Anda di halaman 1dari 14

Pattimura(atau Thomas Matulessy) (lahir di 

Haria, pulau Saparua, Maluku, 8
Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal
dengan nama Kapitan Pattimura adalah pahlawan Maluku dan merupakan Pahlawan nasional
Indonesia.

Menurut buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis,
"Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).
Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy.
Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang
terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".

Namun berbeda dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan dalam bukunya Api
Sejarah bahwa Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy,
Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia
adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman.
Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam
bahasa Maluku disebut Kasimiliali. Namanya kini diabadikan untuk Universitas
Pattimura dan Bandar Udara Pattimura di Ambon.

Istilah Kapitan[sunting | sunting sumber]


Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda.
Padahal tidak.

Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran abdul gafur, leluhur bangsa ini, dari sudut
sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap
sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna
rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang
mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki
seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila
ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah
pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun.
Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan "kapitan" yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
[1] [2]
 

Perjuangan[sunting | sunting sumber]
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris.[3] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik
yang berarti Tanah Raja-Raja.[4] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat
London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut
juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para
serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki
dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya
pemindahan dinas militer ini dipaksakan [5] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun
1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit
mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [4] Maka pada waktu pecah perang
melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat
mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi
perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih
dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan,
menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan
menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-
raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda
dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes,
salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lainMelchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan
pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai
Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi
hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri
pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa
dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.

SOEPRAPTO

R. Soeprapto (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 12 Agustus 1924 – meninggal di Jakarta, 26


September 2009 pada umur 85 tahun) adalah salah satu mantan Gubernur Jakarta. Kariernya
dimulai dari militer dan pada tahun 1982 dia menjadi Gubernur Jakarta selama satu periode.
Sebelum menjabat sebagai gubernur, ia adalah Sekretaris Jenderal Depdagri. Dengan
pengalaman kepemimpinannya, Soeprapto mencoba menangani masalah Jakarta yang
kompleks. Ia memulai kepemimpinannya dengan mengajukan konsep yang pragmatisdan bersih
tentang pembangunan Jakarta sebagai ibu kota dan juga wacananya mengenai sebuah kota
besar. Ia menekankan konsepnya dalam wacana stabilitas, keamanan, dan ketertiban. Selain itu
Soeprapto juga membuat Master Plan DKI Jakarta untuk periode 1985–2005, yang sekarang
dikenal dengan Rencana Umum Tata Ruang dan Rencana Bahagian Wilayah Kota.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]
 SD 010 PONDOK KELAPA (1937)
 SMPN 199 SSN PONDOK KOPI
 SLA (1943)
 Pendidikan Peta (1943)
 Kupaltu (1954)
 Kupalda (1959)
 Seskoad (1964)
 US CGEC (1967)

Karier[sunting | sunting sumber]
 Danki (1945-1947)
 Kasi-I Resimen (1947-1950)
 Wadanyon 428, 441 (1951-1955)
 Waas III Pers Staf Ter IV (1957-1960)
 Danmen Taruna Akmil (1960-1964)
 Asisten 2/OPS Kodam VII Diponegoro (1964-1967)
 Kasdam XVII/Cenderawasih (1968-1969)
 Panglima Kodam XVI/Udayana (1970-1972)
 Asisten V Renlitbang Kasad (1972-1973)
 Asrenum Hankam (1973-1976)
 Sekretaris Jenderal Depdagri (1976-1982)
 Gubernur DKI Jakarta (1982 - 1987)
 Wakil Ketua MPR RI (1987 - 1992) Utusan Daerah

PANJAITAN
D.I. Pandjaitan

D.I. Pandjaitan

Lahir Donald Isaac Panjaitan

19 Juni 1925

Balige, Sumatera Utara

Meninggal 1 Oktober 1965 (umur 40)

Lubang Buaya, Jakarta

Pekerjaan TNI-AD

Mayor Jendral Pahlawan Revolusi

Pasangan Marieke Pandjaitan br Tambunan

1. Catherine Pandjaitan
Anak
2. Masa Arestina

3. Ir (Ing) Salomo Pandjaitan

4. Letnan Jendral (Purn)Hotmangaraja Panjaitan

5. Tuthy Kamarati Pandjaitan

6. Riri Budiasri Pandjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan (lahir di Balige, Sumatera Utara, 19


Juni 1925 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun) adalah
salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta
Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar,
kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia
tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika
masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan
sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali
ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay)
Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya
yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan
kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan
Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi
Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI
di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang
ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah
menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini,
ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah
terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari
situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan
yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging
Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan
melancarkan pemberontakan.

Kematian[sunting | sunting sumber]

Perangko D.I. Pandjaitan keluaran tahun 1966


Pada jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September
meninggalkan Lubang Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah
Panjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan
menewaskan salah seorang pelayan yang sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan
menyerukan Panjaitan untuk turun ke bawah. Dua orang pemuda yaitu Albert
Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka berat saat mengadakan perlawanan ketika D.I. Panjaitan
diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal. Setelah penyerang mengancam keluarganya,
Panjaitan turun dengan seragam yang lengkap sambil menyerahkan diri kepada Yang Maha Esa
untuk memenuhi panggilan tugas yang dimanupalasi oleh gerombolan PKI dan ditembak mati.
mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang
Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah
sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan
pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat promosi anumerta kepada Jenderal Mayor dan diberi
gelar Pahlawan Revolusi.

Laksamana TNI (Anumerta) Raden Eddy Martadinata (lahir di Bandung, Jawa Barat, 29


Maret 1921 – meninggal di Riung Gunung,Jawa Barat, 6 Oktober 1966 pada umur 45 tahun)
atau yang lebih dikenal dengan nama R.E. Martadinata adalah tokoh ALRI dan pahlawan
nasional Indonesia. Ia meninggal dunia akibat kecelakaan helikopter di Riung Gunung[1] dan
dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Riwayat hidup & Perjalanan Karier


o 1.1 Pendidikan awal
o 1.2 Perjuangan
o 1.3 Penugasan
o 1.4 Kepala Staf Operasi V
o 1.5 Mendirikan SAL dan Kepala Pendidikan Latihan
o 1.6 Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh
o 1.7 Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya dan Komandan KRI Hang Tuah
o 1.8 Tugas belajar
o 1.9 Menteri/Panglima Angkatan Laut
o 1.10 Sikap Martadinata mengenai G30S/PKI
o 1.11 Kepangkatan
o 1.12 Pengabdian Terakhir
o 1.13 Kehidupan pribadi
o 1.14 Penghargaan & Tanda Jasa
o 1.15 Referensi

Riwayat hidup & Perjalanan


Karier[sunting | sunting sumber]
Pendidikan awal[sunting | sunting sumber]
1. Sekolah Dasar HIS di Lahat lulus pada tahun 1934,
2. Sekolah Menengah Pertama MULO - B di Bandung lulus pada tahun 1938,
3. Sekolah Menengah Atas AMS di Jakarta lulus pada tahun 1941
4. Sekolah Pelayaran Zeevaart Technische School tidak sempat menyelesaikan karena
pendudukan Jepang.
5. Pelayaran Tinggi yang diselenggarakan Jepang sampai ia diangkat sebagai nahkoda
kapal latih Dai28 SakuraMaru.
6. Bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia tahiun 1945

Perjuangan[sunting | sunting sumber]
Ia menghimpun pemuda bekas siswa Pelayaran Tinggi dan mereka berhasil merebut beberapa
buah kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selanjutnya mereka menguasai beberapa kantor
di Tanjung Priok dan Jalan Budi Utomo Jakarta. Setelah pemerintah membentuk BKR, pemuda-
pemuda pelaut bekas pelajar dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi serta pelaut-pelaut Jawa Unko
Kaisya yang dikoordinasi oleh M. Pardi, Adam, Martadinata, Surjadi Untoro, dan lain-lain,
membentuk BKR Laoet Poesat yang dalam perjalanannya berubah menjadi TKR Laoet, diubah
lagi menjadi TRI Laoet dan bulan Februari berganti lagi menjadi ALRI.

Penugasan[sunting | sunting sumber]

Berbagai penugasan yang pernah diemban selama berkarier di Angkatan Laut hingga akhir
hayatnya adalah sebagai berikut :

1. Wakil Komandan BKR Laut Jawa Barat - Agustus 1945


2. Ajudan Kepala Staf Umum TKR Laut - Desember 1945
3. Kepala Staf Operasi V MBA (Bagian Perencanaan) - Maret 1946
4. Komandan Pendidikan Latihan Opsir Kalibakung (Sarangan, Jawa Timur) - Maret 1947
5. Wakil Komandan ALRI di Aceh - Desember 1948
6. Komandan Kapal RI Hang Tuah - Desember 1949
7. Kepala Staf KDMS, diperbantukan di Staf AL Jakarta, Pj Kepala SO - Agustus 1950
8. Mengikuti pelayaran ke Belanda dengan Kapal Tjerk Hiddes - Desember 1950
9. Komandan Kapal RI Gajah Mada - Maret 1951
10. Perwira SO IV Staf ALRI - Oktober 1952
11. Kepala Biro Planning Staf ALRI
12. Kepala Pengawas Pembuatan Kapal di Italia dan Komandan KALITA (Kesatrian
Angkatan Laut Italia) - Januari 1959
13. Perwira Spl pada KASAL - April 1959
14. Menteri / Panglima Angkatan Laut - Juli 1959
15. Panglima Operasi III KOTOE - September 1963
16. Duta Besar Luar Biasa & Berkuasa Penuh RI untuk Republik Pakistan - Februari 1966

Kepala Staf Operasi V[sunting | sunting sumber]


Ketika menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana), Martadinata mencurahkan
perhatian dalam penyelesaian keruwetan ALRI. Salah satunya adalah soal kedudukan dan
pembagian tugas antara MBU. ALRI di Yogyakarta dengan Markas Tertinggi (MT). ALRI yang
berkedudukan di Lawang, yang dibentuk berdasarkan spontanitas pemuda-pemuda pelaut di
Jawa Timur ia menginginkan agar perwira-perwira senior di Yogyakarta dan di Lawang dapat
menyatukan diri dalam wadah Markas ALRI yang tunggal. Januari 1947 dibentuk Dewan
Angkatan Laut (DAL) yang diserahi tugas menyelesaikan masalah tersebut.

Mendirikan SAL dan Kepala Pendidikan


Latihan[sunting | sunting sumber]
Penugasan berikutnya adalah mendirikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal
dan dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan,
Magetan tahun 1948 yang kemudian dikenal dengan nama Special Operation (SO). Martadinata
diberi tugas oleh KSAL Subijakto untuk menyelenggarakan sekaligus memimpin SO karena
menurut KSAL Subijakto, SO merupakan lembaga pendidikan lanjutan untuk para perwira laut.
Pendidikan tersebut diselenggarakan khusus untuk mempersiapkan para perwira laut yang akan
bertugas memimpin armada kapal-kapal cepat. Kapal tersebut dirancang bisa menembus
blokade Belanda, agar pasukan Republik tetap memperoleh senjata dan amunisi untuk
meneruskan perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Pendidikan SO mengambil
tempat di Telaga Sarangan, lereng Gunung Lawu, Jawa Timur.
Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 – meninggal


di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670pada umur 39 tahun) adalah Raja Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam
Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Muhammad Bafaqih Al-Aidid, seorang
mursyid tarekat Baharunnur Baalwy Sulawesi Selatan sekaligus guru tarekat dari Syeikh Yusuf
dan Sultan Hasanuddin. Setelah menaiki Tahta sebagai Sultan, ia mendapat tambahan
gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het
Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia dimakamkan
di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan
Presiden No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]

Sejarah-sejarahnya[sunting | sunting sumber]
Monumen Sultan Hasanuddin di Makassar, Pantai Losari

Makam Sultan Hasanuddin di Sungguminasa

Sultan Hasanuddin lahir di Gorongtalo, merupakan putera kedua dari Sultan Dimas Lintang,
RajaGowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang
diwakiliKompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. GOWA merupakan
kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. [1]
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak,
setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-
kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada
akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18
November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya diBungaya. Gowa merasa
dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni
minta bantuan tentara ke. Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan
Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan
pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil
menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Sombaopu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan
Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12
Juni 1670.

Referensi

Pangeran Antasari
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pangeran Antasari

Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin

Pangeran Antassarie

Gusti Inu Kartapati


Lukisan Pangeran Antasari menurut Perda Kalsel

Masa kekuasaan 14 Maret 1862 - 11 Oktober1862

Pendahulu Sultan Hidayatullah Khalilullah

Pengganti Sultan Muhammad Seman

Pasangan Ratu Antasari

Nyai Fatimah

Wangsa Dinasti Banjarmasin

Ayah Pangeran Masud bin Pangeran Amir

Ibu Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797[1][2] atau 1809[3][4][5][6] –


meninggal di Bayan Begok, Hindia-Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan
tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur)
penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung
Yang Pati Jaya Raja.[8]

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Silsilah
 2 Pewaris Kerajaan Banjar
 3 Perlawanan terhadap Belanda
 4 Meninggal dunia
 5 Referensi
 6 Pranala luar

Silsilah[sunting | sunting sumber]
Semasa muda nama dia adalah Gusti Inu Kartapati.[9] Ibu Pangeran Antasari adalah Gusti
Hadijah binti Sultan Sulaiman. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin
Pangeran Amir. Pangeran Amir adalah anak Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang gagal
naik tahta pada tahun 1785. Ia diusir oleh walinya sendiri, Pangeran Nata, yang dengan
dukungan Belanda memaklumkan dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II[10][11][12] Pangeran
Antasari memiliki 3 putera dan 8 puteri. [13] Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang
bernama Ratu Antasari alias Ratu Sultan Abdul Rahman yang menikah dengan Sultan
Muda Abdurrahman bin Sultan Adam tetapi meninggal lebih dulu setelah melahirkan calon
pewaris kesultanan Banjar yang diberi nama Rakhmatillah, yang juga meninggal semasa masih
bayi.

Pewaris Kerajaan Banjar[sunting | sunting sumber]


Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, dia juga merupakan
pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa
suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda
Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar
dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari.[14] Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh
dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara
Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan
1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:

Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!


“ ”
Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan
suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi. [2]
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad
melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Zainal Mustafa
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa
KH. Zainal Musthofa

Lahir 1 Januari 1899
 Singaparna, Tasikmalaya

Meninggal 28 Maret 1944 (umur 45)
 Jakarta

Kebangsaan Indonesia

Nama lain Hudaeni

Pekerjaan Pimpinan Pesantren

Pahlawan Nasional

Agama Islam

K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meinggal


di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.

Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama


dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama
kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny.
Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah
Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir
tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di
atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang
Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun
1927.

Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar
mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya
untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke
pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan
nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga,
Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus
menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir
berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.

Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar
pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah
Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka
sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang
dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula
Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia
menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.

Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa


di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun
menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan
anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk
Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is
Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

Perlawanan kepada penjajah[sunting | sunting sumber]

Anda mungkin juga menyukai