Anda di halaman 1dari 118

BAB I

A. Berbagai Kesalahan Persepsi atas Filsafat


Pada abad ke-5 SM Socrates mengemukakan bahwa Filsafat
merupakan suatu cara orang menggunakan akalnya untuk menemukan
kebenaran sejati yang bersifat rasional dan individual. Yang dimaksud
dengan rasional berarti dalam wacan filsafat, yang berperan menyatakan
ini benar dan itu salah adalah rasio, akal, semata-mata, sedangkan yang
dimaksud dengan individual adalah pendapat itu adalah pendapat tertinggi
yang seseorang dapat mencapainya, bukan hasil bersama apalagi
mengikuti tren berpikir pada suatu waktu tempat. Socrates menyampaikan
pendapat ini sebagai sengkalanya seseorang terhadap cara berpikir
sebelumnya berupa metologi, teater dan sastra sebagai wacana mencari
dan menganjurkan kebenaran atas dasar pendapat orang-orang tertentu,
para sofis adalah lulusan akademia.
Sampai saat ini, istilah filsafat masih sering dipersepsi dan
diterapkan secara tidak benar. Oleh Mohammad Sodiq (2002) dalam
pengantar penerjemahannya atas The Tree of Philosophy (Palmquis,2000)
disebut bahwa mitos dan digunakan, terutama para golongan awam, yang
tidak optimal sebagaiamana pengertian dan maksud tujuan yang
sebenarnya. Yang mana pada dasarnya, kesalahan itu menyangkut pada
pengertian dan wilayah atau subtansi yang diwacanakannya.
Ada pihak yang mempersepsi filsafat sebagai suatu wacana yang
luar biasa serius dan abstrak untuk biasa, orang-orang pada umumnya.
Berarti filsafat berkeduukan sangat tinggi, dibandingkan dengan wacana-
wacana lainnya. Akibatnya, filsafat dijadikan suatu wacana atau ilmu
pegetahuan yang mungkin hanya dilakukan, dipahami, dan dijadikan
bagian kehidupan sejumlah kecil orang saja, jadi tentu yang dimaksudkan
adalah mereka yang memiliki keunggulan intelektual dan kebijaksanaan
yang sangat tinggi dibandingkan orang kebanyakan. Dengan demikian,
aktivitas filsafat tersisih dari kehidupan orang-orang sehari-hari pada
umumnya.
Jadi, dapat dipahami, bahwa orang “biasa” tidak memungkinkan
untuk berfilsafat dan tidak mungkin juga untuk mengerti apa yang
dimaksud dengan filsafat. Persepsi ini sekaligus menempatkan filsafat
sebagai pemikiran atau wacana yang terlalu abstrak, tidak membumi untuk
dapat dimanfaatkan dalam kehidupan orang dalam kesehariannya. Jadi
karena manusia pada umumnya, dapat disimpulkan “tidak berfilsafat”.
Dengan demikian, dalam penilaian secara umum, filsafat dipandang tidak
mempunyai manfaat praktis, dan sekaligus tidak patut dipelajari oleh
orang biasa pula.
Pendapat tersebut didukung oleh kenyataan, bahwasanya pelajaran
filsafat dan wacana filsafat di Indonesia hanya ada dalam lingkungan
pendidikan tinggi. Kesimpulan ini memprihatinkan karena akan banyak
manfaat filsafat dan berfilsafat, setidaknya dalam kedalaman berpikir,
tidak dipelajari, namun dibiasakan sebagai cara berpikir sejak usia dini di
seluruh kalangan. Di kelas-kelas tinggi perguruan saat ini pun, bisa jadi
mata kuliah filsafat lebih dianggap hanya sebagai penambah beban belajar,
terutama filsafat dalam pengertian umum. Integrasinya dengan bidang
ilmu pokok pun tidak cukup terlihat diusahakan karena perguruan tinggi
lebih menghemat waktu dengan hanya membahas filsafat ilmu tertentu.
menurut Prof. Dr., SUTARDJO A. WIRAMHIDJA, Psi. Dalam
bukunya mengatakan, semua pelajaran, mata kuliah, atau mata ajaran yang
ada di program magister adalah mata kuliah/mata ajaran kemagisteran.
Dengan demikian, filsafat ditempatkan pada kelompok tersendiri dalam
mata pelajaran yang ada. Dalam hal ini dapat menggambarkan kenyataan,
dikalangan “atas” pun mitos filsafat sebagai suatu wacana yang hanya
pantas untuk kalangan tertentu, masih terlihat.
Dalam pihak lain juga mempersepsikan filsafat sebagai wacana
yang tidak berhubungan dengan masalah nyata kehidupan sehari-hari.
Filsafat ini dibicarakan di antara orang-orang khusus, yaitu orang yang
“gagal” dalam menjalani tugas kehidupannya yang seharusnya wajar
dalam kehidupan nyata sehari-hari. Dalam pemahaman ini, filsafat adalah
pertunjukan absurd, yaitu berupa wacana yang tidak jelas arah dan
tujuannya, yang digunakan oleh orang-orang yang tidak mampu berpikir
sewajarnya, tepat dan benar, sekaligus sebagai tempat bersembunyi dan
tempat untuk menyembunyikan ketidakmampuan intelektualnya mereka.
Sebab dari persepsi tersebut, filsafat justru menjadi pembicaraan yang
tidak serius (ngelantur), tidak berujung pangkal, tidak intelektual, dan
mengada-ada.
Kedua jenis persepsi tersebut memanglah tidak tepat mewakili
gambaran yang menyeluruh dan utuh tentang kesalahan persepsi terhadap
filsafat. Akan tetapi keduanya menggambarkan kondisi perbincangan
filsafati pada dua sisi ekstrem. Bahkan, antara keduanya tersebut terdapat
berbagai macam persepsi lainnya, baik dalam arti berlebihan ataupun
berkekurangan.
Pengertian Filsafat
Setiap para Ahli mengemukakan definisinya sesuai dengan
pemahaman dan alasannya yang masuk ala dan kuat, dan mereka
mengemukakan definisinya masing-masing. Dan sampai saat ini, para ahli
belum ada sepakat tentang definisi filsafat secara konsisten yang
digunakan dalam kehidupan berfilsafat sehari-hari. Mereka memiliki dan
menggunakan definisinya sendiri, dengan alasan yang masuk akal dan
kuat.
Terhadap perbedaan ini, perlu disikapi negatif karena dari
perbedaan tersebut dapat membangun pengetahuan untuk antara lain yang
dapat melihat wajah dan wujud serta isi filsafat yang lebih lengkap,
sekaligus meningkatkan kebijaksanaan. Terdapat persepsi yang salah, akan
tetapi masih wajar, bahwa filsafat dikatakan sebuah masalah atau wacana
yang sukar. Bisa dijadikan pendapat itu sebenarnya hanya karena filsafat
merupakan wacana yang berbeda dengan wacana ilmu pengetahuan yang
lain. sejak kecil, kita diajari memahami wujud suatu bahan, seperti ukuran
panjang dan lebar, berat dan masa, atau besarnya kekuatan energi. Dengan
demikian, berpikir filsafati yang tidak sama dengan cara berpikir tertentu,
dianggap perbincangan asing, bahkan aneh. Keasingan ini yang menjadi
sebab, untuk kemudian menjadikan filsafat dinilai sukar.
Selain kesalahan pemahaman seperti pada awal wacana yang
diutarakan, terdapat juga kesalah pahaman menyangkut apa yang
dibicarakannya. Sudah banyak orang-orang para ahli menyatakan dalam
bukunya bahwa filsafat seolah-olah hanya perbincangan tentang agama,
norma, atau nilai dan moral sehingga para ahli filsafat dianngap sebagai
ahli dibidang agama, moral atau budaya bahkan kesenian/sastra. Secara
subtansial, kesalah pahaman ini memang fatal diakarenakan agama, moral,
dan lain-lain itu juga dibicarakan pula sebagian dari masalah filsafat.
Bahkan bisa dijadikan bahwa berfilsafat itu merupakan salah satu kegiatan
intelektual manusia yang pada dasarnya adalah agama, karena berfilsafat
setidaknya menggunakan akal atau pikiran yang menjadi modal Nabi
Adam sebagai karunia Allah SWT ketika turun ke bumi. Namun, sebagai
mode berpikir, sudah jelas bahwa filsafat berbeda dengan agama ataupun
masalah moral, norma, dan nilai. Banyak ahli filsafat yang patut
diteladani dalam beberapa sisi perilakunya, akan tetapi bukan seluruhnya.
Dan banyak secara wajar ahli filsafat dikagumi dan dihormati dalam
pendangannya, tapi tidak dengan tingkah laku dirinya (untuk budaya dan
agama tertentu), bahkan pandangan yang dihormati dan dikagumi itu tidak
hanya disertai keinginan dan keharusan untuk menyetujui dan
mengikutinya.
Dalam ketidaktepatan lain yang menunjuk pada makna manfaat
tertentu dari penggunaan filsafat, yaitu pengertian filsafat sebagai dasar
dari apa yang ada di balik suatu gejala. Misalnya, di balik suatu dalil
dalam suatu cabang ilmu pengetahuan, terdapat pemahaman atau makna
tertentu yang mendasari atau yang menjadi maksud dan manfaatnya yang
lebih khusus. Dari pengertian yang seperti ini, filsafat sering diartikan
sebagai maksud atau latar belakang dasar dari suatu atau maksud peraturan
itu dibuat. Dari kata filsafat ini disebut ambiguitas.
Pengantar dalam alinea-alinea terdahulu bermaksud untuk
mangajak para pembaca selalu terbuka terhadap perbedaan pendapat pada
saat membaca dan melakukan studi filsafati, di manapun itu, ketika
membicarakan logika dan epistomologi yang menuntut kepastian,
ketepatan, serta keterarahan berpikir. Orang yang berfilsafat akan
meragukan setiap jawaban yang baru dipastikan dan diyakininya. Ini akan
dikemukakan pada masalah refleksi sebagai metode berfilsafat yang
didasari sikap dan persepsi bahwa perbedaan akan menjadi rahmat.
Immanuel Kant pernah menyatakan dalam perhubungan keadaan
tersebut, bahwa yang penting adalah belajar berfilsafat, bukan belajar
filsafat. “orang-orang yang datang padaku bukanlah orang-orang yang
mau belajar filsafat, melainkan orang-orang yang belajar berfilsafat”,
katanya jelas. Sudah jelas bahwa, orangorang yang mengerti filsafat
berbeda dengan orang yang berfilsafat.
B. Keheranan dan Kemauan Mendalami sebagai Awal Berfilsafat
Ada yang berpendapat, bahwa berfilsafat hanyalah tanda hakikat
manusia saja, karena sejak awal dan pada dasarnya manusia berpikir.
Dalam berfikir secara jelas dan signifikan, dapat membedakan manusia
dari makhluk lainnya. Secara singkat filsafat berada di tirai belakang atau
mendahului ilmu pengetahuan atau pemikiran atas hal yang konkrit.
Semisal, ketika kita mengajukan moralitas tertentu sebenarnya kita telah
membuat pertimbangan pemikiran, mengapa harus moralitas yang dipilih.
Yang menjadi masalah filsafat disini, bukanlah moralitas apa yang dipilih,
melainkan apa yang ada dibalik sesuatu atau membentuk moralitas itu.
Jadi yang ditanyakan adalah pertanyaan di belakang sesuatu, lebih dari
pada sesuatu itu. Semisal, apabila seseorang melihat pemandangan dan
berpendapat bahwa pemandangan itu indah, maka ia tidak bertanya
“mengapa bisa seindah itu”, melainkan bertanya “apakah indah itu”, itulah
cara berpikir filsafati.
Manusia memang suka bertanya tantang mempersoalkan sesuatu,
termasuk mengapa harus berfilsafat? Karena banyak hal yang baru
ditemui, dan hal tersebut mengeherankannya. Bukan menanyakan
indahnya suatu pemandangan, akan tetapi apakah “indah” itu. Secara akal,
manusia merupakan makhluk yang senantiasa heran dan mengherankan
segala hal yang tidak dipahami atau hal yang baru. Dan itu masuk akal,
karena Allah SWT. Memberi Nabi Adam dan keturunannya berupa modal,
atau alat yang berupa akal, ketika menurunkannya ke bumi dengan tugas
memelihara dan menyelamatkan bumi. Menurut Aristoteles, ucapan dari
gurunya Plato, yang masih berlaku sampai saat ini. heran dan dilanjutkan
dengan bertanya dan berpikir sampai menemukan makna bukan hanya
sekedar arti yang merupakan ciri manusia (human) yang tidak ada pada
makhluk lainnya.
Yang dijadikan persoalan adalah segala hal, macam-macam, benda
ataupun keadaan, konkret ataupun abstrak, baik yang terpikir maupun
yang terasa. Dipertanyakan karena ia mengherankan dan ingin mendalami
sesuatu. Dalam cara bertanya bermacam-macam, mulai dari pertanyaan
yang bersifat biasa saja, yaitu mengenai hal wujud, sampai pertanyaan
filsafati, tentang yang di belakang ataupun diluarnya. Keheranan itu
merupakan bekal bagi seseorang untuk berfilsafat, selain bertanya non-
filsafati. Hal ini penting, karena dengan rasa keheranan, orang akan
bertanya sehingga ilmunya akan bertambah dan mendalam. Dengan
kedalaman dan keluaasan ilmu tersebut, orang akan mampu menganalisis
masalah dengan lebih menguasai atau memahami lingkungannya dengan
lebih dalam dan baik. Hal tersebut akan menyebabkan memahami, yang
kemudian bertindak, bereaksi, dan efektif beradaptasi terhadap lingkungan
atau tantangannya. Pemahaman, jalan pikiran, dan penguasaan atas
kenyataan secara demikian itu merupakan sebuah kebenaran. Dan dengan
demikian, kita meyakini bahwa kebenaranlah yang akan membawa
seseorang pada puncak kebahagiaan hidupnya.
Masalah yang selanjutnya adalah mengapa manusia harus
berfilsafat untuk mencapai kebenaran. Tentu saja itu tidak diharuskan bagi
orang untuk berfilsafat, tapi cukup sampai bertanya secara ilmiah, sesuai
bidang ilmunya saja, atau bahkan dalam arti akal sehat (common sense)
saja. Akan tetapi orang berfilsafat akan menemukan akar, hakikat dari
pada apa yang menjadi bahan pemikirannya yang mendasari kebenaran
subtantif itu. Untuk hal itu, setidaknya kita mengatahui terlebih dahulu
bagaimana berfilsafat.
Untuk keperluan pelaksanaannya saja, filsafat dianggap sebagai
persoalan sesuatu secara mendalam dan bersungguh-sungguh, radikal,
sampai keakar-akarnya. Ini merupakan cara bertanya yang berbeda dari
bertanya saat memperbincangkan ilmu pengetahuan, yang bertitik tolak
pada wujud objektifnya. Sesuatu yang hendak dicapai oleh filsafat adalah
kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang mendasari wujudnya dan
disebut kebenaran filsafati.
Secara kebahasaan pengertian kebenaran tang hakiki, tidak tepat
dipakai karena kata hakiki berasal dari hak yaang berarti benar.
Kemungkinan lebih tepat digunakan pada istilah kebenaran sejati, bukan
hanya penampilannya semata. Jika ada orang yang berpendapat, bahwa
seseorang tidak perlu bertanya secara filsafati, tampaknya penanya tidak
mengenal filsafat sebagai perbicangan yang mendahului atau melahirkan
ilmu pengetahuan, disamping perbincangan masalah-masalah nyata
lainnya. Maka tentu, dengan keraguannya atas manfaat berfilsafat tidak
akan terjadi. Maka dengan demikian pertanyaannya seyogianya beralih
menjadi “mengapa orang berfilsafat?”
Makhluk hidup yang dikenal saat ini, adalah (1) tumbuh-tumbuhan
yang hanya memiliki metabolisme (2) binatang yang selain memiliki
metabolisme juga memiliki nafsu, syahwat atau naluri, dan (3) manusia
yang selain memiliki metabolisme dan naluri, akan tetapi juga memiliki
akal dan kemauan bebas (moral, qolbu, nilai, norma, dan makna). Oleh
karena itu, Aristoteles beranggapan bahwa makhluk hidup terdiri atas
makhluk yang bertaraf, animal, dan human.
Adapun ada kepercayaan dan keyakinan yang berbeda,
bahwasanya Tuhan menurunkan hanya dua jenis di muka bumi ini, yaitu
tumbuhan dan binatang. Tetapi, diantara makhluk yang disebut binatang
ini ada yang berakal dan ada yang tidak berakal, dan ada yang memiliki
nafsu juga memiliki ratio (akal budi). Hal ini terdapat perbedaan kradual
antara keduanya, bukan perbedaan prinsip, meskipun gradual itu
menyangkut hal penting. Hal ini memang patut dipertanyakan, akan tetapi
tanpa harus dijawab masalah ini lebih dahulu secara pasti pasti karena
berfilsafat memanglah senantiasa melahirkan keheranan dan pertanyaan-
pertanyaan baru.
Orang yang memiliki keinginan untuk memahami lebih banyak hal
dan agar lebih mendalam, maka akan mengherankan banyak hal. Mereka
yang memiliki keinginan untuk mendalami sesuatu akan mengherankan
hal-hal lebih dalam lagi. Yang dimaksud dengan adanya keheranan, yaitu
memiliki keingintahuan (curiousity) akan sesuatu apapun dan segala hal.
Hal seperti sangat penting bagi manusia, karena lebih banyak dan
dalamnya pengetahuan akan lebih menjamin keamanan dan rasa amannya,
serta lebih tinggi dan lebih berartinya capaian tujuan hidupnya. Dengan
pengetahuan yang semakin banyak dan mendalam, manusia dapat
menyesuaikan diri lebih baik terhadap lingkungannya. Setiap orang pasti
mempunyai keterbatasan dalam kemampuannya, termasuk dalam daya
pikir, yang berarti keterbatasan dalam daya tanya. Masalah keterbatasan
ini tampaknya merupakan masalah lain. jadi keheranan orang terhadap
apapun bersifat individual, dan sesuai kemampuan dan keadaannya, akan
tetapi bersifat universal, bisa berfikir filsafati, sebaliknya ada orang yang
memiliki daya pikir yang kuat, yang lebih bisa berpikir ilmiah, hanya
berpikir pada sisi wujudnya saja.
Keharanan itu bukanlah keheranan yang mengada-ada, melainkan
keheranan dan aktivitas berpikir dan bertanya itu terdapat suatu kebutuhan
dan keinginan aspirasi atau cita-cita yang dapat mengembangkan daya
pikir manusia, baik dalam diri sendiri maupun lingkungannya. Keheranan
tersebut bersifat intelektual dan kerohanian, keinginan, cita-cita, dan lain
sebagainya, itu dimaksudkan untuk memahami sesuatu dalam segala hal.
Sekaligus membuat pertimbangan dan perhitungan mengenai suatu
tindakan-tindakan yang memberinya kemungkinan untuk melaksanakan
tugas dan peranan manusia dalam kehidupannya dan seluruh alam tempat
kehidupannya. Pada dasarnya dalam psikologi keinginan ini berhubungan
dengan adanya kemautahuan atau keharusan ilamiah untuk menyesuaikan
diri, beradaptasi, atau membangun adjustment dan adaptasi dengan
lingkungannya.
Dalam keheranan tersebut perlu juag untuk dibedakan, yaitu
keheranan orang-orang “bodoh”, atau bisa dibilang orang-orang yang
malas berpikir, dari keheranan orang yang berpikir mendalam. Keheranan
yang hanya heran saja atau orang “bodoh” sebagai akibat dari sedikitnya
pengetahuan dan minat, usahaserta kemamuan mereka untuk
memikirkannya lebih lanjut dan bersungguh-sungguh. Semisal, keheranan
karena pengetahuan yang terbatas dan keinginan untuk mengetahuinya
hanya dangkal saja, menyebabkan nia heran mengapa orang-orang tidak
terus belajar, padahal, belajar membuat orang jenuh dan lelah. Yang
berfilsafat tentu saja tidak berpikir sedemikian, akan pasti dilandasi
keheranan yang kemudian ditindaklanjuti dengan maksud menggali
pengetahuan yang lebih dalam lagi dan kaya akan informasi yang berada
di balik gejala yang diherankannya tersebut.
Oleh karena itu, timbul lagi pertanyaan mengenai apa saja yang
diherankan oleh manusia, dengan demikian dipertanyakan dan
dipikirkannya, setidaknya melalui filsafat itu? Apakah objek filsafat itu?
Dan jawabannya adalah segala hal, karena setiap yang ada, memiliki ada
yang lain, dan tentu dapat melahirkan dampak pada manusia, kehidupan,
dan lingkungan dalam hidupnya.
C. Permasalahan Filsafat
Setiap hal atau sesuatu yang mengherankan atau menantang untuk
diselidiki lebih dalam melahirkan suasana atau mood yang menjadi isi
pemikirannya. Dalam ilmu pengetahuan,setiap ilmu mempunyai masalah
sendiri, dan yang diersoalkan oleh filsafat adalah segala sesuatu, yang
tidak terkecuali. Namun, dalam mempersoalkannya terdapat
“keterbatasan”, yaitu hanya menyangkut sisi hakikatnya, dasarnya. Jika
ilmu kimia membicarakan hukumhukum persenyawaan zat dan lain-lain,
maka filsafat kimia membahas hakikat dari hukum-hukum kimia tersebut.
Inilah yang dimaksud dengan sarwa sekalian alam, yaitu salah satu ciri
khas filsafat. Kondisi juga demikian disebut universal. Mengenai masalah
yang orang pikirkan, terdapat beberapa keadaan yang berbeda secara
prinsip.
Dalam kalangan Islam, dikenal fungsi diturunkannya Al-Qur’an
yang antara lain disebut “hudan” yang berarti petunjuk (Rohim, 2008). Di
dalamnya termasuk, yang pertama sebagai hidayah al-ilham, yaitu
petunjuk yang didasarkan oleh naluri, seperti bayi yang menangis jika
lapar, yang kedua, hidayah al-hawas, yaitu petunjuk yang didasarkan pada
fungsi indra, yang ketiga hidayah al-aql, yaitu petunjuk yang didapat dari
akal, rasio, yang hanya ada pada manusia, yang keempat hidayah ad-din,
yaitu petunjuk yang didasari pengesaan Tuhan, dan yang kelima, hidayah
al-maunah, yaitu petunjuk pertolongan Allah AWT. Bagi manusia yang
mengikuti perintah dan menjauhi larangannya.
Jadi sudah jelas, bahwa yanh diherankan kemudian di pertanyakan
orang yang pada dasarnya meliputi masalah-masalah ilmiah. Estetika,
religius, dan filsafati. Dalam masalah ilmiah akan melahirkan pertanyaan
ilmiah yang mana kemudian menampilkan jawaban ilmiah dan pada
akhirnya kebenaran ilmiah pula. Masalah religius akan melahirkan
pertanyaan religius juga, sebelum akhirnya melalui alasan-alasan religius
menampilkan kebenaran-kebenaran religius. Masalah estetika akan
melahirkan pertanyaan yang menuntut pada pemikiran estetis pula, dengan
diakhiri oleh jawaban estetis. Sementara masalah-masalah filsafati
sebelum kemudian melahirkan jawaban filsafati meneganai hakikat
sesuatu (the nature of...).
D. Arti, Pengertian, dan Definisi Filsafat
Secara etimologis, asal kata menurut bahasa, “filsafat” sedang
dalam bahasa Inggris philosophy, bersala dari bahasa Yunani yang berarti
philosiphia. Filosofia, gabungan dari dua kata, yaitu philein yang berarti
cinta, merindukan, atau philos yang berarti mencintai, menghormati,
menikmati, dan sophia atau sofein yang berarti kehikmatan, kebenaran,
kebaikan, kebijaksanaan atau kejernihan. Jadi secara etimologis, berfilsafat
atau filsafat berarti mencintai, menikmati, merindukan kebijaksanaan atau
kebenaran. Hal ini sama atau sejalan dengan yang dikatakan oleh ahli
filsafat Yunani Kuno, Socrates, bahwa filosof adalah orang yang
mencintai atau mencari kebijaksanaan. Ini mengubah pendapat yang
sebelumnya, yaitu adanya kaun cendekia lulusan “sekolah tinggi” sarjana,
yang disebut dengan sofis yaitu yang menyebut dirinya sebagai orang-
orang yang berpengetahuan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa filosof bukanlah seseorang yang
telah bijaksana atau berpengetahuan benar, akan tetapi orang yang sedang
belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Orang yang pertama
menggunakan istilah philosophia adalah Phithagoras (592-497 SM).
Filsafat juga berakar dari bahasa Arab, filsafah, juga berakar dari
pada istilah Yunani. Menurut Mautner (1999) terdapat tiga arti filsafat,
ialah pertama sebagai aktivitas intelektual yang dapat didefinisikan dalam
arti yang banyak, bergantung pada apa yang menjadi penekanan artinya,
ialah pada metodenya, masalah atau subject matternya, atau maksud
tujuannya. Sebagai metode, filsafat merupakan penelusuran rasional.
Sebagai permasalahan menyangkut apa yang dibicarakan, semisal fisika
dan alam lainnya, yang mana disebut filsafat alamiah, kosmonologia.
Filsafat dimaksudkan untuk berpikir menuju kebijaksanaan, kesejatian,
dan kebahagiaan.
Arti filsafat yang kedua, adalah suatu teori yang di dapat atau
sebagai hasil dari pemikiran filsafati, yaitu pemikiran yang menuju pada
akarnya. Yang ketiga, adalah suatu pandangan yang menyeluruh,
komprehensif, mengenai realitis, dan tempat manusia berada atau tinggal
di lingkungannya.
Perlu diketahui, bahwa ilmu filsafat merupakan mata kuliah yang
dipelajari diberbagai perkuliahan, dan juga ilmu filsafat merupakan suatu
ilmu yang menggunakan suatu pikiran atau mempelajari dengan cara
berfikir.
Dapat kita telaah dalam cara mendefinisikan dalam kajian filsafat,
sejak zaman Yunani kuno sampai sekarang dari beberapa ahli filsafat.
Socrates yang dianggap sebagai Bapak Filsafat (Yunani), walaupun
sebelumnya ada Thales dan Pythagoras, yang menyatakan bahwa filsafat
sebagai cara berpikir yang redikal dan menyeluruh, dan cara berpikir yang
mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Dan kemudian ada murid Socrate
yatitu Plato, menyatakan bahwa filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang
berminat untuk mencapai kebenaran yang asli. Aristoteles murid Plato,
mendefinisikan bahwa filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran, yang mana didalamnya meliputi ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Descartes adalah salah seorang yang menemukan ilmu
pengetahuan (science, sciens, scientieae), Descartes mendefinisikan bahwa
filsafat sebagai kumpulan segala ilmu pengetahuan dimana Tuhan, alam,
dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Sedangkan Immanuel Kant
menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok
dan pangkal dari segala pengetahuan, jadi yang tercakup dalam empat
persoalan, yaitu apa yang dapat diketahui (metafisika), dan apa yang
seharusnya diketahui (etika), sampai dimana harapan kita (agama), dan apa
yang dinamakan manusia (antropologi).
Hasbullah Bakri merumuskan definisi filsafat dari berbagai definisi
psikologi yang ditemukan dan dicatat, sebagai berikut!
Ilmu filsafat adalahh ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga bisa
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia yang seharusnya
setelah mencapai pengetahuan tersebut.
Dapat kita catat disisni mengenai digunakannya istilah “ilmu” atau
“ilmu pengetahuan” untuk pengertian umum filsafat. Padahal bagi kita
filsafat dan ilmu atau ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda.
Dapat dikemukakan dengan sedikit penjelasan, setidaknya di Yunani,
bahwasanya sebelum tahun 200-an SM, semua wacana disebut filsafat.
Orang yang sedang berbicara tentang ilmu bumi atau masalah jual beli
disebut berfilsafat pula, karena pada dasarnya untuk mencari kebenaran.
Dari tahuan 200 M sampai 1500-an M, filsafat tetap dikenal, akan tetapi
dibawah naungan agama (teologise ancilia). dan setelah zaman filsafat
modern, terutama dipelopori Descartos dan John Locke, ada perbedaan
dan pembedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, walaupun pemikiran-
pemikiran yang berkembang pada zaman tersebut adalah ilmu (science).
Untuk dapat berfilsafat atau mempelajari filsafat pada dasarnya
dituntut untuk minat dan kecerdasan yang cukup tidak berbeda dengan
mempelajari masalah atau subject matter yang lain. untuk menjadi seorang
ahli biologi, siapapun orang tersebut harus memiliki minat terhadap
biologi dan kecerdasan. Jadi dapat ditegaskan, supaya mampu belajara
filsafat terutama belajar berfilsafat, tidak cukup untuk dipenuhi syarat
kemampuan berpikir yang memadai, yang antara lain ditandai dengan
adanya keinginan untuk berpikir lain dari pada mempelajari ilmu
pengetahuan yang telah populer. Yang disebut dengan kajian filsafat, yaitu
yang disebut objek material filsafat ialah segala sesuatu. Akan tetapi,
dengan mempelajari yang tertentu, yaitu yang disebut dengan objek
formal, atau disebut refleksi, kontemplasi, atau perenungan untuk sampai
pada hakikatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa objek material filsafat
adalah segala sesuatu hal, sedangkan objek formalnya adalah cara berpikir
refleksi.
Mengenai metode yang digunakan dalam filsafat, yang dapat jadi
berbeda secara signifikan atau prinsipal dibanding dengan metode belajar
ilmu lainnya. Inti dari metode berfilsafat, adalah refleksi. Berfilsafat
adalah berefleksi, merenung, dan berkontemplasi, yatu tidak memikirkan
mengenai apa yang secara konkret ada di hadapan kita secara langsung,
akan tetapi apa yang ada di belakang atau mendasarinya. Semisal, ketika
seseorang melalui kaca jendela melihat gunung yang indah, ia
mempertanyakan apa indah itu, mengapa saya menyebut gejala itu dengan
indah (dan tidak indah). Jadi tidak berkata tentang apakah benar bahwa
pemandangan itu indah atau sebaliknya, yang tentu sudah ada ukuran dan
ciri-ciri indahnya. Mengapa untuk pemandangan semacam itu kita
menggunakan atau menanyakannya dengan kata mahal atau murah, itu
berfilsafat.
Seseorang mengatakan, bahwa tekanan dalam berfilsafat
ditekankan pada persoalan, pertanyaan, dan bukan pula pada jawabannya.
Jadi, berfilsafat menanyakan suatu pertanyaan. Dalam memastikan suatu
kebenaran, filsafat mempercayakan pada rasio, akal budi. Filsafat
merupakan kegiatan rasional yang tidak memerlukan bukti empirik.
Secara singkat dan umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Ilmu pengetahuan didapat melalui metode ilmiah yang membandingkan
atau menguji hipotesi yang didapat dari perbincangan teoretis (rasional)
oleh hasil peneltian di lapangan (empirik).
2) Religi di dapat dengan wahyu Tuhan dan diajarkan oleh para nabi dan
Rasulullah, semisal, dalam kebenaran agama Islam terdapat dari firman
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an dan Hadits.
3) Estetika atau keindahan didapat dari pengahayatan melalui perasaan
senang atau tidak, nyaman atau tidak, ketika kita menghadapi suatu
objek. Istilah harmonis menjadi pegangan utama, walaupun didalamnya
terdapat enharmonis.
4) Kebenaran filsafati didapat dari refleksi atau perenungan atas apa yang
ada di balik masalah, akan tetapi semata-mata dengan alat rasio secara
radikal sehingga ditemukan suatu jawaban, atau lebih mendalam yang
berupa hakikat (the nature).
Akan tetapi perlu penjelasan operasional mengenai cara
mempelajari atau memahami filsafat tersebut. Dalam hal ini, lazim
digunakan dalam dua metode, yaitu metode sistematis dan metode
historis.
1. Metode Sistematis
Metode sistematis adalah bagaimana cara mempelajari objek
material filsafat, yaitu mengenai materi atau masalah-masalah yang
dibicarakannya. Dan yang dimaksud dengan sistematis adalah adanya
susunan dan hierarki (urutan) dan dengan hubungan menyangkut materi
atau masalah terdapat pada filsafat. Yang dimaksud dengan
permasalahan atau materi tersebut dan kemudian susunan dan atau
hubungan masalah yang satu dengan masalah yang lain terjadi
merupakan bahasan dalam metode ini. setiap para ahli bidang dapat
mengajukan pendapatnya sendiri yang mengenai atau masalah yang
dibicarakan filsafat. Langeveld (1959) mengajukan tiga masalah pokok
terhadap filsafat yang melahirkan jenis-jenis filsafat yang disebut
problematika filsafat. a) masalah mengenal dan mengetahui atau
cognitio, b) masalah segala sesuatu atau metafisika, yaitu tentang hal
ada (metafisika umum, ontologi) dan yang ada (metafisika khusus), dan
c) masalah penilaian dan nilai atau aksiologi.
Dalam pembicaraan sistematis ini bisa terjadi perbandingan
pengertian dan masalah tertentu, semisal masalah logika antar seorang
pemikir dan pemikir lainnya. Pembandingan tersebut bisa antar waktu,
seperti metafisika di masa Yunani Kuno di Abad Pertengahan dan
pendapat Gabriel Marcel di zaman modern. Sebagai bahan
perbandingan di masa Yunani Kuno, sudah ada sistematika filsafat,
yang di antaranya dikenal sistematika Aristoteles.
Dalam filsafat sistematika ini terdapat metode mempelajari filsafat
atas dasar klasifikasi atau hanya pembagian saja, dan mempelajari
sistem filsafat yang memuat susunan yang mana terjadi dari pembagian
dan susunan hierarkis.
2. Metode Historis
Metode historis adalah cara mempelajari filsafat berdasarkan
urutan waktu perkembangan pemikiran filsafat yang telah terjadi, sejak
kelahirannya sampai saat ini, dan dapat dicatat dan memenuhi syarat-
syarat pencatatan dan penulisan sejarah. Dalam pencatatan sejarah
terdapat periodisasi perkembangan pemikiran, mengenai berbagai
masalah yang bisa berbeda untuk setiap para ahli karena ahli memiliki
bahan pertimbangan dan asumsinya sendiri.
Dengan pemikiran yang salah maka sejarah sering dinilai atau
disebut dengan ilmu pengetahuan yang susah, berat, dan menguras daya
ingat. Akan tetapi tidak sedemikian, memanglah dimulai dengan
meyakini waktu, tempat, serta kejadian sebagai usaha utama, tetapi
dicari faktor korelasi dan penyebab, wujud, dan maknanya, serta
dampak terhadap kejadian lain dan masa depan. Dapat disimpulkan,
bahwa meskipun berdasarkan pada masa lalu yang membutuhkan
ingatan, sejarah dan juga memuat kaitan-kaitan logus dan mencari
makna, selain arti, dan kemungkinan untuk bisa menjelaskan apa yang
akan terjadi di masa depan. Meramal masa depan dengan mmeliha
kejadian di masa lalu.
Bertens (1976) berpendapat bahwa pada dasarnya, sejarah
perkembangan filsafat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
a) Zaman Yunani Kuno, dari abad ke-6 SM sampai tahun 200 M.
b) Zaman Patristik dan pertengahan, dari tahun 200 sampai 1500.
c) Zaman Modern dari tahun 1500 sampai 1800.
d) Zaman Baru.
Zaman Yunani Kuno atau Purba kiar-kira berlangsung antara abad
5-6 SM sampai 2 M, Zaman Patristik dan Pertengahan antara 2-17 M,
sedang pada abad modern dimulai pada kira-kira tahun 1700-an.
Dalam beberapa konsep ini terlibat definisi yang dapat
diketahui,sebagai berikut: Langeveld, dalam bukunya terdapat
pengantar ke pemikiran filsafat (1959), yang menyatakan bahwa filsafat
ialah merupakan suatu perbincangan atau argumentasi yang mengenai
atau yang membicarakan segala sesuatu hal. Apabila dirumuskan
Kembali, maka filsafat ialah merupakan suatu wacana, perbincangan,
atau argumentasi yang radikal, yang bersifat refleksi dan dilakukan
secara sistematis.
Adapun yang terdapat dalam konsep diatas, diantaranya:
1. Wacana, perbincangan, atau argumentasi, yang dapat diketahui
bahwa filsafat memiliki ciri kegiatan seperti pembincangan yang
dapat mengandalkan dalam pemikiran, rasio dan tanpa verivikasi uji
empiric “perbincangan dengan menutup mata” menurut MAW
BROUWER, seorang pastor dan psikologi yang sangat berminat
dan telah lama menjadi dosen untuk berbagai jenis filsafat, yang
artinya dengan keputusan atau pendapat filsafati yang tidak didasari
oleh bukti kebenarannya, baik dengan eksperimentasi maupun
pencarian data dilapangan maupun dengan perenungan, kontemplasi
yang disebut berpikir refleksif.
2. Segala hal yang membahas tentang materi filsafat, perbincangan
universal. Tidak ada yang dapat bicarakan filsafat, masalah muncul
dan tidak muncul merupakan bagian dari pebincangannnya. Dan ini
berbeda dengan ilmu pengetahuan yang membicarakan suatu
lingkungan, seperti zoologi yang hanya membahas wujud binatang
saja, dan lengkap dengan pengukurannya. Ada juga yang
berpendapat bahwa apa yang dilakukan itu merupakan inti dari
filsafat sehingga filsafat dapat disebut universal.
3. Sistematis, hal ini membahas tentang segala sesuatu yang dilakukan
secara teratur, bersistem, tersusun, sehingga tahapannya mengikuti
aturan yag telah di atur. Akan tetapi akan mudah diikuti siapa saja,
benar dan tidak benarnya dapat dicek, diperiksa atau diuji oleh
orang lain. Walaupun hanya membahas satu pengertian yang
mengenai segala hal.
4. Radikal ialah yang membahas suatu persoalan sampai akar-akarnya.
Radix yang artinya akar, hal ini juga disebut arche. Maka
merupakan dengan ciri berpikir khas filsafat, jelas jika berbeda
dengan ilmu pengetahuan, yang sering disebut dengan philosophical
belief atau disebut dengan keyakinan filsafat. Dan dicari sampai
akar-akarnya, bahwa asumsi pun dibicarakan yang tidak hanya
digunakan. Ilmu pengetahuan juga menggunakan asumsi, maupun
untuk membangun atau membahasnya.
5. Hakikat ialah yang merupakan istilah yang menjadi ciri khas
filsafat.hakikat juga merupakan pemahaman atau disebut hal yang
plaing besar. Maka filsafat ini tidak hanya membahas tentang
wujudnya atau materi, seperti ilmu pengetahuan, akan tetapi
membahas makna, berarti filsafat ini merupakan suatu akibat yang
berpikir dengan radikal.
E. Mempelajari Filsafat

