Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

……………..
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kuliah “Balaghoh”
Dosen Pengampu: Bisyarotul Hanun, M.Pd.I

OLEH :

UMUL MULYATUN

NOER FADHILA

NASHIRA ANWAR

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN
SUMENEP
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Al-qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW.
Kemu’jizatannya terkandung pada aspek bahasa dan isinya. Di aspek bahasa Al-
Qur’an mempunyai tingkat fasohah dan balaghoh yang tinggi. Sedangkan dari
aspek isi pesan dan kandungan maknanya melampaui batas-batas kemampuan
manusia. Banyak dari ulama-ulama kemudian mulai menyusun ilmu Nahwu,
shorrof dan balaghoh untuk mengetahui kesustraan dan keindahan dalam Al-
Qur’an.

Ilmu balaghoh sebagaimana ilmu lain barangkat dari sebuah proses


penalaran untuk menemukan pengetahuan yang dianggap benar kemudian
disatukan menjadi kumpulan teori. Setelah teori itu terkumpul dengan pembagian-
pembagian yang spesifik, maka ada kecenderungan untuk mempelajari bagian-
bagian tersebut secara parsial. Ilmu Balaghoh kemudian disusun oleh pakar
bahasa dengan di kelompokan menjadi tiga bagian yaitu bayan,ma’ani dan badi’. 

Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang ilmu
ma’ani karena ilmu tersebutlah yang menjadi factor kami diperkuliahan semester
sekarang ini.

2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1. Pengertian Ilmu Ma’ani
2. Objek Kajian Ilmu Ma’ani
3. Manfaat Ilmu Ma’ani
4. Pengertian Musnad dan Musnad Ilaih
5. Me-makrifat-kan dan Me-nakirah-kan Musnad Ilaih
6. Menyebut dan Membuang Musnad Ilaih
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Ma’ani
2. Untuk mengetahui Objek Kajian Ilmu Ma’ani
3. Untuk mengetahui Manfaat Ilmu Ma’ani
4. Untuk mengetahui Pengertian Musnad dan Musnad Ilaih
5. Untuk mengetahui cara Me-makrifat-kan dan Me-nakirah-kan Musnad Ilaih
6. Untuk mengetahui cara Menyebut dan Membuang Musnad Ilaih
BAB II
PEMBAHASAN

A . Pengertian Ilmu Ma’ani


Kata ma’ani merupakan jama’ dari kata ma’na yang secara bahasa adalah
“arti” atau “makna”. Adapun secara istilah, menurut In’am Fawwal Akkawi, ilmu
ma’any adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita menyusun kalimat bahasa
arab yang sesuai dengan maksud, yang didalamnya terdapat makna yang kta
inginkan dalam segala keadaan (tempat). Sedangkan menurut Ahmad bin
musthafa Al-Maraghi adalah :
‫فواعد يعرف بها كيفية مطابقة الكالم مقتضى الحال حتى يكون وفق الغرض الذي سيق له‬
“kaidah-kaidah yang dengannya dapat diketahui tata cara agar perkataan sesuai
dengan tuntutan keadaan, sehingga sesuai dengan tujuan perkataan itu dibuat.”1

Sedangkan menurut Syekh Abdurrahman Akhdhori ilmu ma’any yaitu :

‫وحافظ تأدية المعانى عن خطاء يعرف المعانى‬

“Ilmu yang menjaga dari kesalahan makna dalam suatu pembicaraan.”

Peletakan dasar pertama Ilmu Ma’any adalah Al-Imam Abdul Qahir Al-
Jurjani dalam kitabnya Dalail Al-Jaz dan Asrar Al-Balaghah. Kemudian
diteruskan oleh Jarullah Az-Zamakhsyari dalam tafsirannya Al-Kasysyaf, As-
Sasaki dalam Miftah Al-Ulum dan lainnya.

B. Objek kajian Ilmu Ma’anI

Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama balaghah ilmu Ma’ani bertujuan


untuk membantu seseorang agar dapat berbicara sesuai dengan muqtadha al-hal.
Agar seseorang dapat berbicara sesuai dengan muqtadhah al-hal, maka ia harus
mengetahui bentuk-bentuk kalimat dalam bahasa arab. Kapan seseorang harus
mengungkapkan kalimat, dalam bentuk taqdim, ta’khir, washl, fashl, dzikr, hadzf,
dan bentuk-bentuk lainnya.

1
Asep M. Tamam dan M. Iqbal Abdul Wakil, Ilmu Ma’ani: Antara Teori dan Praktik (Maghza
Pustaka, 2022),hal 1-3.
Objek kajian ilmu ma’any hampir sama dengan ilmu nahwu. Kaidah-kaidah
yang berlaku digunakan dalam ilmu nahwu berlaku dan digunakan pula dalam
ilmu ma’any. Dalam ilmu nahwu dibahas masalah taqdim,, ta’khir, hadzf, dan
dzikr. Hal-hal tersebut juga merupakan objek kajian dari ilmu ma’any.

Perbedaan antara keduanya terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih


bersifat mufrad (berdiri sendiri), tanpa terpengaruh oleh factor lain seperti
keadaan kalimat-kalimat disekitarnya. Sedangkan ilmu ma’any lebh bersifat
tarkibi (tergantung kepada factor lain). Hasan Tamam menjelaskan bahwa tugas
ahli nahwu hanya sebatas mengtak-ngatik kalimat dalam suatu jumlah tidak
sampai melangkah kepada jumlah yang lain.

Wilayah kajian ilmu ma’any adalah keadaan kalimat dan bagian-bagiannya.


Kajian yang membahas bagian-bagian berupa musnad dan musnad ilaih dan fi’il
muta’allaq. Sedangkan Objek kajian dalam bentuk Jumlah meliputi fashl, washl,
ijaz, ithnab, dan musawah.

Secara keseluruhan ilmu ma’any mencakup delapan macam, yaitu :

1. ‫أحوال االسناد الخبري‬


2. ‫أحوال المسند اليه‬2
3. ‫أحوال المسند‬
4.‫أحوال متعلقات الفعل‬
5.‫القصر‬
6. ‫االنشاء‬
7. ‫ الفصل والوصل‬dan
8.‫االيجاز واالطناب والمساواة‬

C. Manfaat ilmu ma’ani


2
Ibid.
Ilmu ma’âni mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kalimat (jumlah)
bahasa Arab dan kaitannya dengan konteks. Dengan mengetahui hal-hal
tersebut kita bisa menyampaikan suatu gagasan atau ide kepada mukhâthab
sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan melihat objeknya mempelajari
ilmu ini dapat memberi manfaat sbb:

a. Mengetahui kemukjizatan Alquran berupa segi kebagusan


penyampaian, keindahan deskripsinya, pemilihan diksi, dan penyatuan
antara sentuhan dan qalbu.
b. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasîhan bahasa Arab baik
pada syi’ir maupun prosanya. Dengan mempelajari ilmu ma’âni kita
bisa membedakan mana ungkapan yang benar dan yang tidak, yang
indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak.3

D. Pengertian Musnad dan Musnad Ilaih


1. Musnad

Musnad adalah memberikan sami’ (mendengar) faidah hokum atas


suatu hal atau suatu yang berstandar pada musnad ilaih. Contoh :

‫العل ٌم نَافِ ٌع‬

Artinya : “ilmu yang bermanfaat”

Lafazd ‫افِ ٌع‬IIIَ‫“ ن‬bermanfaat” sebagai musnad, memberikan hukum


kepada ilmu, artinya orang yang mendengarkan ucapan ini memahami
bahwa yang dimaksud dengan ilmu ialah segala sesuatu yang
memberikan faidah atau manfaat dan penyebutan dan pembuangan
musnad ada tujuannya masing-masing.4 Musnad ada di beberapa
tempat, yaitu :

1. Khabar Mubtada’.
2. Fi’il Tam
3. Isim fi’il
4. Khabar ‫ كان‬dan akhwatnya
3
Ahmad Mudakir, Gaya Bahasa Al-Qur‟an (Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, 2020).
4
Murdiono, PENGANTAR ILMU MANI (UMMPress, 2022).
ّ dan akhwatnya
5. Khabar ‫أن‬
ّ dan akhwatnya
6. Maf’ul kedua dari ‫ظن‬
2. Musnad Ilaih
‫المسند اليه هو المبتدأ الذى له خبر والفاعل ونوائبه وأسماء النواسخ‬

