Nim: 200905038
III
Sejak kajian Llewelyn dan Hoebel Cheyenne Way, sejumlah antropolog yang lain,
termasuk beberapa orang yang juga telah menjalani pendidikan hukum yang baik,
memusatkan diri pada deskripsi yang mendetail dan analisa kasus sengketa untuk pengkajian
hukum tidak tertulis. Metode kasus berpusat pada bekerjanya hukum (law in action), “proses
penyelesaian sengketa” atau “penyelesaian konflik” menjadi alat yang digemari dalam
penelitian dan pengkajian komporatif yang merangsang pembentukan teori (theory-
stimulating). Hal ini bisa saja seperti yang dipercayai oleh Gulliver (1969:12) setidaknya
untuk sebagian merupakan hasil dari “kejenuhan” upaya masa lampau untuk menemukan
definisi-definisi yang dapat diterima (mengenai konsep kunci “hukum”), dan semakin
bertambahnya kontroversi-kontroversi yang tidak berguna. Namun sebagian juga tentunya
karena tanggapan yang terorganisir terhadap situasi-situasi tekanan sosial yang disebabkan
oleh penyimpangan yang tidak diperkenankan terhadap norma-norma dan prinsip-prinsip
ideal, menawarkan ruang lingkup yang segar bagi pemahaman yang lebih baik tentang
pengaturan yang actual dari perilaku manusia.
Kasus sengketa, menurut Epstein, merupakan “unit analisis” yang sangat subur
dimana “bahan-bahan yang digunakan tidaklah terutama dipakai sebagai ilustrasi, tetapi
sebagai penyediaan data mentah untuk tujuan analisa, dengan memilah-milah helaian yang
bermacam-macam dalam gulungan fakta untuk mengungkapkan prinsip-prinsip dan
keteraturan-keteraturan yang mendasarinya”.
Dengan cara ini, para pakar yang banyak mengandalkan pada data lapangan seperti
Gluckman, Bohanna, Gulliver dan Epstein sendiri, memang telah sangat memperkaya
pemahaman kita mengenai sejumlah prinsip-prinsip utama dan gagasan-gagasan, dan cara-
cara bagaimana prinsip-prinsip dan gagasan itu diterapkan dalam proses hukum dari jenis-
jenis masyarakat yang terorganisir secara berbeda.
Namun, supaya tidak hanya mengungkapkan prinsip-prinsip dan keteraturan-
keteraturan tidak mendasarinya, tetapi untuk dapat juga menghadirkan suatu gambaran yang
cukup komprehensif dan saling berkaitan, mengenai hukum substantive dan hukum yang
hidup (living law) dari masyarakat-masyarakat, maka metode ini tidak boleh tidak
membutuhkan sejumlah kasus sengketa yang cukup memadai, yang meliputi semua bidang
kegiatan sosial yang penting dan berpengaruh, yang dikuasai oleh aturan hukum. Hoebel
mengatakan bahwa “sangat jarang etnolog yang dapat tinggal cukup lama untuk dapat
menggali kasus-kasus yang cukup banyak untuk bisa memberikan gambaran hukum dengan
tepat” (1954: 20).
VI
Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan telah dikembangkan tiga alur
pengkajian hukum:
1. Alur ideologis dalam cara pengkajian itu diidentifikasikan aturan yang umumnya
di lingkungan masyarakat bersangkutan dipersepsikan sebagai pedoman untuk
berlaku dan memang dianggap seharusnya menguasai perilaku.
2. Alur deskriptip yaitu mengkaji bagaimana orang nyata-nyatanya berlaku
3. Mengkaji ketegangan-ketegangan, perselisihan, keonaran, keluhan-keluhan.
Dari ketiga alur tersebut dapat dikaji apakah merupakan sengketa, bagaimanakah
motif dari orang yang berperilaku, dan apakah yang dilakukan untuk mengatasinya, untuk
menyelesaikannya, norma-norma ideal yang ada haruslah dicatat dan direkam karena norma-
norma ideal itu menjadi pedoman orang dalam berperilaku. alur yang paling tepat untuk dapat
mengungkapkan hukum memang “bekerja” dalam masyarakat, adalah alur yang ketiga.
Ada dua dimensi dari norma yaitu norma ideal dan dimensi dari perilaku yang
terwujud. Dimensi norma ideal, adalah aturan hukum yang menjadi pedoman bagi orang yang
bertindak. Namun dalam kenyataannya perilaku yang diwujudkan,yang dikuasai bukan dari
norma ideal tetapi sesuatu aturan yang menyimpang dari pola ideal yang berlaku.
Hukum mempunyai sebagai fokus, kepentingan yang saling bertentangan dari para
warga masyarakat. Dalam suatu peraturan hukum terwujud prinsip-prinsip yang telah keluar
sebagai suatu pemenang dalam pertempuran antara berbagai ide. Hukum bersemai dari
sengketa-sengketa, berkembang berdasarkan sengketa-sengketa atau pada prospek mengenai
timbulnya sengketa. Hukum bereksistensi supaya dapat mengendalikan perilaku, sehingga
pertentangan-pertentangan dalam kepentingan tidak tercetus menjadi konflik terbuka. Dan
kalau kepentingan memang telah bertubrukan, maka hukum mulai bergerak untuk
membereskan gangguan sosial yang terjadi.
VIII
Mediasi adalah salah satu bentuk negosiasi antara dua individu atau kelompok dengan
melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian yang bersifat
kompromistis. Adapun penunjukkan pihak ketiga sebagai mediator karena:
IX