Dalam pengertian filsafat bahwa secara resmi Pendidikan dapat


menempatkan filsafat sebagai bidang studi pada tahap Pendidikan yang
tinggi, akan tetapi hanya disiplin ilmu yang tertentu. Maka boleh,bagi
mereka yang menginginkan pemahaman yang hakiki yang mengenai
filsafat tentang bagaimana cara untuk belajar filsafat.adanya pemahaman
ini, filsafat ini telah diutarakan dengan adanya definisi, ciri khas, dan dapat
cara berpikir entah masalah yang dipikirkannya. Jelas berbeda dengan ciri
itu dengan orang yang belajar berhitung,a ilmu yang secara sistematikanya
telah menjadi umum dan baku, kemudian telah dikenal sejak dimana orang
belajar disekolah dasar. Tetapi hanya caranya saja, ada yang berpendapat
bahwa mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yakni pada
umumnya itu sama saja.

Secara umum, Langeveld pada tahun 1959, mengatakan jika ingin


belajar filsafat, maka mulailah dengan filsafat, karena filsafat ialah dapat
memikirkan segalah hal yang dapat dipikirkan secara mendalam. Maksud
dari kata mendalam ini ialah berpikir yang tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan yang mendasarinya, tetapi dengan konsekuensinya yang
terakhir. Dan telah dkatakan oleh Immanuel Kant,orang yang datang
padanya bukan hanya belajar filsafat, akan tetapi orang yang ingin
berfilsafat. oleh pihak yang lain yakni Beeling, dalam bukuya ialah
“filsafat yang dewasa ini” (1959), menyatakan bahwa seorang manusia
berfilsafat, walaupun mereka berpikir, orang yag ingin berfilsafat bisa saja
akan tetapi jika berniat dan memiliki kecerdasan, maka akan bisa
berfilsafat.

Jadi yang ingin dan berminat untuk berfilsafat maka harus memliki
kecerdasan, tidak berbeda dengan orang yang membahas masalah atau
subject matter yang lain.

Menurut bertens pada tahun 1917, yang pada dasarnya sejarah


berkembang dengan filsafat terdapat tiga tahap, diantaranya:

1. Zaman Yunani kuno yang dari abad ke 6 SM, sampai pada tahun 20
M.
2. Zaman patristic dan pertengahan, yang dari tahun 200 sampai pada
tahun 1500.
3. Zaman modern, yang dari tahun 1500 sampai pada tahun 1800.
4. Zaman baru.

Pada zaman Yunani kuno atau zaman purba, yang betepatan


dengan abad 5 samaoi 6 SM sampai 2 M, dan zaman patristic dan
pertengahan antara 2 samapi 17 M, sedangkan dengan abad modern yang
kira-kira dimulai pada tahun 1700 tahunan.

Angka- angka tahun tersebut tidak bisa dijadikan bukti secara


nyata, karena sejarah perkembangan ini tidak memiliki batas waktu yang
cukup atau definitive, contohnya kenaikan pangkat atau kejadian yang
berwujud. Tahun-tahun tersebut ialah hanya perkiraan saja.
BAB II

Pengertian, Ruang lingkup dan Kegunaan Filsafat Pendidikan


Islam

Filsafat pendidikan Islam dari sisi materinya telah lahir jauh sebelum
filsafat pendidikan. Jika filsafat pendidikan menurut Muhammad Labib An-Najihi
lahir pada abad ke -20, maka filsafat pendidikan Islam lahir pada abad ke-9
Masehi. Hal itu ditandai dengan lahirnya karya Ibnu Sahnun yang berjudul "adabu
al-mu'allimin".Dalam bukunya tersebut Ibnu Sahnun banyak membahas tentang
bagaimana guru mendidik anak dengan memperhatikan sifat kasih sayang,
khususnya terhadap anak-anak yatim dan tidak berbuat kasar terhadap orang
miskin. Kemudian beliau juga membahas batasan-batasan hukuman kepada anak
dalam pendidikan.

A. Pengertian filsafat pendidikan islam


Filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta dan kata shopos yang
berarti ilmu, hikmah atau kebijaksanaan. Kata filsafat dalam bahasa arab
dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa inggris dikenal istilah
phylosophy serta dalam bahasa Yunani dengan istilah philosophia.1
Sedangkan Hasan Shadilly mengatakan bahwa filsafat menurut asal katanya
adalah cinta akan kebenaran. Maka dengan itu filsafat dapat dikatakan cinta
pada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka, senang kepada hikmah dan
kebijaksanaan. Maka orang yang berfilsafat disubut juga dengan orang yang
cinta kepada kebenaran, memiliki ilmu pengetahuan, ahli hikmah dan
bijaksana.
Pendidikan terdiri dari dua kata yaitu yang mendapat awalan pen dan
akhiran an yang berarti perbuatan (hal, cara) mendidik. Kata Islam berasal
dari Bahasa Arab yakni salima-yaslimu-saaliman yang berarti berserah diri,
tunduk, selamat sentosa atau memelihara diri dalam keadaan selamat.

1
Poedjawidjatna, Pembimbingan Ke Alam Filsafat( Djakarta: Pembangunan, 1974). 1
Muzayyin Arifin berpendapat bahwa Filsafat Pendidikan Islam pada
hakekatnya adalah konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumberkan
atau berlandaskan ajaran-ajaran Agama Islam tentang hakekat kemampuan
manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi
manusia Muslim yang seluruh pribadinya di jiwai oleh ajaran Islam.
Sedangkan menurut Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany mengatakan
bahwa Filsafat Pendidikan Islam tidak lain ialah pelaksanaan pandangan
filsafat dan kaidah filsafat dalam pendidikan yang didasarkan pada ajaran
Islam.2 Arifin menyatakan bahwa pengertian filsafat pendidikan islam pada
hakikatnya adalah “ konsep berfikir tentang pendidikan yang bersumber pada
ajaran islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan
dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh
pribadinya dijiwai oleh ajaran islam”.
Lebih jauh dikatakan agar Filsafat Pendidikan Islam itu dapat
memperoleh faedah, tujuan dan fungsi yang diharapkan dan dicita-citakan,
maka perlu diambil dari berbagai sumber termasuk dari para filosof. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa Filsafat Pendidikan Islam merupakan suatu
kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah yang terdapat dalam
berbagai kegiatan pendidikan yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan al-Hadis
sebagai sumber yang primer dan pendapat para ahli seperti para filosof
sebagai sumber yang sekunder atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
Filsafat Pendidikan Islam adalah Filsafat Pendidikan yang berdasarkan pada
ajaran-ajaran Islam atau Filsafat Pendidikan yang dijiwai dan disemangati
oleh ajaran-ajaran Islam, bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas tanpa
batas etika sebagaimana pemikiran filsafat pada umumnya.3
B. Ruang lingkup filsafat pendidikan islam
Muzayyin Arifin mengatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan
islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik, logis,
dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatar
2
M Rijal, “Jurnal Biology Science & Education 2014,” vol.3, no. 2 (2014), 3–4.
3
Ida Suri Sahara, “Pengertian, Ruang Lingkup, Tujuan dan Metode Filsafat Pendidikan Islam”
(n.d.), 2.
belakangi oleh pengetahuan agama islam saja, melainkan menuntut kita untuk
mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk
bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan islam adalah masalah-masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan,
masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
Bagaimanakah semua masalah tersebut disusun, tentu saja harus ada
pemikiran yang melatarbelakangi tersebut yaitu filsafat pendidikan islam.
Dalam hubungan dengan ruang lingkup filsafat pendidikan islam ini
Muzayyin Arifin lebih lanjut mengatakan bahwa ruang lingkup pemikirannya
bukan hanya mengenai hal-hal yang bersifat teknis operasional pendidikan,
melainkan menyangkut segala hal yang mendasari serta mewarnai corak
sistem pemikiran yang disebut filsafat itu.
Dengan demikian, secara umum ruang lingkup pembahasan filsafat
pendidikan islam adalah pemikiran yang serba mendalam, mendasar,
sistematis, terpadu logis, menyeluruh atau universal mengenai konsep-konsep
yang berkaitan dengan pendidikan atas dasar ajaran Islam. konsep-konsep
tersebut dari perumusan tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode,
lingukungan.4
Secara garis besar, yang menjadi ruang lingkup filsafat pendidikan
Islam adalah yang tercakup dalam objek material filsafat, yaitu mencari
keterangan secara radikal mengenai Tuhan, manusia, dan alam yang tidak
bisa dijangkau oleh pengetahuan biasa objek kajian filsafat pendidikan Islam
adalah hal-hal yang merupakan faktor atau komponen dalam proses
pelaksanaan pendidikan. Faktor atau komponen pendidikan ini ada lima, yaitu
tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat pendidikan (kurikulum,
metode, dan evaluasi pendidikan), dan lingkungan pendidikan.5
C. Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Al-shaibany secara khusus menjelaskan bahwa tujuan filsafat
pendidikan islam adalah:
4
Ibid., 3.
5
Ahmad Fahrudin, “Sekolah Tinggi Agama ISLAM Pati Jurusan Tarbiyah Tahun
Akademik 2019-2020” (t.t.), 10–11.
1) Untuk membantu para perencana dan para pelaksana pendidikan
membentuk suatu pemikiran yang sehat tentang pendidikan.
2) Untuk menjadikan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai dasar dalam
menentukan berbagai kebijakan pendidikan.
3) Untuk menjadikan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai dasar dalam
menilai keberhasilan dalam pendidikan.
4) Untuk menjadikan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai pedoman
intelektual bagi mereka yang berada dalam dunia praksis pendidikan.
Pedoman ini digunakan sebagai dasar ditengah-tengah maraknya berbagai
aliran atau sistem pendidikan yang ada.
5) Untuk menjadikan prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai dasar dalam
pemikiran pendidikan dalam hubunganya dengan masalah spiritual,
kebudayaan, ekonomi, dan politik.6

6
Sahara, “Pengertian, Ruang Lingkup, Tujuan dan Metode Filsafat Pendidikan Islam,” 5.
BAB II

Pendekatan Dalam Kajia Filsafat Pendidikan Islam

A. Pengertian Pendekatan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendekatan memiliki arti


yaitu: pendekatan, cara mendekati metode-metode untuk mencapai
pengertian dari masalah yang diteliti. Sedangkan dalam Bahasa Inggris,
pendekatan yaitu “approach” atau dalam bahasa Arab disebut juga
dengan”madkhol”.7

Pendekatan adalah cara pandang yang tedapat dalam suatu


pembahasan ilmu.8 Bisa juga mengandung pengertian disiplin ilmu yang
dijadikan sebagai landasan dari sebuah studi penelitian. Pendekatan ini
pada pemakainnya dalam kehidupan lebih mendelati maknanya yaitu
disiplin ilmu, karena tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk
mengetahui langkah-langkah metodologis yang dipakai dalam penelitian
tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa pendekatan tida lepas kaitannnya
dengan tujuan, metode serta teknik. Semuanya memiliki hubungan yang
berkesinambungan antara satu dengan yang lain.

