Anda di halaman 1dari 9

Wajah Kaum Adat dalam Kemajemukan Warisan Kolonial

Oleh: Ken Miryam Vivekananda

Pada awal Agustus 2014, sebuah mingguan yang berbasis di London, Inggris, The Economist,
mempublikasikan sebuah analisis mendalam berjudul “Race and Religion in South-East Asia, The
Plural Society and Its Enemies.” Dalam artikel yang disusun oleh gabungan koresponden di Asia
Tenggara ini dijelaskan bahwa ada benang merah yang dapat ditarik untuk membaca musabab
konflik berlatar ras dan agama yang terjadi di kepulauan ini.

Pada bagian awal artikel tersebut, mereka memaparkan latar penggunaan istilah ‘masyarakat
majemuk’ dari John Furnivall, seorang akademik dan administrator kolonial asal Inggris, yang
menginjakkan kakinya pertama kali di Burma pada 1902. Furnivall memandang bahwa
komunitas masyarakat Asia Tenggara kini adalah masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah
warisan kolonial.

Meski kerajaan kolonial Inggris dan Belanda sudah lama meninggalkan kepulauan ini, tetapi
konsekuensi dari keberadaan mereka dahulu tidak hilang sampai saat ini. Salah satu konsekuensi
yang harus ditanggung adalah keberadaan ‘masyarakat majemuk’ itu sendiri.

Deskripsi Furnivall terhadap ‘masyarakat majemuk’ di Asia Tenggara memiliki nuansa makna
yang berbeda dengan ‘pluralisme’ yang kini dipandang sebagai suatu semangat positif di Barat.
Alih-alih bersetuju dengan konsep pluralisme sebagai ‘pelangi etnis yang memilih dengan bebas
untuk hidup bersama’, Furnivall memandang terma ‘masyarakat majemuk’ di Asia Tenggara
adalah sesuatu yang semestinya sarat kritik.

Mengapa demikian? Furnivall melihat bahwa ‘masyarakat majemuk’ adalah akibat langsung dari
invasi ekonomi atas nama perdagangan di masa kolonial dahulu. Interaksi perdagangan
membuat imigran merangsek masuk pada sebuah teritori dan acapkali menciptakan
ketidakadilan ekonomi yang justru menimpa masyarakat adat atau bumiputera.

Pada masa silam, pemerintahan kolonial telah melakukan tindakan memobilisasi pemindahan
manusia dari suatu tanah ke tanah yang lain (yang juga berpenghuni) atau migrasi yang
terencana dan sistematis. Istilah untuk ini adalah ‘kolonisasi’ (Belanda: kolonisatie), yang kemudian
diganti menjadi ‘transmigrasi’ dalam pemerintahan Sukarno (Patrice Levang, Ayo ke Tanah
Sabrang: Transmigrasi di Indonesia, 2003). Pemindahan penduduk ini umumnya digunakan untuk
menjadi pekerja kasar di perusahaan-perusahaan milik Eropa.

Kondisi inilah yang kemudian menciptakan ‘masyarakat majemuk’, yang digambarkan oleh
Furnivall berikut ini.

“Sebagian besar imigran China, dituangkan ke wilayah ini di bawah kekuasaan Eropa. Jutaan
orang Asia Selatan, banyak dari mereka muslim, bermigrasi juga, terutama ke Burma, kemudian
dikelola oleh Inggris sebagai bagian dari kerajaan India-nya. Kemudian India bermigrasi dalam
jumlah besar di seluruh dunia Melayu. Para imigran sering bekerja di Malaya, di tambang
tembaga, dan perkebunan karet, misalnya.”

Furnivall memandang bahwa orang asing yang datang di bawah perlindungan kolonial ini
kemudian hari justru menyisihkan hak-hak ekonomi masyarakat bumiputera. Karena itu, dia
memandang bahwa konstruksi masyarakat majemuk yang semacam ini adalah konstruksi yang
rapuh dan tidak stabil dalam membulatkan suatu kehendak sosial. Meski mereka bersama
dengan yang-berbeda, tiap-tiap kaum memiliki dunia dan cara berpikir yang terpisah satu sama
lain.

“The different races ‘mix but do not combine’. Each group holds by its own religion, its own culture
and language, its own ideas and ways,” demikian tulis Furnivall.

Furnivall memandang bahwa perlindungan kolonial di masa lalu adalah hambatan utama untuk
segala praktik penolakan imigran oleh masyarakat adat atau bumiputera yang marah atau
kecewa. Dengan kuasa kolonial, pendatang mendapat jaminan keamanan sehingga ia terbebas
dari perlawanan fisik bumiputera. Otoritas kolonial tidak menginginkan terjadinya konflik karena
akan mengganggu stabilitasnya. Namun, ketiadaan konflik ini ibarat ‘api dalam sekam’.
Kekecewaan bumiputera atas ketidakadilan ini mengendap dan tumbuh sebagai lingkaran
dendam.

Alhasil, apa yang terjadi setelah kekuasaan koersif kekuasaan kolonial pergi adalah sesuatu
yang pada masa lalu tidak terantisipasi. Kerusuhan rasial di Malaysia dan Singapura pada
tahun 1969, antara Melayu dan Cina, mengkonfirmasi kekhawatiran terburuk Furnivall akan
kondisi Asia Tenggara sepeninggal kekuasaan kolonial.

Penjelasan Furnivall juga dapat menjadi penjelas atas juga terjadinya kerusuhan rasial dan etnis
di Indonesia, yang terjadi di sepanjang masa, yang melibatkan etnis bumiputera dan etnis
pendatang. Ia juga menjadi penjelasan terhadap kekacauan yang terjadi di Philipina Selatan,
Thailand Selatan, Burma, atau Myanmar.

Artikel dari The Economist ini kemudian memaparkan bahwa kemunculan elit baru di negara-
negara baru pasca-kolonialisme lebih sering bersifat sebagai pengganti otoritarianisme kolonial
dengan gaya mereka sendiri. Artinya, meski pada 1945 sejarah imperialisme dan fasisme konon
telah berakhir, sesungguhnya praktik kolonialisme belum sepenuhnya terhapus.

Hari Bumiputera/Masyarakat Adat Internasional (International Day of the World’s Indigenous


People)

Terkait upaya memarwahkan kaum bumiputera yang terdesak, yang tejadi di seluruh dunia, 9
Agustus pun lantas ditetapkan sebagai ‘International Day of the World’s Indigenous People’, atau
yang di Indonesia disebut sebagai ‘Hari Masyarakat Adat Internasional’.
Dalam siaran persnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon,
menyerukan agar kepentingan masyarakat adat harus menjadi bagian dari agenda
pembangunan. Hal ini dilakukan karena masih adanya kesenjangan, diskriminasi, dan
ketidakadilan yang dialami masyarakat bumiputera/adat. Oleh sebab itu, tema peringatan
untuk tahun ini adalah “Menjembatani kesenjangan: melaksanakan hak-hak masyarakat adat”.

Untuk menandai hari ini, Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) juga telah
menerbitkan sebuah dokumen khusus yang menyoroti sejumlah tantangan yang terus dihadapi
oleh masyarakat adat, salah satunya mengenai ‘penentuan nasib sendiri’ (self determination).
Dokumen tersebut dapat dibaca di sini: http://www.unpo.org/downloads/980.pdf.

Ban Ki Moon menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki peran sentral dalam menentukan
hukum perubahan iklim. Karenanya, hak-hak masyarakat adat harus dijamin. Keseriusan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menjamin hak-hak masyarakat adat ini, di antaranya,
ditunjukkan melalui Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (World Conference on Indigenous
Peoples, WCIP) yang akan dilaksanakan oleh Sidang Umum PBB di Markas Besarnya, New York,
pada 22-23 September 2014.

“Kita tengah mempersiapkan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat di bulan September.
Untuk itu saya mendesak semua negara anggota untuk bekerja dalam kemitraan penuh dengan
masyarakat adat dan wakil-wakil mereka untuk meningkatkan kehidupan dan peluang mereka.
Bersama-sama, marilah kita mengenali dan merayakan identitas berharga dan khas dari
masyarakat adat di seluruh dunia. Mari kita bekerja lebih keras untuk memberdayakan mereka
dan mendukung aspirasi mereka,” tegas Ban Ki Moon.

Apa yang dikatakan oleh Ban Ki Moon dapat dilihat sebagai upaya untuk mempertegas apa
yang sudah tertuang dalam “Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Masyarakat
Adat” atau “United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples” (UNDRIP). Dalam
pasal tiga deklarasi tersebut, dinyatakan bahwa “Masyarakat adat mempunyai hak untuk
menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka secara bebas menentukan status
politik mereka dan secara bebas mengembangkan kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya
mereka”.

Persoalan ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’, yang belum sepenuhnya diraih oleh masyarakat
adat (terutama di Asia Tenggara), sejalan dengan analisis John Furnivall di atas.

Definisi Masyarakat Adat/Indigenous People

Lalu, bagaimana semestinya masyarakat bumiputera/adat dapat meraih haknya untuk


menentukan nasib sendiri? Pertama-tama, tentu perlu untuk dipertimbangkan terlebih dahulu
mengenai batasan dari ‘masyarakat adat’ itu sendiri.
Buku State of the World’s Indigenous Peoples State of the World’s Indigenous Peoples yang
diterbitkan oleh PBB pada 2009 menjelaskan bahwa konsep mengenai indigenous
peoples sebenarnya berkembang dari pengalaman kolonialisme. Dalam fase pengalaman itu,
masyarakat adat/bumiputera mengalami marginalisasi karena invasi dan dampak-dampaknya
yang dilakukan oleh kolonial.

Cerdik-cerdik pandai dunia sangat menyadari bahwa pembicaraan mengenai indigenous


peoples adalah pembicaraan mengenai struktur masyarakat dan praktik kolonial yang
mengucilkan penduduk asli, yang masih dipertahankan bahkan ketika sebuah negara baru telah
dibentuk. Dengan kata lain, konsep indigenous peoples lahir pada konteks dimana penguasa
kolonial masih menjadi kekuatan dominan pasca negara baru terbentuk.

Dalam perkembangannya, pada 1989, International Labor Organization (ILO), sebuah badan
PBB, membedakan dua kelompok yang disebut dengan indigenous peoples dan tribal peoples.

Di dalam Pasal 1 ayat (1) dari Konvensi ILO 169 dinyatakan bahwa:

’Indigenous peoples’ as being ‘peoples in independent countries who are regarded as indigenous on
account of their descent from populations which inhabited the country, or a geographical region to
which the country belongs, at the time of conquest or colonization or the establishment of present
states boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social,
economic, cultural and political institutions.’

Sementara itu dalam Pasal Pasal 1 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa:

‘Tribal peoples’ is ‘peoples in independent countries whose social, cultural and economic conditions
distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly
or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations.’

Perbedaan paling mendasar dari kedua konsep ini adalah mengenai penaklukan (conquest) dan
kelanjutan kolonialisasi (colonization) yang masih berlangsung sampai hari ini, sebagaimana
terdapat dalam definisi indigenous peoples.

Pada tribal peoples, persoalan kelanjutan kolonisasi (continuity of colonization) bukan menjadi
faktor pengidentifikasi. Di sini, yang diutamakan adalah mengenai perbedaan (distinguish) dari
aspek sosial, budaya, dan ekonomi antara tribal peoples dengan komunitas-komunitas lain.

Sedangkan dari sisi PBB, perkembangan instrumen hukum internasional mengenai masyarakat
adat/indigenous peoples didalami secara serius dengan terlebih dahulu melakukan penelitian
sistematis mengenai keberadaan entitas tersebut. Studi tersebut dilakukan oleh sebuah tim yang
diketuai oleh Jose Martinez Cobo (Special-Rapporteur of the UN Sub-Commission on the
Promotion and Protection of Human Rights). Dalam laporan yang diterbitkan pada 10 Agustus
1982 ini, Cobo memberikan definisi sebagai berikut:
“Indigenous communities, peoples, and nations are those which, having a historical continuity with
pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct
from other sectors of the societies now prevailing in those territories, or parts of them. They form at
present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to
future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued
existence as peoples, in accordance with their own cultural, social institutions, and legal systems.”

Diskursus mengenai masyarakat adat di PBB pun kemudian mengerucut kepada penggunan satu
istilah. Jika sebelumnya di dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) 1969 dikenal
istilah indigenous peoples dan tribal peoples, maka dalam kajian dan rezim hukum pada PBB,
istilah yang digunakan hanya indigenous peoples.

Sebuah kajian yang dilakukan United Nation Permanent Forum on Indigenous Issue yang
berjudul The Concept of Indigenous Peoples (PFII/2004/WS.1/3) pada 2004 menyimpulkan:

“Nevertheless, many of these peoples refer to themselves as “indigenous” in order to fall under
discussions taking place at the United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and
“tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples concerned identify themselves under
the indigenous agenda.”

Kesimpulan itu kemudian menjembatani debat antara indigenous peoples dan tribal peoples.
Pilihan kata yang digunakan adalah indigenous peoples, sedangkan kelompok tribal peoples pun
dapat mempergunakan instrumen hukum yang berkembang pada berbagai level di bawah
payung indigenous peoples.

Konteks Indonesia

Meski pengertian indigenous people atau masyarakat adat mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu, Indonesia sendiri tidak memiliki istilah yang stabil untuk digunakan. Yance Arizona,
seorang peneliti dari Epistema Institute, yang berkonsentrasi pada isu masyarakat adat telah
membuat tulisan panjang mengenai ini.

Dalam makalah “Mendefinisikan Indigenous People di Indonesia”, yang disampaikan dalam


“Seminar Pemberdayaan Sosial Komunitas Adat” pada Mei 2013 lalu, Yance memaparkan
bahwa dari berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, memang ditemukan
beragam istilah untuk menyebut masyarakat adat. Istilah-istilah tersebut mulai dari ‘masyarakat
adat’, ‘masyarakat hukum adat’, ‘kesatuan masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisional’,
maupun ‘komunitas adat terpencil’.

Dalam makalah tersebut, Yance mengutip Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111
tahun 1999 yang menegaskan batasan Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebagai ‘kelompok sosial
budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan
pelayanan, baik sosial, ekonomi, maupun politik’.
Sementara, jika merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945, istilah yang dipergunakan
adalah ‘kesatuan masyarakat hukum adat’ (Pasal 18B ayat 2) dan ‘masyarakat tradisional’
(Pasal 28I ayat 3). Selain itu, ada pula Pasal 32 UUD 1945 yang relevan sebagai rujukan bagi
pengaturan masyarakat adat. Hanya saja, ketentuan tersebut tidak menggunakan istilah untuk
penyebutan subjek hukum masyarakat adat.

Yance memandang bahwa perbedaan istilah ini menunjukan belum adanya suatu pemahaman
tentang siapa itu ‘masyarakat adat’. Hal ini juga menunjukan adanya perbedaan pendekatan
yang digunakan oleh pemerintah ketika berhadapan dengan entitas masyarakat ini.

Di antara ketiga ketentuan itu, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 adalah yang paling sering dirujuk
karena mengatur baik mengenai subjek maupun hak masyarakat adat. Pasal 18B ayat 2 itu
berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-¬hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 ini menjelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati
keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Namun, pengakuan dan penghormatan tersebut
dilakukan dengan tiga syarat, yakni (1) Masyarakat adatnya masih hidup, (2) Sesuai dengan
perkembangan masyarakat, dan (3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut Yance, pengakuan bersyarat tersebut adalah hambatan bagi penerapan self-
determination yang merupakan salah satu tema pokok dalam diskusi dan gerakan masyarakat
adat secara umum. Pengakuan bersyarat itu berimplikasi bahwa keberadaan masyarakat hukum
adat tidak ditentukan melalui self-determination atau self-identification, melainkan ditentukan
keberadaannya oleh negara (pemerintah) dengan syarat-syarat yang ditentukan.

Beragam definisi dan kriteria mengenai masyarakat adat/indigenous peoples dalam kerangka
hukum Indonesia, masih menurut Yance, perlu dikaitkan dengan konsep yang terdapat dalam
diskursus internasional. Hal ini setidaknya dapat memberikan gambaran sejauh mana konsep
internasional sejalan dengan realitas dan konsep yang dikembangkan dalam kebijakan di level
nasional.

Kriteria Indigenous Peoples atau Masyarakat Adat

Yance kemudian merujukkan tulisan mengenai kriteria masyarakat adat pada laporan studi Jose
Martinez Cobo yang telah disebutkan di atas. “Laporan Cobo” ini memang selalu menjadi
rujukan utama dari semua publikasi yang membicarakan mengenai masyarakat adat.

Definisi Cobo itu dapat diidentifikasi menjadi empat kriteria masyarakat adat. Empat kriteria itu
adalah:
1. Kelanjutan sejarah dari masa masyarakat pra-invasi atau pra-kolonial yang hadir di wilayah
mereka (colonial continuity)
2. Kekhasan bila dibandingkan dengan kelompok lain di dalam masyarakat (distinctiveness)
3. Bukan merupakan kelompok dominan di dalam masyarakat (non-dominance)
4. Memiliki kecenderungan untuk menjaga, mengembangkan dan melanjutkan wilayah adatnya
kepada generasi berikut sebagai identitas mereka yang memiliki pola kebudayaan sendiri,
institusi sosial dan sistem hukum.

Lebih lanjut, United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) menambahkan tiga
kriteria yang menjadi pelengkap dari keberadaan masyarakat adat (UNCHR, 2013:2-3). Tiga
kriteria yang dimaksud adalah:
1. Hubungan yang kuat dengan wilayah dan sumber daya alam di sekitarnya;
2. Perbedaan sistem sosial, ekonomi dan politik; dan
3. Perbedaan bahasa, budaya dan kepercayaan.

Dari kriteria-kriteria di atas, Yance kemudian menyimpulkan bahwa ada lima kriteria utama
yang harus diperhatikan dalam mengidentifikasi masyarakat adat.

Menurut Yance, kriteria pertama dari indigenous peoples adalah keberlanjutan sejarah dari
kolonialisme (historical continuity of colonialism). Kriteria ini sangat cocok untuk negara-negara di
Benua Amerika dan Australia, dimana kolonialis memang masih ada dan mendominasi negara
baru tersebut meskipun secara formal kolonialisme dianggap sudah berakhir. Di Amerika Serikat,
misalnya, yang mendominasi hari ini bukanlah penduduk asli, melainkan imigran yang berkuasa
dan membangun negeri.

Akan tetapi, pengertian dari historical continuity of colonialism juga dapat dimaknai secara luas.
Maksudnya, kelanjutan sejarah kolonialisme ini tidak terbatas kepada masih tinggal dan
berkuasanya imigran di tanah asli masyarakat adat/bumiputera, melainkan juga adanya
kelanjutan konsep, hukum, dan bangunan sosial yang timpang yang masih terus diwariskan pada
saat sebuah negara dibentuk.

Dalam pengertian ini, kriteria historical continuity of colonialism dapat berlaku di Indonesia.
Sebab, masih banyak warisan hukum dan konsep kolonial yang diterapkan dan mendiskriminasi
penduduk pribumi.

Dalam wilayah hukum, misalnya, apa yang disebut ‘domein verkalring’, yang mengandung makna
bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat akan menjadi milik
negara, nyatanya juga masih berlaku. Konsepsi ini masih terus dipertahankan sebagai
pembenaran dari perampasan tanah-tanah masyarakat adat yang dahulu dilakukan Belanda.

Selain itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana/Perdata yang digunakan Indonesia, yang
merupakan warisan kolonial dengan nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch,
nyatanya masih tetap dipergunakan dan dianggap sebagai peraturan yang terintegrasi
sebagai realitas sosial di Indonesia.
Kriteria kedua adalah kekhasan (distinctiveness) dari sistem sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
bahasa. Kriteria kedua ini sangat penting, namun bisa sangat menjebak. Kekhasan pada satu sisi
bisa menjadi penanda keberbedaan antara satu komunitas dengan komunitas lain. Pada titik ini,
nuansa homogenitas dari suatu komunitas muncul sebab mereka secara kolektif berbeda dengan
komunitas yang lain.

Akan tetapi, Yance menganggap kriteria ini dapat bermasalah ketika dihadapkan pada
sejumlah pertanyaan.

“Misalkan, apakah jika masyarakat sudah menggunakan uang sebagai alat tukar, masih
dianggap memiliki sistem ekonomi yang khas? Atau apakah misalkan masyarakat sudah
menggunakan pupuk untuk kegiatan pertanian dianggap memiliki sistem yang khas? Atau apakah
masyarakat yang sudah mengadopsi sistem pemerintahan formal dan meleburkan sistem
pemerintahan tradisional dengan sistem pemerintahan formal masih bisa dianggap memiliki
sistem yang khas? Atau apakah masyarakat yang sehari-hari sudah menggunakan bahasa
Indonesia, yang bukan bahasa asalnya dianggap masih bisa dianggap memiliki sistem yang
khas?” tulis Yance.

