Anda di halaman 1dari 7

Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)

Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

Tafsir
(Urgensi dan Signifikansinya)
Alqur’an adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad sebagai pedoman
bagi seluruh umat manusia di mana saja berada dan kapan saja, yang diriwayatkan secara mutawatir
dan membacanya dinilai sebagai ibadah (berpahala). Oleh karena itulah, Alqur’an harus dipahami
oleh setiap manusia, sehingga dapat menjadi pedoman hidup. Untuk memahami Alqur’an, perlu cara
yang tepat sehingga menghasilkan pemahaman yang benar. Cara itu dikenal dengan nama Tafsir.
Pengertian Tafsir
Secara bahasa, kata Tafsir berasal dari bahasa Arab yang artinya penjelasan atau keterangan.
Dalam kamus Lisan al-Arab karya Ibnu Manzhur, kata Tafsir artinya menyingkapkan sesuatu
maksud lapaz/kata yang sulit dipahami.
Adapun secara istilah, terdapat beberapa pendapat para pakar Ulumul Qur’an. Menurut al-
Kilabi, Tafsir adalah uraian yang menjelaskan ayat-ayat Alqur’an, menerangkan maknanya dan
mengungkapkan apa yang dikehendaki oleh ayat Alqur’an, isyarat dan tujuannya. Sedangkan
menurut al-Zarkasyi, Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad, menjelaskan makna-makna yang dikandungkannya, dan
mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah yang ada di dalamnya. (Al-Zarkasyi, t.th: 323).
Sementara itu menurut al-Zarqany, Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud dan petunjuk
yang dikehendaki oleh Allah dari kandungan Alqur’an sesuai dengan kemampuan manusia. (Al-
Zarqany, t.th: 3).
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa kata Tafsir dapat mengacu pada 2
pemahaman; pertama, tafsir dalam pengertian praktis, yaitu sebuah hasil penjelasan terhadap ayat
Alqur'an yang dilakukan oleh seorang mufassir/penafsir; kedua, tafsir dalam pengertian teoritis,
yaitu sebuah ilmu atau teori dalam melakukan penafsiran.
Dari penjelasan diatas ditemukan 3 ciri utama Tafsir; pertama, objeknya adalah Alqur'an;
kedua, tujuannya adalah untuk mengungkapkan isi dan kandungan ayat Alqur'an; dan ketiga,
kedudukannya adalah hasil ijtihad atau pemikiran seseorang mufassir/penafsir sesuai dengan
kemampuan.
Pembagian Tafsir
Ditinjau dari segi Isi
Ditinjau dari segi isi, tafsir terbagi 3 macam, yaitu, tafsir bil-ma’tsur, tafsir bil-ra’yi, dan
tafsir bil isyarah.
Tafsir bil-ma’tsur sering disebut dengan tafsir bil-riwayah atau tafsir bil-manqul, yaitu tafsir
Alqur'an yang dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur'an didasarkan atas sumber penafsiran dari
Alqur’an dan/atau dari Hadis dan/atau dari riwayat para shahabat dan/atau dari riwayat para tabi’in.
Diantara contoh buku Tafsir yang termasuk jenis ini adalah Tafsir Al-Thabary dan Tafsir Ibnu
Katsir.
Sedangkan tafsir bil-ra’yi atau disebut juga dengan tafsir bil-dirayah atau tafsir bil-ma’qul
adalah tafsir Alqur'an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir/penafsir terhadap
tuntutan kaidah bahasa dan sastra Arab serta teori ilmu pengetahuan lainnya, setelah dia menguasai
sumber-sumber tadi. Diantara contoh buku Tafsir yang termasuk jenis ini adalah Tafsir Al-Razy dan
Tafsir Al-Baidhawy.

1
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

Adapun tafsir bil-isyarah, atau disebut juga dengan tafsir isyary adalah tafsir Alqur'an yang
didasarkan atas sumber perasaan, instink, hati nurani, dan ilham mufassir/penafsir setelah dia
melakukan perjalanan ma’rifatullah dan mujahadah sehingga Allah menganugerahkannya
kemampuan memahami rahasia kitab Allah. Diantara contoh buku Tafsir yang termasuk jenis ini
adalah Tafsir Ibnu Araby dan Tafsir Al-Alusy. Para pakar Ulumul Qur’an belum menyepakati jenis
tafsir ini, ada yang membenarkan/membolehkannya, dan ada pula yang melarangnya.
Ditinjau dari segi Metode
Secara umum, cara mufassir/penafsir dalam melakukan penafsiran terhadap ayat Alqur’an
ada 2 macam, yaitu Metode Tahlily dan Metode Mawdhuiy.
1. Metode Tahlily
Metode Tahlily atau meminjam istilah Baqir al-Shadr Metode Tajzi’iy adalah salah satu
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Alqur'an dari seluruh aspeknya.
Seorang penafsir yang mengikuti metode ini menafsirkan ayat-ayat Alqur'an secara runtut dari awal
hingga akhirnya, Surah demi Surah sesuai dengan urutan mushhaf ‘Utsmany. Untuk itu, dia
menguraikan kosa kata dan lafaz, menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur-unsur i’jaz dan
balaghah, serta kandungannya dalam berbagai aspek pengetahuan dan hukum. Penafsiran dengan
Metode Tahlily juga tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzul suatu ayat, munasabah (hubungan)
ayat-ayat Alqur'an antara satu sama lain.
a. Kelebihan Metode Tahlily
1). Ruang lingkup yang luas
Metode Tahlily mempunyai ruang lingkup yang teramat luas. Metode ini dapat digunakan
oleh mufassir dalam 2 bentuknya; bil-ma’tsur dan bil-ra’y. Bentuk al-ra’y dapat lagi dikembangkan
dalam berbagai bentuk corak penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufassir. Ahli
bahasa, misalnya, mendapat peluang yang luas untuk menafsirkan Alqur'an dari pemahaman
kebahasaan, seperti tafsir al-Nasafi karangan Abu al-Su’ud. Ahli qiraat seperti Abu Hayyan,
menjadikan qiraat sebagai titik tolak dalam penafsirannya. Demikian pula ahli filsafat, kitab
tafsirnya di dominasi oleh pemikiran-pemikiran filosofis, seperti Kitab Tafsir al-Fakhr al-Razi.
Demikianlah salah satu kelebihan Metode Tahlily, yakni ruang lingkup yang luas.
2). Memuat berbagai ide
Metode Tahlily relatif memberikan kesempatan yang luas kepada mufassir untuk
mencurahkan ide-ide dan gagasannya dalam menafsirkan Alqur'an. Itu berarti, pola penafsiran
metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di dalam benak mufassir.
b. Kekurangan Metode Tahlily
1). Menjadikan petunjuk Alqur’an parsial
Metode Tahlily dapat membuat petunjuk Alqur'an bersifat parsial atau terpecah-pecah,
sehingga terasa seakan-akan Alqur'an memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten
karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat yang berbeda dari penafsiran yang diberikan pada
ayat-ayat lain yang sama dengannya. Sependapat dengan Baqir al-Shadr, Quraish Shihab
menyatakan, selain parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam, kekurangan lainnya adalah
bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikutnya. Hal ini mungkin karena
sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan
khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan
umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Alqur'an untuk setiap waktu dan tempat.
2). Melahirkan penafsiran subyektif
Metode Tahlily memberikan peluang yang luas sekali kepada mufassir untuk mengemukakan
ide-ide dan pemikirannya. Sehingga, kadang-kadang mufassir secara tidak sadar bahwa ia telah
2
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

