PERJUANGAN MENGHADAPI
ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA
KELOMPOK 1
1. KANAYA RAVITHA
2. NUR ANISA
3. MUKARRAMA
4. NIRA NINGSIH
5. EKA SARINA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat-Nya dan karunia berupa
kesehatan kami bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat dari zaman kegelapan ke zaman
terang benderang.
Penulisan makalah sejarah yang membahas tema kerja sama antara negara-negara di
kawasan utara dan selatan berikut masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca dan
bermanfaat bagi khalayak.
Maccini, 2022
DAFTAR ISI
PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan partai yang telah berdiri sejak
zaman pergerakan nasional. Pada 1926, PKI pernah melakukan aksi pemberontakan
terhadap pemerintah Hindia Belanda. Para pemimpin PKI ditangkap dan dipenjarakan.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PKI kembali hidup. Berdasarkan
catatan Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2015:9), PKI masih
beriringan dengan pemerintah Indonesia karena anggota kelompoknya terlibat dalam
pemerintahan. Akan tetapi, mulai 1948, PKI mulai terlempar dari kedudukannya di
pemerintahan sehingga menjadi partai oposisi. Mereka menggabungkan diri dengan partai-
partai golongan kiri lainnya seperti Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok yang berafiliasi ini menginginkan Indonesia
menjadi negara berideologi komunis. Awal September 1948, Muso yang memimpin PKI
membawa kelompok tersebut melakukan pemberontakan di Madiun. “Perebutan
kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun.
Pada pagi itu pasukan komunis dengan tanda merah mondar-mandir sepanjang jalan.
Madiun dijadikan kubu pertahanan dan titik tolak untuk menguasai seluruh wilayah RI,”
ungkap Rachmat Susatyo melalui buku Pemberontakan PKI-Musso di Madiun (2008).
Peristiwa pergolakan dengan senjata ini puncaknya terjadi pada 18 September 1948. Kala
itu, Muso memproklamasikan lahirnya negara Republik Soviet Indonesia.
b. Pemberontakan DI/TII
Peristiwa DI/TII Gerakan ini dipelopori oleh Kartosuwiryo, seorang tokoh Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perjanjian Renville dengan Belanda yang memaksa tentara
RI di daerah Jawa Barat pergi, membuat Kartosuwiryo memutuskan mendirikan negara
Islam. Bersama pasukan bersenjata bernama Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo
membangun TII (Tentara Islam Indonesia). Wilayah Jawa Barat yang tadinya dilindungi
sebagai bagian RI, ingin dijadikan olehnya sebagai negara Islam. Akhinrya pada Agustus
1948, Kartosuwiryo mendeklarasikan pembentukan Darul Islam (negara Islam) dengan
tentaranya yang bernama TII. Ketika tentara Republik Indonesia kembali ke Jawa Barat,
DI/TII tidak menerimanya. Dengan kata lain, Kartosuwiryo bersama kelompoknya tidak
mengakui kedaulatan Indonesia yang kala itu Jawa Barat juga menjadi wilayahnya.
Ketegasan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini pun terwujud dengan operasi
“Pagar Betis”. Tentara Indonesia mengadakan penyisiran terhadap kelompok Kartosuwiryo
sehingga pergerakannya mulai terbatas. Bahkan, operasi ini berhasil membawa
Kartosuwiryo ke dalam genggaman Indonesia dengna ditangkap pada 1962. Gerakan
DI/TII ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Barat, namun juga di beberapa wilayah lain
Indonesia. Daerah yang kala itu diklaim dimotori DI/TII meliputi Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Baca juga: Sejarah Pemberontakan DI-TII
Kartosoewirjo di Jawa Barat Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) Peristiwa ini masih
menimbulkan perdebatan terkait siapa yang memotorinya. Sebab ada banyak versi terkait
peristiwa ini. Akan tetapi fakta yang terjadi kala itu PKI tengah dalam pertentangan dengan
Angkatan Darat (AD) dan golongan anti PKI lain. Situasi politik makin meruncing pada Juli
1965, Sukarno selaku presiden RI 'seumur hidup' jatuh sakit. Kala itu, ia didiagnosa akan
lumpuh atau bahkan bisa meninggal. Isu ini memungkinkan bagi pihak berkepentingan
untuk mengambilalih kekuasaan jika Sukarno benar-benar wafat. Melalui rapat Politbiro PKI
yang berlangsung dari Agustus hingga terakhir 28 September 1965, PKI memutuskan
untuk mengambil 'tindakan'. Pada 30 September 1965, beberapa pasukan PKI yang
dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang memiliki hubungan baik dengan PKI,
meluncurkan aksinya. Mereka menculik beberapa jenderal dan perwira--yang disebut
Dewan Jenderal--dengan dalih untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. Namun para
jenderal yang diculik itu sebagian dibunuh saat diculik maupun di markas gerakan di
Lubang Buata. Jenazah mereka yang mati ditaruh di dalam sebuah sumur yang terletak di
Lubang Buaya, Jakarta. Di antara jenderal dan perwira yang meninggal kala itu adalah
Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto,
Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo, dan
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Selain itu, ada satu Jenderal yang lolos ketika
hendak diculik saat itu, yakni Jenderal Abdul Haris Nasution. Bukan hanya orang-orang
yang telah disebutkan meninggal di atas, namun di Yogyakarta Kolonel Katamso dan
Letnan Kolonel Sugiono juga merasakan nasib yang sama. Dengan tidak adanya pucuk
pimpinan AD setelah Jenderal Ahmad Yani diketahui wafat, Mayor Jendral Soeharto
akhirnya memutuskan untuk menggantikan posisinya. Di bawah kepemimpinannya, operasi
penumpasan G30S/PKI pun diluncurkan mulai dari Jakarta hingga ke daerah lain.
a. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling
pada tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara
Belanda: KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian
Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi dalam Konflik Dan
Pergolakan Yang Berkait Dengan Kepentingan. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di
Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS.
Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan penangkapan
terhadap Westerling.
b. Peristiwa Andi Aziz
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal dari
tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di
Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan
APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT) dalam Konflik Dan Pergolakan Yang Berkait
Dengan Kepentingan. Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke
Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di
kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa mereka
akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Pertentangan ini bahkan berujung pada aksi pengambilan kekuasaan pemerintahan daerah
dan para tokoh militer tersebut membentuk dewan-dewan daerah sebagai alat perjuangan
tuntutan pada Desember 1956 dan Februari 1957. Adapun dewan yang dimaksud, meliputi:
Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein
Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon
Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian
Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual
BFO Negara Federal maupun BFO prinsipnya sama, yakni suatu negara
yang secara resmi merdeka dan diakui kedaulatannya namun secara de-facto berada di
bawah kontrol negara lainnya. Konsep negara federal atau dikenal juga dengan
“persekutuan” Negara Bagian Bijeenkomst Federal Overleg (BFO) menimbulkan
perpecahan di Indonesia setelah kemerdekaan.
Perpecahan ini terjadi antara pihak federalis yang mendukung adanya negara persekutuan
dengan pihak unitaris yang lebih condong ke dalam negara berbentuk kesatuan. Setelah
terjadinya Konfrensi Meja Bundar (KMB), konflik antara pihak federalis dan unitaris
semakin memanas dan mengarah dalam pertikaian senjata. Hal ini ditandai dengan adanya
aksi bersitegang antara Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang
menjadi bagian dari TNI dengan KNIL yang saat itu menjadi bekas musuh TNI.
Pada akhirnya perpecahan yang terjadi ini menjadi pemersatu bangsa karena negara bagian
yang ingin keluar setelah konferensi Meja Bundar (KMB) ditentang oleh rakyatnya sendiri
dan didesak untuk bergabung ke RI.