Kesimpulan Yance, kriteria ini penting, namun bisa menjadi jebakan jika tidak diargumentasikan
dengan baik oleh masyarakat yang memperjuangkan identitas dan haknya sebagai masyarakat
adat.

Kriteria ketiga adalah bukan merupakan kekuatan dominan (non-dominance). Kriteria ini sangat
elementer sebagai basis untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang termarjinalisasi.
Kriteria bahwa masyarakat adat bukan kekuatan dominan sekaligus menunjukan adanya
kekuatan dominan di atas masyarakat adat/bumiputera. Kekuatan dominan itu bisa berbentuk
negara, pasar, atau budaya tertentu yang menindas masyarakat adat.

Kriteria keempat adalah memiliki hubungan yang kuat dengan tanah. Kriteria ini pun sangat
relevan dengan konteks perjuangan masyarakat adat di Indonesia, yang pada dasarnya adalah
perjuangan untuk mempertahankan atau merebut kembali tanah mereka di hadapan program-
program pembangunan yang datang dari luar.

Bagi masyarakat adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alamnya tidak saja
dikarenakan faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menjadi
identitas, harga diri, dan menjadi tempat mengadakan ritual-ritual adat.

Kriteria kelima adalah memiliki tradisi turun-temurun dan hukum adat yang dipergunakan untuk
mengelola kehidupannya. Aspek tradisi menunjukan ketersambungan antargenerasi di dalam
masyarakat adat, baik antara generasi yang dahulu, sekarang, ataupun dengan generasi
berikutnya.

Hadirnya tradisi dan institusi sosial seperti hukum adat menjadi kriteria yang membedakan
masyarakat adat dengan komunitas masyarakat lainnya. Persoalannya, tidak semua tradisi dan
hukum adat tersebut masih utuh, melainkan banyak yang telah bergeser. Pergeseran ini bisa
terjadi secara alamiah maupun karena paksaan dari luar.

Dengan pemikiran tersebut, maka tidaklah heran jika PBB kemudian tidak mau memberikan
definisi baku mengenai siapa yang dimaksud dengan ‘masyarakat adat’. Sebab, gerakan
masyarakat adat itu sangat kontekstual dan bahkan pada beberapa hal sangat bersifat lokal.

Selain itu, tidak adanya definisi baku mengenai siapa masyarakat adat dapat memberikan
peluang kepada penerapan self-identification yang merupakan salah satu pendaran dari
prinsip self-determination dalam diskursus di level internasional.

“Membuat definisi yang baku memiliki konsekuensi kepada pengecualian (exclusion). Dalam
konteks membangun sebuah gerakan, exclusion punya pengaruh untuk membatasi perkembangan
gerakan menjadi lebih besar. Oleh karena itu diperlukan rumusan yang lentur untuk bisa
mengakomodasi banyak kalangan,” tegas Yance.

Meski demikian, Yance menyatakan bahwa sesungguhnya tetap diperlukan “pagar-pagar


definisi” agar memudahkan proses-proses perjuangan, apalagi jika memasuki ranah hukum yang
lebih operasional. Misalkan dalam konteks bagaimana mengakui keberadaan dan hak-hak
masyarakat adat. Pagar-pagar dimaksud diperlukan dalam bentuk kriteria-kriteria mengenai
keberadaan masyarakat adat.

Selama ini, kriteria masyarakat adat (indigenous peoples) yang berkembang dalam hukum dan
diskursus internasional tidak sepenuhnya bisa diterapkan dalam konteks Indonesia. Oleh karena
itu, Yance menyatakan tentang perlunya suatu pemaknaan mengenai kriteria yang lebih sesuai.

Kriteria yang dapat dimaknai bersama tersebut barangkali tidak saja dapat mendudukkan
persoalan sejarah Indonesia secara fair, tetapi juga dapat menjadi alas dalam membuat skema
keberagaman. Dengan demikian, apa yang ditakutkan dalam pembacaan Furnivall mengenai
rentannya konstruksi masyarakat majemuk di Asia Tenggara semestinya menjadi dapat
diantisipasi.

Catatan:

Tulisan ini telah dipublikasikan pada 10 Agustus 2014 dalam Jurnal Kajian Alam Melayu
LenteraTimur.com melalui link: https://archive.lenteratimur.com/2014/08/wajah-kaum-adat-dalam-
kemajemukan-warisan-kolonial/

Anda mungkin juga menyukai