B. Pendekatan dalam Kajian Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat pendidikan Islam yang berdasarkan Islam merupakan


pandangan dasar mengenai pendidikan yang bersumber ajaran tauhid atau
Islam, dan tujuan dari pendidikan itu sendiri dikatakan sebagai bentuk
perwujudan nilai-nilai Islam. Melalui proses pendidikan menghasilkan
manusia yang berilmu pengetahuan dan bertakwa.9

7
Daprtemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), 652.
8
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, n.d.), 28.
9
Arifin, ILlmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksar, 2003), 54–55.
Hampir dari sebagian besar pendekatan ilmu atau disebut disiplin
ilmu dalam proses pengajarannya memakai metode agar suatu
penyelidikan fisafat dapat dilihat dari sudut pandang objek serta materi
yang akan dibahas akan menentukan apa yang cocok dipakai dalam proses
penyelidikan. 10 Berkaitan dengan itu, Menurut Jalaluddin dan Usman Said
pada garis besarnya ada dua pokok dalam mempelajari filsafat Pendidikan
Islam:11

1. Pendekatan terhadap wahyu

Pendekatan wahyu merupakan pendekatan dalam mengkaji dan


meneliti konsep-konsep wahyu baik secara filosofis dan Analisis.
Adapun pendekatan sejarah dilakukan melalui pengkajian hasil
pemikiran dari para ulama atau cendikiawan Islam pada masa lampau.
Berikut ini beberapa pendekatan pengembangan filsafat pendidikan
Islam sebagai berikut:12

2. Pendekatan terhadap sejarah


1. Pendekatan Normatif

Pendekata normatif ini dimaksudkan untuk mencari dan


menetapkan aturan-aturan yang ada dalam kehidupan nyata ini,
dalam ilmu filsafat dikenal dengan pendekatan syariah, yaitu
mencari sebuah sumber ketentuan dan menetapkan apa yang halal
dan haram dilakukan menurut syariat Islam. Dengan melakukan
pendekatan ini, maka kita berusaha memahami nili dan norma
dalam kehidupan dan menghubungkan dengan proses pendidikan
akan menghasilkan pentujuk kearah usaha yang diarahkan.

2. Pendekatan Historis

10
Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 64.
11
Abdul dan Aziz, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan MembangunPendidikan Islam
(Surabaya: El.Kaf, 2006), 17.
12
Pendekatan historis ini dilakukan dengancara mengambil
hikmah pembelajaran dari setiap peristiwa yang sudah terjadi.
Pendekatan ini digunakan dalam filsafat pendidikan Islam dengan
cara mengadopsi atau mengambi metode yang dipakai dalam
penelitian sejarah Islam. Maksud dari pendekatan ini adalah filsafat
Islam dikaji berdasarkan urutan dan rentang waktu yag terjadi pada
masa silam namun peristiwa masa lalu tersebut dapat dikaji pada
masa ini.
3. Pendekatan Bahasa (Linguistik)

Pendekatan ini biasanya menekankan pada aspek analisis


bahasa dan analisis konsep. Analisis bahasa adalah usaha untuk
menginterpretasi segala hal yang menyangkut pendapat-pendapat
mengenai makna yang dimilikinya. Atau dengan analisa bahasa
kita bisa mengetahui arti sebenarnya dari kata. Analisa bahasa
memfokuskan sumber tertulis dalam pengambilan data, sehingga
sulit untuk kita mencerna pehamaman dari filsuf sebelumnya jika
kita tidak menganalisa bahasa. Sedangkan analisa konsep
digunakan untuk menganalisa istilah atau kata yang mewakili
gagasan konsep.

4. Pendekatan Kontekstual

Pendektan tekstual merupakan pendekatan yang mencoba


memahami filsafat pendidikan Islam baik itu dalam konsep sosial,
politik, serta budaya dimana pendidikan Islam itu berada.
Pendekatan ini menitikberatkan pada apakah proses pendidikan itu
sudah dilaksanakan sesuai dengan tujuan pendidikan secara
filosofis dan antropologis.

5. Pendekatan Filsafat Tradisional


Pendekatan ini berupaya mengkaji sistem atau aliran yang
didalamnya. Dalam filsafat ini terdapat jenis, sistem dan aliran
filsafat.

6. Pendekatan Filsafat Kritis

Pendekatan filsafat kritis lebih bersifat keilmuan yang


dinamis dan terbuka, serta berbeda dengan aliran fisafat yang
ideologis. Adapun ciri-ciri dari pendekatan ini:

a. Kajian ini selalu terarah pada perumusan ide dasar trhadap


permasalahan yang sedang di teliti
b. Dari perumusan ide dasar tersebut membuat lahirnya pemikiran
kritis
c. Kajian filsafat dapat membentuk mentalitas dan kepribadian
yang mengutamakan kepada kebebasan intelektual sehingga
terlepas dari dogmatis dan fanatisme.
d. Pendekatan Hermeneutik

Heurmenutika sangat cocok sebagai cara yang paling


tepat untuk menafsirkan dan menjelaskan makna dari wacana
lisan, yaitu menafsirkan sebuah teks klasifik atau teks asing
sehingga menjadi milik kita pada masa dan tepat dan suasana
budaya yang berbeda. Maksud dari pendekatan ini dalam
pendidikan Islam adalah mengaplikasikan sebuah tes yang
membahas pendidikan, berdasarkan konteksnya, mengapa ia
muncul dan pada situasi seperti apa ia lahir.

7. Pendekatan Perbandingan

Pendekatan ini dalam pendidikan Islam digunakan untuk


mencari kelebihan, kekurangan, persamaan serta perbedaan dari
dua atau lebih pemikiran filsafat yang berbeda. Sehingga
pendekatan ini mungkin dapat digunakan guna memecahkan
problematika pendidikan dikalangan umat Isam.
BAB IV

Ontologi, Epistemologi, Aksiologi Filsafat

A. Ontologi Pendidikan Islam


Berbicara tentang ontologi tentu kita tidak akan bisa melepaskan diri
dari kajian filsafat hal ini lebih kepada adanya keterkaitan istilah ontologi
dengan filsafat. Secara etimologi kata ontologi berasal dari bahasa Yunani
sebagaimana sebagaimana Adib, dalam konteks ini dapat kita pahami bahwa
ontologi berasal dari kata ontos dan logos. Ontos memiliki makna suatu wujud
sedangkan makna logos berarti ilmu.13 Ontologi pendidikan Islam membahas
hakikat substansi dan pola organisasi pendidikan Islam. Secara ontologis,
Pendidikan Islam adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk
berakal dan berfikir. Jika manusia bukan makluk berfikir, tidak ada
pendidikan. Selanjutnya pendidikan sebagai usaha pengembangan diri
manusia, dijadikan alat untuk mendidik.14 Dari apa yang telah dipaparkan di
atas dapat dipahami bahwa ontologi adalah hakikat tentang keberadaan yang
meliputi keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Sedangkan pendidikan Islam menurut pandangan Ali Ashraf dalam
Toto Suharto, pendidikan Islam adalah pendidikan yang ditujukan untuk
melatih sensibilitas siswa atau anak didik sedemikian rupa sehingga dalam
perilaku mereka tentang berbagai macam makna dari kehidupan ini diatur oleh
nilai-nilai etika Islam.15 Selanjutnya pendidikan dalam pandangan John Locke,
dia mengatakan bahwa seorang anak didik ibarat kertas putih atau gelas
kosong, atau objek yang dapat dibentuk berdasarkan keinginan orang yang
ingin membentuknya. Untuk itu maka, dalam proses pendidikan yang
dilakukan terhadap anak didik ditentukan oleh lingkungan.16
13
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 69
14
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 18.
15
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014), 21.
16
Ibid.,31-32
Pendidikan ditujukan untuk membawa manusia mengenal hakikat
segala sesuatu, baik itu alam, dirinya dan Tuhan. Dalam kerangka pendidikan
Islam maka hakikatnya lebih diarahkan untuk mengenal hakikat alam, dirinya,
dan Tuhannya. Hakikat tentang ketiganya memiliki implikasi langsung terkait
dengan penyelenggaraan pendidikan. Ontologi pendidikan Islam berusaha
menjawab tentang hakikat alam. Artinya dalam proses pendidikan
memandang manusia dan alam merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan
erat dengan proses pendidikan.

B. Epistemologi Pendidikan Islam

Epistemology yang berasal dari Bahasa latin,episteme yang berarti


knowledge, yaitu pengetahuan : logos berarti theory. Jadi epistemology berarti
“teori pengetahuan” atau teori methode. cara dan dasar dari ilmu pengetahuan,
atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia
(Sarwar, 1994:22). Epistemologis juga pertama kali dipakai oleh J. F. Ferrier,
institutes of Metaphysics (1854 M) yang membedakan dua cabang filsafat
ialah: epistemology dan ontology. epistemologi merupakan sumber-sumber
pengetahuan yang dapat diperoleh yang dimana berasal dari tuhan.

sedangkan ontology adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang


wujud hakikinya yang ditelaah ilmu tersebut seperti manusia berpikir, merasa,
dan mengindra, yang membuahkan pengetahuan.dan epistemology adalah
bagaimana sesuatu datang dan bagaimana kita membedakannnya dengan yang
lain.

Selain itu, epistemology juga membicarakan mengenai apa yang


membentuk pengetahuan ilmiah. Hal ini dipertegaskan oleh Paul Suparno
bahwa makna epistemology memiliki fungsi untuk memudahkan pemahaman
seseorang. Sesuatu yang dipahami ialah sistematika filsafat, khususnya bidang
epistemology akan tetapi epistemology sebatas pengetahuan, yang dapat
membahas komponen- komponen yang terkait langsung dengan “bangunan”
pengetahuan. Dikarenakan epistemology merupakan teori pengetahuan itu
sendiri maka asal-usul ilmu pengetahuan, watak dasar ilmu pengetahuan,
batas- batas ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah merupakan bidang
pembahasan epistemology.17

Runes dalam kamusnya yang dikutip oleh Ali Anwar dan Tono TP,
epistemology is the branch of philosophy which investigates the origin,
structure, methods, and validity of knowledge.18 Sedangkan dalam Kaelan,
epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang pokok. Estemologi berasal
dari bahasa yunani dari kata “epestem” pengetahuan.19 Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membahas mengenai ilmu pengetahuan yang meliputi
berbagai ruang lingkup meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran
manusia.20 Pembahasan berikutnya mengenai pengetahuan manusia, sebagai
mana dijelaskan di awal bahwasanya masalah epistemologi harus diletakkan
dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Hal ini lebih mengarah kepada
hakika manusia yang terdiri dari beberapa unsur, di antaranya adalah
mengenai ilmu pengetahuan. Maka berbicara tentang hakikat manusia dalam
kerangka ini maka mau tidak mau harus berbicara tentang upaya manusia
memperoleh ilmu pengetahuan.

Di dalam epistemologi dibicarakan tentang sumber pengetahuan dan


sistematikanya, di samping itu pula epistemologi hadir guna
memperbincangkan tentang hakikat ketepatan susunan berpikir yang secara
akut pula digunakan untuk masalah-masalah yang memiliki korelasi dengan
maksud untuk menemukan kebenaran isi sebuah pertanyaan. Sedangkan isi
pertanyaan itu adalah sesuatu yang ingin diketahui. Oleh karena itu,
epistemologi relevan dengan ilmu pengetahuan yang disebut dengan filsafat

17
Beini Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (PUSTAKA SETIA: Bandung), 2009. Hal 30
18
Ali Anwar dan Tono TP, Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), 33
19
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan (Yogyakarta: ArRuzz Media, 2014), 30
20
Kaelan, Filsafat Bahasa: Realitas bahasa, Logika Bahasa Hemeneutika dan
Postmodernisme (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 12.
ilmu.21 Oleh karena epistemologi dalam hal ini adalah mencoba
mempertanyakan tentang pengetahuan, maka juga harus mengenal tentang
pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini kebenaran pengetahuan dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu kebenaran mutlak atau absolut dan kebenaran
relatif atau nisbi.

Dalam kajian epistemologi Islam, ilmu pengetahuan bersumber dari


lima sumber pokok, yaitu indra, akal34, intuisi, ilham, dan wahyu. Tiga
sumber terakhir, yaitu intuisi, ilham, dan wahyu. Walaupun dalam kajian ini
dibedakan secara tajam, tetapi dapat dikatakan bahwa instuisi dan ilham secara
substantif merupakan “wahyu” dalam pengertian yang lebih luas, sebab antara
ilham dan instuisi diberikan melalui kekuatan spiritual.

Sebenarnya, secara epistemologi landasan pendidikan mengacu pada


fitrah manusia. Salah satu fitrah manusia adalah menginginkan agar hidupnya
bermakna, baik untuk dirinya maupun untuk lingkungannya. Kehidupan yang
bermakna akan membawa kesadaran pada diri manusia bahwa eksistensinya
dihargai.22 Pandangan Jalaluddin sebagaimana dalam Anas, menggambarkan
bahwa epistemolog pendidikan, terutama pendidikan Islam berdasarkan pada
sumber-sumber yang diwahyukan Tuhan.

C. Aksiologi Pendidikan Islam

Aksiologi berasal dari istilah Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai
atau wajar. Sedangkan logos berari ilmu, akan tetapi aksiologi juga dapat
disebut juga dengan teori nilai. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan
bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut. Dalam hal ini yang ingin
dicapai oleh aksiologi adalah hakikat dan manfaat yang terdapat dalam suatu
pengetahuan. Jadi aksiologi di sini adalah menyangkut masalah nilai kegunaan
ilmu. Dewasa ini, istilah axios = nilai dan logos = teori istilah ini sebenarnya
lebih akrab dipakai dalam istilah filosofi.48 Adapun aksiologi dalam Kamus
21
Anas Salahuddin, Filsafat Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 131-132
22
Ibid., 135
Besar Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia; atau kajian tentang nilai, khususnya etika.23

Aksiologi merupakan bagian dari filsafat yang mempertanyakan


bagaimana manusia menggunakan ilmunya. 24 Aksiologi dipahami sebagai
teori nilai. Secara formal baru muncul pada pertengahana abad ke-19.
Landasan aksiologi meliputi tujuan pengetahuan yang berupa ilmu
itu digunakan, kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dengan kaidah-
kaidah moral, penentuan obyek di telaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral, serta kaitan antara teknik prosedur yang berupa operasionalisasi
metode ilmiah dengan norma-norma moral dan profesional.25

meskipun sejak zaman Yunani kuno, masalah-masalah aksiologi


sudah dibicarakan orang, namun pembicaraanyan terlalu khusus dalam
hubunganya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai aksiologi
secara prinsip.menurut Mautner, aksiologi mulai digunakan sebagaimana
adanya saat ini,oleh lotze, kemudian Brentano, Husserl, scheeler dan Nicolai
Hatrman. Aksiologi digunakn terutama sebagai teori umum mengenai nilai.
Sebagian orang mengartikan nilai dengan menggunakan berbagai reduksi.
Ada tiga rector besar realitas yaitu benda, esensi dan keadaan psikologis. 26
Aksiologi terbagi menjadi tiga bagian menurut sumantri,yaitu :

1. Moral conduct (Tindakan Moral) bidang ini melahirkan disiplin ilmu


khususnya yaitu ”ilmu etiaka” atau nilai etika.
2. Esthetic Expression (ekspresi keindahan) bidang ini melahirkan konsep
teori keindahan atau nilai estetika.
3. Sos io political Live (kehidupan social politik),bidang ini melahirkan
konsep sosio politik atau nilai-nilai social dan politik. 27

23
KBBI-Kamus Besar Bahasa Indonesia-digital.
24
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2007), hlm. 36
25
Surono Zamroni Suhardi, Filsafat Ilmu( Medan, CV. Pusdikra Mitra Jaya, 2021). 11
26
Prof.Dr.,SutardjoA.Wiramihardja,Psi.Pengantar Filsafat,(Bandung:PT RefikaAditama
2009),181
27
Ibid.,hlm. 340
Dalam Encyclopedia of Philoshopy dijelaskan bahwa aksiologi
disamakan dengan value dan valucation .ada tiga bentuk value dan
valucation, yaitu:
1. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak.dalam pengertian yang lebih
sempit seperti:baik,menarik dan bagus.sedangkan pengertian yang lebih
luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah
nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kesuatu yang
bernilai.
3. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai,memberi
nilai dan dinilai.
Berbicara mengenai aksiologi dapat kita jumpai di kehidupan sehari-
hari seperti kata-kata adil dan tidak adil, jujur dan tidak jujur. Salah satu
yang mendapat perhatian adalah masalah etika atau kesusilaan dan dalam
etika objek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara
sadar. Sedangkan objek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau
buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perbuatan atau perilaku
manusia.28 Saat ini terdapat dua bidang yang paling popular tentang penilaian
yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilan
fisik. Oleh karena itu, kita mengenal aksiologi dengan dua jenis yaitu:
1. Etika
Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas
perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat.yang dimaksud dengan
jahat disini adalah yang merendahkan orang lain atau merusak kehidupan
orang lain.
2. Estetika
Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian
dari sudut indah atau jelek.secara umum,dapat disebut dengan telaah
filsafati mengenai apa yang membuat rasa senang secara visual dan

28
Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006), hlm.37
imajinatif kadang-kadang disebut juga dengan telaah mengenai
keindahan atau teori tentang cita rasa.
Dalam aksiologi selain pembagian antara etika dan estetika,para ahli
juga membaginya dalam liputan tentang hakikat penilaian atas kebenaran
yang dibedakan dengan kepalsuan atau kebohongan, kebaikan yang
dibedakan dengan keburukan dan dosa yang dipertentangkan dengan dosa.
Di dalam upaya memahami pendidikan Islam secara utuh, tidak bisa kita
hanya berhenti pada satu bentuk kajian. Terlebih masalah pendidikan
berkaitan dengan manusia sebagai subjek utamanya. Ketika berkaitan dengan
manusia pendidikan akan dihadapkan dengan masalah-masalah pokok dalam
kehidupan manusia. Dalam dunia pendidikan manusia adalah makhluk yang di
didik dan mendidik, menggali dan mentransfer ilmu adalah hal yang menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan.

Ada dua kategori dasar aksiologis, yaitu (1) objektivisme dan (2)
subjektivisme. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama, yaitu, apakah
nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia? Dari sini,
muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran objektivisme dan
dua berikutnya beraliran subjektivisme. Adapun yang dimaksud adalah (1)
teori nilai intuitif, (2) teori nilai rasional, (3) teori nilai alamiah dan (4) teori
nilai emotif.29

Pendidikan Islam dalam hal ini tentu tujuannya adalah menjadikan


manusia sampai pada satu tahap tertinggi dalam hidupnya. Sebagaimana
Kadar M. Yusuf, Islam mempunyai pandangan Khusus tentang pendidikan.
Pandangan tersebut meliputi paradigmanya mengenai ilmu pengetahuan,
proses, materi dan tujuan pembelajaran. Hal itulah yang menjadi ciri khas dari
pendidikan Islam, yang tidak dimiliki oleh pendidikan lainnya. Ilmu
pengetahuan dalam Islam sangat erat dengan iman. Di dalam Islam iman
seseorang di bangun atas dasar ilmu pengetahuan, maka bertambahnya ilmu
identik dengan bertambahnya iman.

29
Hamdani, Filsafat Sains (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 24-25
BAB V

Aliran-aliran dalam Filsafat Pendidikan;

A. Aliran Idealisme, Realisme, dan Esensialisme


a. Idealisme
Filsafat idealisme adalah suatu aliran filsafat yang menekankan
pentingnya keunggulan pikiran, jiwa atau roh daripada hal-hal yang
bersifat material. Hal ini sangat berhubungan erat dengan Islam yang
berpusat terhadap perkara-perkara yang spiritual, hal-hal yang idela, dan
kepada norma-norma yang mengagungkan kebenaran mutlak. Dikarenkan
hal itu jugalah, para ahli aliran ideliasme menganggap bahwa Tuhan
sebagai ide tertinggi atas kejadian-kejadian di alam semesta ini. Dalam
aliran idealisme, pendidikan Islam ditujukan untuk mempelajari ilmu
pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan sendiri sebagai wujud
ibadah kepada Allah, sebagai wadah pembentukan akhlaqul karimah,
tempat untuk mengantarkan peserta didik dalam mencapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.

b. Realisme

Realisme adalah pendapat/pandangan bahwa semua benda yang


tampak itu adalah nyata, real bukan hanya bayangan. Realisme bersifat
objektif, tersusun atas materi dan hukum alam. Realisme dalam pengertian
filsafat beranggapan bahwa semua benda, semua objek panca indra kita
adalah sesuatu yang nyata, tanpa ada hubungannya dengan pikiran kita.

c. Perenialisme

Aliran filsafat perenialisme menegaskan bahwa pendidikan


ditujukan pada usaha pengembangan kemmapuan intelektual anak didik
melalui pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan
absolut. Melihat dari akibat kehidupan zaman modern yang menghadirkan
banyak krisis di kehidupan manusia, aliran perenialisme menjadikan
pendidikan sebagai proses dalam upaya mengembalikan keadaan manusia
modern kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cuckup ideal dan
yang telah teruji ketangguhannya dengan menghidupkan kembali nilai-
nilai yang masih dibutuhkan dalam abad modern.
Pandangan aliran perenialisme memandang masa lampau sebagai
masa yang cukup dijadikan pedoman, sementara pendidikan Islam
memandang pendidikan perlu pencapaian tujuan yakni sennatiasa berlanjut
dan tanpa batas30.

B. Aliran eksistensialisme, Pragmatisme, dan Sosialisme


a. Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang bertujuan untuk


mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya. Pandangan aliran eksistensialisme
tentang pendidikan bahwa pendidikan tidaklah dibentuk oleh segala
aturan-aturan yang ada. Sedangkan aliran eksistensialisme dalam
pandangan Islam dapat dianggap tidak sesuai karena dalam pandangan
aliran tersebut tidak menerima adanya perkembangan sesuai zamannya.
Sehingga aliran tersebut kurang tepat dalam pendidikan Islan yang
menghendaki kemajuan, baik untuk pribadi maupun kepentingan
masyarakat.31

b. Pragmatisme

Aliran filsafat pragmatism mengukuhkan bahwa pendidikan


diarahkan pada upaya bukan semata-mata memberikan pengetahuan secara
teoritis, namun juga memberikan kesempatan pada anak didik untuk
melakukan berbagai kegiatan dalam menyelesaikan masalah dihadapi. Hal
tersebut didasari kepercayaan bahwa belajar itu hanya dapat dilakukan
oleh anak itu sendiri, bukan karena dipompakan orang lain kepada orang
lain.

c. Sosialisme

30
Saidah A.H, “Pemikiran Essensialisme, Eksistensialisme, Perenialisme, dan Pragmatisme dalam
Perspektif Pendidikan Islam,” Jurnal, vol.V, no. 02 (10 Februari 2020), 23.
31
Ibid., 21.
Aliran sosialisme adalah aliran filsafat yang memandang ilmu
sebagai kebutuhan hidup yang terpenting terutama yang ditentukan oleh
materi sebagai sesuatu yang tunduk terhadap kekuasaan lingkungan, dan
memandang agama sebagai sesuatu yang tidak lain hanya merupakan hasil
perkembangan materi belaka. Pendidikan memiliki tempat yang sangat
penting dalam aliran filsafat ini. Kalau sosialisme berdiri atas penguasaan
negara atas semua alat produksi untuk mewujudkan pertumbuhan maka
untuk mencapai upaya adanya pertumbuhan tersebut tidaklah sempurna
secara mutlak tanpa adanya pendidikan.

