


Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral sehingga
didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965.

Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank
Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara
Indonesia ke dalam Bank Indonesia.

Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas dan
pekerjaan masing-masing.

Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang negara
sebab tidak ada lembaga pengawas.

Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena:

 Semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami penuruan


yang disertai dengan infasi.
 Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi
dengan cara-cara politis.
 Kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik
dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi).
 Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu
peraturan dengan peraturan yang lainnya.
 Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha.
 Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.
 Kebrangkutan tidak dapat dikendalikan, Masyarakat mengalami kesulitan hidup,
kemiskinan, dan kriminalitas.
SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK-EKONOMI INDONESIA PADA MASA ORDE
BARU

Ilustrasi Orde Baru

Pengertian Orde Baru

Daftar isi
Sebenarnya, apa itu orde baru? Pengertian Orde Baru adalah sebutan untuk masa
pemerintahan presiden Soeharto di Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Masa orde baru
(ORBA)  dimulai sejak tahun 1966 menggantikan orde lama yang merujuk pada era
pemerintahan presiden Soekarno.

Pengertian orde baru adalah suatu penataan kembali kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia berlandaskan dasar negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut
dilakukan karena adanya ancaman terhadap ideologi Pancasila yaitu peristiwa pemberontakan
Gerakan 30 September (G30S/ PKI).

Menurut sejarahnya, pada masa itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebarkan paham
komunisme di Indonesia dan  telah mengancam keberlangsungan ideologi Pancasila. Awal
lahirnya orde baru adalah ketika presiden Soekarno menyerahkan mandatnya kepada Jendral
Suharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).

A. Masa Transisi Orde Baru


1. Orde Lama
Orde lama ialah sebutan untuk orde pemerintahan sebelum orde baru yang dianggap tidak
melaksanakan Pancasila dan juga UUD 1945 secara murni serta konsekuen yang ditandai
dengan diterapkannya Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan Soekarno. Presiden
Soekarno merupakan tokoh sentral orde lama yakni sebagai Kepala Negara dan juga Kepala
Pemerintahan.

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memasuki suatu babak
kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan juga berdaulat. Beberapa peristiwa di Orde
Lama yang mengaburkan identitas nasional kita yaitu; Pemberontakan PKI di tahun 1948,
Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD Sementara tahun 1950, Nasakom dan juga
Pemberontakan PKI 1965. di masa orde lama banyak sekali terjadi perubahan-perubahan
system pemerintahan dan juga gejolak-gejolak serta pemberontakan akibat dari system
pemerintahan yang tidak stabil.

2. Orde Baru
Orde Baru merupakan sebutan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru sebagai ganti Orde Lama yang merujuk pada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
lahir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno di
masa Orde Lama. Orde Baru dilaksanakan dari tahun 1966 – 1998.

MPR secara resmi melantik Soeharto pada 1968 untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
kemudian dia dilantik kembali secara berturut-turut di tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya ialah mendaftarkan Indonesia
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia resmi menjadi anggota PBB kembali tanggal 28
september 1966.

Orde Baru memilih perbaikan dan juga perkembangan ekonomi sebagai tujuan utama dan
menempuh kebijakan dengan struktur administratif yang didominasi militer. Soeharto
merestrukturisasi politik serta ekonomi dengan dwi tujuan, dapat tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan juga pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Ditopang kekuatan Golkar, TNI,
dan juga lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto bisa menciptakan
sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

1. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru


 Perkembangan GDP/kapita Indonesia pada tahun 1968 hanya AS$70 dan tahun 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.565
 Sukses di transmigrasi
 Sukses di KB
 Sukses dalam memerangi buta huruf
 Mengurangi Pengangguran
 Sukses Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)
 Sukses dalam Gerakan Wajib Belajar
 Sukses dalam Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses dalam keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal ke Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme serta cinta produk dalam negeri

1. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

 banyaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme


 Pembangunan Indonesia yang tidak merata serta timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan juga daerah, sebagian dikarenakan kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat
 Timbulnya rasa ketidakpuasan sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan juga Papua
 Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memdapat
tunjangan pemerintah yang cukup besar ditahun-tahun pertamanya
 Pelanggaran HAM pada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
 Kritik dibungkam serta oposisi diharamkan
 Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai dengan banyak koran serta majalah yang
dibredel
 menggunakan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius”
 Tidak ada rencana sukses (penurunan kekuasaan ke pemerintah atau presiden
selanjutnya)
 Turunnya kualitas birokrasi Indonesia
 Turunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik hingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
 Lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh pihak swasta

1. Masa Transisi Pergantian Kekuasaan Dari Orde Lama Ke Orde Baru


Orde lama ialah masa kepemimpinan Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno sejak Dekrit
Presiden pada Juli 1959 sampai tahun 1966. Sedangkan, orde baru ialah masa kepemimpinan
Presiden kedua Indonesia sekaligus sebagai presiden Indonesia terlama yang berkuasa,
Jenderal Suharto sejak keputusan diSidang Umum MPRS (Tap MPRS No
XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968 sampai reformasi tahun 1998. Diantara 2 masa yang
sangat menarik dan juga berpengaruh pada sejarah Bangsa Indonesia itu ada sebuah masa
yang sangat menarik untuk dibahas serta penuh dengan kontroversi. Masa itu berlangsung
dari G30S/PKI dimana terjadi pembunuhan Dewan Jenderal sampai Sidang Umum MPRS 27
Maret 1968 yang memutuskan bahwa Jenderal Suharto diangkat sebagai Presiden kedua
Indonesia menggantikan Ir. Soekarno yang lengser sesudah pidato pertanggungjawabannya
yang berjudul “Nawaksara” ditolak oleh MPRS.
Masa ini merupakan masa transisi Indonesia, di masa ini terjadi pergantian kekuasaan yang
disertai dengan kontroversi-kontroversi baik pro atapun kontra terhadap pengangkatan
Jenderal Suharto menjadi Presiden kedua Indonesia. Namun diantara sekian banyak
kontroversi tersebut terdapat hal yang masih misteri hingga sekarang yaitu Surat Perintah
Sebelas Maret atau lebih dikenal dengan Supersemar. Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) pun belum bisa memecahkannya.

