Anda di halaman 1dari 3

Nama: Novi Fitriani Nazara

Nim: 200905053

III

Kasus sengketa, menurut Epstein, merupakan “unit analisis” yang sangat subur
dimana “bahan-bahan yang digunakan tidaklah terutama dipakai sebagai ilustrasi, tetapi
sebagai penyediaan data mentah untuk tujuan analisa, dengan memilah-milah helaian yang
bermacam-macam dalam gulungan fakta untuk mengungkapkan prinsip-prinsip dan
keteraturan-keteraturan yang mendasarinya”.

Dengan cara ini, para pakar yang banyak mengandalkan pada data lapangan seperti
Gluckman, Bohanna, Gulliver dan Epstein sendiri, memang telah sangat memperkaya
pemahaman kita mengenai sejumlah prinsip-prinsip utama dan gagasan-gagasan, dan cara-
cara bagaimana prinsip-prinsip dan gagasan itu diterapkan dalam proses hukum dari jenis-
jenis masyarakat yang terorganisir secara berbeda.

Namun, supaya tidak hanya mengungkapkan prinsip-prinsip dan keteraturan-


keteraturan tidak mendasarinya, tetapi untuk dapat juga menghadirkan suatu gambaran yang
cukup komprehensif dan saling berkaitan, mengenai hukum substantive dan hukum yang
hidup (living law) dari masyarakat-masyarakat, maka metode ini tidak boleh tidak
membutuhkan sejumlah kasus sengketa yang cukup memadai, yang meliputi semua bidang
kegiatan sosial yang penting dan berpengaruh, yang dikuasai oleh aturan hukum. Hoebel
mengatakan bahwa “sangat jarang etnolog yang dapat tinggal cukup lama untuk dapat
menggali kasus-kasus yang cukup banyak untuk bisa memberikan gambaran hukum dengan
tepat” (1954: 20).

VI

Untuk dapat penjelasan mengenai proses bersengketa, penyelesaiannya, perlu apa


yang Griffith namakan semacam “kisah-hidup dari interaksi hukum bersangkutan”. Untuk
dapat memperoleh “insight” pemahaman, maka peneliti perlu mengikuti perkembangan dari
bagaimana kasus itu berlangsung. Mengikuti kasus-kasus pada tingkat mikro, tentunya
memakan cukup banyak waktu. Penelitian antropolog terhadap gejala hukum, studi pada
tingkat mikro menjadi cirinya yang penting, hal mana berarti pengamatan agak lama, dan
interview-interview mendalam, penganalisaan yang kualitatif, memperoleh tempat yang
penting. Perhatian kepada hal-hal yang bersamaan yang berlangsung dalam masyarakat lain
dan perhatiannya terhadap perkembangan waktu.

Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan telah dikembangkan tiga alur
pengkajian hukum:

1. Alur ideologis dalam cara pengkajian itu diidentifikasikan aturan yang umumnya
di lingkungan masyarakat bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk
berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku.
2. Alur deskriptip yaitu mengkaji bagaimana orang nyata-nyatanya berlaku
3. Mengkaji ketegangan-ketegangan, perselisihan, keonaran, keluhan-keluhan.

Dari ketiga alur tersebut dapat dikaji apakah merupakan sengketa, bagaimanakah
motif dari orang yang berperilaku, dan apakah yang dilakukan untuk mengatasinya, untuk
menyelesaikannya, norma-norma ideal yang ada haruslah dicatat dan direkam karena norma-
norma ideal itu menjadi pedoman orang dalam berperilaku. alur yang paling tepat untuk dapat
mengungkapkan hukum memang “bekerja” dalam masyarakat, adalah alur yang ketiga.

VIII

Mediasi adalah salah satu bentuk negosiasi antara dua individu atau kelompok dengan
melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat
kompromistis. Adapun penunjukkan pihak ketiga sebagai mediator karena:

a. Kehendaknya sendiri (mencalonkan diri sendiri)


b. Ditunjuk oleh penguasa (misalnya “tokoh adat”)
c. Diminta oleh kedua belah pihak.

Sebagai mediator, tugas utamanya adalah bertindak sebagai seorang fasilitator


sehingga pertukaran informasi dapat dilaksanakan. Selain itu, ia juga diharapkan untuk
mencari atau merumuskan titik-titik temu dari argumentasi para pihak dan berupaya
mengurangi perbedaan pendapat yang timbul sehingga mengarah pada satu keputusan
bersama. Seorang mediator dituntut untuk bersikap bijaksana (berwibawa), dapat dipercaya
(netral), dan cekatan. Sikap yang dikemukakan ini terutama diperlukan bilamana kedua belah
pihak berkeras mempertahankan pendiriannya.

IX

Pluralisme hukum dimunculkan sebagai tanggapan terhadap adanya paham


sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa, hukum adalah hukum
negara, berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum
yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara. Griffith berpendirian
bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum adalah dua kutub yang saling berhadapan.
Pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial.

Meskipun situasi pluralisme hukum secara potensial memang merupakansituasi


konflik antara sistem-sistem hukum yang saling berbeda bentuk, struktur, isi, fungsi politik
dan efektivitasnya itu, namun tidak berarti harus selalu bermunculan konflik karena ada juga
terjadi saling pengaruh dan adaptasi.

Anda mungkin juga menyukai