Anda di halaman 1dari 2

Karima Zahro Wardania

X BC B

PERANG PADRI

Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran
agama antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Pertentangan terjadi karena kaum
Padri atau kelompok ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di
masyarakat Kaum Adat. Bermula dari kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki
syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam
buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan
pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri karena mereka telah
menunaikan ibadah haji di Makkah. Diketahui kebiasaan Kaum Adat dalam
kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau,
serta penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Sebelum pertentangan
ini terjadi, sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum Adat yang tidak
menemukan kata sepakat. Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah berkata akan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih tetap
menjalankannya. Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari
dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian meletus sebagai
perang saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang
tersebut, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum
Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu dari ulama besar yang memimpin gerakan Padri. Ia dianggap
sebagai tokoh yang kuat karena memiliki kedudukan yang kuat berupa benteng di atas bukit wilayah
Bonjol. Setelah Tuanku nan Renceh wafat, ia menggantikannya sebagai panglima perang. Tuanku
Pasaman adalah salah satu dari Harimau Selapan yang memimpin gerakan Padri. Ia
bertanggungjawab atas serbuan Padri ke istana Pagarruyung yang menyebabkan Sultan
harus menyingkir dari Minangkabau. Tuanku Nan Renceh adalah salah satu ulama yang
kuat pendiriannya terhadap penggunaan jalan kekerasan dalam gerakan Padri. Ia bertugas
menjadi pimpinan gerakan sekaligus panglima perang. Setelah wafat, digantikan oleh
Tuanku Imam Bonjol sebagai panglima perang Padri. Mayor Jenderal Cochius adalah
perwira tinggi Belanda yang ahli dalam penerapan taktik Benteng Stelsel. Ia dikirim ke
Minangkabau pada tahun 1837 untuk menyerbu Bonjol dan mengakhiri peperangan. Letnan
Kolonel Raaf adalah salah satu perwira yang didatangkan ke Minangkabau setelah
perjanjian antara kaum adat dan Belanda disepakati. Ia datang pada Desember 1821.
Letnan Kolonel Elout memasuki peperangan pada tahun 1831 dengan membawa Sentot
Prawirodirjo yang membelot dalam rangkaian Perang Jawa. 
Kronologi Perang
1. Periode Pertama (1815-1825)
Pembentukan Harimau Salapan mendapatkan respon dari kaum adat yang semakin keras
menolak untuk menerima ide Islam dan mempertahankan apa yang menjadi kebiasaan
mereka. Sementara tidak sedikit pula pembesar-pembesar yang menerima ide-ide Padri,
sehingga eskalasi gerakan menjadi semakin besar dan tidak terkendali. Puncaknya, Kaum
Padri dipimpin Tuanku Pasaman menyerbu Pagarruyung pada tahun 1815 dan
menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah harus menyingkir dari wilayah tersebut. Pada tahun
1821, kaum adat meminta bantuan kepada Inggris namun pada saat itu Stamford Raffles
telah mengincar pembukaan pelabuhan di Tumasik yang dikuasai Belanda. Sehingga arah
bantuan ini diubah kepada Belanda. Tanggal 10 Februari 1821, Residen Du Puy dan
Tuanku Saruaso meminta bantuan kepada Belanda dengan ganti konsesi beberapa wilayah
di Minangkabau.

2. Periode Kedua (1825-1830)

Meletusnya Perang Jawa pada tahun 1825 membuat Belanda harus memikirkan ulang berlarut-larutnya
perang Padri. Kolonel Stuers berhasil membuat kontak dengan kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Keramat. Perjanjian dilakukan di Ujung Karang dan ditandatangani di Padang pada 15 November 1825.
Menyatakan bahwa Belanda mengakui kedudukan para Tuanku di beberapa wilayah dan meminta untuk
menghormati kepentingan satu sama lain di wilayah tersebut. Perjanjian ini memberikan kelegaan
terhadap Belanda untuk dapat membawa sebagian besar pasukannya ke Jawa. Di sisi lain, Kaum Padri
memanfaatkan ini untuk mengonsolidasikan kekuatan dan memperbesar pengaruh ke berbagai wilayah.
Menjelang tahun 1830, ketegangan kembali memuncak.

3. Periode Ketiga (1830-1838)

Pada periode ketiga, Belanda kini dapat memusatkan seluruh kekuatannya untuk menaklukkan
Minangkabau. Belanda berhasil menduduki Pandai Sikek dan Lintau yang merupakan posisi kuat Padri.
Belanda kemudian mendirikan Fort de Kock di Bukittinggi. Tuanku Lintau dan Tuanku Rao menjadi tokoh
Harimau Salapan selanjutnya yang dikalahkan Belanda pada Januari 1833. Pada bulan yang sama,
garnisun Belanda diserang dan menewaskan 139 serdadu. Hal ini menandai kompromi antara kaum adat
dan kaum Padri, sehingga Belanda kemudian menangkap Raja Pagaruyung Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Menghadapi seluruh masyarakat Minangkabau, Belanda melunakkan sedikit konfrontasinya dengan
mengeluarkan Plakat Panjang. Pernyataan bahwa Belanda datang hanya untuk berdagang

Anda mungkin juga menyukai