Adalah mubtada yang mempunyai khabar, fa’il, naibul fa’il, dan


beberapa isim dari amil nawasikh atau hukum yang menjadi sandaran
musnad. Dalm definisi lain musnad ilaih adalah kata-kata yang
dinisbatkan kepadanya suatu hukum, pekerjaan, dan keadaan. Posisi
musnad ilaih dalam kalimat terdapat pada tempat-tempat berikut:

1. Fa’il
2. Naibul fa’il
3. Mubtada’
4. Khabar ‫ كان‬dan sejenisnya
ّ dan sejenisnya
5. Khabar ‫أن‬
ّ dan sejenisnya.5
6. Maf’ul pertama ‫ظن‬

E. Menjadikan ma’rifat dan nakirah musnad ilaih

a). Menjadikan ma’rifat musnad ilaih

Pada dasarnya, musnad ilaih harus ma‟rifat, bukan nakirah, karena


ia berstatus sebagai mahkûm „alaih (yang dikenai hukum) yang mestinya
harus diketahui, agar supaya menjadi pengertian yang baik. Menjadikan
ma‟rifat musnad ilaih dalam hal ini, di antaranya bisa berupa ism dlamîr,
ism „alam, ism maushûl, menambahkan huruf “al”, idlâfah dan ada yang
berupa nida‟. Semua itu memiliki tujuan yang berbeda sebagaimana
penjelasan berikut:

1. Musnad ilaih berupa ism dlamîr


Madlûl „alaih (yang ditunjuk atau diganti) atau makna
dlamîr itu ada tiga, yaitu takallum, jika membicarakan diri
pembicara sendiri (orang pertama); takhâthub, jika membicarakan
lawan bicara (orang kedua); dan ghaibat, jika membicarakan selain
keduanya (orang ketiga). Dari ketiga makna dlamîr yang
5
Ibid.
menduduki tingkatan tertinggi dalam ma‟rifat (sebenarnya ism
dlamîr sendiri merupakan sebab ma‟rifat tertinggi) adalah dlamîr
mutakallim, kemudian takhâthub dan setelahnya dlamîr ghâibah.
Menurut hukum dasarnya, dlamîr mukhâthab menunjukkan
mukhâthab musyâhad mu‟ayyan (lawan bicara yang dapat diliput
oleh indera dan tertentu), seperti perkataan:

ٌ ِ‫ت طَال‬
‫ق‬ ِ ‫أ ْن‬

“ kamu perempuan tertalak ”

Dlamîr mukhâthab pada contoh di atas dapat berarti musyâhad


mu‟ayyan, karena sesuai dengan ketentuan Fiqh (selama ini)
bahwa perempuan yang ditalak harus ada di hadapan (dapat dilihat
oleh indera) lelaki yang menjatuhkan talak, dan dlamîr itu hanya
untuk orang tertentu (yang ada di hadapannya saja), tidak termasuk
yang di luar. Namun terkadang, dlamîr mukhâthab menunjukkan:

 Ghairu musyâhad (tidak dapat dilihat indera namun tertentu),


seperti perkataan:
‫ال اله ال انت‬
“Tiada Tuhan selain Engkau”, dan perkataan:
‫َأ ْنتَ بَ ْد ٌر‬
“engkau laksana bulan purnama”.
 Musyâhad ghairu mu‟ayyan (dapat dilihat namun tidak
tertentu dan bersifat umum yang dalam hal ini disebut “sabîl
al-badl”), sebagaimana firman Allah:

‫ولوترى إذ المجرمون ناكسوا رؤسهم عند ربهم‬

“dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika


orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di
hadapan Tuhannya.” (QS. 32: 12).

2. Musnad ilaih berupa ism ‘alam


Menurut ilmu nahwu, ism „alam adalah ism ma‟rifat
yang menjelaskan pengertiannya dengan cara menyebutkan
namanya, tanpa disertai qayyid (batasan, dari semua bentuk ism
ma‟rifat). Jika tidak disebutkan namanya dan ada qayyid, tidak
menjadi jelas. Karena dlamîr ana, saya dapat menjelaskan
pengertiannya dengan qayyid “takallum”.

Musnad ilaih berupa ism alam dimaksdukan untuk:

 Ihdlâr, memberi kesan pada hati pendengar tentang diri


seseorang yang dikemukakan dengan nama aslinya, agar dapat
dibedakan dengan lainnya. Seperti firman Allah:
‫واذيرفع إبرهيم القواعد من البيت واسماعيل‬
“dan (Ingatlah), ketika ibrahim meninggikan (membina) dasar-
dasar baitullah bersama Isma‟il.” (QS: 2: 127).
 Tabarruk (mendapatkan berkah), taladzdzudz (merasa enak
mengucapkannya). inâyah (sunggguh-sungguh
memperhatikan, karena senang, menakutkan,
memperingatkan, menganggap keji atau perlu dicacat), ijlâl
(mengangungkan), ihânah (menghinakan) dan kinâyah
terhadap keburukan seseorang atau kebaikannya.

3. Musnad ilaih berupa ism maushûl:

Ism maushûl merupakan ism yang memperjelas pengertian


(menjadikan ma‟rifat) suatu kalimat. Karena dengannya,
pengertian kalimat menjadi jelas (ma‟rifat). Sedang tujuan
musnad ilaih berupa ism maushûl adalah:

 Tafkhîm (menganggap hebat atau dahsyat terhadap suatu


peristiwa). Seperti firman Allah:
‫فاتبعهم فرعون بجنوده فغشيهم من اليم ما غشيهم‬

“maka Fir‟aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu


mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.” (QS:
20: 78).
 Taqrîr (mengkonkritkan tujuan). Seperti firman Allah:
‫وراودته التي فى بيتها عن نفسه‬
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf Tinggal di rumahnya
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya)”
(QS. 12: 23).

Ayat di atas menunjukkan bersihnya Yusuf dari maksiat. Berbeda


jika dikatakan,

 Tauhîm (menunjukkan kesalahan mukhâthab). Seperti firman


Allah:
‫إن الذين تعبدون من دون هللا اليملكون لكم رزقا‬

“sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak


mampu memberikan rizqi kepadamu” (QS. 29: 17)

 Imâ (memberikan isarat untuk membentuk musnad), seperti


firman Allah:
‫إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم دا خرين‬

“sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak


mampu memberikan rizqi kepadamu” (QS. 29: 17).

4. Musnad ilaih berupa ism isyârah

Pada dasarnya, ism isyârah berfungsi memperjelas keadaan


musyâr ilaih (sesuatu yang diisyaratkan), baik dekat, sedang,
jauh, dan dapat dilihat maupun tidak; pada hati pendengar, jika
mutakallim maupun mukhâthab-nya tidak mengetahui nama
tertentu atau sifat-sifat lain yang terdapat pada musyâr ilaih.
Sedang musnad ilaih berupa ism isyârah dimaksudkan untuk:

 Ta‟dhîm, yaitu mengangungkan derajat musyâr ilaih yang


mestinya tidak dapat dilihat, dengan bentuk ism isyârah yang
menunjukkan pengertian dekat, atau yang mestinya dekat dan
dapat dilihat namun memakai bentuk ism isyarah yang
menunjukkan pengertian jauh. Seperti firman Allah:
‫إن هذا القران يهد لتي هي أقوم‬
“Sesungguhnya Al-Qur‟an ini memberi petunjuk kepada
(jalan) yang lebih lurus”. (QS. 17: 9) dan firman-Nya:
 Tahqîr, yaitu menghinakan,yang diantaranya ada yang
memakai isyarat dekat dan ada yang memakai isyarat jauh.
Seperti firman Allah:
‫قالت فذا لكن الذ ى لمتننى فيه‬
“wanita itu berkata: “itulah dia orang yang kemu cela aku
karena (tertarik) kepadanya,”” (QS.12: 32)
 Tanbîh, yaitu mengingatkan pendengar, bahwa musyâr ilaih
(musnad ilaih) adalah yang berhak menerima musnad, selain
juga menerima musnad-musnad sebelumnya. Seperti firman
Allah:
‫أولئك على هدى من ربهم وألئك هم المفلحون‬

“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya,


dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 2: 5).

Maksud ayat di atas adalah, orang-orang yang mempunyai


sifatsifat muttaqîn adalah yang mendapatkan petunjuk Allah dan
pahala di dunia maupun di akhirat.
 Haththun, yaitu merendahkan, seperti firman Allah:
‫وما هذه الحيوة الدنيا إال لهو ولعب‬

“dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan


mainmain” (QS.29: 64).