Sosialisme menempatkan pendidikan pada posisi pertama,


demikian pula filsafat pendidikan Islam yang menyatakan bahwa
pendidikan sebagai upaya strategis dan utama. Perbedaannya adalah
penempatan pendidikan oleh sosialisme untuk pengabdian negara dan
partai sedanngkan pendidikan Islam mementingkan pendidikan untuk
pengabdiannya kepada Allah SWT.

C. Aliran Progresivisme, Perensialisme, dan Rekonstruksionalisme


a. Progresivisme

Progesivisme merupakan teori yang hadir dalam reaksi terhadap


pendidikan tradisional yang menekankan kepada metode formal
pengajaran. Pada dasarnya teori ini menekankan beberapa prinsip, antara
lain, proses pendidikan berawal dan berakhir pada peserta didik, peserta
didik adalah sesuatu yang aktif, peran guru hanya sebagai fasilitator,
pembimbing dan pengarah, sekolah harus menciptakan suasana yang
bersifat kooperatif dan demokratif, kegiatan belajar-mengajar lebih
memusatkan pada penyelesaian masalah bukan menyampaikan materi
kajian.32

32
“Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1 Januari 2016 ISSN: 2442-7470 29 TELAAH ALIRAN
PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN ESENSIALISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN
H.A. Yunus Universitas Majalengka,” Jurnal Cakrawala Pendas, vol.2, no. 1 (2016), 31.
Aliran filsafat progresivisme ini merupakan aliran yang terus
berusaha mengembangkan asas kemajuan dalam semua realita, terutama
dalam semua kehidupaan untuk tetap survive terhadap semua tantangan
hidup manusia. Dalam pendidikan, progresisvisme memiliki pandangan
bahwa kurikulum merupakan pengalaman mendidik, bersifat
eksperimental dan adanya rencana serta susunan langkah yang teratur.
Dalam prakteknya, progresivisme merupakan aliran yang memusatkan
pendidikan pada anak didik.

Essensi pendidikan dalam ajaran Islam dipahami sebagai sebuah


proses transformasi dan internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap
peserta didik, melalui pengembangan potensi sesuai fitrahnya agar
memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspek.

b. Esensialisme

Secara bahasa, essensialisme terdiri dari dua kata yaitu essensial


dan isme. Essensial diartikan sebagai inti atau pokok dari sesuatu,
sedangkan isme diartikan sebagai aliran, paham atau mazhab. Sedangkan
menurut istilah essensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang ingin
manusia kembali pada kebudayaannya yang lama karena dianggap telah
meberikan kebaikan yang banyak bagi manusia.

Dalam konsep essesialisme, pendidikan bertujuan untuk


meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuaan inti
yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama.
Selain itu pendidikan juga bertujuan sebagai wadah dalam mempersiapkan
manusia untuk hidup. Namun tujuan umum aliran essensialisme adalah
membentuk pribadi yang bahagia di dunia dan di akhirat.

Konsep pendidikan Islam menurut essensialisme, bahwa


pendidikan sekolah harus harus bersifat praktis dan memberi pengajaran
yang logis dan mampu mempersiapkan suatu keterampilan bagi kehidupan
peserta didik.
c. Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris yakni reconstruct


yang berarti menyusun kembali. Dalam bahasa Indonesia rekonstruksi
diartikan sebagai pengembalian sebagaimana yang semula.
Rekonstruksionesme dalam filsafat pendidikan selalu diartikan sebagai
sebuah aliran yang menata ulang susunan lama dan menciptakan susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern.33 Rkonstruksionisme menaruh
perhatian terhadap pendidikan dalam kaitannya dengan masyarakat.
Pendukung rekonstruksionisme meyakini bahwa pendidikan adaah
lembaga sosial dan sekolah yang merupakan bagian dari masyarakat.
Dalam aliran ini, pendidikan diharapkan dapat menghadirkan kesadaran
para peserta didik untuk tetap memperhatikan permasalahan sosial,
ekonomi dan politik. Tujuan dari aliran ini adalah untuk membangun
masyarakat baru. Menurut Imam Barnadib mengartikan
rekonstruksionisme sebagai filsafat pendidikan yang menghendaki agar
anak didik dapat membangkitkan kemampuannya untuk secara
rekonstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan
perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu
pengetahuan dan teknologi.34

BAB

Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Manusia, Terhadap Masyarakat,


danTerhadap Lingkungan

A. Pandangan filsafat Pendidikan Islam terhadap manusia


Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perkaitan
antara badan dan ruh. Keduanya masing-masing bersubstansi yang berdiri

33
Nurhayati, Filsafat Pendidikan Islam (Pekanbaru: Benteng Media, 2013), 67.
34
Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Rjawali Pers, 2011), 207.
sendiri, yang tidak bergantung kepada yang lain. Islam secara tegas
mengatakan bahwa substansi (substansi; unsur asal sesuatu yang ada ) dan
keduanya juga termaksud substansi alam. Sedangkan alam juga
merupakan ciptaan Allah jadi termaksud dalam makhluk yang diciptakan
oleh Allah SWT.

1. Hakikat Manusia

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Manusia


merupakan pertalian antara dua unsur yaitu badan dan ruh. Masing-
masing unsur tersebut sendiri. Dalam Qur’an banyak ditemukan
gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis
dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling
sempurna dan sebaik-baiknya ciptaan yang dilengkapi dengan akal
pikiran.35

Penciptaan manusia adalah proses biologi yang dapat dipahami


secara sains-empirik. Di dalam peroses ini, manusia diciptakan dari
inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di
tempat kokoh (rahim). Kemudian air mani dijadikan darah beku
tersebut kemudian dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan
kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan
ruh. Manusia secara fisik memiki bentuk sempurna dibandingkan
makhluk lain. Dengan akata lain manusia menjadi makhluk yang
paling tinggi.

2. Kedudukan manusia

Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta


didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia
sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang

35
Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an (Surabaya, 1980), 5–6.
strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah ) dan khalifah Allah (khalifah
fi al-ardh).

a. Manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah )

Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi hamba Allah


adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang kesemuanya itu
hanya layak diberikan kepada Tuhan. Hal ini disebabkan karena
manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama
sesuai dengan fitrahnya.

b. Manusia sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh

Kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafah, yang berarti


“mengganti dan melanjutkan.” Bila pengertian tersebut ditarik pada
pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih
cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian
antara satu individu dengan individu lain. Dalam pembahasan ini
manusia diartikan sebagai wakil Allah dibumi yang dimaksudkan
yakni pelaksana dari kekuasaan dan kehendak Allah.36

3. Manusia menurut filsafat Pendidikan islam

Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang bersekala


makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi,
dan aksiologi. Dalam filsafat Pendidikan , maka setidaknya karena
sesungguhnya manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos),
lalu dapat disimpukan bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada
hakikatnya sebagai abdi penciptanya.

B. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Masyarakat.


1. Hakikat masyarakat

Dalam Bahasa Inggris masyarakat disebut dengan istilah


society, dari Bahasa latin societas (dari socie =mengambil bagian,
36
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, 6th ed. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000).
berbagi, menyatukan). suatu kumpulan orang-orang atau suatu
sasmosiasi sukarela individu-individu yang mempunyai tujuan-tujuan
yang sama. Secara umum masyarakat adalah sekumpulan manusia
yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi
dengan sesama untuk mencapai tujuan hidup bersama.

Sedangkan menurut istilah masyarakat adalah kelompok-


kelompok manusia yang saling terkait oleh sistem-sistem, adat istiadat,
ritus-ritus serta hukum khas, dan yang hidup bersama. Menurut
Filsafat Pendidikan Islam dalam kaitannya dengan Pendidikan didasari
oleh prinsip-prinsip yang terdapat dalam Filsafat Pendidikan Islam.

2. Dasar pembentukan masyarakat Islam

Dasar pembentukan masyarakat islam adalah salah satu alasan


yaitu manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki kebutuhan
untuk bergaul dan berinteraksi dengan manusia lain. Manusia memiliki
pembawaan hidup untuk bermasyarakat. Untuk mencapai kehidupan
bermasyarakat maka manusia harus bersikap toleran, ramah tamah,
pandai menyesuaikan diri dan dapat mengendalikan diri.37

3. Karakteristik Masyarakat Islam

Dalam Islam, anggota masyarakat mempunyai persamaan


dalam hak dan kewajiban. Islam tidak mengenal kasta dan pemberian
hak-hak istimewa kepada seseorang atau kelompok. Kemuliaan
seseorang dalam masyarakat Islam hanyalah karena ketaqwaannya
kepada Allah. Jika adanya perbedaan itu tidaklah menyebabkan
perbedaan dalam kedudukan sosial.

C. Pandangan Filsafat Islam Terhadap Lingkungan

Alam semesta khususnya lingkungan adalah media Pendidikan


sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk

37
Gazaiba, Sistimatika Filsafat, 3rd ed. (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
melangsungkan proses pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia
tidak dapat hidup dan mandiri dengan sesungguhnya karena antara
manusia untuk merawat dan memeliharanya sedangkan manusia butuh
alam semesta sebagai sarana berintraksi dengan manusia lainnya.38

1. Manusia dan alam

Sejak kelahiran manusia, muncul jenis-jenis baru tumbuhan


dan hewan yang telah disediakan untuk lingkungan hidup manusia
agar sejahtera hidupnya. Oleh karena itu sebagai manusia serta
khalifah dimuka bumi ini kita harus mencintai lingkungan agar mampu
mensejahterakan dan memenuhi kebutuhan manusia baik itu lahir
maupun batin.39

2. Manfaat lingkungan

Manusia terhadap lingkunagnnya sangatlah dominan selaku


subjek penentu yang dapat menentukan apakah lingkungan itu dapat
bermanaaf atau tidak. Namun manusia tentulah sangat menginginkan
kehidupannya selalu bermanaaft. Pemanfaatan alam sebesar-besarnya
bagi kehidupan dan kesejateraan harus serta upaya menjaga
keseimbangan ekologi dan mempertahankan kelestariannya.40

BAB V

Perspektif Filsafat Pendidikan Islam tentang Hakikat, Prinsip-prinsip, Dasar,Tujuan

A. Hakekat Pendidikan dalam perspektif filsafat

38
Kaelany, Islam Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (Jakarta: Rineka Cipta, 1996).
39
Abuddin, Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
40
Ibid, Hal 288, n.d.
Menurut bahasa, hakikat dipahami sebagai kebenaran atau sesuatu
yang sesuai dengan kondisi sebenarnya (dipahami juga sebagai asal dari
segala sesuatu, inti dari segala sesuatu, menjadi jiwa sesuatu).
Proses pendidikan berorientasi untuk membelajarkan peserta didik
dengan mengenakan asas pembelajaran ataupun teori belajar sebagai
penentu keberhasilan dakam kegiatan ini merupakan ujung tombak demi
kemajuan suatu peradaban. Pendidikan ialah pertolongan atau bisa juga
dikatakan sebagai sesuatu yang mampu mempengaruhi peserta didik.
Sebagaimana yang telah diungkap diatas tentang asal kata
begitupun makna secara istilah dari kata pendidikan, memberikan
pemahaman bahwa dalam proses pendidikan diperlukan adanya kerja
keras untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian terhadap manusia,
melakukan pembentukan pribadi yang baik sebagaimana tujuan yang ingin
dicapai melalui proses pendidikan.
Hakikat pendidikan islam adalah untuk menunjukkan pemahaman
ataupun pemaknaan tentang hal yang paling mendasar terkait pendidikan
islam. Melalui perspektif para ahli sufi, hakikat dimaknai sebagai suatu
kondisi yang terdapat dalam diri peserta didik, yakni aspek ruhaniahnya
harus mendapatkan bimbingan dari pendidik agar senantiasa mengamalkan
perbuatan-perbuatan baik, jauh dari kemaksiatan agar tuhan menghadirkan
cinta melalui upaya kesucian dan pembersihan batin yang telah
dilakukan.41
B. Prinsi-prinsip pendidikan islam dalam perspektif filsafat
Menurut kamus besar bahasa indonesia, prinsip adalah kebenaran yag
menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan lain sebagainya. Prinsip
dapat diartikan asas atau fondamen pokok untuk sesuatu terwujud.
Prinsip pendidikan islam artinya asas atau fondamen yag mendasari
terbentuknya pendidikan islam terutama sebagai sebuah sistem pendidika

41
Murnitita et al., Filsafat Pendidikan Islam, 1st ed. (Padang Sumatra Barat: PT. Global Ekseskutif
Teknologi, 2022), 40.
yang memiliki karakteristik tersendiri sekaligus membedakan dengan
sistem pendidikan lainnya.
Dalam pendidikan islam ada dua prinsip yaitu, prinsip umum da khusus.
1. Prinsip umum
Omar Muhammad Al-Toumy al-Syabani, dalam bukunya filsafat
pendidikan islam, menguraika panjang klebar terkait prinsip-prinsip
dalam pendidika islam, diantaranya yaitu:
a. Prinsip-prinsip yag m,enjadi dasar pandangan islam terhadap jagat
raya.
b. Prinsip-prinsip yag menjadi dasar pandangan islam terhadap
mausia.
c. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan islam terhadap
masyarakat.
d. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar teori pengetahuan pada
pemikiran islam.
e. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah akhlak dalam islam.
2. Prinsip khusus
Dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dituangkan dalam
UUSPN pasal 4 sebagai berikut:
a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan
bangsa.
b. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik
dengan sistem terbuka dan multimakna.
c. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan
dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
d. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran.
e. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
f. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan
dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

C. Dasar pendidikan islam dalam perspektif filsafat


Pendidikan islam bersumber pada enam hal, yaitu al-Qur'an,
sunnah, ijma, mushalih al-murshalih dan urf. Keenam seumber ini disusun
dan digunakan secara hierarkis, artinya rujukan pendidikan islam
berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur'an dan dilanjutkan
hingga sumber-sumber yang tidak menyalahi atau bertentangan dengan
sumber utama.
Sedangkan dasar dari pendidikan adalah tauhid. Dalam struktur
ajaran islam, tauhid merupakan ajaran yang sangat fundamental dan
mendasari segala aspek kehidupan penganutnya, tak terkecuali aspek
pendidikan. Dalam kaitan ini para pakar berpendapat bahwa dasar
pendidikan islam adalah tauhid.
Melalui dasar ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Tauhidullah fil 'ibadah. Sebagaimana yang telah diketahui bersama
bahwa hikmah penciptaan manusia adalah beribadah hanya kepada
Allah Saw dan pintu utama pelaksanaan ibadah adalah ilmu yang
mengharuskan adanya proses pendidikan.
2. Tauhidurrasul fit tiba'. Rasulullah Saw sebagai master pendidikan
islam secara teori maupun praktek serta menjangkau segala aspek
kehidupan yang tidak dapat dijangkau oleh manusia dari manapun.
3. Kesatuan iman dan rasio. Iman dan rasio adalah perwakilan dari yang
tidak nampak dengan yang nampak dan masing-masing mempunyai
wilayah tersendiri, sehingga harus saling melengkapi.
4. Satu agama. Agama yang dibawah oleh nabi adalah satu, agama
tauhid. Para nabi dan rasul telah menjadikannya sebagai materi
pendidikan paling utama dan warisan paling berharga.
5. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua tercipta dari tanah yang
akhirnya menjadi jasad yang ditiupkan kepada roh sebagai inti fitroh.
6. Kesatuan individu dan masyarakat. Yaitu, setiap mereka masing-
masing saling menunjang.42
D. Tujuan pendidikan islam dalam perspektif filsafat
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan islam adalah untuk
mendekatkan diri kepada allah Swt, bukan untuk mencari kedudukan,
kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang
menghasilkan uang. Pernyataan ini semakna dengan pandangan Ibnu
Hazm dalam bukunya Maraatib al 'Uluum, beliau berkata, "jika mencari
ilmu disandarkan kepada niat mencari kaya, menjadi sukses, di dunia,
maka anda telah menipu diri anda sendiri. Anda telah menggunakan
aktivitas yang paling suci untuk mencapai nilai yang paling rendah".
Sementara Syed Naquib Al-Attas beranggapan bahwa tujuan
pendidikan islam adalah menanamkan kebajikan dalam diri manusia,
sebagai manusia dan individu. Tujuan akhir pendidikan islam adalah
menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan material dan
spiritualnya.
Ada pula tujuan pendidikan islam yang dikemukakan oleh adnin
armas. Beliau menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan islam adalah
mencari Ridha Allah Swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir
individu-individu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat
kepada dirinya, keluarga, masyarakat, negara dan umat manusia secara
keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan,
maka pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat

42
Sudarto, Filsafat Pendidikan Islam, 1st ed. (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2019), 69.
sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang
menjadi tujuan utama dalam pendidikan.43

BAB VII

Perspektif Filsafat Pendidikan Islam tentang Komponen Pendidikan Islam tentang


Pendidik, Peserta didik, Kurikulum Pendekatan, metode, Evaluasi, Alat atau media,
lembaga

43
Ibid., 87.
A. Pengertian pendidik

Dalam kamus Bahasa Indonesia kata pendidik berarti orang yang


mendidik.dalam konteks keindonesiaan,pendidik juga dikenal dengan istilah
guru.dalam kata lain dapat dikatakan tanpa pendidik proses Pendidikan tidak
akan berlangsung sebagai mana konsep Pendidikan islam pendidik yang
pertama dan utama adalah Allah swt yang tersirat melalui pemahaman QS.Al
Baqoroh ayat 31-33.sebelum Allah memerintahkan jin untuk sujud kepada
Adam AS terlebih dahulu Allah swt mengajarkan seluruh nama-nama kepada
Adam.dan masih banyak ayat al quran lain yang menjelaskan Allah swt
mendidik para rasul yaitu:ibrohim,musa,Zakaria,yahya,isa dan Muhammad
SAW.44

Menurut Ahmad D.Marimba pendidik adalah orang yang memikul


pertanggung jawaban untuk mendidik,yaitu manusia dewasa yang karena hak
dan kewajibannya bertanggung jawab tentang Pendidikan. 45

B. Peserta didik

Peserta didik merupakan bagian dalam system Pendidikan


islam,tanpa adanya peserta didik,keberadaan system Pendidikan tidak akan
berjalan.karena kedua factor antara pendidik dan peserta didik merupakan
komponen paling utama dalam suatu system pendidikan.

Secara Bahasa peserta didik adalah orang yang sedang berada pada
fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun
psikis,pertumbuhan,dan perkembangan merupakan ciri dari seseorang
peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.

Abdul mujib mengatakan”belajar sepanjang masa”maka istilah yang


lebih tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta

44
Siti Hawa, “Pendidik Dalam Prespektif Filsafat Pendidikan Islam,” Jurnal Azkia, vol.15, no. 2
(n.d.): 4.
45
H.Ahmad syar’i, “Filsafat Pendidikan Islam,” Puataka Firdaus, vol., no. 3 (March 2005): 31.
didik bukan anak didik.lebih lanjut abdul mujib mengatakan peserta didik
cakupannya sangat luas,tidak hanya melibatkan anak-anak tetpi mencakup
orang dewasa juga.sementara istilah anak didik hanya mengkhususkan bagi
individu yang berusia kanak-kanak.peserta didik tidak hanya dalam
Pendidikan formal seperti sekolah,madrasah dan sebagainya.tetapi peserta
didik dapat mencakup Pendidikan non formal seperti Pendidikan
dimasyarakat,dan majlis taklim.

C. Kurikulum

Istilah kurikulum berasa dari Bahasa Yunani,yaitu curere dalam


Bahasa arab kurikulum disebut dengan manhaj.menurut omar Muhammad
al-toumy al-syibany dalam bidang Pendidikan.kurikulum adalah sebagai
jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau dilatihnya untuk
mengembangkan pengetahuan,keterampilan.merujuk pemikiran hasan basri
penulis menguraikan bahwa yang dimaksud kurikulum meliputi bebrapa
aspek ,diantaranya:

a. Mata pelajaran
b. System dan metode pembelajaran
c. Hubungan interaktif antara pendidik dan anak didik
d. Pengawasan perkembangan mental anak didik
e. System evaluasi.
D. Pendekatan dan metode

Pendekatan merupakan proses kegiatan yang dilakukan dalam hal


mendekati sesuatu.jika dikaitkan dengan pendekatan Pendidikan berarti
suatau proses kegiatan,perbuatan,dan cara mendekati bidang Pendidikan
sehingga mempermudah pelaksanaan kegiatan Pendidikan tersebut.jika
dalam kegiatan Pendidikan,metode berfungsi sebagai cara mendidik,maka
pendekatan berfungsi sebagai alat bantu agar penggunaan metode tersebut
mengalami kemudahan dan keberhasilan.
Kata metode secara etimology berasal dari dua suku perkataan metha
dan hodos,metha berarti melewati atau melalui dan hodos berarti jalan atau
cara yang harus dilalaui untuk mencapai tujuan. 46selain itu metode
Pendidikan islam dapat diartikan sebagai cara untuk memahami,dan
mengembangkan ajaran islam,sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.pendekatan dan metode merupakan salah satu
komponen penting dalam system Pendidikan islam.sebaik apapun materi ajar
yang telah disiapkan atau direncanakan,tanpa pendekatan dan metode yang
baik dan tepat,maka proses pembelajaran itu bisa menuai kegagalan dalam
mencapai tujuan.oleh karena itu,kemampuan pendidik dalam memilih dan
menerapkan pendekatan dan metode sangat menentukan.

Jadi,begitu pentignya pendekatan dan metode dalam


Pendidikan.pendidik harus mengetahui keunggulan dan kelemahan dari
masing-masing pendekatan dan metode yang akan digunakan serta
menentukan pilihan yang paling tepat sehingga peserta didik lebih aktif
dalam proses pembelajaran. 47

E. Evaluasi

Menurut Bahasa evaluasi berasal dari Bahasa inggris”evolution”yang


berarti penialain atau penaksiran.dan menurut istilah evaluasi merupakan
kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan
menggunakan intrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur
memperoleh kesimpulan.dapat disimpulkan bahwa evaluasi secara sederhana
nya penilaian untuk mengetahui proses Pendidikan dan komponen-
komponennya dengan instrument yang terukur. 48

46
Nurjannah Rianie, “Pendekatan Dan Metode Pendidikan Islam,” Jurnal Management Of
Education, vol.1, no. 2 (n.d.), 107.
47
Nurjannah Rianie, “Pendekatan Dan Metode Pendidikan,” Jurnal Management Of Education,
vol.1, no. 2 (n.d.).116
48
sehendri suhendri, “Evaluasi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam,” Almufida,
vol.3, no. 1 (n.d.): 31.
proses pelaksanaan penilaian lebih ditekankan pada akhir tindakan
Pendidikan.penilaian dalam Pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan
keputusan-keputusan Pendidikan,baik yang menyangkut
perencanaan,pengelolahan,proses dan tindak lanjut Pendidikan.penialaian
dalam Pendidikan islam bertujuan agar keputusan -keputusan yang berkaitan
dengan Pendidikan islam benar-benar sesuia dengan nilai-nilai islami sehingga
tujuan Pendidikan islam yang di rencanakan dapat tercapai secara maksimal.

F. Alat atau Media

Media bentuk jamak dari kata medium,merupakan kata yang berasal


dari Bahasa latin medius,yang secara harfilah berarti tengah,perantara atau
pengantar,kata media,berasal dari Bahasa latin,bentuk jamak dari medium
secara harfilah berarti perantara atau pengantar.media adalah suatu alat yang
dipakai sebagai saluran untuk menyampaikan pesan atau informasi dari suatu
sumber kepada penerimanya. 49 sadiman mengatakan bila,media adalah
semua bnetuk perantara yang dipakai orang penyebar ide,sehingga ide itu
sampai pada penerima.

Dalam dunia Pendidikan ,sering kali istilah alat bantu atau media
komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media
Pendidikan.dengan penggunaan alat bantu berupa media
komunikasi,hubungan komunikasi guru dan murid akan dapat berjalan dengan
lancar dan dengan hasil yang maksimal. contoh media pembelajarnan yaitu
kaset, foto, computer, video, televisi,radio, film,dan slide.

Dan hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman


berdasarkan kenyataan yang ada dilingkungan hidupnya,kemudian melalui
benda-benda tiruan.untuk kondisi seperti inilah kehadiran media
pembelajaran sangat bermanfaat.

G. Lembaga

49
Moh.Irmawan Jauhari, ‘Peran Media Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam’, Jurnal Piwulang,
vol.1, no. 1 (n.d.): 69.
Secara Bahasa Lembaga adalah badan atau organisasi.dalam kamus
Bahasa Indonesia Lembaga adalah badan atau organisasi yang tujuannya
melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu
usaha.lembaga Pendidikan sebagai Lembaga atau tempat berlangsungnya
proses Pendidikan yang dilakukan dengan tujuan mengubah tingkah laku
individu kearah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.

