Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TEORI HUKUM

TEORI KEKACAUAN HUKUM TERHADAP KASUS PUTUSAN MAHKAMAH


KONSTITUSI (MK) NOMOR 90/PUU-XXI/2023

Di susun Oleh :

SHAFIRA ADIANDA – (2320123017)

Dosen Pengajar : Prof., Dr., Elwi Danil, SH., MH

PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2023/2024
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan suatu negara dapat dilihat dari cara mereka mengangkat harkat martabat di bidang
hukum terutama di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakatnya bisa dilihat
dari sudah baik dan efektif dalam menjalankan penegakan hukum.Bangsa Indonesia saat ini
sedang mengalami krisis keadilan dalam penegakan hukum. Hal ini terjadi karena semata-mata
hanya mementingkan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal daripada keadilan. Adagium
hukum berupa keadilan (justice) tidak lagi berada pada hakikatnya, karena suatu peraturan
perundang-undangan harus adil dalam pengimplementasiannya, namun dalam kenyataannya
adalah adanya ketidakadilan (injustice).Keadilan merupakan keinginan yang harus terpenuhi
dalam menegakkan hukum. Keadilan memiliki sifat individualis serta tidak menyamaratakan.
Jika penegak hukum memegang teguh pada nilai keadilan namun nilai kemanfaatan serta
kepastian hukum tidak diperhatikan, maka hukum tidak akan berjalan dengan mulus. Lalu jika
menitik beratkan pada nilai kemanfaatan tetapi mengesampingkan kepastian hukum dan keadilan
maka hukum tidak akan berjalan. Seharusnya jika ingin menegakkan hukum, nilai keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum harus seimbang dan selaras.1

Hukum dapat ditegakkan apabila memiliki aparat penegak hukum yang berkredibilitas,
berkompeten dan mandiri. Sebagus-bagusnya suatu hukum apabila tidak didukung dengan
adanya aparat penegak hukum yang baik maka tidak akan tercipta suatu keadilan. Kekuasaan
lembaga penegak hukum diatur di dalam undang-undang. Maka dalam melakukan tugas dan
tanggung jawabnya tidak terpengaruh oleh kewenangan pemerintah atau pengaruh dari
luar.Masalah yang krusial dalam penegakan hukum bukan sekedar terhadap produk hukum yang
tidak kooperatif tetapi juga karena dari aparat penegak hukumnya. Pilar utama dalam penegakan

1
Hasaziduhu Moho, “Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan, dan
Kemanfaatan” Jurnal Warta, Edisi 59 (2019)
hukum adalah para aparat penegak hukum yang melaksanakan tugasnya dengan integritas serta
dedikasi yang baik.

Masyarakat selalu menginginkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian
hukum maka kehidupan dalam masyarat akan damai. Apabila masyarakat menginginkan manfaat
dalam praktek penegakan hukum, maka keadilan adalah hal yang paling utama diperhatikan.
Karena kehidupan masyarakat diciptakan agar harmonis dan teratur. Tetapi dalam kenyataannya
hukum yang dibuat tidak memuat keseluruhan masalah yang ada di masyarakat. Pada struktur
kenegaraan tugas penegak hukum dilakukan oleh komponen eksekutif dan dilaksanakan oleh
birokrasi eksekutif atau yang biasa disebut dengan birokrasi penegak hukum. Keikutsertaan
hukum semakin aktif semenjak Negara ikut dalam menangani banyak aktivitas dan pelayanan
masyarakat, Contohnya pada bidang kesehatan, sosial, budaya, dan pendidikan.2

Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa penegakan hukum merupakan proses melakukan cara agar
berjalan atau berfungsinya norma hukum secara konkret sebagai penuntun kehidupan dalam
berperilaku atau hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat.3 Fenomena hilangnya keadilan
dalam penegakan hukum terjadi karena lemahnya pemahaman agama, ekonomi serta empati para
aparat penegak hukum. Hukum cenderung dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan penguasa negara.

Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut,
MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai
calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai
kepala daerah. Hal ini berkaitan erat dengan kepentingan anak Presiden, yakni Gibran
Rakabuming Raka sebagai Walikota Solo yang hendak maju sebagai calon wakil presiden
berdampingan dengan Prabowo Subiyanto, tetapi sempat terhalang syarat secara konstitusional
karena faktor usia.

2
Laurensius Arliman S., “Mewujudkan Penegakan Hukum yang baik di Negara Hukum Indoesia” Dialogia Iuridica,
Vol. 11 No. 1 (2019): 010-020
3
Hasaziduhu Moho, “Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum, Keadilan, dan
Kemanfaatan” Jurnal War ta, Edisi 59 (2019)
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemahaman menganai teori chaos dalam teori hukum?


2. Bagaimana kaitan antara kasus putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-
XXI/2023 dengan teori chaos tersebut?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pemahaman menganai teori chaos dalam teori hukum


2. Untuk mengetahui kaitan antara kasus putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor
90/PUU-XXI/2023 dengan teori chaos tersebut
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemahaman Mengenai Mazhab Chaos Theory dalam Teori Hukum

Chaos Theory pertama kali diperkenalkan oleh Charles Sampford dalam bukunya yang berjudul
The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory. Selain Sampford,ada juga pakar lain yang
mengemukakan pendapat lain yang sejenis dan sangat mirip dengan Chaos Theory milik Charles
Sampford ini yaitu Denis J. Brion dengan artikelnya tentang “The Chaotic Indeterminacy of Tort
Law”, yang termuat dalam Radical Philosophy of Law, 1995. Aliran Legal Melee ini sekaligus
merupakan pengecam keras aliran positivisme, dengan tokoh utamanya Hans Kelsen, dimana
kaum positivis memandang hukum sebagai suatu sistem yang teratur, determinan, dan linear.

Menurut Sampford, secara teoritis dimungkinkan untuk menemukan suatu sistem hukum dalam
suatu masyarakat yang tidak teratur. Bahkan dimungkinkan juga untuk menemukan suatu hukum
yang tidak sistematik di dalam suatu masyarakat yang justru teratur. Charles Sampford
memandang bahwa hukum bukanlah bangunan yang penuh dengan keteraturan, melainkan suatu
yang bersifat cair. Ada tiga karakteristik hukum menurut Sampford :

Hukum merupakan sesuatu yang dibuat dari blok-blok bangunan yang sama dimana hubungan-
hubungan sosial diantara individu-individu dalam semua keragaman dan kerumitannya
cenderung tidak simetris. Banyak hubungan, khususnya mengenai hubungan persuasif, hubungan
otoritas dan hubungan nilai-efek yang mencakupi aturan-aturan, menyediakan alasan untuk
melakukan tindakan di salah satu atau kedua „ujung‟. Tetapi aturan-aturan tersebut tidak harus
sama-sama diikuti diantara orang-orang pada ujung yang sama dari hubungan-hubungan yang
mirip atau di kedua ujung dari suatu hubungan tunggal.

Hukum sebagai sasaran dari kekuatan-kekuatan dan kecenderungan-kecenderungan yang sama


sebagimana bagian-bagian masyarakat lainnya, yang mana, hal ini menunjukkan kecenderungan
sentripetal yang sama untuk menjadi terorganisir secara parsial menjadi pranata-pranata,
kecenderungan-kecenderungan sentrifungal yang sama, ke konflik dan ketidakteraturan
(disorder).
Hukum sebagai bagian dan “social melee”, dikacaukan baik oleh hubungan-hubungan yang
konflik dengan pranata-pranata lain dan memberikan tambahan kepada ketidakteraturan
(disorder) tersebut (di mana kaum fungsionalis melihat subsistem hukum sebagai suatu
mikrokosmos dari “the social melee”). Sepertinya, hal ini memperkuat gambaran tentang hukum
sebagai tidakteraturan. Tampak jelas bahwa suatu bagian dari masyarakat berada dalam kondisi
ketidakteraturan dan juga suatu alasan lebih jauh, mengapa bagian selebihnya dari masyarakat
kemungkinan adalah sesuatu ketidakteraturan (karena efek-efek hukum akan cenderung
membuatnya demikian).

Prof. Achmad Ali, dalam bukunya Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan (2009),
menyimpulkan bahwa ketika Sampford menggunakan istilah social melee dan legal melee, maka
istilah “melee” diartikan sebagai keadaan yang cair (fluid), sehingga tidak mempunyai format
formal atau struktur yang pasti dan tidak kaku. Menurut Sampford, hubungan antar manusia itu
bersifat “melee”, baik dalam kehidupan sosialnya maupun dalam kehidupan hukumnya. Hukum
dibangun dari hubungan antarmanusia yang “melee” tadi , yaitu hubungan sosial antar individu
dengan keseluruhan variasi dan kompleksitasnya. Kondisi tersebut cenderung ke arah yang
sifatnya asimetris. Jadi, hukum tunduk terhadap kekuatan-kekuatan sentripetal yang menciptakan
suatu pranata yang terorganisir, tetapi bersamaan juga tunduk terhadap kekuatan-kekuatan
sentrifungal yang menciptakan ketidakteraturan (“disorder”), kekacauan (“chaos”), dan konflik.

Kenyataan yang terjadi di masyarakat, bahwa masyarakat tidak terpaku pada suatu peraturan
tertentu mengenai suatu hal tertentu, meskipun sebenarnya itulah peraturan yang ditujukan untuk
mengatasi ketidakteraturan dalam masyarakat, tapi hubungan antar individu dan antar sosial yang
terjadi menyebabkan peraturan itu tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mengatasi
ketidakteraturan, justru ketidakteraturan yang berkuasa. Tapi dari ketidakteraturan yang timbul
ini, dapat diperoleh pemahaman tentang apa yang sebenarnya kurang atau tidak terdapat dalam
peraturan yang bersangkutan.

Chaos Theory sering dipandang dengan pandangan yang keliru, termasuk Chaos Theory tentang
hukum. Kesalahpahaman yang umum adalah bahwa Chaos Theory berkenaan dengan
ketidakteraturan. Chaos Theory tidak menyatakan bahwa sistem yang teratur tidak ada. Istilah
chaos dalam Chaos Theory justru merupakan keteraturan, bukan sekadar keteraturan, melainkan
esensi keteraturan. Ketidakteraturan memang hadir ketika kita mengambil pandangan
reduksionistik dan memusatkan perhatian pada perilaku saja, akan tetapi kalau sikap holistik
yang kita ambil dan memandang pada perilaku keseluruhan sistem secara terpadu, keteraturanlah
yang akan tampak. Jadi Chaos Theory yang dianggap berkenaan dengan ketidakteraturan, pada
saat yang sama berbicara tentang keteraturan. Ketidakteraturan dalam pandangan reduksionistik,
namun keteraturan dalam pandangan holistic.

B. Kaitan Antara Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor


90/PUU-XXI/2023 Dengan Teori Chaos

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping


Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun
1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam
menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
UUD Tahun 1945 meliputi:

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum;4

Dilanjutkan pada Pasal 24 C ayat (2) “memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

4
Ibnu Sina Chandranegara. 2021. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan prinsip check and
balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan
langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar-lembaga negara. Mahkamah
Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan
secara sederhana dan cepat serta dapat menyelesaikan permasalahan ketetanegaraan.

Penerapan prinsipcheckand balances pada kekuasaan yudikatif sedikit memiliki perbedaan,


dengan lembaga lainnya, seperti Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsp check and
balances di lingkup nonkewenangan, yang terdiri dari pengelolaan keuangan, pengisian jabatan
hakim, hingga proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden pada masa jabatannya.5
Prinsip check and balances ini tidak diterapkan secara penuh di lembaga yudikatif, dikarenakan
pada dasarnya hakim memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memutuskan suatu sengketa,
hal ini juga telah diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, pada perkembangan
dan implementasinya, tidak jarang hakim dalam memutuskan suatu putusan meleset dari nilai-
nilai yang terkandung dalam konstitusi dan mendapatkan pengaruh dari pihak-pihak luar lain
yang dapat mempengaruhi integritas putusan hakim.Sejatinya independen yang dimiliki oleh
hakim tidaklah bersifat mutlak, hal ini dikarenakan kebebasan yang dimiliki oleh hakim tetap
harus dengan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945, sehingga dengan demikian segala
putusan yang ditetapkan harus dapat dipertanggungjawabkan, memiliki sifat yang akuntabilitas
dan daya moralitas,6 Contohnya adalah pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-
XXI/2023 putusan terkait permohonan uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU)
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia maksimal calon presiden (capres)
dan calon wakil presiden (cawapres).

Salah satu penyebab dari adanya kekacauan dunia peradilan adalah lemahnya fungsi pengawasan
internal hakim, mulai dari pengendalian, pembinaan kontrol, sanksi dan sistem penghargaan

5
Janedjri M. Gaffar,Demokrasi Konstitusi, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI
1945,Konpres, Jakarta, 2012, hlm. 114-115
6
Wiryanto,Etik Hakim Konstitusi: Rekonstruksi dan Evolusi Sistem Pengawasan,PT RajaGrafindo Persada,
Cetakan-1. Depok, 2019, hlm. 55-58.
yang berjalan tidak dengan semestinya.7 Lemahnya etika yang dimiliki oleh hakim atau yang
disebut dengan etika profesi hukum merupakan suatu hal yang tidak boleh lepas dari perilaku
hakim. Pengertian etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yang dalam bentuk
tunggalnya memiliki arti watak kesusilaan atau adat.8 Aristoteles mengartikan etika ini sebagai
filsafat moral,9 yang mana penerapan etika ini tidak hanya dalam bentuk suatu hal yang harus
diperintahkan, akan tetapi juga berasal dari suatu hal tindakan yang berasal dari kemauan sendiri.
Sehingga dengan demikian etika ini merupakan perilaku yang melingkupi banyak hal yaitu etos,
etis, moral, hingga estetika.

Etika sebagai sistem nilai, maksudnya adalah manusia memiliki tindakan atau perilaku yang baik
dengan berdasarkan pada nilai-nilai secara hierarki yang telah ditetapkan dan diakui secara
ajeg.10 Sistem nilai yang diyakini oleh masyarakat dijadikan sebagai acuan kebaikan, kebenaran,
cita-cita, hingga tujuan yang akan diwujudkan dalam berkehidupan. Selain etika sebagai nilai,
juga terdapat etika sebagai nilai moral, hal ini lah yang menjadi tuntutan bagi para profesi hukum
untuk diterapkan dalam segala hal perbuatan, dan tindakan yang dijalankan. Abdul Kadir
Muhammad mengutip Franz Magnia Suseno, bahwa terdapat kriteria nilai moral yang dapat
dijadikan sebagaipatokan kepribadian bagi profesi hukum, yaitu:11

1) Kejujuran, kejujuran merupakan suatu hal yang sangat palingutama,kejujuran akan


menimbulkan sifat profesional yang dimiliki oleh profesi hukum. Sifat Kejujuran ini,
seperti adanya sikap pelayanan kepada klien, tidak meminta hal lebih atau kerelaan dalam
melayani klien.
2) Autentik, memiliki makna bahwa sebagai orang yang bekerja di profesi hukum harus
dapat menghayati jati dirinya sendiri, dan menunjukkan sifat keaslian dari
kepribadiannya, seperti tidak menyalahgunakan kewenangan, mendahulukan kepentingan
orang lain daripada pribadi, dan lain sebagainya
3) Bertanggung jawab, sifat tanggung jawab ini berarti bahwa seorang profesihukum harus
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baik mungkin, bersikap secara profesional, dan

7
Ansyahrul,Pemulihan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan dan Hukum Acara,Mahkamah Agung
RI, Jakarta, hlm. 136.
8
Ahmad Charis Zubair,Kuliah Etika,Rajawali Pers, Jakarta, 1980, hlm. 7
9
Abdul kadir Muhammad,Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 13
10
Abiantoro Prasoko,Etika Profesi Hukum, Laksbang Justutia, Surabaya, 2015, hlm 35-39
11
Supriadi,Etika dan TanggungJawab, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 62-63
dapat untuk menanggung segala tindakan yang telah dilakukan untuk
dipertanggungjawabkan.
4) Kemandirian Moral, sikap ini juga sangatlah penting, hal ini dikarenakan seorang yang
bekerja di profesi hukum harus memiliki keindependenan dirinya, tidak mudah untuk
terpengaruh dari pihak luar, dan dapat melakukan segala aktivitasnya secara mandiri
berdasarkan keyakinan dan pandangan moralnya yang sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan agama.
5) Keberanian Moral, merupakan bentuk sikap para profesi hukum untuk berani
menanggung segala risikodari segala kesediaan dan tindakannya yang dilakukan secara
sukarela, dankeyakinan hati nuraninya. Sifat keberanian yang dimaksud seperti menolak
suap, kolusi, pungli, dan segala bentuk korupsi.

Banyaknya kasus yang menyebabkan lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah


Konstitusi, seperti kasus Ketua MK bernama Anwar Usman melakukan pelanggaran
sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas,
Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan
Kesopanan. Alhasil, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan
Ketua MK. “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi
kepada Hakim Terlapor.”12

Dalam Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 tersebut, Anggota MKMK Bintan R.


Saragih memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Bintan menyatakan pemberhentian
tidak dengan hormat kepada Anwar Usman sebagai Hakim Konstitusi. Sebab dalam pandangan
akademisi yang telah menjadi dosen sejak 1971 ini, Anwar telah terbukti melakukan pelanggaran
berat. Hanya pemberhentian tidak dengan hormat yang seharusnya dijatuhkan terhadap
pelanggaran berat.

Benturan kepentingan yang melibatkan Ketua MK dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-
XXI/2023. Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya setiap hakim konstitusi memiliki rasa

12
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19751&menu=2
sensitifitas yang tinggi dan waspada terhadap isu benturan kepentingan. Selain itu, hilangnya
budaya saling mengingatkan di antara sesama hakim.

Isu tersebut antara lain, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, ipar Presiden Joko Widodo,
tak mengundurkan diri dalam memutus perkara 90/PUU-XXI/2023 putusan terkait permohonan
uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang
13
mengatur batas usia maksimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Padahal, ada kepentingan pemohon terhadap idolanya yang juga keponakan Anwar, yaitu Wali
Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, untuk maju di pilpres. Lalu diputus 16 Oktober 2023
sembilan hari sebelum batas pendaftaran capres dan cawapres, yang tadinya capres cawapres
cuma boleh berusia 40 tahun ke atas, sekarang ada alternatif syaratnya boleh minimal usia 35
tahun asal pernah lolos pilkada atau pileg.

Isu lainnya adalah dugaan kebohongan Anwar Usman dan dugaan pembiaran oleh delapan hakim
konstitusi lain terhadap Anwar yang turut memutus perkara meski terdapat potensi konflik
kepentingan di dalamnya. Dalam aturan kode etik dan perilaku hakim, seorang hakim tidak boleh
mengadili perkara yang berkaitan dengan kepentingan diri sendiri ataupun kepentingan
keluarganya, atas alasan itu Anwar Usman dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi pada 23 Oktober 2023, bahkan laporannya mencapai 15.

Kasus tersebut memperlihatkan bahwa hukum itu tidak selamanya menimbulkan keteraturan,
yang terjadi malah sebaliknya yaitu ketidakaturan dan kesewenang-wenangan dari pejabat tinggi
untuk kepentingan pribadi masing-masing pihak.

13
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2z39ye819o
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Masyarakat tidak terpaku pada suatu peraturan tertentu mengenai suatu hal
tertentu, meskipun sebenarnya itulah peraturan yang ditujukan untuk mengatasi
ketidakteraturan dalam masyarakat, tapi hubungan antar individu dan antar sosial yang
terjadi menyebabkan peraturan itu tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mengatasi
ketidakteraturan, justru ketidakteraturan yang berkuasa. Tapi dari ketidakteraturan yang
timbul ini, dapat diperoleh pemahaman tentang apa yang sebenarnya kurang atau tidak
terdapat dalam peraturan yang bersangkutan.
Kasus diatas memperlihatkan bahwa hukum itu tidak selamanya menimbulkan
keteraturan, yang terjadi malah sebaliknya yaitu ketidakaturan dan kesewenang-
wenangan dari pejabat tinggi untuk kepentingan pribadi masing-masing pihak.

B. Saran

Diperlukannya penguatan dan pengawasan hakim mahkamah konstitusi, supaya


agar menjaga independensi dan integritas hakim konstitusi dalam menegakkan hak-hak
konstitusional warga Negara.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul kadir Muhammad,Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,

Abiantoro Prasoko,Etika Profesi Hukum, Laksbang Justutia, Surabaya, 2015,

Ahmad Charis Zubair,Kuliah Etika,Rajawali Pers, Jakarta, 1980,

Ansyahrul,Pemulihan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan dan Hukum


Acara,Mahkamah Agung RI, Jakarta,

Hasaziduhu Moho, “Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum,


Keadilan, dan Kemanfaatan” Jurnal War ta, Edisi 59 (2019)

Ibnu Sina Chandranegara. 2021. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika

Janedjri M. Gaffar,Demokrasi Konstitusi, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah


Perubahan UUD NRI 1945,Konpres, Jakarta, 2012,

Laurensius Arliman S., “Mewujudkan Penegakan Hukum yang baik di Negara Hukum
Indoesia” Dialogia Iuridica, Vol. 11 No. 1 (2019): 010-020

Wiryanto,Etik Hakim Konstitusi: Rekonstruksi dan Evolusi Sistem Pengawasan,PT


RajaGrafindo Persada, Cetakan-1. Depok, 2019,

Supriadi,Etika dan TanggungJawab, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19751&menu=2,

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2z39ye819o

Anda mungkin juga menyukai