Anda di halaman 1dari 13

QAIDAH-QAIDAH FIQH

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah USHUL FIQIH, Dosen Pengampu:



Oleh:
PRODI KPI PRODI PAI
Fikri Amrullah Roifatul Jannah
NIM: 082091035 NIM: 084091182
Rofiatul Musyahada Roihatul Jannah
NIM: 082091045 NIM: 084091183
Syifatul Jannah
NIM: 084091188





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JEMBER
2010

BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama
sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba
untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah
fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang
berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan
lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin,
budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat.

II. Rumusan Masalah
1. Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah
fiqh
2. Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
3. Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
4. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
5. Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
6. Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi

III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti
tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi,
pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
















BAB II
PEMBAHASAN

I. Pengertian
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh
diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan
kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu
dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa
indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad
warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-
Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda (prinsip), dan al-nasaq (metode
atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

;~ 4OE:4` -g~-.- }g` )_gUl~
4 +.- _4L41^[+ ;g)`
ggN-4O^- OEC NjgOU4N
-^OO- }g` )_g~O O_>4
C-EOE^- ;}g` +^OEO 4pNON;=EC
^gg

Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya.
(Q.S. An-Nahl : 26)

Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafii dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah
itu adalah :
Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum
juzi yang banyak.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya.
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang
banyak dipahami, yaitu :
4`4 ]~E 4pONLg`u^-
W-NOg441g LO-. _ OU 4OE4^ }g`
]7 lO~Og gu+g)` OEj*.C
W-O_OE4-41g O) ^}Cg].-
W-+OO4N1g4 _4`O~ -O)
W-EONE_4O jgO) _^UE
]+OEO^4 ^gg


Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
(Q.S. At-Taubat : 122)

Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili
(terperinci)


Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah
adalah :

Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-
bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-
hukum cabang itu.

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah
mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.

II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan
menjadi 3 fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase
sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW,
yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman
tabiin serta tabi tabiin yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-
351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak
ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir
al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru
dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami
al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri
dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri
tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah
fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi,
yaitu :
Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam
yang tidak mengandung al-Mustasnayat
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.

Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu:
pajak itu disertai imbalan jaminan
Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah
fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu
kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid
Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan
terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabiin dan tabi tabiin selama 250 tahun. Diantara
ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabiin adalah Abu Yusuf
Yakub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj,

kaidah-kaidah yang disusun adalah :
Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait
al- mal
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai
salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah
atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafii,
yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah
yang dibentuknya, yaitu :
Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan
ketika tidak terpaksa
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah
yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan
digadaikan

2. Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalah sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman
ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam
mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan
agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-
masa berikutnya.
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh,
karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh
terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
Al-Asybah wa al-Nazhair, karya ibn wakil al-Syafii (W. 716 H)
Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
Al-Majmu al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Alai al-Syafii
(W. 761 H)
Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)

3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah
seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn.
Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin

III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-
Kubra al-Asasiyyat, umpamanya :
Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,
diantaranya :
Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan
sebagai syarat
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang
cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan
furu

2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
Umpamanya adalah :
Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang
tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :
Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada dasarnya,
dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu :
Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia
mendapatkan kemaslahatan.

Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum
islam. Kaidah fiqh tersebut adalah :
Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya
Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan
Kesulitan mendatangkan kemudahan
Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah majallah al-
Ahkam al-Adliyyat, kaidah ini dibuat di abad XIX M, oleh lajnah fuqaha
usmaniah.


IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan
akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
3. Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh
Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-
Quran dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
2. kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan
3. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
4. mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-
bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topic
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan
maslahat yang lebih besar
6. Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu yang bermacam-macam

V. Urgensi Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syariat, karena dengan mendalami
beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan

2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.

Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang
kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.

Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah
furu menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah
fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi
suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah
lingkup satu kaidah.

Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan
bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal
tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh
tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika
tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan
berbeda antara furu-furu itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya
mudah menguasai furunya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Quran dan sunnah. Kaidah fiqh
yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang
memperdebatkannya, artinya ulama sepakat tentang menjadikan kaidah fiqh
sebagai dalil pelengkap.

2. Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil
hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum
mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh
dijadikan dalil mandiri.

Namun al_Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-juwayni.
Menurutnya, menurut al-Hawani, berdalil hanya dengan kaidah fiqh tidak
dibolehkan. Al-Hawani mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya,
aglabiyat, atau aktsariyat. Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai
pengecualian-pengecualian. Karena memiliki pengecualian yang kita tidak
mengetahui secara pasti pengecualian-pengecualian tersebut, kaidah fiqh tidak
dijadikan sebagai dalil yang berdiri sendiri merupakan jalan keluar yang lebih
bijak.

Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari
masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh
Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : kalau saja tidak ada kaidah
fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furuiyyat akan tetap bercerai berai.
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syarah mencakup dua hal
: pertama, ushul; dan kedua, furu, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-
Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan
kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia
syariah dan kaidah-kaidah dari furu yang jumlahnya tidak terbatas.

VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-
kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah
kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya.

jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudaratan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sebagian fuqaha menambah dengan kaidah tiada pahala kecuali dengan niat.
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari
kaidah asasiah, walaupun keabsahannya masih tetap diakui.

VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
1. Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara yang praktis. Sedangkan
kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada
satu hukum yang sama.
2. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu (cabang). Sedangkan kaidah fiqh
muncul setelah furu.
3. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari
dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang
terhimpun di dalam kaidah.

IX. Kaidah-kaidah Fiqh yang Asasi
1. Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih
al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah muslahat, baik dengan
cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang
membawa kepada kemaslahatan, adapula ynag menyebabkan mafsadat. Seluruh
maslahat itu diperintahkan oleh syariah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh
syariah.
2. Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
Kelima kaidah asasi tersebut sebagai berikut :
a. Kaidah asasi pertama
segala perkara tergantung kepada niatnya
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada
Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak
niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
b. Kaidah asasi kedua
keyakinan tisak bisa dihilangkan dengan adanya keraguan
c. Kaidah asasi ketiga
kesulitan mendatangkan kemudahan
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syariah
meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan
dan kesukaran.
d. Kaidah asasi keempat
kemudhoratan harus dihilangkan
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syariah
dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau
setidak-tidaknya meringankannya.
e. Kaidah asasi kelima
adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di
dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu
yang baik.

X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya
menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
1. ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru
Hail ini berdasarkan perkataan Umar bin Khattab :
itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan
sekarang
2. apa yang haram diambil haram pula diberikannya
Atas dasar kaidah ini, maka haram memberikan uang hasil korupsi atau hasil suap.
Sebab, perbuatan demikian bisa diartikan tolong menolong dalam dosa.
3. Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya
4. Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan
sebagai dalil
Maksud kaidah ini adalah ada hal-hal yang sulit diketahui oleh umum, akan tetapi
ada tanda-tanda yang menunjukkan hal tadi. Contoh dari kaidah ini, seperti :
Barang yang dicuri ada pada si B, keadaan ini setidaknya bisa jadi petunjuk
bahwa si B adalah pencurinya, kecuali dia bisa membuktikan bahwa barang
tersebut bukan hasil curian.
5. Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka
menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut
Contah dari kaidah ini : Kita mempercepat berbuka pada saat kita puasa sebelum
maghrib tiba.


XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi
kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang
fioqh tertentu, yaitu :
1. Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
Setiap yang sah digunakan untuk shalat sunnah secara mutlak sah pula digunakan
shalat fardhu
2. Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
Dalam hukum islam, hukum keluarga meliputi : pernikahan, waris, wasiat, waqaf
dzurri (keluarga) dan hibah di kalangan keluarga. Salah satu dari kaidah ini, yaitu
Hukum asal pada masalah seks adalah haram
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai
datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya,
yaitu dengan adanya akad pernikahan.
3. Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang
tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi
dan riba.
4. Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
Fiqh jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai
kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya.
Salah satu kaidah khusus fiqh jinayah adalah :
Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syariah
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah adalah pencurian
atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syariah
maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat
dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
5. Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada
kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya
maupun golongannya.
6. Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
Lembaga peradilan saat ini berkembang dengan pesat, baik dalam bidangnya,
seperti mahkamah konstitusi maupun tingkatnya, yaitu dari daerah sampai
mahkamah agung. Dalam islam hal ini sah-sah saja, diantara kaidah fiqh dalam
bidang ini yaitu :
Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali
perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal.





BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juziyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para
pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah
membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak
hanya sebatas membaca makalah ini saja.










Daftar Pustaka
Mubarok, Jaili. 2002. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
SyafeI, Rachmad. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia. Bandung
Usman, Muklish. 1997. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Raja Grafindo
Persada: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai