Anda di halaman 1dari 53

2.5.

Perkembangan Politik Luar Negeri di Indonesia

Selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia, ia mengalami berbagai dinamika


yang menimbulkan pasang-surut dari diplomasi dan politik luar negeri. Pergantian
kepemimpinan yang telah berlangsung enam kali menandakan maju mundurnya
proses demokrasi di Indonesia yang juga mempengaruhi kebijakan negara dalam
mencapai tujuan dari diplomasi. Pada setiap periode pemerintahan juga terjadi
pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-prinsip yang menjadi landasan dalam
perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri indonesia. Perbedaan interpretasi
tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di dalam
negeri maupun di luar negeri. sementara itu, terdapat prinsip atau landasan yang
tetap dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema
karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan perubahan situasi
yang demikian cepat.
Untuk memahaminya lebih lanjut, kekuatan diplomasi dan politik
Indonesia jelas terlihat melalui pembagian-pembagian periode Orde yang
menyertainya (Abdullah dan Lapian, 2012:189-190).
2.2.1 Politik Luar Negeri Indonesia pada masa awal Kemerdekaan
Periode awal kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak Soekarno dan
Moh. Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan
penjajah pada 17 agustus 1945, bagaimanapun juga telah membawa bangsa ini
menuju suatu Era yang baru dimana Indonesia resmi menjadi sebuah Negara.
Sebagai sebuah negara yang baru tentu saja Indonesia membutuhkan pengakuan
dari Negara lain bahwa negara Indonesia sudah berdiri dan siap untuk menjadi
anggota dari komunitas Internasional (Abdullah dan Lapian, 2012:189-190).
Landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia dinyatakan melalui
maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno yang dikeluarkan beberapa saat
setelah kemerdekaan, Maklumat politik pemerintah tanggal 1 November 1945,
yang diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut (Poesponegoro, 2010 :201):
1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.
2. Politik Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang
ekonomi, politik dan lain-lain.
4. Politik berdasarkan piagam PBB.
Berdasarkan maklumat tersebut sesungguhnya telah jelas prinsip yang
digunakan Indonesia dalam pelaksanaan Politik Luar Negerinya, yaitu kebijakan
untuk bertetangga baik dengan semua negara-negara di kawasan, kebijakan tidak
turut campur tangan urusan domestik negara lain dan mengacu pada Piagam PBB
dalam melakukan hubungan dengan negara lain (Abdullah dan Lapian, 2012:191).
Tetapi, kedatangan sekutu yang berniat melucuti senjata Tentara Jepang
menimbulkan ancaman bagi kemerdekaan yang baru diraih karena sekutu ternyata
ditunggangi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tindakan ini
jelas memperlihatkan sikap Pemerintah Belanda yang tidak mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia dan berniat menanamkan kembali kekuasaannya
atas Indonesia. Kedatangan Belanda ini semakin memperparah situasi pasca
kemerdekaan. Ditengah kondisi membangun negeri ini mlai dari NOL, Indonesia
harus melawan pasukan sekutu dan NICA demi mempertahanlan kemerdekaan
yang telah diraih.
Pada masa pasca kemerdekaan (1945-1950), keadaan ekonomi indonesia
sangatlah buruk dan militer Indonesia hanya mengandalkan sisa-sisa dari penjajah
Jepang. Keputusan untuk melawan Belanda secara frontal adalah keputusan yang
salah, sehingga diplomasi dianggap sebagai cara yang tepat untuk memperoleh
pengakuan dari dunia luas. Pihak-pihak yang mendukung jalur diplomasi seperti
Sutan Sjahrir beranggapan bahwa diplomasi adalah jalan keluar yang paling
realistis agar Republik Indonesia di akui secara de facto oleh dunia internasional
khususnya pengakuan kedaulatan dari Belanda. Hal ini perlu dilakukan karena
pada saat itu, Belanda adalah pihak yang termasuk dalam pemenang Perang Dunia
II sedangkan Indonesia sama sekali belum dikenal di dunia internasional. Pada
saat itu, proklamasi kemerdekaan pun belum banyak diketahui oleh orang karena
keterbatasan teknologi komunikasi. Sehingga, pengakuan dunia internasional
menjadi penting sebagai modal awal menghadapi kolonialisme Belanda (Abdullah
dan Lapian, 2012:191).
Pada bulan November 1945, Belanda menutup pintu perdagangan luar
negeri RI sehingga menghambat ekspor Indonesia. Kondisi ekonomi yang parah
semakin memburuk dengan banyaknya barang yang bertumpuk di dalam negeri.
Berbagai peperanganpun terjadi antara sekutu dan Indonesia dalam perebutan
kekuasaan. Untuk mengupayakan pengakuan Indonesia dari negara lain, pada
Agustus 1946, Soekarno mengirimkan beras sebagai bantuan Indonesia untuk
rakyat India yang sedang dilanda bencana kelaparan. Diplomasi ini dikenal
dengan diplomasi beras. Pemerintah India membalas dengan mengirimkan obat-
obatan, pakaian, dan mesin yang dibutuhkan Indonesia. Ini dinilai sebagai
keberhasilan awal dari proses diplomasi Indonesia menuju NKRI (Abdullah dan
Lapian, 2012:191)..
Baru, pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord
Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di
Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord
Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata pada 14
Oktober dan mencanangkan perundingan Linggarjati yang dimulai tanggal 11
November 1946.4 Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir
III yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota:
Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim
yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota
Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak
sebagai mediator dalam perundingan ini.
Perjanjian Linggarjati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia
karena Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang terdiri
dari Jawa, Sumatera dan Madura. Terlebih, Indonesia diakui bukan sebagai NKRI
tetapi RIS dengan Ratu Yuliana sebagai kepala perserikatan. Kekalahan ini
dianggap sebagai hasil dari lemahnya kekuatan diplomasi Indonesia pada saat itu
hingga menghasilkan pergolakan dan menguatkan upaya revolusi. Jenderal
Sudirman dan Tan Malaka beranggapan bahwa berunding dengan Pemerintahan
Belanda tidak ada gunanya karena hanya merugikan Republik saja, tuntutan
Merdeka 100% serta slogan-slogan “merdeka atau mati” menjadi tujuan
perjuangan revolusioner (Poesponegoro, 2012: 392).
Perjanjian Linggarjati akhirnya dilanggar oleh pihak Belanda dengan
melakukan Agresi Militer I. Kemudian perjanjian Renville yang mulai melibatkan
pihak ketiga mengalami kegagalan akibat ketidak patuhan Belanda terhadap isi
perjanjian. Kegagalan yang terus berlangsung dari pihak yang berdiplomasi
menimbulkan banyak kecaman dari dalam negeri terutama bagi mereka yang
menuntut gerakan-gerakan revolusioner dan konfrontasi karena kecewa atas hasil-
hasil yang dicapai selama ini (Abdullah dan Lapian, 2012:191).
Hal tersebut yang kemudian membawa Wakil Presiden merangkap
Perdana Menteri RI Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip kebijakan
luar negeri RI yang bebas dan aktif di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September 1948. Pada pidatonya yang
berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang”, menegaskan perlu adanya sikap
rasional dalam menanggapi permasalahan yang muncul pada bangsa Indonesia
saat itu.5 Perjuangan melawan kekuatan Belanda yang kala itu mendapat
dukungan dari pihak Barat tidak serta merta harus dilawan melalui peperangan
yang menggunakan media fisik tetapi juga perlu adanya perjuangan diplomasi.
Tindakan ini yang kemudian ditekankan oleh Bung Hatta melalui slogan politik
luar negerinya yaitu Politik Bebas Aktif dimana frase tersebut tidak hanya sebuah
retorika tetapi ada makna penting yang tersimpan di baliknya.

2.2.2 Makna Politik Bebas Aktif


Perkataan bebas dapat diberi makna yang kurang baik, apabila dengan
bebas dimaksudkan perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggung
jawab. Dalam penjelasan ciri-ciri politik luar negeri Indonesia, kiranya perkataan
bebas dalam konotasi yang kurang baik itu dapat sedini mungkin dikesampingkan,
mengingat politik luar negeri Indonesia memang bukan politik yang tidak
bertanggung jawab (Abdullah dan Lapian, 2012:194).
Jadi, bebas dapat didefinisikan sebagai “berkebebasan politik untuk
menentukan dan menyatakan pendapat sendiri terhadap tiap-tiap persoalan
internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak
kepada suatu blok”.
A.W Wijaya merumuskan: Bebas berarti tidak terikat oleh suatu ideologi
atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau
negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis
giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan
menghormati kedaulatan negara lain. Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja
merumuskan bebas aktif sebagai berikut: Bebas dalam pengertian bahwa
Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila.
Aktif : berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya,
Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadiankejadian internasionalnya,
melainkan bersifat aktif (Abdullah dan Lapian, 2012:194).
B.A Urbani menguraikan pengertian bebas sebagai berikut : perkataan
bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat diberi definisi sebagai
“berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri,
terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing
tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.
Politik bebas aktif sejak lahirnya sudah ditakdirkan aktif. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 aline pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kemudian dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat dicanangkan pula bahwa
Indonesia berkewajiban untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.” Bagaimana
gerangan dapat “menghapuskan penjajahan di atas bumi” dan bagaimana pula
mungkin “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia,” apabila Indonesia
menjalankan politik yang tidak aktif (Abdullah dan Lapian, 2012:195).
Pada Desember 1948, Belanda menggelar agresi militer untuk kedua
kalinya terhadap Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menteri
Luar Negeri Agus Salim ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian
diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatra. Sidang Kabinet Darurat RI kemudian
menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara agar membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). A.A. Maramis yang saat itu
sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PDRI. Ini
menimbulkan kecaman bagi masyarakat internasional karena Dewan Keamanan
PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan
segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk segera melepaskan semua
tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II. Pada masa-masa ini,
mulai terlihat buah dari hasil perjuangan diplomasi Indonesia (Abdullah dan
Lapian, 2012:195).
Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan
dukungan Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New
Delhi. Konferensi dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru.
Terselenggaranya KKA menjadi poin utama munculnya simpati dari dunia
internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia dengan pengakuan kedaulatan
dari kebanyakan negara-negara di Afrika maupun Asia. Selain itu, semua delegasi
yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga Australia dan Selandia
Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda. Indonesia juga mendapat
bantuan dari negara tetangga Birma yang memberikan dukungan bagi perjuangan
Indonesia melawan Belanda dengan mengizinkan pesawat “Indonesian Airways”
Dakota RI-001 Seulawah untuk beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah
hadiah dari rakyat Aceh kepada Presiden Soekarno (Abdullah dan Lapian,
2012:197).
Semakin menuju titik kemenangan, kemudian Konferensi Inter-Indonesia
diselenggarakan diantara “negara-negara federal” di Hindia Belanda, seperti: Jawa
Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam
Konferensi tersebut, negara-negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat
kedaulatan mereka kepada Republik Indonesia. Lalu, barulah dengan
ditandatanganinya Persetujuan Meja Bundar di Den Haag pada 27 Desember
1949, konflik diantara Indonesia dan Belanda berakhir. Di hari yang sama, Wakil
Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta, yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX selaku Penjabat Perdana Menteri RIS.
Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja
perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai
kepentingannya. Betapa pada masa ini, kekuatan diplomasi Indonesia disegani
oleh negara-negara lain. Pada kondisi kapabilitas militer dan ekonomi yang
kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan memperoleh
kemerdekaannya dengan diplomasi (Abdullah dan Lapian, 2012:198).

2.2.3 Politik Luar negeri dan Diplomasi (Perjanjian-Perjanjian) Awal


Kemerdekaan.
Jalan perundingan yang diambil oleh bangsa Indonesia dalam
mempertahankan kemerdekaan merupakan opsi yang dipilih oleh pemerintah
pusat, selain jalan peperangan di daerah-daerah yang telah ditempuh oleh bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Beberapa alasan mengapa jalan
perundingan ini ditempuh oleh bangsa Indonesia antara lain, diawal pemerintahan
kabinet Bucho kinerjanya masih sangat lemah sehingga mudah terombang-ambing
dalam suasana yang eksplosif, hal tersebut diperparah semenjak kedatangan
sekutu ke Indonesia control pemerintah pusat terhadap daerah juga masih belum
mengimbangi, sehingga revolusi nasional pada masa-masa awal bersiap
cenderung bersifat daerah masing-masing (otonom) (Abdullah dan Lapian,
2012:199).
Kelemahan internal pemerintahan disamping juga adanya tantangan
eksternal (kabinet yang tidak diakui oleh pihak Hindia Belanda dalam dunia
Internasional), karena dalam susunan kabinetnya terjadi semacam dualisme
pemerintahan, yang mana disatu pihak sebagian pejabat kabinetnya masih
memiliki status sebagi pegawai Jepang, dan dilain pihak mereka menjabat sebagai
menteri dalam susunan kabinet Bucho (Taufik & Lapian,2012:201).
Pada jalan diplomasi yang ditempuh bangsa Indonesia, tokoh seorang
Sjahrir memiliki peran penting pada saat dalam keadaan genting. Sjahrir
merupakan tokoh yang anti kalaborator terhadap Jepang, selain itu reputasinya
sebagi seorang cendekiawan nasionalis yang bijaksana dan berpendirian teguh
dikenal baik dan di hormati dikalangan politikus senior Beberapa alasan mengapa
Sjahrir menentang kaabinet yang didominasi oleh para kolaborator, pertama
kecemasan model partai tunggal yang sekarang diterapkan oleh presiden
Soekarno. Kedua bahaya sistem pemerintahan presiden yang monopolitik yang
merengkuh pada kekuasaan terpusat pada satu tangan presiden. Ketiga kecemasan
Sjahrir pada pemerintahanyang totaliter karena kuatnya warisan otoriter
feodalistis yang masih hidup dan diperkuat dengan periode pemerintahan kolonial
Belanda yang panjang (Taufik & Lapian,2012:202).
.
1. Diplomasi awal bangsa Indonesia
Awal perundingan mengenai penyelesain konflik antara Indonesia dengan
Hindia Belanda tidak terlepas dari peran Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang
mewakili Indonesia sedangkan pihak Hindia Belanda diwakili oleh Dr. H.J. Van
Mook, dan sebagai penengah dari pihak sekutu diwakili olehaSir Archibald Clark
Keer (Taufik & Lapian,2012:202).
Pada saat kedatangtan Letnan Jenderal Dr. H.J. van Mook pada 2 Oktober
1945, dari pihak bangsa Indonesia sendiri menyambutnya dengan netral, sehingga
melunakkan pendirian van Mook untuk melakukian perundingan. Meskipun pihak
pemerintahan Den Hag sendiri melarangnya, pendirian van Mook untuk
melakuakan perundingan dengan Indonesia dan bertemu dengan para pemuka
Indonesia seperti Soekarno dan Hatta tetap tak terelakkan. Van Mook sendiri
masih mengelak untuk menyebut nama RI karena pihak Belenda dan van Mook
sendiri belum mengakuinya (Taufik & Lapian,2012:211)..
Pokok pikiran yang ingin diutarakan pada Indonesia, bahwa pihak NICA
masih bersedia membangun ketatanegaraan bangsa Indonesia yang baru dan status
Indonesia akan menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran
Uni-Belanda”. Akan tetapi sebagian besar dari pemuka Bangsa Indonesia menolak
pemikiran dari van Mook tersebut seperti Bung Hatta dan Haji Agus Salim,
dengan pertimbangan bahwa Bangsa Indonesia sudah merdeka dan bangsa
Indonesia tadak mau dijadikan tanah jajahan lagi oleh Hindia Belanda. Selain itu
van Mook juga pernah mencemooh bangsa Indonesia sebagai Bangsa
“Kolaborator Jepang” (Taufik & Lapian,2012:212).
Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan kedua belah pihak dilakuakan
dengan ditengahi oleh Sir Archibald Clark Keer, melalui perundingan tersebut van
Mook menyampaikan usul dengan pernyataan pemerintahannya yang terdiri dari 4
pasal yang merujuk pada pesan pidato yang disampaikan oleh Ratu Belanda pada
tanggal 7 Desember 1942. Pasal terpentingnya adalah;
1. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi
yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan Kerajaan
Nederland.
2. Masalah dalam negeri diurusi oleh Indonesia Sedangkan masalah Luar
negeri diurusi oleh Belanda.
3. Sebelum dibentuknya persemakmuran akan dibentuk pemerintahan
peralihan selama 10 tahun.
4. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Menganggapi usulan tersebut pihak Indonesia masih belum siap, sehingga
dalam perundingan tersebut sempat terjadi dead lock, yang mana dari pihak
Indonesia masih terjadi perdebatan. Sekitar dua minggu semenjak 28 februari- 2
maret 1946. kemudian setelah pernyataan usulan oleh Belanda diucapkan terhadap
Indonesia, Sutan Sjahrir siap mengungkapkan usulan balasan terhadap Belanda
pada perundingan yang sempat mengalami dead lock tersebut. Usulan Sjahrir
yang di sebut cabinet sjahrir II tersebut diantaranya (Taufik & Lapian,2012:202):
1. Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh
atas wilayah bekas Hindia Belanda.
2. Pinjaman-pinjaman Belanda sebelum tanggal 8 Maret 1942 menjadi
tanggungan pemerintah RI.
3. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu, dan
mengenai urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan pada suatu
badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
4. Tentara Belanda segera ditarik dari Indonesia dan jika perlu diganti
dengan tentara Republik Indonesia.
5. Pemerintah Belanda harus membantu Pemerintah Indonesia untuk dapat
diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
6. Selama perundingan berlangsung semua aksi militer harus dihentikan
dan pihak RI akan melakukan pengawasan terhadap pengungsian
tawanan Belanda dan tawanan lainnya.
Usulan tersebut tentu bertentangan dengan usulan van Mook sebelumnya.
Tahap selanjutnya van Mook harus meminta persetujuan kembali dari pemerintah
Belanda, dalam hal ini perundingan akan dilanjutkan pada perundingan di Hoge
Valuwe, Belanda (Taufik & Lapian,2012:212).
Pada tanggal 27 maret 1946 Sjahrir memberikan jawaban disertai
persetujuan konsep dalam bentuk tarakat yang berisi:
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan De Facto RI atas
Jawa dan Sumatera.
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS
3. Republik indonesia serikat bersama sama dengan neterhland,
Suriname, dan Carucaco menjadi peserta dalam suatu ikatan
kenegaraaan dengan Belanda
Dengan usul balasan tersebut kedua belah pihak dianggap telah hilang mendekati
dan perundingan perlu di tinggakatkan.Dengan perantara Calrk Kerr kedua belah
pihak mengadakan perundingan di belanda.Indonesia mengirimkan delegasi yang
terdiri Mr.Suwardi, Dr, Sudarsono, dan Mr Abdul Karim Pringgodigd. Kemudian
dari perundingan Sjahrir dan Vaan Mook Clark Kerr di Jakarta, ditolak oleh pihak
belanda (Taufik & Lapian,2012:215).
2. Perjanjian di Hoge Valuwe (Lanjutan Diplomasi Awal Indonesia)
Perundingan bertujuan menjelaskan situasi politik di negaranya masing-
masing hingga menyebabkan macetnya perundingan awal. Hal ini memberikan
titik terang sebagai langkah untuk membuka kembali perundingan antara
Indonesia-Belanda. Perundingan Belanda-Indonesia pada tanggal 7 Oktober 1946,
sidang membahas tentang diadakannya gencatan senjata sementara waktu antara
Indonesia-Belanda agar terciptanya iklim ketenangan. Hal tersebut memang taktik
Lord Killerarn untuk merintis jalan menuju perundingan politik dalamasituasi
damai dan tenang sesuai dengan tugasnya sebagai komisaris istimewa Inggris.
Dalam perundingan tersebut, jalan ke arah kesepakatan politik diawali dengan
persetujuan peletakan senjata yang ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 1946.
Kesepakatan yang dicapai pada sidang Indonesia-Belanda akhirnya
ditandatangani oleh anggota Komisi Jenderal, Syahrir, dan Lord Killearn. Hasil
perundingan tersebut merupakan sebuah ujian, apakah perundingan antara pihak
Belanda dan Indonesia mengenai masalah-masalah politik dapat diselesaikan
dalam perundingan selanjutnya. Usai sidang Indonesi Belanda, perundingan
selanjutnya dilaksanakan. Dalam perundingan tersebut masalah yang dibahas
mengenai pembentukan Uni Belanda Indonesia (Taufik & Lapian,2012:218).
3. Perjanjian Linggarjati
Perundingan Linggarjatia yang diadakan dia Kuningan, Jawa Barat
melahirkan kesepakatan berbentuk naskah persetujuan pada tanggal 15 November
1946. Bagi delegasi Indonesia, kesepakatan itu merupakan titik awal pengharapan
rakyat Indonesia yang benar-benar berharap perdamaian telah tercapai.
Belakangan diketahui bahwa ternyata Soekarno-Hatta tidak memahami pasal-
pasal kesepakatan tersebut karena dalam perundingan Hoge Veluwe mereka tidak
dihadirkan. Pasal-pasal dalam konsep persetujuan Belanda ada yang sudah
disepakati, tetapi ada juga yang belum disepakati. Beberapa pasal yang masih
belum disetujui akan dirundingkan kembali dalam perundingan di Kuningan
(Taufik & Lapian,2012:219).
Tanggal 13 November 1946 pukul 10.00 pagi kemudian dilangsungkannya
sebuah rapat di Linggarjati antara delegasi Indonesia dan Belanda. Van Mook
tidak dapat hadir karena beliau harus berada di Jakarta. Perudingan berjalan
lancar, tidak timbul banyak kesulitan dalam kesepahaman antar pasal. Demikian
pula pada pembahasan pasal krusial, Pasal 7 dan 9 ayat 2 tidak menimbulkan
perdebatan alot. Pihak Indonesia dapat menerima redaksi dari kedua pasal yang
dirumuskan oleh pihak Belanda. Misalnya mengenai ayat 1, pasal 15 pihak
Belanda menyetujui redaksi yang diusulkan oleh Syahrir. Belanda-Indonesia
menyepakati bahwa ayat 1 sudah cukup semua mewadahi persoalan yang
disetujuiabersama. Keduaapihakamenyetujuiapula untuk menghapusaayat 2 dan 3
pasal 15 sebagaimanaadirumuskanaoleh pihakaBelanda (Taufik & Lapian, 2012
:221).
Kemudiaan rombongan Syahrir kembali ke Jakarta dengan mobil. Komisi
Jendral dari Linggarjat , persetujuan itu ditandatangani oleh kedua orang ketua
delegasi diirumah kediaman Syahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946.
Akhirnya naskah persetujuan Linggarjati dapat di tanda tangani kedua pihak pada
rapat penututupan, pada pukul 13.30. 13 Delegasi Belanda-Indonesia dan sepakat
Bahwa sore hari pukul 17.00 akan dilangsungkan upacara penandatanganan
naskah persetujuan Linggarjati diakediaman PM Sutan Syahrir Jalan Pegangsaan
Timura 56 Jakarta. Perkembangan politik di Indonesia pada saat Komisi Jenderal
tiba di Jakarta berbeda dibandingkan dengan saat naskah persetujuan Linggarjati
ditandatangani pada 15 November 1946. Dengan ini pekerjaan kedua delegasi
telah selesai dan menjadi tugas masing-masing parlemen untuk disetujui, baik di
negeri Belanda Majelis Tinggi dan Majelis Rendah Parlemen Belanda dan
(Komisi Nasional Indonesia Pusat bagi pihak Republik Indonesia. Baik diipihak
Republik ataupun diapihak Belanda timbul kritik tajam terhadap persetujuan yang
telah tercapai. Di Negeri Belanda kecaman muncul terutama.dari partai-partai,
Kristen Protestan dan dari VVD (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie Partai
Rakyat untuk Kemerdekaan dan Demokrasi) bahkan partai pemerintah seperti
Partai Rakyat Katolik (KVP) ada keraguan tentang keefektifan politik Persetujuan
Linggarjati. Di Indonesia sendiri kecaman pedas muncul dari pihak PNI dan
Masyumi.14 Belum satu hari, tindak tanduk Pemerintah Belanda membuat
rusaknya kepercayaan rakyat Indonesia dengan menduduki Bogor pada tanggal 16
November 1946. Tentara KNIL dibawah Leeneman mengadakan penahanan-
penahanan di kalangan rakyat, walaupun Mr. Mohamad Roem yang segera
menemui tentara Inggris, berhasil memulihkan pemerintahan sipil di Bogor
dengan bantuan Lord Killearn dan delegasi Belanda sehingga rusaknya
kepercayaan rakyat atas perjanjian Linggarjati (Taufik & Lapian,2012:227)..
4. Perjanjian Renville
Dua perundingan yang telah dilangsungkan dalam waktu yang lama dan
melelahkan ternyata menemui kegagalan. Dari perundingan Hoge Veluwe sampai
perundingan Linggarjati tidak membuahkan hasil. Perundingan yang dicita-
citakan tidak tercapai meskipun Belanda dan Indonesia sudah saling setuju semua
isi yang tertuang dalam perjanjian. Kegagalan perundingan di atas, memaksa
Belanda untuk melakukan serangan Agresi Militer I terhadap Indonesia sebagai
bentuk protes macetnya diplomasi. Serangan Belanda tersebut mengakibatkan
situasi politik semakin mempersulit kedua belah pihak untuk mencapai kompromi
dengan penyelesaian dalam meja perundingan (Taufik & Lapian,2012:229).
Agresi Militer I berlangsung pada tanggal 20 Juli sampai 4 Agustus 1947.
Peristiwa tersebut menarik perhatian pihak ketiga seperti Dewan Keamanan PBB
dan Australia. Dewan Keamanan PBB yang diundang bersidang oleh Australia
menerima suatu resolusi yang menganjurkan kepada kedua belah pihak untuk
menghentikan permusuhan. Dalam Dewan Keamanan Resolusi Australia,
didukung oleh Tiongkok, dan diterima oleh sebagian besar mayoritas suara.
Dewan Keamanan mengajukan dibentuknya Komisi Tiga Negara untuk segera
menyelesaikan konflik. Agresi militer sangat membahayakan bagi Belanda-
Indonesia, keduanya sepakat perang harus segera dihentikan. Hadirnya Dewan
Keamanan PBB diitengah berkecamuknya Agresi Militer Belanda dirasai sangat
membahayakan kedudukan Belanda di mata dunia internasional (Taufik &
Lapian,2012:230).
Pemerintah Mesir telah mengakui kemerdekaan RI secara de jure dan telah
mengakui adanya negara Indonesia seperti negara-negara Timur Tengah lainnya.
Perundingan Linggarjati telah melibatkan campur tangan pihak ketiga, Aksi
militer yang dilakukan Belanda dianggap suatu babak baru dalam masalah
Indonesia, sehingga perlu melibatkan PBB, KTN dan negara-negara internasional,
yang akan memegang peranan penting dalam menentukan dan menyelesaikan
persoalan Indonesia. Pada tanggal 13 Oktober 1947 Komisi Jenderal dibubarkan
sebagai imbas dari Agresi Militer Belanda I. Meskipun bubar Belanda tetapi
mempersiapkan diri untuk menghadapi perundingan selanjutnya yang akan terjadi
setelah Agresi Militer I. Untuk kedua belah pihak masing-masing membentuk
sebuah delegasi, Belanda membentuk delegasi pada tanggal 2 November 1947
dengan tujuan mempersiapkan diri untuk Komisi Tiga Negara dan RI, sedangkan
Indonesia sudah membetuk V delegasi pada tanggal 22 September 1947 tetapi
pada bulan Oktober ditambah lagi dengan menghadirkan wakil-wakil Sumatra
seperti Dahlan Jambek dan Nasrun sebagai Gubernur Sumatra Barat.
Komisi Tiga Negara yang juga disebut Komisi Jasa-Jasa Baik, tiba di
Jakarta pada tanggal 27 Oktober 1947. Dengan demikian secara tidak resmi
merupakan kemenangan Indonesia bahwa PBB telah mengakui secara de facto
dengan mengirimkan V komisi untuk mengadakan perundingan. Dalam hari-hari
pertama Komisi Tiga Negara berusaha mengenal dan memahami persoalan yang
harus dihadapi dalam 58 perundingan. Berdasarkan keputusan Dewan Keamanan
PBB, Komisi Tiga Negara menggunakan Jasa-Jasa Komisi para Konsul dan
Peninjau Peninjau militer untuk menyusun laporan yang akan disampaikan atau
diterima Dewan Keamanan pada tanggal 14 Oktober 1947 (Taufik &
Lapian,2012:234).
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh diipelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committe of Good Offices for
Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin.
Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir
Wijoyoatmojo. Delegasi AmerikaiSerikat Frank Porter Graham (Taufik &
Lapian,2012:235).
Lalu melahirkan beberapai si perjanjian sebagai berikut :
a. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia
dan daerah pendudukan Belanda
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah
pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
5. AGRESI MILITER II
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal
19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa
Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap
semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap
Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II
telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai
"Aksi Polisional" (Poesponegoro,2010:97).
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas
lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo
dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat
Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan
pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu
beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam
keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI
bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST
Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung
sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan
Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak
penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di
Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600
orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan
beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di
Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta (Poesponegoro,2010:98).
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta
menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di
Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal
18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang
dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Soedirman yang dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden.
Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr.
Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang
hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI
lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala
kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta
keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948.
Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal
dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya
Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh mengatakan bahwa
sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan
Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan
KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang
hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota
(Poesponegoro,2010:101).
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden
membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil
Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa
iaadiangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah
Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa
Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat
untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L.
N.aPalaradan MenteriVKeuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New
Delhi (Poesponegoro,2010:102).
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta
sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman,
Menteri Persediaan Makanan, Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan
Pemuda, Supeno, danaMenteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum
mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan
pemberian mandat kepadaaMr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk
Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar
dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palaramembentuk Exile Government of
Republic Indonesia di New Delhi, India (Poesponegoro,2010:102).
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan
hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh
Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3
orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri
Perhubungan (Poesponegoro,2010:108).
6. Perjanjian Roem-Roijen dan KMB
Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan
Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani
pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari
kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roemadan Hermanavan Roijen. Maksud
pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai
kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX
mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie”
Hasil pertemuan ini adalah :
a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas
gerilya
b. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja
Bundar
c. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi
militer dan membebaskan semua tawanan perang
(Poesponegoro,2010:120).

Sidang KMB secara resmi dibuka oleh DR.W. Drees (Perdana Menteri
Belanda). Pihak-pihak yang turut serta dalam KMB berjanji untuk berusaha KMB
dapat dilangsungkan dan dimulai pada tanggal sebelum 1 Agustus 1949 dan dapat
diselesaikan dalam 2 bulan berikut. Pembukaan sidang paripurna pertama KMB,
pada tanggal 23 Agustus 1949 oleh Perdana Menteri Belanda Drs.Willem Drees
yang telah dipilih menjadi ketua sidang atas nama kerajaan Belanda yang
bertindak selaku tuan rumah. Konferensi telah menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan yag sangat berarti bagi Indonesia. Dalam KMB dibahas semua
masalah dari semua aspek pemerintahan yang bertalian dengan pembentukan
negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat. Hal ini seperti tercantum
dalam memorandum KMB 22 Juni 1949. Para anggora berusaha agar persetujuan-
persetujuan yang disepakati KMB dalam waktu 2 bulan mendatang dapat
diklasifikasi oleh masing-masing pihak (Poesponegoro,2010:121).
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah :
1. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada
RepubliK Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin
agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi darah Indonesia,
sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah
karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal
ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan
bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam
waktu satu tahun.
2. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch
Belanda sebagai kepala negara
3. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

2.2.4 Politik Luar Negeri Indonesia Pada masa Orde Lama


Mengenal politik luar negeri Indonesia, maka dimulai pada era Soekarno.
Politik luar negeri Indonesia tidak hanya diartikan bagaimana Indonesia
menentukan hubungan luar negeri dengan negara atau aliansi tertentu, akan tetapi
politik luar negeri Indonesia dapat diartikan sabagai bentuk atau sikap untuk
memperjuangkan kehiduan bangsa dan membangun kepentingan nasional melalui
hubungan luar negeri. Maka dari itu politik luar negeri Indonesia bergerak sesuai
dengan landasan UUD dan Pancasila sebagai falsafah dan pedoman bangsa
Indonesia. Pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara
serta memberikan gambaran secara garis besar dalam kebijakan luar negeri
Indonesia (Wuryandari,2008:28). Sedangkan Pancasila merupakan dasar negara
yang mengikat seluruh kehidupan nasional bangsa Indonesia dalam melakukan
aktivitas politik negara agar selalu sesuai kehidupan nasional sehingga
menjadikan Pancasila ini sangat berpengaruh dan menjiwai dalam ranah politik
luar negeri RI (BPPDLN,1987:7).
Dari masa ke masa Indonesia selalu memperhatikan serta menselaraskan
politik luar negerinya dengan perkembangan isu internasional karena dalam
menjalankan arah gerak politik luar negeri, Indonesia selalu menghadapi gejolak
dunia internasional yang berbeda. Seperti pada saat Indonesia memutuskan untuk
keluar dari keanggotaan PBB dan juga Soekarno dalam pidatonya menyatakan
konfrontasi terhadap Malaysia karena adanya hubungan yang harmonis antara
kedua belah pihak.
Selain mengacu pada UUD dan Pancasila, kondisi dalam negeri baik
secara politik, ekonomi, atau yang lainnya menjadi faktor penting dalam
menentukan kebijakan luar negeri Indonesia karena sejatinya politik luar negeri
ditentukan untuk mengadopsi kepentingan negara melalui hubungan luar negeri
dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral (Wuyandari,
2008:102).
Pada era Soekarno Indonesia dihadapkan pada kondisi yang sangat genting
baik secara stabilitas politik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam negeri
Indonesia dihadapkan pada animo masyarakat yang ingin merdeka dan
mengakhiri penjajahan. Kemudian setelah merdeka Indonesia pun sangat sadar
tentang pentingnya pengakuan atau dukungan internasional bagi kemerdekaan
Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul politik luar negeri Indonesia, Michael
Leifer mengatakan bahwa pasca kemerdekaan pengakuan internasional menjadi
hal yang penting dalam era Soekarno guna mencegah kembalinya kolonial. Maka
dari itu, politik luar negeri Indonesia di era Soekarno lebih merujuk untuk mencari
dukungan atau pengakuan dari dunia Internasional karena selain mencegah
kolonial, salah satu yang menjadi indikator sebuah negara dikatakan merdeka
yaitu adanya pengakuan dari negara-negara lain (Wuyandari, 2008:102).
Prinsip politik luar negeri Indonesia di mulai oleh bung Hatta sebagai
inisiator politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif. Arah politik luar negeri bebas
aktif ini didasari oleh kondisi dunia internasional pada saat itu. Selain itu,
penentuan sikap ini berdasarkan pada UUD 1945 yang mana dalam alinea IV
mukadimah disebutkan bahwa Indonesia harus ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamian abadi dan keadilan sosial.30 Dalam
dokumen badan penelitian dan pengembangan Departemen Luar Negeri RI
dijelaskan tentang politik luar negeri Indonesia bebas aktif diartikan sebagai
politik luar negeri yang diabdikan pada kepentingan nasional. Dalam hal ini dapat
dijelaskan bahwa Indonesia sangat memperhatikan kepentingan nasional yang
kemudian akan di adopsi pada praktik politik luar negeri tanpa mengikatkan diri
kepada salah satu blok di dunia internasional. Sehubungan dengan hal demikian,
Indonesia ingin menjadi negara yang mandiri dan menjauhkan adanya intervensi
yang akan mengakibatkan kerusakan terhadap kedaulatan dan keutuhan bangsa
(Wuyandari, 2008:104).
Sejak era Soekarno, secara politik luar negeri Indonesia memiliki ambisi
untuk menjadi pemimpin dunia khususnya di wilayah Asia Tenggara. Bahkan
presiden Soekarno menganggap bahwa Indonesia bisa menjadi pemimpin di Asia
dan Afrika, terlepas diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika I di Bandung
pada tahun 1955. Sikap politik luar negeri Indonesia selama era Soekarno,
Indonesia lebih dekat dengan RRC dan memiliki hubungan yang kurang baik
dengan Malaysia dan juga Soekarno pernah melakukan kritik terhadap PBB
bahkan Indonesia mengundurkan diri dari keanggotaan PBB. Arah kebijakan
politik luar negeri Soekarno lebih memprioritaskan dalam hal politik. Padahal
pada jangka waktu 1962 kondisi perekonomian Indonesia mengalami penurunan
yang sangat drastis. Menurut Michael Leifer, memberikan prioritas pada
pembangunan ekonomi bukan hal yang memerlukan bakat politik Soekarno dan
hal tersebut dianggap akan menyebabkan ketergantungan ekonomi yang akan
mengharuskan Indonesia hidup berdampingan dengan Oldefos31 yang sangat
ditentang oleh Soekarno (Wuyandari, 2008:105).
Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar. berlangsung aksi besar-
besaran menuntut dibentuknya NKRI menggantikan Republik Indonesia Serikat.
Hal ini ditanggapi dengan diadakannya perjanjian oleh tiga negara bagian, Negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur pada
17 Agustus 1950. Sejak itu, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut
sistem kabinet parlementer dan mulai berlangsungnya Orde Lama.
Orde lama menandakan jalan baru bagi Indonesia untuk membangun
negaranya terbebas dari ancaman-ancaman sekutu untuk melakukan invasi. Orde
ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Dengan terbentuknya
NKRI, Indonesia mulai terlibat secara aktif dengan hubungan-hubungan
antarnegara baik dalam high politics atau low politics. Pada dasawarsa 1950-an
landasan operasional dari prinsip bebas aktif mengalami perluasan makna. Hal ini
dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi
Kita” pada 17 Agustus 1960. Dalam pandangan Presiden Soekarno, pendirian
Indonesia yang bebas aktif itu, secara aktif pula harus dicerminkan dalam
hubungan ekonomi dengan luar negerinya yang tidak berat sebelah ke barat atau
ke timur” (Wuyandari, 2008:106).
Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno ini Indonesia terkenal
mendapat sorotan tajam oleh dunia internasional. Bukan hanya keaktifannya dan
juga peranannya di kancah internasional tetapi ide-ide serta kebijakan luar
negerinya yang menjadi panutan beberapa negara pada saat itu. Masa orde lama
merupakan titik awal bagi Indonesia dalam menyusun strategi dan kebijakan luar
negerinya. Dasar politik luar negeri Indonesia digagas oleh Hatta dan beliau juga
yang mengemukakan tentang gagasan pokok non-Blok. Gerakan non-Blok
merupakan ide untuk tidak memihak antara blok Barat yang diwakili oleh
Amerika Serikat dan blok Timur yang diwakili oleh USSR. Perang ideologi
anatara kedua negara tersebut merebah ke negara-negara lain termasuk ke negara
di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan negara pencetus non-Blok dan
menjadi negara yang paling aktif dalam menyuarakan anti memihak antara kedua
blok tersebut. Indonesia juga menegaskan bahwa politik luar negerinya
independen (bebas) dan aktif yang hingga kini kita kenal dengan politik luar
negeri bebas aktif. Indonesia merupakan salah satu negara yang berani keluar dari
PBB dalam menyatakan keseriusan sikapnya (Wuyandari, 2008:107).
Kemudian inti dari politik luar negeri indonesia kembali dinyatakan oleh
presiden soekarno dalam “perincian pedoman pelaksanaan manifesto politik
republik indonesia” sekaligus merupakan garis-garis besar politik luar negei
indonesia dengan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung NP.2/ KPTS/ SD/ I/ 61
tanggal 19 Januari 1961. inti kebijakan tersebut antara lain berisi tentang sifat
politik luar negeri republik indonesia yang bebas aktif, anti imperalisme dan
kolonialisme, dan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional
indonesia.
2. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari
seluruh bangsa di dunia.
3. mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian di dunia
saja.
ketiga tujuan politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa
dipisah-pisah satu dari yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk
membengun dunia kembali yang aman, adil, dan sejahtera (Wuyandari,
2008:108).
Tetapi, pada masa ini, Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno memiliki
kecenderungan untuk menjalin hubungan yang hangat dengan Uni Soviet yang
berhaluan komunis daripada tetangganya yang berlandaskan demokrasi. Sejumlah
monumen persahabatan Indonesia dan Uni Soviet bertebaran di berbagai wilayah
Indonesia yang antara lain, Stadion Utama Bung Karno, Pabrik Baja Krakatau
Steel, dan jalan raya di Kalimantan dari Palangkaraya ke Sampit. Pembangunan
Stadion Utama Bung Karno mendapatkan bantuan lunak dari Uni Soviet sejumlah
12,5 juta Dollar AS. Stadion dibangun mulai tahun 1958 dan pembangunan tahap
pertama selesai pada tahun 1962 (Wuyandari, 2008:109).
Secara jelas terlihat Indonesia pada saat itu cenderung berporos ke Timur
dan dekat dengan negara-negara komunis seperti Cina dan USSR dibandingkan
dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat. Presiden Soekarno juga
menetapkan politik luar marcusuar dimaana dibuat poros Jakarta-Peking-
Phyongyang. Hal ini menyulut kontrofersi dimata dunia internasional, karena
Indonesia yang awalnya menyatakan sikap sebagai negara non-Blok menjadi
berpindah haluan. Hal ini membuat tidak berjalan dengan efektifnya politik luar
negeri bebas aktif saat itu.
Hubungan Indonesia dengan Barat tidaklah harmonis. Indonesia pada
masa kepemimpinan Soekarno memperlihatkan sifat-sifat militan dan cenderung
konfrontatif terhadap segala unsur yang diidentifikasi sebagai imperialisme.
Dalam hal ekonomi, Soekarno mengatur segala rencana pembangunan ekonomi
dan memiliki semboyan BERDIKARI yang merefleksikan pendirian anti-Barat.
Karena inilah, secara umum hubungan Indonesia dengan negara – negara Barat
bisa dikatakan tidak harmonis (Wuyandari, 2008:121).

2.2.5 Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru


Indonesia pada rezim Soeharto terkenal dengan nama era orde baru. Di
mana rezim ini merupakan rezim yang paling panjang di Indonesia dengan masa
kepemimpinan selama 32 tahun dari tahun 1966 – 1998. Berbicara pemerintahan
orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, banyak sekali fenomena besar yang
terjadi sehingga banyak hal menarik untuk sebuah pembahasan meskipun rezim
ini sudah terjadi lebih dari 19 tahun yang lalu. Akan banyak hal menarik tentang
rezim ini, baik tentang arah politik luar negeri Indonesia sampai kepada dinamika
politik dalam negeri yang mempengaruhi pada kebijakan politik luar negeri
tersebut (Suryadinata, 1998 : 245).
Pada awal masa kepemimpinan, Soeharto sudah dihadapkan pada situasi
yang kompleks, mengingat merosotnya ekonomi domestik yang ditinggalkan oleh
pendahulunya, Soekarno. Awal masa kepemimpinan Soeharto ditandai dengan
adanya pengalihan fokus dari pembangunan bangsa menjadi pembangunan
ekonomi dan ingin mempertahankan hubungan luar negeri yang bersahabat
dengan pihak Barat. Orientasi dari pembangunan ekonomi dalam negeri secara
signifikan akan mempengaruhi pada sikap politik luar negeri RI. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Dr. Bambang Cipto, M.A Suharto memiliki pandangan
politik luar negeri yang tidak terlepas dari pertimbangan dalam negeri. Yang
kemudian hal ini menjadi perhatian serius dalam tatanan politik luar negeri
Indonesia yang diharapkan dapat membantu keseimbangan dalam negeri.
Berhubungan dengan hal demikian Soeharto pun mempromosikan kebijakan pintu
terbuka untuk menggalang bantuan asing untuk menambal kondisi ekonomi
domestik (Cipto,2007:89).
Secara prinsip, Soeharto tidak merubah sifat politik luar negeri Indonesia
yang bebas aktif, akan tetapi Soeharto secara tegas akan melakukan pemurnian
dalam pelaksanaan politik bebas aktif. Seruan awal tentang arah politik luar negeri
Soeharto di umumkan dalam pidatonya di depan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1966, dari pidato tersebut memiliki dua
poin penting tentang fokus utama yaitu stabilitas politik keamanan dan
pembangunan ekonomi (Wuryandari,2008:115).
Dan kemudian pada TAP MPR No. IV/MPR/2973 dan TAP MPR No.
IV/MPR/1978 memepertegas lagi bahwa pelaksanaan politik luar negeri bebas
aktif harus sesuai dan diabsikan keapda kepentingan nasional, terutama untuk
kepentingan pembangunan di segala bidang.34 Soeharto sangat menyadari bahwa
untuk membangun pertumbuhan ekonomi nasional perlu diiringi dengan stabilitas
politik domestik dan perdamaian eksternal. Maka dari itu Soeharto ingin
membebaskan Indonesia dari citra buruk di dunia internasional yang di klaim
sebagai akibat dari kepemimpinan Soekarno yang agresif dan revolusioner. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya konfrontasi yang terjadi baik dengan
negara lain ataupun organisasi/lembaga internasional.
Dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia, terlihat perbedaan dari
segi tujuan serta gaya Soeharto dengan Soekarno dalam menangani suatu
persoalan internasional. Masa kepemimpinan Soeharto, pemerintah lebih berhati-
hati dan juga mengedepankan ambisi kawasan. Sedangkan Soekarno lebih
cenderung menggunakan gaya desakan meskipun Soekarno tidak melupakan
diplomasi sebagai salah satu gaya pelaksanaan politik luar negeri
(BPPDLN,1987:22).
Hal tersebut kemudian diperlihatkan oleh Soeharto pada tahun 1966
Indonesia kembali bergabung menjadi salah satu negara anggota PBB. Kemudian
untuk poin stabilitas politik keamanan yang dijadikan salah satu fokus utama
dalam politik Indonesia masa orde baru dimana diasumsikan bahwa pembangunan
ekonomi yang stabil tidak akan dicapai tanpa adanya politik yang aman baik
secara domestik ataupun internasional. Bahkan Indonesia menganggap bahwa
keamanan regional merupakan hal penting yang perlu dibangun, maka dari itu
pada era Soeharto Indonesia membuka jalur perdamaian dengan cara membangun
hubungan yang baik dengan negara tetangga seperti Malaysia. Hal ini kemudian
yang memperlihatkan adanya perbedaan kebijakan pelitik luar negeri orde lama
dan orde baru. Keseriusan Indonesia dalam menciptakan kawasan yang aman dan
damai kemudian dilanjutkan oleh Soeharto dengan memprakarsai Association
South East Asia Nations (ASEAN).
ASEAN resmi didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok setelah
lima negara yaitu Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina dan Singapura yang di
wakili oleh masing-masing menteri luar negerinya dalam Deklarasi Bangkok.
Dibentuknya ASEAN disebabkan oleh adanya gejolak persaingan dua blok besar
antara Amerika Serikat (Barat) dan Uni Soviet (Timur) dan dinamika kawasan di
masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara yang mengkawatirkan
(Suryadinata, 1998 : 246).
Menurut Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN (2012:2)
Maka dari itu ASEAN di deklarasikan sebagai harapan baru bagi negara-negara di
kawasan Asia Tenggara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Adapun isi
dalam deklarasi Bangkok pada saat itu, sebagai berikut:

1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta


perkembangan kebudayaan di kawasan Asia tenggara.
2. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional.
3. Meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan
bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan
administrasi.
4. Memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional
dan internasional yang ada.
5. Meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan
penelitian di kawasan Asia Tenggara.
Dengan keberhasilan pembentukan ASEAN ini secara langsung
memberikan dampak yang baik dalam normalisasi konfrontasi antara Indonesia
dengan Malaysia pada saat itu. Karena kedua negara ini masuk ke dalam struktur
ASEAN (Suryadinata, 1998 : 248).
Kerjasama ASEAN ini dianggap hal yang diharuskan untuk menciptakan
stabilitas kawasan yang mana nantinya hal tersebut akan kembali lagi pada
keamanan negara-negara di Asia Tenggara. Era Soeharto mengklaim bahwa
Indonesia merupakan pemimpin di ASEAN (Soesastro,2016:373-381).
Mengingat Indonesia merupakan negara paling besar di kawasan. Selain
itu, setelah Indonesia berhasil mengupayakan dalam mengembalikan citra serta
hubungan baik dengan negara barat, maka kekuatan Indonesia semakin di akui
oleh negara lain. Hal tersebut terlihat ketika menentukan suatu kesepakatan terkait
dengan pertahanan sementara dari pangkalan militer asing di wilayah regional
yang dimasukan ke dalam deklarasi ASEAN (Suryadinata,1998:122).
Hal tersebut dilatar belakangi karena Indonesia selalu menganggap bahwa
militer asing dapat menjadi sebuah ancaman bagi keamanan kawasan khususnya
bagi Indonesia sendiri Cita-cita untuk menciptakan keseimbangan politik luar
negeri yang di arahkan pada upaya perdamaian dunia, kemudian ASEAN pun
diharapkan dapat menjadi salah satu motor untuk terciptanya perdamaian kawasan
sebagaimana yang tertera pada poin 2 dalam isi Deklarasi Bangkok.
Peralihan dalam menentukan hubungan luar negeri di bawah Soeharto di
awali ketika buruknya hubungan Indonesia dengan blok Timur yang cenderung
komunis setelah peristiwa G-30S/PKI, yang mana hal tersebut menjadikan blok
barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai pilihan alternatif yang strategis
dalam menjalankan aktivitas politik luar negeri. Kurun waktu sebelum pemilu
tahun 1982 menjadikan pembangunan ekonomi sebagai poin pokok. Maka dari itu
dengan adanya persetujuan dari negara-negara barat atas pembentukan the Inter
Govermental Group for Indonesia (IGGI) pada saat Konferensi Paris. Hal itu
dibentuk sebagai alat peminjaman bantuan bagi perekonomian Indonesia pada saat
itu (Wuryandari,2008:120).
Keputusan untuk mendekatkan diri dengan pihak barat terlihat sukses.
Dalih kesamaan ideologi anti komunis merupakan faktor penting dalam eratnya
hubungan Indonesia-Barat. Akan tetapi hal tersebut menajdi salah satu hal yang
dapat membutakan kelompok barat terhadap stabilitas politik dalam negeri
Indonesia. bukan lagi menajdi rahasia umum bahwa politik dalam negeri era
Soeharto mengalami kecacatan. Dari mulai krisi ekonomi yang tak kunjung
membaik, serta intervensi militer terhadap aktivitas politik sampai dengan
represifitas terhadap masyarakat sipil (Wuryandari,2008:122).
Peristiwa Timor Timur merupakan salah satu contoh kecacatan politik
dalam negeri Indonesia yang dapat mengundang perhatian dunia. Peristiwa
konflik Timor Timur ini sebenarnya sudah mulai menagrah pada genosida
disebabkan adanya kependudukan ilegal Indonesia pada tahun 1976. Dalam kurun
waktu 1980-1990an dinamika konflik Timtim ini cenderung pada pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat
setempat. Bagaimana tidak, tindak pembunuhan, pemerkosaan, dan juga
penganiayaan terjadi secara massal di Timor Timur. Tentu peristiwa ini mendapat
perlawanan dari masyarakat Timtim, bahkan ada tiga kelompok yaitu East Timor
Action Network (ETAN), gereja Katolik, dan Pretilin yang berjuang untuk
menginternasionalisasi pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Indonesia di
Timor Timur. Atas upaya tersebut, kemudian PBB memutuskan akan
mengirimkan perwakiannya ke Indonesia untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Adapun efek dari persoalan HAM di Timor Timur meneybabkan
terjadinya tekanan yang muncul dari dunia internasional terhadap Indonesia tanpa
terkucali IGGI yang menjadi salah satu kendaraan pinjaman Indonesia yang pada
akhirnya berujung pada pembubaran IGGI (Wuryandari,2008:122).
Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno
menuju rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto memberikan perubahan yang
cukup mendasar dalam sifat diplomasi Indonesia. Soekarno dengan haluan politik
luar negeri yang revolusioner dan anti-imperialisme bersifat sangat konfrontatif.
Sebaliknya, setelah memasuki rezim Orde Baru, sifat politik luar negeri Indonesia
yang konfrontatif tersebut berganti dengan politik yang bersifat kooperatif. Pada
rezim Orde Baru, hubungan yang tidak baik dengan Barat mulai diperbaiki. Hal
ini dilakukan terutama karena orientasi politik luar negeri Indonesia berubah
haluan menjadi pembangunan ekonomi dalam negeri melalui kerja sama dengan
negara-negara lain (Wuryandari,2008:123).
Walaupun Orde Baru dianggap bobrok, namun kekuatan diplomasi
Indonesia dianggap kembali pada kejayaannya dengan kembali diperhitungkannya
keberadaan Indonesia dalam kancah politik dan ekonomi. Indonesia dipandang
sebagai negara tempat berinvestasi yang menjanjikan dan suara Indonesia
didengarkan di kawasan Asia Tenggara. Pada masa orde baru, landasan
operasional politik luar negeri indonesia kemudian semakin dipertegas dengan
beberapa peraturan formal, diantaranya adalah ketetapan MPRS no. XII/
MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan
kebijaksanaan politik luar negeri indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa
sifat politik luar negeri indonesia adalah:
1. Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan
rakyat.
Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa untuk melakukan pembangunan,
Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya kerja sama dengan
negara-negara lain ini mulai dibuka untuk mendapatkan bantuan luar negeri demi
melaksanakan pembangunan ekonomi dalam negeri. Diplomasi yang dilakukan
oleh Orde Baru banyak disebut sebagai ”Diplomasi Pembangunan” (Diplomacy
For Development). Salah satu hasil diplomasi pembangunan Orde Baru terkait
dengan upaya untuk mendapatkan bantuan luar negeri adalah Inter-Governmental
Group on Indonesia (IGGI/Kelompok Antarpemerintah Mengenai Indonesia)
(Wuryandari,2008:125).
Usaha untuk membentuk IGGI tersebut mulai dilakukan pada bulan
September 1966 dalam pertemuan antara 12 negara kreditor yang dilaksanakan di
Tokyo untuk mengetahui rencana Indonesia dalam memperbaiki keadaan ekonomi
dan evaluasi IMF akan rencana tersebut. Dalam forum ini, Indonesia berhasil
menggalang dukungan dan menegosiasikan utangnya kepada para kreditur dalam
forum Paris Club dan dirasakan perlunya forum antar pemerintah untuk
membantu pembangunan di Indonesia, baik berupa dana maupun pemikiran.
Kesepakatan untuk membentuk sebuah forum formal dalam rangka membantu
perekonomian Indonesia dicapai pada pertemuan ini. Hal ini dapat dikatakan
sebagai sebuah keberhasilan diplomasi pembangunan waktu itu. Pada tanggal 20
Februari 1967, IGGI dibentuk melalui pertemuan formal di Amsterdam yang
dihadiri oleh sejumlah negara kreditor utama dan lembaga Internasional
(Wuryandari,2008:129).
Diplomasi pembangunan Indonesia pada masa awal Orde Baru tersebut
dapat dikatakan berhasil dalam memperoleh bantuan luar negeri. Hal ini sesuai
dengan tujuan dari diplomasi ekonomi, yaitu mengamankan resources ekonomi
yang berasal dari luar negeri untuk pembangunan ekonomi luar negeri. Dalam hal
ini, resources ekonomi utama yang berusaha diamankan adalah bantuan luar
negeri yang berasal dari negara – negara maju. Pembentukan IGGI ini dapat kita
anggap sebagai pelaksanaan dari teori containment untuk mencegah Indonesia
kembali memihak blok Timur seperti pada masa Demokrasi Terpimpin. Indonesia
dinilai sebagai sebuah negara yang sangat strategis dalam pelaksanaan teori
containment ini karena merupakan negara Asia Tenggara yang cukup terkemuka.
Karena itu, penanaman pengaruh blok Barat pada Indonesia dinilai sangat penting
untuk menjaga dan meningkatkan pengaruh blok Barat di kawasan Asia Tenggara.
Masuknya bantuan luar negeri tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan
berbagai kebijakan dalam negeri Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengamankan
kepentingan para negara kreditor tersebut di Indonesia, terutama kepentingan
ekonomi (Wuryandari,2008:130).
Sesuai dengan perspektif realis yang menyatakan bahwa pemberian
bantuan luar negeri pada dasarnya dilakukan atas dasar kepentingan negara
pemberi bantuan tersebut. Pemberian bantuan dengan tujuan seperti ini membuat
Indonesia terjebak dalam kondisi dependensi. Indonesia menjadi sangat
tergantung dengan bantuan asing tersebut, yang terlihat dari dimasukkannya
hutang luar negeri dalam daftar sumber dana APBN. Ketergantungan terhadap
sumber pendanaan asing ini memungkinkan intervensi pihak asing terhadap
berbagai kebijakan pemerintah. Dengan begitu, lewat bantuan luar negeri, maka
negara – negara Barat dapat mengontrol kehidupan politik dan ekonomi dalam
negeri. Hal ini terlihat dari penguasaan pihak asing terhadap sumber daya alam di
Indonesia, kemudahan masuknya barang impor dari negara – negara Barat, dan
berbagai kebijakan Pemerintah yang selalu memihak terhadap perusahaan asing
jika terjadi konflik antara buruh lokal dan perusahaan asing tersebut. Indonesia
dalam hal ini berada dalam posisi sebagai negara perifer yang selalu bergantung
pada negara – negara sentral. Indonesia diposisikan sebagai pemasok tenaga kerja
yang murah serta bahan mentah dalam pembagian kerja global tersebut.
Kondisi dependensia ini menjadi sebuah ”bom waktu” bagi Indonesia.
Terbukti, setelah Perang Dingin berakhir dan nilai strategis Indonesia dalam teori
containment hilang, maka berbagai akses terhadap sumber pendanaan luar negeri
tersebut menjadi sulit. Stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri menjadi
terganggu dan akhirnya berpuncak pada terjadinya Krisis Moneter tahun 1998.
Pihak asing pun telah menguasai banyak sumber daya strategis dalam negeri
melalui berbagai perusahaan multinasional (Wuryandari,2008:132).
Meski begitu, di luar berbagai efek negatif yang disebabkan oleh bantuan
luar negeri yang masuk ke Indonesia, terbentuknya IGGI tetap dapat dilihat
sebagai keberhasilan diplomasi pembangunan pertama Indonesia, karena
merupakan bentuk kepercayaan luar negeri yang dilembagakan. Hal lain yang
menjadi sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan
rinci pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983 yang menandakan bahwa indonesia
sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.
Indonesia berusaha untuk mengangkat hubungan yang lebih akrab dengan
tetangga-tetangganya yang satu kawasan melalui peningkatan hubungan ASEAN.
Dengan demikian, Soeharto mengalihkan prioritas politik luar negeri Indonesia
dari lingkungan geografis yang lebih luas, yakni dari Gerakan Asia-Afrika dan
Non Blok, ke lingkungan geografis yang lebih kecil (Djelantik, 2008 : 34).
Soeharto berusaha untuk mengangkat regionalisme Asia Tenggara sebagai
landasan politik luar negeri Indonesia. Ia memberikan prioritas yang paling utama
kepada hubungan yang dekat dan harmonis melalui penggalangan kerja sama
yang lebih mantap dengan negara-negara tetangga karena di sinilah terletak
kepentingan nasional kita yang paling vital. Karenanya penciptaan kestabilan dan
kerja sama regional di Asia Tenggara mendapatkan prioritas yang tinggi". Asia
Tenggara yang diidam-idamkan Jenderal Soeharto adalah suatu Asia Tenggara
yang terintegrasi, ia menjadi benteng dan pangkalan paling kuat untuk
menghadapi pengaruh ataupun intervensi dari luar. Ia juga harus mampus
menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun dan dari pihak
mana pun.
Untuk mencapai peningkatan stabilitas dan pengembangan itulah
Indonesia memprakarsai pembentukan ASEAN yang lebih terintegrasi melalui
pembukaanpembukaan jalan menuju Komunitas ASEAN yang diharapkan dapat
memupuk dan membina kerja sama yang lebih erat dan berguna bagi
pengembangan ketahanan masing-masing (Djelantik, 2008 : 34).
2.2.5 Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Reformasi
B.J. Habibie
Pemerintahan pasca-orde baru ini setidaknya secara substansif dalam
landasan politik luar negerinya berusaha untuk menuju kembali kepada masa
kejayaan pada masa dulu. Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi
yang menyeluruh. Dalam kaitannya dengan kondisi dalam negeri, politik luar
negeri Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 tidak
dapat dilepaskan dari perubahan politik secara besar-besaran yang mengikuti
kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang
menggantikan Soeharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk
menggambarkan pertautan antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri
dari sebuah pemerintahan di masa transisi (Mashad, 2008 : 222).
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi
yang cukup serius. Tidak hanya menangani masalah ekonomi yang akut, ia juga
harus menyelesaikan masalah HAM yang dihasilkan oleh pemerintahan terdahulu.
Untuk hal ini, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui
beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-
Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia antara
lain:
1. UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and
other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
2. UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination 1965.
Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat
konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas
Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut
(Mashad, 2008 : 222).
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Habibie menaikkan kembali
derajat kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Habibie mampu
memperoleh simpati dari IMF dan Bank Dunia dengan keputusan kedua lembaga
tersebut untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi
sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14
milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari
kalangan domestik tidak terlampau kuat, namun dukungan internasional yang
diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi citra positif kepada dunia
internasional memberikan dukungan bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie
saat periode transisi menuju demokrasi dimulai (Mashad, 2008 : 223).
Tetapi, Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa
kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi
kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-
Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan
pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan
tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor
Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor- Timur melalui
jajak pendapat. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum
kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Habibie kehilangan legitimasi baik
dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia
dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung
langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung
milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur
setelah referendum.
Abdurrahman Wahid
Pemilu pada 1999 membawa Abdurrahman Wahid sebagai presiden
terpilih periode 1999-2004. Tidak banyak kemajuan yang terjadi pada masa
pemerintahannya, terutama dalam politik luar negeri. Terlepas dari perjalanan
transisi menuju demokrasi, kepercayaan internasional masih terasa rendah
terhadap Indonesia. Hubungan sipil militer menjadi salah satu isu utama dalam
perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil
militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua.
Isu Timor Timur seperti menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan
antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi
dan politik luar negeri) (Mashad, 2008 : 226).
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan
transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini
terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor
Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan
keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal
(diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan
saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa
Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid
dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas
militer yang subyektif sifatnya (Mashad, 2008 : 228).
Era pemerintahan B J Habibie dimulai dengan tuntutan rakyat Indonesia
akan adanya reformasi pemerintahan dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi.
Semangat demokratisasi pun digalakkan untuk menggalang dukungan rakyat
terhadap pemerintahannya. Namun, rakyat Indonesia pada masa itu hanya melihat
era pemerintahan Habibie sebagai era transisioal pemerintahan Orde Baru dengan
era reformasi yang dianggap masih membawa carut marut Orde Baru. Di sisi lain,
Habibie menghadapi sisa kebobrokan Orde Baru yang meninggalkan krisis
moneter di Indonesia. Fokus politik luar negeri Indonesia kemudian ditata untuk
membangun kembali ekonomi Indonesia dan memperbaiki stabilitas keamanan di
Indonesia. Instrumen yang digunakan Hbibie untuk dapat memenuhi kepentingan
nasional Indonesia dalam masa transisi antara lain pengelolaan investasi swasta,
diplomasi terhadap bantuan asing, perdagangan bebas, kekuatan militer dan sistem
politik yang demokratis (Widhiasih, 2013).
Sementara itu, Indonesia juga harus menyelesaikan berbegai persoalan
yang menjadi warisan Orde Baru yang menyebabkan munculnya krisis legitimasi
yang cukup parah. Untuk mengatasi hal tersebut, Habibie mencoba melakukan
berbagai aksi untuk mendapatkan dukungan internasional (Mashad, 2008:185).
Diwarnai dengan isu penegakkan Hak Asasi Manusia, Habibie merealisasikan
kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat dalam perundang-undangan. Cara
yang ditempuh oleh Habibie adalah mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak pekerja dan pembentukan Komisi Nasional
(Komnas) Perempuan. Pada dasarnya, tindakan Habibie telah menuai keberhasilan
mengingat adanya ketertarikan internasional yang diperlihatkan dengan
terjalinnya hubungan Habibie dengan IMF dab Bank Dunia yang bersedia
mencairkan bantuannya untuk mengatasi krisis ekonomi. Namun, tak semulus
aksinya mendapat dukungan internasional, tindakan Habibie dalam menghadapi
persoalan Timor Timur ternyata mengantarkan Indonesia pada mimpi buruk.
Pasalnya, sebagai reslolusi konflik, Habibie menawarkan dua opsi kepada
masayarakat Timor Timur untuk mendapat otonomi luas atau bebas menentukan
nasib sendiri, yang pada akhirnya berujung pada lepasnya Timor Timur dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1998 seiring dengan hasil jejak
pendapat yang lebih tinggi untuk menentukan nasib sendiri. Mashad (2008:187)
menyebutkan bahwa akibat kebijakan tersebut, Habibie harus rela kehilangan
legitimasi di mata domestik maupun internasional. Hal ini dikarenakan tindakan
Habibie telah berkebalikan dengan upaya Indonesia yang berusaha mati-matian
untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari wilayah Indonesia pada
era Soeharto yang menunjukkan inkonsistensi Indonesia terhadap kasus Timor
Timur. Walaupun kebijaksanaan Habibie untuk memberikan opsi kepada
masyarakat Timor Timur telah berbuah dukungan internasional, implikasi aksi
TNI pasca referendum sebagai bentuk aksi pro-integrasi yang berdampak pada
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur dan lepasnya Timor
Timur ternyata telah membawa Habibie ke akhir masa pemerintahannya (Mashad,
2008 : 187).

