Anda di halaman 1dari 35

JAVA TALES

Buku 7
BATIK DAN POLITIK

1
Angin perubahan yang dibawa oleh gerakan politik etis Belanda telah berhasil memoles nasionalisme Jawa. Tumbuhnya elit baru yang
berpikiran modern menjadi buah dari akar pendidikan yang telah ditanamkan untuk masyarakat pribumi Jawa. Lambat laun mata pisau
ini mendapatkan ketajamannya dengan mulai terbukanya cakrawala pemikiran dan kesadaran pribumi Jawa terhadap kondisi
kehidupan masyarakat sebangsanya.

2
Seiring dengan berjalannya politik etis di bidang pendidikan, muncul pemikiran di beberapa kalangan tentang perlunya organisasi yang
dapat memperjuangkan nasib bumiputra. Salah satu organisasi itu kemudian lahir di Kampung Laweyan, kampung yang kini masih
ternama sebagai kampung batik di Surakarta.

3
Laweyan merupakan wilayah permukiman tua, bahkan lebih tua dari usia Keraton Kasunanan. Sungai Kabanaran yang terletak di
bagian selatan Laweyan menjadi saksi bisu keberadaan Laweyan sebagai salah satu pusat ekonomi sedari masa Kesultanan Pajang
(1568-1586). Pada masa Kesultanan Pajang, di Sungai Kabanaran terdapat bandar dan pasar yang membuat Laweyan tumbuh sebagai
pusat perdagangan, terutama perdagangan lawe atau benang untuk bahan tenun.

Lawe dan tenun dijual dengan rakit sebagai angkutan sungai melalui Bandar Kabanaran menuju Bengawan Solo, lantas menyebar ke
sejumlah daerah di Jawa.

4
Dari industri perdagangan tenun itu, terjadi pergeseran ke pembuatan batik. Batik diproduksi di sebelah utara sungai. Lalu dibawa ke
arah sungai untuk dicuci, dan dijemur di tepi sungai. Morfologi kawasan Laweyan pun berubah ketika transportasi darat berkembang
dan transportasi sungai menyurut. Seiring dengan itu, produksi batik mulai menggunakan air sumur yang digali di rumah warga. Begitu
juga proses penjemuran dilakukan tak lagi di tepi sungai. Pembuat batik menjemur batik dengan membangun loteng-loteng yang
terletak di samping atau di belakang rumah para pengusaha batik.

5
6
Pada masa kejayaan batik di awal era 1900-an tumbuhlah kluster-kluster di Laweyan dengan tembok setinggi 3 sampai 5 meter. Di balik
tembok terdapat rumah gedongan mirip istana kecil plus pabrik batik. Soedarmono, sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret,
Solo, menyebutkan rumah gedongan milik saudagar Laweyan itu merupakan simbol status, identitas sosial pemiliknya. Dalam tesis S-2-
nya Soedarmono menyebutkan bahwa para saudagar batik di Laweyan adalah kaum Jawa yang telah mendapatkan apa yang dicita-
citakan sesuai falsafah orang Jawa, yaitu drajat, semat, dan pangkat atau status, kekayaan, dan kedudukan.

7
Kekayaan telah mengangkat status sosial saudagar batik hingga sejajar dengan status priayi atau bangsawan. Salah satu saudagar yang
berhasil itu bernama Samanhudi.

8
Nama asli Samanhudi adalah Sudarno Nadi. Nama itu berubah menjadi Haji Samanhudi setelah ia menunaikan ibadah haji dan
bermukim di Makkah pada 1904-1905. Selama bermukim di Makkah, Samanhudi menimba ilmu keislaman dalam hukum agama dan
politik. Saat itu gerakan pembaruan untuk membebaskan diri dari imperialis Barat sedang menjadi topik utama di dunia Islam, dengan
tokoh-tokohnya seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, serta pergerakan Salafiyah. Semua informasi dunia
Islam itu bermuara di Makkah pada saat musim haji.

9
Ibadah haji akhirnya tak hanya sekadar mengubah nama Samanhudi, tetapi juga jalan hidupnya; dari pengusaha batik kaya menjadi
aktivis, perintis pergerakan Islam di tanah Jawa. Ia berubah, dari membangun pabrik-pabrik batik jadi membangun jiwa rakyat yang
tercekik oleh ketidakadilan.

10
Perubahan dalam diri Samanhudi itu berhulu dari inisiatifnya untuk melahirkan organisasi Rekso Rumekso pada 16 Oktober 1905.
Rekso Rumekso pada mulanya hadir untuk menandingi Kong Sing, organisasi pegadang Tionghoa di Solo yang, karena sifat diskriminatif
Belanda, menguasai bahan baku batik.

Sebagai saudagar batik, kala itu Samanhudi merasakan betul kendala kekurangan bahan baku batik. Para juragan batik kala itu
kelimpungan. Ternyata, telah terjadi monopoli oleh pendagang Tionghoa yang sengaja mengakali distribusi bahan baku batik.

Untuk menyikapi hal itu, Samanhudi lantas mendirikan Rekso Rumekso, sebuah organisasi keamanan untuk mengawasi jalannya
distribusi bahan dasar batik. Tugas utama perkumpulan ini adalah menjaga keamanan di kawasan sentra produksi batik. Karena
bergerak di bidang keamanan, tak heran jika sebagian anggota Rekso Roemekso adalah orang-orang sangar yang punya nyali tinggi.

11
Suasana persaingan yang menajam antara kaum Tionghoa dan Jawa sering meletupkan pertikaian antara anggota Kong Sing dengan
Rekso Roemekso. Perkelahian itu bahkan kerap berlangsung di jalan-jalan kecil di Laweyan atau di wilayah Solo lainnya. Tak hanya
kontak fisik, aksi boikot massal terhadap perusahaan dan produk orang peranakan Tionghoa juga sering dilakukan oleh massa pribumi
di Solo.

12
Pihak Belanda khawatir akan keadaan yang tidak stabil ini. Belanda pun mengancam untuk membubarkan Rekso Rumekso. Alasannya,
Rekso Roemekso belum berbadan hukum sehingga bisa digolongkan sebagai ormas illegal oleh pihak Belanda sehingga dapat
dibubarkan setiap saat dengan perintah residen berdasarkan undang-undang tahun 1854 pasal III.

13
Samanhudi pun cemas. Kala itu datanglah Djojomargoso, seorang pegawai kepatihan yang juga orang dekat Samanhudi. Djojomargoso
memberi tahu bahwa ia punya kenalan yang bisa mengusahakan agar Rekso Roemekso memperoleh legalitas. Wajah Samanhudi
mendadak cerah dan meminta koleganya untuk mengurus masalah ini. Orang yang dimaksud Djojomargoso adalah Martodharsono,
mantan jurnalis sekaligus redaktur Medan Prijaji, suratkabar yang dimiliki oleh seorang bangsawan bumiputera berdarah ningrat Solo
bernama Tirto Adhi Soerjo. Tirto Adhi Soerjo ini memimpin perhimpunan resmi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) yang telah berdiri
di Bogor pada 1909.

Jadilah Martodharsono menghubungi mantan bos-nya yang tinggal di Batavia itu. Tirto setuju dan berjanji segera membuatkan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) untuk Rekso Roemekso yang nantinya akan diakui sebagai SDI cabang Solo.
Hari demi hari, Samanhudi cemas menunggu kedatangan Tirto. Petugas kolonial sudah bolak-balik datang untuk menanyakan
keabsahan Rekso Roemekso. Martodharsono yang kerap menghadapi pertanyaan itu selalu berkelit dengan menjawab bahwa Rekso
Roemekso adalah biro SDI yang berpusat di Bogor dan akan segera disahkan.

Menurut catatan Takashi Shiraihi (1997:56) dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Tirto akhirnya tiba di Solo
pada akhir Januari atau awal Februari 1911. Tokoh yang disebut-sebut sebagai sang pemula pers pribumi itu pun menetap sementara di
Solo untuk merumuskan AD/ART Rekso Roemekso.

