Anda di halaman 1dari 2

Kyai Haji Samanhudi

 Lahir: Surakarta 1868


 Wafat: Klaten 28 Desember 1956
 Gelar: Pahlawan kemerdekaan Indonesia
 Dasar penetapan: Keppres No. 175 Tahun 1960
 Tanggal penetapan: 28 Juli 1960

Saat itu, Surakarta memang sedang resah akibat banyak Begal dan Kecu, kaum penjahat
yang merugikan rakyat. Di Laweyan, tempat para saudagar batik pribumi bermukim tidak
lepas dari rasa takut pada kegiatan kaum penjahat. Sekali waktu, Samanhudi
mengumpulkan karibnya sesama pedagang pribumi dan mengusulkan kelompok ronda
malam, Rekso Roemekso. Bertujuan menciptakan keamanan dari pencurian dan saling
memberi pertolongan sesama pedagang batik Laweyan.

Di titik awal itu juga para saudagar merasakan diskriminasi dalam berdagang, lalu
kelompok ronda itu perlahan diubah Samanhudi menjadi Serikat Dagang Islam [SDI] yang
bertujuan melindungi pedagang batik pribumi. Pada 11 November 1911, Serikat ini telah
resmi menjadi organisasi dan Samanhudi menjadi ketua pertamanya. Lalu siapa sangka
bahwa Serikat ini berkembang luar biasa, berubah nama menjadi Serikat Islam [SI], dan
menjadi organisasi masa pertama yang memainkan peran teramat penting dalam
pergerakan nasional. Lalu, ketika kembali membicarakan awal berdirinya SI, orang pasti
akan menyebut nama Samanhudi.

Samanhudi sering dikenal juga dengan nama Wiryowikoro, meski sebenarnya beliau
memiliki nama kecil Sudarno Nadi, merupakan pemberian kedua orang tuanya sejak lahir.
Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya Sekolah Dasar, itu pun tidak sampai tamat.
Setelah itu, beliau belajar agama di Surabaya sembari berdagang batik. Berkecimpung
dalam dunia perdagangan membuat Samanhudi semakin merasa yakin bahwa dagang
adalah minat terbesarnya. Pengetahuannya dalam dunia perdagangan pun kian luas, saat
itu beliau mulai menyadari ada perlakuan yang berbeda terhadap pedagang pribumi yang
beragama Islam.Pada tahun sekitar 1911, terjadilah persaingan tidak sehat antara
pedagang-pedagang di Hindia Belanda.
Faktanya banyak pedagang pribumi mendapat tekanan dari Pemerintah Belanda. Oleh
karena itu, perdagangan bangsa Indonesia tidak dapat berkembang. Melihat keadaan ini,
Samanhudi mengubah kelompok rondanya di Laweyan menjadi Sarekat Dagang Islam
[SDI]. Tujuan dari organisasi tersebut tak lain adalah untuk membela kepentingan para
pedagang asli pribumi. Tirtoadisurjo membantu organisasi ini menjadi legal pada 11
November 1911.

Munculnya SDI mendapat sambutan yang luas. Tak butuh waktu lama, cabang-cabang SDI
kemudian didirikan di luar kota Solo. Lambat laun, SDI kemudian bermetafosa menjadi
sebuah partai politik. Tepatnya pada tanggal 10 September 1912, nama SDI lalu diubah
menjadi Serikat Islam (SI). Haji Samanhudi tetap duduk sebagai ketua kehormatan sampai
tahun 1914. Sesudah itu, SI dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan tumbuh
menjadi partai massa. Semenjak tahun 1920 Haji Samanhudi sudah tidak aktif lagi dalam
pergerakan. Kesehatan beliau sering terganggu, tetapi fokusnya terhadap pergerakan
nasional tidaklah goyah. Lama namanya tidak terdengar.

Di kala kemerdekaan telah di depan mata dan tentara Belanda mengganggu republik
Indonesia, ia kembali bergerak. Samanhudi mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia di
Surakarta dan Gerakan Persatuan Pancasila. Saat Belanda melancarkan Agresi militer
kedua, Samanhudi membentuk laskar yang diberi nama Gerakan Kesatuan Alap-alap.
Kelompok tersebut memiliki tugas menyediakan perlengkapan terlebih bahan makanan
yang ditujukan untuk kesatuan-kesatuan tentara yang tengah siap bertempur di barisan
depan. Banyak jasa yang diberikan selama berlangsungnya Agresi Militer II Belanda meski
ia sudah tua.

Samanhudi meninggal pada usia 88 tahun di Klaten dan tubuhnya dimakamkan di


Banaran, Grogol, Sukoharjo. Atas jasanya yang begitu besar dalam pergerakan nasional
maka pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada
tahun 1961.

Anda mungkin juga menyukai