menafsirkan Alqur'an secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang
menafsirkan Alqur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah
atau norma-norma yang berlaku.
3). Masuk pemikiran Israiliyat
Dikarenakan Metode Tahlili tidak membatasi mufassir dalam mengemukakan pemikiran-
pemikiran tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk ke dalamnya, tidak terkecuali pemikiran
Israiliyat. Sepintas lalu, sebenarnya kisah-kisah Israiliyat tidak ada persoalan, selama tidak
dikaitkan dengan pemahaman Alqur'an. Tetapi bila dihubungkan dengan pemahaman kitab suci,
timbul problem karena akan terbentuk opini bahwa apa yang dikisahkan di dalam cerita itu
merupakan maksud dari firman Allah, atau lebih tegas lagi, ia adalah petunjuk Allah, padahal belum
tentu cocok dengan yang dimaksudkan Allah di dalam firman-Nya tersebut. Di sinilah terletak
negatifnya kisah-kisah Israiliyat.
2. Metode Mawdhu’i
Metode mawdhu’i juga disebut dengan metode tematik karena pembahasannya berdasarkan
tema-tema tertentu yang terdapat dalam Alqur'an. Ada 2 cara dalam tata kerja Metode Mawdhu’i.
Pertama, dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat Alqur'an yang berbicara tentang satu
masalah (mawdhu’/tema) tertentu serta mengarah kepada satu tujuan yang sama, sekalipun
turunya berbeda dan tersebar dalam pelbagai surah Alqur'an. Kedua, penafsiran yang
dilakukan terhadap surah tertentu dalam Alqur'an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya
secara umum dan yang merupakan tema sentralnya.
Al-Farmawi --sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab dan Nashiruddin Baidan--
mengemukakan beberapa langkah yang mesti dilakukan apabila seseorang ingin menggunakan
Metode Mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
1). Memilih atau menetapkan masalah Alqur'an yang akan dikaji secara mawdhu’i.
2). Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan.
3). Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenal latar belakang turunnya atau asbab al-nuzul.
4). Mengetahui hubungan (munasabah) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surahnya.
5). Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh, sempurna dan sistimatis.
6). Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehinga pembahasan
semakin sempurna dan jelas.
7). Menafsirkan dan membuat kesimpulan menyeluruh tentang masalah yang dibahas.
a. Kelebihan Metode Mawdhu’i
1). Menjawab tantangan zaman
Untuk menghadapi permasalahan yang timbul semakin kompleks dan rumit, dilihat dari
sudut tafsir Alqur'an, tidak dapat ditangani dengan metode-metode penafsiran selain tematik. Hal ini
dikarenakan kajian metode tematik ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Itulah sebabnya
metode ini mengkaji semua ayat Alqur'an yang berbicara tentang kasus yang sedang dibahas secara
tuntas dari berbagai aspeknya.
2). Praktis dan sistematis
Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam memecahkan
permasalahan yang timbul. Kondisi semacam ini amat cocok dengan kehidupan umat yang semakin
modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk
membaca kitab-kitab tafsir yang besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk Alqur'an mereka harus
membacanya.

3
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

3). Dinamis
Metode tematik membuat tafsir Alqur'an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman
sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa Alqur’an
senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan
starata sosial. Dengan demikian, terasa sekali bahwa Alqur'an selalu aktual, tak pernah ketinggalan
zaman.
4). Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat Alqur'an
dapat diserap secara utuh.
b. Kekurangan Metode Mawdhu’i
1). Memenggal ayat Alqur'an
Memenggalkan ayat Alqur'an yang dimaksudkan ialah mengambil satu kasus yang terdapat
di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya,
petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu
ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang
shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushhaf agar tidak mengganggu pada waktu
melakukan analisis.
2). Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena, seperti dinyatakan Darraz, ayat
Alqur'an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
ditetapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.
Ditinjau dari segi Pemaparan
Dalam memaparkan penafsirannya, mufassir/penafsir dapat menempuh beberapa cara, yaitu:
1. Metode Ijmali
Maksudnya adalah menjelaskan ayat-ayat Alqur'an secara ringkas tapi mencakup, dengan
bahasa yang popular, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menuruti
susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Tolak ukurnya adalah pola pembahasan. Selama mufassir
hanya menafsirkan suatu ayat secara ringkas dan singkat, tanpa uraian yang detil, tanpa
perbandingan dan tidak pula mengikuti suatu tema tertentu, maka penafsiran tersebut dapat
dikategorikan ke dalam tafsir ijmali, sekalipun hanya satu atau dua ayat.
a. Kelebihan Metode Ijmali
1). Praktis dan mudah dipahami
Tafsir yang menggunakan metode ini terasa lebih praktis dan mudah dipahami. Tanpa
berbelit-belit pemahaman Alqur'an segera dapat diserap oleh pembacanya.
2). Bebas dari penafsiran Israiliyat
Dikarenakan singkatnya penafsiran yang diberikan, tafsir dengan Metode Ijmali relatif lebih
murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran Israiliyat. Dengan demikian, pemahaman Alqur'an
akan dapat dijaga dari intervensi pemikiran-pemikiran Israiliyat yang kadang-kadang tidak sejalan
dengan martabat Alqur'an sebagai kalam Allah yang suci.
3). Akrab dengan bahasa Alqur'an
Uraian yang dimuat di dalam tafsir dengan Metode Ijmali terasa amat singkat dan padat,
sehingga pembaca tidak merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir. Hal itu disebabkan karena
tafsir dengan metode ijmali ini menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab
suci tersebut.

4
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

b. Kekurangan Metode Ijmali


1). Menjadikan petunjuk Alqur'an bersifat parsial
Alqur'an merupakan satu-kesatuan yang utuh, sehingga satu ayat dengan ayat yang lain
membentuk satu pengertian yang tidak terpecah-pecah. Salah satu ciri Metode Ijmali adalah
pengelompokan ayat dua atau lebih untuk ditafsirkan. Karena dikelompokkan ayat yang mempunyai
interrelasi yang kuat dengan ayat lain yang kelompok ayatnya berbeda, maka ini merupakan salah
satu kelemahan metode ini.
2). Tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai.
Tafsir yang memakai Metode Ijmali tidak menyediakan ruangan untuk memberikan uraian
atau pembahasan yang memuaskan berkenaan dengan pemahaman suatu ayat.
2. Metode Komparatif (Muqarin)
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang
ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan Metode Komparatif ialah: 1) membandingkan
ayat-ayat Alqur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih,
dan/atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat
Alqur'an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai
pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Alqur'an. Dari definisi itu terlihat jelas bahwa tafsir
Alqur'an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya
membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga memperbandingkan ayat dengan hadis serta
membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat.
a. Kelebihan Metode Komparatif
1). Memberikan wawasan penafsiran relatif lebih luas kepada para pembaca bila
dibandingkan dengan metode-metode lain.
2). Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-
kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif. Dengan
demikian, dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran
tertentu, sehingga umat, terutama mereka yang membaca tafsir dengan Metode
Komparatif, terhindar dari sikap ekstrimistis yang dapat merusak persatuan dan kesatuan
umat. Hal itu dimungkinkan karena penafsiran tersebut memberikan berbagai pilihan.
3). Tafsir dengan Metode Komparatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu, penafsiran semacam ini
cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan mendalami penafsiran Alqur'an bukan
bagi para pemula.
4). Dengan menggunakan Metode Komparatif, maka mufassir didorong untuk mengkaji
berbagai ayat dan hadis serta pendapat para mufassir yang lain. Dengan pola serupa ini
akan membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat. Dengan demikian
penafsirannya yang diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya dan lebih dapat
dipercaya.
b. Kekurangan Metode Komparatif
1). Penafsiran yang memakai Metode Komparatif tidak dapat diberikan kepada para pemula,
seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal ini
disebabkan pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang
bisa ekstrim. Dalam kondisi serupa itu, jelas anak didik belum siap untuk menerima
berbagai pemikiran, dan tidak mustahil mereka akan kebingungan menentukan pilihan.
2). Metode Komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab persoalan sosial yang
tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan
perbandingan daripada pemecahan masalah.
5
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

3). Metode Komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah
diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya,
kesan serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif. Artinya, dia tidak hanya sekadar
mengemukakan penafsiran-penafsiran orang lain, tapi harus mengaitkannya dengan
kondisi yang dihadapinya. Dengan demikian, dia akan menghasilkan sintesis-sintesis baru
yang belum ada sebelumnya.
Ditinjau dari segi Corak
Corak atau aliran atau disebut juga dengan lawn (=warna) tafsir telah berkembang
sedemikian rupa. Untuk mengetahuinya akan dipaparkan seperti apa corak-corak tersebut,
di antaranya adalah:
1. Tafsir Lughawi
Tafsir Lughawi disebut juga tafsir Adabi, yaitu tafsir Alqur'an yang dalam menjelaskan ayat-
ayat suci Alqur'an lebih banyak difokuskan kepada bidang bahasa seperti dari segi i’rab dan harakat
bacaannya, pembentukan kata, kalimat dan kesusasteraan.
2. Tafsir Sufi
Yaitu tafsir Alqur'an yang dalam kitab tafsirnya banyak difokuskan kepada bidang tasawuf
kebatinan. Memahami ayat-ayat Alqur'an diperoleh dari makna-makna yang tersirat atau makna
yang diisyaratkan.
3. Tafsir Ilmi
Atau disebut juga tafsir Ashri, yaitu tafsir Alqur'an yang beraliran ilmiah atau modern. Tafsir
ini banyak difokuskan pada bidang ilmu pengetahuan umum.
4. Tafsir Fiqh
Tafsir Fiqh sering disebut tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam, yaitu tafsir Alqur'an yang
beraliran fiqh atau hukum atau tafsir yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada bidang
hukum.
5. Tafsir Tarbawi
Tafsir Tarbawi yaitu tafsir Alqur'an yang dalam penafsirannya banyak difokuskan pada
bidang pendidikan.
6. Tafsir Falsafi
Tafsir Falsafi sering disebut dengan tafsir rumazi atau tafsir aql, yaitu tafsir Alqur'an yang
beraliran filsafat atau rasional. Tafsir jenis ini memfokuskan pada bidang filsafat atau rasio dengan
menggunakan jalan pemikiran secara filsafat.
Itulah corak-corak yang ada dalam dunia tafsir. Corak ini mesti muncul dalam kitab tafsir
seseorang karena bagaimanapun objektifnya usaha penafsiran yang dilakukan, hampir dipastikan
warna dimana keahlian yang melekat pada penafsir dengan sendirinya tertuang dalam karya
tafsirnya.
Urgensi Tafsir
Dari pengertian dan pembagian Tafsir di atas, dapat dinyatakan bahwa Tafsir itu sangat lah
penting. Dengan adanya Tafsir seseorang sampai kepada derajat ibadah, sebab dalam kajian Tafsir

6
Tafsir (Urgensi dan Signifikansinya)
Oleh Hamidi Ilhami, M. Ag

sesorang menjadi giat membaca Alqur'an. Dan alangkah ironis, jika seseorang melakukan kajian
Tafsir, namun dia tidak lancar dan fasih membaca Alqur'an. Dengan Tafsir seseorang mengetahui --
sesuai dengan kemampuannya-- maksud Allah yang terdapat dalam Alqur'an. Dan dengan Tafsir
seseorang mengetahui mengenai akidah, ibadah dan akhlak, agar dia dan masyarakat berhasil meraih
kebahagian di dunia dan akhirat.
Ketahuilah, bahwa seseorang tidak dapat berkembang dan maju kecuali melalui bimbingan
Alqur'an, sementara pengamalan ajaran Alqur'an tidak akan terwujud dengan baik dan benar kecuali
dengan Tafsir.
Rahasia orang-orang saleh terdahulu berhasil karena mereka giat mempelajari Alqur'an, dan
dengan anugerah Allah berupa kemampuan yang luar biasa mereka berhasil menggali kandungan
Alqur'an.
Demikianlah, kita saat ini sangat membutuhkan pemahaman terhadap Alqur'an sebagaimana
orang-orang saleh dulu membutuhkannya. Bahkan kita justru lebih membutuhkan pemahaman dan
hukum-hukum yang dulu belum diperlukan.
Referensi
Baidan, Nashiruddin, 1998. Metodologi Penafsiran Alqur'an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, 1996, Metede Tafsir Mawdhu'iy, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada.
Syadali, Ahmad & Ahmad Rofi’i, 1997, Ulumul Qur’an II, Bandung, Pustaka Setia.
al-Shabuni, Muhammad Ali, 2003, At-Tibyan Fi ‘Ulumil-Qur’an, Beirut, Dar al-Kutub al-
Islamiyyah.
Shihab, M. Quraish, 1995, Membumikan Alqur'an, Bandung, Mizan, Cet. XI.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, 2005, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Teras.
al-Suyuthi, Jalaluddin, t.th, Al-Itqan Fi ‘Ulumil-Qur’an, Beirut, Dar al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai