Anda di halaman 1dari 7

*Buku Interdisiplier

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH BERJENJANG NAIK BERTANGGA TURUN


DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU (SEBUAH PENELITIAN
ANTROPOLOGI HUKUM DENGAN PERSPEKTIF SOCIO-LEGAL)
OLEH :
ADE SAPTOMO
SINOPSIS
Penelitian berawal dari pengalaman peneliti pribadi tentang kejadiankejadian empiris dalam masyarakat Minangkabau. Peneliti adalah staff pengajar
fakultas hukum Universitas Andalas Padang. Pada tahun awal 1986 , Peneliti
diajak sesama staff pengajar untuk memberikan penyuluhan hukum kepada
warga nagari Kayu Tanam di Balai Kerapatan Adat Nagari Kayu Tanam,
Kecamatan Anduriang, Kabupaten Padang Pariaman. Sesampainya di nagari
kayu tanam, peneliti menduga ada konflik antar ninik mamak dengan panitia
pembebasan tanah, karena ada sebuah papan pengumuman tergantung di
depan rumah berbuyi, dilarang menaruh material di sini tanpa ijin ninik
mamak. Fenomena konflik atau sengketa yang terjadi pada masyarakat
Minangkabau memiliki karakteristik lain daripada konflik yang terjadi pada
masyarakat lain. Menurut A.A. Navis, secara filosofis masyarakat minangkabau
tumbuh dari ajaran filsafat yang dianutnya bahwa masyarakat yang komunal dan
kolektif tersebut senantiasa menantang eksistensi individual, sehingga dengan
sendirinya menimbulkan konflik terus menerus dalam kejiwaan mereka. Di satu
pihak, falsafah mereka menempatkan masyarakat yang komunal dengan harga
diri yang tinggi, sedang pihak lain sistem masyarakatnya tidak mentolerir
seorang melebihi yang lain (Navis,1988;160). Nancy Tanner melihat secara
antropologis bahwa konflik yang terjadi pada masyarakat Minangkabau
merupakan
ekspresi
dari
pertentanganpertentangan
inheren
dan
ketidakserasian sebuah kebudayaan yang telah terpola, yang didasarkan pada
kepentingan yang berlawanan, yang muncul dari struktur masyarakat itu sendiri
(Tanner, 1969;23)
Buku Pertama Tulisan Nancy Tanner hasil penelitian pada tahun 19631966, yang berjudul Disputing and Dispute Settlement Among the Minangkabau
of Indonesia. Dalam buku tersebut, Tanner menguji cara warga Minangkabau
dalam menghadapi konflik sosial budaya dan juga bagaimana mereka
menghadapi masalah- masalah yang berhubungan dengan apa yang menjadi isu
tentang sengketa serta di dalam hubungan- hubungan sosial apa suatu sengketa
menjadi isu. Kesimpulannya bahwa Tanner membahas tentang bagaimana orang
Minangkabau menggunakan keragaman substansi hukum (hukum nasional,
hukum lokal, hukum adat, dan agama) yang tersedia.
Buku kedua hasil penelitian Keebet Von Benda Beckmaan tahun 19741975, kesimpulannya bahwa orang Minangkabau dalam bersengketa berupaya
memanfaatkan forum yang tersedia, juga memanfaatkan sengketa untuk
1

kepentingan ekonomi dan politis. Keebet melakukan penelitian sengketa ketika


masih terdapat dualisme lembaga perdamaian yaitu Kerapatan Nagari dan
Kerapatan Adat Nagari. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979
dan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 yang diakui adalah Kerapat Adat
Nagari dan Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Buku ketiga berjudul Menggali hukum tanah dan hukum waris
Minangkabau yang berisikan kumpulan tulisan hasil seminar yang
diselenggarakan di Padang tanggal 21-25 Juli 1968, hingga saat ini merupakan
satu-satunya textbook yang membahas secara luas tentang permasalahan dan
prospek Hukum tanah dan hukum waris di Minangkabau. Paling tidak buku
tersebut ingin menunjukan ketidakbertentangannya antara Hukum Islam dengan
Hukum Adat tentang kepada siapa harta yang dimiliki orang tua itu diwariskan.
Kesimpulannya bahwa mengenai Hukum Waris telah ditetapkan bahwa harta
pusaka di Minangkabau merupakan harta bersama yang diurus dan diwakili oleh
Mamak Kepala Waris baik untuk kepentingan eksternal maupun internal. Buku itu
membahas Hukum Adat Minangkabau dengan menampilkan dokumen-dokumen
dalam arti normatif, padahal dalam sengketa tanah yang penting siapa,
mengapa, bagaimana penyelesaiannya.
Literatur keempat adalah buku karya Herman Slatts dan Karen Portier
berjudul Traditional Decision- making and law. Buku tersebut mendeskripsikan
signifikansi institusi runggun baik dalam penyelesaian sengketa pada
masyarakat Batak karo. Buku ini dilengkapi dengan transkrip interaksi
komunikasi dalam proses musyawarah dan pengambilan keputusan. Kesimpulan,
Runggun sebagai institusi tidak saja berfungsi sebagai lembaga penyelesaian
sengketa tetapi juga mengurusi masalah-masalah adat istiadat dan perdata
lainnya yang dikehendaki warga batak karo.
Karya ilmiah kelima adalah penelitian Program Studi Antropologi Pasca
Sarjana Universitas Indonesia 1989 oleh Anto Achadiat. Penelitian ini
mendeskripsikan empat kasus sengketa dan proses penyelesaian sengketa. Tiga
kasus pertama pemangku adat tidak berperan aktif dalam proses penyelesaian
sengketa tetapi sebagai pelengkap syarat untuk penyelesaian di Lembaga Adat,
desa, atau kecamatan. Kesimpulan pada masyarakat Sasak terdapat gejala
pluralisme hukum sehingga dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak
yang terlibat dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan hukum. Dengan
demikian jika kita mengkaji kasus sengketa, akan terangkat substansi hukum,
prosedur hukum maupun nilai-nilai budaya yang mempengaruhi dua prinsip
hukum tersebut.
Konsep terkait Socio-legal Anthro
Konsep konflik yang dimaksus dalam tulisan ini adalah suatu keadaan atau
kondisi yang menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok orang merasa
tidak adil. Pada tahap ini pihak ketiga terlibat karena prakarsa oleh salah satu
atau kedua belah pihak utama atau pendukungnya atau prakarsa pihak ketiga itu
sendiri (nader dan todd, 1979;15). Orang Minangkabau memiliki cara- cara untuk
menyelesaikan sengketa yang telah ada dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh
2

karena itu apabila sengketa terjadi maka cara penanganannya bersumber dari
nilai budaya masyarakat Minangkabau.

Socio Legal Anthro Perspective


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian bertolak dari konsep hukum
yang diuraikan Franz Von Benda Beckmann. Hukum merupakan kebudayaan
yang digunakan untuk memanipulasi sejumlah tindakan dan sebagai strategi
untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas. Oleh Griffiths, konsep
pluralism (pluralisme hukum) diartikan secara antropologis sebagai kehadiran
lebih dari satu tatanan hukum dalam sebuah arena sosial. Griffths menegaskan
lagi bahwa kemajemukan hukum yang lemah tidak lain adalah suatu bentuk lain
dari hukum negara (egal centralism) , namun keberadaan kedua jenis
kemajemukan hukum yang kuat dan yang lemah ini justru sering dimanfaatkan
sebagai strategi bersengketa oleh individu. Forum Shopping dan Shopping
Forums, keanekaragaman instirusi hukum seperti hukum adat, hukum agama,
hukum nasional yang berlaku pada masyarakat yang sama dengan yurisdiksi
yang tumpang tindih menyebabkan pihak- pihak yang bersengketa dapat
memilih beberapa institusi hukum tersebut. Pengertian konsep forum shopping
adalah jika pihak yang bersengketa mempunyai sebuah pilihan di antara institusi
hukum yang berbeda tersebut di atas. Neo- traditional norms, konsep ini
mengacu kepada gejala pluralisme hukum tersebut di atas, yatu suatu keadaan
dimana terdapat tumpang tindih penerapan dan penggunaan hukum negara dan
sistem hukum lainnya (adat,agama,daerah) yang akhirnya mewujudkan hukum
baru.

*Buku Pranata hukum


Bagian I
Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Hukum telah mengarah kepada penggunaannya sebagai sarana untuk
melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat semenjak Indonesia
melakukan pembangunan di segala bidang. Konsep Hukum sebagai sarana
berkait erat dengan perkembangan masyarakat yang didasarkan pada
perencanaan. Sebenarnya saat ini hukum telah memasuki pembicaraan
mengenai hukum sebagai konsep yang modern. Hal ini dikarenakan hukum
merupakan suatu kebutuhan masyarakat sehingga ia bekerja dengan cara
memberikan petunjuk tingkah laku kepada manusia dalam memenuhi
kebutuhannya.
Secara garis beras pengertian hukum dikelompokkan menjadi tiga (tiga)
pengertian dasar. Pertama, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai
abstrak, Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang
abstrak, maka usat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang
3

benar-benar otonom. Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk
mengatur masyarakat, maka metode yang digunakan adalah metode sosiologis.
Bahwa sesungguhnya hukum merupakan karya manusia sebagai cerminan
kehendak, sasaran-sasaran masyarakat yang ingin dicapainya. Dalam literature
dikenal beberapa tujuan hukum. Pertama, Teori etis, bahwa hakikat keadilan
itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Terdapat dua
pihak yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.
Kedua, Teori Utilitas penganutnya Jeremy Bentham berpendapat bahwa tujuan
hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah sebanyak-banyaknya. Ketiga,
Teori Campuran yang berpendapat
bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban sebagai syarat masyarakat teratur.
Hoebel menyimpulkan adanya empat fungsi hukum, yaitu :
1. Menetapkan hubungan antara para anggota masyarakat, menunjukan apa
yang diperkenankan dan apa yang dilarang
2. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa yang boleh
melakukan dan mentaatinya sekaligus memberi sanksi yang tepat dan
selektif
3. Menyelesaikan sengketa
4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi kehidupan yang berubah
Dalam masyarakat sederhana hubungan antar masyarakat terjalin sangat
erat berdasar azas kekerabatan, sebaliknya dalam masyarakat yang sudah
semakin kompleks, tidak cukup dibutuhkan tatanan hukum primer (primarity
rules) melainkan sudah memiliki tatanan hukum yang memiliki kewajiban
sekunder (secondary rules of obligation)
Hukum sebagai suatu norma
Bahwa apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tidak terlepas dari
pengertian hukum sebagai sistem norma. Oleh karena itu maka untuk dapat
memahaminya perlu menggunakan pendekatan sistem, antara lain oleh
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum terdiri dari komponen
struktur, substansi , dan kultur. Selain itu L. Fuller berpendapat bahwa untuk
mengenal hukum harus dicermati 8 azas atau principles of legality. Hans Kelsen
juga berpendapat norma tertinggi sebagai Grundnorm atau basic norm (norma
dasar) dan Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Grundnorm
inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hierarkis
dan juga merupakan suatu sistem. Akhirnya, norma- norma yang terkandung
dalam hukum positif itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma
yang paling dasar yaitu Grundnorm.
Simpulan
Bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pemahaman ini penting artinya
untuk menghindari terjadinya kontradiksi antara norma hukum yang lebih tinggi
dengan norma hukum yang lebih rendah.
4

Bagian II
Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis
Bahwa cita hukum yang berisi patokan nilai memiliki peran dan fungsi
yang sangat penting dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan
(RUU) yang demokratis. Cita hukum hendaknya mewarnai seluruh bangunan
hukum yang ada dan makna yang terkandung dalam cita hukum harus terwujud
dalam tatanan hukum yang demokratis
Elemen-elemen Pembentukan Hukum
Menurut Burkhardt Krems, pembentukan peraturan perundang-undangan
bukanlah merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang
bersifat interdisipliner yaitu setiap aktivitas pembentukan peraturan perundangundangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk hukum yang
dihasilkan dapat diterima masyarakat. Metoda pembentukan peraturan
perundang-undangan menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai
sasarannya, untuk itu bantuan sosiologi hukum, ilmu sosial lainnya sangat
diperlukan
Peran produk hukum
Hukum adalah dasar dan pemberi petunjuk bagi semua aspek kegiatan
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Rakyat Indonesia dalam
kehidupan politik, sosisal, ekonomi harus berpedoman oleh hukum. Kehadiran
hukum diharapkan dan menimbulkan suatu kemantapan dan keteraturan dalam
menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat.

Kejelasan Konsep dan Bahasa Hukum


Pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya menyadari dan
memahami dua hal pokok yaitu konsep dan bahasa. Kejelasan konsep diperlukan
untuk membantu dan menuntun proses perancangan suatu produk hukum. Hal
yang sifatnya mendasar dar suatu produk hukum hendaknya ditelaah dan dikaji
dari sudut pandang filsafat hukum, teori hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum
maupun dogmatik hukum. Ketidakjelasan konsep, budaya, cita hukum dapat
mengakibatkan produk hukum menjadi usang. Dengan demikian harus disadari
bahwa aktivitas di bidang perencanaan produk hukum harus selalu taat pada
asas dan kerangka konseptual yang mantap dan mendasar.
Memahami Hukum sebagai sistem
Jika institusi hukum dipahami sebagai suatu sistem, maka seluruh tata
aturan yang berada di dalamnya tidak boleh saling bertentangan. Menurut
stufenbau theory dari Kelsen, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Bahkan dalam penegakan
5

hukum sebagai suatu system, ia selalu menerima masukan dari bidang-bidang


lain yang selanjutnya menghasilkan keluaran yang disalurkan ke dalam
masyarakat. Proses pembentukan nora itu dimulai dari yang paling tinggi sampai
yang paling rendah ini disebut proses konkritisasi
Cita hukum : Kunci Pembentukan Hukum
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas
menggariskan bahwa pokok-pokok pikiran adalah cita hukum yang tidak lain
adalah Pancasila. Cita hukum dapat dipahami sebagai konstruksi pikiran yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat
dalam pembentukan perundang-undangan. Disini aspek nilai yang terkandung
dalam cita hukum sangat penting artinya.Oleh sebab itu, dalam Negara Republik
Indonesia yang memiliki cita hukum Pancasila dan sekaligus sebagai Norma
Fundamental Negara, setiap peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai
dan dialiri nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum tersebut.
Model Pembentukan Hukum yang Demokratis
Sebelum memasuki tahap yuridis , proses pembentukan suatu peraturan
harus sudah melalui tahapan sosio-politis secara final. Disanalah kita akan
memahami bahwa suatu peraturan itu sesungguhnya lahir melalui suatu proses
yang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Dengan memasukan tahapan
sosiologis dan politisnsebagai bagian dari kegiatan penyusunan produk hukum
yang dmeokratis, sesungguhnya dapat memberikan pelajaran kepada kita bahwa
ternyata penyusunan produk hukum bukan sekedar suatu proses yuridis, akan
tetapi proses tersebut banyak melibatkan berbagai komponen sistem yang
cukup rumit dan beragam.
Pertama, secara makro penyusunan suatu produk hukum (peraturan)
dalam tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh
tersedianya bahan-bahan didalamnya. Dalam konteks sosiologis, faktor
masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian. Kedua, tahapan politis
yaitu berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskan lebih
lanjut. Tahapan politis yang menentukan bagi lahirnya suatu peraturan karena
harus disadari bahwa peraturan hukum itu merupakan salah satu alat penting
untuk menyalurkan dan mweujudkan tujuan kebijaksanaan pemerintah.
Proses Transformasi Sosial dalam Hukum
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses transformasi sosial dalam hukum
sangat tergantung pada sistem politik negara yang bersangkutan. Proses yang
cukup panjang itu merupakan proses transfomasi dari beberapa tuntutan ke
dalam suatu putusan yang otoratif, dan hal itu membutuhkan dukungan seluruh
masyarakat. Setelah tahapan sosiologis dan politis dilalui, barulah proses
pembuatan hukum memasuki tahap terakhir (ketiga) yang disebut tahapan
yuridis. Pada tahapan ii lebih memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan
pengorganisasian masalah-masalah yang diatur ke dalam rumusan-rumusan
6

hukum.
Bahwa proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang
demokratis sangat ditentukan dan diwarnai oleh struktur masyarakat, sistem
politk dan landasan nilai suatu negara
Kesimpulan
Keadaan hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan
konteks politik. Mencari model penyusunan peraturan perunang-undangan yang
demokratis, diharapkan dapat menghasilkan kondisi hukum yang responsif
sehingga dapat menjawab berbagai tuntutan di masyarakat. Hal ii dapat dicapai
apabila legal and political aspirations integrated, acces enlarged by integration
of legal and social advocacy. Di samping itu, penyusunan peraturan perundangundangan yang demokratis membutuhkan partisipasi, problem centered dan
pendelegasian yang lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai