Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MASALAH HUKUM DAN KEKUASAAN


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum
Dosen Pembimbing: Dr. Eny Kusdarini, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:
1. Graha Purnama Aji (16401244008)
2. Siti Isrowiyah (16401244016)
3. Handhi Setiadi (16401241026)

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan anugerah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
ilmiah yang berjudul “Masalah Hukum dan Kekuasaan” ini.
Atas dukungan moral dan materi yang telah diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Eny Kusdarini,
S.H., M.Hum. selaku pembimbing dan dosen pengampu mata kuliah Filsafat
Hukum serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah
ilmiah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca dalam penyempurnaan makalah ini. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi kepada para pembaca.

Yogyakarta, 1 April 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................................
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................
D. Manfaat ..............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum dan Kekuasaan ......................................................................
B. Hubungan Hukum dan Kekuasaan .....................................................................
C. Realita Masalah Hukum dan Kekuasaan di Indonesia .......................................

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta
manusia. Kekuasaan seringkali disamakan dengan konsep politik, bahkan
banyak yang beranggapan bahwa kekuasaan adalah politik. Begitu pentingnya
peranan kekuasaan dalam masyarakat baik yang masih sederhana maupun
yang sudah besar atau rumit susunannya menyebabkan munculnya penilaian
baik atau buruknya harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat. Kekuasaan tidak
dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat oleh sebab tidak merata
itulah munculnya makna yang pokok dari kekuasaan itulah merupakan
kemampuan untuk melancarkan pengaruh dengan pihak lain yang menerima
pengaruh itu rela atau karena terpaksa (Soejono Soekamto, 2007:227).
Kekuasaan dan hukum merupakan hal yang memiliki relevansi yang kuat,
jika Hukum tanpa kekuasaan adalah lumpuh namun kekuasaan tanpa hukum
merupakan kekuasaan belaka. Hukum dan kekuasaan sebagai dua sistem
kemasyarakatan. Hukum dan kekuasaan sangat erat kaitannya, manakala
ketika hukum tidak selalu dapat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak
hak-hak masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum
yang tumpul, tidak mampu memotong kesewenanggwenangan, tidak mampu
menegakan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinyana sebagai
pedoman yang seharusnya diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang
seharusnya bisa dijawab oleh hukum (Mahfud, M.D., 2009:7). Bahkan
kenyataannya banyak produk hukum yang lebih didasarkan pada kepentingan
penguasa yang memegang kekuasaan dominan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa hukum tidak steril dari
subsistem kemasyarakatannya, di mana kekuasaan kerapkali melakukan
intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga menjadi
permasalahan tetang subsistem mana yang lebih suprematif apakah kekuasaan
atau hukum. Untuk menganalisis hubungan antara hukum dan kekuasaan,

1
maka analisis ini diarahkan pada pembahasan mengenai pengaruh kekuasaan
terhadap hukum baik dalam hal intervensi kekuasaan terhadap hukum,
maupun kekuasaan yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hukum dan kekuasaan ?
2. Bagaimana hubungan hukum dan kekuasaan ?
3. Bagaimana realita masalah hukum dan kekuasaan di Indonesia ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahaui hukum dan kekuasaan.
2. Mengetahui hubungan hukum dan kekuasaan.
3. Mengetahui realita masalah hukum dan kekuasaan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat pembuatan makalah ini adalah dapat digunakan sebagai
bahan pengajaran di bidang pendidikan, khususnya mengenai Filsafat
Hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum dan Kekuasaan


Hukum sebagai persamaan kata dari istilah Jerman Recht, istilah
Perancis Droit, dan istilah Italia Diritto diartikan sebagai tata perilaku yang
mengatur manusia, dan merupakan tatanan pemaksa. Ini berarti bahwa semua
tatanan itu bereaksi terhadap kejadian-kejadian tertentu, yang dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki karena merugikan masyarakat. Reaksi
tersebut terutama ditujukan terhadap perilaku manusia yang merugikan ini,
dengan menggunakan tindakan paksa. Pengertian ini dikemukakan oleh Hans
Kelsen (2007 : 34-37). Van Doorn, sosiolog hukum Belanda seperti yang
dikutip Satjipto Raharjo (2007 : 4) mengutarakan bahwa:
“Hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku)
manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh diluar skema
yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman,
pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan
membentuk perilakunya”.
John Austin, seorang ahli filsafat dari Inggris yang dikutip Soerjono
Soekanto (2007 : 34) mengemukakan bahwa hukum merupakan perintah dari
mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang
kedaulatan. Menurut Austin, hukum adalah yang dibebankan untuk mengatur
makhluk berpikir, perintah mana dilakukan oleh makhluk berpikir yang
memegang dan mempunyai kekuasaan. Jadi hukum didasarkan pada
kekuasaan dari penguasa. Austin beranggapan bahwa hukum yang sebenarnya
yaitu hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya
mengandung 4 (empat) unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan.
Pendapat Friedrich Karl Von Savigny, seorang pemuka ilmu sejarah
hukum dari Jerman mengemukakan bahwa hukum merupakan perwujudan
dari kesadaran hukum masyarakat (Volkgeist). Menurutnya semua hukum

3
berasal dari adat istiadat dan kepercayaan, bukan dari pembentuk
undangundang. Pendapat ini dikutip oleh Soerjono Soekanto (2007 : 38-39).
Pendapat Rudolph Von Ihering yang juga dikutip Soerjono Soekanto
(2007 : 41) mengemukakan bahwa hukum merupakan suatu alat bagi
masyarakat untuk mencapai tujuannya. Von Ihering menganggap hukum
sebagai sarana untuk mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai
dengan tujuan masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Menurutnya
hukum juga merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan
perubahan-perubahan sosial.
Hestu Cipto Handoyo (2008 : 8) mengungkapkan bahwa “hukum”
bila ditinjau dari sudut kefilsafatan adalah mempelajari sebagian dari tingkah
laku manusia, yaitu tingkah laku (atau perbuatan manusia) dalam kehidupan
antar pribadi yang akibatnya diatur oleh hukum dengan menitikberatkan pada
tujuan keserasian antara ketertiban dengan kebebasan/ketenteraman dan
dalam pergaulan hidup itu tercakup pula dalam aspek pemenuhan kedamaian.
Sedangkan kekuasaan menurut ahli Kekuasaan merupakan konsep
yang paling mendasar dalam ilmu-ilmu sosial dan didalamnya terdapat
perbedaan titik penekanan yang dikemukakan. Menurut Russel (1988)
terdapat batasan umum dari kekuasaan yaitu merupakan produk pengaruh
yang diharapkan. Ketika seseorang ingin memperoleh tujuan yang
diinginkannya dan juga diinginkan oleh orang banyak, maka orang tersebut
harus memiliki kekuasan yang besar. Faktor pendorong yang menimbulkan
keinginan berkuasa antara lain faktor eksplisit dan implisit yang berupa
dorongan untuk memperoleh kekuasaan. Faktor eksplisit dari dalam diri
seseorang, sedangkan faktor implisit adalah faktor dari luar yang
mempengaruhi seseorang untuk berkuasa.
Adapun pengertian kekuasaan menurut para ahli antara lain :
a. Walter Nord Kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mencapai
suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya.

4
b. Miriam Budiardjo Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan dari pelaku.
c. Ramlan Surbakti Universitas Sumatera Utara Kekuasaan merupakan
kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku
sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.
d. Max Weber Kekuasaan itu dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan
yang membuat seorang actor didalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai
sesuatu dengan cara yang diinginkan.

B. Hubungan Hukum dan Kekuasaan


Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan
hanya merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tapi juga
instrumen penegakan hukum (law enforcemenf) dalam kehidupan masyarakat.
Pembentukan hukum, khususnya undang – undang, dilakukan melalui
mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga legislatif dimana kepentingan –
kepentingan kelompok masyarakat yang saling bertentangan diupayakan
untuk di kompromikan guna menghasilakan satu rumusan kaidah – kaidah
hukum yang dapat diterima semua pihak. Penengakan hukum merupakan
upaya untuk untuk mendorong masyarakat agar menaati aturan – aturan
hukum yang berlaku (upaya preventif ) dan penjatuhan sangsi hukum
terhadap kasus – kasus pelanggaran hukum yang terjadi dalam masyarakat
(upaya represif). (Tony Hanoraga : jurnal Dialektika hubungan hukum dan
kekuasaan )
Hukum juga mempunyai arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat
berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga – lembaga
negara, unit – unit pemerintahan, pejabat negara serta pemerintahan.

5
Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi
kekuasaan melalui aturan – aturan hukum. Disamping itu, hukum dapat pula
berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaan dapat dipertanggung
jawabkan secara legal dan etis.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai
hubungan yang sangat erat. Hubungan itu dapat di gambarkan seperti satu
mata uang dengan dua sisi. Di satu sisi hukum adalah kekuasaan atau
wewenang legal dan disisi yang lain, hukum itu adalah aturan – aturan untuk
mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat termasuk tingkah laku para
penyelenggara negara.
Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan, khusunya dalam hal
legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar
Kusumaatmadja dalam satu ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah
angan – angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (Mochtar
Kusumaatmadja; 5). Ungkapan tersebut pada satu sisi mengandung arti
bahwa kaidah – kaidah hukum tidak akan ada manfaatnya jika tidak
ditegakkan dan hukum itu hanya dapat ditegakkan dengan kekuasaan. Pada
sisi lain, ungkapan itu bermakna bahwa kekuasaan tanpa landasan hukum
adalah kesewenangan. (Tony Hanoraga : jurnal Dialektika hubungan hukum
dan kekuasaan )
Oleh sebab itu, maka kekuasaan harus dibatasi dengan rambu-rambu
hukum,menurut Montesquiue yang terkenal dengan teori trias politica,
kekuasaan harus dipisahkan menjadi tiga lembaga yaitu eksekutif, legeslatif,
dan yudikatif hal ini dimaksudkan agar antara satu lembaga dan yang lainnya
dapat saling mengontrol sehingga terjadi checks and balance. (H. Muchsin,
Ikhtisar Materi Pokok Filsafat Hukum, STIH IBLAM, 2004, Jakarta, Hlm.
60). Salah satu diantara ciri khas norma hukum ialah bahwa hukum itu
bersifat imperative. Sifat imperative ini memberikan jaminan agar hukum
ditaati.Namun kenyataannya tidak setiap orang mau mentaati hukum. Oleh
karena itu, dalam penerapannya, hukum itu memerlukan dukungan
kekuasaan.Seberapa besar dukungan kekuasaan itu diperlukan tergantung

6
pada kesadaran hukum masyarakat yang bersangkutan.Makin tinggi
kesadaran hukum masyarakat, makin berkuranglah dukungan kekuasaan itu
diperlukan.
Hukum merupakan sumber kekuasaan, disamping sumber-sumber lain
yang berupa kekuatan dan kewibawaan. Dalam praktek sering terjadi bahwa
kekuasaan itu bersifat negative yaitu merangsang pemegangnya untuk
bersikap dan berbuat melampaui batas-batas kekuasaannya. Merangsang
pemegangnya untuk menguasai kekuasaan melebihi kekuasaan yang
dimilikinya, oleh karena itu hukum juga menjadi pembatas kekuasaan,
disamping pembatas-pembatas yang lain yaitu kejujuran dan dedikasi
pemegang kekuasaan itu sendiri serta kesadaran hukum masyarakat
bersangkutan.
Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu kekuasaan untuk
mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di satu
pihak dengan norma-norma social dan norma agama. Kekuasaan itu
diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa. Tanpa adanya kekuasaan,
pelaksanaan hukum di masyrakat akan mengalami hambatan-hambatan.
Semakin tertib dan teratur masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan
kekuasaan. Masyarakat tipe terakhir ini dikatakan sebagai masyarakat yang
memiliki kesadaran hukum yang tinggi di lingkungan anggota-anggotanya.
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan .(Suhadi, Filsafat
Hukum, Universitas Gadjah Mada, 1999, Yogyakarta, Hlm. 57. )
Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal
digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak
masyarakat. Karena itu, disamping keharusan adanya hukum sebagai alat
pembatas, juga bagi pemegang kekuasaan ini diperlukan syarat-syarat lainnya
seperti memiliki watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan
masyarakat.Kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat juga merupakan
pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan. (Van Apeldoorn,
Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramitha, 1976, Jakarta, Hlm. 68 )

7
Antara hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat adanya
hubungan ini dapat diperlihatkan dengan dua cara yaitu Cara pertama dengan
menelaahnya dari konsep sanksi. Adanya perilaku yang tidak memenuhi
aturan – aturan hukum menyebabkan diperlukan sanksi untuk penegakan
aturan-aturan hukum tadi. Karena sanksi dalam kenyataannya merupakan
suatu kekerasan, maka penggunaanya memerlukan legitimasi yuridis
(Pembenaran Hukum) agar menjadikannya sebagai kekerasan yang sah. Cara
kedua dengan menelaahnya dari konsep penegakan konstitusi.Pembinaan
system aturan-aturan hukum dalam suatu negara yang teratur adalah diatur
oleh hukum itu sendiri. Perihal ini biasanya tercantum dalam konstitusi dari
negara bersangkutan.( H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar
Filsafat dan Teori hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 2004, Bandung, Hlm. 75-
77. )

C. Realita Masalah Hukum dan Kekuasaan di Indonesia

1. Hukum dan Kekuasaan dalam Konteks Pembentukan Produk Hukum


Sebelum membahas bagaimana kekuasaan memiliki peranan dalam
pembentukan produk-produk hukum, maka kembali penulis kemukakan
bahwa hukum sering dikatakan sebagai produk politik atau pembentukan
hukum.
Pembentukan produk hukum sudah tentu tidak terlepas dari pengaruh
pemegang kekuasaan pada saat itu. Lahirnya produk hukum misalnya
peraturan perundang-undangan dibentuk dengan sistem dan prosedur tertentu
oleh pejabat yang berwenang yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Hukum
dalam arti luas mencakup semua peraturan yang dibuat oleh lembaga-
lembaga tertentu sesuai dengan lingkup kewenangannya. Semua produk
hukum yang mengikat disusun secara hirarkis untuk menentukan derajatnya
masing-masing dengan kosekuensi jika ada aturan yang bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi maka yang berlaku adalah yang derajatnya lebih
tinggi. Kekuasaan dan hukum dalam pembentukan produk hukum sangat erat

8
kaitanya yaitu Hukum adalah sebagai produk yang dibentuk oleh pemegang
kekuasaan. Sebagai contoh adalah pada masa orde baru karakter produk
hukum di Indonesia bersifat otoriter, demikian pula pada masa reformasi
karakter produk hukum kita pun mencerminkan kekuasaan penguasa pada
masa reformasi. Dengan kata lain bahwa produk hokum ini berubah manakala
terjadi perubahan pemegang kekuasaan, hal ini terbukti ketika berakhirnya
masa orde baru digantikan dengan masa reformasi, semua produk hukum
orde baru diganti. Sehingga tampak jelas bagi kita bahwa fakta menunjukan
ketika penguasa berubah maka hukum juga berubah (Mahfud, 2010:265).
Berdasarkan uraian di atas menurut hemat penulis pembentukan
produk hukum tidak terlepas dari pengaruh pemegang kekuasaan, sehingga
jelas bahwa adanya konfigurasi kekuasaan terhadap lahirnya produk hukum
dengan kata lain lahirnya produk hukum tidak terlepas dar ikonfigurasi
kekuasaan dan besarnya energy kekuasaan. Pembentukan produk hukum
tidak lain merupakan salah satu fungsi kekuasaan legislatif. Yang dimaksud
dengan fungsi legislasi itu berasal dari bahasa inggri legislation yang berarti
perundang-undangan, berasal dari kata kerja to legislate yang berarti
mengatur atau membuat undang-undang (Saldi Isra, 2010: 78).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata legislasi berarti
pembuatan undang-undang, dengan kata lain fungsi legislasi adalah fungsi
membuat undang-undang. Sebagai sebuah fungsi untuk membuat undang-
undang, kekuasaan legislasi merupakan sebuah proses (legislation as a
process). Menurut Jimly A. Shidique bahwa fungsi kekuasaan dalam konteks
fungsi legislasi menyangkut empat bentuk kegiatan yaitu: pertama, prakarsa
pembuatan undang-undang (legislative initiation). Kedua, pembahasan
rancangan undang-undang (law making process). Ketiga, persetujuan atu
pengesahan rancangan undang-undang. Keempat, pemberian persetujuan
pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan
dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya.
Pembentukan produk undang-undang yang dalam hal ini masuk
sebagai kekuasaan legislatif cenderung mempunyai peranan yang sangat

9
dominan dalam menentukan corak dan karakter hukum yang ada dinegara
kita. Ada dua karakter produk hukum yang merupakan refleksi dari pemegang
kekuasaan yaitu, 1) Produk hukum responsif atau populistik adalah produk
hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi
penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat, dan; 2)
Produk hukum konservatif/elite merupakan produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elite politik, lebih mencerminkan visi sosial elite
politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara
(Mahfud, 2010:30).
Dari uraian di atas terlihat jelas hubungan antara hukum dan
kekuasaan sebagai dua dimensi yang berbeda namun secara pragmatis
menunjukan keterkaitan antara satu sama lain, produk aturan yang dibuat oleh
penguasa itu merupakan resultante-resultante dari pemegang kekuasaan di
mana harus dilaksanakan secara konsisten dan soheh oleh pemegang
kekuasaan sebagai control dalam membatasi kekuasaan.
Contoh yang lebih nyata yaitu polemik calon legislatif mantan korupsi
yang hendak maju dalam kontestasi politik 2019. Mahkamah Agung (MA)
telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan
DPRD Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilu (UU Pemilu) pada Kamis (13/9/2018) lalu.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan
narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg)
bertentangan dengan UU Pemilu. Bawaslu mengacu pada Undang-Undang
Pemilu nomor 7 tahun 2017 yang tidak melarang mantan koruptor untuk
mendaftar sebagai caleg. Sementara KPU, dalam bekerja berpegang pada
Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan
koruptor menjadi calon wakil rakyat. (kompas.com 14 September 2018).

10
Dari kasus tersebut kita ketahui bahwa peraturan KPU yang melarang
mantan koruptor untuk maju menjadi calon legislatif merupakan produk
hukum yang bersifat responsive. Sedangkan Undang-Undang pemilu yang
tidak melarang mantan koruptor menjadi calon legislatif merupakan produk
hukum yang konservatif. Undang-undang dibuat oleh kekuasaan legislatif.
Sehingga sangat terasa kekuasaan tersebut mempengaruhi pembentukan
hukum. Bisa kita analogikan, tidak mungkin tikus-tikus bekerja sama untuk
membuat racun tikus, yang ada adalah bagaimana racun tikus tersebut bisa
jauh dari mereka. Tidak mungkin para penguasa atau elite politik di legislatif
membuat hukum yang mempersulit diri mereka sendiri. Yang ada adalah
mereka membuat produk hukum untuk kepentingan mereka.

2. Hukum dan Kekuasaan dalam Konteks Penegakkan Hukum


Gagasan negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip
demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana yang dicita-citakan oleh para
pendiri negara Republik Indonesia merupakan penolakan yang tegas terhadap
setiap bentuk pemerintahan yang otoriter yang biasanya menindas hak-hak
asasi rakyat. Sekaligus pula, gagasan negara hukum merupakan pernyataan
yang tidak menghendaki adanya struktur sosial-politik yang timpang yang
menjadi sumber utama ketidakadilan. Berangkat dari doktrin dan teori yang
ada, gagasan itu haruslah diletakkan dalam dua sistem kekuasaan, yakni
sistem kekuasaan politik dan sistem kekuasaan hukum itu sendiri yang
semuanya juga harus diatur di dalam konstitusi. Dalam sistem kekuasaan
politik, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menunjang tegaknya negara
hukum itu adalah :
a. Adanya sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan
rakyat. Bentuk-bentuk pelaksanaannya, dilakukan melalui pemilu guna
memilih orang-orang yang akan duduk didalam pemerintahan
(eksekutifdan legislatif);
b. Adanya pembagian kekuasaan yang seimbang dengan check and balances
yang jelas dan tegas;

11
c. Adanya peran nyata dari anggota masyarakat atau warga negara untuk
turut serta mengawasi jalannya pemerintahan;
d. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, dan;
e. Adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.

Sedangkan di dalam sistem hukum/penegakan hukum itu, meliputi;


a. Struktur dan institusi hukum; dalam hal ini dengan melihat bahwa mata
rantai proses penegakan hukum itu yang meliputi kekuasaan penyidikan,
penuntutan, kekuasaan kehakiman dan bantuan hukum yang dilakukan
oleh kejaksaan, kepolisian kehakiman dan advokat/pengacara;
b. Budaya hukum itu harus bisa merefleksikan perilaku-perilaku yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat yang demokratis, transparan,
partispatif dan dapat dipertanggungjawabkan yang mendukung dimensi
keadilan dalam penegakan hukum;
c. Substansi; Substansi/materi hukum itu haruslah memuat unsur-unsur
norma yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya sistem
hukum.Dalam hal ini diperlukan dengan memakai standar-standar yang
berlakusecara universal/internasional.
Meskipun reformasi yang berintikan penegakan supremasi hukum
(supremacy of law) sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, namun sekarang
ini masih banyak keluhan bahwa supremasi hukum tidak juga tegak.
Mestinya dengan adanya reformasi situasi penegakan hukum dapat lebih baik,
tetapi nyatanya tidak juga. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) masih
merajalela, mafia peradilan tepatnya judicial corruption ditenggarai masih
mengila (Mahfud, 2010:70). Tidak dapat disangkal humanisme dan
pembahruan system hukum pada masa reformasi sudah gencar dilakukan,
namun secara implementasi meskipun hasilnya masih cukup mengecewakan
namun kita harus tetap berusaha untuk menegakan hukum dengan segala
kosekuensinya. Dalam studi tentang hukum banyak identifikasi yang
diberikan sebagai sifat dan karakter produk hukum seperti memaksa, tidak
berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi tentang hukum dikemukakan

12
misalnya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak
ditunjukan kepada seseorang dan tidak akan kehilangan kekuasaannya jika
telah berlaku terhadap suatu peristiwa kongkret. Peraturan hukum juga
bersifat abstrak yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-
kasus kongkret. Selain itu ada yangmengidentifikasikan sifat hukum dalam
sifat imperatif dan fakultatif (Mahfud, 2009:26).
Dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law, Nonet dan Selzinck menjelaskan bahwa masuknya
pemerintah kedalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum
berhubungan erat dengan masalah kemiskinan pada SDM elit pemerintahan.
Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat
pada status quo. Tata hokum tidak mungkin ada jika tidak terkait pada suatu
tatanan tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaannya.
Dengan demikian pihak yang berkuasa dengan baju otoritas mempunyai
kewenangan menuntut warga negara agar mematuhi kekuasaan yang bertahta
( Mahfud, 2009:27).
Dalam proses penegakan hukum, maka tidak akan bisa lepas dari pengaruh
kekuasaan, karena untuk menjalankan dan mempertahankan hukum harus
dengan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan para penegak hukum juga sudah marak terjadi.
Hakim, jaksa, dan polisi yang seharusnya bisa menegakkan hukum secara adil
justru berpihak kepada siapapun yang punya kekuasaan dan uang. Bukan
memasalahkan lagi siapa yang salah dan siapa yang benar, namun ujung-
ujungnya hanya masalah uang. Rekayasa proses peradilan bukan hal asing
lagi dalam penegakan hukum di negeri ini. Sebagai contoh, kasus kecelakaan
yang melibatkan putra Menteri Koordinator Perokonomian RI yaitu Rasyid
Amrullah Rajasa. Meskipun melanggar dua pasal, dua orang korban
meninggal dunia, hakim hanya memvonis putra bungsu Hatta Rajasa dengan
pidana penjara 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan dan denda Rp 12 juta.
Sementara itu, kasus seorang nenek pencuri kayu yang hanya mencuri 2

13
batang kayu justru divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3
bulan dan denda Rp 500 juta.
Contoh lainnya yaitu terbongkarnya jual beli fasilitas mewah di Lapas.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kebobrokan Lapas
Sukamiskin, lewat kasus dugaan suap praktik jual-beli fasilitas mewah yang
menyeret Kalapasnya, Wahid Husen. KPK pun telah menetapkan Wahid
Husen sebagai tersangka setelah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan
(OTT), beberapa waktu lalu.
Dalam operasi senyap tersebut, KPK tak hanya menangkap Wahid Husen.
KPK juga mengamankan narapidana kasus korupsi proyek Bakamla, Fahmi
Darmawansyah. Sebab, Suami Inneke Koesherawati ini diduga menyuap
Wahid Husen agar mendapatkan fasilitas mewah di dalam kamar selnya.
(news.okezone.com : 26 Juli 2018).
Ironisnya, KPK menemukan sejumlah fasilitas mewah di dalam sel Fahmi
Darmawansyah. Di antaranya, ada pemanas air, pendingin ruangan, kulkas
kecil, kloset duduk, hingga furniture apik di dalam ruang sel Fahmi. Tak
hanya di ruangan Fahmi, sel-sel narapidana korupsi lainnya juga diduga juga
telah menggunakan fasilitas mewah. Hal tersebut menjadi bukti bahwa
kekuasaan berpengaruh pada penegakan hukum.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/21132761/ma-bolehkan-eks-
koruptor-jadi-caleg-bawaslu-minta-tak-ada-lagi-yang-kecewa

https://www.google.com/amp/s/news.okezone.com/amp/2018/07/26/337/1927580
/kekecewaan-kpk-terkait-lapas-mewah-koruptor-memang-tragis

15

Anda mungkin juga menyukai