Abdurrahmad Wahid
Dinamika domestik yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid, atau
acap kali disapa Gus Dur, juga merupakan kelanjutan dari era Habibie. Realitas
implikasi Timor Timur mengantarkan tugas pertama Gus Dur untuk mereformasi
TNI yang telah dianggap mencoreng HAM sebelumnya. Langkah yang diambil
Gus Dur pada saat itu adalah keputusan pemberhentian Wiranto (Mashad,
2008:188). Di sisi lain, fokus demokratisasi Indonesia dan pemulihan ekonomi
masih diutamakan. Reposisi angkatan militer untuk kembali kepada tugasnya
sendiri menjadi kunci penting untuk merealisasikan demokrasi di Indonesia.
Dalam tatanan internasional, penggalangan dukungan internasional untuk
mengembalikan kredibilitas Indonesia juga terus dilakukan oleh Gus Dur. Hal itu
ditunjukkan dengan intensitas kunjungan luar negeri Gus Dur yang tinggi selama
dua puluh bulan ia menjabat, yang juga dianggap sebagai aksi pemborosan,
walaupun langkah tersebut dilakukan untuk membuka pintu investasi asing di
Indonesia (Widhiasih, 2013). Diplomasi yang demikian disebut sebagai
‘diplomasi persatuan’ yang juga ditujukan untuk mendapatkan dukungan
internasional terhadap permasalahan disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia
yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu berdasarkan gerakan separatisme
yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan hasil dukungan dari
Australia dan Selandia Baru. Namun, kunjungan luar negeri Gus Dur ke
setidaknya 80 negara tidak diikuti dengan kebijakan yang komprehensif untuk
memajukan Indonesia. Di sisi lain, Gus Dur kurang memperlihatkan sensitivitas
domestik, hal ini diperlihatkannya dengan mengambil kebijakan yang dinilai
kontroversial seperti idenya untuk membuka hubungan kerjasama perdagangan
dengan Israel yang kemudian dibatalkan karena menuai kecaman dalam negeri.
Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur
masih terfokus pada usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi
yang direalisasikan melalui investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri,
perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik demokratis (Widhiasih,
2013). Keberhasilan Gus Dur di era pemerintahannya yang singkat ditunjukkan
dengan meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional yang
diperlihatkan dengan mengalirnya bantuan internasional untuk membantu
perekonomian dalam negeri. Tak hanya itu, keberhasilan pengelolaan masalah
ancaman integrasi bangsa juga menjadi salah satu prestasi Gus Dur. Namun,
keputusan Gus Dur yang dianggap menyimpang dan sosoknya yang konfrontatif
serta emosional, membuatnya harus menyerah pada keputusan impeachment
(Mashad, 2008:189).
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik
luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang
dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada
peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa
pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan
RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur.
Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI
dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di
mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri
selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan
tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa
pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat
isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang
dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal
integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan
ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki
agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana
membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat
reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang
seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada
akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur
menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit (Mashad, 2008 :
189).
Menurut Mashad (2008:190) ada beberapa persoalan yang dihadapi yang
merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru seperti masalah praktik KKN
yang belum terselesaikan, Pemulihan ekonomi , Masalah BPPN serta Kinerja
BUMN, ada pula Pengendalian Inflasi dalam Mempertahankan kurs rupiah, serta
Masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama Penegakan hukum dan
penegakan Hak asasi manusia (HAM). Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan
konflik antarumat beragama, Presiden Abdurrahman Wahid atau yang lebih
dikenal dengan nama Gus Dur memberikan kebebasan dalam kehidupan
bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya beberapa
keputusan presiden yang dikeluarkan, yaitu Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000
mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang
selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6 dapat memiliki
kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara terbuka
seperti misalnya pertunjukan Barongsai (Mashad, 2008 : 190).
Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia,
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan
perbaikan ekonomi Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim,
wakilnya Subiyakto Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.
Disamping pembaharuan-pembaharuan di atas, Gus Dur juga mengeluarkan
berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang
dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, melainkan
diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat dekatnya, bukan menurut
aturan konstitusi negara. Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kontroversial
dari berbagai kalangan yaitu :
1) Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde
Baru.
2) Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang
dilatarbelakangi oleh adanya pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan
Panglima Tinggi.
3) Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh
hubungan yang tidak harmonis dengan Gus Dur.
4) Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan
Nasional yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet
menjadi merosot.
5) Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan
mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora (Mashad, 2008 : 191).
Hal yang paling kontroversial dalam pemerintahan Gus Dur adalah
“perdamaian”-nya dengan Israel. Seperti yang kita ketahui, umat Islam Indonesia
sangat antipati terhadap negara penjajah Palestina tersebut atas dasar solidaritas
sesama muslim. Akan tetapi, bukannya bersikap memusuhi Israel, Gus Dur justru
berusaha membuka hubungan dengan negara tersebut. Tentu saja rakyat Indonesia
marah. Bahkan, duta besar Palestina untuk Indonesia saat itu, Ribbhi Awad,
sangat kecewa. Gus Dur hanya mengatakan, sangat aneh jika Indonesia tidak bisa
bekerjasama dengan Israel, karena negara tersebut berbasis pada agama
sedangkan Indonesia bisa bekerjasama dengan negara-negara ateis seperti RRC
dan Rusia. Gus Dur yang sangat menjunjung tinggi kebebasan umat beragama
sebenarnya menekankan bahwa Islam tidak boleh melihat segala sesuatu yang
berbau Barat adalah kesalahan. Toh bekerjasama dengan Israel bukan berarti
membenci atau melucuti dukungan Palestina. Bahkan, dengan kerjasama dengan
Israel, bisa jadi sikap Israel akan melunak pada Palestina mengingat Gus Dur
dikenal sebagai jago diplomasi (Mashad, 2008 : 192).
Presiden Abdurrahman Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra
Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan
keluar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk
implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang
ekstensif selama masa pemerintahannya, Abdurrahman Wahid secara konstan
mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara
yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini adalah soal integritas teritorial
Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun muncul
dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan
Mei, Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan bahwa $4 juta menghilang
dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia
dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil
dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal
ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh
menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan
dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate
(Mashad, 2008 : 192).
Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial,
dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur
memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam
reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais
menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli Gus Dur
kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1) pembubaran
MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat
pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai
bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak
memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus
Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri (Mashad, 2008:189).
Tumbuhnya pluralisme dan sikap toleransi yang tinggi antar pemeluk
agama merupakan salah satu keunggulan pemerintahan Gus Dur dengan di sah-
kan nya Konghucu sebagai agama yang resmi dan hari Imlek sebagai hari libur
nasional. Namun Gus Dur tidak mempunya banyak pendukung di akhir masa
jabatan nya sehingga banyak kebijakan beliau yang tidak dilaksanakan. Sikap
kontroversialnya juga banyak memicu ketegangan antara Presiden dengan
MPR/DPR yang dimana Gus Dur selalu bersikap berseberangan dengan kedua
institusi itu. Sikap itulah yang tidak menciptakan kestabilan politik dalam negeri
dan menjadikan kekurangan dalam masa pemerintahannya (Mashad, 2008:191).

2.2.6 Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Demokrasi Hingga saat ini.
a. Megawati Soekarnoputri
Indonesia di bawah pemerintahan Megawati terus menunjukan kelemahan
dari sisi domestik. Pemerintahan koalisi ini menunujukan kerapuhan dari sistem
politiknya Indonesia dengan terlihatnya kompetisi ideologi, terutama diantara
nasionalisme yang sekuler dan Islam di dalam sistem politik yang nuansa
otoritarianismenya masih tinggi.
Pemerintahan Megawati juga tidak mampu memperbaiki ekonomi di
dalam situasi politik saat itu. Walaupun ada kestabilan politik di level elit, namun
perbaikan keadaan politik jauh dari sempurna. Semua masalah dari pemerintahan
Abdurahman Wahid sebelumnya tetap mempersulit pemerintahan Megawati
(Holtsi, 1987. 120).
Perlu dilihat bahwa pada masa jatuhnya Wahid dan bangkitnya Megawati,
menunujukkan betapa kompleks dan ruwetnya keadaan politik indonesiapada era
setelah Soeharto. Setelah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, kekuatan anti
ordebaru – yang direpresentasikan oleh Wahid, Megawati dan Amien Rais –
justru mereka menemukan diri mereka pada posisi yang sulit untuk membentuk
sebuah gabungan kekuatan untuk menjalankan reformasi dan demokrasi.
Pada masa Megawati, ada enam program kerja, yaitu:
1) Mempertahankan kesatuan bangsa;
2) Melanjutkan reformasi dan proses demokrasi;
3) Menormalisasikan kehidupan ekonomi;
4) Menjunjung tinggi hukum, menjaga keamanan dan perdamaian,
menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme;
5) Mengembalikan kredibilitas internasional Indonesia; dan
6) Bersiap untuk Pemilu 2004.
Walaupun “Enam program kerja” ini tidak menunjukkan arah politik,
tetapi prioritas dari pemerintahan Megawati sudah terlihat, dalam hal ini politik
luar negeri pun akan diarahkan sesuai dengan “enam program kerja” tersebut dan
juga agar bisa mensupport “enam program kerja” tersebut (Holtsi, 1987. 122).
Politik ‘Bebas Aktif’ dianut oleh pemerintahan Megawati, baginya lebih
baik menggunakan tema tradisional yang sudah pernah ada, daripada mencari
sebuah gaya baru dalam politik luar negerinya.
Dengan kata lain politik luar negeri Megawati menunujukkan sebuah
lanjutan dari orde baru, pertama, penekanan pada politik bebas aktif, yang
menunjukan maksud untuk mengembalikan politik luar negeri Indonesia ke fungsi
tradisionalnya dalam memenuhi politik dalam negeri dan keadaan ekonomi.
Kedua politik luar negeri Megawati digunakan sebagai alat untuk membentuk
linkungan/hubungan internasional yang damai yang akan memfasilitasi/mem –
backup keadaan dalam negeri. Ketiga, pemerintahan Megawati juga menandai
kembalinya konsep politik luar negeri yang menganggap Asia Tenggara sebagai
bagian penting bagi Indonesia dan juga bagi Asia Timur, Amerika Serikat dan
negara-negara Pasifik selatan lainnya (Holtsi, 1987. 121).
Menanggapi serangan teroris di AS pada tanggal 11 September 2001,
Presiden Megawati berkunjung ke Amerika Serikat untuk bertemu Presiden Bush
pada tanggal 19 September, seminggu setelah peristiwa tersebut. Walaupun pada
saat itu terjadi protes besar-besaran di Jakarta oleh banyaknya organisasi Islam
dikarenakan tidak terimanya mereka atas tuduhan Amerika Serikat bahwa Osama
bin Laden yang bertanggung jawab atas kejadian 11 September, bahkan hal ini
juga oleh Wakil Presiden Hamzah Haz, dianggap sebagai tindakan Amerika
Serikat untuk mendiskreditkan agama Islam (Sukma,2004:130)..
Pada kesempatan tersebut, Megawati menyatakan turut berduka cita atas
korban yang ditimbulkan oleh serangan teroris 11 September 2001 dan sangat
mengecam segala macam bentuk dan wujud terorisme. Sebagai timbal baliknya,
Washington berjanji untuk membantu Indonesia dalam membangun kembali
perekonomiannya yang runtuh akibat krisis moneter Asia (Sukma,2004:132).
Megawati mengawali karirnya sebagai Presiden Indonesia sebagai
pengganti Gus Dur yang telah diturunkan sebelumnya. Masalah domestik yang
dihadapi pun masih berupa ancaman disintegrasi bangsa yang ditunjukkan dengan
adanya eksistensi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan berbagai gerakan separatis
di daerah lain (Mashad, 2008:190). Megawati juga menghadapi permasalahan
internasional berupa minimnya kredibilitas internasional terhadap Indonesia yang
diakali dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara di dunia. Berbeda
dengan pemerintahan sebelumnya yang lebih terlihat pro-Barat, Megawati
mencoba mereduksi hubungan internasional dengan Barat dengan memutus
hubungan dengan IMF dan melakukan perdagangan dengan Rusia dengan adanya
pembelian pesawat Sukhoi (Widhiasih, 2013:191). Dari hal tersebut, terlihat
bahwa kepentingan nasional Indonesia masih berupa realisasi stabilitas ekonomi,
politik, pertahanan, dan keamanan yang kesemuanya diwujudkan dengan adanya
investasi sektor swasta, perdagangan bebas, dan kekuatan otonomi regional yang
lebih diutamakan. Streategi Megawati antara lain juga memberikan peran utama
polugri pada MenLu, Hasan Wirayuda.
Ujian berat yang harus dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia adalah
ancaman terorisme yang diperlihatkan dengan adanya serangkaian serangan bom
yang dilancarkan di sejumlah tempat di Indonesia, seperti di Jakarta dan Bali. Isu
ancaman terorisme ini merupakan isu berat yang turut mempengaruhi politik luar
negeri Indonesia yang saat itu mengalami dilemma akibat adanya dorongan dari
Amerika Serikat yang baru mengalami teror WTC 9/11, untuk memerangi
terorisme dan menekan Islam (Mashad, 2008:191). Serangan terorisme ini pada
dasarnya mempengaruhi politik luar negeri Indonesia, yang memaksa Indonesia
mendeklarasikan diri sebagai negara Islam yang moderat untuk menggalang
kepercayaan internasional. Berbagai peristiwa teror bom, khususnya Bom Bali,
juga membuat Indonesia memutuskan pembentukan UU Anti Terorisme pada
tahun 2003. Sementara itu, dalam kancah internasional, Indonesia masuk sebagai
anggota Regional Counter Terrorism Center yang didukung oleh Amerika Serikat
dengan melancarkan bantuan ekonomi pada Indonesia. Di sisi lain, sifat
konservatif Megawati ditengah kondisi domestik yang rapuh dan konstelasi
internasional yang berubah-ubah, Megawati kehilangan Sipadan Ligitan dari
Indonesia (Soerapto, 1997 :69).
Setelah Presiden Wahid diberhentikan pada tahun 2001, ia digantikan oleh
Presiden Megawati yang menjabat sebagai wakil presiden pada saat itu. Sebagai
presiden, Megawati secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri untuk
memperoleh dukungan internasional. Megawati antara lain mengunjungi Rusia,
Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB,
Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya,
Cina dan juga Pakistan (Soerapto, 1997 :70).
Tetapi, Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya
tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan
tersebut. Mengingat, seringnya beliau berada di luar negeri untuk kunjungan
kenegaraan padahal seorang presiden tidak diperbolehkan untuk berlama-lama ke
luar negeri. Diantara kontroversi tersebut adalah pembelian pesawat tempur
Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati
ke Moskow. Terlepas dari berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri
Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam
peristiwa nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September
2001 di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di
Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan
Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan
beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.
Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya, perang
melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri
dalam kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar
mengenai perlindungan terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi,
seiring dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan
momentum untuk mengembalikan prinsip security approach di dalam negeri
(Soerapto, 1997 :70).
Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali
menjadi aktif pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa
pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh
struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Bahkan Departemen Luar
Negeri mengalami restrukturisasi guna memperbaiki kinerjanya. Restrukturisasi
ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu cepat, terutama
setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini
memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan
tersebut (Mashad, 2008:195).

Susilo Bambang Yudhoyono


Dinamika politik luar negeri Indonesia akan terus berubah menyesuaikan
dengan bentuk kepemimpinan presiden dan isu-isu yang terjadi pada masanya.
Jika pada masa kepemimpinan Soeharto tujuan politik luar negeri Indonesia
adalah membangun perekonomian dan keamanan domestik, BJ Habibie dengan
politik luar negerinya memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional.
Sedangkan pada masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur fokus
politik luar negerinya selain pada aspek ekonomi, Gus Dur juga rutin melakukan
hubungan diplomatik ke luar negeri sebagai upaya integritas territorial Indonesia
(Mashad, 2008). Pada masa Megawati, beliau sering melakukan kunjungan ke
luar negeri dengan politik luar negerinya isu terorisme. Dapat dilihat bahwa
masing-masing presiden memiliki berbeda-beda fokus politik luar negeri. Pada
pembahasan minggu ini akan fokus kepada politik luar negeri RI era Susilo
Bambang Yudhoyono atau SBY (Anggraeni,2013:12).
Pada masa kepemimpinan SBY atau era reformasi, Indonesia harus dapat
mengupayakan reformasi dari sistem otokrasi ke sistem demokrasi. Kemudian
Indonesia juga melakukan perubahan akibat dampak dari krisis moneter pada
Orde Baru, tuntutan otonomi dan adanya gerakan separatisme yang dapat
mengancam kesatuan NKRI (Mashad, 2008). Fokus politik luar negeri Indonesia
pada era SBY yaitu penerapan demokrasi domestik dengan slogan politik luar
negerinya “thousand friends, zero enemy”. Slogan SBY tersebut dengan tujuan
Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya mencari teman sebanyak-
banyaknya dan meminimalisir musuh. Dengan thousand friends, zero enemy
tentunya sangat berpengaruh terhadap politik luar negeri yang pada akhirnya
membuka peluang kerjasama dan diplomasi Indonesia di dunia internasional.
Indonesia telah mengadakan hubungan bilateral dengan beberapa negara, baik
negara yang dunia ketiga, maupun negara yang tergabung dalam blok Barat dan
blok Timur. Tidak hanya dalam hubungan bilateral saja, Indonesia juga aktif
dalam hubungan diplomasi multilateral dan regional. Indonesia dalam
kepemimpinan SBY melakukan perjanjian free-market bersama Jepang, India dan
Tiongkok dalam ASEAN. Selain itu, Indonesia dengan Malaysia turut
berpartisipasi sebagai pelopor East Asian Summit, yakni forum negara-negara
Asia dan negara lainnya seperti Rusia, Amerika Serikat, Australia dan Selandia
Baru (Bandoro, 2008). Era SBY selain fokus terhadap demokrasi domestik juga
meningkatkan perekonomian negara dan aktif dalam dunia internasional. Dengan
memanfaatkan forum-forum internasional sebagai upaya meningkatkan investasi
ekonomi seperti pertemuan APEC (Anggraeni,2013:12).
Politik luar negeri Indonesia pada era reformasi tidak lagi berbicara
tentang bagaimana Indonesia dapat mendayung diantara dua karang lagi, akan
tetapi bagaimana Indonesia dapat menjelajahi samudera luas dengan menerapkan
‘all direction foreign policy’. Tujuan dari kebijakan tersebut ialah menjalankan
kebijakan luar negeri ke semua arah atau semua negara (Mashad, 2008). Indonesia
sebagai kekuatan regional dalam menjalankan politik luar negerinya dan menjaga
kepentingan nasionalnya, harus bisa seimbang diantara dinamika politik
internasional yang rumit dan berpihak. Politik luar negeri Indonesia pada era SBY
juga muncul konsep TRUST (unity, harmony, security, leadership, prosperity),
yakni upaya untuk membangun kembali kepercayaan Indonesia terhadap dunia
internasional (Bandoro, 2008:22).
SBY sebagai presiden pertama yang dipilih melalui pemilu tersebut
mempunyai dampak tersendiri terhadap struktur pemerintahan Indonesia. Menurut
Mashad (2008) jika stuktur pemerintah Indonesia sebelumnya bersifat eksekutif-
sentris, maka sekarang badan pemerintah lainnya seperti legislatif dapat berperan
dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Dengan begitu, kerjasama trans-
organizational atau kerjasama beberapa lembaga negara menjadi perubahan baru
bagi kebijakan luar negeri Indonesia sendiri. Diterapkannya kebijakan tersebut
juga memberikan masalah baru, yakni adanya overlapping dari lembaga-lembaga
yang memiliki peran sama. Akan tetapi, efek overlapping tersebut tidak
berpengaruh besar dalam jalannyya politik luar negeri Indonesia, karena SBY
sendiri juga mengontrol dalam pradigma jalannya kebijakan luar negeri Indonesia
(Mashad, 2008 :302).
Isu politik luar negeri yang menonjol pada era SBY yakni adanya isu
mengenai lingkungan seperti pemanasan global, HAM, adanya ancaman integritas
bangsa dan terorisme. Selain itu terdapat isu lainnya seperti krisis keuangan global
pada tahun 2008/2009, isu nuklir Iran, dan penghentian embargo senjata oleh
Amerika Serikat. Indonesia dibawah pimpinan SBY turut memberatas aksi
terorisme dan perdamian di negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Upaya yang
dilakukan SBY pada saat itu yakni dengan membantu mengirim pasukan
perdamaian di bawah kendali Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Bandoro,
2008). Isu akan mengancam integritas politik luar negeri Indonesia adalah pada
tahun 2007, Dewan Keamanan PBB melepaskan Resolusi 1747 yang merupakan
sanksi untuk Iran karena telah mengembangkan nuklir secara diam-diam. Anggota
Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi tersebut, termasuk Indonesia sendiri.
Hal tersebut sangat disayangkan karena seharusnya Indonesia dapat mengakses
teknologi nuklir yang telah dirakit Iran. Disisi lain Indonesia pada tahun 2007
tersebut juga mempunyai rencana untuk mengembangkan nuklir Isu lainnya
adalah perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura tahun 2007 yang
merugikan karena dianggap melewati kedaulatan Indonesia (Mashad, 2008).
Pembaharuan politik luar negeri Indonesia di era SBY yang membedakan
dari era-era sebelumnya yaitu, pertama mulai terbentuknya kemitraan-kemitraan
strategis bekerjasama dengan negara-negara lain seperti Jepang, Tiongkok, India,
dll. Kedua adala Indonesia juga mulai membuka pintu untuk beradaptasi dengan
perubahan-perubahan yang terjadi seperti domestik. Terakhir adalah Indonesia
melakukan hubungan kerjasama dan diplomatik dengan negara-negara yang
membantu dan menguntungkan Indonesia. Menurut Bandoro (2006) tujuan utama
politik luar negeri RI era SBY adalah meyakinkan negara-negara untuk
memahami posisi Indonesia di hubungan internasional, memahami Indonsia
dalam menjalankan politik luar negerinya dan mengerti bagaimana Indonesia
kedepannya dalam menjalankan politik luar negerinya (Anggraeni,2013:15).
Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan politik Indonesia
dari masa ke masa akan terus mengalami perkembangan seiring dengan
pergantian pemimpin dan isu-isu yang terjadi. Berbeda dari era orde lama dan
orde baru, pada era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono politik luar negeri Indonesia menerapkan thousand friends, zero
enemy. Slogan ala SBY tersebut bermaksudkan bahwa Indonesia mulai membuka
diri terhadap dunia internasional dengan melakukan hubungan kerjasama dan
diplomatik dengan beberapa negara. Hal ini ditujukan untuk memperbaiki citra
Indonesia di kancah internasional dengan mencari sebanyak-banyaknya teman dan
meminimalisir musuh. Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan negara-
negara luar yang dianggap dapat membantu dan menguntungkan Indonesia.
Kebijakan yang diterapkan SBY mengalami beberapa pembaharuan seperti
melibatkan beberapa lembaga untuk berpartisipasi dalam mengambil kebijakan,
aktif dalam forum-forum internasional untuk menarik investor asing guna
meningkatkan perekonomian Indonesia dan terbentuknya kemitraan strategis.
Penulis beropini politik luar negeri di era SBY membawa Indonesia menjadi lebih
baik, karena sudah seharusnya Indonesia tidak terus menutup diri terhadap dunia
internasional dan perubahan (Anggraeni,2013:19).
Dengan kemenangan pada pemilu 2004, membawa Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla memangku jabatan presiden dan wakil presiden.
Kabinet ini meletakkan landasan operasional politik luar negerinya dalam tiga
program utama nasional kebijakan luar negeri, yang termuat dalam rencana
pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:
1. pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi indonesia dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
tujuan pokok dari upaya tersebut adalah meningkatkan kapasitas dan
kinerja politik luar negeri dan diplomasi dalam memberikan kontribusi
bagi proses demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional.
langkah ini sejalan dengan pidato bung hatta pada 15 desember 1945, yang
menyatakan bahwa “politik luar negeri yang dijalankan oleh negara
mestilah sejalan dengan politik dalam negeri”. seluruh rakyat harus berdiri
dengan tegak dan rapat dibelakang pemerintah republik indonesia.
sebagaimana lebih lanjut disampaikan oleh hatta, bahwa “persatuan yang
sekuat-kuatnya harus ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang
sebaik-baiknya dalam diplomasi yang dijalankan”.
2. peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara
optimal berbagai peluang dalam diplomasi dan kerja sama internasional,
terutama kerjasama ASEAN dalamn penyelenggaraan hubungan luar
negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan aktualisasi dari
pendekatan ASEAN sebagai concentric circle utama politik luar negeri
indonesia.
3. penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka
membengun dan mengembangkan semangat multilateralisme yang
dilandasi dengan penghormatan terhadap hukum internasional dipandang
sebagai cara yang lebih dapat diterima oleh subjek hukum internasional
dalam mengatasi masalah keamanan internasional. komitmen terhadap
perdamaian internasional relevan dengan tujuan hidup bernegara dan
berbangsa, sebagaimana dituangkan dalam alinea IV pembukaan undang-
undang dasar 1945 (Anggraeni,2013:19).
Hal yang cukup mengejutkan mengenai politik luar negeri Indonesia adalah
digalakkannya politik luar negeri dari “Bebas-Aktif yang menuju Dinamis-
Proaktif”. Dalam pidato bersejarah, “Mendayung di Antara Dua Karang”, Bung
Hatta mengatakan: “...mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara kita hanya harus memilih antara pro-Rusia atau
pro-Amerika?”. Beliau kemudian menggariskan bahwa Indonesia tidak boleh
sekadar menjadi objek dalam percaturan internasional. Indonesia harus menjadi
subjek yang dapat menentukan kebijakannya sendiri (Anggraeni,2013:19).
Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif tidak berarti
menjadikan Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia
berjuang sebagai pelopor membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam
penjajahan dan aktif mendorong mewujudkan tata dunia baru yang menjunjung
tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Presiden Yudhoyono menyatakan
bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki kebijakan luar negeri baru sesuai
dengan perubahan dunia saat ini. Indonesia harus menegakkan harga dirinya dan
tidak mengedepankan sikap emosional dalam menghadapi masalah internasional.
Melihat realitas yang ada, dalam bersikap kita juga harus dapat memadukan
aturan, nilai hubungan internasional, kondisi pasar dunia, demokrasi, dan
rasionalitas (Anggraeni,2013:20).
Karena itu, strategi polugri mendatang harus akomodatif agar mampu
menghadapi berbagai perubahan dunia kontemporer. Indonesia harus dapat
menentukan skala prioritas, apakah fokus pada masalah multilateral, regional,
ataukah bilateral. Selain itu, harus berani berpihak pada masalah-masalah yang tak
kenal batas negara, seperti hak asasi manusia, lingkungan, gender, dan
kemiskinan. Indonesia juga dituntut untuk menyelaraskan kemampuan dan
kapasitasnya sendiri dan mendefinisikan kepentingan nasionalnya dengan jelas.
Paralel dengan itu, Indonesia tampaknya perlu prioritas kepada masalah regional
dan bilateral yang secara langsung berdampak pada kepentingan nasional dan
mampu meningkatkan bargaining position Indonesia di dunia.
Sekarang ini, berdasarkan pandangan Menlu Marty Natalagawa,
pemerintahan Indonesia saat ini tampak tegas dalam menjalankan politik luar
negerinya karena Indonesia bisa dengan tegas mengambil keputusannya sendiri
dengan tidak ingin ikut-ikutan membentuk atau bergabung dalam aliansi tertentu
sehingga Indonesia tidak memiliki musuh dalam konteks hubungan internasional.
Selain itu pula, katanya, Indonesia juga tidak pernah menganggap negara mana
pun sebagai ancaman sehingga semua negara sebetulnya mempunyai tataran yang
sama dan setara (Anggraeni,2013:20).
Posisi Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif
menjadikan Indonesia bisa memainkan peranannya dalam kancah dunia
internasional, khususnya dalam menciptakan perdamaian dunia. Demikian juga
untuk pelaksanaan politik di dalam negeri, pemerintah tetap menganut asas
demokratis dalam upaya untuk menunjang politik luar negeri yang bebas aktif.
Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjalankan
prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif. Tetapi, Indonesia perlu
membangun sebuah jangkar yang lebih kuat untuk peran regional dan globalnya
dimasa depan memang diperlukan, tetapi tidak cukup jika kita ingin mendapatkan
perspektif yang lebih baik mengenai bagaimana politik luar negeri Indonesia
dapat menjadi jangkar untuk membantu Indonesia dalam menghadapi tantangan
yang lebih berat di tahun-tahun berikutnya yang jelas keputusan luar negeri
Indonesia dibuat dan dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik dan internasional.
Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di
antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah
‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal
tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani
pihak-pihak yang sedang bermasalah (Anggraeni,2013:21).
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat
pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau gagasan SBY untuk
mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim
(gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
1. terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain
(Jepang, China, India, dll).
2. terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan
domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
3. ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalim
hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan
pihak Indonesia.
4. TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional.
Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.

Menjadikan TRUST sebagai sasaran berarti politik luar negeri Indonesia itu
tegas, efektif, konsisten, tetapi fleksibel dan adaptif. Oleh sebab itu, Indonesia,
dalam menjalankan politik luar negerinya membutuhkan kepercayaan dari publik
domestik dan masyarakat internasional. Jangkar yang lebih kuat terhadap politik
luar negeri Indonesia dapat membangun kepercayaan yang membawanya kepada
kemitraan yang ekstensif. Keputusan politik luar negeri harus dibuat berdasarkan
prioritas dan berdasarkan perkiraan mengenai apa yang dapat diberikan oleh mitra
Indonesia untuk pembangunan Indonesia. Disinilah pentingnya sebuah kemitraan.
Karena tantangan politik luar negeri Indonesia yang akan semakin keras di masa
depan, maka politik luar negeri Indonesia harus dirancang sedemikian rupa
sehingga ia merefleksikan kebutuhan-kebutuhan Indonesia sekarang maupun di
masa depan (Taufik & Lapian,2012:302).
Bagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri, TRUST sesungguhnya
adalah bagian penting dari kepentingan nasional yang mencakup ruang domestik
dan internasional. Karenanya, pemerintah Indonesia akan tetap memilih
pendekatan diplomasi multilateral dalam pelaksanaan politik luar negeri dan
kerjasama internasional pada 2010 dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik & Lapian, A.B. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta:
PT. Ictiar Baru Van Hoeve.

Poesponegoro, M.D & Notosusanto, N. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid


VI. Jakarta: Balai Pustaka

Wuryandari, G. D. M. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Pusaran


Politik Domestik. Jakarta: Pusat Penerbitan Politik-LIPI.

Badan Penelitian dan pengembangan Departemen Luar Negeri RI. 1987. Politik
Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.

Cipto, B. 2007. Hubungan Internasional Di Asia Tenggara : Teropong Terhadap


Dinamika. Realitas, Dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soesastro, H. (2016). ASEAN during the crisis. ASEAN Economic Bulletin, Vol.
15, No. 3, hal 373-381.

Suryadinata, L. 1998. Politik Luar Negeri di Bawah Soeharto.Jakarta: PT Pustaka


LP3ES.

Indonesian Foreign Policy under President Susilo Bambang Yudhoyono, the


Indonesian Quarterly, Vol. 34, No. 1, Fourth Quarter, Jakarta:
CSISWidhiasih,

Anggraeni. [online]. 2013. Politik Luar Negeri RI Era Reformasi, tersedia di


http://sejarah.kompasiana.com.

Djelantik, S. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Lesmana, T. 2009. Dari Soekarno sampai SBY-Intrik & Lobi Penguasa. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
Mashad, D. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi. Jakarta: P2P
LIPI dan Pustaka Pelajar,

Soerapto, R. 1997. Hubungan Internasional : Sistem, Interaksi dan Perilaku.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

A.A, Perwita., dan Y. M., Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.

T. May Rudi. 1993. Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional.Bandung: Bina


Budaya.
Mochtar, Mas’oed. 1973. Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin danMetodologi.
Jakarta LP3ES.

Holsti, K.J. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Terjemahan Wawan

Juanda. 1987. Bandung:Bina Cipta.

Columbus, Theodore Dan James H. Wolfe. 1986. Introduction To International

Relation: Power And Justice. Bandung: Bina Cipta.

Anda mungkin juga menyukai