5. Musnad ilaih berupa “al ta’rîf ”

Menurut ulama ahli Ma‟âni, bahwa “al ta‟rîf ”yang masuk


pada ism nakirah untuk menjadi ism ma‟rifat, ada dua, yaitu “al
„ahdiyyâh” dan “al jinsiyyah” (haqiqah). Kedua “al ta‟rîf” itu jika
masuk pada musnad ilaih mempunyai beberapa tujuan,
sebagaimana keterangan berikut.
a) “al ta‟rîf „ahdiyyah”:

Musnad ilaih berupa “al ta‟rîf „ahdiyyah” bertujuan memberi


isyarat terhadap satuan (fard) yang telah diketahui, karena:

1. Telah disebut pada kalimat sebelumnya dengan jelas (sharîh),


sehingga disebut “al ta‟rîf „ahdi sharîh”. Seperti firman Allah:

..... ‫كما أرسلنا إلى فرعون رسوال فعصى فرعون الرسول‬


“Sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul
kepada Fir‟aun. Maka Fir‟aun mendurhakai Rasul itu, …” (QS.
73: 15 – 16).
2. Telah disebut secara kinayah (talwîh), sehingga disebut “al ta‟rif
„ahdi kinai”. Seperti firman Allah:
‫وليس الذكر كاالنثى‬
“dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan”.
(QS. 3: 36).
3. Telah diketahui secara nyata di hadapan mukhâthab, sehingga
disebut “al ta‟rîf „ahd hudlûr”, seperti firman Allah:
‫اليوم أكملت لكم دينكم‬
“pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu”
(QS. 5:3).
Hari yang dimaksud pada ayat itu adalah hari „arafah pada
haji wada‟, hari itu telah diketahui dan nyata bagi mukhâthab
b) “al ta‟rif jinsiyyah” (haqîqah):

Musnad ilaih berupa “al ta‟rif jinsiyyah” (haqîqah)


mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1) Isyarat terhadap sesuatu secara umum tanpa memandang


afrâd-afrâdnya, yang dalam hal ini disebut dengan “lam
al-jins”, karena isyarat yang dimaksud adalah hakekat
jenis sesuatu. Seperti perkataan:

‫االنسنا حيون ناطق‬


“manusia adalah hewan yang dapat berfikir.”
2) Isarat terhadap hakikat sesuatu dengan memandang
keadaan sebagian afrâd yang tidak ditentukan, jika
ternyata terdapat qarinah, yang dalam hal ini disebut
dengan “lam al-„ahd al-dzihn”, karena yang diisyaratkan
telah diketahui dalam hati. Seperti firman Allah berikut:

‫واخاف أن يأكله الذنب‬


“dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala”
(QS. 12: 13).
3) Isyarat terhadap hakekat sesuatu dengan memandang
semua afrâd-nya. Al ta‟rîf itu disebut dengan “lam
istighraq”, yang di antara tanda-tandanya adalah adanya
“istitsnâ‟ (pengecualian) dan pantas diganti dengan
“kullun: seluruhnya”. Seperti firman Allah:
‫والعصر إن االنسان لفى خسر‬

“demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar


berada dalam kerugian”. (QS. 103: 1 – 2).

6. Musnad Ilaih berupa Idlâfah:

Musnad Ilaih yang di-mudlaf-kan pada salah satu ism


ma‟rifat di atas bertujuan di antaranya untuk:

1) Hashr, yaitu membatasi afrâd musnad ilaih agar dapat


tercakup secara keseluruhan. Seperti perkataan:
‫جاء صديقى‬
2) Ta‟dhîm (memuliakan) atau tahqîr (menghinakan) mudlâf
atau mudlâf ilaih. Seperti perkataan:
‫أمة محمد مرحومة‬
“umat Muhammad adalah yang dikasihani”, dan perkataan
3) Ikhtishâr, yaitu meringkas. Seperti syair Ja’far bin
‘Ulayyah al- haritsi:
‫ جنيب وجثمانى بمكة‬#‫هواى مع الركب اليمانين مصعد‬
‫موثق‬

“Kekasihku beserta rombongan penunggang kendaraan


bangsa Yaman, berjalan jauh mengembara, sedangkan
diriku diikat di Makkah”.

4) Membuat bentuk majâz. Seperti firman Allah:

‫ولنعم دار المتقين‬


“dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang
bertaqwa”. (QS. 16: 30).
Bentuk majâz pada ayat ini adalah ikhtishâsh
(pengkhususan).

7. Musnad Ilaih berupa nidâ’:

Kebanyakan ulama ilmu bayân tidak menetapkan sebab


mema‟rifat-kan musnad ilaih dengan nidâ‟. Keterangan seperti
ini hanya diperoleh dari kitab-kitab yang besar dan hanya
disebutkan sebagian sebab musnad ilaih berupa nidâ‟, yaitu:

1) Jika tidak diketahui tanda-tanda tertentu bagi mukhâthab.


Seperti kata: ‫ يارجل‬wahai laki-laki. Perkataan yang
dimasuki nidâ‟ seperti itu telah menjadi ma‟rifat.
2) Menunjukkan sebab („illat) dipanggilnya. Seperti
perkataan:

‫يا تلميذ أكتب الدرس‬


F. Me- Nakirah-kan musnad ilaih

Dalam konteks-konteks tertentu kadang-kadang musnad ilaih perlu di-


nakirah-kan. Pe-nakirah-an musnad ilaih tentunya mempunyai tujuan-tujuan
tertentu. Di antara tujuan pe-nakirahan musnad ilaih adalah menunjukkan jenis
sesuatu, menunjukkan banyak, dan menunjukkan sedikit. Untuk lebih jelasnya
kita perhatikan contoh-contoh berikut ini:
1) Nakirah yang menunjukkan jenis,

‫ختم هللا على قلوبهم وعلى سمعهم وعلى أبصرهم غشوة‬

Pada ayat di atas terdapat kata yang di-nakirah-kan, yaitu kata" ‫"غشاوة‬
Pe-nakirah-an tersebut bertujuan untuk menunjukkan suatu jenis"‫غشاوة‬
"yang tidak banyak diketahui oleh manusia. Jenis tersebut adalah
tertutupnya mata seseorang dari melihat ayat-ayat Allah.

2) Nakirah untuk menunjukkan banyak, seperti firman Allah dalam surah al-
„Araf ayat 113,
‫قالوا ان لناالجرا‬

Pada ayat di atas terdapat kata yang di-nakirah-kan yaitu kata Pe-
nakirah-an kata ‘‫را‬IIII‫’آج‬. Pe-nakirah-an tersebut bertujuan untuk
menunjukkan banyaknya pahala yang akan mereka terima.

3) Nakirah menunjukkan sedikit, seperti firman Allah dalam surah al-Taubah :


72,

‫وعدهللا المؤمنين والمؤمنت جنت تجري منتحتها االنهر خلدين فيها‬


‫ومسكن طيبة في‬

‫جنت عدن ورضون من هللا آكب‬

Pada ayat di atas Allah menggunakan isim nakirah untuk


mengungkapkan surga yaitu dengan kata ‘ ‫’جن ات‬

4) Merahasiakan perkara, contoh:


‫قال رجل إنك انحرفت عن الصواب‬

Seorang lelaki berkata, “Engkau telah menyimpang dari kebenaran”.


Pada contoh diatas nama dari musnad ilaih tidak disebutkan bahkan
disamarkan, agar ia tidak ditimpa hal yang menyakitkan.

5) Bertujuan untuk makna mufrad (tunggal);


‫ويل أهون من ويلين‬
“Satu kecelakaan adalah lebih ringan daripada dua kecelakaan”
6) Menjelaskan jenis/macamnya ;
‫لكل داء دواء‬
“Bagi setiap macam penyakit ada satu macam obat”

G. Menyebut Musnad Ilaih

Al-Dzikr secara leksikal bermakna menyebut. Sedangkan dalam


terminologi ilmu balâghah al-dzikr adalah menyebut musnad ilaih. Al-Dzikr
merupakan kebalikan dari al-hadzf. Contoh,

‫ من جاء‬: ‫االستاذ جاءجوابا لمن سأل‬

Dalam praktek berbahasa, al-dzikr mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. Al-Îdhâh wa al-Tafrîq (menjelaskan dan membedakan) Penyebutan


musnad ilaih pada suatu kalimat salah satunya bertujuan untuk
menjelaskan subjek pada suatu nisbah. Jika musnad ilaih itu tidak
disebutkan maka tidak akan muncul kesan kekhususannya. Contoh,
‫محمد محاضر‬
Sebagai jawaban dari
‫من االمحاضر ؟‬
2. Ghabâwah al-mukhâthab (menganggap mukhâthab tidak tahu)
Mutakallim yang menganggap mukhâthab tidak tahu apa-apa ia akan
menyebut musnad ilaih pada suatu kalimat yang ia ucapkan. Dengan
menyebut musnad ilaih, mukhâthab mengetahui fâ’il, mubtada, atau
fungsi-fungsi lain yang termasuk musnad ilaih. Demikian juga akan
terhindar dari 23 kesalahfahaman mukhâthab pada ungkapan yang
dimaksud.
3. Taladzdzudz (senang menyebutnya) Seorang mutakallim yang menyenangi
sesuatu ia pasti akan banyak menyebutnya. Pepatah mengatakan
‫من أحب شيئا كثر ذكره‬
“Barang siapa yang menyenangi sesuatu ia pasti akan banyak
menyebutnya”
Jika mutakallim menyenagi mukhâthab ia pasti akan menyebutnya, dan
tidak akan membuangnya.

D. Membuang Musnad ilaih

Al-Hadzf secara leksikal bermakna membuang. Sedangkan maksudnya


dalam terminologi ilmu balâghah adalah membuang musnad ilaih. Al-Hadzf
merupakan kebalikan dari al-dzikr. Dalam praktek berbahasa al-hadzf
mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

1. untuk meringkas atau karena sempitnya konteks kalimat, contoh:

‫ عليل‬: ُ‫ كيف أنت؟ قلت‬:‫قال لى‬

Pada dialog di atas terdapat kalimat yang padanya dibuang musnad ilaih-
nya, yaitu pada kata "‫"عليل‬Kalimat lengkapnya adalah "‫"أنا عليل‬

2. Terpeliharanya lisan ketika menyebutnya, contoh:

‫نار حامية‬-‫وما ادراك ماهية‬

Pada ayat kedua terdapat lafazh yang dibuang, yaitu kata ‫هي‬yang
kedudukannya sebagai musnad ilaih.

Kalimat lengkap-nya adalah: ‫هي نار حا مية‬

3. Li al-hujnah (merasa jijik jika menyebutnya)

Jika seseorang merasa jijik menyebut sesuatu-apakah nama orang atau


benda -ia pasti tidak akan menyebutkannya atau mungkin
menggantikannya dengan kata-kata lain yang sebanding.

4. Li al-ta‟mîm (generalisasi)

Membuang musnad ilaih pada suatu kalimat juga mempunyai tujuan untuk
mengeneralkan pernyataan. Suatu pernyataan yang tidak disebut subjeknya
secara jelas akan menimbulkan kesan bahwa pesan itu berlaku untuk
umum (orang banyak).

5. Ikhfâu al-amri „an ghairi al-mukhâthab

Kadang-kadang seorang mutakallim ingin merahasiahkan musnad ilaih


kepada selain orang yang diajak bicara (mukhâthab). Untuk itu ia
membuang musnad ilaih, sehingga orang lain tidak mengetahui siapa
subjeknya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa ilmu ma’ani ialah
ilmu yang pempelajari tentang perkataan bahasa arab yang sesuai situasi dan
kondisi dan juga dengan macam-macam ruang lingkup pembahasan di dalamnya
seperti halnya kalam khabar, insya, al-qasr, al-fashl wa al-washl, dan ijaz,
musawat dan ithnab.
DAFTAR PUSTAKA

Mudakir, Ahmad. Gaya Bahasa Al-Qur‟an. Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN


Sunan Gunung Djati Bandung, 2020.

Murdiono. PENGANTAR ILMU MANI. UMMPress, 2022.

Tamam, Asep M., dan M. Iqbal Abdul Wakil. Ilmu Ma’ani: Antara Teori dan
Praktik. Maghza Pustaka, 2022.

Anda mungkin juga menyukai