Sidang KMB secara resmi dibuka oleh DR.W. Drees (Perdana Menteri
Belanda). Pihak-pihak yang turut serta dalam KMB berjanji untuk berusaha KMB
dapat dilangsungkan dan dimulai pada tanggal sebelum 1 Agustus 1949 dan dapat
diselesaikan dalam 2 bulan berikut. Pembukaan sidang paripurna pertama KMB,
pada tanggal 23 Agustus 1949 oleh Perdana Menteri Belanda Drs.Willem Drees
yang telah dipilih menjadi ketua sidang atas nama kerajaan Belanda yang
bertindak selaku tuan rumah. Konferensi telah menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan yag sangat berarti bagi Indonesia. Dalam KMB dibahas semua
masalah dari semua aspek pemerintahan yang bertalian dengan pembentukan
negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat. Hal ini seperti tercantum
dalam memorandum KMB 22 Juni 1949. Para anggora berusaha agar persetujuan-
persetujuan yang disepakati KMB dalam waktu 2 bulan mendatang dapat
diklasifikasi oleh masing-masing pihak (Poesponegoro,2010:121).
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah :
1. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada
RepubliK Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin
agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi darah Indonesia,
sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah
karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal
ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan
bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam
waktu satu tahun.
2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch
Belanda sebagai kepala negara
3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.
Abdurrahmad Wahid
Dinamika domestik yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid, atau
acap kali disapa Gus Dur, juga merupakan kelanjutan dari era Habibie. Realitas
implikasi Timor Timur mengantarkan tugas pertama Gus Dur untuk mereformasi
TNI yang telah dianggap mencoreng HAM sebelumnya. Langkah yang diambil
Gus Dur pada saat itu adalah keputusan pemberhentian Wiranto (Mashad,
2008:188). Di sisi lain, fokus demokratisasi Indonesia dan pemulihan ekonomi
masih diutamakan. Reposisi angkatan militer untuk kembali kepada tugasnya
sendiri menjadi kunci penting untuk merealisasikan demokrasi di Indonesia.
Dalam tatanan internasional, penggalangan dukungan internasional untuk
mengembalikan kredibilitas Indonesia juga terus dilakukan oleh Gus Dur. Hal itu
ditunjukkan dengan intensitas kunjungan luar negeri Gus Dur yang tinggi selama
dua puluh bulan ia menjabat, yang juga dianggap sebagai aksi pemborosan,
walaupun langkah tersebut dilakukan untuk membuka pintu investasi asing di
Indonesia (Widhiasih, 2013). Diplomasi yang demikian disebut sebagai
‘diplomasi persatuan’ yang juga ditujukan untuk mendapatkan dukungan
internasional terhadap permasalahan disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia
yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu berdasarkan gerakan separatisme
yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan hasil dukungan dari
Australia dan Selandia Baru. Namun, kunjungan luar negeri Gus Dur ke
setidaknya 80 negara tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif untuk
memajukan Indonesia. Di sisi lain, Gus Dur kurang memperlihatkan sensitivitas
domestik, hal ini diperlihatkannya dengan mengambil kebijakan yang dinilai
kontroversial seperti idenya untuk membuka hubungan kerjasama perdagangan
dengan Israel yang kemudian dibatalkan karena menuai kecaman dalam negeri.
Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur
masih terfokus pada usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi
yang direalisasikan melalui investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri,
perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik demokratis (Widhiasih,
2013). Keberhasilan Gus Dur di era pemerintahannya yang singkat ditunjukkan
dengan meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang
diperlihatkan dengan mengalirnya bantuan internasional untuk membantu
perekonomian dalam negeri. Tak hanya itu, keberhasilan pengelolaan masalah
ancaman integrasi bangsa juga menjadi salah satu prestasi Gus Dur. Namun,
keputusan Gus Dur yang dianggap menyimpang dan sosoknya yang konfrontatif
serta emosional, membuatnya harus menyerah pada keputusan impeachment
(Mashad, 2008:189).
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik
luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang
dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada
peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa
pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan
RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur.
Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI
dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di
mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri
selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan
tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa
pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat
isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang
dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal
integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan
ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki
agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana
membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat
reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang
seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada
akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur
menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit (Mashad, 2008 :
189).
Menurut Mashad (2008:190) ada beberapa persoalan yang dihadapi yang
merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru seperti masalah praktik KKN
yang belum terselesaikan, Pemulihan ekonomi , Masalah BPPN serta Kinerja
BUMN, ada pula Pengendalian Inflasi dalam Mempertahankan kurs rupiah, serta
Masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama Penegakan hukum dan
penegakan Hak asasi manusia (HAM). Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan
konflik antarumat beragama, Presiden Abdurrahman Wahid atau yang lebih
dikenal dengan nama Gus Dur memberikan kebebasan dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya beberapa
keputusan presiden yang dikeluarkan, yaitu Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000
mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang
selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6 dapat memiliki
kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara terbuka
seperti misalnya pertunjukan Barongsai (Mashad, 2008 : 190).
Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia,
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan
perbaikan ekonomi Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim,
wakilnya Subiyakto Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.
Disamping pembaharuan-pembaharuan di atas, Gus Dur juga mengeluarkan
berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang
dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, melainkan
diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat dekatnya, bukan menurut
aturan konstitusi negara. Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kontroversial
dari berbagai kalangan yaitu :
1) Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde
Baru.
2) Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang
dilatarbelakangi oleh adanya pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan
Panglima Tinggi.
3) Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh
hubungan yang tidak harmonis dengan Gus Dur.
4) Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan
Nasional yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet
menjadi merosot.
5) Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan
mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora (Mashad, 2008 : 191).
Hal yang paling kontroversial dalam pemerintahan Gus Dur adalah
“perdamaian”-nya dengan Israel. Seperti yang kita ketahui, umat Islam Indonesia
sangat antipati terhadap negara penjajah Palestina tersebut atas dasar solidaritas
sesama muslim. Akan tetapi, bukannya bersikap memusuhi Israel, Gus Dur justru
berusaha membuka hubungan dengan negara tersebut. Tentu saja rakyat Indonesia
marah. Bahkan, duta besar Palestina untuk Indonesia saat itu, Ribbhi Awad,
sangat kecewa. Gus Dur hanya mengatakan, sangat aneh jika Indonesia tidak bisa
bekerjasama dengan Israel, karena negara tersebut berbasis pada agama
sedangkan Indonesia bisa bekerjasama dengan negara-negara ateis seperti RRC
dan Rusia. Gus Dur yang sangat menjunjung tinggi kebebasan umat beragama
sebenarnya menekankan bahwa Islam tidak boleh melihat segala sesuatu yang
berbau Barat adalah kesalahan. Toh bekerjasama dengan Israel bukan berarti
membenci atau melucuti dukungan Palestina. Bahkan, dengan kerjasama dengan
Israel, bisa jadi sikap Israel akan melunak pada Palestina mengingat Gus Dur
dikenal sebagai jago diplomasi (Mashad, 2008 : 192).
Presiden Abdurrahman Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra
Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan
keluar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk
implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang
ekstensif selama masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid secara konstan
mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara
yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini adalah soal integritas teritorial
Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun muncul
dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan
Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang
dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia
dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil
dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal
ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh
menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan
dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate
(Mashad, 2008 : 192).
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial,
dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur
memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam
reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais
menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli Gus Dur
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1) pembubaran
MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat
pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai
bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri (Mashad, 2008:189).
Tumbuhnya pluralisme dan sikap toleransi yang tinggi antar pemeluk
agama merupakan salah satu keunggulan pemerintahan Gus Dur dengan di sah-
kan nya Konghucu sebagai agama yang resmi dan hari Imlek sebagai hari libur
nasional. Namun Gus Dur tidak mempunya banyak pendukung di akhir masa
jabatan nya sehingga banyak kebijakan beliau yang tidak dilaksanakan. Sikap
kontroversialnya juga banyak memicu ketegangan antara Presiden dengan
MPR/DPR yang dimana Gus Dur selalu bersikap berseberangan dengan kedua
institusi itu. Sikap itulah yang tidak menciptakan kestabilan politik dalam negeri
dan menjadikan kekurangan dalam masa pemerintahannya (Mashad, 2008:191).
2.2.6 Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Demokrasi Hingga saat ini.
a. Megawati Soekarnoputri
Indonesia di bawah pemerintahan Megawati terus menunjukan kelemahan
dari sisi domestik. Pemerintahan koalisi ini menunujukan kerapuhan dari sistem
politiknya Indonesia dengan terlihatnya kompetisi ideologi, terutama diantara
nasionalisme yang sekuler dan Islam di dalam sistem politik yang nuansa
otoritarianismenya masih tinggi.
Pemerintahan Megawati juga tidak mampu memperbaiki ekonomi di
dalam situasi politik saat itu. Walaupun ada kestabilan politik di level elit, namun
perbaikan keadaan politik jauh dari sempurna. Semua masalah dari pemerintahan
Abdurahman Wahid sebelumnya tetap mempersulit pemerintahan Megawati
(Holtsi, 1987. 120).
Perlu dilihat bahwa pada masa jatuhnya Wahid dan bangkitnya Megawati,
menunujukkan betapa kompleks dan ruwetnya keadaan politik indonesiapada era
setelah Soeharto. Setelah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, kekuatan anti
ordebaru – yang direpresentasikan oleh Wahid, Megawati dan Amien Rais –
justru mereka menemukan diri mereka pada posisi yang sulit untuk membentuk
sebuah gabungan kekuatan untuk menjalankan reformasi dan demokrasi.
Pada masa Megawati, ada enam program kerja, yaitu:
1) Mempertahankan kesatuan bangsa;
2) Melanjutkan reformasi dan proses demokrasi;
3) Menormalisasikan kehidupan ekonomi;
4) Menjunjung tinggi hukum, menjaga keamanan dan perdamaian,
menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme;
5) Mengembalikan kredibilitas internasional Indonesia; dan
6) Bersiap untuk Pemilu 2004.
Walaupun “Enam program kerja” ini tidak menunjukkan arah politik,
tetapi prioritas dari pemerintahan Megawati sudah terlihat, dalam hal ini politik
luar negeri pun akan diarahkan sesuai dengan “enam program kerja” tersebut dan
juga agar bisa mensupport “enam program kerja” tersebut (Holtsi, 1987. 122).
Politik ‘Bebas Aktif’ dianut oleh pemerintahan Megawati, baginya lebih
baik menggunakan tema tradisional yang sudah pernah ada, daripada mencari
sebuah gaya baru dalam politik luar negerinya.
Dengan kata lain politik luar negeri Megawati menunujukkan sebuah
lanjutan dari orde baru, pertama, penekanan pada politik bebas aktif, yang
menunjukan maksud untuk mengembalikan politik luar negeri Indonesia ke fungsi
tradisionalnya dalam memenuhi politik dalam negeri dan keadaan ekonomi.
Kedua politik luar negeri Megawati digunakan sebagai alat untuk membentuk
linkungan/hubungan internasional yang damai yang akan memfasilitasi/mem –
backup keadaan dalam negeri. Ketiga, pemerintahan Megawati juga menandai
kembalinya konsep politik luar negeri yang menganggap Asia Tenggara sebagai
bagian penting bagi Indonesia dan juga bagi Asia Timur, Amerika Serikat dan
negara-negara Pasifik selatan lainnya (Holtsi, 1987. 121).
Menanggapi serangan teroris di AS pada tanggal 11 September 2001,
Presiden Megawati berkunjung ke Amerika Serikat untuk bertemu Presiden Bush
pada tanggal 19 September, seminggu setelah peristiwa tersebut. Walaupun pada
saat itu terjadi protes besar-besaran di Jakarta oleh banyaknya organisasi Islam
dikarenakan tidak terimanya mereka atas tuduhan Amerika Serikat bahwa Osama
bin Laden yang bertanggung jawab atas kejadian 11 September, bahkan hal ini
juga oleh Wakil Presiden Hamzah Haz, dianggap sebagai tindakan Amerika
Serikat untuk mendiskreditkan agama Islam (Sukma,2004:130)..
Pada kesempatan tersebut, Megawati menyatakan turut berduka cita atas
korban yang ditimbulkan oleh serangan teroris 11 September 2001 dan sangat
mengecam segala macam bentuk dan wujud terorisme. Sebagai timbal baliknya,
Washington berjanji untuk membantu Indonesia dalam membangun kembali
perekonomiannya yang runtuh akibat krisis moneter Asia (Sukma,2004:132).
Megawati mengawali karirnya sebagai Presiden Indonesia sebagai
pengganti Gus Dur yang telah diturunkan sebelumnya. Masalah domestik yang
dihadapi pun masih berupa ancaman disintegrasi bangsa yang ditunjukkan dengan
adanya eksistensi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan berbagai gerakan separatis
di daerah lain (Mashad, 2008:190). Megawati juga menghadapi permasalahan
internasional berupa minimnya kredibilitas internasional terhadap Indonesia yang
diakali dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara di dunia. Berbeda
dengan pemerintahan sebelumnya yang lebih terlihat pro-Barat, Megawati
mencoba mereduksi hubungan internasional dengan Barat dengan memutus
hubungan dengan IMF dan melakukan perdagangan dengan Rusia dengan adanya
pembelian pesawat Sukhoi (Widhiasih, 2013:191). Dari hal tersebut, terlihat
bahwa kepentingan nasional Indonesia masih berupa realisasi stabilitas ekonomi,
politik, pertahanan, dan keamanan yang kesemuanya diwujudkan dengan adanya
investasi sektor swasta, perdagangan bebas, dan kekuatan otonomi regional yang
lebih diutamakan. Streategi Megawati antara lain juga memberikan peran utama
polugri pada MenLu, Hasan Wirayuda.
Ujian berat yang harus dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia adalah
ancaman terorisme yang diperlihatkan dengan adanya serangkaian serangan bom
yang dilancarkan di sejumlah tempat di Indonesia, seperti di Jakarta dan Bali. Isu
ancaman terorisme ini merupakan isu berat yang turut mempengaruhi politik luar
negeri Indonesia yang saat itu mengalami dilemma akibat adanya dorongan dari
Amerika Serikat yang baru mengalami teror WTC 9/11, untuk memerangi
terorisme dan menekan Islam (Mashad, 2008:191). Serangan terorisme ini pada
dasarnya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, yang memaksa Indonesia
mendeklarasikan diri sebagai negara Islam yang moderat untuk menggalang
kepercayaan internasional. Berbagai peristiwa teror bom, khususnya Bom Bali,
juga membuat Indonesia memutuskan pembentukan UU Anti Terorisme pada
tahun 2003. Sementara itu, dalam kancah internasional, Indonesia masuk sebagai
anggota Regional Counter Terrorism Center yang didukung oleh Amerika Serikat
dengan melancarkan bantuan ekonomi pada Indonesia. Di sisi lain, sifat
konservatif Megawati ditengah kondisi domestik yang rapuh dan konstelasi
internasional yang berubah-ubah, Megawati kehilangan Sipadan Ligitan dari
Indonesia (Soerapto, 1997 :69).
Setelah Presiden Wahid diberhentikan pada tahun 2001, ia digantikan oleh
Presiden Megawati yang menjabat sebagai wakil presiden pada saat itu. Sebagai
presiden, Megawati secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri untuk
memperoleh dukungan internasional. Megawati antara lain mengunjungi Rusia,
Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB,
Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya,
Cina dan juga Pakistan (Soerapto, 1997 :70).
Tetapi, Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya
tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan
tersebut. Mengingat, seringnya beliau berada di luar negeri untuk kunjungan
kenegaraan padahal seorang presiden tidak diperbolehkan untuk berlama-lama ke
luar negeri. Diantara kontroversi tersebut adalah pembelian pesawat tempur
Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati
ke Moskow. Terlepas dari berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri
Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam
peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September
2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di
Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan
Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan
beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang
melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri
dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar
mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi,
seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan
momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri
(Soerapto, 1997 :70).
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali
menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa
pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh
struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Bahkan Departemen Luar
Negeri mengalami restrukturisasi guna memperbaiki kinerjanya. Restrukturisasi
ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama
setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini
memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan
tersebut (Mashad, 2008:195).
Menjadikan TRUST sebagai sasaran berarti politik luar negeri Indonesia itu
tegas, efektif, konsisten, tetapi fleksibel dan adaptif. Oleh sebab itu, Indonesia,
dalam menjalankan politik luar negerinya membutuhkan kepercayaan dari publik
domestik dan masyarakat internasional. Jangkar yang lebih kuat terhadap politik
luar negeri Indonesia dapat membangun kepercayaan yang membawanya kepada
kemitraan yang ekstensif. Keputusan politik luar negeri harus dibuat berdasarkan
prioritas dan berdasarkan perkiraan mengenai apa yang dapat diberikan oleh mitra
Indonesia untuk pembangunan Indonesia. Disinilah pentingnya sebuah kemitraan.
Karena tantangan politik luar negeri Indonesia yang akan semakin keras di masa
depan, maka politik luar negeri Indonesia harus dirancang sedemikian rupa
sehingga ia merefleksikan kebutuhan-kebutuhan Indonesia sekarang maupun di
masa depan (Taufik & Lapian,2012:302).
Bagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri, TRUST sesungguhnya
adalah bagian penting dari kepentingan nasional yang mencakup ruang domestik
dan internasional. Karenanya, pemerintah Indonesia akan tetap memilih
pendekatan diplomasi multilateral dalam pelaksanaan politik luar negeri dan
kerjasama internasional pada 2010 dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik & Lapian, A.B. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta:
PT. Ictiar Baru Van Hoeve.
Badan Penelitian dan pengembangan Departemen Luar Negeri RI. 1987. Politik
Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Soesastro, H. (2016). ASEAN during the crisis. ASEAN Economic Bulletin, Vol.
15, No. 3, hal 373-381.
Djelantik, S. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Lesmana, T. 2009. Dari Soekarno sampai SBY-Intrik & Lobi Penguasa. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Mashad, D. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jakarta: P2P
LIPI dan Pustaka Pelajar,
A.A, Perwita., dan Y. M., Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.