Secara garis besar ada dua macam Lembaga Pendidikan:

1. Lembaga Pendidikan formal

Jalur Pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas


Pendidikan dasar,Pendidikan menengah,dan Pendidikan tinggi.

2. Lembanga Pendidikan non formal

Jalur Pendidikan diluar Pendidikan formal dan Lembaga yang


disediakan bagai waraga negara yang tidak sempat mengikuti atau
meyelesaikan Pendidikan pada jenjang tertentu dalam Pendidikan
formal.contohnya kejar paket A,kejar paket B,dan kejar paket C.

BAB X

Hakikat Pendidikan pembebasan


Juhairiyah

BAB X

Hakikat Kepribadiaan Muslim, Pengertian, Konsepsi, Usaha pembentukan


A. Pengertian Kepribadian Muslim

Kepribadian berasal dari kata “pribadi” yang berarti diri sendiri,


atau perseorangan. Sedangkan dalam bahasa inggris digunakan istilah
personality, yang berarti kumpulan kualitas jasmani, rohani, dan susila
yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Menurut Allport, kepribadian adalah organisasi sistem jiwa raga


yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya
yang unik terhadap lingkungannya50. Sedangkan menurut Carl Gustav
Jung mengatakan, bahwa kepribadian merupakan wujud pernyataan
kejiwaan yang ditampilkan seseorang dalam kehidupannya. 51

Pada dasarnya kepribadian bukan terjadi secara serta merta akan


tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Oleh karena itu
banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam membentuk kepribadian
manusia tersebut. Dengan demikian apakah kepribadian seseorang itu
baik, buruk, kuat, lemah, beradap atau biadap sepenuhnya ditentukan oleh
faktor yang mempengaruhi dalam pengalaman hidup seseorang tersebut.

Kepribadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui


pengaruh lingkungan52, khususnya pendidikan. Adapun sasaran yang
dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang
dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya
dengan tingkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan “Orang mukmin
yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik
akhlaknya.

Seseorang yang islam disebut muslim. Muslim adalah orang atau


seseorang yang menyerahkan dirinya secara sungguh – sungguh kepada
Allah. Jadi, dapat dijelaskan bahwa “wujud pribadi muslim” itu adalah
manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, tunduk dan patuh serta
50
Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung: Sinar Baru Al-gensindo, 1995),hal 13.
51
Jalaluddin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Grasindo Persada, 2001),hal 45.
52
Zuhairini, Filsafat Pendiidkan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),hal 186.
ikhlas dalam amal perbuatannya, karena iman kepada-Nya. Pola seseorang
yang beriman kepada Tuhan, selain berbuat kebajikan yang diperintahkan
adalah membentuk keselarasan dan keterpaduan antara faktor iman, islam
dan ikhsan.

Kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku normatif


manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang
normanya diturunkan dari ajaran islam dan bersumber dari Al-Quran dan
al-Sunnah. Kepribadian muslim dalam kontek ini barang kali dapat
diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas bagi
keseluruhan tingkah laku sebagai muslim, baik yang disampaikan dalam
tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya. Tingkah laku
lahiriyah seperti cara berkata-kata, berjalan, makan, minum, berhadapan
dengan orang tua, guru, teman sejawat, sanak famili dan sebagainya.
Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, dan sikap terpuji yang
timbul dari dorongan batin.53

BAB XI

A. Pengertian Hakikat Kepribadian Islam


Kepribadaian berasal dari kata “pribadi” yang berarti diri sendiri,
atau disebut dengan perseorangan. Sedangkan dalam Bahasa inggris
53
“HAKIKAT KEPRIBADIAN MUSLIM, SERI PEMAHAMAN JIWA TERHADAP KONSEP INSAN KAMIL |
INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN,” n.d., diakses 30 June 2022,
https://idia.ac.id/2016/04/17/hakikat-kepribadian-muslim-seri-pemahaman-jiwa-terhadap-
konsep-insan-kamil/.
digunakan istilah personality, yang berarti kumpulan kualitas jasmani,
rohani, dan Susila yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Menurut allport, kepribadian adalah organisasi sistem jiwa raga
yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyeswayan dirinya
yang unik terhadap lingkunganya. Sedangkan kepribadian adalah sejumlah
karakteristik sifat yang muncul dalam prilaku tanpa adanya penilaian
moral.54
Carl Gustaf jung mengatakan, bahwa kepribadian merupakan suatu
perwujudan dari pernyataan kejiwaan yang ditampilkan seseorang dalam
kehidupanya.55
Dari dua pendapat tersebut menyatakan bahwa kepribadaian adalah
bahwa sistem jiwa raga yang dinamis merupakan suatu perwujudan dari
pernyataan kejiwaan yang bukan serta merta terjadi karena pembentukan
membutuhkan suatu proses kehidupan yang Panjang. Dan keperibadian
secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan,
khususnya pendidikan.56 Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan
kepribadian ini adalah kepribadian yang dimilikinya yaitu akhlak yang
mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitanya dengan tingkat keimanan.
Sebab Nabi mengemukakan “orang mukmin yang paling sempurna imanya
adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat
kepribadian seorang muslim dalam konteks diatas bisa dimaknai sebagai
identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas bagi semua tingkah
laku seorang muslim. Adapun identitas tersebut dapat mencakup semua
tingkah laku secara lahiriah dan juga sikap secara batiniah.57

1. Kepribadian muslim sebagai individu

54
Ahyadi Abdul Aziz, Psikologi Agama (Bandung: Sinar Baru Al-gensindo, 1995), 13.
55
Jalaludin, Teologi Pendidikan (Jakarta: Paja Grasindo Persada, 2001), 45.
56
zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: bumi aksara, 1992), 186.
57
Sudarto, Filsafat Pendidikan Islam (Deepublish, 2021), 3.
Secara individu kepribadian seorang muslim menggambarkan ciri khas
yang berbeda. Ciri khas tersebut bisa kita dapatkan dengan potensi
bawaan, maka dari itu secara potensi (bawaan) dapat ditemukan dengan
kepribadian antara orang muslim dengan muslim lainya.
2. Kepribadian muslim sebagai ummah
Komunitas muslim (kelompok seakidah) dapat disebut ummah.
Individu
merupakan unsur dalam kehidupan masyarakat. Maka dengan
membentuk kesatuan pandangan hidup pada setiap individu, rumah
tangga, diharap kanakan ikut mempengaruhi sikap dan pandangan
hidup dalam masyrakat, bangsa, dan ummah. Adapun pedoman untuk
mewujudkan pembentukan hubungan itu secara garis besarnya terdiri
atas tiga macam usaha, yakni:
1. memberi motivasi untuk berbuat baik,
2. mencegah kemungkaran dan,
3. beriman kepada Alla

Pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah dilakukan


secara bertahap sesuai dengan ruanglingkup dan Kawasan yang menjadi
lingkungan masing-masing.

3. Kepribadian muslim sebagai khalifah


Sebagai khalifah manusia dituntut untuk memiliki rasa kasih sayang,
dan juga menjadi identitasnya. Sifat kasih sayang adalah cerminan dari
kecenderungan manusia untuk meneladani sifat Allah swt. Sebagai
khalifah manusia juga diberikan amanah untuk mengatur kehidupan di
bumi. Kepribadian khalifah tergabung dalam empat sisi yang saling
berkaitan,
1. Mematuhi tugas yang diberikan Allah,
2. Menerima tugas tersebut dan meleksanakannya dalam kehidupan
perorangan maupun kelompok,
3. Memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan
bersama,
4. Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman
pelaksanaannya.58
melalui ketiga kepribadian tersebut, maka akan membentuk pola
kepribadian masing-masing, berupa kepribadian yang sesuai dengan
akidah Islam yaitu kepribadian Islam.59

B. Konsepsi Kepribadian Muslim

Konsep islam tentang bagaimana wujud pribadi muslim, aspek-


aspek zang harus dikembangkan adalah identik dengan aspek-aspek
pribadi manusia seutuhnya. Ada tiga aspek pokok yang memberi corak
khusus bagi seorang muslim menurut ajaran islam :

a. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban


pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim yang mencakup
seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugasnya
terhadap tuhan, maupun terhadap masyarakat.
b. Praktek ibadah yang harus dilaksanakan dengan aturan-aturan yang
pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap orang muslim untuk
memperkuat rasa kelompok dengan sesamanya secara terorganisir.
c. Konsepsi Al-Qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan
manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Allah
SWT. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok.
Dengan demikian, kepribadian manusia yang utuh dapat terwujud
sebagaimana yang dikehendaki dalam ajaran islam.

Pada garis besarnya aspek-aspek kepribadian itu dapat digolongkan


dalam tiga hal:

58
Jalaluddin dan usman said, Filsafat Pendidikan Islam (Konsep Dan Pengembangan Pemikiran)
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, n.d.), 94.
59
Abdul Azis Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila (Bandung, 1991), 116.
1) Aspek-aspek kejasmanian meliputi tingkah laku luar yang mudah
nampak dan ketahuan dari luar, misalnya cara berbuat, berbicara dan
sebagainya.
2) Aspek-aspek kejiwaan meliputi aspek-aspek yang tidak segera dapat
dilihat dan ketahuan dari luar, misalnya: cara-caranya berpikir, sikap
dan minat.
3) Aspek-aspek kerohanian yang luhur, meliputi aspek kejiwaan yang
lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Ini meliputi sistem
nilai yang telah meresap dalam kepribadian, yang telah menjadi
bagian dan mendarah daging dalam kepribadian atau dan memberi
corak seluruh individu tersebut.60
1. Kepribadian mukmin
Mukmin berarti orang yang beriman. Adapun ciri-ciri orang beriman
dapat ditinjau pada berbagai perilakunya dalam kehidupan, ciri yang
menonjol digambarkan dalam al-Qur’an antara lain mengenai sifat:
a. Aqidah
b. Tujuan hidup
c. Peribadatan
d. Sikap. Keempat ciri
2. Kepribadian muslim
Muslim berarti orang yang beragama Islam, islam adalah orang
menyerah, tunduk, patuh, dalam melakukan perilaku yang baik, agar
hidupnya bersih lahir dan batin yang pada akhirnya akan mendapatn
keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. Adapun ciri-
ciri kepribadian muslim meliputi lima rukun Islam, yaitu:
a. Membaca dua kalimat syahadat, yang melahirkan kepribadian
syahadatain
b. Menunaikan shalat, yang melahirkan kepribadian mushalli

60
“muhammad faizal 2015: Makalah hakikat kepribadian muslim PAI VD STAIN Bengkalis,”
muhammad faizal 2015, 12 Oktober 2016, diakses 30 Juni 2022,
http://muhammadfaizalnafas.blogspot.com/2016/10/makalah-hakikat-kepribadian-muslim-
pai.html.
c. Mengerjakan puasa, yang melahirkan kepribadian sha’im
d. Membayar zakat, yang melahirkan kepribadian muzakki
e. Melaksanakan haji, yang melahirkan kepribadian hajji
3. Kepribadian muslim
Muhsin berarti orang yang berbuat ihsan, ihsan berarti baik atau
bagus. Kaitan ihsan dengan prilaku batin yang dapat menghiasi diri
manusia untuk menyempurnakan keimanan dan pribadatanya. Dengan
demikian, kepribadian muhsin ialah kepribadian dapat memperbaiki
dan mempercantik individu baik berhubungan dengan diri sendiri,
sesamanya, alam semesta dan kepada Allah dengan niatkan hanya
untuk mencari ridha-Nya.
C. Usaha Pembentukan Kepribadian Muslim
Dalam usaha pembentukan kepribadian dalam pendidikan islam
diperlukan beberapa langkah yang berperan dalam perubahanya antara
lain:
a. Peran keluarga
Orang tua sebagai penanggung jawab bagi masa depan anaknya,
maka orang tua harus menjalankan fungsi edukasi. Untuk
mengenalkan islam sebagai ideologi agar mereka mampu membentuk
pola pikir dan pola sikap islami yang sesuai dengan akidah dan
syari’at islam.
b. Peran negara
Negara harus membangun Pendidikan yang mampu untuk
membentuk pribadi yang memiliki karakter islami dengan cara
Menyusun kurikulum yang sama bagi seluruh sekolah dengan
berlandaskan akidah islam.
c. Peran masyarakat
Masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam pembentukan
kepribadian dalam Pendidikan islam karena dalam mayarakat kita bisa
mengikuti suatu organisasi yang berhubungan dengan kemaslahatan
lingkungan. 61

Karena manusia memiliki dua dimensi yakni materi dan non


materi, maka untuk mencetak generasi muslim yang baik maka kedua
dimensi itu harus dibentuk dengan pendidikan yang Islami. Menurut al-
Rasyidin dalam bukunya”Falsafah Pendidikan Islami”, bahwa proses zang
pertama dilakukan untuk membentuk kepribadian muslim adalah dengan
mentazkiyah (menyucikan) ruh dan jasad, baru kemudian mengisi
nafs,qalb, aql dan jasad dengan keimanan dan ilmu62.

Pembentukan kepribadian seseorang sangat dipengaruh oleh


dimensi ruh, yang merupakan anugerah dari Tuhan, bukan oleh dimensi
jasadnya (materi). Dalam perspektif ini jasad pada hakikatnya adalah
wahana dimana berlakunya keinginan manusia.63
Aplikasi proses pembentukan kepribadian muslim ini bisa kita lihat
dari proses yang dilakukan oleh Rasulullah, bahwa Rasulullah sebelum
melakukan proses pembentukan itu (berdakwah) terlebih dahulu
Rasulullah sebagai orang yang akan mengajak telah disucikan terlebih
dahulu hatinya oleh malaikat Jibril. Selanjutnya Rasulullah mengajak
orang terdekat Beliau masuk Islam dan mendidik mereka. Adapun materi
pendidikan yang disampaikan oleh Rasulullah adalah:64
a) Tauhid
b) Iman kepada hari Kiamat
c) Pembersihan jiwa dengan menjauhi segala kemungkaran dan kekejian
yang menimbulkan akibat buruk dan melakukan hal-hal baik dan
utama.
d) Penyerahan segala urusan kepada Allah Swt.65

61
Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 33.
62
Al-Rasyidin, Falsafah pendidikan islami, hal 88.
63
Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006).
64
Departemen Agama, Al-Qur’an, hal 275.
65
Departemen Agama RI, Quran Tajwid dan Terjemahannya (Jakarta: Sygma, 2007)hal 263.
Lalu bagaimana dengan praktik pembentukan kepribadian muslim
hari ini? Kita bisa melihat generasi- generasi muslim yang berkpribadian
yang tidak Islami. Saat kita membaca maupun mendengar pemberitaan di
berbagai media, kasus pencurian pelakunya seorang muslim, narkoba juga
pengedarnya seorang muslim, bahkan Para Koruptor di negeri ini dipenuhi
oleh orang- orang Islam. Maka sejak dini penanaman nilai –nilai Islami
harus ditanamkan.  Berikut ini merupakan proses pembentukan
kepribadian Islam. Adapun Proses pembentukan kepribadian muslim
sebagai individu yang dapat pula dilakukan dengan cara-cara sebagai
berikut:

a. Seleksi Memilih pasangan hidup


Proses ini dimulai disaat pemilihan calon suami atau istri dari
kalangan yang baik dan berakhlak. Kemudian dilanjutkan dengan
sikap dan prilaku orang tua yang islami, disaat bayi dalam kandungan,
ditambah lagi dengan pemberian makanan dan minuman yang halal
dan baik serta dilengkapi penerimaan yang baik dari kedua orang tua
atas kehadiran bayi tersebut.
b. Semua kita adalah pendidik
Proses pendidikan jenis ini dilakukan secara langsung oleh
orang lain seperti: orang tua dalam rumah tangga, guru disekolah dan
pemimpin didalam masyarakat.
c. Menjadi guru bagi diri sendiri
Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan pribadi tanpa bantuan
orang lain seperti membacaal Al-Quran, buku-buku, majalah, Koran
dan sebagainya, atau melalui penelitian untuk menemukan hakikat
segaala sesuatu tanpa bantuan orang lain.
Adapun proses dalam pandangan filsafat Pendidikan islam ini
merupakan tiga dasar, yakni:
1) Pembentukan pembiasaan
Pembentukan ini ialah pembentukan kepribadian seseorang
dalam kejasmaniannya. Yang kebiasaannya itu meliputi pengucapan
terhadap orang lain, sikap, dan sifat yang ada didalam dirinya. Seperti
membiasakan diri untuk selalu berwudhu, shalat, puasa dan lain-lain.66
2) Pembentukan pengertian
Pembentukan ini, yang meliputi dengan pembentukan minat
seseoang dan sikap yang memberi pengertian dan pemahaman tentang
kegiatan yang akan dilaksanakan. Serta menghayati makna ucapan
dalam usaha membangkitkan dan mengumpulkan minat, agar
seseorang mengikuti arah yang baik dan positif, selain itu
pembentukan ini untuk mewujudkan sikap yang istiqomah, sikap ini
membentuk kecintaan kepada Allah SWT. Contohnya rukun iman dan
rukun islam yang harus diajarkan secara pengertian dan pemahaman,
dengan menggunakan tenaga kejiwaan.
3) Pembentukan Kerohanian Yang Luhur
pembentukan ini, yang mengandung nilai-nilai luhur, akan
terbentuknya sifat takwa pada diri manusia. Dan sifat takwa ini akan
menjadikan manusia berkepribadian yang harmonis. Seperti
menjauhkan dengki, menempati janji, ikhlas, jujur, suka berkorban,
toleran dan lain sebagainya. Adapun makna kepribadian muslim yakni
yang didasarkan oleh sifat takwa yang tercermin dari sikap seseorang
dan prilaku jasmaniah dan rohaniah dan sikap mental.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian Muslim
Kepribadian di dalam pembentukannya tidak terlepas dari berbagai
faktor, baik faktor yang memang berasal dari dalam dirinya, atau faktor
yang datang dari luar. Atau dengan kata lain, kepribadian yang dimiliki
seseorang tidak hanya semata berasal dari dalam dirinya, melainkan
perpaduan dari berbagai faktor luar yang saling terkait antara satu dengan
lainnya. Adanya keterkaitan dari berbagai faktor yang tidak sama terhadap
individu atau masyarakat, pada gilirannya melahirkan pernedaan
kepribadian.

66
Syafruddin Umar, PENGANTAR PENDIDIKAN ISLAM (Mewujudkan Kualitas SDM Dalam
Prespektif Al-Qur’an (Depok: PT R aja Grafindo Persada, 2020), 28.
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian seseorang, yaitu :
1. Faktor Biologis
Keadaan seseorang turut mempengaruhi perkembangan
kepribadian seseorang. Sebagai contoh ekstrim adalah seseorang yang
mempunyai cacat jasmani biasanya mempunyai ras rendah diri,
sehingga menjadi pemalu, pendiam, enggan bergaul. Demikian juga
system (jaringan) saraf, kalenjer, dan sebagainya merupakan gangguan
biologis, dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, Seperti misalnya
hipertensi dapat menyebabkan seseorang menjadi pemarah. Sebaliknya
bila hipotensi bisa menjadikan seseorang mudah tersinggung.

2. Faktor Psikologis

Kepribadian seseorang dapat juga dipengaruhi oleh faktor


psikologis, seperti perasaan, dorongan, dan minat. Sebagai contohnya
adalah seseorang yang kondisi ekonominya lemah atau keluarga
miskin, menyebabkan ia menjadi pemalu atau rendah diri. Prof.
Heyman mengemukakan, bahwa dalam diri manusia terdapat tiga
unsur, yaitu :

a) Emosionalitas, merupakan unsur yang mempunyai sifat yang


didominasi oleh emosi yang positif, sifat umumnya adalah : kurang
respek terhadap orang lain, perkataan berapi-api, tegas, ingin
menguasai, bercita-cita yang dinamis, pemurung dan suka
berlebih-lebihan.
b) Aktivitas, yaitu sifat yang dikuasai oleh aktiviats gerakan, sifat
umum yang tampak adalah : lincah, praktis, berpandangan luas,
ulet, periang, dan selalu melindungi kepentingan orang lemah.
c) Fungsi sekunder (proses pengiring), yaitu sifat ynag didominasi
oleh kerentanan perasaan, sifat umum yang tampak : watak
tertutup, tekun, hemat, tenang dan dapat dipercaya.
3. Faktor Sosiologis
Pembagian ini didasarkan kepada pandangan hidup dan
kualitas sosial seseorang. Menurut Edward Spranger bahwa
kepribadian seseorang ditentukan oleh pandangan hidup mana yang
dipilihnya. Kepribadian tersebut dibagi menjadi:

a) Tipe Teoretis, orang yang perhatiannya seallu diarahkan


kepada masalah teori dan nilai-niai, ingin tahu, meneliti, dan
mengemukakan pendapat.
b) Tipe Ekonomis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada
manfaat segala sesuatu berdasarkan faedah yang dapat
mendatangkan untung rugi.
c) Tipe Estetis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada
masalah-masalah keindahan.
d) Tipe Sosial, yaitu orang yang perhatiannya tertuju ke arah
kepentingan masyarakat dan pergaulan.
e) Tipe Politis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada
kepentingan kekuasaan, kepentingan dan organisasi.
f) Tipe Religius, yaitu tipe orang-orang yang taat kepada ajaran
agama,s enang dengan masalah-masalah keTuhanan, dan
keyakinan agama.

Sedangkan menurut Muray tipe kepribadian dibagi menjadi :

a) Tipe Teoretis, yaitu orang yang menyenangi ilmu pengetahuan,


berpikir logis, dan rasional
b) Tipe Humanis, yaitu orang yang memiliki sifat kemanusiaan
yang mendalam.
c) Tipe Sensasionis, yaitu tipe orang yang suka sensasi dan
berkenalan.
d) Tipe Praktis, yaitu orang yang giat bekerja dan mengadakan
praktik.

Menurut Fritz Kunkel, yaitu :


a) Tipe Sachelichkeit, yaitu tipe orang yang banyak menaruh
perhatian terhadap masyarakat.
b) Tipe Ichhaftigkeit, yaitu tipe orang yang lebih banyak menaruh
perhatian kepada kepentingan diri sendiri.
4. Faktor Budaya (material/non-material)

Kebudayaan material yang ada disekitar kita bisa (tidak selalu)


membentuk kepribadian seseorang, dikarenakan adanya kebiasaan
untuk berhubungan dengan benda-benda tersebut, seperti:

a) Orang bisa bersifat punktualistis (selalu mengindahkan/tepat


waktu) karena ia mempunyai arloji sehingga setiap saat ia bisa
memperhatikannya.
b) Orang bisa menjadi “alim” karena tempat tinggalnya
berdekatan dengan mesjid. Setiap saat ia sembahyang ia selalu
melihat orang disekitarnya pergi ke mesjid dengan berpakaian
rapi, sopan, shaleh, takwa, dan beriman. Lama kelamaan
terkenallah  ia sebagai orang yang alim dan shaleh.

Kebudayaan  non-material (rohaniah) sebagai hasil cipta


dan  rasa manusia yang berupa nilai-nilai, norma, ilmu
pengetahuan, dan sebagainya sangat besar pengaruhnya terhadap
kepribadian seseorang.67 Misalnya seseorang yang berpedoman
pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka setiap ia menyikapi sesuatu,
tentu menggunakan pandangan Al-Qur’an dan Sunnah.

Sebenarnya faktor kebudayaan ini termasuk pula


didalamnya faktor social. Karena kebudayaan tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Perkembangan dan pembentukan
kepribadian pada masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan masyarakat dimana seseorang itu dibesarkan. Karena
setiap kebudayaan mempunyai nilai yang harus dijunjung tinggi

67
Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)hal 60-61.
oleh manusia yang hidup dalam kebudayaan tersebut. Mentaati dan
mematuhi nilai dalam kebudayaan itu menjadi kewajiban bagi
setiap anggota masyarakat kebudayaan. Disamping  itu harus
mempunyai kepribadian yang selaras dengan kebudayaan yang
berlaku dalam masyarakat.68

5. Faktor Lingkungan Alam Fisik

Misalnya orang yang hidup didaerah pegunungan, umumnya


sehat dan pemberani sedangkan yang berasal dari daerah
tandus/gersang biasanya keras dan ulet. Lingkungan dalam hal ini
lingkungan hidup manusia, yaitu segala sesuatu yang ada disekitar
manusia yang berpengaruh terhadap sifat-sifat dan pertumbuhan
manusia yang bersangkutan. Oleh karena itu, lingkungan akan
membentuk kepribadian dan kematangan seseorang.

Alvin L Bertrand seorang Sosiolog menyebutkan minimal ada


empat faktor yang turut mempengaruhi pembentukan kepribadian
seseorang yaitu:

a) Keturunan (warisan biologis)


b) Lingkungan tempat
c) Lingkungan social
d) Lingkungan kebudayaan69.

Dari ke empat faktor di atas, tentunya memiliki kuantitas dan


kualitas berbeda dalam proses sosialisasi terhadap diri seseorang,
bahkan proses sosialisasi itu sendiri bisa jadi memiliki perbedaan pula.
Sehingga pada gilirannya pembentukan kepribadian seseorangpun
dimungkinkan terjadinya perbedaan. 

1) Keturunan (Warisan Biologis)


68
rdhani51, “MAKALAH SPI KEL 2 KEPRIBADIAN MUSLIM,” Blog Pahampangan, 8 Januari 2014,
69
Radiansyah, Sosiologi Pendidikan (Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2012).hal 55.
Dikatakan warisan biologis, mengingat dalam pembentukan
kepribadian seseorang melihat pada aspek psikis dan fisik seseorang.
Warisan biologis atau dengan istilah lain disebut “hereditas” semisal
naluri, bakat, perangai, termasuk pula bentuk tubuh, jenis kelamin,
umur, dan sebagainya, adalah modal dasar kepribadian seseorang.

Berdasarkan faktor pembawaan masing-masing meliputi aspek


jasmani dan rohani.Pada aspek jasmani seperti perbedaan bentuk fisik,
warna kulit, dan cirri-ciri fisik lainnya.Sedangkan pada aspek rohaniah
seperti sikap mental, bakat, tingkat kecerdasan, maupun sikap emosi.70

2) Lingkungan tempat

Lingkungan tempat adalah semacam lingkungan geografis.


Termasuk lingkungan geografis ini wilayah atau daerah, iklim, cuaca
di mana manusia tinggal. Lingkungan geografis ini tidak jarang
mempunyai arti yang cukup penting dalam mempengaruhi
pembentukan kepribadian seseorang atau masyarakat.

Berbicara masalah pengaruh lingkungan geografis terhadap


pembentukan kepribadian seseorang atau masyarakat. Ibnu Khaldun
seorang filosof dan sosiolog Islam secara tegas dan panjang lebar
melukiskan hal ini dalam kitabnya “al-I’tibar” (terjemahan Ibnu
Khaldun tentang Sosial dan Ekonomi). Menurutnya “Manusia yang
berdiam di daerah beriklim sedang, seimbang keadaanya, potongan
badannya baik, warna kulitnya, sifat tabiatnya dan keadaan-keadaan
lain pada umumnya.

3) Lingkungan Sosial

Yang dimaksud lingkungan sosial di sini adalah pengaruh


sosial dari seseorang terhadap individu atau kelompok terhadap
individu, di mana pengaruh sosial ini sangat intend an penuh
keikhlasan.
70
Jalaludin, Teologi Pendidikan Islam, Edisi Revisi. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).hal 137.
Pengaruh lingkungan social terhadap pembentukan kepribadian
di sini hanya berdasar pengalaman kelompok sosial di mana seseorang
berada. Kehidupan seseorang yang tinggal dan dibesarkan dalam
kelompok sosial “Panti Asuhan” dengan berbagai ketentuan dan aturan
yang berlaku dalam kelompok social, sedikit banyak berpengaruh
terhadap kepribadiaannya. Sebab di tempat kelompok sosial inilah dia
belajar loyalitas, simpati, respon, pengabdian dan bekerjasama dengan
cirri-ciri atau sifat-sifat kepribadian lainnya.

4) Lingkungan Kebudayaan

Lingkungan budaya ini tidak jarang menimbulkan pengaruh


yang cukup besar terhadap pembentukan kepribadian seseorang.dan
bahkan tidak menutup kemungkinan, lingkungan yang satu ini sering
menjadi kambing hitam dari terbentuknya kepribadian seseorang.

Proses seseorang untuk membentuk kepribadiannya sesuai


dengan yang dimilikinya, tidak semudah yang diharapkan. Kadangkala
ia mengalami berbagai benturan. Untuk ini ia harus pula
memperhatikan kepribadian orang lain disekitarnya, apalagi kepribadia
itu sudah dibentuk berdasarkan pada budaya yang ada disekitarnya.
Karena itu dengan melihat kepribadian orang lain (lingkungan budaya)
di sekitarnya adalah sangat penting sekali untuk membentuk dirinya
menjadi manusia yang berkepribadian sesuai dengan kepribadian
orang lain (masyarakat) yang ada disekitarnya.

Berbarengan dengan moment-moment diatas, proses sosialisasi


juga berlngsung. Orang harus mempelajari norma, dan nilai yang
berlaku di tengah masyarakat yang dihadapinya guna menjalani proses
pemasyarakatan. Dalam kaitan ini diperlukan adanya penyesuaian
(adaptasi) kepribadian yang asli (warisan biologis) dengan jalan
melihat pada kepribadian orang lain yang berada di luar dirinya,
apakah dalam lingkungan rumah tangga, sekolah, atau masyarakat
luas. Sejalan berlangsungnya proses enkulturasi, yaitu proses yang
dijalani seseorang dari mulai masa bayi terus tumbuh dan berkembang,
berhubungan, mengenal dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
budaya yang ada disekitarnya, dimana pola-pola dan cita-cita itu
membentuk kepribadiannya. Bahkan akhirnya, pola dan cita-cita
tersebut menjadi miliknya pula. Ia merasakan sudah menyatu dengan
situasi dan kondisi lingkungan budaya yang berada di sekitarnya.

Lingkungan budaya yang berada di luar dirinya, sedikit banyak


turut memaksa terhadap kepribadian asli (warisan biologis) yang ada
dalam dirinya. Seseorang tidak bebas sewenang-wenang berjalan
sesuai dengan konsep kepribadian yang ada dalam dirinya. Ia harus
sadar, melihat pada kenyataan bahwa, konsep kepribadian yang selama
ini telah dilakukannya bertentangan dengan konsep kepribadian yang
ada di luar dirinya. Dia harus mampu menyesuaikan konsep
kepribadiannya dengan konsep kepribadian yang ada diluar dirinya.
Kalau konsep yang ada diluar dirinya dilakukannnya, maka ia akan
mendapat pujian, atau paling tidak dia aman dari gunjingan orang lain,
tetapi seandainya konsep kepribadian yang dikembangkannya tidak
sejalan atau bahkan bertentangan dengan konsep kepribadian yang ada
diluar dirinya, dalam masyarakatnya, maka tidak mustahil akan
mendapat hukuman, berupa celaan dan hinaan. Itulah sebabnya setiap
orang yang ingin mengembangkan kepribadian yang dimilikinya
(warisan biologis/hereditas), sedikit banyak akan menemukan
kesulitan, mengingat konsep kepribadian yang dimilikinya itu tidak
sepenuhnya sejalan dengan konsep kepribadian yang ada dan
berkembang dalam masyarakat. Kemungkinan ini selalu ada, sebab
setiap manusia tidak selalu memiliki kepribadian yang sama. Justeru di
sinilah letaknya, seseorang harus sadar diri, bercermin pada
lingkungan budaya yang berada di luar dirinya. Untuk kemudian
kepribadian yang dimilikinya itu disesuaikan (adjustment) dengan
lingkungan budaya yang berlaku ditengah masyarakat.
Selain ke empat faktor diatas, faktor lain yang juga turut
menjadi faktor penentu dalam pembentukan kepribadian seseorang,
diantaranya ajaran agama, pendidikan, penglaman dan cita-cita, dan
lainnya.

a. Ajaran Agama

Menurut Soerjono Soekanto “agama juga mempunyai


pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian seseorang
individu. Terlepas agama yang dimaksud disini apakah agama
samawi atau agama budaya, bahkan termasuk semua kepercayaan
yang dimiliki oleh individu atau masyarakat yang bersangkutan.

Adanya ketergantungan dengan dunia luar, dalam hal ini


sesuatu yang gaib, yang dianggap super dalam istilah lain disebut
“Tuhan”, akan mendorong seseorang untuk menuruti ketentuan
terhadap “sesuatu” yang diyakini menjadi aturan main untuk
mencapai atau mendekati Tuhan. Karena itu hamper setiap agama
punya ajaran yang merupakan pedoman, jalan, untuk mencapai
kebahagiaan pengikutnya.

b. Pendidikan

Konsep pendidikan yang dikehendaki di sini adalah adanya


kesengajaan oleh pihak tertentu untuk memberikan pengetahuan
atau keterampilan kepada seseorang.

c. Pengalaman

Pengalaman kehidupan bisa merubah pola tingkah laku


kehidupan seseorang untuk menjadi lebih baik atau bisa juga
terjadi sebaliknya akan menjadi buruk, disebabkan pengalaman
yang didapatkannya dalam pergaulan kehidupannya.
d. Cita-cita

Cita-cita seseorang boleh jadi akan merubah masa


depannya untuk menjadi lebih baik, tetapi kalau cita-citanya buruk
itu juga akan berpengaruh buruk kepada dirinya. Namun pada
kenyataannya cita-cita itu banyak mengarah kepada positif untuk 
kehidupan yang lebih baik bagi masa depannya.

E. Kepribadian Muslim Sebagai Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan atau sasaran atau maksud, dalam bahasa arab dinyatakan


dengan ghayat atau  maqasid. Sedangkan dalam bahasa inggris, istilah
tujuan dinyatakan dengan goal atau aim. Secara umum istilah-istilah itu
mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan
kepada suatu tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai
melalui upaya atau aktifitas.71

Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai


tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai
makhluk Allah SWT agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya72.

Menurut Zakiah Daradjat Tujuan ialah suatu yang diharapkan


tercapai setelah sesuatu usaha atau kegiatan selesai. Tujuan pendidikan
bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan
suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh
aspek kehidupannya, yaitu kepribadian seseorang yang membuatnya
menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia
utuh rohani dan jasmani, dapat hidup berkembang secara wajar dan normal
karena taqwanya kepada Allah SWT.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian


muslim sebagai tujuan pendidikan Islam yang dimaksud yaitu seseorang

71
Ramayulis, Metedologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010),Cet Ke-VI, hal 29.
72
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006). hal 78.
yang berperilaku/berkepribadian sesuai dengan ajaran Islam yang
bersumber dari Al-Qur’an dan hadits agar menjadi insan kamil.

Sebagai seorang muslim kita harus mempunyai kepribadian yang


sesuai dengan pendidikan islam. Adapun tujuan yang diharapkan adalah:

a. Dapat menyesuaikan prilaku dengan lingkungan,


b. Memiliki sifat terpuji,
c. Memiliki sifat berani dan bersemangat dalam hal ibadah,
d. Mampu memberikan teladan yang baik dalam berinteraksi,
e. Mampu menjadi insan yang bernuansa islami,
f. Menjauhi prasangka buruk,
g. Membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah
lahir batin, didunia dan akhirat,
h. Senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah,
i. Mewujudkan manusia yang dikehendaki ajaran agama islam, dan
j. Mempunyai tujuan hidup dan menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir
yang lebih baik.

Tujuan pendidikan Islam, ada yang bersifat umum dan ada yang
bersifat khusus. Untuk merumuskan tujuan pendidikan Islam yang bersifat
umum, terlebih dahulu harus diketahui eksistensi manusia yang sempurna
atau hakekat manusia menurut Islam. Dengan kata lain, konsepsi manusia
yang sempurna menurut Islam sangat membantu dalam merumuskan
tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

Konsep manusia menurut Islam  adalah makhluk yang memiliki


unsur jasmani dan rohani, fisik dan jiwa yang memungkinkan ia  dapat
ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi sebagai pengamalan ibadah
kepada Tuhan, dalam arti yang seluas-luasnya. Karena itu, perumusan
tentang tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu dikaitkan dengan uraian
tentang tujuan dan tugas manusia.
Manusia hidup bukan hanya kebetulan dan sia-sia, ia diciptakan
dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Indikasi tugasnya
berupa ibadah (sebagai abdullah) dan tugas sebagai wakil Allah di bumi
(khalifah). Sebagai Abdullah yang berperan sebagai khalifah, manusia
dibekali dengan berbagai macam fitrah yang cenderung pada al-hanîf (rasa
kerinduan akan kebenaran dari Tuhan), berupa agama Islam sebatas
kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada.

Dimensi-dimensi ideal Islam mengandung nilai yang dapat


meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia, untuk mengelola dan
memanfaatkannya dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Dengan
keseimbangan dan keserasian antara dua kepentingan hidup ini menjadi
daya tangkal yang dapat menolak pengaruh-pengaruh negatif dari berbagai
gejolak kehidupan yang menggoda ketentraman dan ketenangan hidup
manusia baik yang bersifat spiritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun
ideologis dalam hidup pribadi manusia muslim.

Uraian di atas, mengantar pada perumusan tujuan Pendidikan Islam


yang bermuara pada pengabdian totalitas kepada Allah, dan dengan
pengabdian itu maka ia menjadi manusia muslim dalam arti ia
berkepribadian muslim.

Dengan upaya mewujudkan kepribadian muslim, maka agama


Islam dalam konsep pendidikannya, mengarahkan secara integral
obyeknya ditujukan kepada manusia untuk berkepribadian ideal, sehingga
tidak akan tertinggal dan terabaikan, baik dari segi jasmani maupun
rohani, baik kehidupan secara mutlak maupun segala kegiatan di alam
syahada ini (bumi). Islam memandang manusia secara totalitas, atas dasar
fitrah yang diberikan dari Allah kepada hambaNya, tidak sedikit pun yang
diabaikan dan tidak memaksa apapun selain apa yang dijadikanNya sesuai
dengan fitrahnya.
BAB

Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam, Pemikiran-pemikiran dan Tokoh-tokoh Filsafat

A. Awal sejarah Perkembangan Filsafat Pendidikan Islam


Perkembangan pada priode ini dimulai sejak masa keluarga nabi
Muhammad hingga masa khulafa’ur al-rasyidin. Pada masa inilah
pemikiran filsafat berkembang dan bersumber pada al-qur’an dan hadits
yang mengandung semua persoalan tentang islam.
Dan pada zaman nabi munculah pemikiran-pemikiran pendidikan
yang bersumber pada al-qur’an dan hadits yang merupakan sumber dari
ajaran islam. Jadi segala sesuatu yang bersumberpada nabi yang berkaitan
dengan pendidikan, baik itu darial-qur’an dan Sunnah, perkataan, serta
pemikiran para tokoh filsafat islam. Darisinilah kita bias mengetahui awal
dimualinya sejarah pendidikan islam serta perkembanganya.
Filsafat pendidikan islam berawal dari seorang filosof yang
bernama al-kindi, karena beliau filosof pertama didalam dunia islam.
Nama al-kindi menanjak pada masa pemerintahan al-amu’tashim yang
menggantikan al-makmun pada tahun 218H (833M) karena pada waktu
Al-kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi pendidikan putranya
yaitu ahmad bin mu’tashim. Dan pada saat itu pula al-kindi punya
kesempatan untuk menulis karya-karyanya, pada saat al-am’un
menerjemahkan kitab-kitab yunani kedalam Bahasa arab. Karena karangan
al-kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya
dalam memberikan batasan-batasan maka istilah yang digunakan dalam
terminology ialah ilmu filsafat.73
Dan dalam filsafat inilah nabi Muhammad Saw menganjurkan
seorang muslim untuk berfikir secara mendalamtentang hakikat kebenaran
dan adanya allah swt. Filsafat pendidikan islam pada saat turunya al-
qur’an mengajarkan para ummat muslim memikirkan tentang kekuasaan
allah sehingga mereka tergolong orang-orang yang berfikir. Dengan
menggunkan fikiranya seorang muslim telah berfilsafat.74

B. Pemikiran-pemikiran
Perkembangan filsafat pendidikan adalah berarti sama dengan
melacak perkembangan dunia pemikiran filosofis tentang pendidikan.
Karena perkembangan dunia filsafat berbentuk perkembangan pemikiran-
pemikiran filosofi tentang suatu objek.

Sedangkan pemikiran filosofis dalam bidang pendidikan atau


perkembangan filsafat pendidikan dapat di telusuri melalui pemikiran-
pemikiran filosofis dalam bidang pendididikan.

73
Ahmad, filsafat pendidikan islam (bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010),23
74
Ibid, 25.
Didalam masyarakat islam, pendidikan islam itu merupakan ajaran-
ajaran berdasarkan pada wahyu, yang juga menjadi dasar dari pemikiran
filsafat pendidikan Islam. Hal ini menunjukkan falsafah pendidikan Islam
yang berisi teori umum mengenai pendidikan Islam, dibina atas dasar
konsep ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan hadis. Hal ini
sejalan dengan berfikir falsafi, yakni mendasar, menyeluruh tentang
kebenaran yang ditawarkan yaitu kebenarah tuhan yang mutlak.
1. Omar Mohamad al-Toumy al-Syaibany, menurutnya bahwa filsafat
pendidikan Islam adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah
filsafat dalam bidang pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam.
Didalam prinsip-prinsip, kepercayaan-kepercayaan, andaian-
andaian dan premis yang menjadi asas falsafah ini, yaitu falsafah
pendidikan yang berasal dari prinsip-prinsip dan ruh Islam. Maka
disebut Falsafah Islam untuk pendidikan, atau disebut filsafat
pendidikan Islam.75
2. Abudin Nata menyimpulkan bahwa filsafat pendidikan Islam itu
merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai berbagai masalah
yang terdapat dalam pendidikan yang didasarkan pada al-Qur’an dan
hadis sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para
filosof muslim, sebagai sumber sekunder.
filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah
filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat
pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam.76
3. Jalaludin dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menyebutkan bahwa
Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan hasil pemikiran para filosof
berdasarkan sumber yang berasal dari wahyu Allah, sedangkan falsafah
pendidikan lainnya berasal dari hasil renungan (pemikiran) yang
didasarkan atas kemampuan rasio. pemikiran tersebut bersumber dari al-
qur’an yang memiliki kebenaran yang mutlak. 77

75
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu1997),14
76
Ibid,15
C. Tokoh-tokoh
Adapun tokoh-tokoh Filsafat antara lain:
1. Filsuf Yunani
a. Socrates
Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode dialog dan
induksi. Ia juga berpendapat bahwa tujuan tertinggi kehidupan
manusia adalah mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Menurut
Socrates, jiwa adalah inti kepribadian manusia. Kebahagiaan dapat
dicapai dengan melakukan keutamaan (arete), yaitu hidup sesuai
dengan nilai-nilai moral yang utama.
b. Plato
Plato merupakan filosof Yunani yang aktif mengembangkan
filsafat dengan mendirikan pendidikan sekolah khusus yang disebut
(akademi). Plato berpandangan bahwa konsep Ide adalah suatu dunia
dibalik alam kenyataan. Dan juga sebagai hakikat suatu hal yang ada.
c. Aristoleles
Aristoteles adalah manusia sebagai subjek pengetahuan. Dan dia
Merupakan bapak ilmu dia berpandangan bahwa ilmu
pendidikan yang dibangun oleh riset pendidikan. Riset merupakan kan
suatu gerak maju kegiatan observasi menuju konsep-konsep umum.
Yang bersifat menerangkan dan kembali ke observasi tersebut.
2. Filsafat Barat Abad Pertengahan
a. Augustinus. Markus Aurelius Augustinus
Filsafat manusia muncul dalam karya Augustinus saat ia
memandang ajaran Neoplatonisme yang tidak memakai istilah
penciptaan (“creatio”), tidak membicarakan Allah sebagai pencipta
(“Creatio”), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan
penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut
Augustinus, segala makhluk marupakan “vestigia Dei” (jejak-jejak

77
Jalaludi, Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikiran (Jakarta:
Raja Garafindo Persada,1996), 3-4
Allah) yang memaklumkan bahwa “Allah telah lewat”. Manusia
menjadi “vestigium Dei” sedemikian istimewa, sehingga disebut
“imago Dei” (citra Allah). Manusia memantulkan siap Allah itu
dengan lebih jelas dari pada segala ciptaan lainnya.
b. Thomas Aquinas
Thomas sangat menekankan bahwa manusia adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari jiwa dan badan. Dan Thomas juga
mengajarkan bahwa pertautan antara jiwa dan tubuh manusia harus
dilihat antara bentuk (jiwa) dan materi (tubuh). Atau hubungan jiwa
dan badan tersebut juga bisa dilihat dalam hubngan antara aktus
(perealisasian) dan potensi (bakat). Jadi, manusia itu satu substansi
saja. Satu substansi sedemikian rupa sehingga jiwalah yang menjadi
bentuk badan (animafoma corporis). Dengan perkataan lain, jiwalah
yang membuat tubuh menjadi realitas.
3. Filsafat Barat Modern
a. Rene Descartes

Descartes, dengan memisahkan secara radikal jiwa dan tubuh,


menganut dualisme tentang manusia. Ia mendapat banyak kesulitan
katika harus mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya
pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak
antara jiwa dan tubuh berlangsung dalam glandula pinealis (sebuah
kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Tetapi akhirnya
pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes.

b. Karl Marx
Potensi manusia, bagi Marx adalah potensi yang diterima begitu
saja, manusia sekarang, sebagaimana manusia zaman dahulu adalah
materi mentah yang manusiawi dan tidak dapat diubah, karena
struktur otaknya tetap sama sejak awal ditorehkannya sejarah.
Manusia benar-benar berubah sepanjang sejarah, dia
mengembangkan dirinya, dia mentransformasikan dirinya, dia adalah
produk sejarah.
c. Sigmund Freud
Menurut Freud, jiwa manusia terdiri dari tiga bagian: Id, Ego,
dan superego. Id berada dalam ketidaksadaran. Ia merupakan
dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan.
Dorongan ini ada dua yaitu dorongan untuk hidup dan
mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorrongan untuk mati
(death instinct). Bentuk dorongan hidup adalah dorongan seksual
atau Libido. Tujuan hidup manusia pada dasarnya untuk memenuhi
kepuasan libido seksualnya (libido sexuality). Bentuk dorongan mati
adalah agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan orang ingin
menyerang oran lain, berkelahi, berperang atau marah. Prinsip yang
dianut Id adalah prinsip kesenangan (pleasure principle), yang
bertujuan memuaskan semua dorongan primitif. Ego adalah system
di mana Id dan Superego beradu kekuatan. Fungsi Ego adalah
menjaga keseimbangan antara Id dan superego. Ego menjalankan
prinsp kenyataan (reality principle), yaitu menyesuaikan kedua
dorongan tadi.
d. Soren Abaye Kierkegaard
Menurutnya, ada tiga fase eksistensi manusia, yaitu
estetis (esthetis stage), etis (ethical stage) dan religius (religious
stage). Tahap estetis adalah tahap di mana manusia hidup mencari
kesenangan jasmani, menagabikan moralitas, dan agama. Hidup
semata-mata untuk memuaskan nafsu. Kierkegaard mencontohkan
manusia tahap ini seorang super play boy bernama Don Yuan.
Tahap etis, yaitu tahap di mana manusia memperhatikan kebutuhan
rohani dan moralitas. Tahap religius dimana manusia hidup demi
pemuasan kebutuhan rohaninya, menjalin hubungan dengan Tuhan.
Persoalan utama mansuia adalah kesulitan untuk memutuskan di
antara berbagai pilihan. Dosa dapat menimbulkan keputusasaan, dan
jalan terbaik adalah masnuia bergerak menuju Allah.
e. Friederich Nietzche
Menurutnya, kehendak sebagai asas dari eksistensi manusia.
Manusia memiliki kehendak berkuasa (will for power)
sebab kehidupan merupakan perjuangan untuk memperoleh
kekuasaan dan perjuangan merupakan hal yang baik. Pikiran
merupakan alat untuk mengendalikan insting (kehendak berkuasa).
Pengetahuan memiliki nilai lebih bila dapat meningkatkan dan
mempertahankan kehidupan. Manusia harus mengarahkan
kekuatannya untuk menjadi manusia unggul (ubermensch,
superman). Manusia unggul hendaknya meruntuhkan moralitas
budak yang penuh kekejaman dan menganntinya dengan moralitas
tuan yang penuh cinta kasih serta nilai-nilai moral yang luhur.
Menurutnya, Tuhan sudah mati (Got is tod). Dan kalau belum mati
kita harus membunuhnya. Hanya manusia unggullah yang masih
hidup. Manusia masih berarti karena adanya manusia unggul.78
f. Immanual Kant

Kant tidak menganggap manusia sebagai makhluk bermoral


yang tidak sempurna hanya karena dia tergolong dalam dunia
binatang sekaligus dunia makhluk berakal budi, namun karena
makhluk empirislah manusia memiliki sifat biantang dan sebagai
makhluk empirislah (fenomenal) manusia tidak memahami dirinya
dengan pasti. Sebagai makhluk empiric tindakn manusia, dalam
batas tetentu, dilakukan dalam ketidak tahuan. Terbukti bahwa
manusia tidak mampu bertindak secara rasional di saat ia tidak
mampu mendapatkan penegtahuan yang sepenuhnya rasional
(Howard Williams, Filsafat Politik Kant, hlm. 82).

78
Agus Supriyanto, “Studi Deskriptif Tentang Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Barat,” vol.6 (1
January 2010).4-8
g. Jean Paul Sartre
Menurut Sartre, manusia itu mengada dengan kesadaran
sebagai dirinya sendiri sehingga hal demikian itu tidak bisa
dipertukarkan. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan
benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas
keberadaannya sendiri. Bagi manusia, eksistensi adalah
keterbukaan; berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaannya
sekaligus berarti esensinya. Adapun bagi manusia, eksistensi
mendahului esensi. Manusia tidak lain ialah bagaimana menjadikan
dirinya sendiri. Begitulah asas pertama eksistensialisme. Manusia
tidak lain adalah rencananya sendiri; ia mengada hanya sejauh ia
memenuhi dirinya sendiri; oleh karenanya, ia tiada lain adalah
kumpulan tindakannya, tidak lain ialah hidupnya sendiri.79

BAB

Persoalan-persoalan Pendidikan Kekinian Kapitalisme Pendidikan dan Komersialisme


Pendidikan

A. Penyebab Persoalan Pendidikan Kekinian


1. Kapitalisme Pendidikan
a. Pengertian Kapitalisme
Secara etimologi kapitalisme berasal dari kata kapital. Kapital
berasal dari bahasa Latin yaitu capitalis yang sebenarnya diambil dari
kata kaput (bahasa Proto-Indo-Eropa) berarti “kepala”.80 Dari artian ini
menjadi jelas jika kita gunakan dalam istilah “pendapatan perkapita”

79
Ibid.9
80
Nina M Armando, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).52
yang berarti pendapatan per kepala. Dan juga memiliki arti yang sama,
ketika dipakai dalam kalimat capital city (kota utama).
Kapitalisme merupakan sistem ekonomi politik yang di dasarkan
pada hak milik pribadi dimana dalam kapitalisme terdapat tujuan untuk
kepentingan pribadi tanpa menghargai kebutuhan masyarakat dan
menghormati kepentingan umum. Dan lebih mengarahkan kemampuan
dan potensi yang ada untuk meningkatkan kekayaannya.
Sedangkan secara termonologi, Kapitalisme berarti suatu paham
yang meyakini bahwa pemiliki modal bisa melakukan usahanya dengan
bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
b. Kapitalisme Pendidikan
Kapitalisme pendidikan terjadi apanila prinsip kapitalisme
digunakan di dalam sektor pendidikan, negara tidak membatasi
kepemilikan perorangan di dalam sektor pendidikan, artinya satuan
penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan (sektor
swasta atau aktor non negara), dimana segala kebijakannya diatur oleh
sektor swasta tersebut. Pengelola sektor pendidikan (pihak swasta) ini,
mulai bersaing antara satu dengan lainnya. Bagi pihak pengelola
pendidikan yang memenangkan persaingan akan mendapatkan
pengguna jasa pendidikan lebih banyak. Modal dari pihak pengelola
sektor pendidikan pun akan masuk dan dapat diakumulasikan. Ketika
mengikat maka akan terjadi monopoli, sehingga penentuan harga (biaya
pendidikan) tanpa ada penawaran dan permintaan terlebih dahulu
dengan para pengguna jasa pendidikan. Pengelola pendidikan pun
menawarkan harga (biaya pendidikan) tanpa memikirkan kemampuan
dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi
pihak pengguna jasa pendidikan, karena mereka tidak diberi
kesempatan untuk menawar harga (biaya pendidikan). Akhirnya, akan
muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa orang yang kaya lah yang bisa
mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi pihak pengguna jasa
pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam mendapatkan
pendidikan tersebut.
2. Komersialisasi Pendidikan
a. Pengertian Komersialisasi Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi
diartikan: perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.
Merujuk pada arti tersebut, komersialisasi pendidikan bisa
diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan.
Komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan
kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang
menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.
Milton Friedman dan Frederik Van Hayek (2008:115)
mengemukakan bahwa “komersialisasi pendidikan merupakan
keadaan pendidikan yang berpegang pada masyarakat industri dan
selera pasar (market society)”81. Selain itu, Habibie (2005:257)
juga mengungkapkan, bahwa “komersialisasi pendidikan telah
mengantarkan pendidikan sebagai instrument untuk melahirkan
buruh-buruh bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan
dan pendewasaan masyarakat”. Adanya komersialisasi pendidikan
telah menggambarkan keadaan pendidikan saat ini bahwa
pendidikan lebih mengarah kepada praktik pendidikan layaknya
lembaga penghasil mesin yang siap memsuplay pasar industri dan
diukur secara ekonomis.82
Sedangkan menurut Giroux (2008:115), “adanya
komersialisasi pendidikan telah mengubah institusi pendidikan
yang berbasis efisiensi ekonomis menjadi perusahaan penyedia
elite masyarakat dan kuli kerja”. Akibat komersialisasi pendidikan
inilah, banyak lembaga pendidikan yang kemudian menganut
paradigma pendidikan yang bersifat ekonomis. Banyak lembaga

81
Milton Friedman dan Frederik Van Hayek (2008 : 115).
82
Dwi Hartini, “Problematika Pendidikan Di Era Globalisasi” (2011).16
pendidikan yang akhirnya gagal mengimplikasikan bahwa proses
pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi
hidup manusia.83
Komersialisasi pendidikan secara tidak langsung juga telah
menciptakan jurang pemisah antara pihak yang mempunyai modal
dan pihak yang mempunyai sedikit modal. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Ivan Illich dalam Benny Susanto (2005:119),
“komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi lembaga
pendidikan modern mengabdi kepada kepentingan pemilik modal
dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas”.
Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak tercapai dalam proses
pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan menurut
Satriyo Brojonegoro hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak
tertentu yang dimiliki modal untuk mengakses pendidikan.
Adapun istilah “komersialisasi pendidikan” menurut Agus
Wibowo, mengacu pada dua pengertian yang berbeda, yaitu:84
a. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan
dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini,
pedidikan hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat
ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut
dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak
memperdagangkan pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis
ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional atau
idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati, karena dapat
menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.
b. Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga
pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan
uang gedung saja, tapi mengabaaikan kewajiban-kewajiban
pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya dilakukan

83
Ibid.17
84
Ibid.19
oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan
pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka
pungut dan lebih mementingkan laba. Itu hal yang lebih
berbahaya, komersialisasi jenis kedua ini dapat melaksanakan
praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar akademik
tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga
dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila.
Komersialisasi ini telah berdampak pda tingginya biaya
pendidikan, baik secara gamplang, masyarakat “disuguhi
sesuatu” yang seolah-olah mengaminikondisi tersebut.
Menurut para Ahli, pengertian Komersialisasi dapat
disimpulkan bahwa komersialisasi pendidikan merupakan suatu
keadaan atau situasi di dunia pendidikan yang lebih
mengutamakan paradigma pendidikan dalam halekonomis
(keuntungan) sehingga pengukuran keberhasilan pendidikan
dalam proses humanisasi tidak tercapai. Akibat individu yang
berasal dari kelas sosial rendah tidak mempunyau kesempatan
untuk memperoleh akses pendidikan yang layak dan berkualitas
seperti individu yang berasal dari kelas sosial atas.85

B. Dampak Persoalan Pendidikan Kekinian


1. Dampak kapitalisme pendidikan
Ada beberapa dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya
kapitalisme pendidikan ini. kebanyakan dampak yang ditimbulkan
adalah dampak negatif. Ada beberapa dampak dari kapitalisme
pendidikan yaitu sebagai berikut:
a. Peran negara dalam pendidikan semakin menghilang
Hilangnya peran negara dalam pendidikan, akan berdampak
semakin banyaknya kemiskinan yang ada di negeri ini. Di

85
Mohd Shukri Hanapi, “Tasawuf Ekonomi Islam” (2014).21
karenakan banyak anak yang gagal dalam mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
b. Masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial
ekonomi
Hal ini terjadi karena pendidiak yang berkualitas hanya bisa
dinikmati oleh sekelompok masyarakat dengan pendapatakn
menengah ke atas. Untuk masyarakat dengan pendapatan
menengah ke bawah kurang bisa mengakses pendidikan tersebut.
c. Indonesia juga akan tetap berada dalam kapitalisme global
Indonesia akan tetap berada dalam sistem kapitalis global
pada berbagai sektor kehidupan terutama dalam sistem
perekonomiannya. Hal ini sudah terbukti, bahwa kapitalisme tidak
hanya berlaku pada sistem perekonomian, namun dalam sistem
pendidikan pun saat ini sudah terpengaruh oleh kapitalimse.
d. Dalam sistem kapitalis, negara hanya sebagai regulator/ fasilator
Pada sistem kapitalis ini, yang berperan aktif dalam sistem
pendidikan adalah pihak swasta, sehingga muncul otonomi-
otonomi kampus atau sekolah yang intinya semakun membuat
negara tidak ikut campur tangan terhadap sekolah pendidikan. Hal
ini berakibat bahwa sekolah harus kreatif dalam mencari dana jika
ingin tetap bertahan. Mulai dari membuka bisnis hingga menaikkan
biaya pendidikan, sehingga pendidikan memang benar-benar
dikmersilkan dan sulit dijangkau masyarakat yang kurang mampu.
e. Pendidikan hanya bisa diakses golongan menengah ke atas
Biaya pendidikan yang semakin mahal mengakibatkan
pendidikan hanya diperuntukan bagi masyarakat yang mampu
sedangkan bagi warga yang kurang mampu merasa kesulitan dalam
memperoleh pendidikan.
f. Praktik KKN semakin merajalela
Biaya pendidikan yang semakin mahal membuat para orang
tua yang memiliki penghasilan tinggi akan memasukkan anaknya
dengan memberikan sumbangan uang pendidikan dengan jumlah
yang sangat besar meskipun kecerdasan dari peserta didik tersebut
sangatlah kurang. Sehingga nantinya, uang akan dijadikan patokan
lolos atau tidaknya calon siswa baru diterima di sebuah lembaga
pendidikan.
g. Kapitalisme pendidikan bertentangan dengan tradisi manusia
Sistem kapitalis ini bertentangan dalam hal visi pendidikan
yang seharusnya strategi untuk eksistensi manusia juga untuk
menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan serta
wahana untuk pembebasan manusia, diganti oleh suatu visi yang
meletakkan pendidikan sebagai komoditi.
h. Tidak ada tampak positif yang ditimbulkan akibat adanya sistem
kapitalisme pendidikan ini. semua dampak tersebut bermula karena
adanya privatisasi yaitu penyerahan tanggung jawab pendidikan ke
pihak swasta. Yang menyebabkan lembaga pendidikan dikelola
oleh pihak swasta dan tentunya pemerintah hanya sebagai
regulator/ fasilitator dan kebijakan sepenuhnya diserahkan ke pihak
swasta. Dari dampak-dampak yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa dampak akibat penenapan kapitalisme dalam
sistem pendidikan di Indonesia menyebabkan pemerataan
pendidikan kurang merata, karena masih banyak warga yang belum
bisa mengakses dan mendapatkan pendidikan. Hal tersebut
dikarenakan semakin mahalnya biaya pendidikan yang tidak dapat
dijangkau oleh sebagian kalangan masyarakat.86
2. Dampak komersialisasi pendidikan
Secara teoritis, komersialisasi pendidikan yang terjadi telah
memberi pengaruh atau dampak terhadap proses pendidikan di
Indonesia, baik bersifat positif maupun negatif. Ada beberapa kebaikan
dari adanya komersialisasi pendidikan antara lain:

86
M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: EKONISIA, 2003).16
a. Beban pemerintah dalam membiayai pendidikan semakin
berkurang sehingga anggaran yang tersedia dapat digunakan untuk
membiayai aspek lain yang labih mendesak.
b. Memberi peluang lebih besar kepada seluruh masyarakat untuk
bertasipasi dalam mencerdaskan bangsa.
c. Lembaga pendidikan menjadi semakin kompetitif sehingga terjadi
peningkatan fasilitas dan mutu pendidikan.
d. Gaji para pendidik dapat lebih ditingkatkan. Kesejahteraan yang
lebih baik diharapkan dapat memacu kepuasan kerja dan kinerja
mereka dalam mencerahkan anak didik.
Lemahnya kebijakan pemerintah dan penegakan hukum dapat
mendistorsi swastanisasi pendidikan yang sebelumnya bertujuan
mulian. Komersialisasi pendidikan juga dapat membawa dampak
sosial yang tidak dapat diharapkan jika tidak disertai aturan dan etika
sosial yang benar serta jelas. Berikut dampak negatif yang
ditumbulkan dari adanya komersialisasi pendidikan di Indonesia yaitu:
1. Pendidikan menjadi mahal. Pendidikan menjadi “barang mewah”
yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas khususnya bagi yang
kurang mampu. Hal ini dapat meningkatkan angka putus sekolah
pada masyarakat kurang mampu yang akhirnya berdampak pada
peningkatan pengangguran, anak jalanan, pekerja anak dan
kriminalitas.
2. Gap dalam kualitas pendidikan. Privatisasi pendidikan dapat
meningkatkan kompetisi yang mampu menciptakan polarisasi
lembaga pendidikan. Lembaga yang menang dalam persaingan dan
perburuan dana akan menjadi sekolah unggulan. Lembaga
pendidikan yang kalah akan semakin terpuruk menjadi sekolah
“kurang gizi”.
3. Diskriminasi. Kesempatan memperoleh pendidikan semakin sempit
dan diskriminatif. Masyarakat dari kelas sosial tinggi dapat
memperoleh pendidikan relative mudah, sedangkan masyarakat
yang berasal dari kelas sosial rendah semakin sulit sehingga
cenderung mendapatkan pendidikan yang seadanya.
4. Stigmatisasi. Adanya segregasi kelas sosial antara kaya dan miskin.
Konsekuensinya terjadi pelabelan sosial bahwa sekolah ternama
adalah sekolah milik orang dari kelas sosial tinggi. Sebaliknya,
sekolah sederhana adalah sekolah bagi masyarakat kelas sosial
rendah. Masyarakat biasa yang bersusah payah menyekolahkan
anaknya, harus menerima kenyataan menjadi warga kelas dua
karena “sumbangan dana pendidikannya” rendah.
5. Perubahan Misi Pendidikan. Komersialisasi dapat menggeser
“budaya akademik” menjadi “budaya ekonomis” sehingga
mengubah tujuan pendidikan yaitu untuk mencerdaskan
masyarakat. Para pendidik kemudian berubah menjadi pribadi yang
memiliki mentalitas “pedagang” daripada mentalitas pendidik.
Mencari pendapatan tambahan lebih menarik daripada
mengembangkan pengetahuan akibatnya lebih terdorong untuk
mengumpulkan “kredit koin” daripada “kredit point”.
6. Memacu komersialisasi dan gaya hidup “besar pasak daripada
tiang” akibatnya banyak peserta didik dari kalangan kelas sosial
tinggi yang membawa barang mewah seperti mobil mahal ke
sekolah.
7. Memperburuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan
kepemimpinan masa depan. Adanya dorongan misi untuk
meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga
pendidikan kemudian lebih banyak menerima pelajar-pelajar yang
berasal dari kelas sosial atas walaupun memiliki kecerdasan yang
sedang. Pelajar yang berprestasi tetapi kurang mampu, tidak dapat
sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Keadaan ini
dapat mengancam kepemimpinan masa depan. Sehingga mobilitas
sosial vertikal hanya akan menjadi milik masyarakat yang mampu
sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan.
8. Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan oleh pendidikan.
Secara sederhana, rantai kemiskinan dapat digambarkan karena
miskin orang tidak dapat sekolah, karena tidak sekolah, seseorang
tidak dapat pekerjaan yang baik karena tidak dapat pekerjaan
sehingga menjadi miskin begitu seterusnya. Pendidikan sebagai alat
pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan semakin
kehilangan fungsinya. Dalam konteks ini, komersialisasi
pendidikan dapat mengarah pada pelanggengan jebakan
kemiskinan.
C. Solusi Penanggulangan Kapitalisme dan Komersialisasi Pendidikan
1. Solusi Penanggulangan Kapitalisme Pendidikan:
a. Solusi sistemik
Yaitu solusi mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui bahwa sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang
diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, dterapkan
dalam konteks sistem ekonomi kapitalis yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan
publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka untuk solusi-solusi masalah yang ada khusunya yang
ada hubungannya dengan mahalnya biaya pendidikan, berarti yang
harus dirubah adalah sistem ekonominya. Karena kurang efektif
jika kita menerapkan sistem pendidikan islam dalam keadaan
sistem ekonomi kapitalis saat ini. Maka sistem kapitalisme saat ini
wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi islam yang
menyebutkan bahwa pemerintahlah yang akan menanggung segala
pembiyaan negara.
b. Solusi teknis
Yaitu solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Bahwa secara
tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk
mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang
menandai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya
alam yang melimpah. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut,
maka pemerintahan dapat menyelesaikan permasalahan pendidikan
dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh mesyarakat
pada usia sekolah dan yang belum sekolah baik untuk tingkat
pendidikan dasar (SD-SMP) maupun pendidikan menengah
(SMA).
2. Solusi Alternatif Penanggulangan Komersialisasi Pendidikan
Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari
pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subtansi
pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak
otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Perlu
diketahui banyak dari para pembisnis menjadikan dunia pendidikan
sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dnegan membuka
yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “ mendapatkan
keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti
tertera pada UUD 1945. Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa
mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisme dunia
pendidikan. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan,
menekankan bahwa kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak
mencari laba, melainkan sepenuhnya untuk kegiatan meningkatkan
kapasitas dan/ atau mutu layanan pendidikan.87
Adapun solusi alternatif penanggulangan komersialisasi
pendidikan sebagai berikut:
a. Pembentukan lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan
untuk mengawasi jalannya sistem pendidikan supaya dala
pelaksanaannya, lembaga ini tidak terpengaruh dan tidak tertekan

87
Muhamad, Pola Dan Strategi Pengembangan Kuirkulum Ekonomi Islam Di Perguruan Tinggi
Agama Islam (Yogyakarta: STIS Yogyakarta, 2001).33
oleh pihak lain. lembaga ini nantinya diharapkan mampu bersikap
mandiri dan independen, sehingga ketika terjadi pemyimpangan,
mereka berani melaporkan apa yang sebenarnya terjadi tanpa takut
akan ancaman apapun dan dari siapapun. Lembaga ini berhak
melakukan evaluasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintah
dibidang pendidikan, seperti dana BOS dan sekolah dengan status
RSBI, supaya berjalan dengan semestinya. Walaupun bersifat non
pemerintah, dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini tetap
harus berkoordinasi dengan Depertemen Pendidikan untuk
mencapai tujuan mulia bersama.
b. Pemberian beasiswa yang lebih gencar kepada para pelajar yang
berprestasi dan tidak mampu dalam hal biaya. Upaya ini sebagai
antisipasi supaya para pelajar yang berprestasi dan yang tidak
mampu biasa terus melanjutkan pendidikan tanpa harus terbebani
biaya dan termotivasi untuk belajar lebih giat dan baik.
Pencanangan program “Wajib Belajar 12 Tahun”. Pada program
ini nantinya SMA/sederajat memperoleh aliran dana BOS,
sehingga biaya pendidikan dapat ditanggung oleh pemerintah dan
tidak begitu memberatkan bagi orang tua. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk mengurangi komersialisasi dan komoditasi
pendidikan di jenjang SMA, dan biaya tinggi tidak lagi menjadi
alasan bagi mereka yang tidak mampu untuk berhenti belajar di
sekolah.
c. Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga
pendidikan (tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi), baik
negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah dan non
pemerintah. Dari lembaga pemerintah dapat diwakilkan oleh
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sedangkan dari lembaga
non pmerintah dapat diwakilkan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang peduli dengan dunia pendidikan.
d. Penarikan uang untuk biaya sekolah seharusnya disampaikan
dengan jelas dan terperinci. Biasanya modus penarikan untuk
pendidikan yang bermacam-macam. Antaranya yaitu pembayaran
ekstrakulikuler, dana untuk keselamatan, dana untuk membeli
gorden kelas, biaya wisuda, sera biaya untuk membeli LKS dan
seragam.
e. Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat. Adanya dana
BOS dari Dinas pendidikan seharusnya digunakan dengan sebaik-
baiknya untuk menunjang sarana prasarana lembaga pendidikan.
Biaya yang besar dikeluarkan juga mempengaruhi kualitas dari
peserta didik. Semakin mahal sekolah maka semakin baik kualitas
pendidikan ditempat tersebut. Hal tidak dapat dibenarkan dan
tentu tidak menjamin.88

BAB

A. Pengertian pendidikan

Menurut KH Dewantara pendidikan adalah segala usaha dari orang


tua terhadap anak-anak dengan maksud menyokong kemajuan hidupnya.89

88
Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).49-50
89
Siti Shafa Marwah et al., “Relevansi Konsep Pendidikan Menrut KH Hadjar Dewantara denagan
Pendidikan Islam,” TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education, vol.5, no. 1 (1 May 2018),
18.
Pendidikan adalah upaya dalam mengembangkan potensi-potensi
manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, rasa, cipta, atau karsanya agar
potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya
sebagai individu dan masyarakat. Dasar pendidikan adalah cita-cita
kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam
keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan
hidup kemanusiaan. Yang tentu dalam menjalankan kelanjutan pendidikan
tersebut harus ada alat sebagai pegangan yang salah satunya adalah adanya
kurikulum.

B. Hubungan Individu dan Masyarakat


1. Individu
Individu adalah unsur terkecil dari masyarakat yang tidak dapat
dibagi lagi dalam menjadi bagian yang lebih kecil. Misalnya dalam
sebuah keluarga yang merupakan kelompok terkecil dari masyarakat
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah erupakan unsur terkeci yang
tidak daaat dibagi lagi, begitupun seorang ibu.90
2. Masyarakat
Menurut R.M Maclver dan Charles H. page, bahwasanya
masyarakat merupakan suatau sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari
wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan penggolongan
dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan hak manusia.
91

Znaniecki berpendapat bahwa masyarakat merupakan suatu sistem


yang meliputi unit biofisik para individu yang bertempat tinggal pada
suatu daerah georafis tertentu selama periode waktu tertentu dari suatu
generasi.92

90
Hj Siti Muri’ah dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah (Myria Publisher, n.d.), 19.
91
Ibid., 19.
92
“Anak Sebagai Makhluk Sosial | Listia | JURNAL BUNGA RAMPAI USIA EMAS,” 20, diakses 12
Agustus 2022, https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jhp/article/view/9278.
Smith, Stanley dan Shores mendefinisikan masyarakat sebagai
suatu kelompok individu yang terorganisasi serta berikir tentang diri
mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda.93

3. Hubungan individu dan masyarakat secara umum


Hubungan antar individu dan masyarakat sudah banyak disoroti
oleh para ahli baik para filsuf ataupun para ilmuan. Dalam berbagai
pandangan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga pendapat, yaitu: 94
a) Masyarakat yang menentukan individu
b) Individu yang menentukan masyarakat
c) Individu dan masyrakat saling menentukan.
C. Fungsi Pendidikan bagi individu dan masyarakat
1. Fungsi pendidikan bagi individu95
a) Sebagai sarana untuk mengembangkan potensi dari sejak lahir
b) Perilaku

Perilaku merupakan representasi pikiran dan perbuatan


seseorang. Seseorang akan dikatakan baik jika perilakunya dan
fikirannya baik. Dan pendidikan sangat berperan penting dalam hal
ini. Karena dengan pendidikan yang baik seseorang akan berpikir
positif dan akan melakukan hal-hal yang positif juga.

c) Sebagai sarana untuk mengembangkan fisik, mental dan spiritual

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat


memfasilitasi perkembangan fisik, mental dan spiritual peserta didik
secara seimbang.

d) Sebagai sarana untuk mempersiapkan masa depan

93
Ibid.
94
M. M. DR HA Rusdiana, FILSAFAT ILMU (Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN SGD Bandung
2018, 2021).
95
“Makalah Pendidikan Individu Dan Pendidikan Masyarakat | Kumpulan Makalah,” n.d., diakses
12 August 2022, http://www.makalah.my.id/2017/12/makalah-pendidikan-individu-dan.html.
Personal seseorang dari pola perilaku seseorang, perilaku
tersebut merupakan representasi dari fikiran (kemampuan
intelektual/kognitif) dan perbuatan (psikomotorik dan
akhlak). Sementara itu kemampuan intelektual/kognitif serta
psikomotorik dan akhlak seseorang dapat diperoleh melalui
pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik akan
menyimpulkan dari kepribadian individu-individu hasil didikannya.

e) Membantu seseorang dalam menyesuaikan diri dengan


lingkungannya.

