Anda di halaman 1dari 2

Data

Kitab yang saya analisis berjudul Mafhumun Nash. Kitab karya Nashr Hamid
Abu Zayd ini diterbitkan Maktabah al-Fikr al-Jadid, tahun 2014. Kitab ini memiliki 312
halaman, termasuk daftar pustaka. Isi dari buku ini terdiri dari 3 Bab yang dibagi
menjadi beberapa pasal. Bab I membahas tentang kajian al-Nashshu fi al-Tsaqafah
(Teks dalam Kebudayaan). Bagian ini memiliki 5 pasal pembahasan, yaitu 1) Konsep
Wahyu, 2) Penerima Pertama, 3) Makki dan Madani, 4) Asbab An-Nuzul, 5) Nasikh dan
Mansukh.

Bab II membahas tentang Aliyatun an-Nash (Mekanisme Teks). Bagian ini


memiliki 5 pasal pembahasan, yaitu 1) I’jaz, 2) Munasabah antara Ayat dan Surat, 3)
Ambiguitas dan Distingsi, 4) ‘Amm dan Khashsh, 5) Tafsir dan Ta’wil.

Bab III membahas tentang (Perubahan Konsep dan Fungsi Teks). Bagian ini
memiliki 8 poin, yaitu a) Ilmu-Ilmu Kulit dan Cangkang (Lapis Luar), b) Ilmu-Ilmu Inti
(Lapis Teratas) yang terdiri dari 1) Ma’rifatullah, 2) Jalan Menuju Allah, 3) Penjelasan
Mengenai Situasi Ketika Sampai Tujuan, Wushul (Pahala dan Siksa). c) Ilmu-Ilmu Inti
(Lapis Terbawah) yang terdiri dari 1) Ilmu Fiqh, 2) Ilmu Kalam, 3) Cerita Al-Qur’an. d)
Kedudukan Ahli Fiqh dan Mutakallimin, e) Ta’wil (dari Kulit ke Inti), f) Ta’wil (dari
Metafor ke Hakikat), g) Awam dan Elit (Zahir dan Batin), h) Tingkatan Hirearki Teks.

Artikel ini menfokuskan pada Bab II, pasal 5 yang membahas tentang Tafsir
dan Ta’wil. Dalam pasal ini terdiri dari beberapa poin, yaitu tafsir dan ta’wil secara
makna bahasa, tafsir dan ta’wil secara makna istilah dan mekanisme-mekanisme
ta’wil. Tafsir secara makna bahasa adalah upaya menyingkapkan maksud yang
tersembunyi lewat kata, serta mengurai sesuatu yang tertahan untuk dipahami
melalui kata. Sedangkan ta’wil secara makna bahasa adalah kembali pada asal-usul
sesuatu, apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita. Kembali ke asal-usul
dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya.

Tafsir secara makna istilah adalah ilmu yang mengkaji tentang turunnya ayat,
surat dan cerita-cerita yang berkenaan dengan ayat, isyarat yang ada di dalamnya,
kronologi makkiyah dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh,
khashsh dan ‘amm, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mufassar. Selain itu ada
yang menambahkan: ilmu tentang halal dan haram, janji dan ancaman, perintah dan
larangan, pelajaran (hikmah) dan perumpamaan. Dalam hal ini ra’yu tidak
diperkenankan ikut campur.

Abu al-Qasim bin Habib an-Naisaburi, Baghawi, al-Kawasyi, dan lainnya


mengatakan: Ta’wil adalah mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan
sebelum dan sesudahnya, makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan
dengan al-Kitab dan as-Sunnah melalui istinbath. Ta’wil berkaitan dengan istinbath
sedangkan tafsir umumnya didominasi oleh naql dan riwayat.
Mekanisme-mekanisme Ta’wil yaitu ketika berijtihad dalam melakukan ta’wil
atas teks tidak dibedakan antara teks di bidang fiqh dan hukum dengan teks di bidang
lainnya, sebab ijtihad didasarkan pada gerak “nalar” untuk menembus ke kedalaman
teks. Jika perbedaan ta’wil dalam bidang fiqh termasuk sebagai “Rahmat” dan untuk
memberikan keringanan bagi umat maka perbedaan ta’wil dalam bidang lain dari teks
harus dipandang dari sudut pandang yang sama, khususnya apabila mu’awwil
berpegang pada perangkat-perangkat analisis teks, dan tidak pada hawa nafsu atau
pendapat pribadinya.

Di era sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tafsir dan ta’wil yang
dilakukan oleh wacana agama kontemporer sudah tepat. Tetapi, memfungsikan
perbedaan tersebut dengan mengedepankan tafsir dan mengorbankan ta’wil pada
dasarnya sangat bertendensi pada ideologis yang didasarkan pada beberapa tren tradisi
pada satu sisi, dan sisi yang lain bertujuan mendukung status quo lewat upaya
memapankan makna teks sebagai hasil ijtihad ulama kuno.

Anda mungkin juga menyukai