Selain itu, Supersemar juga banyak mengundang pertanyaan. Mengapa Supersemar yang
dititahkan oleh Presiden Soekarno justru malah menjatuhkan beliau dari kepemimpinan dan
juga menjadikan beliau tahanan rumah sampai akhirnya beliau meninggal karena sakit yang
dideritanya.

Angkatan darat menganggap Supersemar merupakan tanda pelimpahan kekuasaan dari


Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Supersemar berisi pelimpahan wewenang
kepada Jenderal Soeharto “untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk
terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya
revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Presiden/Pangti/PBR/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara RI, dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR”. Setelahnya, Jenderal Soeharto langsung
bertindak cepat dengan mengeluarkan perintah harian kepada segenap jajaran ABRI dan juga
mengumumkan kelahiran Supersemar. Perintah harian itu disusul dengan Keputusan
Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya adalah membubarkan
PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah serta semua
organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. PKI juga dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di seluruh Republik Indonesia.

Yang kemudian, Jenderal Soeharto “melucuti” MPRS sehingga tak lama  Presiden Soekarno
jatuh serta orde lama pun runtuh dan digantikan oleh orde baru pimpinan oleh Jenderal
Soeharto yang bertahan selama 32 tahun.

B. Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi

Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa
MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.
Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya
sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan
Orde Baru.

Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan


kebijakan-kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-
tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas
ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966)

Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan
terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila. Diantara penyimpangan tersebut adalah
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung
memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh
MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan
Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan
keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan
pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah
pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan
keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi
kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong
kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga stabilisasi seperti;
Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus
1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).

Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru
berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan “Poros Jakarta -Pnom
Penh - Hanoi-Peking - Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Tujuan dari politik luar

negeri pun diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat. Hal itu
tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4
April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang
bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri
Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia
dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerjasama itu menguntungkan bagi
kepentingan Indonesia.

Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan
Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia
1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di forum
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965,
keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura,
Thailand dan Filipina membentuk organisasi kerjasama regional ASEAN (Association of
South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini
adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

1. Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang
berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan
nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968.
Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan,
yang berisi:

1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya


pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;

3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;

4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa


G 30/S/PKI dan setiap bentuk

rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;

5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara


baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya
amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan
umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan

‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi


mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan
antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan
kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan). Selain itu,
pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam
pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama
Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.

Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan


pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu
baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk
dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu
ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970. Berdasarkan surat
keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9
parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen
Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan
suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58
kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan
Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150)

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai
politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”.
Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru
sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol,
melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang
memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas
polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai
bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak
gagasan itu, yang

sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang
dijamin oleh UUD 1945. Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak
mempunyai pilihan lain.

Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun
1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu
Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung
dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua
kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar.
Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR.
(Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).

Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep “massa


mengambang”. Partai-partai dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat kecamatan
sampai pedesaan. Sementara itu jalur parpol ke tubuh birokrasi juga terpotong dengan adanya
ketentuan agar pegawai negeri sipil menyalurkan suaranya ke Golkar (monoloyalitas).

PemerintahanOrdeBaruberhasilmelaksanakanpemilihan umum sebanyak enam kali yang


diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997. Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR
dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.

Semua pemilu yang dilakukan pada masa Orde Baru dimenangkan oleh Golkar. Hal itu
disebabkan oleh pengerahan kekuatan-kekuatan penyokong Orde Baru untuk mendukung
Golkar. Kekuatan-kekuatan penyokong Golkar adalah aparat pemerintah (pegawai negeri
sipil) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

Melalui kekuatan-kekuatan tersebut, pemerintah mengarahkan masyarakat untuk memilih


Golkar. Meskipun anggota ABRI tidak terlibat dalam Golkar secara langsung, para anggota
keluarga dan pensiunan ABRI (Purnawirawan) banyak terlibat dan memberikan dukungan
penuh kepada Golkar. Semua pegawai negeri sipil diwajibkan menjadi anggota Golkar.
Dengan dukungan pegawai negeri sipil dan ABRI, Golkar dengan leluasa menjangkau
masyarakat luas di berbagai tempat dan tingkatan. Dari tingkatan masyarakat atas sampai
bawah. Dari kota sampai pelosok desa.
Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia sudah tercipta dengan baik. Apalagi pemilu-pemilu tersebut berlangsung dengan
slogan “Luber” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Suara-suara ketidakpuasan dari
masyarakat terhadap demokrasi dikesampingkan.

Ketidakpuasan yang ada di masyarakat misalnya mengenai dibatasinya jumlah partai-partai


politik dan pengerahan pegawai negeri sipil dan ABRI, serta anggota keluarga mereka untuk
mendukung Golkar.

Selain melakukan depolitisasi terhadap orsospol (pelarangan kegiatan partai politik) di


tingkat kecamatan

dan desa (dimana partai-partai politik dilarang mempunyai cabang atau ranting di tingkat
pedesaan, depolitisasi juga diberlakukan di dunia pendidikan, terutama setelah terjadinya
peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974.

C. INTEGRASI TIMOR-TIMUR KE INDONESIA

Kolonialisasi Portugis di Timor-Timur terjadi pasca keberhasilan Kerajaan Ternate yang


dipimpin oleh Sultan Baabullah mengusir Portugis dari Maluku. Portugis menduduki wilayah
Pulau Timor bagian Timur, sedangkan Belanda menguasai Pulau Timor bagian barat atas
dasar kesepakatan tahun 1915. Timor-Timur juga sering disebut sebagai Timor Portugis
merupakan salah satu provinsi di luar negeri. Pada masa penjajahan Portugis, Timor-Timur
tertutup dari dunia luar. Portugis membentuk polisi rahasia yang disebut dengan Polisi
Internationale Defese do Estado (PIDE).
Perubahan kebijakan terhadap Timor-Timur oleh bangsa Portugis terjadi pasca adanya kudeta
militer di Portugis atas Antonio de Oliveire Salazar oleh Jenderal de Spinola. Kudeta ini
dikenal dengan Red Flower’s Revolution (Revolusi Bunga) atau juga sering disebut Revolusi
Anyelir. Pemerintahan di Portugal beralih dari dictator menjadi demokrasi. Disebut Revolusi
Anyelir dikarenakan pada saat itu ditiap-tiap moncong senjata diberi bunga Anyelir berwarna
merah. Revolusi yang terjadi pada tanggal 25 April 1974, membawa pengaruh yang besar
terhadap kebijakan Portugis terhadap negara koloninya. Semua koloni Portugis diberikan
kebebasan untuk berdiri sendiri dan berkembang. Rakyat mendapatkan kesempatan untuk
berpolitik. Muncul adanya dekolonisasi Portugis terhadap Timor-Timur.

Dalam rangka pelaksanaan dekolonisasi, Menteri Seberang Lautan Portugis, 16-19 Oktober
1974 datang ke Indonesia untuk membicarakan masalah tersebut. Presiden Indonesia,
Soeharto, menegaskan beberapa hal, yaitu:

1. Indonesia tidak memiliki ambisi teritotial


2. Sebagai negara yang memperoleh kemerdekaan dari perjuangan menentang
penjajahan, Indonesia mendukung gagasan Portugis untuk melaksanakan dekolonisasi Timor-
Timur.
3. Dekolonisasi berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri
4. Dekolonisasi diharapkan berlangsung dengan aman tertib dan tidak menimbulkan
goncangan di daerah sekitarnya.
5. Apabila rakyat Timor-Timur ingin bergabung dengan Indonesia, maka akan
ditanggapi secara positif selama tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pembentukan Partai di Timor Timur
Rencana dekolonisasi Portugis ini mendapatkan berbagai tanggapan dari rakyat Timor-Timur.
Muncul berbagai partai politik dengan corak dan tujuan masing-masing. Di Timor-Timur
muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh
pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah:

1. Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) didirikan


oleh Mario Viegas Carracalao yang ingin merdeka secara bertahap. UDT terdiri dari
pimpinan senior administrasi, pemilik perkebunan dan pemimpin suku asli. Untuk tahap awal
UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian dari Portugal. Keinginan untuk
tetap di bawah Portugis ini dikarenakan Timor-Timur belum dapat berdiri sendiri atas dasar
ekonomi yang masih lemah dan rakyatnya secara pendidikan masih tertinggal.
2. Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner
Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal berpaham Komunis dan ingin segera merdeka.
Salah satu tokohnya adalah Fransisco Xapier de Amara. Fretelin cepat menjadi partai politik
yang popular dikarenakan berbagai program sosial yang diperkenalkan kepada rakyat.
3. Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular
Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia. Salah satu tokohnya adalah Arnaldo
dos Ries Araujo yang ingin bergabung dengan Indonesia. Dasar pertimbangan dari Apodeti
untuk menggabungkan diri dengan Indonesia adalah Timor-Timur terletak dalam satu pulau
dengan Indonesia yakni Pulau Timor. Selain itu persamaan historis, etnis dan budaya juga
memiliki kesamaan dengan Indonesia.
Selain itu terdapat dua Partai kecil, yaitu Kota dan Trabalista. Ketiga partai tersebut saling
bersaing, bahkan timbul konfik berupa perang saudara.

Pada awalnya antara UDT dengan Fretelin bekerjasama. Namun dikarenakan adanya
ketakutan bahwa Fretelin akan menjadikan Timor-Timor menjadi komunis, kerjasama
tersebut diakhiri. Kemudian terjadi perang saudara antara UDT dengan Fretelin. Fretelin yang
berideologi komunis mendapatkan dukungan militer dari pemerintah Timor-Timor. Oleh
karena itu Fretelin memperoleh kemenangan.

Proklamasi Balibo
Pada tanggal 2 November 1975, Fretelin mengumumkan pembentukan Republik Demokrasi
Timor-Timur dengan Xavier Do Amaral sebagai presidennya. Proklamasi yang dilakukan
oleh Fretelin dianggap tidak sah karena tanpa persetujuan dari partai lainnya. Adanya
Proklamasi yang dibacakan oleh Fretelin membuat UDT bersama Apodeti, Kota dan
Trabalista mengeluarkan pengumuman bersama yakni Proklamasi Balibo.  Keempat partai itu
pada tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung
dengan pemerintahan Republik Indonesia.

Pada tanggal 17 Desember 1975, UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista menyatakan
berdirinya Pemerintahan Sementara Timor-Timur (PSTT) untuk menyelenggarakan tertib
pemerintah, administrasi, hukum dan keamanan. Gubernur PSTT dipilihlah Arnaldo Dos Ries
Araujo yang merupakan ketua Apodeti. Selain itu juga dibentuk DPR Timor-Timur yang
diketuai oleh Guielerme Maria Goncalves. Dengan terbentuknya PSTT dan DPR Timor-
Timur tersebut, rakyat Timor-Timur mempunyai hak penuh untuk memutuskan masa
depannya sendiri.

Pemerintah Indonesia yang sedikit condong ke barat kemudian merespon positif dari
Proklamasi Balibo tersebut. Ada rasa ketakutan dimana nanti Fretelin dengan ideologi
komunisnya yang akan menganggu stabilitas Indonesia. Atas keinginan bergabung rakyat
Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan
“Operasi Seroja” (1975-1977). Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat,
Australia dan negara barat lainnya yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor
Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Sovyet yang komunis memang 
tengah berlangsung. Apalagi hal ini didasarkan oleh adanya Teori Domino, bahwa pasca
jatuhnya Vietnam ke komunis akan merembet ke daerah sekitarnya, salah satunya adalah
Indonesia.

Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak
pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya
rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia. Menanggapi Petisi
tersebut, maka dibentuklah delegasi Pemerintah Republik Indonesia ke Timor-Timur yang
bertugas untuk menyaksikan dan berusaha mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang
kehendak rakyat Timor-Timur. Delegasi dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Amir
Machmud.

Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan


cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan
mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor
Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR nomor IV/MPR/1978. Timor
Timur secara resmi menjadi propinsi ke 27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
dengan ibu kota di Dili. Gubernur pertama dari Timor-Timur adalah Arnoldo dos Reis Araujo
dan wakilnya Fransisco Xavier Lopez da Cruz.

Integrasi Timor-Timur ke Indonesia masih menyisakan pro-kontra  negara-negara di dunia.


Salah satu negara yang kontra adalah Portugal
D. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru

1. Krisis Politik

Secara hukum, kedaulatan rakyat dilakukan oleh MPR. Namun pada kenyataannya anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa dimana sebagian besar anggota MPR diangkat berdasarkan
ikatan kekeluargaan (Nepotisme).

Selain itu, penyelenggaraan negara pada masa Orde Baru berjalan secara tidak transparan,
dimana banyak terjadi pembredelan terhadap media massa yang berseberangan dengan
pemerintah sehingga aspirasi rakyat tidak tersalurkan. Hal tersebut menimbulkan
ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah Orde Baru sehingga muncullah kaum reformis.

2. Krisis Ekonomi

Pada masa itu krisis moneter terjadi di negara-negara Asia Tenggara yang mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Indonesia mengalami pelemahan nilai mata uang Rupiah yang
sangat drastis, utang-utang negara dan swasta, serta peyimpangan yang terjadi pada sistem
ekonomi dimana para konglomerat menguasai bidang-bidang ekonomi dengan cara
monopoli, oligopoli, korupsi, dan kolusi.

3. Krisis Hukum

Di jaman Orde Baru juga banyak terjadi penyimpangan hukum. Beberapa diantaranya;
 Hukum dijadikan alat pembenaran atas kebijakan dan tindakan pemerintah.
 Banyak terjadi rekayasa proses peradilan bila menyangkut penguasa, keluarga, dan
kerabatnya.
 Kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif sehingga cenderung melayani
kehendak penguasa.

4. Krisis Sosial

Selama Orde Baru, masyarakat Indonesia terbagi dalam dua kelas, yaitu;
 Kaum elit, yaitu elit politik dan para pengusaha keturunan Tionghoa yang dekat
dengan pemerintahan Orde Baru atau keluarga Cendana.
 Rakyat kecil, yaitu masyarakat biasa yang bukan kerabat atau kenalan keluarga
Cendana.
Kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi di Indonesia menyebabkan kecemburuan, sehingga
menimbulkan kerusuhan dan penjarahan.

5. Krisis Kepercayaan Terhadap Pemerintah

Puncaknya, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan
Orde Baru. Hal ini kemudian menimbulkan banyak demonstrasi dan kerusuhan yang meminta
agar pemerintah Orde Baru turun.

Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 merupakan puncaknya, dimana 4 mahasiswa tertembak
mati karena melakukan demonstrasi. Peristiwa tersebut kemudian menyulut lebih banyak
kerusuhan dan penjarahan sampai akhirnya Presiden Soeharta mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden.
Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia pada Masa Reformasi

Periode Akhir Orde Baru

Krisis Multidimensional Menjelang Akhir Orde Baru

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) krisis artinya keadaan genting. Multimedia
artinya mempunyai berbagai dimensi (kemungkinan, segi, dan bidang). Dengan demikian,
krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, dan kepercayaan. Adapun krisis
multimedimensional yang terjadi di Indonesia menjelang akhir Orde Baru dapat dijelaskan
sebagai berikut

a. Krisis Moneter

Pada tahun 1997 krisis moneter menyerang negara-negara di kawasan Asia Tenggara,
termasuk Indonesia. Rupiah pada awal bulan Juli 1997 berada pada posisi nilai tukar Rp
2.500,00/US$ dan terus mengalami kemerosotan. Hingga 9%. Bank Indonesia pun tidak
mampu membendung nilai rupiah yang semakin merosot sehingga pada bulan Januari 1998
niai tukar rupiah telah mencapai Rp 17.000,00/US$. Kondisi ini berdampak pada jatuhnya
bursa saham Jakarta, bangkrutnya peusahaan-perusahaan besar di Indonesia, dan likuidasi
beberapa bank nasional.

Dalam menghadapi krisis moneter Presiden Soeharto meminta bantuan kepada IMF. IMF
bersedia mengucurkan dana kepada Indonesia dengan syarat Indonesia mencabut bantuan
dana untuk subsidi dana pokok, listrik, dan BBM. Selain itu, Indonesia diminta menutup
enam belas bank swasta. Pada saat krisis semakin memanas l, muncul ketegangan-ketegangan
sosial dalam masyarakat. Pada awal tahun 1998 terjadi kerusuhan anti-Tionghoa di sejumlah
kota. Etnik Tionghoa menjadi sasaran kemarahan masyarakat karena dianggap mendominasi
perekonomian Indonesia. Selain itu, di beberapa daerah terjadi kerusuhan dan penjarahan.
Adanya kerusuhan dan penjarahan merupakan gejala krisis sosial pada saat itu.

b. Krisis Ekonomi

Munculnya krisis moneter sejak tahun 1997 berdampak pada erekonomian masyarakat
Indonesia dan dunia usaha. Turunnya rupiah menyebabkan pasar uang dan pasar modal
terpuruk. Sejumlah perusahaan baik skala besar maupun skala kecil mengalami kebangkrutan
yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerjya (PHK) secara besar-besaran.
Adanya pemutusan hubungan kerjya (PHK) ini mengakibatkan pengangguran melonjak ke
level yang belum pernah terjadi sejak akhir tahun 1960-an, yaitu sekira 20 juta orang atau
20% lebih dari angkatan kerja. Akibat PHK dan naiknya harga barang dengan cepat, jumlah
penduduk di bawah garis kemiskinan terus meningkat mencapai 50% dari total penduduk.

Sektor ekspor yang diharapkan mampu menyelamatkan Indonesia dari krisis ternyata
mengalami keterpurukan. Keterpurukan sektor ekspor disebabkan oleh beban utang,
ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan ekspor migas
anjlok 34,1% dibandingkan tahun 1997, sementara nonmigas hanya tumbuh 5,3%.

Pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Kenaikan
tersebut berdampak pada naiknya biaya angkutan dan bahan pokok kebutuhan lainnya.
Kondisi tersebut memicu gerakan massa yang sangat besar dan tidak terkendali. Di tengah
maraknya demonstrasi Presiden Soeharto justru menghadiri Konferensi G- 15 di Kairo,
Mesir. Menjelang keberangkatannya Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan
memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, Presiden Soeharto menyerukan kepada lawan-
lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan
yang muncul. Meskipun demikian, kerusuhan tetap berlangsung.

c. Krisis Politik

Gejala yang mengarah pada terjadinya krisis politik telah ada sejak peristiwa 27 Juli 1996.
Peristiwa 27 Juli 1996 adalah kerusuhan dan perusakan gedung DPD-PDI yang membawa
korban jiwa. Pertikaian politik terus berlangsung sepanjang tahun 1996 dan meluas ketika
hasil pemilu yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997 memberi kemenangan mutlak
pada Golkar (Golongan Karya).

Setelah pelaksanaan pemilu 1997 perhatian masyarakat tercurah pada Sidang Umum MPR
yang dilaksanakan pada bulan Maret 1998. Sidang umum tersebut menetapkan kembali
Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan 1998-2003 dengan B.J. Habibie sebagai
wakilnya. Pada tanggal 10 Maret 1998 pidato pertanggungjawaban Presiden Soeharto
diterima oleh MPR. Selanjutnya, pada tanggal 12 Maret 1998 Presiden Soeharto kembali
dilantik menjadi Presiden Indonesia bersama B.J. Habibie sebagai wakilnya.

Pada hari yang sama muncul gerakan mahasiswa dan masyarakat yang menolak pelantikan
Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya penyimpangan dalam bidang politik. Penyimpangan tersebut
sebagai berikut.

1) Demokrasi tidak dilaksanakan semestinya.

2) Banyak anggota DPR/MPR yang menerapkan sistem netopisme.

3) Orientasi politik pemerintahan Orde Baru lebih condong ke negara Barat.

4) Terjadi ketidakadilan dalam bidang hukum.

Demonstrasi mahasiswa semakin meluas dan digelar di hampir seluruh Indonesia dengan
melibatkan para staf akademis dan pimpinan universitas. Aksi mahasiswa yang tidak
mendapat tanggapan pemerintah mendorong mahasiswa di berbagai kota mulai mengadakan
aksi hingga keluar kampus.

d. Krisis Hukum

Pada masa Orde Baru lembaga kehakiman sering menjadi pelayanan kepentingan para
penguasa. Kondisi tersebut jelas menyimpang dari pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan
lembaga kehakiman memiliki kekuasaan merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah
(eksekutif).

Pada masa Orde Baru, hukum sering dijadikan alat pembenaran atas kebijakan penguasa.
Banyak rekayasa dalam proses peradilan. Oleh karena itu, seseorang yang dianggap bersalah
dapat bebas dari hukuman dan seseorang yang tidak bersalah masuk penjara. Akibat
penyimpangan tersebut,masyarakat menghendaki reformasi dalam bidang hukum untuk
meluruskan masalah pada posisi sebenarnya.

e. Krisis Kepercayaan

Munculnya krisis kepercayaan disebabkan oleh penyimpangan demokrasi pada masa


pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dianggap tidak menjalankan demokrasi
secara benar karena Golkar selalu meraih kemenangan mutlak dalam pemilu. Situasi tersebut
diperparah dengan banyaknya anggota pemerintah yang melakukan praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN). Krisis ekonomi,politik, dan hukum menambah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah Orde Baru. Contohnya ketika Presiden Soeharto
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan, terjadi aksi protes dari
masyarakat dan mahasiswa.
Krisis kepercayaan semakin bertambah setelah terjadi Tragedi Trisakti. Empat mahasiswa
Universitas Trisakti tewas tertembak oleh aparat keamanan saat berdemonstrasi. Masyarakat
menganggap pemerintah Orde Baru telah melakukan pelanggaran HAM. Dengan menguatnya
kepedulian masyarakat terhadap demokratisasi dan HAM menjadikan pemerintahan Orde
Baru kehilangan pamor.

Tuntutan dan Agenda Reformasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), reformasi adalah perubahan secara drastis
untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa reformasi di Indonesia menghendaki
adanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik dalam
berbagai aspek kehidupan.

Tuntutan reformasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh krisis multidimensional, seperti krisis


ekonomi, politik, sosial, dan kepercayaan. Awalnya, gerakan reformasi hanya dilakukan di
kampus-kampus besar. Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mendapatkan respons dari
pemerintah. Akhirnya, para mahasiswa harus turun ke jalan bersama organisasi massal
lainnya yang juga menuntut reformasi. Agenda utama gerakan reformasi adalah turunnya
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Selebihnya gerakan reformasi tahun 1998
mempunyai enam agenda sebagai berikut.

a. Suksesi kepemimpinan nasional.


b. Amandemen UUD 1945.
c. Pemberantasan KKN.
d. Penghapusan dwifungsi ABRI.
e. Penegakan supremasi hukum.
f. Pelaksanaan otonomi daerah.

Perkembangan Politik dan Ekonomi Bangsa Indonesia pada Masa Reformasi

Periode Pemerintahan B.J. Habibie

Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia pada 21 Mei 1998, pada hari itu jugaWakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi
presiden RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana Negara. Dasar hukum
pengangkatan Habibie adalah berdasarkan TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika
Presiden berhalangan, maka Wakil Presiden ditetapkan menjadi Presiden”.

Ketika Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi terburuk
dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis mata uang yang didorong oleh hutang
luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan nilai rupiah menjadi seperempat dari
nilai tahun 1997. Krisis yangtelah menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri
dan manufaktur serta sektor finansial yang hampir ambruk, diperparah oleh musimkemarau
panjang yang disebabkan oleh El Nino, yang mengakibatkan turunnya produksi beras.

Ditambah kerusuhan Mei 1998 telah menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya
dikalangan investor keturunan Cina yang memainkan peran dominan dalam ekonomi
Indonesia. Larinya modal, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang menjadikan
upaya pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi.

Pengunduran diri Soeharto telah membebaskan energi sosial dan politik serta frustasi akibat
tertekan selama 32 tahun terakhir, menciptakan perasaan senang secara umum akan
kemungkinan politik yang sekarang tampak seperti terjangkau. Kalangan mahasiswa dan
kelompok-kelompok pro demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik segera
terjadi, meminta pemilihan umum segera dilakukan untuk memilih anggota parlemen dan
MPR, yang dapat memilih presiden baru dan wakil presiden. Di samping tuntutan untuk
menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin, pemerintah juga berada di bawah
tekanan kuat untuk menghapuskan korupsi, kolusi, dan nepotismen yang menandai Orde
Baru.

Tugas yang diemban oleh Presiden B.J. Habibie adalah memimpin pemerintahan transisi
untuk menyiapkan dan melaksanakan agenda reformasi yang menyeluruh dan mendasar, serta
sesegera mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi. Naiknya B.J. Habibie ke
singgasana kepemimpinan nasional diibaratkan menduduki puncak Gunung Merapi yang siap
meletus kapan saja. Gunung itu akan meletus jika berbagai persoalan politik, sosial, dan
psikologis, yang merupakan warisan pemerintahan lama tidak diatasi dengan segera.

Menjawab kritik-kritik atas dirinya yang dinilai sebagai orang tidak tepat menangani keadaan
Indonesia yang sedang dilanda krisis yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan
komitmennya untuk melakukan reformasi di bidang politik, hukum, dan ekonomi. Secara
tergas Habibie menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden adalah sebuah amanat
konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya ini ia berjanji akan menyusun pemerintahan yang
bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan perubahan yang digulirkan oleh gerakan reformasi
tahun 1998. Pemerintahnya akan menjalankan reformasi secara bertahap dan konstitusional
serta komitmen terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan politik yang
demokratis dan meningkatkan kepastian hukum.

Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya setelah dilantik sebagai
Presiden, pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan langsung melalui RRI dan
TVRI, B.J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi. Pidato tersebut bisa
dikatakan merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan reformasi
secara cepat dan tepat. Beberapa poin penting dari pidatonya tersebut adalah kabinetnya akan
menyiapkan proses reformasi di ketiga bidang yaitu :

1. Di bidang politik antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam


rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa PEMILU
sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

2. Di bidang hukum antara lain meninjau kembali UU Subversi.

3. Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang


menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat

Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakann semua komitmen yang telah disepakati
dengan pihak luar negeri, khususnya dengan melaksanakan program reformasi ekonomi
sesuai dengan kesepakatan dengan IMF. Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama
regional dan internasional, seperti yang telah dilaksanakan selama ini dan akan berusaha
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika pembangunan bangsa
Indonesia yang dilandasi atas kepercayaan nasional dan internasional yang tinggi.

Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya,bahwa pemerintahannya akan komitmen pada


asirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomi-sosial, meningkatkan kehidupan politik
demokrasi dan menegakkan kepastian hukum. Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie
diarahkan pada tiga bidang tersebut.

a. Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan


Sehari setelah dilantik, B.J. Hbaibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi nama
Kabinet Reformasi Pembangunan’. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri dari 36 Menteri,
yaitu 4 Menteri Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang
memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin tugas tertentu. Dalam
Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang merupakan
Menteri pada Kabinet Pembangunan era Soeharto. Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri
dari berbagai elemen kekuasatan politik dalam masyarakat,seperti dari ABRI, partai politik
(Golkar, PPP,dan PDI), unsur daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan
lembaga swadaya masyarakat. Untuk pertama kalinya sejak pemerintahan Orde Baru,
Habibie mengikutsertakan kekuatan sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi,
profesional, dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga diharapkan terjadisinergi
dari semua unsur kekuatan bangsa tersebut. Langkah ini semacam rainbow coalition yang
terakhir kali diterapkan dalam kabinet Ampera.

Pada sidang pertama Kabinet Refrmasi Pembangunan,25 Mei 1998, B.J. Habibie memberikan
pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dengan dua sasaran pokok,
yakni tersedianya bahan makanan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda
perekonomian masyarakat. Pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan adalah
meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi peran
perusahaan kecil, karena terbukti memiliki ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.

Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibi memerintahkan bahwa departemen-
departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi,
khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum.
Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbaharui antara lain Undang-Undang
Pemilu,Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golkar, UU tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU tentang Pemerintahan Daerah.

Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat terhadap reformasi politik, banyak kalangan
menuntut adanya amandemen UUD 1945. Tuntutan amandemen tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintah negara
selama ini ada pada UUD 1945. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu fleksibel, sehingga dalam
pelaksanaannya banyak yang disalah gunakan, pengaturan hak azasi manusia yang minim dan
kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme demokrasi.
b. Sidang Istimewa MPR 1998

Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual


terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10-13 Nvember 1998,MPR mengadakan
Sidang Istimewa untuk menentapkan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di
segala bidang. Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintahan dalam menghadapi tuntutan
keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang
dihasilkan MPR, antara lain :

• Terbukanya kesempatan untuk mengamandemen UUD 1945 tanpa melalui referendum.

• Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR N0.XVIII/MPR/1998)

• Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya sampai dua kali masa
tugas,masing masing lima tahun (Tap MPR No.XIII/MPR/1998)

• Agenda reformasi politik meliputi pemilihan umum, ketentuan untuk memeriksa kekuasaan
pemerintah, pengawasan yang baik dan berbagai perubahan terhadap Dwifungsi ABRI

• Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia, mendorong kebebasan


mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, dan pembebasan tahanan
politik dan narapidana politik.

Periode Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999. Terpilihnya Gus Dur sebagai
presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawaban
Presiden B.J Habibie. Berkat dukungan partai-partai islam yang tergabung dalam Poros
Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawtai Soekarno
Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan suara dalam apat
paripurna ke-13 MPR. Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden
setelah mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan suara
pula. Ia dilantik menjadi wakil presiden pada tanggal 21 Oktober 1999.
Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan cita-cita
reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Indonesia. Kabinet ini adaah jabinet
koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi
presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya Presiden
Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial dengan alas an perampingan struktur pemerintahan. Selain itu, pemerintah
berpandangan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut dapat
ditangani oleh masyarakat sendiri. Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen
Penerangan merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang social dan
politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam
mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen


Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999.
Seangkan penjeasan mengenai tugas dan fungsi termasuk susunan organisasi dan tata kerja
departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tahun 10 November
1999. Nama departemen ini berubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
berdasakan Keputusan Presiden No. 165 tahun 2000 tanggal 23 November 2000.
Pembentukan departemen ini memiliki nilai strategis mengingat hingga masa pemerintaha
Presiden Habibie, sektor kelautan Indonesa yang menyimpan kekayaan sumber daya alam
besar justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintahan sebelumnya. Selain explorasi
dan eksploitasi sumber daya kelautan, berbagai kegiatan ekonomi yang terkait langsung
dengan laut meliputi pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan
pengembangan budi daya laut melalui pemanfaatan bioteknologi.

Periode Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri

Presiden Megawati Soekarno Putri mengawali tugasnya sebagai presiden kelima Republik
Indonesia dengan membentuk Kabinet Gotong Royong. Kabinet ini memiliki lima agenda
utama yakni membuktikan sikap tegas pemerintah dalam menghapus KKN, menyusun
langkah untuk menyelamatkan rakyat dari krisis yang berkepanjangan, meneruskan
pembangunan politik, mempertahankan supremasi hukum dan menciptakan situasi sosial
kulturalyang kondusif untuk memajukan kehidupan masyarakat sipil, menciptakan
kesejahteraan dan rasa aman masyarakat dengan meningkatkan keamanan dan hak asasi
manusia.
Tugas Presiden Megawati di awal pemerintahannya terutama upaya untuk memberantas KKN
terbilang berat karena selain banyaknya kasus-kasus KKN masa Orde Baru yang belum
tuntas, kasus KKN pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menambah beban
pemerintahan baru tersebut.Untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN, pemerintahan
Presiden Megawati membentuk Komisi Tindak Pidana Korupsi setelah keluarnya UU RI No.
28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pembentukan
komisi ini menuai kritik karena pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah
dibentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Dari Sisi kemiripan tugas,
keberadaan dua komisi tersebut tersebut terkesan tumpang tindih. Dalam perjalanan
pemerintahan Megawati, kedua komisi tersebut tidak berjalan maksimal karena hingga akhir
pemerintahan Presiden Megawati, berbagai kasus KKN yang ada belum dapat diselesaikan.

Periode Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden petama RI yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Susilo bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf KAlla dilantik oleh
MPR sebagai presiden dan wakil presdien RI ke-6 pada tanggal 20 oktober 2004. Terpilihnya
pasangan ini mengakibatkan muncuknya berbagai aksi protes mahasiswa, daintaranya aksi
yang dilakukan oleh mahasiswa Univ. Udayana, Denpasar Bali, yang meminta agar presiden
terpilih segera meralisasikan janji0janji mereka selama kampanye presiden. Tidak lama
setelah terpilih, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono sendiri segera membentuk susunan
kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Sejak awal pemerintahannya Presiden Susilo bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk


menyelesaikan permsalahan kemiskinan dannpengangguran serata pemberantasaan KKN
yang ia canangkan dalam program 100 hari pertama pemerintahannya. Program pengentasan
kemiskinan berkaitan langsung dengan upaya pemerataan dan pengurangan kesenjangan serta
peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal. Salah satu
program pengentasan kemiskinan yang dilakukan Presden Susilo Bambang Yudhoyono
adalah bantuan langsung tunai (BLT). Pada 2006, BLT dianggarkan sebesar 18,8 triliun
untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga
,iskan di 7 propinsi, 51 kabupaten, 348 kecamatan. Bantuan tersebut meliputi bantuan tetap,
pendidikan, kesehatan dengan rata-rata bantuan per rumah tangga sebesar RP. 1.390.000.

Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan
juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah,
fasilitas kesehatan, jalan air bersih, dll. Program 100 hari pertama presiden juga memberikan
prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum,
angkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional dan
meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan nasional.

Perkembangan IPTEK di Indonesia

            Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dari barat di Indonesia membawa dampak


bagi kemajuan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia mulai melakukan pergerakan untuk
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di samping itu penggunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi di indonesia juga membawa dampak bagi semangat juang bangsa Indonesia.
Mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk mencari informasi-
informasi terkini mengenai keadaan dunia. Oleh karena itu masyarakat Indonesia benar-benar
terbantu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

             Pada masa kolonial perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum begitu
maksimal. Pemerintah koloniallah yang menjadi penyebab perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di indonesia. Pemerintah kolonial menghalangi akses-akses masuknya ilmu
pengetahuan dan teknologi dari barat ke Indonesia. Mereka juga melakukan pelarangan
terhadap pendidikan bagi masyarakat Indonesia untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi. Akibatnya indonesia tertinggal jauh dengan negara-negara di sekitarnya. Secara
keseluruhan penyebab lain dari ketertinggalan Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah sebagai berikut :

a.       Terbatasnya jumlah orang Indonesia yang mendapat pendidikan terutama pendidikan


tinggi

b.      Masyarakat Indonesia jarang terlibat langsung dalam pengembangan iptek

c.       Pemerintah Belanda dan perusahaan-perusahaan yang berada di indonesia untuk


melakukan alih teknologi.

d.      Minimnya industrialisasi.

e.       Kurangnya inovasi teknologi yang berarti di dalam masyarakat indonesia sendiri.

Setelah merdeka, perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi berkembang pesat di


Indonesia. Hal ini didorong dengan terbukanya akses-akses untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat di Indonesia. Kemerdekaan menciptakan
keadilan dalam mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat di Indonesia.
Mereka mempelajari sedikit demi sedikit di sekolah-sekolah yang sudah dibuka untuk semua
kalangan masyarakat Indonesia. Dengan bekal pengetahuan ini kemudian masyarakat
Indonesia melakukan berbagai inovasi dan eksperimen ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Pembangunan bidang iptek pada PJPT II merupakan kesinambungan perluasan dari PJPT I.
Menurut GBHN 1993 sasaran pembangunan ekonomi PJPT II adalah sebagai berikut:

1. Tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan


penguasaan iptek yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, peradaban,
ketangguhan, dan daya saing bangsa.
2. Terpacunya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju
masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri, dan sejahtera yang dilandasi nilai-nilai spiritual,
moral dan etik berdasarkan nilai luhur bangsa serta nilai keimanan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka arah pembangunan iptek adalah sebagai berikut:

1. Pemanfaatan pengembangan dan penguasaannya dapat mempercepat proses


pembaharuan.
2. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
3. Memperluas lapangan kerja.
4. Meningkatkan kualitas harkat dan martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Sedangkan kebijaksanaan iptek dalam Pelita VI pada PJPT II ada 5 sektor sebagai berikut.

1.      Teknik Produksi : Yaitu keseluruhan unsur yang turut berperan dalam kegiatan manusia
yang menghasilkan barang dan jasa.

2.      Sektor Teknologi : Yaitu kemampuan teknologi dan rekayasa yang mendasari


kemampuan bangsa Indonesia dalam melakukan inovasi.

3.      Sektor Ilmu Pengetahuan Terapan : Yaitu Ilmu pengetahun yang dapat dimanfaatkan
dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

4.      Sektor Ilmu Pengetahuan Dasar : Yaitu ilmu pengetahuan yang menjadi landasan bagi
pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam, Sosial, Humaniora, dan mendukung mutu SDM.

5.      Sektor Kelembagaan Iptek L: Yaitu iptek yang diarahkan untuk meningkatkan SDM
agar lebih produktif, kreatif, dan inovatif.

Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia setelah merdeka terbagi
menjadi dua dekade. Pada dekade pertama, yaitu tahun 1945-1960, bangsa indonesia mulai
mengerti arti teknologi produksi, walaupun masih dalam tingkat pasif dan penuh
ketergantunga pada pihak luar negeri. Hasil dari pengenalan ilmu pengenalan teknologi untuk
pertama kali yaitu pembangunan pabrik semen di Gresik, pabrik kertas di blabak
(Magelang),pabrik gelas, dan kosmetik di Surabaya di pertengahan dekade 1950an. Pada
dekade ke-2 yaitu pada tahun 1976 dengan mendirikan pabrik pesawat terbang di Bandung
yang di beri nama industri pesawat terbang NUR TANIO (IPTN) yang menggunakan
teknologi yang lebih canggih lagi. Teknologi dari pabrik pesawat terbang ini mengacuh pada
teknologi di Jerman.

Ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya, di sisi lain menimbulkan dampak negatif.

Kemajuan dan Manfaat IPTEK

1.    Limbah ternak untuk pupuk (kompos).

2.    Sampah dimanfaatkan menjadi gas bio yang berguna untuk keperluan memasak,
penerangan, dan tenaga gerak.

3.    Dengan detoksifikasi surya yaitu sistim pengolahan air yang terkontaminasi dengan
memanfaatkan panas matahari/ultraviolet sehingga menghasilkan air yang bersih.

4.    Dalam bidang komunikasi (radio,TV, telephone, handphone, internet) sehingga


penggunaan waktu lebih efisien dan cepat mendapatkan informasi.
Peran Indonesia Dalam Panggung Dunia

A. LANDASAN IDEAL & KONSTITUSIONAL LUAR NEGERI

Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang
merupakan dasar negara Indonesia. Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan
politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea
pertama.

Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF & PELAKSANAANNYA

LAHIRNYA POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF

Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni
Soviet (Timur), Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal
ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana
Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada
tanggal 23 Maret–2 April 1947. Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas
dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai
dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara
bangsa ataupun ras yang ada di dunia.
Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada,
hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Indonesia juga tidak
bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk
mengimbangi kedua blok raksasa itu.

Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang
biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar
negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara
perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara
“bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.

Anda mungkin juga menyukai