Seseorang yang terdidik dengan baik (bedakan dengan


berpendidikan tinggi), akan memungkinkan untuk memiliki
kemampuan beradaptasi dengan perubahan yang lebih baik
dibandingkan dengan orang yang tidak terdidik, karena kemapuan
intelektual dan harapan hidup memungkinkan bagi pendidikan yang
baik akan dari kepribadian individu-individu hasil didikannya.

2. Fungsi pendidikan bagi masyarakat96


a) Pendidikan berperan dalam mendorong terjadinya perubahan dan
kendali sosial
b) Pendidikan berperan dalam rekonstruksi pengalaman-pengalaman.
Pendidikan terkait erat dengan upaya untuk memberikan
pengalaman-pengalaman baru dan memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk merekonstruksi pengalaman-
pengalaman tersebut di dirinya. 
c) Pendidikan berperan dalam mengembangan nilai-nilai sosial
d) Menyediakan peluang dan peluang

Individu yang terdidik dengan baik akan memiliki


kemungkinan untuk dapat beradaptasi dengan berbagai lingkungan
dan perubahan, sehingga akan memiliki peluang yang lebih banyak

96
Ibid.
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, dengan demikian,
individu tersebut akan memiliki peluang yang lebih baik dalam
mencapai kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.

BAB XII
A. Problematika Pendidikan Nasional
Problema-problema pendidikan dari masa ke masa menjadi
perhatian para ahli. Pendidikan merupakan usaha manusia meningkatkan
kesejahteraan lahir batin suatu bangsa dan masyarakat.
1. Filsafat Dalam Masalah Pendidikan
Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan
manusia itu sendiri. Proses pendidikan berkembang dan berada
bersama proses kehidupan dan perkembnagan manusia. Untuk
memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, termasuk
didalamnya pendidikan, maka diperlukan pola kerja filsafat. Sebab
filsafat akan mampu menjawab permasalahan-permasalahan
pendidikan baik yang ada pada dataran praktik pelaksanaan
maupun yang lebih luas lagi berkaitan dengan pengalaman maupun
fakta-fakta pendidikan yang aktual dan tidak mungkin dijangkau
dengan sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui dan mempelajari filsafat
dan filsafat pendidikan. Karena tujuan pendidikan senantiasa
berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan
pendidikan.97
Problem di Indonesia, memiliki beberapa kriteria diantaranya
sebagai berikut:
a) Sistem pendidikan yang masih bermasalah
b) Kurangnya pengakuan terhadap mutu lulusan
c) Kualitas guru masih rendah dan salah pegang materi
pelajaran
d)  Inpunya rendah
e) Sarana dan prasarana kurang memadai
f) Kurangnya tanggung jawab oleh semua pihak
(pemerintah,orang tua dan masyarakat)
g)  Kurangnya dana yang memadai dan atau memadai tidak
lancar.
Mochtar Buchori membagi problem pendidikan di Indonesia
menjadi tiga peringkat:
1) Problem Fundamental yaitu ketidak jelasan pengertian
mutu pendidikan, sebab di indonesia dari pergantian
pemimpin satu kepemimpin yang lain selalu berubah
dan bergantinya juga kebijakan tentang pendidikan,
tetapi mutunya selalu dibawah negara tetangga yang
sama-sama serumpun.
2) Problem Struktural yaitu terjadinya “keketatan”
birokrasi menyebabkan lambatnya pelayanan pelaksana
pendidikan .

97
Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah Di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), hlm.
189-190
3)  Problem operasional yaitu profesionalisme guru masih
rendah, dan berakibat juga terhadap mutu lulusan
2. Pendekatan dan Metode yang Digunakan dalam Mengkaji Filsafat
Pendidikan
Dalam memecahkan problema-problema pendidikan diatas
diperlukan adanya pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
a) Pendekatan secara spekulatif atau speculative-aprroach
(pendekatan reflektif), yang beararti memikirkan,
mempertimbangkan, juga membayangkan dan
menggambarkan tentang sesuatu obyek untuk mencari
hakikat yang sebenarnya.
b) Pendekatan normatif (normative-approach), berarti
berusaha untuk mahami nilai-nilai atau norma-norma yang
berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia dan dalam
proses pendidikan, dan bagaimana hubungan antara norma
dan nilai tersebut dengan pendidikan. Dengan konsep
semacam ini akan dapat diketahui kemana pendidikan harus
diarahkan.
c)  Pendekatan analisa konsep (conseptual analsysis). Konsep
artinya pengertian atau tangkapan seseorang terhadap
sesuatu obyek. Dengan analisa konsep ini dimaksudkan
dalam rangka memahami konsep dari para ahli pendidikan,
para pendidik dan orang-orang yang konsen terhadap
pendidikan, mengenai masalah yang berhubungan dengan
pendidikan.
d) Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang
aktual (scientific analysis of current life). Pendekatan ini
fokusnya adalah masalah-masalah pendidikan yang
aktual,aktifitas-aktifitas pendidikan yang menjadi problema
masa kini.
Sedangkan metode yang digunakan dalam mengkaji masalah
filsafat pendidikan adalah dengan menggunakan cara sebagai
berikut:
1) Metode filsafat historis (historico-filosofis), yaitu
dengan cara melakukan deteksi dari pertanyaan-
pertanyaan filosofis dalam bidang pendidikan dari
berbagai ahli filsafat dan kemudian dipilih jawaban
yang sesuai dan yang dibutuhkan.
2) Metode filsafat kritis, yaitu filsafat yang berusaha
menggali hakikat segala sesuatu dengan cara
analisis  yang terlepas dari ikatan waktu atau ikatan
historis, serta jawaban dari masalah filosofis dapat
dicari melalui berbagai aliran yang ada,tak terikat oleh
paham-paham filsafat yang ada itu sendiri.98

B. Konsepsi pendidikan masa depan Indonesia


Filsafat pendidikan sebagai sumber ide pendidikan yang menentukan
pendidikan, memberi arah dan pedoman sekaligus menjadi tujuan
pendidikan di Indonesia.
a) Konsepsi Pendidikan Nasional
Salah satu faktor yang diperlukan untuk memajukan bangsa adalah
pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan utama dalam
kehidupan tiap-tiap bangsa. Pendidikan nasional adalah suatu
pendidikan yang disesuaikan dengan kenyataan yang berlaku
dalam masyarakat, atau dengan perkataan lain berkaitan dengan
kodrat alam dan keadaan bangsa.
Hasrat serta cita-cita nasional harus diproyeksikan dalam alam
pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara serta mata-
mata pelajaran yang sesuai dengan pembangunan dan kebutuhan
bangsa.

98
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007),h.12-14
Mengingat bahwa masalah pendidikan adalah faktor yang sangat
penting dalam mempengaruhi kemajuan suatu bangsa, maka perlu adanya
suatu system yang menyeluruh di pelosok tanah air. Kemajuan bangsa,
juga dapat mencerminkan pendidikan masa depan bangsa itu sendiri.
Tujuh ciri pendidikan masa depan, yaitu:
   Berfokus pada pemupukan potensi unggul setiap anak
 Keseimbangan beragam kecerdasan (Kognitif, Emosi, dan
Spiritual)
 Mengajarkan life skills
 System penilaiannya berbasis portofolio dari hasil karya siswa
 Pembelajaran berbasis kehidupan nyata dan praktek di lapangan
 Guru lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator agar anak
mengembangkan minatnya masing-masing
  Pembelajaran didasarkan pada kemampuan, cara/gaya belajar, dan
perkembangan psikologi anak masing-masing.

b) Tujuan pendidikan Indonesia


Bagi kita bangsa Indonesia tujuan pendidikan kita jelas
sebagaimana disebutkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam pasal yang mengenai pendidikan, bahwa
pendidikan kita bertujan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan,
mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab
atas pembangunan bangsa.
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik, terdapat beberapa macam
ketentuan, antara lain:
 Suatu tujuan pendidikan harus ditegakkan di atas aktivitas dan
keperluan yang sesungguhnya (termasuk naluri dan kebiasaan
tingkah laku yang asli), dari orang-orang ertentu, yang harus
dididik.
 Suatu tujuan pendidikan haruslah dapat diterjemahkan menjadi
metode untuk bekerja sama dengan aktivitas anak didik.
 Para pendidik haruslah berhati-hati dan waspada terhadap
tujuan yang menurut perkiraan bersifat umum.99
Pada akhirnya, maju mundurnya masa depan bangsa, sangat
ditentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang cerdas dan
berkarakter, berakhlak, sesuai dengan filsafah dan tujuan
pendidikan nasional. Karenanya, tujuan filosofis pendidikan
nasional, pada prinsipnya, relevan dengan tujuan pembangunan
dan tujuan pendidikan nasional, yakni berupaya dalam pembinaan
karakter anak didik dan generasi muda yang memiliki tugas dan
amanah untuk menjaga dan melestarikan identitas bangsa dan
penentuan kemajuan peradaban bangsa kemudian hari.100

C. Problematika Pendidikan Nasional


Problema-problema pendidikan dari masa ke masa menjadi
perhatian para ahli. Pendidikan merupakan usaha manusia meningkatkan
kesejahteraan lahir batin suatu bangsa dan masyarakat.
3. Filsafat Dalam Masalah Pendidikan
Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan
manusia itu sendiri. Proses pendidikan berkembang dan berada
bersama proses kehidupan dan perkembnagan manusia. Untuk
memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, termasuk
didalamnya pendidikan, maka diperlukan pola kerja filsafat. Sebab
filsafat akan mampu menjawab permasalahan-permasalahan
99
Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, cet.2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm 181-185
100
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan:Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, cet.3,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm 228
pendidikan baik yang ada pada dataran praktik pelaksanaan
maupun yang lebih luas lagi berkaitan dengan pengalaman maupun
fakta-fakta pendidikan yang aktual dan tidak mungkin dijangkau
dengan sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai
pelaksana pendidikan, perlu mengetahui dan mempelajari filsafat
dan filsafat pendidikan. Karena tujuan pendidikan senantiasa
berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan
individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan
pendidikan.101
Problem di Indonesia, memiliki beberapa kriteria diantaranya
sebagai berikut:
h) Sistem pendidikan yang masih bermasalah
i) Kurangnya pengakuan terhadap mutu lulusan
j) Kualitas guru masih rendah dan salah pegang materi
pelajaran
k)  Inpunya rendah
l) Sarana dan prasarana kurang memadai
m) Kurangnya tanggung jawab oleh semua pihak
(pemerintah,orang tua dan masyarakat)
n)  Kurangnya dana yang memadai dan atau memadai tidak
lancar.
Mochtar Buchori membagi problem pendidikan di Indonesia
menjadi tiga peringkat:
4) Problem Fundamental yaitu ketidak jelasan pengertian
mutu pendidikan, sebab di indonesia dari pergantian
pemimpin satu kepemimpin yang lain selalu berubah
dan bergantinya juga kebijakan tentang pendidikan,

101
Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah Di Indonesia (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), hlm.
189-190
tetapi mutunya selalu dibawah negara tetangga yang
sama-sama serumpun.
5) Problem Struktural yaitu terjadinya “keketatan”
birokrasi menyebabkan lambatnya pelayanan pelaksana
pendidikan .
6)  Problem operasional yaitu profesionalisme guru masih
rendah, dan berakibat juga terhadap mutu lulusan
4. Pendekatan dan Metode yang Digunakan dalam Mengkaji Filsafat
Pendidikan.
Dalam memecahkan problema-problema pendidikan diatas
diperlukan adanya pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
a) Pendekatan secara spekulatif atau speculative-aprroach
(pendekatan reflektif), yang beararti memikirkan,
mempertimbangkan, juga membayangkan dan menggambarkan
tentang sesuatu obyek untuk mencari hakikat yang sebenarnya.
b) Pendekatan normatif (normative-approach), berarti berusaha
untuk mahami nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
hidup dan kehidupan manusia dan dalam proses pendidikan, dan
bagaimana hubungan antara norma dan nilai tersebut dengan
pendidikan. Dengan konsep semacam ini akan dapat diketahui
kemana pendidikan harus diarahkan.
c)  Pendekatan analisa konsep (conseptual analsysis). Konsep
artinya pengertian atau tangkapan seseorang terhadap sesuatu
obyek. Dengan analisa konsep ini dimaksudkan dalam rangka
memahami konsep dari para ahli pendidikan, para pendidik dan
orang-orang yang konsen terhadap pendidikan, mengenai
masalah yang berhubungan dengan pendidikan.
d) Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang aktual
(scientific analysis of current life). Pendekatan ini fokusnya
adalah masalah-masalah pendidikan yang aktual,aktifitas-
aktifitas pendidikan yang menjadi problema masa kini.
Sedangkan metode yang digunakan dalam mengkaji
masalah filsafat pendidikan adalah dengan menggunakan cara
sebagai berikut:
1) Metode filsafat historis (historico-filosofis), yaitu dengan cara
melakukan deteksi dari pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam
bidang pendidikan dari berbagai ahli filsafat dan kemudian
dipilih jawaban yang sesuai dan yang dibutuhkan.
2) Metode filsafat kritis, yaitu filsafat yang berusaha menggali
hakikat segala sesuatu dengan cara analisis  yang terlepas dari
ikatan waktu atau ikatan historis, serta jawaban dari masalah
filosofis dapat dicari melalui berbagai aliran yang ada,tak terikat
oleh paham-paham filsafat yang ada itu sendiri.102
D. Konsepsi pendidikan masa depan Indonesia
Filsafat pendidikan sebagai sumber ide pendidikan yang menentukan
pendidikan, memberi arah dan pedoman sekaligus menjadi tujuan
pendidikan di Indonesia.
c) Konsepsi Pendidikan Nasional
Salah satu faktor yang diperlukan untuk memajukan bangsa adalah
pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan utama dalam
kehidupan tiap-tiap bangsa. Pendidikan nasional adalah suatu
pendidikan yang disesuaikan dengan kenyataan yang berlaku
dalam masyarakat, atau dengan perkataan lain berkaitan dengan
kodrat alam dan keadaan bangsa.
Hasrat serta cita-cita nasional harus diproyeksikan dalam alam
pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara serta mata-
mata pelajaran yang sesuai dengan pembangunan dan kebutuhan
bangsa.

Mengingat bahwa masalah pendidikan adalah faktor yang sangat


penting dalam mempengaruhi kemajuan suatu bangsa, maka perlu adanya

102
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007),h.12-14
suatu system yang menyeluruh di pelosok tanah air. Kemajuan bangsa,
juga dapat mencerminkan pendidikan masa depan bangsa itu sendiri.
Tujuh ciri pendidikan masa depan, yaitu:
1.  Berfokus pada pemupukan potensi unggul setiap anak
2. Keseimbangan beragam kecerdasan (Kognitif, Emosi, dan Spiritual)
Mengajarkan life skills
3. System penilaiannya berbasis portofolio dari hasil karya siswa
4. Pembelajaran berbasis kehidupan nyata dan praktek di lapangan
5. Guru lebih berperan sebagai motivator dan fasilitator agar anak
mengembangkan minatnya masing-masing
6. Pembelajaran didasarkan pada kemampuan, cara/gaya belajar, dan
perkembangan psikologi anak masing-masing.

d) Tujuan pendidikan Indonesia


Bagi kita bangsa Indonesia tujuan pendidikan kita jelas
sebagaimana disebutkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam pasal yang mengenai pendidikan, bahwa pendidikan
kita bertujan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan
cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik, terdapat beberapa
macam ketentuan, antara lain:
1. Suatu tujuan pendidikan harus ditegakkan di atas aktivitas dan
keperluan yang sesungguhnya (termasuk naluri dan kebiasaan
tingkah laku yang asli), dari orang-orang ertentu, yang harus dididik.
2. Suatu tujuan pendidikan haruslah dapat diterjemahkan menjadi
metode untuk bekerja sama dengan aktivitas anak didik.
3. Para pendidik haruslah berhati-hati dan waspada terhadap tujuan
yang menurut perkiraan bersifat umum.103
Pada akhirnya, maju mundurnya masa depan bangsa, sangat
ditentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang cerdas dan
berkarakter, berakhlak, sesuai dengan filsafah dan tujuan pendidikan
nasional. Karenanya, tujuan filosofis pendidikan nasional, pada
prinsipnya, relevan dengan tujuan pembangunan dan tujuan pendidikan
nasional, yakni berupaya dalam pembinaan karakter anak didik dan
generasi muda yang memiliki tugas dan amanah untuk menjaga dan
melestarikan identitas bangsa dan penentuan kemajuan peradaban
bangsa kemudian hari.104

103
Tri Prasetya, Filsafat Pendidikan, cet.2 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm 181-185
104
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan:Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, cet.3,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm 228
BAB

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Abdul, dan Aziz. Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Gagasan MembangunPendidikan


Islam. Surabaya: El.Kaf, 2006.

Abdul Aziz, Ahyadi. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Al-gensindo, 1995.

Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.

Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam Dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

A.H, Saidah. “PEMIKIRAN ESSENSIALISME, EKSISTENSIALISME, PERENIALISME, DAN


PRAGMATISME DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.” Jurnal, vol.V, no. 02
(10 February 2020).

Ahyadi, Abdul Azis. Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung, 1991.

Ahyadi, Abdul Aziz. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Al-gensindo, 1995.

Al-Rasyidin. Falsafah Pendidikan Islami, n.d.

Amir Faisal, Jusuf. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Anto, M.B. Hendrie. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: EKONISIA, 2003.

Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. 6th ed. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000.

———. ILlmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksar, 2003.


Armando, Nina M. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Ary H. Gunawan,. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Assegaf, Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rjawali Pers, 2011.

Daprtemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.

Departemen Agama. Al-Qur’an, n.d.

Departemen Agama RI. Quran Tajwid Dan Terjemahannya. Jakarta: Sygma, 2007.

DR HA Rusdiana, M. M. FILSAFAT ILMU. PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN UIN SGD


BANDUNG 2018, 2021.

Fahrudin, Ahmad. “SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI JURUSAN TARBIYAH TAHUN
AKADEMIK 2019-2020” (n.d.): 12.

Gazaiba. Sistimatika Filsafat. 3rd ed. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Hartini, Dwi. “Problematika Pendidikan Di Era Globalisasi” (2011).

Hawa, Siti. “Pendidik Dalam Prespektif Filsafat Pendidikan Islam.” Jurnal Azkia, vol.15,
no. 2 (n.d.): 4.

syar’i, H.Ahmad. “Filsafat Pendidikan Islam.” Puataka Firdaus, vol., no. 3 (March 2005):
31.

Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo Persada, 2001.

Jalaluddin, dan usman said. Filsafat Pendidikan Islam (Konsep Dan Pengembangan
Pemikiran). Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, n.d.

Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Paja Grasindo Persada, 2001.

———. Teologi Pendidikan Islam,. Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Juhari, Moh.Irmawan. “Peran Media Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam.” Jurnal
Piwulang, vol.1, no. 1 (n.d.): 69.

Kaelany. Islam Kependudukan Dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Katsir, Ibnu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006.

Marwah, Siti Shafa, Makhmud Syafe’i, dan Elan Sumarna. “Relevansi Konsep Pendidikan
Menrut KH Hadjar Dewantara denagan Pendidikan Islam.” TARBAWY :
Indonesian Journal of Islamic Education, vol.5, no. 1 (1 May 2018): 14–26.

Muhamad, Muhamad. Pola Dan Strategi Pengembangan Kuirkulum Ekonomi Islam Di


Perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: STIS Yogyakarta, 2001.

Mujib, Abdul. Kepribadian Dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Muri’ah, Hj Siti, dan Gianto. Kekerasan Simbolik di Madrasah. Myria Publisher, n.d.

Murnitita, Tungga Bhimadi Karyasa, Andi Hajar, Iqbal Amar Muzaki, dan Toha Makshun.
Filsafat Pendidikan Islam. 1st ed. Padang Sumatra Barat: PT. Global Ekseskutif
Teknologi, 2022.

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, n.d.

Nurhayati. Filsafat Pendidikan Islam. Pekanbaru: Benteng Media, 2013.

Radiansyah. Sosiologi Pendidikan. Banjarmasin: IAIN ANTASARI PRESS, 2012.

Ramayulis. Metedologi Pendidikan Agama Islam,. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

rdhani51. “MAKALAH SPI KEL 2 KEPRIBADIAN MUSLIM.” Blog Pahampangan, 8 January


2014. Diakses 1 September 2022.
https://rdhani51.wordpress.com/2014/01/08/makalah-spi-kel-2-kepribadian-
muslim/.

Rianie, Nurjannah. “Pendekatan Dan Metode Pendidikan.” Jurnal Management Of


Education, vol.1, no. 2 (n.d.).
———. “Pendekatan Dan Metode Pendidikan Islam.” Jurnal Management Of Education,
vol.1, no. 2 (n.d.): 107.

Rijal, M. “Jurnal Biology Science & Education 2014.” vol.3, no. 2 (2014): 13.

Sahara, Ida Suri. “Pengertian, Ruang Lingkup, Tujuan dan Metode Filsafat Pendidikan
Islam” (n.d.): 5.

Sahrodi, Jamali. Metodologi Studi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Shukri Hanapi, Mohd. “Tasawuf Ekonomi Islam” (2014).

Sudarto. Filsafat Pendidikan Islam. 1st ed. Yogyakarta: CV Budi Utama, 2019.

———. Filsafat Pendidikan Islam. Deepublish, 2021.

suhendri, sehendri. “Evaluasi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.”


Almufida, vol.3, no. 1 (n.d.): 31.

Supriyanto, Agus. “Studi Deskriptif Tentang Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Barat.”


vol.6 (1 January 2010).

Umar, Syafruddin. PENGANTAR PENDIDIKAN ISLAM (Mewujudkan Kualitas SDM Dalam


Prespektif Al-Qur’an. Depok: PT R aja Grafindo Persada, 2020.

Unknown. “Muhammad Faizal 2015: Makalah Hakikat Kepribadian Muslim PAI VD STAIN
Bengkalis.” Muhammad Faizal 2015, 12 October 2016. Diakses 30 June 2022.
http://muhammadfaizalnafas.blogspot.com/2016/10/makalah-hakikat-
kepribadian-muslim-pai.html.

Zaini. Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an. Surabaya, 1980.

zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: bumi aksara, 1992.

Zuhairini. Filsafat Pendiidkan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.


“ANAKanak SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL | Listia | JURNAL BUNGA RAMPAI USIA EMAS.”
Diakses 12 August 2022.
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/jhp/article/view/9278.

“HAKIKAT KEPRIBADIAN MUSLIM, SERI PEMAHAMAN JIWA TERHADAP KONSEP INSAN


KAMIL | INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN PRENDUAN,” n.d. Diakses 30
June 2022. https://idia.ac.id/2016/04/17/hakikat-kepribadian-muslim-seri-
pemahaman-jiwa-terhadap-konsep-insan-kamil/.

Ibid, Hal 288, n.d.

“Jurnal Cakrawala Pendas, Vol. 2, NO. 1 Januari 2016 ISSN: 2442-7470 29 TELAAH
ALIRAN PENDIDIKAN PROGRESIVISME DAN ESENSIALISME DALAM PERSPEKTIF
FILSAFAT PENDIDIKAN H.A. Yunus Universitas Majalengka.” Jurnal Cakrawala
Pendas, vol.2, no. 1 (2016).

“Makalah Pendidikan Individu Dan Pendidikan Masyarakat | Kumpulan Makalah,” n.d.


Diakses 12 August 2022. http://www.makalah.my.id/2017/12/makalah-
pendidikan-individu-dan.html.

Anda mungkin juga menyukai