Anda di halaman 1dari 21

FENOMENOLOGI AGAMA

Studi tentang agama mulai marak pada abad ke-18 ketika Max Muller menekankan tentang studi
agama yang deskriptif, pengetahuan yang objektif yang terbebas dari jerat normativitas teologi
dan filsafat. Studi ini pertama kali dikenal dikenal dalam bahasa Jerman dengan sebutan
religionswissenschaft yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris dengan menggunakan
kata history of religion.[1]

Dalam perkembangannya, studi agama mengalami akulturasi dengan pendekatan-pendekatan


lain baik yang bersifat sosial maupun filsafat. Pendekatan-pendekatan tersebut digunakan untuk
melihat agama secara lebih jauh dan mendalam.

Pendekatan antropologi-sosial agama lebih banyak membahas tentang upacara dan tindakan
masyarakat yang kemudian menjadi tradisi keagamaan secara menyeluruh. Adapun psikologi
agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari agama, yaitu penyelidikan mengenai peran
religius dari budi. Sedangkan filsafat agama adalah refleksi filosofis mengenai agama dengan
menggunakan metode filsafat secara sistematis.

Adapun pendekatan yang sangat digemari oleh para pemuka agama sekarang adalah teologi
agama, yaitu studi tentang agama yang dilakukan dengan diskusi antar agama sehingga diperoleh
pengetahuan universal tentang agama.

Selain itu, ada pendekatan lain yang digunakan dalam studi agama, yaitu fenomenologi agama.
Pendekatan ini lebih mengarah pada refleksi seseorang atau sekelompok orang dalam memahami
agamanya. Refleksi ini terwujud dalam praktek keagamaan yang dilakukan setiap harinya.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang fenomenologi agama yang membahas tentang gejala-
gejala keagamaan masyarakat atau komunitas tertentu yang kemudian menjadi praktek
keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun.

Pengertian dan Tokoh Fenomenologi Agama

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu phainomenon yang berarti gejala, dan logos
yang berarti refleksi atau ilmu. Fenomenologi bisa dimaknai ilmu tentang gejala. Secara istilah
fenomenologi adalah studi tentang cara-cara sebuah gejala mewujudkan dirinya sendiri.[2]

Adapun fenomenologi agama adalah studi tentang pendekatan agama dengan cara
membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam
agama.[3] Fenomenologi agama juga berarti ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala dalam
agama agar bisa dipahami arti agama tersebut menurut penganutnya.[4] Dalam pengertian ini,
fenomenologi agama adalah studi yang mempelajari praktek keagamaan yang dilakukan oleh
umat beragama agar bisa diketahui arti agama menurut penganut agama tersebut.

Penerapan fenomenologi agama dimulai sejak Chantepie de la Saussaye (1848-1920)


menerapkan metode tersebut sebagai disiplin ilmu dalam studi agama. Penggunaan metode ini
digunakan sebagai perantara antara sejarah dan filsafat untuk mengumpulkan dan
mengelompokkan berbagai macam fenomena keagamaan. Sejarawan Itali Raffael Pettazoni
(1883-1959) ikut merumuskan metodologi dalam studi agama dalam dua cara, yaitu sejarah dan
fenomenologi. Sejarah mengungkapkan tentang apa yang terjadi dan apa yang ada dibalik sebuah
fakta, sedangkan fenomenologi mengungkapkan makna dibalik peristiwa atau apa yang terjadi
dalam praktek keagamaan tersebut.[5]
Selain dua tokoh diatas, ada beberapa tokoh lain yang ikut meramaikan fenomenologi agama,
antara lain:

W. Brede Kristensen (1867-1953)

Kristensen adalah seorang spesialis dalam bidang Mesir dan agama-agama kuno yang
menggunakan metode fenomenologi dalam penelitiannya. Menurutnya, fenomenologi adalah
sebuah pendekatan yang sistematis dan komparatif yang dijelaskan secara deskriptif serta tidak
bersifat normatif.[6]

Kristensen berpendapat bahwa seorang fenomenologis harus menerima keimanan penganut


agama sebagai suatu realitas keagamaan. Oleh karena itu, fenomenologis harus
mengesampingkan pemikiran pribadinya ketika berhadapan dengan umat beragama dan
beranggapan bahwa umat tersebut adalah orang yang benar. Dengan begitu fenomenologis bisa
memahami apa makna yang terkandung dalam praktek keagamaan yang sedang ditelitinya.[7]

Gerrardus Van Der Leeuw (1890-1950)

Beliau adalah seorang tokoh fenomenologi agama yang sangat terkenal. Banyak karya tentang
fenomenologi agama saat ini yang merupakan pengembangan dari hasil pemikirannya. Menurut
Eric J. Sharpe, pada tahun 1925 sampai tahun 1950, studi fenomenologi agama banyak dikaitkan
dengan nama Van Der Leeuw. Dalam bukunya “Phanomenologie der Religion” ia menjelaskan
tentang konsep pemahaman (Varstehen) yang dipengaruhi oleh pemikiran tokoh hermeneutika
Jerman Wilhem Dilthey.[8]

Van der Leeuw menjelaskan fenomena sebagai sesuatu yang hadir, adanya hubungan timbal-
balik antara subjek dan objek yang mana esensi dari hubungan tersebut mengungkapkan gejala
pada seseorang. Menurutnya fenomenologi harus digabungkan dengan penelitian sejarah agar
didapatkan pemahaman yang tepat dan memberikan data yang dibutuhkan kepada
fenomenologis. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa fenomenologi menjelaskan bagaimana
seorang manusia memperlakukan dirinya sendiri dalam hubungannya dengan kekuasaan.[9]

Friedrich Heiler (1892-1967)

Beliau adalah peneliti dalam bidang ibadah, kepribadian beragama, paham kegerejaan dan
kesatuan seluruh agama. Menurut Heiler fenomenologi bekerja dari luar menuju inti dari agama.
Walaupun banyak pendekatan yang bisa dipakai, sikap apriori harus dihindari oleh seorang
fenomenologis dan hanya menggunakan pendekatan yang sesuai dan metode induksi. Seorang
fenomenologis harus melatih rasa hormat, toleransi dan pemahaman yang simpatik terhadap
semua praktek keagamaan dan kebenaran agama yang terlihat dalam data penelitian.[10]

Dari beberapa tokoh di atas, dapat diketahui bahwa fenomenologi agama lebih cenderung pada
penelitian tentang praktek keagamaan dengan tujuan untuk mengetahui rahasia dibalik praktek
tersebut dan mengetahui apa makna agama dari sudut pandang penganutnya. Metode ini bisa
dilakukan dalam beberapa pendekatan, bisa menggunakan pendekatan komparasi dan sistematik,
pendekatan empirik, pendekatan sejarah, maupun pendekatan deskriptif.

Metodologi Fenomenologi dalam Penelitian Agama

Penelitian agama tidak cukup hanya bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya
menggunakan model ilmu-ilmu sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama
sekali tidak memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus
dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.[11]
Berangkat dari permasalahan tersebut, pendekatan-pendekatan[12] metodologis dalam studi
agama secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual agama. Dalam
perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang diadopsi atau berdasarkan
disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah, filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi
termasuk juga fenomenologi yang akan kita bahas.

Fenomenologi agama bisa diartikan sebagai studi agama yang membandingkan berbagai
fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh prinsip universal. Dalam upaya itu,
prinsip kerja fenomenologi Huserl khususnya epokhe[13] eiditis[14] dipergunakan. Ia juga bisa
dipahami sebagai pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan
data agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar hubungan tersebut
tanpa harus mengadakan komparasi tipologis antar berbagai gejala agama[15].

Dari sisi metodologi, Fenomenologi agama bisa dijadikan sebuah metode pendekatan dalam
studi agama dengan mengabaikan historisitas suatu agama[16], tetapi yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana agama menampakkan diri sehingga hakikat dari agama itu bisa dipahami.

Dengan metode fenomenologi dicoba ditemukan struktur dasar agama yang meliputi isi
fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari.
Fenomenologi agama tidak hanya sekedar mendeskripsikan fenomena yang ditelaah, tidak juga
hanya menggali hakikat filosofis fenomena, lebih dari itu suatu fenomena agama diartikan lebih
mendalam sebagaimana yang dihayati manusia beragama, dalam upaya menghindari bias
subjektif dan ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan kenyataan agama sebagai suatu yang
dialami dan dihayati.[17]
Oleh karena itu, dalam pengoprasian fenomenologi agama, Van Der Leeuw dalam bukunya
“Religion in Essence And Manifestation; A Study in Phenomenology of Religion” menawarkan
setidaknya tujuh langkah dalam fenomenologi sebagai pendekatan studi agama[18] :

Klasifikasi, yaitu memeta-metakan fenomena agama sesuai kategori. Misalnya kurban,


sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, teks-teks suci, festival dan mitos. Pengklasifikasian
ini diharapkan mampu menggali nilai dari fenomena-fenomena yang ada.

Mengikutsertakan gejala itu ke dalam kehidupan kita, dalam artian peneliti harus membaur
dengan fenomena tersebut, karena yang muncul itu selalu merupakan sebuah tanda dengan arti
yang pasti, dan yang harus diinterpretasi. Interpretasi itu hanya dapat dilakukan kalau gejala itu
dialami dengan sengaja, sadar dan dengan metode.

Epoche[19], yaitu pengurungan (bracketing) sementara semua pertimbangan nilai normatif.


Selama penelitiannya, fenomenolog agama harus menahan diri dari memberikan penilaian,
karena penilaian yang belum waktunya akan menghalang-halangi pengetahuan tentang esensi,
sebuah konsep yang diambil dari filsafat Hegel.

Mencari esensi gejala dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur. Upaya ini untuk memperoleh
pemahaman holistik tentang berbagai aspek terdalam suatu agama dari informasi yang didapat.

Das verstehen, yaitu bisa mengerti dan memahami keaslian gejala-gejala agama.

Fenomenologi tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan lain.
Dimaksudkan bisa mengadakan koreksi terhadap hasil penelitiannya dengan bantuan filologi dan
ilmu purbakala.

Memberikan kesaksian hasil peneliannya[20].

Kerja fenomenologi agama sendiri dimulai dengan melakukan pengamatan sosial, kemudian
data-data sosiologis itu digabungkannya dengan ide-ide keagamaan. Dengan begitu
fenomenologi agama hendak mememukan logika intern dari agama sebagai fenomena universal
di dunia ini. Atau dengan kata lain fenomenologi agama berusaha mencari hakikat atau essensi
dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di
muka bumi.

Ada perbedaan antara pendekatan fenomenologis dengan pendekatan historis. Pendekatan


historis menekankan pada apa yang sebenarnya terjadi, sedangkan pendekatan fenomenologis
menekankan pada apa yang dianggap subyek telah terjadi, meskipun bukti empirisnya tidak
ditemukan.

Misalnya, beberapa cerita maulid yang ditulis kaum Muslim mengatakan bahwa ketika Nabi
Muhammad saw lahir, dia sudah dalam keadaan dikhitan dan bercelak mata, dan waktu
kelahirannya itu dihadiri oleh Maryam (ibu ‘Isa) dan Asiah (isteri Fir’aun) serta para bidadari.
Pendekatan historis akan cenderung menolak riwayat semacam ini karena sulit dibuktikan, tetapi
pendekatan fenomenologis menerimanya sebagai suatu fenomena keagamaan kaum Muslim
yang menunjukkan pengagungan mereka terhadap Nabi.

Selain itu, pendekatan historis lebih menekankan hubungan sebab akibat dalam kerangka
kesinambungan dan perubahan, sedangkan pendekatan fenomenologis lebih melihat pada
kesamaan struktur di antara fenomena keagamaan tanpa harus melihat hubungan
keterpengaruhan. Maka, argumen dasar fenomenolog adalah bahwa pengalaman keagamaan[21]
bersifat universal, dan keserupaan antar fenomena keagamaan tidak harus diartikan yang satu
terpengaruh yang lain[22].

Pendekatan fenomenologis nampaknya menjadi “jalan tengah” antara pendekatan positisivistik


dan pendekatan teologis yang bersifat dogmatis. Ia juga merupakan upaya mencari jalan keluar
agar tidak terperangkap dalam kesalahan para orientalis terdahulu yang seringkali dipengaruhi
oleh pandangan keagamaan mereka (Kristen/Yahudi) atau oleh kepentingan politik kolonial.
Dengan melihat fenomena sebagaimana adanya, yakni bagaimana fenomena itu menampakkan
dirinya sendiri kepada si peniliti, maka diharapkan tidak akan ada lagi penilaian a priori yang
seringkali salah kaprah.

Fenomenologi yang diperkenalkan oleh E. Husserl memang punya perhatian khusus pada
kesadaran manusia, dan dalam kajian agama, kesadaran merupakan fokus dari pengalaman
keagamaan. Mungkin karena inilah maka dalam kajian keislaman, pendekatan fenomenologis
banyak dikembangkan oleh para sarjana yang mendalami tasawuf[23]. Seorang orientalis asal
Perancis bernama Henry Corbin (1903-1978) merupakan tokoh yang mula-mula menggunakan
pendekatan fenomenologis dalam kajian Islam, ia menulis tentang Ibn al-‘Arabi.

Corbin kemudian melanjutkan bahwa tujuan dari studi tentang Ibn al-‘Arabi bukanlah untuk
membentangkan sejarah pemikiran dengan cara melacak asal usul dan mendaftar pengaruh-
pengaruh, karena pendekatan semacam itu akan mengerdilkan tokoh yang tengah dikaji. Tokoh-
tokoh semisal Ibn al-‘Arabi, Suhrawardi, Mulla Sadra dan sebagainya, kata Corbin, mengatakan
bahwa ide tertentu yang mereka tulis tidak akan ditemukan di manapun, karena ia adalah temuan
mereka sendiri melalui pengalaman pribadi (it is their discovery of their personal experience).

Respon Tokoh Muslim Terhadap Fenomenologi

Tak banyak yang bisa dicatat dari peneliti kajian keagamaan dari kalangan muslim. Barangkali
yang memadai untuk disebutkan di sini adalah Joachim Wach, Charles J. Adam dengan karyanya
Islamic Religious Tradition (1976) dan Sayyid Hossein Nasr yang mengarang sebuah buku di
bidang fenomenologi yang berjudul Knowledge and The Sacred (1988), Suhrawardi dengan
Filsafat Iluminasi dan Fenomenologinya, dan Juga Hasan Hanafi dengan Turast wa Tajdid-nya.
Sedikit mengkomparasikan dua pandangan. Filsafat Iluminasi (Hikmatul Isyraq) dan
fenomenologi (al-Falsafah al-Wujudiyyah) ternyata meletakan problematika yang sama, yaitu
pada batasan manakah kemungkinan kompromisasi atau akumulasi, antara paradigma persepsi
(manhaj an-nadzar) dan paradigma instuisi (manhaj adz-dzauq) dalam pandangan Suhrawardi;
atau orientasi rasional dan orientasi empiris menurut pandangan Husserl? Demikian itu untuk
membangun paradigma yang satu, yaitu paradigma iluminatif/kesadaran yang
mengakumulasikan persepsi dan instuisi, sebagaimana yang terjadi dalam filsafat iluminasi, atau
antara rasio dan realitas dalam pengalaman empiris yang dinamis, sebagaimana terjadi dalam
paradigma fenomenologi. Suhrowardi mencoba mendamaikan perdebatan dua paradigma,
rasional[24] dan hati[25], yang mencoba memperebutkan peradaban islam. Sedangkan Husserl
mendamaikan antara orientasi rasional dan orientasi empiris yang berkembang di Eropa pada
saat itu[26].

Fenomenologi muncul sebagai solusi kreatif yang menjawab atas krisis rasio dan realitas materiil
yang terjadi pada abad 19 dan 20. Abad yang merintis ide-ide pengalaman paradigma ilmu-ilmu
alam menuju paradigma ilmu-ilmu humaniora yang menekankan pada pengalaman humanism.
Namun pengalaman humanisme ini lebih mendekati pada pengalaman empirik sufisme daripada
pengalaman empirik ilmiah. Oleh karenanya, rasio berfungsi sebagai analisis bagi pengalaman
kesadaran, sedangkan realitas berfungsi sebagai realisme yang hidup dinamis dalam kesadaran.

Biasanya sebuah komparasi tidaklah menunjukan hubungan sejarah apapun di antara dua filsuf.
Husserl secara absolut tidak membaca tradisi klasik Islam, ia tenggelam dalam problematika
Kantian dalam bentuk khusus dan filsafat Eropa dalam bentuk umum, bahkan ia dianggap
sebagai salah satu teoritikus kesadaran Eropa dan memposisikannya dihadapan peradaban timur
klasik yang mitis, praksis, dan religius[27]. Husserl menganggap peradaban timur hanya meliputi
Cina dan India, ia mengabaikan Persia maupun peradaban Islam.
Dalam pengkajian Islam, fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari
interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali
munculnya fenomena interpretatif–antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun- sebagai
konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya;
kedua, merujuk sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan
lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian. Dalam istilah Hassan
Hanafi[28], langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât. Karena bagaimanapun, tradisi adalah
sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi
tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada
tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran
tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau
sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin
keilmuan Islam. Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya,
karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.

Dalam tataran aplikatif, disiplin keilmuan Islam yang berdimensi teosentris diarahkan menuju
antroposentrisme pemaknaan. Ia dicari akar “kesadarannya” melalui perbandingan dengan aspek
kemanusiaan. Misalnya saja, pembahasan tentang entitas (dzât), atribut (al-Shifât) serta
perbuatan (af’âl) diarahkan menuju pemaknaan manusia sempurna (al-Insân al-Kâmil). Oleh
karena itu, dalam buku Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Hassan memfokuskan pada pembahasan;
dzât al-Insân, shifât al-Insân, fi’l al-Insân, ‘aql al-Insân, dan seterusnya; serta pada pemaknaan
manusia sempurna (al-insân al-kâmil).

Dalam filsafat, mantiq ditransformasikan menjadi logika kesadaran (al-Mantiq al-Syu’ûrî)


berdasar premis. Dalam filsafat ada tiga wacana yang menggema; logika (al-Mantiq), ketuhanan
(al-Ilâhiyyât), alam (al-Thabî’iyyat). Sedang naturalisme – dalam perspektif sarjana klasik –
adalah naturalisme rasional, dan sekarang bermetamorfosa menjadi naturalisme matematis.
Adapun ketuhanan harus dipahami secara integral dengan alam, guna melekatkan kesadaran
integralitas alam dengan Tuhan dalam benak manusia. Sehingga akan muncul wacana,
melestarikan alam atas nama Tuhan.

Jika pada kalam dan filsafat, “nash” menghasilkan makna dan teori serta konseptualisasi
universal, maka dalam disiplin ushul fiqh, “nash” ditelorkan menjadi metode-rasional-realistis
(Manhaj ‘Aqliy Wâqi’î). Problem yang mencuat dalam rekonstruksi Ushul adalah pada
bagaimana mentransformasikan ushul fiqh yang istidlâlî-istinbâthî-mantiqî menuju falsafî-insânî-
sulûkî. Atau transformasi kesadaran teoritis (al-Wa’y al-Nadzarî) menuju kesadaran praksis (al-
Wa’y al-‘Amalî). Hal ini akan menjadikan pelaksanaan tendensi wahyu tertransformasikan
menuju hamba; tindakan Tuhan akan terwujud dalam tindakan manusia. Sejalan dengan hal ini,
maka Ushul Fiqh merupakan ilmu tanzîl: ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan-
ketentuan yuridis yang berorientasi pada Allah (teosentris), menuju manusia (antroposentris).

Dalam kacamata fenomenologi, realitas tersebut terejawantahkan dalam dimensi kemanusiaan


(antroposentris). Jika semua disiplin keilmuan berpusat pada wahyu, serta diunifikasi ke arah
antroposentrisme pemaknaan maka akan menjadi ideologi dalam “kesadaran”[29] manusia
sendiri. Sadar bahwa yang sedang dihadapi sekarang adalah kemunduran peradaban; kesadaran
sebagai sebuah ideologi yang berelasi secara langsung dengan realitas. Karena “kesadaran
individual” itu akan menjelma menjadi “kesadaran sosial” (min al-Wa’y al-Fardî ila wa’y al-
Ijtimâ’i). Dan dari dunia “kesadaran” akan menjelma menjadi “dunia realitas”[30]. Contoh
realitas yang sedang dihadapi sekarang adalah problematika tanah Palestina, krisis demokrasi
dalam setiap Negara karena dominasi penguasa, keadilan sosial, serta problem persatuan umat,
dan seterusnya.

Kritik Terhadap Metode Fenomenologi


Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk
memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi[31]. Dalam hal ini
beberapa kritik terhadap fenomenologi agama diantaranya:

Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur
tangan peneliti, bagaimana mungkin seorang fenomenolog tidak memiliki kepentingan-
kepentingan tertentu dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Maka kurang tepat jika
fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.

Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi


sejarah. Seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta fenomena
bagi praktisi agama. Padahal dalam prakteknya fenomenologi agama seringkali tidak mampu
mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.

Peneliti kesulitan dalam menentukan sisi yang benar dan dapat diterima, terlebih ketika
menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah objektif. Term
“objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif.

Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk
berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.

Dengan beberapa kritik di atas dapat diketahui bahwa metode ini juga mempunyai kelemahan
yang cukup signifikan sehingga dalam penerapannya harus dilakukan dengan teliti dan objektif
sehingga tidak ada pihak yang merasa diuntungkan ataupun dirugikan.

Aplikasi Fenomenologi dalam Studi Agama

Fenomenologi agama merupakan kajian langsung terhadap praktek keagamaan yang dilakukan
dalam sebuah agama. Dalam pembahasan ini akan diterangkan tentang penggunaan metode
fenomenologi dalam menjelaskan fenomena kurban menurut dari berbagai agama dan
kepercayaan.

Upacara Kurban Secara Umum

Siapa yang tidak kenal dengan salah satu ibadah kurban pada Idul Adha di dalam Islam, disetiap
tahunnya umat Muslim dunia merayakannya, pun tak hanya bagi Muslim ibadah satu ini telah
menjadi satu ibadah yang universal yang dimana beberapa agama mengenal dan merayakannya,
tentunya dengan niat dan cara yang berbeda.

Paradigma manusia religius terhadap kehidupan di alam semesta dalam kesatuan sosial maupun
sebagai individu tidaklah dapat berlangsung kalau tidak dipelihara dan dirangsang dengan ritus-
ritus yang menjamin kesesuaian dengan kekuatan-kekuatan kosmis atau ilahi. Mereka
menyucikan situasi-situasi kritis dan marginal dalam hidup individu dan kolektif. Ya, salah satu
dari ritus itu adalah upacara kurban yang mempunyai tempat dalam peribadatan, karena
dengannya manusia religius mengadakan persembahan diri kepada dewa atau Tuhan lewat suatu
pemberian.

Upacara kurban dapat digambarkan sebagai persembahan ritual berupa makanan atau minuman
atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara kurban merupakan
ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal karena mencakup pertukaran
barang dan jasa pada taraf religius. Upacara kurban secara ritual adalah benar-benar suatu bentuk
pertukaran antara manusia dan makhluk adikodrati.[32] Upacara kurban sebagai suatu
komunikasi nonverbal antara manusia dan makhluk adikodrati, meliputi persembahan dan
persekutuan.

Upacara Kurban di antara Penduduk Primitif


Berbicara dunia modern dan primitif begitu relatif, dapat dimungkinkan masa sekarang akan
menjadi primitif di seratus tahun mendatang, dan menyangkut upacara kurban dalam masyarakat
primitif[33] di dunia.

Dari segi ritual maupun fungsi yang kemungkinan antara suku yang satu dengan suku yang lain
berbeda cara dan niat dalam mengamalkannya. Ibadah kurban tidak harus dengan mengorbankan
hewan ternak saja, tetapi juga bisa menggunakan ritual-ritual yang lain. Di antara penduduk
Abaluyia dari Kavirondo[34] pengurbanan di persembahkan kepada leluhur maupun kepada
Tuhan pada kesempatan-kesempatan khusus dalam hidup seseorang, untuk meningkatkan
kedudukan ritualnya karena mereka memohon berkat leluhur atau Tuhan.

Di Afrika selatan terdapat berbagai jenis upacara kurban, salah satu diantaranya upacara kurban
yang besar untuk hujan di antara penduduk Bamangwato di Afrika selatan.[35] Mereka
memohon hujan dengan menyembelih seekor banteng hitam, yang tanpa cacat atau belang.
Sebelum di sembelih banteng tersebut di beri minum air kemudian di sembelih di kuburan,
dimana api dinyalakan di sekitar tempat suci dan di panggang. Mereka memakan daging tersebut
di tempat pemujaan, kemudian di bawah pimpinan kepala suku mereka menyanyikan lagu-lagu
pujian.

Masih banyak lagi suku primitif lain, yang juga sering melakukan berbagai ritual kurban dalam
berbagai acara. Seperti penduduk Mende di Sierre Leone[36].

Upacara Kurban di Israel[37]

Berbicara Israel tidak kalah menariknya dari persoalan perseteruannya dengan Palestina tetapi
juga dalam membahas upacara kurban mereka yang berisi berbagai jenis persembahan.
Bagi mereka (Jewish) segala sesuatu yang dimakan dan diminum oleh manusia untuk
pemenuhan dirinya sendiri bisa dijadikan bahan untuk pengurbanan, baik persembahan berdarah
maupun tidak berdarah. Dalam upacara kurban binatang, bagi mereka darah binatang haruslah
sampai memercik ke lantai dan kemudian ditutup dengan tanah. Hampir semua benda menurut
hukum Taurat dibersihkan dengan darah. Tanpa menumpahkan darah tidak ada pengampunan
(dari dosa).

Teologi penebusan dosa dengan pencurahan darah telah dipraktekkan dalam kehidupan iman
umat Israel sejak awal. Setiap umat yang berdosa untuk pengampunan dosanya wajiblah dia
membawa kurban penghapus dosa (asyam) atau kurban penebus salah (hattath). Hal ini sudah
diterima oleh orang Israel maupun bangsa-bangsa lain, “karena kehidupan daging ada dalam
darah: dan aku telah memberikan itu kepadamu, maka engkau dapat membuat pertobatan
(semata-mata) dengan itu di altar bagi jiwamu, sebab darah menerima pertobatan berkat
jiwa”.[38]

Bagi manusia primitif darah merupakan kehidupan. Dan darah seperti halnya kehidupan,
merupakan hadiah yang sangat berharga yang dapat dipersembahkan kepada dewa. Dalam arti
sepenuhnya, darah melambangkan kehidupan seseorang.

Upacara Kurban dalam Islam

Wacana kurban dalam Islam, al-Qur’an menyatakan:

َ ‫س َخ َرهَا َكذَلِكَ ِمن ُكم التَق َوى يَنَالُهُ َو َل ِكن ِد َما ُؤهَا َو َل لُ ُحو ُم َها‬
‫ّللاَ يَنَا َل لَن‬ َ ‫ّللاَ ِلتُكَبِ ُروا لَ ُكم‬
َ ‫ال ُمح ِسنِينَ َوبَش ِِر َهدَا ُكم َما َعلَى‬

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu tak sekali-kali mencapai (keridhoan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya
untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Haj ayat 37).

Kurban dalam Islam bukanlah untuk penebusan dosa terlebih lagi untuk membujuk Tuhan
supaya mengakhiri permusuhan dengan manusia seperti pada beberapa agama lainnya, kurban
disini bukan hanya perbuatan mengalirkan darah binatang dan membagi-bagikan dagingnya
kepada kaum fakir miskin, akan tetapi berkaitan dengan melekatnya perbuatan taqwa, berserah
diri kepada Allah, rendah hati dan sabar dalam menghadapi kesukaran; dan lain sebagainya yang
mendekat kepadaNya.

Hikmah lainnya yang terkandung dalam ajaran Islam adalah terjadinya hubungan dengan Allah
SWT yang semakin dekat, memudahkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial, mendidik
manusia yang melaksanakan qurban menjadi orang yang pandai bersyukur atas segala
kenikmatan, membuktikan bahwa kita termasuk orang-orang yang taat dalam menjalankan
perintah Allah SWT[39], binatang yang dikurbankan melambangkan sifat kebinatangan dalam
dirinya, sehingga dengan menyembelih binatang kurban mengingatkan kepada manusia untuk
menyembelih sifat kebinatangan dalam dirinya.

Dipilihnya suatu hari untuk menyembelih hewan kurban, ini dimaksud agar seluruh hati kaum
Muslimin sedunia berdenyut dalam waktu yang sama untuk melaksanakan satu cita-cita. Dengan
demikian, ibadah kurban pada hari Idul Adha memimpin manusia untuk mengembangkan cita-
cita berkurban guna kepentingan umat secara keseluruhan.[40]

Upacara Kurban dalam Kristen

Istilah kurban juga sangat populer dan menjadi landasan dogma teologi ini. Secara makro
maksud dan tujuannya adalah sama seperti agama Yahudi, yakni sebagai penebus dosa, hanya
saja bila dalam syari’at Yahudi yang melakukan pengorbanan adalah pihak manusia yakni
dengan memotong hewan ternak maka dalam agama Kristen yang melakukan pengorbanan
adalah dari pihak Tuhan itu sendiri, dengan mengutus Anak-Nya yang Tunggal sebagai pihak
yang dikurbankan sama seperti anak domba yang dijadikan kurban penebusan dosa:

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi
dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas,
melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba
yang tak bernoda dan tak bercacat.”(I Pet 1:18-19).[41]

Walau cara kematian Yesus Kristus merupakan salah satu kematian yang tragis dan
menyedihkan, tetapi makna dan pengaruh kematianNya tidaklah sama dengan kematian semua
umat manusia dari abad ke abad. Peristiwa kematian Kristus sangatlah unik, mengandung misteri
yang tidak terpecahkan, dan membawa pengaruh serta transformasi yang luar biasa bagi
kehidupan umat manusia sepanjang abad. Makna kematian Kristus tidak sama dengan kematian
para tokoh sejarah, para nabi, rasul-rasul atau orang-orang ternama di dunia manapun. Sebab
kematian Kristus di atas kayu salib dua ribu tahun yang lalu telah membawa suatu perubahan
yang radikal terhadap makna, nilai-nilai, filosofi, teologi, agama dan arah perjalanan sejarah
umat manusia.[42] Surat Ibrani berkata:

“Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam
tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir,
yaitu diriNya sendiri” (Ibr. 10:19).

Pengertian “oleh darah Yesus” menurut iman Kristen begitu sangat penting dan menentukan
hakikat keselamatan umat manusia. Sebab tanpa melalui “darah Yesus” yaitu kematian Kristus di
atas kayu salib, semua selaku umat kristus tidak mungkin dapat masuk ke dalam tempat kudus
yaitu takhta Allah. Tanpa melalui “pencurahan darah Yesus”, semua akan tetap hidup di bawah
kuasa dosa dan murka Allah. Tepatnya tanpa melalui kematian Kristus, semua umat manusia
tidak dapat memperoleh keselamatan dan hidup kekal di hadapan Allah. Dengan demikian alasan
teologis dari surat Ibrani sangatlah jelas, yaitu melalui kematian dan kurban darahNya, Kristus
telah ditentukan oleh Allah untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup.[43]

Upacara Kurban dalam Hindu

Ajaran hindu mengajarkan bahwasanya tindakan religius pada hakikatnya adalah pengorbanan
yang merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dalam peribadahan.[44]
Upacara kurban bukan hanya suatu persembahan, tetapi juga suatu penyucian, suatu perpindahan
dari yang profan kepada yang kudus. Melalui kurban itulah komunikasi antara yang profan dan
yang kudus di bangun.[45]

Upacara kurban dalam agama hindu di sebut Panca Maha Yajna. Ada empat macam upacara
kurban yang harus dilaksanakan oleh umat hindu, yaitu:[46]

Pertama, Brahma Yajna atau Rsi Yajna. Setiap orang hendaknya mempelajari kitab-kitab suci,
dan membagi ilmu pengetahuannya dengan orang lain. Ini merupakan Brahma Yajna atau Rsi
Yajna. Dengan berbuat demikian, ia membayar hutang-hutangnya kepada Rsi Yajna.

Kedua, Dewa Yajna dan Pitri Yajna. Yaitu upacara kurban yang dipersembahkan untuk para
dewa sebagai rasa terima kasih atas pemberi hidup. Dewa Yajna kurban kepada para dewa dan
Pitri Yajna kurban untuk para leluhur. Homa atau persembahan kepada api merupakan dewa
Yajna, sedangkan Tarpana atau persembahan air pada arwah leluhur dan upacara Sraddha,
merupakan Pitri Yajna.
Ketiga, Bhuta-Yajna. Membagikan makanan kepada sapi, anjing, burung-burung dan sebagainya
merupakan Bhutta Yajna. Kurban ini adalah hubungan antara sesama makhluk ciptaan.

Keempat, Manusya Yajna. Keramahtamahan kepada para tamu, memberi makan orang-orang
miskin, menyenangkan hati orang-orang kesedihan, serta memberi tempat berteduh orang-orang
gelandangan merupakan Manusya Yajna. Yakni berbagai macam pelayanan terhadap umat
manusia yang kemalangan.

Upacara Kurban di Cina[47]

Pada zaman dahulu, Cina merayakan kurban untuk menghormati leluhur klan yang dimana biasa
diselenggarakan dalam agama Chou.

Menurut Li Chi, seorang raja, sebagai “Pura Surga”, diwajibkan setiap lima tahun sekali
memeriksa hubungan antara dunia roh dan manusia dan memperbaiki setiap tindakan yang
kurang terhormat dalam pelaksanaan upacara kurban yang dilaksanakan untuk dewa-dewa.

Mereka percaya bahwa ada suatu hubungan erat antara hidup manusia dan kesejahteraan serta
dunia roh yang kehendak baiknya harus dijaga dengan upacara-upacara kurban yang sesuai.

Upacara kurban besar tahunan kepada Shang Ti merupakan tindakan pemujaan nasional yang
paling tinggi, yang menjadi bagian dari ibadah kekaisaran. Pengurbanan itu dilakukan di altar
surga oleh satu-satunya orang yang sesuai, sang kaisar, Putra Surga.

Tiap keluarga atau klan melakukan upacara kurban sendiri-sendiri kepada leluhur dalam rumah
suci. Upacara kurban yang paling sederhana terdiri dari dupa yang dibakar di depan batu-batu
maklumat dari leluhur. Persembahan-persembahan makanan dan minuman yang lebih rumit
dibuat pada hari-hari pesta dan pada ulang tahun kematian beberapa anggota keluarga yang
sudah meninggal

Upacara kurban yang besar dari klan dilaksanakan di altar leluhur oleh kepala klan, diikuti
dengan sebuah pesta dimana daging kurban dibagi-bagi oleh para peserta sebagai simbol
persatuan dan milik klan itu. Seperti dikatakan oleh sebuah teks Cina:

“Upacara kurban bukanlah sesuatu yang dibawa seseorang dari luar; upacara ini muncul dari
dalam dan lahir dalam hati. Ketika hati tergerak secara mendalam, pengungkapannya dinyatakan
dengan upacara-upacara, dan dengan demikian hanya orang-orang yang mampu dan mempunyai
keutamaan dapat memberikan peragaaan lengkap kepada gagasan pengurbanan itu.”

Kesimpulan

Fenomenologi agama adalah studi yang mempelajari praktek keagamaan yang dilakukan oleh
umat beragama agar bisa diketahui arti agama menurut penganut agama tersebut. langkah dalam
fenomenologi sebagai pendekatan studi agama, antara lain: klasifikasi, yaitu memeta-metakan
fenomena agama sesuai kategori; mengikutsertakan gejala itu ke dalam kehidupan kita;
pengurungan (bracketing) sementara semua pertimbangan nilai normatif; Mencari esensi gejala
dan “tipe ideal” hubungan struktur-struktur; bisa mengerti dan memahami keaslian gejala-gejala
agama; Fenomenologi tidak berdiri sendiri akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-
pendekatan lain; Memberikan kesaksian hasil peneliannya.

Adapun kelebihan dari metode ini antara lain: fenomenologi agama berorientasi pada fakta di
lapangan yang deskriptif, bisa dikaji dengan berbagai pendekatan, memahami agama secara
kontemporer sesuai dengan penganutnya, terkesan objektif karena berlandaskan pada sesuatu
yang sudah ada dan bisa dijelaskan.

Disamping beberapa kelebihan yang dimiliki, fenomenologi agama juga memiliki beberapa
kelemahan, antara lain: tidak ada jaminan bahwa hasil penelitian tersebut tidak terpengaruh oleh
pemikiran sang peneliti, terkesan mengesampingkan sejarah walaupun dalam praktisnya sejarah
tidak bisa dilepaskan begitu saja, sulitnya membuktikan kebenaran pada hal-hal yang bersifat
non material, dan adanya kecendrungan untuk konversi agama karena penelitian tersebut bersifat
partisipatoris.

Anda mungkin juga menyukai