Anda di halaman 1dari 9

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (biasa disingkat KPK RI atau KPK),

adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Komisi ini
didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK
berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan
umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan
laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap
anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Pimpinan KPK memegang jabatan
selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam
pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Pada periode 2011-2015 KPK
dipimpin oleh Ketua KPK Abraham Samad, bersama 4 orang wakil ketuanya,
yakni Zulkarnain, Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, dan Adnan Pandu Praja.

Struktur Organisasi
Pimpinan
Pimpinan KPK adalah pejabat negara yang terdiri dari 5 (lima) anggota yakni Ketua yang
merangkap Anggota, serta Wakil Ketua yang terdiri atas 4 (empat) orang dan masing-masing
merangkap Anggota.

Tim Penasihat
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya
kepada Komisi Pernberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Tim Penasihat yang terdiri dari 4(ernpat) Anggota.

Pelaksana Tugas
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi No. PER08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, pelaksana
tugas KPK terdiri dari[6] :
1. Deputi Bidang Pencegahan
2. Deputi Bidang Penindakan
3. Deputi Bidang Informasi dan Data

4. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat


5. Sekretariat Jenderal

Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama,
dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia
Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasutiondan dibantu oleh
dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah
semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian
formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat
itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban
secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung
kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan
akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan
Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih
dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku
korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembagalembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang
tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan,
menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan
dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan
bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun
kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.

Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terangterangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan

dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring
dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun,
ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk
menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa,
seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama,Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan
lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina,
misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi
alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib,
dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi.
Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top
down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya
kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.

Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan
UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru,
seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau
Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari
anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan
dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama
dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN
melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

Tugas dan Fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi


Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai tugas

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi;
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Ombudsman Republik Indonesia


Ombudsman Republik Indonesia (disingkat ORI) sebelumnya bernama Komisi Ombudsman
Nasional adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang
diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 9 September 2008.

Sejarah
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika
Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H.
Abdurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid lah disebut sebagai
tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia. Pemerintah pada waktu itu
nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan
masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan
negara yang baik atau clean and good governance.
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid segera mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 55 tahun
1999 tentang tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman. Menurut konsideran

keputusan tersebut, latar belakang pemikiran perlunya dibentuk lembaga Ombudsman Indonesia
adalah untuk lebih meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota
masyarakat dari pelaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya,
dengan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu
kepada suatu lembaga yang independen yang dikenal dengan nama Ombudsman.
Pada bulan Maret 2000, K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sehingga mulai saat itu, Indonesia
memasuki babak baru dalam sistem pengawasan. Demikianlah maka sejak ditetapkannya
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 berdirilah lembaga
Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. Menurut Kepres
Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh
tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:
1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka melakukan pengawasan
akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme;
2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara
merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar
penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat
diminimalisasi;
3. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan
memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh
aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang komisi Ombudsman
Nasional, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai
landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan
pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya
memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang. Akhirnya pada tanggal 7
Oktober 2008 ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik
Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik
Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk
Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen
sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.

Tugas
Tugas Ombudsman Republik Indonesia adalah:
1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan.
3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangannya.
4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga
pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan.
6. Membangun jaringan kerja.
7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.

Anggota
Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas 9 anggota (termasuk 1 ketua dan 1 wakil ketua),
yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan olehPresiden.
Anggota Ombudsman RI saat ini adalah :
1. Danang Girindrawardana (Ketua merangkap Anggota)
2. Azlaini Agus (Wakil Ketua merangkap Anggota)
3. Ibnu Tricahyo (Anggota)
4. Budi Santoso (Anggota)
5. Hendra Nurtjahjo (Anggota)
6. Pranomo Dahlan (Anggota)
7. Petrus Beda Peduli (Anggota)

8. Muhammad Khoirul Anwar (Anggota)


9. Kartini Istikomah (Anggota)
Berdasarkan aturan peralihan UU No. 37 Tahun 2008, seluruh anggota Komisi Ombudsman
Nasional ditetapkan menjadi anggota Ombudsman Republik Indonesia sampai dengan
ditetapkannya keanggotaan yang baru.

Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Ombudsman adalah perangkat pemerintah yang dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan
Ombudsman Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal Ombudsman dipimpin oleh seorang
Sekretaris Jenderal

TUGAS PKN
KPK DAN OMBUDSMAN

NAMA : SAMUEL PARLINDUNGAN SITOPU


KELAS : 8 G
ABSEN : 30

SMPN 29
SEMARANG

Anda mungkin juga menyukai