Anda di halaman 1dari 9

SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin

Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi Vol. 02, No. 03, (November, 2019), pp.323 - 331

SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN


PLURALISME HUKUM

Ridha Maulana1
Oka Dian Kurniawati2
Dwi Pragasa Ananda3
Arsudian Putra4
Miswardi5

12345
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Indonesia

E-mail: ridha13@mhs.unsyiah.ac.id

Diterima: 15/11/2019; Disetujui: 28/11/2019

ABSTRAK
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memilki beberapa sistem hukum. Provinsi
Aceh dipandang sebagai provinsi yang memiliki status otonomi khusus bercorak multikultural,
karena kemajemukan sistem hukum dalam masyarakatnya. Kemajemukan (Pluralisme) sistem hukum
di Aceh disebabkan karena adanya keberagaman suku dan penerapan nilai-nilai Agama Islam dalam
setiap sendi kehidupan masyarakat Aceh, terutama di bidang penegakan hukum. Keberagaman
(Pluralisme) sistem hukum yang hidup dan berlaku di Aceh mendapat kekuatan hukum dan
pengakuan dari pemerintah Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh, Sehingga selain berlakunya sistem hukum negara (state law), secara de
facto di Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat law), dan sistem hukum agama/hukum Islam
(religious law/ Islamic law).

Keywords: : Sistem Hukum, Hukum Adat, Hukum Islam, Pluralisme Hukum

Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin, Geuthèë Institute, Banda Aceh. 23111. E-ISSN: 2614-6096. Open access:
http://www.journal.geutheeinstitute.com.
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi
Vol. 02, No. 03, (November, 2019), pp. 323 - 331.

ABSTRACT

Aceh is one of the provinces in Indonesia which has several legal systems. The Province of Aceh is
seen as a province that has a special autonomy status that is multicultural, due to the plurality of
legal systems in its society. Pluralism in the legal system in Aceh is due to the diversity of ethnic
groups and the application of Islamic values in every aspect of the life of the people in Aceh,
especially in the field of law enforcement. Diversity (pluralism) of the legal system that lives and
applies in Aceh gets legal force and recognition from the Indonesian government with the enactment
of Law Number 11 of 2006 concerning to the Government of Aceh, So that in addition to the enactment
of the state legal system, Aceh also applies the customary legal system (adat law), and Islamic legal
system (islamic law).

Keywords:Legal System, Customary (adat) Law, Islamic Law, Legal Pluralism.

324
SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi Vol. 02, No. 03, (Novembe, 2019), pp. 323 - 331.

PENDAHULUAN
Aceh merupakan Propinsi paling Barat Para Antropolog menangkap hukum sebagai
Republik Indonesia terletak di ujung Pulau suatu acuan normative yang luas dan terus hidup
Sumatera, diapit oleh Lautan Hindia dan Selat dan berkembang secara dinamis (living law),
Malaka. Letaknya amat strategis sebagai pintu meliputi tidak hanya hukum negara, tetapi juga
masuk ke Nusantara dan sebagian Negara Asia. sistem norma di luar negara (Irianto, 2009: 13).
Propinsi Aceh memiliki luas area + 55.390 KM Pertemuan atau interaksi antara suatu
persegi, dan didiami oleh beberapa sub-suku hukum atau bahkan sistem hukum yang satu
yakni, suku Aceh sebagai mayoritas yang dengan yang lainnya merupakan suatu kajian
mendiami sebagian besar kawasan Aceh, suku tersendiri yang menarik di dalam ilmu hukum
Gayo mendiami Aceh Tengah dan sebagian Aceh yang sering disebut dengan kajian pluralisme
Tenggara, suku Alas mendiami Aceh Tenggara, hukum. Pluralisme hukum telah menjadi salah
suku Tamiang mendiami sebagian Aceh Timur, satu istilah yang paling menarik dan paling
suku Kluet mendiami sebagian Aceh Selatan dan kontroversial dalam literature teori hukum,
suku Aneuk Jamee juga mendiami sebagian antropologi hukum dan sosiologi hukum.
Aceh Selatan. Hampir seluruh Masyarakat Aceh Tammanaha (Simarmata, 2005: 3), bahkan
merupakan penganut Agama Islam yang taat, hal menyatakan selama ini istilah pluralisme hukum
ini terlihat dari banyaknya Sarana peribadatan (legal pluralism) telah dianggap sebagai konsep
seperti Mesjid dan menasah yang terdapat di kunci dalam kajian-kajian hukum post-modern.
seluruh pelosok Aceh. Pluralisme hukum sangat membantu
Adanya keberagaman suku dan memberikan penjelasan terhadap kenyataan
penerapan nilai-nilai Agama Islam dalam setiap adanya keteraturan hukum (legal order) yang
sendi kehidupan masyarakat Aceh berdampak diproduksi negara. Menurut Griffiths (Bakti,
kepada sistem hukum yang berlaku di Aceh. Hal Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 65, April 2015: 135), situasi
tersebut dikarenakan adanya hukum yang tidak pluralisme hukum berkembang pesat seiring
tertulis yang hidup dan diakui oleh masyarakat dengan laju pluralisme sosial. Karena itu, adalah
Aceh itu sendiri, yang dikenal dengan hukum keniscayaan, bahwa masyarakat yang plural akan
adat dan hukum Islam. Kedua hukum ini melahirkan tata hukum yang plural. Sebaliknya,
merupakan sumber hukum yang menjadi rujukan pemaksaan sentralisme hukum adalah pekerjaan
masyarakat Aceh dalam penyelesaian sengketa sia-sia karena sifatnya asosial.
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, Dalam konteks ini, pluralisme hukum
disamping juga diakui adanya hukum negara merupakan konsep yang menujukkan kondisi,
(state law). bahwa lebih dari satu sistem hukum yang ada dan
berlaku bersamaan atau berinteraksi dalam
METODE PENELITIAN mengatur berbagai aktivitas dan hubungan
Metode yang digunakan yuridis empiris, manusia di suatu tempat. Berbagai sistem hukum
dengan melakukan wawancara dengan yang di dalam suatu wilayah, bukan hanya
responden dan informan. Data dianalisis sekedar hidup berdampingan tanpa melakukan
menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif. interaksi. Bila dalam lapangan sosial yang sama
hidup berdampingan lebih dari satu sistem
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN hukum namun tidak saling melakukan interaksi
maka keadaan tersebut dinamai plurality of law
A. Konsep Pluralisme Hukum (pluralitas hukum). Namun bila antar sistem
Kajian mengenai hukum dapat ditinjau hukum tersebut melakukan interaksi, maka
dari berbagai dimensi, baik dalam konteks yang keadaan tersebut dinamai dengan legal pluralism
dibuat oleh negara, maupun dalam konteks (pluralisme hukum) (Bakti, Kanun Jurnal Ilmu
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara Hukum, 65, April 2015).
terbatas hukum dikaitkan dengan hukum negara, Bagi Griffiths, bentuk dari pluralisme
khususnya undang-undang (law in the book). hukum itu dibagi 2 macam, yaitu strong legal

325
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi
Vol. 02, No. 03, (November, 2019), pp. 323 - 331.

pluralism dan weak legal pluralism. Suatu diperlakukan tidak adil pada masa rezim
kondisi dapat dikatakan strong legal pluralism sebelumnya (Abidin, 2011: 6).
jika masing-masing sistem hukum yang beragam Lalu pada tahun 2001, Presiden
itu otonom dan eksistensinya tidak tergantung Abdurrahman Wahid kembali memperkuat
kepada hukum negara. Jika keberadaan kedudukan keistimewaan Aceh dengan “otonomi
pluralisme hukum itu bergantung kepada khusus” melalui pengesahan Undang-Undang
pengakuan dari hukum negara maka kondisi Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
seperti itu disebut dengan weak legal pluralism. bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi
Dengan kata lain, pluralisme hukum yang kuat Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui Undang-
karena ada situasi ketika antar berbagai sistem Undang Nomor 18 Tahun 2001 inilah Aceh
hukum melangsungkan interaksi yang saling diperkenankan menerapakan Syariah Islam
tidak mendominasi alias sederajat. Individu atau sebagai sistem hukum formal, membentuk
kelompok yang hidup dalam lapangan atau pengadilan Syariah, dan mengartikulasikan
wilayah sosial tertentu bebas memilih salah satu aturan-aturan ke dalam bentuk qanun. Pasal 1
hukum dan bebas untuk mengkombinasikan Angka 8 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
berbagai sistem hukum dalam melangsungkan dengan gamblang menyatakan, “Qanun Propinsi
aktivitas keseharian atau untuk menyelesaikan Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan
sengketa. Pluralisme hukum yang lemah adalah Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di
salah satu sistem hukuim memiliki posisi wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
superior di hadapan dengan sistem hukum dalam rangka penyelenggaraan otonomi
lainnya. Individu atau kelompok lebih sering khusus.” Kemudian undang-undang ini diganti
menggunakan salah satu sistem hukum karena dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tekanan (Bakti, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 65, tentang Pemerintahan Aceh, karena dianggap
April 2015: 136). sudah tidak lagi menampung aspirasi dan
kesepakatan yang lahir dari Perjanjian Helsinki
B. Pluralisme Sistem Hukum di Aceh yang mengakhiri konflik di Aceh pada tahun
2005. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Aceh merupakan salah satu provinsi di
mengatur secara lebih komprehensif tentang
Indonesia yang memilki pluralisme sistem
keistimewaan atau kekhususan Aceh, layaknya
hukum. Provinsi Aceh dipandang sebagai
seperti konstitusi sebuah negara. Materi dalam
provinsi yang memiliki status otonomi khusus
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 banyak
bercorak multikultural, karena kemajemukan
dipengaruhi oleh isi Perjanjian Helsinki antara
sistem hukum dalam masyarakatnya. Dasar
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh
berlakunya pluralisme hukum di Aceh adalah
Merdeka (GAM), yang lebih jauh memberikan
ketentuan Pasal 18b ayat (1) UUD 1945 yang
penguatan terhadap status keistimewaan Aceh,
menyatakan bahwa “negara mengakui dan
serta kekhususan dan otonomi seluas-luasnya
menghormati satuan-satuan pemerintah daerah
bagi Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
Republik Indonesia (Abidin, 2011: 6-7).
diatur dengan undang-undang” ketentuan pasal
Ketentuan Pasal 18B ayat (1) Undang-
tersebut kemudian diperkuat dengan lahirnya
Undang Dasar 1945, yang kemudian diperkuat
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999
Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi
Istimewa Aceh. Undang-undang ini menegaskan,
Daerah Aceh, dan akhirnya lahirnya Undang-
bahwa status keistimewaan Aceh terletak pada,
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
“Kewenangan khusus untuk menyelenggarakan
Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadikan dalam
kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan
perbelakukan sistem hukum, selain berlakunya
ulama dalam penetapan kebijakan daerah”.
sistem hukum negara (state law), secara de facto
Pemerintah pusat mengesahkan undang-undang
ini sebagai bagian dari akomodasi terhadap di Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat
tuntuntan masyarakat Aceh yang merasa

326
SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi Vol. 02, No. 03, (Novembe, 2019), pp. 323 - 331.

law), hukum agama/hukum Islam (religious law/ lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan
Islamic law) penyelesaian secara adat di Laot sesuai dengan
C. Sistem Hukum Adat di Aceh ketentuan Pasal 13 ayat (2) dan pasal 14 ayat (1)
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Indonesia melalui Undang-
Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Yang termasuk dalam
Pemerintahan Aceh mengakui keberadaan
sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
lembaga-lembaga adat dan aturan-aturannya.
dalam Pasal Pasal 13 ayat (1) Qanun Aceh
Bahkan secara khusus telah memberikan
Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
kewenangan kepemimpinan adat pada lembaga
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat adalah sebagai
yang disebut Wali Nanggroe. Pasal 96 Undang-
berikut:
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
a. Perselisihan dalam rumah tangga;
Pemerintahan Aceh menyebutkan bahwa: Wali
b. Sengketa antara keluarga yang berkaitan
Nanggroe merupakan kepemimpinan adat
dengan faraidh;
sebagai pemersatu masyarakat yang independen,
c. Perselisihan antar warga;
berwibawa dan berwenang membina dan
d. Khalwat/mesum;
mengawasi penyelenggaraan kehidupan
e. Perselisihan tentang hak milik;
lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan
f. Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara
g. Perselisihan harta sehareukat;
adat lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 98
h. Pencurian ringan;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebut
i. Pencurian ternak peliharaan;
bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan
j. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian
sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
dan hutan;
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
k. Persengketaan di laut;
Pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang
l. Persengketaan di pasar;
keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
m. Penganiayaan ringan;
ketertiban masyarakat Kemudian lembaga adat
n. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang
yang dimaksud di antaranya adalah Majelis Adat
merugikan komunitas adat);
Aceh (MAA) (Bakti, Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
o. Pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran
65, April 2015: 144).
nama baik;
Demikian juga dengan adanya pengakuan
p. Pencemaran lingkungan (skala ringan);
Pemerintah Aceh terhadap aturan hukum adat
q. Ancam mengancam (tegantung dari jenis
dalam penyelesaian kasus antara warga
ancaman); dan
masyarakat. Bahkan penyelesaiannya diserahkan
r. Perselisihan-perselisihan lain yang
ditangani oleh lembaga adat di wilayah
melanggar adat dan adat istiadat.
terjadinya sengketa atau masalah. ketentuan
tersebut diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9
Adapun sanksi adat yang dapat
Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat
ditetapkan terhadap pelanggaran-pelanggaran
dan Adat Istiadat, yang di dalamnya mengatur
adat dan adat istiadat tersebut berdasarkan Pasal
juga keberlakuan hukum adat di Aceh. Hukum
16 Qanun Nomor 9 Tahun 2008, yakni
adat diartikan sebagai seperangkat ketentuan
a. Nasehat;
tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
b. Teguran;
masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila
c. Pernyataan maaf;
dilanggar dan penerapannya tetap
d. Sayam (perdamaian persengketaan/
memperhatikan nilai-nilai Islami.
perselisihan yang mengakibatkan keluar
Penyelesaian sengketa/perselisihan adat
darah [roe darah] yang diformulasikan
dan adat istiadat dilakukan secara bertahap yaitu
sebagai wujud ganti rugi berupa
diselesaikan secara kekeluargaan terlebih
dahulu, jika gagal, maka akan dibawa pada penyembelihan hewan ternak dalam sebuah
acara adat);
penyelesaian secara adat di Gampong atau nama

327
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi
Vol. 02, No. 03, (November, 2019), pp. 323 - 331.

e. Diyat; ketua dan anggota majelis serta kedua belah


f. Denda; pihak yang bersengketa dan tembusannya
g. Ganti kerugian; disampaikan kepada Kapolsek, Camat serta
h. Dikucilkan oleh masyarakat Gampong atau MAA Kecamatan;
nama lain; h. Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong
i. Dikeluarkan dari masyarakat Gampong atau dan Mukim dalam memberikan keputusan,
nama lain; tapi dilarang menjatuhkan sanksi badan,
j. Pencabutan gelar adat; dan seperti pidana penjara, memandikan dengan
k. Bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat air kotor, mencukur rambut, menggunting
setempat. pakaian dan bentuk-bentuk yang
Adapun ketentuan mengenai peradilan bertentangan dengan nilai-nilai islami;
Adat di tegaskan dalam Surat Keputusan i. Perkara yang diselesaikan ditingkat mukim
Bersama Gubernur Aceh, Kapolda Aceh, dan adalah perkara yang tidak selesai ditingkat
Ketua Majelis Adat Aceh No: 198/677/2011/No: gampong;
1054/MAA/XII/2011/No:B/121/I/2012 tentang j. Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Kabupaten/Kota membina dan mengawasi
Mukim atau nama lain di Aceh, isi keputusannya pelaksanaan peradilan adat gampong dan
diantaranya (Tim Peneliti PKPM Aceh, 2016: mukim di Aceh;
66-67) : k. Kapolda dan Ketua MAA beserta seluruh
a. Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat jajarannya berkewajiban memberi
gampong dan mukim yang bersifat ringan bimbingan, pembinaan, pengembangan dan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13, 14, 15 pengawasan materi Hukum Adat dan
Qanun No. 9 Tahun 2008 wajib diselesaikan Administrasi Peradilan adat sesuai dengan
terlebih dahulu melalui Peradilan Adat tatanan dan asas-asas Hukum Adat yang
Gampong dan Mukim; berlaku pada masyarakat setempat;
b. Aparat kepolisian memberikan kesempatan l. Pemerintah Aceh dan Pemerintah
agar setiap sengketa/perselisihan Kabupaten/Kota dapat membantu
sebagaimana dimaksud pada poin ke satu pembiayaan administrasi untuk
untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong
Peradilan Adat gampong atau mukim. dan Mukim;
c. Semua pihak wajib menghormati m. Majelis Peradilan Adat Gampong dan
penyelenggaraan Peradilan adat Gampong Mukim dan tata cara penyelesaian
dan Mukim; sengketa/perselisihan berpedoman pada
d. Peradilan Adat Gampong atau Mukim dalam Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 dan
penyelesaiannya dapat memberi putusan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun
berdasarkan pada norma hukum adat dan 2011 tentang Pedoman Umum
adat istiadat yang berlaku di daerah Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong.
setempat;
e. Persidangan Peradilan Adat Gampong dan D. Sistem Hukum Islam di Aceh
Mukim dihadiri oleh para pihak, saksi-saksi Penerapan Sistem Hukum Islam secara
dan terbuka untuk umum, kecuali untuk formal di Aceh dimulai sejak bergulirnya
kasus-kasus tertentu yang hmenurut adat dan Reformasi. Dimulai dengan disahkannya
kepatutan tidak boleh terbuka untuk umum; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
f. Putusan Peradilan Adat Gampong dan Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Mukim bersifat final dan mengikat serta Istimewa Aceh. Undang-Undang ini
tidak dapat diajukan lagi pada peradilan
menegaskan, bahwa status keistimewaan Aceh
umum atau peradilan lainnya; terletak pada, “Kewenangan khusus untuk
g. Setiap peradilan adat gamping dan mukim menyelenggarakan kehidupan beragama, adat,
dibuat secara tertulis, ditandatangani oleh pendidikan, dan ulama dalam penetapan

328
SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi Vol. 02, No. 03, (Novembe, 2019), pp. 323 - 331.

kebijakan daerah”. Lalu pada tahun 2001, kemudian melahirkan beberapa Qanun dalam
keistimewaan Aceh kembali diperkuat dengan pelaksanaan hukum Islam di Aceh, diantaranya
hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun (Bakti, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 55, Desember
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah 2011: 91) :
Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh a. Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan
Darussalam. Melalui undang-undang inilah Aceh syariat Islam.
diperkenankan menerapakan hukum Syariah/ b. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang
hukum Islam sebagai sistem hukum formal, pelaksanaan syariat Islam bidang akidah,
membentuk pengadilan Syariah, dan ibadah dan syiar Islam.
mengartikulasikan aturan-aturan ke dalam c. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang minuman
bentuk qanun. Pasal 1 angka 8 dalam undang- haram dan sejenisnya.
undang ini menyatakan bahwa, “Qanun Propinsi d. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang maisir
Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan (perjudian).
Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di e. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwath
(mesum).
wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
f. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
zakat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 g. Qanun No. 11 Tahun 2004 tentang fungsional
ini kemudian diganti dengan Undang-Undang kepolisian daerah Nanggroe Aceh
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Darussalam.
Aceh. Undang- undang ini mengatur secara lebih
komprehensif tentang keistimewaan atau Dari segi kelembagaan hukum,
kekhususan Aceh. Materi dalam Undang- kewenangan Mahkamah Syariah di Aceh untuk
Undang Nomor 11 Tahun 2006 banyak memeriksa, menghadiri, memutuskan dan
dipengaruhi oleh isi Perjanjian Helsinki antara meyelesaikan perkara ahwal Syahksiyah (hukum
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh keluarga), muamalah (hukum perdata) dan
Merdeka (GAM), yang lebih jauh memberikan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas
penguatan terhadap status keistimewaan Aceh, syariat Islam berdasarkan Pasal 128 Undang-
serta kekhususan dan otonomi seluas-luasnya Undang Pemerintah Aceh. Demikian pula
bagi Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan dengan kepolisian dan kejaksaan Aceh,
Republik Indonesia (NKRI). Pasal 125 Undang- berwenang untuk menyidik dan menuntut
Undang Nomor 11 Tahun 2006 misalnya perkara jinayah ke Mahkamah Syariah sesuai
menyebutkan, Syariat Islam yang dilaksanakan dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang
di Aceh meliputi akidah, syariah dan ahlak. Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Inilah dasar yang menjadi landasan bagi Kemudian pada tahun 2014, Pemerintah
Pemerintahan Aceh menerapkan ketentuan Islam Aceh kembali mengesahkan sebuah Qanun yang
menurut paham keislaman yang berkembang di menjadi dasar dalam penegakan hukum Islam di
sana. Dengan dasar tersebut, formalisasi Aceh di bidang hukum pidana (jinayah) yakni
penerapan hukum Islam di Aceh bukan saja Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang
legal, tapi juga menjadi tuntutan pelaksanaan Hukum Jinayah. Pasal 3 ayat (2) Qanun Jinayat
undang-undang. terdapat 36 butir ketentuan di Aceh menyebutkan bahwa Qanun ini mengatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 10 jenis jarîmah (delik) yakni: khamr, maisir,
yang harus didelegasikan pengaturannya ke khalwat, ikhtilâth, zina; pelecehan seksual,
dalam Qanun. Terutama mengenai ketentuan pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musâhaqah.
lebih lanjut pelaksanaan Syari’at Islam, yang Khalwat, pelecehan seksual, (khamr) minuman
meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak, dan; keras, (maisir) judi, dan pemerkosaan memiliki
ketentuan lebih lanjut mengenai hukum di bidang kesamaan dengan KUHP, Perbedaannya lebih
ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), kepada jenis dan bentuk sanksi saja. Sementara
muamalah (hukum perdata), dan Jinayat (hukum zina berbeda secara definisi (perbuatannya) dan
pidana) (Abidin, 2011: 7). Ketentuan tersebut hukumannya. Adapun sanksi terhadap perilaku

329
Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi
Vol. 02, No. 03, (November, 2019), pp. 323 - 331.

jarimah-jarimah tersebut dalam Qanun Jinayah masing-masing. Unsur terpenting menjadi


dibagi menjadi 2 kategori yakni Pertama, karakteristik dalam pluralisme hukum adalah
Hudûd. Hudûd berbentuk cambuk dan bekerjanya semua sistem hukum secara utuh,
merupakan hukuman pokok. Hudûd dalam bukan parsial. Hukum yang hidup dalam
Qanun Jinayat Aceh dan ilmu hukum pidana masyarakat didasarkan pada sebuah kenyataan
Islam (fiqh jinâyat) dipandang sebagai sanksi sosial masyarakat memiliki keragaman sistem
terberat dan serius. Kedua, Ta‘zîr. Pemahaman hukum, sebagai wujud dari identitas Agama dan
tentang ‘uqûbât ta‘zîr dibagi dua, yaitu ‘uqûbât adat masyarakat Aceh.
ta‘zîr utama dan ‘uqûbât ta‘zîr tambahan. Untuk Dalam konteks penegakan Syari’at Islam dan
‘uqûbât ta’zîr utama terdiri dari cambuk, denda, kehidupan masyarakat adat di Provinsi Aceh,
penjara, dan restitusi. Sedangkan‘uqûbât ta’zîr Negara bukan hanya menjamin masyarakat Aceh
tambahan terdiri dari pembinaan oleh negara, memeluk Agama Islam dan menjalankan adat
restitusi oleh orang tua/wali, pengembalian istiadatnya, tetapi juga memberi kewenangan
kepada orang tua/wali, pemutusan perkawinan, kepada pemerintah Provinsi Aceh untuk
pencabutan izin dan pencabutan hak, perampasan menkonversikan hukum Islam dan hukum Adat
barang-barang tertentu, dan kerja social. yang tidak tertulis menjadi hukum tertulis atau
hukum positif (hukum materiil), merumuskan
Hukum Acaranya, dan membentuk lembaga
E. Analisis Sistem Hukum di Aceh
hukum untuk menjalankannya. Semua
Dikaitkan Dengan Pluralisme Hukum
kewenangan tersebut ditegaskan dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pluralisme sistem hukum di Aceh Pemerintahan Aceh.
berawal dari sebuah realitas masyarakat
majemuk dan saling berinteraksi satu sama lain SIMPULAN
sesuai dengan identitas yang dimiliki. Setiap Aceh dipandang sebagai sebagai salah satu
masyarakat bukanlah lahir dari sistem nilai provinsi di Indonesia yang memiliki status
tunggal (monovalue), melainkan terdapat otonomi khusus bercorak multikultural, karena
beragam sistem nilai dalam bentuk agama, kemajemukan sistem hukum dalam
budaya, adat, suku maupun ras. Keragaman ini masyarakatnya. Kemajemukan (Pluralisme)
bukanlah sesuatu yang harus dinafikan, dihindari sistem hukum di Aceh disebabkan karena adanya
atau dipaksakan dalam satu “wadah” hukum keberagaman suku dan penerapan nilai-nilai
yang dikenal dengan hukum sentralistik (legal Agama Islam dalam setiap sendi kehidupan
centralism). masyarakat Aceh, terutama di bidang penegakan
Adanya lebih dari satu sistem hukum hukum. Keberagaman (Pluralisme) sistem
yang berlaku bersamaan atau berinteraksi dalam hukum yang hidup dan berlaku di Aceh
mengatur berbagai aktivitas dan hubungan mendapat kekuatan hukum dan pengakuan dari
masyarakat di Aceh telah mendapat legalitas dan pemerintah Indonesia dengan disahkannya
pengakuan negara melalui Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, Sehingga selain berlakunya
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh sistem hukum negara (state law), secara de facto
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 di Aceh juga berlaku sistem hukum adat (adat
tentang Pemerintahan Aceh. Sehingga baik law), dan sistem hukum agama/hukum Islam
Sistem Hukum Negara (state law), Sistem (religious law/ Islamic law)..
Hukum Adat (adat law), dan Sistem Hukum
Islam (religious law/ Islamic law) yang berlaku
di Aceh dapat berjalan beriringan dengan
memberlakukannya dalam ranah kewenangan

330
SISTEM HUKUM DI ACEH DAN KAITANNYA DENGAN PLURALISME HUKUM Jurnal Geuthèë: Penelitian Multidisiplin
Ridha Maulana, O.D Kurniawati, D. P Ananda, Arsudian Putra, Miswardi Vol. 02, No. 03, (Novembe, 2019), pp. 323 - 331.

DAFTAR PUSTAKA

Aharis Mabrur, “Konsepsi Pidana Hudud dalam Qanun Jinayat Aceh-Indonesia dan Brunei
Darussalam,” Kanun Jurnal Hukum, Vol. 19, No. 1, April, 2017.

Bakti, Kedudukan Syari’at Islam di Aceh dalam Sistem Hukum Indonesia, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, No. 55/Th. XIII/Desember 2011.

_____, Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Alam di Aceh,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 65/Th. XVII/April 2015.

Rikardo Simarmata, Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin, Jakarta: Tim HuMa,
2005.

Sulistyowati Irianto, Hukum Yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2009.

Tim Peneliti PKPM Aceh, Peumat Jaroe: Proses Mediasi Menuju Harmoni dalam Masyarakat
Aceh, Banda Aceh: Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat, 2016.

Zainal Abidin, Et.al., Analisis Qanun-Qanun Aceh Berbasis Hak Asasi Manusia, Jakarta: Demos,
2011.

331

Anda mungkin juga menyukai