14
Tanggal 11 November 1911, Rekso Roemekso resmi beralih rupa menjadi SDI cabang Surakarta dengan AD/ART yang diteken langsung
oleh Tirto Adhi Soerjo selaku ketua umum dewan pengurus pusatnya. Dikutip dari Shiraishi (2007:57), dalam AD/ART itu disebutkan
tujuan SDI Solo yaitu:

“…. membuat anggota perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong menolong di antara umat Islam,
dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai kemakmuran, kesejahteraan, dan kejayaan raja melalui segala cara yang tidak
bertentangan dengan hukum negara dan pemerintahan.”

Dari kalimat tersebut, nampak bahwa organisasi pedagang batik berbendera hijau ini bukanlah sekedar organisasi dagang, seperti
Kamar Dagang atau Kongsi Perniagaan, yang mengejar keuntungan materi anggotanya semata. Namun, SDI bertujuan mengangkat
martabat Islam dan penganutnya yang sengsara akibat penjajahan Belanda. SDI juga dijadikan wadah dalam melawan diskriminasi
perniagaan asing (Tionghoa), yang mendapat hak istimewa dari kolonial Belanda.

15
Di kemudian hari, semakin membesarnya jumlah anggota dan pengaruh SDI membuat Samanhudi ingin melepaskan diri dari bayang-
bayang Tirto Adhi Soerjo. Hingga akhirnya, Samanhudi dan Tirto benar-benar pecah kongsi.

Awal Mei 1912, Samanhudi mengirimkan empat pengurusnya di Solo untuk berangkat ke Surabaya. Mereka mengampanyekan
perkumpulan barunya, dengan menghubungi Hasan Ali Soerati, suadagar Islam kaya keturunan Arab, kolega Samanhudi. Selanjutnya,
Soerati-lah yang menggelar pertemuan besar melibatkan orang-orang Solo dengan tokoh masyarakat Surabaya.

Tjokroaminoto, pria muda berotak cemerlang yang kala itu menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Panti Harsoyo turut hadir di
pertemuan tersebut. Hari berikutnya, Soerati dan Tjokroaminoto dilantik menjadi anggota baru SDI. Tjokroaminoto yang saat itu
bermukim di Surabaya dipanggil ke Solo untuk merumuskan ulang AD-ART rumusan Tirto Adhi Soerjo.

16
Kepada Samanhudi, Tjokroaminoto menyarankan agar SDI berganti nama sekalian jika ingin benar-benar melepaskan diri dari bayang-
bayang Tirto Adhi Soerjo. Tjokroaminoto mengusulkan agar SDI sedikit diubah menjadi Sarekat Islam (SI) saja. Menurutnya, kata
“dagang” sangat membatasi ruang gerak perhimpunan tersebut.

Tjokroaminoto berpendapat, penghilangan kata “dagang” juga memberikan dampak positif karena organisasi bisa mencakup seluruh
wilayah dan tidak saja bergerak di sektor perdagangan, melainkan juga di ranah politik. Dan jelas, SI di kemudian hari memang lebih
intens di kancah politik ketimbang menangani urusan jual-beli batik.

17
AD/ART rumusan Tjokroaminoto tersebut selesai disusun pada 14 September 1912 dan segera dikirimkan kepada pemerintah di
Batavia untuk mendapatkan pengakuan resmi (Van Niel, 1984:127). Sarekat Dagang Islam pun resmi punya nama baru: Sarekat Islam
(SI). Keanggotaan SI ditetapkan tidak hanya terbatas pada kaum pedagang batik, melainkan mencakup seluruh umat Islam.

18
Berkat kecakapan Tjokroaminoto, SI berkembang pesat. Cabang-cabangnya bermunculan. Cabang pertama berdiri di Kudus pada
September 1912. Hampir seluruh Jawa sudah ada cabang SI, termasuk Madiun, Ngawi, Ponorogo, Semarang, Yogyakarta, Batavia, Bogor,
Purwakarta, dan lainnya. Sukses Tjokroaminoto diraih berkat jaringan yang dimilikinya. Jawa Tengah dan Jawa Timur jelas telah
dikuasainya bersama Samanhudi. Untuk Yogyakarta, ia merangkul pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Raden Goenawan, tokoh
Boedi Oetomo yang pernah bersama-sama Marthodarsono bekerja di Medan Prijaji, menjadi kepanjangan tangan Tjokroaminoto dengan
merekrut ribuan anggota SI di Batavia dan seluruh pelosok Jawa Barat (Sartono Kartodirjo, Sarekat Islam Lokal, 1975:18).

19
Berkembangnya Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar ternyata juga tak lepas dari peran Sri Susuhanan Pakubuwana X. Pada
1912, Samanhudi dengan SDI-nya pernah difitnah oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai penggerak huru-hara anti-Tionghoa di
Kesultanan Surakarta, yang meluas ke kota-kota lain. Padahal itu adalah provokasi pemerintah kolonial, dengan target, Revolusi
Tionghoa pimpinan Sun Yat Sen, 1911 tidak menular ke tanah Jawa. Huru-hara itu dilakukan oleh Lasjkar Mangoenegaran yang
ditugaskan pemerintah untuk merusak toko-toko Tionghoa. Akibatnya, oeh Residen Surakarta, Wijck, SDI dijatuhi hukuman pembekuan
pada 12 Agustus 1912. Namun, pada 26 Agustus, scorsing itu terpaksa dicabut kembali, karena menimbulkan reaksi yang di luar
perhitungan kolonial Belanda, yaitu para petani anggota Sarekat Islam dari Kesultanan Surakarta melakukan mogok, menolak kerja di
onderneming Krapyak, Surakarta. Di sinilah Pakubuwana X memberikan jaminan kepada pihak Belanda agar SDI dapat beroperasi
kembali.

20
Kerjasama antara SI dan istana Pakubuwono X juga nampak pada September 1912. Dari pimpinan SI yang terdiri dari sebelas, empat
orangnya kala itu adalah pegawai Susuhunan. Puncaknya tercapai setahun kemudian pada Kongres SI yang kedua tanggal 23 Maret
1913 yang diselenggarakan di Taman Sriwedari, Solo. Taman Sriwedari ini dibangun oleh Pakubuwono X sebagai taman hiburan dan
pusat pertemuan yang termasuk di dalam wilayah Susuhunan. Atas dukungan Pakubuwono X, kongres ini berjalan tanpa cekalan dari
pihak Belanda. Salah satu dedikasi dari Sang Sunan untuk Sarekat Islam adalah memerintahkan putranya bernama Pangeran Hangabehi
untuk ikut mengurusi SI. Pangeran Hangabehi terpilih sebagai anggota Pelindung SI sehari sebelum diadakannya kongres.

21
Untuk menggalang dukungan pada Sarekat Islam, Pakubuwana X bahkan sering mengadakan kunjungan ke daerah-daerah. Setiap
kunjungan Pakubuwana X selalu diiringi ratusan orang pengikutnya. Pada setiap kunjungan Pakubuwana X ini sangat efektif untuk
menggalang pendukung Sarekat Islam. Kunjungan Pakubuwana X berhasil menarik simpati rakyat dan para bupati. Kunjungan itu
dinamakan perjalanan incognito. Bahasa istana menyebutnya sebagai udik-udik dan tetirah. Perjalanan incognito dibalut dengan
pemberian bantuan, cindera mata, dan gelar kerajaan kepada tokoh masyarakat serta tokoh politik, bahkan Sunan menginap di daerah
itu untuk menghormati pejabat setempat. Cinderamata batik menjadi simbol politik dari Sang Sunan. Dan, tertulisa dalam laporan
Bupati Demak, kedatangan Pakubuwana X datang ke Demak dalam bulan Mei 1913 dimaksudkan untuk memberi perintah supaya tidak
menentang SI. Dapat disimpulkan, peranan PB X terhadap perkembangan Sarekat Islam adalah sebagai “tokoh di belakang layar.”

22
Selain karena peran Pakubuwana X, perkembangan Sarekat Islam juga terjadi karena adanya siasat politik Tjokroaminoto. Arah
perjuangan SI dikendalikan dan diarahkan kepada tujuan-tujuan yang bersifat politis dan masih dalam garis rust en orde pemerintah
kolonial. Hal ini dinyatakan oleh Tjokroaminoto dalam suatu pertemuan di Semarang tahun 1912.

“Menurut syarat agama Islam juga, kita harus menurut perintahnya kerajaan Olanda, kita mesti menetapi dengan baik dan setiap wet-
wet dan pengaturan Olanda yang diadakan buat rakyat kerajaan Olanda.”

Hal ini ditegaskan kembali oleh Tjokroaminoto dalam kongres pertama Sarekat Islam pada 26 Januari 1913. Malam menjelang kongres,
kehadiran Samanhudi sebagai pendiri perkumpulan disambut secara besar-besaran di Surabaya. Di stasiun, dia disambut korps musik
dan massa yang berjumlah 5.000-an. "Demikian hebatnya orang berdesakan sehingga Samanhudi tidak lagi berjalan menuju mobil yang
disediakan baginya, tapi didukung beramai-ramai." Begitu laporan Dr. D.A. Rinkes, penasihat urusan bumiputra Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, yang ditugasi mengamati perkembangan SI.

23
Kongres yang dipimpin Tjokroaminoto itu, menurut Rinkes, dihadiri sekitar 10.000 orang. Kehadiran Tjokro di SI menjadi elemen
penting dalam proses politisasi di perkumpulan kaum pedagang yang berkolaborasi dengan intelektual itu. Pamor SI pun kian
mencorong hingga menyilaukan para amtenar Belanda dan penguasa tradisional. Tjokro menekankan bahwa perkumpulan itu bukan
suatu partai politik dan akan tetap sepenuhnya setia kepada pemerintah. Dalam kata pembukaannya diucapkan:

“Kami bersikap loyal terhadap gubernemen. Kami senang dibawah kekuasaan pemerintah Belanda. Bohong djika ada jang berkata
bahwa kami hendak merusak keamanan. Tidak benar kami hendak bertempur. Yang menyangka demikian, ialah orang gila! Tidaklah
pemberontakan atau kekacauan yang kami maksud, sekali-kali tidak!”

24
Siasat Tjokroaminoto untuk nampak tidak berseberangan dengan Belanda berhasiil menarik simpati Gubernur Jendral yang menjabat
kala itu, yakni A.W.F. Idenburg.

25
Idenburg menyatakan bahwa pada hakekatnya tidak menolak akan adanya Sarekat Islam walaupun adanya kecurigaan dengan
perkembangannya yang pesat. Sikap simpatik Gubernur Jendral Idenburg tidak diikuti oleh golongan Eropa lainnya, bahkan sebagian
golongan Eropa menyalahkan Gubernur Jendral mengenai sikapnya yang terlalu lemah terhadap Sarekat Islam. Kala itu bahkan ada
anekdot bahwa SI adalah singkatan dari ‘Salah Idenburg.’

26
Namun, pertumbuhan SI tak bisa lagi dibendung. Kepiawaian Tjokroaminoto sebagai negosiator ulung tidak perlu diragukan lagi.
Melalui lobi-lobinya kepada pemerintah Belanda, SI berhasil memperoleh status hukum dan mengubah afdeling-afdeling menjadi SI
lokal. Selain itu, SI juga berhasil mendapat ijin untuk membentuk kepengurusan pusat yang kemudian dinamai Central Sarekat Islam
(CSI). Sampai Kongres kedua sudah 60 afdeling yang berhasil diubah menjadi SI lokal dan nantinya terus bertambah.

Propaganda secara massal dilakukan oleh perkumpulan ini. Perkembangan Sarekat Islam dapat dikatakan sebagai kebakaran padang
rumput yang menyambar dengan cepat padang ilalang di sekitarnya. Surat kabar dijadikan organ organisasi untuk menyampaikan
propaganda-propaganda Sarekat Islam. Beberapa surat kabar yang dijadikan sebagai organ propaganda adalah Sinar Djawa, Oetoesan
Hindia, dan Pantjaran Warta.

27
Tjokroaminoto pada akhirnya mengambil-alih kendali SI dari Samanhudi (Van Niel, 1984:150). Dalam Kongres SI ke-2 di Yogyakarta
pada 19-20 April 1914, Samanhudi benar-benar disingkirkan dari kepengurusan pusat SI dan hanya mengisi jabatan tanpa kewenangan
sebagai ketua kehormatan (Pitut Soeharto & Zainoel Ihsan, Cahaya di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat
Islam, 1981:289).

28
Di tangan Tjokroaminoto-lah SI mengubah konsep pergerakannya dari pergerakan di bidang ekonomi menjadi organisasi pergerakan
nasional yang secara total berorientasi sosial politik. Kepemimpinan SI pun beralih dari kelompok borjuis pribumi ke kaum intelektual
yang terdidik secara Barat. Dari kongres ke kongres selanjutnya, Tjokroaminoto selalu terpilih sebagai orang nomor satu di SI.

29
Percik-percik konflik internal pun mulai muncul yang berpuncak pada pecahnya SI menjadi dua: SI Putih dan SI Merah.

SI Merah yang dimotori oleh Semaoen dan kawan-kawan dari SI cabang Semarang inilah yang pada akhirnya nanti menjelma menjadi
Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara SI Putih pimpinan Tjokroaminoto berganti nama yang lebih politis pada 1921 menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI) dan berubah lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1929.

Semaoen dalam kongres istimewa Sarekat Islam tahun 1921 di Surabaya menjelaskan bahwa perkembangan awal dari gerakan Sarekat
Islam adalah bahwa pada kongres tahun 1915 sebagian besar yang menghadiri kongres Sarekat Islam adalah saudagar-saudagar dan
haji-haji yang memiliki kekayaan. Menurutnya, dasar ini lah yang membuat SI menjadi laksana sinar dalam kegelapan, yang di kemudian
hari melahirkan fajar kemerdekaan.

30
Ironisnya, saat api nasionalisme yang dipercikkannya kian berkobar, kiprah Samanhudi sang pendiri justru kian redup. Dari seorang
saudagar batik yang perhari mampu meraih keuntungan f. 800, menjadi hampir tidak memiliki apa-apa di akhir hidupnya. Seluruh harta
hasil penjualan batik miliknya telah dihabiskan untuk membiayai perjuangan SI dahulu. Tidak hanya rumah di Sondakan yang ia tempati
sehari-hari, bahkan lemari dan perabot yang ada di dalam rumah pun ia jual. Itu semua dilakukannya untuk membiayai perjuangan SI
membebaskan kaumya dari ketidakadilan. Kota demi kota didatangi, tokoh demi tokoh ditemui, rapat demi rapat diikuti, dan tekanan
demi tekanan dari pihak kontra dihadapi. Usahanya terbengkalai dan seiring waktu, pabrik-pabriknya pun tutup karena tidak lagi
produktif.

31
Sejak Samanhudi menjual rumah dan pabriknya, ia menjalani hidup dengan berpindah-pindah mengikuti anak-anaknya.Setelah
wafatnya, ia dianugerahi Bintang Mahaputra Setjara Anumerta.

32
Kepada ahli waris Samanhudi, Presiden Sukarno pun memberikan hadiah rumah.

33
Kini jasad Samanhudi telah beristirahat di tanah kelahirannya, Kampung Laweyan. Tidak ada lagi kesempitan kehidupan dunia dan
tubuh yang lelah.

34
Inilah ujung kisah seorang pedagang batik yang akhirnya menjadi aktivis politik. Dari sekian banyak khalifah-Nya, Allah memilih
Samanhudi untuk mendirikan SDI dan SI guna berjuang membela hamba-Nya di Hindia Timur. Sebuah perjuangan yang kemudian
disambut riuh oleh para tokoh-tokoh setelahnya. Sebuah perjuangan meneruskan tongkat estafet untuk memerdekakan Indonesia di
kemudian hari.

35

Anda mungkin juga menyukai